POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PE
POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN
HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH
(Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa
Pasca Sarjana Fakultas Hukum UMI Makassar)
A.
Latar Belakang Pemikiran
Judul atau thema ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
korupsi di Indonesia telah merupakan hal yang menarik perhatian
semua
pihak
pemerintah,
dan
melibatkan
birokrat,
hampir
legislator,
semua
tokoh
elemen,
masyarakat,
baik
tokoh
agamawan, LSM termasuk cendikiawan kampus. Oleh karena itu
pula
penanggulangan
dan
penegakan
hukumnya
harus
pula
dihadapi dengan melibatkan seluruh elemen bangsa dan tidak
terbatas pada para aparat penegak hukum saja. Sekalipun korupsi
bukan merupakan hal yang baru dan berbagai kebijakan serta
langkah-langkah antisipasi telah dilakukan oleh pemerintah dengan
berbagai
regulasi
peraturan
perundang-undangan
serta
restrukturisasi dan pembentukan lembaga-lembaga baru dalam
menopang political will, namun karena korupsi merupakan tindak
pidana yang multi dimensi dan berdampak sangat merugikan
tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sampai
sekarang belum optimal dan efektif dalam tataran implementasi
berdasarkan berbagai data dan informasi aktual, bahkan telah
memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia, suatu
hal yang sangat memprihatinkan kita semua.
Karakteristik
korupsi
yang
multi
dimensi
dan
sangat
destruktif tersebut telah menimbulkan pendapat dan penafsiran
yang berbeda-beda, baik di kalangan para praktisi hukum maupun
para teoritisi hukum tentang batasan korupsi, sekalipun hal
tersebut sudah dirumuskan dengan konkrit dan tersurat dalam
undang-undang tindak pidana korupsi dan lebih diperparah lagi
apabila
kasus
korupsi
sudah
diintervensi
dengan
berbagai
kepentingan di luar kepentingan hukum dengan berbagai dalil dan
argumentasi
sehingga
tidak
mudah
mengungkap
lebih-lebih
menuntaskan kasus korupsi, sebagaimana yang diharapkan oleh
masyarakat dan para pemerhati keadilan di negeri ini.
Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dalam
kenyataan tampak tersendat-sendat dan bahkan sering terjadi
stagnasi, sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap aparat
penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya.
Pendekatan legalistik yang berorientasi repressif hanya merupakan
pengobatan simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang
ampuh
untuk
memberantas
korupsi,
sehingga
diperlukan
pendekatan dan kebijakan komprehensif baik keilmuan hukum
maupun pendekatan di luar keilmuan hukum seperti pendekatan
sosiologi,
kultural,
penyelenggaraan
keagamaan,
negara.
ekonomi,
Dengan
manajemen
pendekatan
yang
dalam
bersifat
komprehensif diharapkan ditemukan solusi dalam pencegahan dan
penegakan hukum tindak pidana korupsi yang lebih optimal dan
efektif.
Pandangan tentang perbedaan yang besar antara teori dan
praktik
mengandung
kebenaran
namun
bersifat
relatif
dan
terkadang bersifat subyektif, namun demikian adanya pandangan
tersebut tidak berarti bahwa perbedaan tidak dapat diatasi atau
didekatkan karena pengalaman yang benar sering memerlukan
juga
perubahan-perubahan
dibangun
sebelumnya.
mempertimbangkan
terhadap
Bersikukuh
pengalaman
teori-teori
kepada
yang
benar
yang
telah
teori
juga
tanpa
bukanlah
merupakan suatu pendirian atau langkah bijaksana. Dalam konteks
tersebut
di
atas,
pengalaman
praktik
hukum
di
dalam
menanggulangi korupsi sering dihadapkan kepada kendala, baik
kendala hukum materil maupun hukum formil, kendala birokrasi,
maupun kendala sosial dan psikologis. Teori-teori hukum pidana
yang telah dikembangkan selama ini sering kurang mendukung
langkah-langkah
konkrit
penanggulangan
korupsi
oleh
aparat
penegak hukum, bahkan teori pembuktian dalam hukum pidana
sering kurang relevan lagi dengan perkembangan modus operandi
dan kualitas korupsi.
B.
Politik Hukum Pidana Dalam Penegakan Tindak
Pidana Korupsi
Politik hukum pidana adalah merupakan bagian dari politik
hukum pada umumnya. Menurut Sudarto (Hamdan, 1997: 19)
politik hukum pidana pengertiannya dapat dilihat dari politik hukum
pada umumnya, yang meliputi: (1) kebijakan dari negara melalui
badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan
untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
untuk
mencapai
apa
yang
dicita-citakan,
(2)
usaha
untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu.
Sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum
pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat
dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemulihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna (Sudarto,
1986: 153).
Menurut Marc Ancel (Arief, 1992: 1) politik hukum pidana
(penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman,
tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Mulder (Hamdan, 1999: 20) berpendapat bahwa politik
hukum pidana (strafrechts politiek) ialah garis kebijakan untuk
memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang
berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat
diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara
bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana dilaksanakan (Arief, 1992: 7).
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum
pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari
tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan demikian kebijakan atau
politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal,
atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan
pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana.
Politik kriminal menurut Sudarto (1986: 113-114) diartikan
dalam 3 (tiga) pengertian yaitu: (1) dalam pengertian yang sempit,
dimana politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran
hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti yang lebih luas, dimana
politik
kriminal
merupakan
keseluruhan
fungsi
dari
aparatur
penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan
pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas, dimana politik kriminal
merupakan
keseluruhan
kebijakan
yang
dilakukan
melalui
peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang
bertujuan
untuk
menegakkan
norma-norma
sentral
dari
masyarakat.
Dalam pengertian yang praktis, politik hukum pidana (politik
kriminal) adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan, usaha tersebut meliputi aktivitas dari
pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
aparat yang terkait dengan eksekuesi pemidanaan. Aktivitas dari
badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu
sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Politik hukum pidana (politik kriminal) tidak hanya berdiri
sendiri tetapi mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa
mencakup, baik oleh hukum pidana, hukum perdata maupun
hukum administrasi negara. Usaha penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian
dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum
pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum
pidana atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), hal ini
tentunya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana terpadu
(criminal justice system) yang terdiri dari sub sistem kepolisian,
kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan.
Usaha
penanggulangan
kejahatan
melalui
pembuatan
undang-undang (hukum pidana) juga merupakan bagian integral
dari usaha perlindungan masyarakat (social defence), oleh karena
itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan
bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha
yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus
mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian secara
singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir (tujuan utama) dari
politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Bertolak dari konsep pemikiran dan kebijakan yang bersifat
integral, ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana,
yaitu: (1) perlu ada pendekatan integral antara kebijaksanaan penal
dan non penal, (2) perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai
dalam penggunaan sanksi khususnya sanksi pidana (Arief, 1994:
35).
Mencermati
fakta
aktual
yang
terjadi
dalam
upaya
pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang
terjadi dalam berbagai departemen dan instansi maupun lembaga
negara baik kasus-kasus nasional maupun di daerah-daerah dengan
berbagai modus operandi belum menunjukkan hasil yang optimal,
bahkan terkesan masih terjadi diskriminatif perlakuan aparat
penegak
hukum
mulai
dari
proses
penyidikan,
penahanan,
penuntutan sampai dengan lahirnya putusan pengadilan yang
sangat kontroversial, yang kesemuanya menambah daftar kelabu
dan kekecewaan masyarakat dan semakin kaburnya cita-cita
penegakan hukum yang berkeadilan serta bermartabat.
Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 3
Tahun 1971 yang kemudian dicabut dan disempurnakan dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian
dengan
Undang-Undang
disempurnakan
lagi
Nomor
bukan
20
merupakan
Tahun
2001
jaminan
lebih
optimalnya
penegakan hukum tindak pidana korupsi, sekalipun harus diakui
bahwa secara normatif substansi undang-undang tersebut telah
banyak
mengalami
kemajuan
dengan
berbagai
karakteristik
sebagai tindak pidana khusus yang tidak diatur dalam KUH Pidana.
Lahirnya
Komisi
Pemberantasan
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
Korupsi
2002
berdasarkan
dengan
berbagai
kewenangan yang sangat luas serta terbentuknya Tastipikor juga
belum
banyak
bisa
berbuat
sekalipun
harus
diakui
bahwa
munculnya kasus Abdullah Puteh dan terbongkarnya kasus KPU
serta kasus pengelolaan Dana Haji yang melibatkan orang-orang
yang selama ini tidak diragukan integritasnya dan merupakan putra
terbaik bangsa ini adalah merupakan gebrakan yang dilakukan oleh
kedua lembaga tersebut, akan tetapi jumlah kasus korupsi yang
terjadi dibandingkan dengan yang diselesaikan masih sangat jauh
dari harapan penegakan hukum tindak pidana korupsi, apalagi
dengan
keterbatasan
lembaga tersebut.
sumberdaya
yang
dimiliki
oleh
kedua
Dengan tidak bermaksud menutup mata serta mengurangi
penghargaan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat
penegak hukum dalam upaya pemberantasan dan penegakan
hukum korupsi yang terjadi di negeri ini, maka sudah waktunya
untuk melakukan evaluasi baik terhadap produk
perundang-
undangan maupun terhadap fungsi dan peranan lembaga-lembaga
termasuk aparat penegak hukum dengan melalui pendekatan
politik hukum pidana secara komprehensif baik yang berorientasi
pada pendekatan penal (sanksi) maupun yang berorientasi pada
pendekatan non penal yang lebih mengedepankan pendekatan
preventif yang selama ini belum tersentuh dan lebih banyak
berorientasi pada pendekatan repressif melalui perpaduan sanksi
pidana dengan sanksi denda.
C.
Penutup
Apa yang tertuang dalam makalah ini adalah sesuatu yang
bersifat idealis yang didasarkan atas analisis pemikiran dan
pengamatan empiris melalui perkembangan yang terjadi. Dengan
keterbatasan waktu penulis menyadari pembahasannya tidak akan
mungkin tuntas, akan tetapi setidak-tidaknya bisa menjadi bahan
diskusi yang menarik untuk lebih dikembangkan dalam forum yang
lain.
Wallahu Waliyyut Taufiq Walhidayah
RUJUKAN PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 1992. Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana.
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
______, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Penerbit PT
Citra Aditya Bakti, Bandung.
______,
1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
______,
2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-teori dan Kebijakan
Pidana. Penerbit Alumni, Bandung.
M. Hamdan, 1999. Politik Hukum Pidana. Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 1999. Prospek Penanggulangan Korupsi di
Indonesia Memasuki Abad XXI, Suatu Reorientasi Atas
Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia. Pidato
pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu
Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Sudarto, 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Penerbit Alumni,
Bandung.
______, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian
Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar
Baru, Bandung.
______, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Penerbit Alumni,
Bandung.
HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH
(Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa
Pasca Sarjana Fakultas Hukum UMI Makassar)
A.
Latar Belakang Pemikiran
Judul atau thema ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
korupsi di Indonesia telah merupakan hal yang menarik perhatian
semua
pihak
pemerintah,
dan
melibatkan
birokrat,
hampir
legislator,
semua
tokoh
elemen,
masyarakat,
baik
tokoh
agamawan, LSM termasuk cendikiawan kampus. Oleh karena itu
pula
penanggulangan
dan
penegakan
hukumnya
harus
pula
dihadapi dengan melibatkan seluruh elemen bangsa dan tidak
terbatas pada para aparat penegak hukum saja. Sekalipun korupsi
bukan merupakan hal yang baru dan berbagai kebijakan serta
langkah-langkah antisipasi telah dilakukan oleh pemerintah dengan
berbagai
regulasi
peraturan
perundang-undangan
serta
restrukturisasi dan pembentukan lembaga-lembaga baru dalam
menopang political will, namun karena korupsi merupakan tindak
pidana yang multi dimensi dan berdampak sangat merugikan
tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sampai
sekarang belum optimal dan efektif dalam tataran implementasi
berdasarkan berbagai data dan informasi aktual, bahkan telah
memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia, suatu
hal yang sangat memprihatinkan kita semua.
Karakteristik
korupsi
yang
multi
dimensi
dan
sangat
destruktif tersebut telah menimbulkan pendapat dan penafsiran
yang berbeda-beda, baik di kalangan para praktisi hukum maupun
para teoritisi hukum tentang batasan korupsi, sekalipun hal
tersebut sudah dirumuskan dengan konkrit dan tersurat dalam
undang-undang tindak pidana korupsi dan lebih diperparah lagi
apabila
kasus
korupsi
sudah
diintervensi
dengan
berbagai
kepentingan di luar kepentingan hukum dengan berbagai dalil dan
argumentasi
sehingga
tidak
mudah
mengungkap
lebih-lebih
menuntaskan kasus korupsi, sebagaimana yang diharapkan oleh
masyarakat dan para pemerhati keadilan di negeri ini.
Penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dalam
kenyataan tampak tersendat-sendat dan bahkan sering terjadi
stagnasi, sehingga menimbulkan citra yang negatif terhadap aparat
penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya.
Pendekatan legalistik yang berorientasi repressif hanya merupakan
pengobatan simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang
ampuh
untuk
memberantas
korupsi,
sehingga
diperlukan
pendekatan dan kebijakan komprehensif baik keilmuan hukum
maupun pendekatan di luar keilmuan hukum seperti pendekatan
sosiologi,
kultural,
penyelenggaraan
keagamaan,
negara.
ekonomi,
Dengan
manajemen
pendekatan
yang
dalam
bersifat
komprehensif diharapkan ditemukan solusi dalam pencegahan dan
penegakan hukum tindak pidana korupsi yang lebih optimal dan
efektif.
Pandangan tentang perbedaan yang besar antara teori dan
praktik
mengandung
kebenaran
namun
bersifat
relatif
dan
terkadang bersifat subyektif, namun demikian adanya pandangan
tersebut tidak berarti bahwa perbedaan tidak dapat diatasi atau
didekatkan karena pengalaman yang benar sering memerlukan
juga
perubahan-perubahan
dibangun
sebelumnya.
mempertimbangkan
terhadap
Bersikukuh
pengalaman
teori-teori
kepada
yang
benar
yang
telah
teori
juga
tanpa
bukanlah
merupakan suatu pendirian atau langkah bijaksana. Dalam konteks
tersebut
di
atas,
pengalaman
praktik
hukum
di
dalam
menanggulangi korupsi sering dihadapkan kepada kendala, baik
kendala hukum materil maupun hukum formil, kendala birokrasi,
maupun kendala sosial dan psikologis. Teori-teori hukum pidana
yang telah dikembangkan selama ini sering kurang mendukung
langkah-langkah
konkrit
penanggulangan
korupsi
oleh
aparat
penegak hukum, bahkan teori pembuktian dalam hukum pidana
sering kurang relevan lagi dengan perkembangan modus operandi
dan kualitas korupsi.
B.
Politik Hukum Pidana Dalam Penegakan Tindak
Pidana Korupsi
Politik hukum pidana adalah merupakan bagian dari politik
hukum pada umumnya. Menurut Sudarto (Hamdan, 1997: 19)
politik hukum pidana pengertiannya dapat dilihat dari politik hukum
pada umumnya, yang meliputi: (1) kebijakan dari negara melalui
badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan
untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
untuk
mencapai
apa
yang
dicita-citakan,
(2)
usaha
untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu.
Sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum
pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat
dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemulihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna (Sudarto,
1986: 153).
Menurut Marc Ancel (Arief, 1992: 1) politik hukum pidana
(penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman,
tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Mulder (Hamdan, 1999: 20) berpendapat bahwa politik
hukum pidana (strafrechts politiek) ialah garis kebijakan untuk
memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang
berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat
diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara
bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana dilaksanakan (Arief, 1992: 7).
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum
pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari
tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan demikian kebijakan atau
politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal,
atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan
pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana.
Politik kriminal menurut Sudarto (1986: 113-114) diartikan
dalam 3 (tiga) pengertian yaitu: (1) dalam pengertian yang sempit,
dimana politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran
hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti yang lebih luas, dimana
politik
kriminal
merupakan
keseluruhan
fungsi
dari
aparatur
penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan
pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas, dimana politik kriminal
merupakan
keseluruhan
kebijakan
yang
dilakukan
melalui
peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang
bertujuan
untuk
menegakkan
norma-norma
sentral
dari
masyarakat.
Dalam pengertian yang praktis, politik hukum pidana (politik
kriminal) adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan, usaha tersebut meliputi aktivitas dari
pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
aparat yang terkait dengan eksekuesi pemidanaan. Aktivitas dari
badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu
sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Politik hukum pidana (politik kriminal) tidak hanya berdiri
sendiri tetapi mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa
mencakup, baik oleh hukum pidana, hukum perdata maupun
hukum administrasi negara. Usaha penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian
dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum
pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum
pidana atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), hal ini
tentunya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana terpadu
(criminal justice system) yang terdiri dari sub sistem kepolisian,
kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan.
Usaha
penanggulangan
kejahatan
melalui
pembuatan
undang-undang (hukum pidana) juga merupakan bagian integral
dari usaha perlindungan masyarakat (social defence), oleh karena
itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan
bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha
yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus
mencakup perlindungan masyarakat. Dengan demikian secara
singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir (tujuan utama) dari
politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Bertolak dari konsep pemikiran dan kebijakan yang bersifat
integral, ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana,
yaitu: (1) perlu ada pendekatan integral antara kebijaksanaan penal
dan non penal, (2) perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai
dalam penggunaan sanksi khususnya sanksi pidana (Arief, 1994:
35).
Mencermati
fakta
aktual
yang
terjadi
dalam
upaya
pemberantasan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang
terjadi dalam berbagai departemen dan instansi maupun lembaga
negara baik kasus-kasus nasional maupun di daerah-daerah dengan
berbagai modus operandi belum menunjukkan hasil yang optimal,
bahkan terkesan masih terjadi diskriminatif perlakuan aparat
penegak
hukum
mulai
dari
proses
penyidikan,
penahanan,
penuntutan sampai dengan lahirnya putusan pengadilan yang
sangat kontroversial, yang kesemuanya menambah daftar kelabu
dan kekecewaan masyarakat dan semakin kaburnya cita-cita
penegakan hukum yang berkeadilan serta bermartabat.
Lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 3
Tahun 1971 yang kemudian dicabut dan disempurnakan dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian
dengan
Undang-Undang
disempurnakan
lagi
Nomor
bukan
20
merupakan
Tahun
2001
jaminan
lebih
optimalnya
penegakan hukum tindak pidana korupsi, sekalipun harus diakui
bahwa secara normatif substansi undang-undang tersebut telah
banyak
mengalami
kemajuan
dengan
berbagai
karakteristik
sebagai tindak pidana khusus yang tidak diatur dalam KUH Pidana.
Lahirnya
Komisi
Pemberantasan
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
Korupsi
2002
berdasarkan
dengan
berbagai
kewenangan yang sangat luas serta terbentuknya Tastipikor juga
belum
banyak
bisa
berbuat
sekalipun
harus
diakui
bahwa
munculnya kasus Abdullah Puteh dan terbongkarnya kasus KPU
serta kasus pengelolaan Dana Haji yang melibatkan orang-orang
yang selama ini tidak diragukan integritasnya dan merupakan putra
terbaik bangsa ini adalah merupakan gebrakan yang dilakukan oleh
kedua lembaga tersebut, akan tetapi jumlah kasus korupsi yang
terjadi dibandingkan dengan yang diselesaikan masih sangat jauh
dari harapan penegakan hukum tindak pidana korupsi, apalagi
dengan
keterbatasan
lembaga tersebut.
sumberdaya
yang
dimiliki
oleh
kedua
Dengan tidak bermaksud menutup mata serta mengurangi
penghargaan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan aparat
penegak hukum dalam upaya pemberantasan dan penegakan
hukum korupsi yang terjadi di negeri ini, maka sudah waktunya
untuk melakukan evaluasi baik terhadap produk
perundang-
undangan maupun terhadap fungsi dan peranan lembaga-lembaga
termasuk aparat penegak hukum dengan melalui pendekatan
politik hukum pidana secara komprehensif baik yang berorientasi
pada pendekatan penal (sanksi) maupun yang berorientasi pada
pendekatan non penal yang lebih mengedepankan pendekatan
preventif yang selama ini belum tersentuh dan lebih banyak
berorientasi pada pendekatan repressif melalui perpaduan sanksi
pidana dengan sanksi denda.
C.
Penutup
Apa yang tertuang dalam makalah ini adalah sesuatu yang
bersifat idealis yang didasarkan atas analisis pemikiran dan
pengamatan empiris melalui perkembangan yang terjadi. Dengan
keterbatasan waktu penulis menyadari pembahasannya tidak akan
mungkin tuntas, akan tetapi setidak-tidaknya bisa menjadi bahan
diskusi yang menarik untuk lebih dikembangkan dalam forum yang
lain.
Wallahu Waliyyut Taufiq Walhidayah
RUJUKAN PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 1992. Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana.
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
______, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Penerbit PT
Citra Aditya Bakti, Bandung.
______,
1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
______,
2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Teori-teori dan Kebijakan
Pidana. Penerbit Alumni, Bandung.
M. Hamdan, 1999. Politik Hukum Pidana. Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 1999. Prospek Penanggulangan Korupsi di
Indonesia Memasuki Abad XXI, Suatu Reorientasi Atas
Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia. Pidato
pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu
Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Sudarto, 1983. Hukum dan Hukum Pidana. Penerbit Alumni,
Bandung.
______, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian
Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar
Baru, Bandung.
______, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Penerbit Alumni,
Bandung.