Permasalahan surat kuasa DI PERADILAN TA

PERMASALAHAN SURAT KUASA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh : H. UJANG ABDULLAH, SH. M.Si1

A. PENDAHULUAN
Pemeriksaan dalam proses sengketa Tata Usaha Negara bersifat Contradictoir
dengan unsur-unsur yang bersifat Inquisitoir, artinya para pihak diberi kesempatan yang
sama untuk mempertahankan dalilnya dan menyanggah dalil lawannya, disamping itu
hakim juga diberi wewenang untuk malakukan penilaian sendiri tentang fakta-fakta
yang diarahkan untuk pengujian kebenaran keputusan Tata Usaha Negara yang di
sengketakan (Hakim bersifat aktif / dominus litis).
Dengan azaz hakim bersifat aktif, maka dalam memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara harus diarahkan pada prinsip peradilan
yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (4)
UU No.48 tahun 2009 tentang kekuasan kehakiman.
Untuk melaksanakan prinsip tersebut maka sebelum melakukan pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara, hal yang pertama dan utama harus diperhatikan Hakim
atau Majelis hakim adalah keabsahan para pihak yang bersengketa, karena sangatlah
tidak dapat dibenarkan apabila pemeriksaan telah hampir selesai ternyata harus di putus
Niet On Vankelijk (tidak dapat diterima) hanya disebabkan ada para pihak yang
bersengketa ternyata tidak syah.
Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman tidak

mengatur secara tegas tentang kuasa, akan tetapi menurut Verplichte Procureur Steling
185 R.0 Bab VI advocate, pasal 123 HIR dan 147 RBg, menyatakan pada prinsipnya
para pihak yang berperkara/bersengketa adalah pihak-pihak itu sendiri (langsung) akan
tetapi dapat juga pihak-pihak tersebut menguasakan kepada orang lain dengan surat
kuasa khusus (special authorization), hal tersebut telah diatur pula dalam ketentuan
pasal 57 Undang-undang No.5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah beberapa kali dan
terahir dengan Undang-undang No.51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sekarang ini setelah 20 tahun beroperasinya peradilan Tata Usaha Negara,
penerima kuasa dalam prakteknya tidak hanya advocate dan proceur, pembela umum
(Public defender) dan penasehat hukum praktek (practical lawyer) tetapi diberikan juga
kepada kepala/staf Biro Hukum, pegawai/karyawan, pimpinan pengurus serikat pekerja,
seorang yang ada hubungan keluarga, Jaksa Pengacara Negara dan lain-lain sehingga
tidak jarang dalam prakteknya menimbulkan persoalan hukum tersendiri, apalagi
dengan lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang advokat yang menyatakan
bahwa tindakan memberikan jasa hukum hanya dapat diberikan oleh seorang advokat
1. Wakil Ketua PTUN Palembang
1

yang telah diangkat menurut ketentuan Undang Undang tersebut (Psl. 1 ayat (1)) dan
terakhir timbulnya persoalan beberapa organisasi advokat yang sama-sama merasa

organisasi yang syah sebagaimana dimaksud Undang-undang advokat yaitu PERADI,
KAI dan PERADIN.
Oleh karena itu tepat kiranya dalam kesempatan ini, Penulis membahas masalah
surat kuasa di Peradilan Tata Usaha Negara guna mendapatkan pemecahan masalah
secara seragam terhadap persoalan hukum yang timbul dalam praktek.

B. PERMASALAHAN
Beberapa persoalan mengenai surat kuasa Yang perlu dikaji secara mendalam
khususnya yang sangat berguna dalam praktek di peradilan Tata Usaha Negara antara
lain adalah:
1 . Apakah pemberian kuasa kepada Kepala / staf Biro Hukum, pegawai/karyawan,
pimpinan/pengurus serikat pekerja, seseorang karena ada hubungan darah, Jaksa
Pengacara Negara tersebut langsung dapat diterima hanya dengan surat kuasa
khusus dari pemberi kuasa atau harus disertai izin kuasa insidentil dari ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara ?
2. Persyaratan apa yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat diterima sebagai
penerima kuasa lnsendentil ?
3. Apakah jaksa sebagai pengacara dalam mewakili Badan/Pejabat Tata Usaha Negara
hanya dapat mewakili untuk objek sengketa yang terbatas pada kewibawaan dan
penyelamatan aset negara?

4. Bagaimana kedudukan penerima kuasa selain advokat setelah berlakunya Undang
Undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat?
5. Bagaimana kedudukan seseorang yang telah lulus ujian advokat tetapi belum
bersumpah dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi ?
6. Bagaimana sikap Peradilan TataUsaha Negara dengan adanya perselisihan
organisasi advokat antara PERADI dengan KAI dan organisasi advokat lain ?

C. PEMBAHASAN
1. Surat Kuasa yang dapat di terima
Pasal 57 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah beberapa kali
terahir dengan Undang-undang No.51 tahun 2009 tentang peradilan Tata Usaha
Negara menyatakan :
a). Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili
seseorang atau beberapa orang kuasa.

2

b). Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat
dilakukan secara lisan di persidangan.
c). Surat kuasa yang dibuat di luar negeri harus memenuhi persyaratan di negara

yang bersangkutan dan diketahui perwakilan RI di negara tersebut, serta
kemudian diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
Selanjutnya dalam

SEMA No.2 1991 Tentang Petunjuk pelaksanaan

beberapa ketentuan dalam Undang-undang no.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara angka V 9,a, b, c disebutkan :
a. Dalam hal suatu pihak didampingi oleh kuasa, maka bentuk surat kuasa harus
memenuhi persyaratan formal dari surat kuasa khusus dengan materai secukupnya
dan surat kuasa khusus yang diberi cap jempol haruslah dikuatkan (warmerking)
oleh pejabat yang berwenang.
b. Surat kuasa khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu dilegalisir.
c. Dalam pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi tetapi di mungkinkan adanya
kuasa insindentil.
Kemudian didalam SEMA RI No.6 1994 tentang kuasa khusus disebutkan,
bahwa surat kuasa khusus harus mencantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa khusus
tersebut hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, seperti :
a. Perkara nomor berapa dengan pihak-pihak yang lengkap dan jelas, tentang
obyeknya yang jelas.

b. Boleh didalam kuasa tersebut mencantumkan untuk sampai pada tingkat banding
dan kasasi.
Dalam buku II tentang Pedoman Tekhnis Administrasi dan Tekhnis Peradilan Tata
Usaha Negara, halaman 45-46, huruf e tentang surat kuasa disebutkan :
1. Surat kuasa khusus harus memuat secara jelas dan rinci mengenai hal-hal yang
dikuasakan dengan menyebutkan pihak-pihak yang berperkara, Keputusan objek
sengketa dan tahapan-tahapan tingkat pemeriksaannya.khusus bagi Tergugat harus
menyebutkan nomor perkaranya. (pasal 57 Undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara, pasal 1792 KUH Perdata, SEMA no.2 tahun 1991 dan SEMA no.6 tahun
1994).
2. Surat kuasa khusus dapat dibuat sekaligus untuk pemeriksaan tingkat pertama,
banding, kasasi, peninjauan kembali asalkan hal-hal yang dikuasakan itu diuraikan
secara jelas dan rinci.
3. Tergugat (Badan atau Pejabat TUN) dapat memberi surat kuasa kepada advokat dan
surat tugas tanpa materai kepada Pejabat pada instansi pemerintahan Badan/Pejabat
TUN yang bersangkutan.
4. Kuasa insendentil dapat diberikan ijin oleh Ketua Pengadilan TUN kepada

3


seseorang yang akan beracara di Pengadilan TUN apabila dimohonkan,dengan
syarat seseorang tersebut mempunyai hubungan keluarga dengan Penggugat yang
dikuatkan oleh surat keterangan lurah dan diketahui camat, dan mampu beracara di
Pengadilan.
5. Jaksa Pengacara Negara dapat bertindak sebagai kuasa hukum dari Badan/Pejabat
TUN hanya dalam rangka menyelamatkan kekayaan Negara dan menegakkan
kewibawaan pemerintah.
6. Biro Bantuan Hukum (BBH) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Fakultas
Hukum yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dapat bertindak
sebagai kuasa Penggugat dalam perkara prodeo.
7. Surat kuasa harus ditandatangani oleh pemberi kuasa sebagai bukti formal adanya
persetujuan kedua belah pihak dengan dibubuhi materai dan tanggal.
8. Berakhirnya pemberian kuasa dapat terjadi karena dicabut oleh pemberi kuasa,
meninggalnya salah satu pihak, penerima kuasa melepaskan kuasa atas kemauannya
sendiri, dan pemberi kuasa memberi kuasa kepada pihak lain dalam perkara yang
sama maka dengan sendirinya pemberian kuasa pertama berakhir, kecuali ada
klausul pada surat kuasa yang baru bahwa kuasa yang lama tetap berlaku.
Semua persayaratan yang telah ditentukan dalam beberapa ketentuan tersebut
selayaknya menjadi persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat kuasa
khusus, disamping itu oleh karena sistem HIR dan RBg hanya mengatur formalitas

keharusan dengan surat kuasa tapi tidak mengatur persyaratan penerimaan kuasa, maka
untuk penerima kuasa yang bukan karena profesi atau pekerjaannya maka disamping
disyaratkan adanya surat kuasa khusus tetapi juga harus ada izin dari Ketua Pengadilan
TUN untuk beracara di pengadilan, misalnya pemberian kuasa kepada orang yang ada
hubungan keluarga.
Sedangkan pemberian kuasa kepada orang yang memang profesinya atau
pekerjaannya seperti advokat, pengacara praktek, Jaksa sebagai pengacara negara, Biro
Hukum dll, maka surat kuasanya dapat diterima apabila surat kuasa khususnya telah
memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam praktek berkembang pula perbedaan pendapat mengenai keharusan
adanya materai bagi setiap pembuatan surat kuasa di satu pihak dan disisi lain ada pula
yang berpendapat bagi surat kuasa dari pejabat publik tidak perlu memakai materai
tetapi cukup dengan cap dan tanda tangan pejabat publik tersebut.
Dari dua pendapat tersebut, penulis berpendapat sebaiknya dikembalikan pada
peraturan sebagaimana ditentukan dalam SEMA RI No.2 1991 angka V9A yang
menentukan surat kuasa khusus harus dibubuhi materai secukupnya, disamping itu oleh
karena sumber kuasa adalah berdasarkan perjanjian / perikatan (last geving) sesuai

4


ketentuan pasal 1792 BW, maka sebaiknya setiap perbuatan pemberian kuasa harus
tunduk pula dengan hukum perdata dan Undang-Undang bea materai disamping
tentunya untuk memenuhi pula azaz kesamaan hukum antara pihak penggugat dengan
tergugat agar dapat di dudukan dalam posisi yang sama dalam beracara di
pengadilan,kecuali bentuknya berupa surat tugas yang diberikan oleh Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara kepada bawahannya maka tidak perlu memakai materai sesuai
dengan Buku II tentang PedomanTekhnis Administrasi dan Tekhnis Peradilan Tata
Usaha Negara.
Perlunya dibubuhi materai pada surat kuasa untuk memenuhi ketentuan pasal 2
ayat (1) Undang Undang No.13 1985 tentang bea materai, dimana setiap dokumen dan
surat-surat yang tujuannya untuk pembuktian harus dibebani bea materai sebagai pajak
untuk dokumen.

2. Persyaratan Untuk Penerima Kuasa Insindentil.
Berdasarkan ketentuan pasal 1792 BW sumber pemberian surat kuasa adalah
berdasarkan perjanjian / perikatan (last geving) dan berdasarkan kehendak sepihak
(mach tiging).
Dengan ketentuan tersebut maka pemberi kuasa diberi kebebasan untuk
menentukan siapa yang akan mewakilinya di persidangan, akan tetapi kebebasan
tersebut dan kurang jelasnya persyaratan penerima kuasa dapat menimbulkan kerugian

pemberi kuasa itu sendiri, antara lain :
a.

Mereka hanya mencari honorarium dan popularitas.

b.

Mempersulit Hakim untuk menemukan hukum yang tepat dalam perkara yang
diperiksa.

c.

Tidak mendorong ke arah pertumbuhan hukum yang sehat.
Untuk menghindari hal yang demikian, maka bagi penerima kuasa insindentil

sebaiknya memenuhi persyaratan-persyaratan seperti:
a.

Ada hubungan keluarga yang dekat dengan dibuktikan melalui surat keterangan
Lurah.


b. Mempunyai pengetahuan hukum
c.

Apabila penerima kuasa adalah pegawai harus ada izin dari atasannya.

d. Harus ada surat kuasa khusus.
e.

Harus ada izin dari ketua PTUN yang bersangkutan.
Buku II tentang Pedoman tekhnis administrasi dan Tekhnis Peradilan Tata

Usaha Negara hanya mengatur persyaratan kuasa insendentil dapat diberikan kepada
orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Penggugat dan dikuatkan dengan

5

surat keterangan lurah dan camat, sehingga dalam praktek sering dimanfaatkan pengacara
tidak resmi atau tanpa izin praktek dengan cara mengaku-ngaku mempunyai hubungan
keluarga jauh dengan Penggugat atau intervenient walaupun dilengkapi dengan surat

keterangan Lurah dan Camat. oleh karena itu menurut penulis ketentuan tentang
hubungan keluarga tentang pemberian surat kuasa insendentil harus diberi batasan,
misalnya dengan mengacu pada ketentuan pasal 88 dan 89 Undang-undang no.5 tahun
1986 sebagaimana telah dirubah dan terakhir dengan Undang-undang no.51 tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga pengertian hubungan keluarga dalam
pemberian kuasa insendentil dibatasi menjadi :
1. Keluarga sedarah/semenda menurut garis keturunan lurus keatas atau kebawah sampai
derajat kedua.
2. Isteri atau suami.
3. Saudara kandung atau ipar.
Persoalan lain yang mungkin terjadi dalam praktek adalah surat keterangan
Lurah yang diketahui Camat,karena di Peradilan Tata Usaha Negara Tergugatnya adalah
selalu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sehingga ada kemungkinan yang menjadi
Tergugat adalah Lurah tempat Penggugat berada sehingga Lurah tersebut tidak bersedia
membuat surat keterangan tentang hubungan keluarga antara Penggugat dan penerima
kuasa insindentil yang akan dipakai sebagai dasar diterbitkannya izin kuasa insindentil
dari Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara,kalau terjadi hal yang demikian menurut
penulis Penggugat dapat langsung meminta surat keterangan dari Camat yang
bersangkutan dengan membawa surat keterangan Ketua RT tempat Penggugat berada
atau kalau tidak bersedia juga maka dapat dipedomani Surat Edaran Mahkamah Agung
no.10 tahun 2010 tentang pedoman pemberian bantuan hukum pasal 11 huruf c yaitu
surat pernyataan hubungan keluarga dengan penerima kuasa yang dibuat dan
ditandatangani oleh Penggugat kemudian diketahui oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara akan tetapi tetap dengan rekomendasi dari Ketua RT tempat Penggugat berada.

3. Jaksa sebagai Pengacara Negara
Pasal 30 ayat (2) Undang Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dan
pasal 24 Keputusan Presiden no.55 tahun 1991 menentukan bahwa jaksa pengacara
Negara dapat bertindak sebagai kuasa hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara hanya dalam rangka menyelamatkan kekayaan Negara dan menegakkan
kewibawaan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka badan / pejabat TUN meskipun pada
instansinya terdapat jabatan Biro Hukum yang dapat mewakilinya di dalam dan di luar

6

pengadilan dapat juga memberi kuasa kepada Jaksa selaku pengacara negara untuk
membela kepentingannya di dalam pengadilan.
Tugas pokok tersebut tentu tidak hanya terbatas pada penyelamatan aset-aset
negara saja tapi meliputi semua kepentingan badan / pejabat TUN termasuk
mempertahankan produk hukum yang telah ditetapkan melalui kebijaksanaan Badan /
pejabat TUN meskipun objeknya adalah aset orang perorangan.
Surat kuasa khusus yang diberikan kepada Jaksa sebagai pengacara negara
harus pula memenuhi ketentuan surat kuasa yang ditentukan dalam pasal 57 Undang
Undang No.5 Tahun 1986, SEMA RI dan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang Undang
No. 13 1985 tentang Bea Materai.Pemberian kuasanya biasanya diberikan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara langsung kepada Kepala Kejaksaan Negeri/Kepala
Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung dengan hak substitusi kemudian Kepala Kejaksaan
Negeri/Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa Agung memberikan kuasa kepada Jaksa/Jaksa
Tinggi/Jaksa Agung,selanjutnya jaksa-jaksa itulah yang biasanya mewakili Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara di persidangan.
4. Kedudukan Penerima Kuasa Selain Advokat Setelah berlakunva UU No. 18 Tahun
2003 tentang advokat
Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat
menyatakan bahwa advokat, penasehat hukum, pengacara praktek dan konsultan hukum
yang telah diangkat pada saat Undang Undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai
advokat sebagaimana diatur oleh Undang Undang ini.
Selanjutnya pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa advokat adalah orang yang
berprofesi memberi jasa hukum baik didalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang Undang ini.
Kemudian pasal 31 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
menjalankan propesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi bukan
advokat sebagaimana diatur dalam Undang Undang ini, dipidana dengan penjara paling
lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,Dengan beberapa ketentuan tersebut dalam praktek sering advokat
beranggapan bahwa pemberian jasa hukum seperti melakukan perwakilan di
persidangan merupakan tugas dan advokat dan cenderung tidak mengakui lagi adanya
pemberian jasa hukum seperti kepala / staf biro hukum, orang karena hubungan
keluarga dan lain-lain.
Menurut penulis oleh karena sumber pemberian kuasa adalah berdasarkan
perjanjian / perikatan (Ps 1792 BW) maka ada kebebasan bagi pemberi kuasa untuk
memberikan kuasanya sepanjang diperbolehkan oleh Undang-Undang dan oleh karena

7

pemberian kuasa kepada kepala / staf biro hukum, jaksa, dan kuasa lnsindentil bagi
orang yang berhubungan keluarga diatur oleh ketentuan tersendiri yang sampai saat ini
belum dihapus oleh ketentuan manapun, maka tidak ada alasan untuk menolak
pemberian kuasa kepada mereka,apalagi ketentuan pasal 31 Undang Undang no.18
tahun 2003 tentang advokat tersebut sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum

yang

mengikat

oleh

Putusan

Mahkamah

Konstitusi

no.006/PUU-

11/2004,tanggal 8 desember 2004.
Masalah yang cukup penting sebenarnya bagi advokat yang pada saat undangundang ini diberlakukan telah diangkat oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI harus
dianggap syah sebelum organisasi advokat yang dimaksud Undang Undang tersebut
belum dapat menjalankan fungsinya sebagaimana diatur oleh ketentuan pasal 2 tentang
pengangkatan advokat.
4. Kedudukan Seseorang Yang Telah Lulus Ujian Advokat Tetapi Belum
Bersumpah di Hadapan Ketua Pengadilan Tinggi
Advokat menurut ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-undang no.18 tahun 2003
tentang advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,baik di dalam
maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-undang advokat.
Selanjutnya menurut ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang advokat tersebut
ditegaskan bahwa pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat setelah
memenuhi persyaratan a.warganegara Indonesia,b….. dan seterusnya sampai dengan
huruf i kemudian dalam pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa sebelum menjalankan
profesinya,advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya.oleh karena itu persyaratan seorang advokat untuk dapat berpraktek
memberikan jasa hukum didalam dan diluar Pengadilan adalah diangkat oleh
organisasi advokat dan telah bersumpah atau berjanji di sidang Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya.
Dalam praktek di persidangan kadang-kadang ditemukan ada pemberian kuasa
kepada seorang yang telah diangkat sebagai advokat oleh organisasi advokat tetapi
belum mengucapkan sumpah di Pengadilan Tinggi dan ada pula pemberian kuasa
kepada beberapa orang dimana sebagian telah diangkat sebagai advokat dan telah
disumpah di Pengadilan Tinggi dan sebagian lagi sudah diangkat sebagai advokat

8

tetapi belum melaksanakan sumpah di Pengadilan Tinggi.Hal ini dilakukan dengan
alasan untuk memenuhi persyaratan magang sebelum seseorang advokat diusulkan
untuk melaksanakan pengucapan sumpah di Pengadilan Tinggi.
Dengan berpedoman pada ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-undang advokat
yang menyebutkan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah
menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh disidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya dan pasal 30 ayat (1) Undangundang tersebut yang menyatakan bahwa advokat yang dapat menjalankan pekerjaan
profesi advokat adalah yang diangkat sesuai dengan ketentuan Undang-undang
advokat,maka sudah seharusnya pemberian kuasa kepada seorang advokat yang sudah
diangkat oleh organisasi advokat tapi belum melaksanakan sumpah di Pengadilan
Tinggi ditolak karena tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Undangundang advokat, sedangkan terhadap advokat yang tetap tidak mau ditolak
keikutsertaannya sebagai penerima kuasa dengan alasan pemberian kuasa diberikan
baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dan dalam surat kuasa ada penerima
kuasa lain yang telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang
advokat walaupun sudah diberi penjelasan maka kepada penerima kuasa yang belum
melaksanakan sumpah di Pengadilan Tinggi tersebut sebaiknya tidak diberikan hak
seperti seorang advokat yang syah seperti hak berbicara dipersidangan, hak
menandatangani berkas persidangan dan lain-lain kecuali hanya duduk saja
mendampingi penerima kuasa lain yang telah memenuhi syarat Undang-undang
advokat.

5. Sikap Pengadilan Tata Usaha Negara Terhadap Persoalan Perseteruan Beberapa
Organisasi Advokat
Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat yang diundangkan pada
tanggal 5 april 2003 telah memberikan dasar terbentuknya wadah tuggal organisasi
advokat.Menurut ketentuan pasal 28 ayat (1) Undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas
dan mandiri yang dibentuksesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dengan maksud
dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat,kemudian dalam ketentuan

9

Pasal 30 ayat (2) Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa setiap advokat yang
diangkat berdasarkan Undang-undang ini wajib menjadi anggota organisasi
advokat,selanjutnya dalam ketentuan pasal 32 ayat (4) Undang-undang tersebut
dinyatakan pula bahwa dalam waktu paling lambat dua tahun setelah berlakunya
Undang-undang ini,organisasi advokat telah terbentuk.
Sekarang setelah delapan tahun lebih berlakunya Undang-undang advokat belum
juga terwujud adanya wadah tunggal organisasi advokat sebagaimana dimaksud
Undang-undang advokat tersebut,beberapa organisasi advokat yang ada seperti
PERADI,KAI,PERADIN sama-sama menyatakan diri sebagai organisasi advokat yang
syah.
Berkaitan dengan persoalan tersebut pada tanggal 01 Mei 2009 Mahkamah Agung
melalui surat Ketua Mahkamah Agung no.052/KMA/V/2009 memerintahkan Ketua
Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah
advokat baru yang dimintakan penyumpahannya kepada Pengadilan Tinggi selama
penyelesaian masalah pembentukan organisasi advokat sebagai wadah tunggal para
advokat Indonesia belum diselesaikan oleh para advokat karena akan melanggar pasal
28 Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat,sehingga sejak tanggal 01 Mei
2009 banyak advokat baru yang tidak dapat beracara di sidang Pengadilan karena selalu
ditolak dengan alasan belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah
domisili hukumnya.
Sebagai jalan pemecahan persoalan tersebut kemudian para advokat mengajukan
uji materiil terhadap ketentuan psal 4 ayat (1) Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang
advokat kepada Mahkamah Konstitusi dan pada sidang pleno tanggal 30 Desember
2009 telah diucapkan putusan Mahkamah Konstitusi no.101/PUU-VII/2009 yang
intinya menyatakan bahwa “adalah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat jika
Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-undang wajib mengambil sumpah bagi para
advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan
oeganisasi advokat yang pada saat diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi secara de
facto ada,dalam waktu dua tahun sejak amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
diucapkan”.
Kemudian sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut organisasi
advokat PERADI dengan KAI pada tanggal 24 juni 2010 telah melakukan kesepakatan
dihadapan Ketua Mahkamah Agung R.I yang pada intinya menyepakati bahwa satu-

10

satunya wadah organisasi advokat adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
dan pada tanggal 25 Juni 2010 Mahkamah Agung melalui surat Ketua Mahkamah
Agung RI no.089/KMA/VI/2010 menyatakan mencabut Surat Ketua Mahkamah Agung
no.052/KMA/V/2009 tanggal 01 Mei 2009 dan menganjurkan Ketua Pengadilan Tinggi
seluruh Indonesia untuk menerima usulan penyumpahan advokat baru hanya dari
PERADI.
Selanjutnya sejak diterbitkannya surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
tanggal 25 Juni 2010 tersebut Mahkamah Agung selalu mendapat hujatan dari
organisasi advokat baik KAI maupun PERADIN karena merasa bahwa Surat Keputusan
tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 30 Desember 2009
yang menyatakan sampai kurun waktu dua tahun sejak tanggal 30 Desember 2009
(yaitu sampai dengan tanggal 29 Desember 2011) Pengadilan Tinggi wajib mengambil
sumpah atau janji advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan
keanggotaan organisasi yang pada saat ini secara de fakto ada (antara lain PERADI,
KAI dan PERADIN).
Untuk menghindari polemik yang berkepanjangan hakim-hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara Palembang tempat penulis bekerja pada tanggal 19 oktober 2010 telah
melakukan diskusi yang dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan TUN Palembang
guna mencari alternatif penyelesaian sementara sebelum perselisihan organisasi advokat
diselesaikan dan kesimpulannya dimuat dalam artikel website PTUN Palembang yang
pada intinya menyatakan bahwa advokat yang dapat beracara di Pengadilan TUN
adalah :
1. Advokat yang sudah disumpah disidang terbuka Pengadilan Tinggi yang
berwenang tanpa melihat dari organisasi advokat mana yang bersangkutan
berasal.
2. Advokat yang belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang
berwenang tetapi dapat membuktikan melalui surat yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan sudah diusulkan penyumpahannya oleh organisasi advokat
tetapi ditolak penyumpahannya oleh Pengadilan Tinggi.
3. Advokat yang belum disumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang
berwenang tetapi dapat membuktikan melalui surat yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan sudah diusulkan penyumpahannya oleh organisasi advokat

11

tetapi sampai tenggang waktu empat bulan sejak surat usulan tersebut
disampaikan belum ada jawaban atau kepastian mengenai penyumpahannya
dari Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Sekarang

dengan

adanya

surat

Ketua

Mahkamah

Agung

No.052/KMA/HK.01/III/2011,tanggal 25 Maret 2011 sudah secara jelas dinyatakan
bahwa advokat yang dapat beracara di Pengadilan adalah advokat yang telah
mengangkat sumpah dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi baik sebelum adanya Undangundang advokat maupun sesudah Undang-undang advokat berlaku dengan tidak melihat
dari organisasi mana mereka berasal dan Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia juga tidak
perlu ragu lagi menerima usulan pengangkatan sumpah advokat dengan tidak melihat
dari organisasi mana mereka berasal,akan tetapi sesuai dengan amat Undang-undang
advokat dan Putusan Mahkamah Kostitusi tersebut diatas menurut penulis sebaiknya
organisasi-organisasi advokat yang ada harus duduk bersama dan selanjutnya
membentuk wadah tunggal organisasi advokat guna menghindari persoalan yang
mungkin timbul dikemudian hari.

D. PENUTUP
Perbedaan pendapat mengenai persoalan surat kuasa

dalam praktek memang

masih cukup sering terjadi, akan tetapi melalui temu ilmiah dan perbaikan dalam
pengaturannya adalah salah satu jalan untuk meniadakan perbedaan tersebut dan sedikit
demi sedikit mencari persamaan sehingga menemukan pedoman yang terkodifikasi
untuk dipraktekkan secara seragam.
Penemuan pendapat yang sama akan sangat berarti apabila dapat dituangkan dalam
bentuk peraturan sehingga dapat dijadikan dasar hukum bagi Hakim maupun pihakpihak yang terkait dalam menjalankan profesinya.
Berlakunya Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat telah menegaskan
bahwa advokat yang dapat menjalankan profesinya adalah advokat yang memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang advokat dan telah mengucapkan
sumpah dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya sehingga proceur
atau pengacara pokrol bambu tidak dapat lagi diterima untuk beracara di Pengadilan.
Pemberian kuasa kepada Kepala/Staf biro hukum,Jaksa selaku pengacara Negara
dan kuasa insindentil di Peradilan Tata Usaha Negara harus tetap diterima sepanjang
peraturan yang mengaturnya belum dihapus mengingat dasar pemberian kuasa adalah
perjanjian/perikatan sehingga orang bebas untuk memberikan kuasanya kepada yang
diinginkannya sepanjang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.

12

Khusus pemberian kuasa insindentil kepada yang masih ada hubungan keluarga
sebaiknya diatur secara rinci mengenai batasan hubungan keluarga serta tata cara
pemberian izin oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar tidak digunakan oleh pihakpihak yang mempunyai tujuan lain dari maksud pemberian kuasa.
Persoalan adanya perseteruan organisasi advokat yang sama-sama merasa sebagai
organisasi advokat yang syah menurut Undang-undang advokat sebaiknya segera
diselesaikan oleh organisasi advokat agar terbentuk wadah tunggal organisasi advokat
sebagaimana dimaksud Undang-undang advokat.

BAHAN BACAAN :
1. Ujang Abdullah, SH.Msi, Surat Kuasa dan Kedudukan Penggugat, Makalah
disampaikan pada hari HUT PERATUN KE XIII di PT.TUN MEDAN,tahun 2004.
2. Website PTUN Palembang, Artikel Keabsahan advokat beracara disidang
Pengadilan,tanggal 19 Oktober 2010.
3. UU no. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan UU no.51 tahun 2009.
4. UU no. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5. UU no. 18 tahun 2003 tentang Advokat.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI no.2 tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Beberapa Ketentuan Dalam UU no.5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
7. Surat Edaran Mahkamah Agung RI no.6 tahun 1994 tentang Kuasa khusus.
8. Mahkamah Agung RI, buku II tentang Pedoman Tehnis Administrasi dan Tehnis
Peradilan Tata Usaha Negara, edisi tahun 2007, tahun 2008.

13