RELASI EKONOMI LAUT SAWAH DAN PRODUKSI M
RELASI EKONOMI : LAUT, SAWAH, DAN PRODUKSI
Model Adaptasi Sosial-Budaya
Masyarakat Upang terhadap Perubahan Lingkungan1
Amilda2
Abtract: Environmental changes that occurred largely on the East Coast region
of South Sumatra, not only the ecological impact of the physical environment but
also the impact on the public area of the dwelling, as experienced by the Upang
peoples, when the delta Upang swamp forests turned into residential and
agricultural areas for transmigration. These changes are forcing people to
adapt to the limitations of Upang's going to be able to sustain their lives. This
research will discuss the form of adaptations made by the Upang peoples as the
impact of the loss of forest resources and their agricultural land. These results
indicated that the limited availability of land planted with rice that does not
mean they will leave this activity, rice farming remains the mainstay for their
subsistence, through intensive farming systems. On the other hand, they began to
innovate on their economic activities to become fishermen. Choice to be a
strategy to anticipated fishing season paddy fields which could not be planted.
Uncertainty to guarantee their subsistence from the sea, pushing the Upang
Peoples into the production sector to produce salted fish and prawn crackers for
sale by utilizing the fish and shrimp that did not sell at the market. Model
adaptation is inseparable from the principle of their lives 'mencari lokak' that
reflected their ability to exploit the limitations of the environment into economic
value to guarantee their subsistence.
Keyword: adaptation, ecologi, subsistent, inovation, culture
Pendahuluan
Kehidupan manusia sangat tergantung dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya,
semakin baik lingkungan tempat tinggalnya maka akan semakin baik pula kualitas hidup
individunya. Pada dasarnya, lingkungan akan selalu berubah, baik perubahan yang sifatnya
alami maupun akibat aktivitas manusia terhadap lingkungan tersebut. Perubahan tersebut
akan memaksa individu-individu yang ada didalamnya menyesuaikan diri atau beradaptasi.
Proses penyesuaian diri ini menjadi penting sebagai usaha mempertahankan kehidupannya.
Perubahan tersebut berdampak pada keterbatasan manusia memperoleh sumber daya alam
dari lingkungannya. Berbagai variasi bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan ini
memunculkan berbagai varian budaya sebagai bentuk adaptasi budaya suatu masyarakat.
Makalah disampaikan pada Simposium Kebudayaan Indonesia Malaysia, Universitas Padjajaran, Jatinangor
Jawa Barat, 13-14 November 2013.
2
Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Sosiologi-Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjajaran Bandung.
1
Perubahan budaya merupakan bentuk adaptasi manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan lingkungan yang cepat dan massif
adalah dibukanya kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi (lihat Secrett, 1986).
Program nasional ini, sejak tahun 1905-2011, telah membuka lahan kawasan hutan di
Indonesia seluas 4.537.034 ha untuk dijadikan kawasan pemukiman bagi 2.268.517 KK atau
8,8 juta jiwa (Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi, 2012). Pembukaan kawasan
transmigrasi ini dilakukan pada kawasan hutan yang berfungsi sebagai wilayah pencarian
hasil hutan masyarakat lokal setempat, akibatnya mereka harus beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan ini.
Kehadiran program transmigrasi ini secara langsung maupun tidak langsung
memutuskan akses masyarakat lokal terhadap hutan mereka, terkait dengan hak kepemilikan
dan pemanfaatan hasil hutan tersebut. Kondisi ini memunculkan konflik kepemilikan dan hak
untuk mengakses lahan hutan (Abdulkadir-Sunito, 2004; Abdulkadir-Sunito & Sitorus, 2007)
serta terjadinya perebutan terhadap sumberdaya lahan dan hutan (Angelsen, 1995; CIFOR,
1997).
Berbagai kajian tentang transmigrasi dan dampaknya, lebih banyak menyoroti dari
aspek kerusakan yang ditimbulkan oleh program ini (Charras, 1999; Davis, 1988; Fearnside,
1997; Whitten, 1987; Secrett, 1986; Levang, 2003). Kesemua penelitian tersebut
menunjukkan bahwa transmigrasi menjadi penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia
dengan tujuan pemerataan penduduk dan mengurangi penduduk miskin di Jawa; serta
mempercepat pembangunan di luar Jawa dengan mengabaikan kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, maka tulisan ini akan fokus adaptasi budaya
yang dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai akibat dari perubahan lingkungan yang
terjadi. Bentuk adaptasi acapkali memaksa masyarakat mengganti fokus aktivitas kehidupan
mereka berdasarkan sumber daya alam lain yang masih tersisa, sebagai strategi dan kejelian
mensiasati kelangkaan sumber daya alam, dalam usaha mempertahankan hidupnya.
Perubahan lingkungan tersebut juga berdampak pada relasi ekonomi yang terjadi dalam
masyarakat sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Culture as an Adaptive Systems
Konsep adaptasi menjadi penting karena lingkungan bersifat dinamis, akan terus
mengalami perubahan dan memaksa organisme yang hidup didalamnya merespon segala
2
bentuk perubahan tersebut. Respon tersebut disebut adaptasi, yaitu strategi yang digunakan
oleh manusia untuk menghadapi perubahan lingkungan dan budaya (Sutton, 2010, Harris,
1968; Rappaport, 1971; Cohen, 1974). Proses adaptasi ini merupakan bentuk dari mekanisme
budaya (lihat juga Geertz, 1963; Cohen, 1974; Rambo, 1983). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kebudayaan sebagai sistem adaptasi manusia (White, 1975; Harris, 1968; Keesing,
1974).
Asumsi yang dibangun oleh pendekatan ekologi budaya ini adalah kebudayaan
sebagai sistem dari pola-pola perilaku sosial, yang menghubungkan komunitas manusia
dengan lingkungannya. Sistem dari perilaku sosial komunitas tersebut meliputi teknologi dan
model organisasi ekonomi, pola pemukiman, model kelompok sosial dan organisasi politik,
kepercayaan dan praktek-prakteknya, dan lain-lain. Menurut Harris (1968), konsep
kebudayaan berasal dari pola-pola perilaku yang diasosiasikan dengan kelompok dari
masyarakat tertentu, yang menjadi adat-istiadat atau cara hidup dari masyarakat tersebut.
Kebudayaan berubah melalui proses adaptasi dan seleksi alam. Karena kebudayaan sebagai
sistem adaptif maka perubahan kebudayaan akan selalu terjadi seiring dengan perubahan
ekosistem.
Bagian dari unsur kebudayaan yang paling adaptif dalam menerima perubahan adalah
teknologi, ekonomi subsistensi, dan elemen dari organisasi sosial. Bobot terpenting dalam
adaptasi manusia dengan lingkungan terletak pada teknologi (White, 1975; Steward, 1955;
Harris, 1979). Harris (1979) menempatkan kegiatan ekonomi dan hubungan sosial dalam
kegiatan ekonomi menjadi hal yang utama dan ia sebut dengan demo-techno-econenvironmental conditions, dimana semua aspek kebudayaan akan dipengaruhi oleh hubungan
antara teknologi dan lingkungan. Ia menempatkan teknologi dan tindakan-tindakan yang
dilakukan untuk mengembangkan atau membatasi produksi dalam usaha mempertahankan
subsistensi sebagai pondasi dasar yaitu infrastruktur. Perubahan pada infrastruktur akan
membawa perubahan pada struktur, meliputi organisasi sosial, perubahan pada struktur akan
berdampak pada superstruktur yaitu ritual dan ideologi (Harris, 1979).
Perubahan Kawasan Delta Upang
Delta Upang merupakan kawasan dataran rendah yang sangat dipengaruhi oleh
pasang-surut air Sungai Musi. Kondisi kawasan ini pada akhir tahun 1970-an merupakan
kawasan hutan mangrove yang sangat subur membentang disepanjang pesisir timur Sumatera
Selatan. Kawasan yang subur ini memberikan sumber daya ekonomi yang sangat besar bagi
3
masyarakat sekitarnya, terutama ketersediaan udang dan ikan melalui aktivitas bekarang 3.
Kawasan ini kaya dengan batang nibung dan nipah, kedua jenis tanaman yang menjadi bahan
baku utama masyarakat untuk membuat rumah. Batang nibung digunakan sebagai penyangga
rumah dan pemukiman mereka4. Daun-daun nipah sangat berguna untuk membuat atap nipah.
Selain memiliki sumber daya yang penting, kawasan ini juga merupakan hamparan
rawa pasang-surung yang subur untuk pertanian padi. Areal rawa yang luas memungkinkan
masyarakat melakukan penanaman padi secara berpindah untuk memberakan tanah agar
kembali subur. Hasil pertanian padi ini memberikan mereka jaminan subsistensi keluarga
sepanjang tahun.
Perubahan besar terhadap kawasan delta Upang terjadi pada akhir tahun 1970-an,
ketika kawasan ini dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman transmigrasi yang
membentang di sepanjang Pantai Timur Sumatera Selatan. Perubahan ini mendorong
terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat di delta Upang. Kawasan pencaharian
mereka menjadi berkurang. Pemukiman dan persawahan transmigrasi menggantikan
hamparan hutan nipah dan nibung mereka.
Mulai berkurangnya ketersediaan pohon nipah membuat perempuan Upang
kehilangan sumber penghasilan mereka dari membuat atap nipah karena batang-batang nipah
sangat sulit ditemukan, kalaupun ada, jaraknya sangat jauh dari pemukiman mereka. Bagi
perempuan Upang, kegiatan membuat atap nipah merupakan pekerjaan mereka ketika masa
bersawah belum tiba. Atap-atap nipah yang mereka hasilkan kemudian akan dibawa ke
Palembang oleh para pengepul di desa mereka. Dengan kegiatan ini, perempuan-perempuan
Upang memiliki kesempatan untuk menabung dan membeli kebutuhan mereka sendiri tanpa
harus meminta kepada suami atau orang tua mereka. Ketiadaan bahan baku membuat
kegiatan ini semakin ditinggalkan, hanya beberapa keluarga saja yang masih melakukannya,
melalui sistem borong, para pengepul yang menyediakan bahan baku, mereka hanya
menerima upah membuatkan, dengan konsekuensi penghasilan yang lebih rendah.
Selain kehilangan sumber daya yang dapat menjadi sumber penghasilan alternatif
bagi masyarakat Upang; mereka juga mengalami keterbatasan lahan yang dapat digunakan
untuk dijadikan lahan persawahan. Situasi ini memaksa mereka untuk mengintensifkan lahan
persawahan mereka dengan menggunakan teknologi seperti traktor dan pupuk. Perubahan
Bekarang adalah aktivitas mencari ikan di tepi sungai dengan menggunakan perahu kecil/sampan. Alat yang
digunakan berupa jaring. Kegiatan ini umumnya dilakukan pada siang hari.
4
Pemukiman penduduk Upang didirikan di atas permukaan sungai, dengan disanggah oleh kayu-kayu nibung.
Batang nibung diyakini masyarakat sebagai kayu yang sangat kuat terhadap kadar garam air laut sehingga
pondasi pemukiman mereka akan bertahan lama.
3
4
sistem pertanian ini menuntut ketersediaan modal yang lebih besar untuk membeli pupuk,
sewa traktor, dan bahan bakarnya. Penggunaan pupuk sangat dibutuhkan karena lahan
pasang-surut tersebut tidak cukup lama untuk diberakan akan menjadi lahan persawahan
tidak subur, sehingga memaksa petani menjadi sangat tergantung kepada pupuk jika ingin
mendapatkan hasil panen yang cukup.
Secara ekologis, hilangnya kawasan rawa sebagai wilayah penyimpan air membuat
desa-desa di delta Upang terancam abrasi akibat air pasang tidak lagi tertampung di rawarawa tersebut, namun langsung kembali ke sungai, sehingga air pasang menjadi lebih tinggi
dan sering, kemudian menggerus tebing-tebing di sepanjang sungai tempat dimana
pemukiman mereka dibangun. Abrasi tersebut memaksa masyarakat Upang memodifikasikan
pemukiman mereka dengan membangun pemukiman di atas sungai dengan disanggah oleh
batang-batang nibung. Pilihan memodifikasi ini diambil karena lahan daratan yang mereka
miliki terbatas, dan lebih diperuntukan bagi lahan persawahan yang memberikan jaminan
subsistensi bagi mereka. Namun keterbatasan hutan rawa membuat mereka kesulitan untuk
mendapatkan batang-batang nibung tersebut, kalaupun ada harganya menjadi sangat mahal.
Perubahan lingkungan yang terjadi memaksa masyarakat Upang melakukan adaptasi
terhadap sistem perekonomian mereka dengan lebih memfokuskan pada sistem pertanian
sawah dan meninggalkan kegiatan mencari hasil hutan. Situasi ini memaksa mereka
menggunakan teknoloagi pertanian intensifikasi yang padat modal serta menghilangkan
sistem bera lahan akibat keterbatasan ketersediaan lahan.
Adaptasi Sosial terhadap perubahan lingkungan
Keterbatasan ketersediaan lahan untuk persawahan serta sistem pertanian intensif
yang bersifat padat modal, serta hilangnya alternatif penghasilan keluarga dari membuat
nipah dan mencari ikan
bekarang
memaksa masyarakat Upang mencari sumber
penghidupan lain dalam rangka mempertahankan subsistensi mereka. Alternatif kegiatan
perkonomian yang mungkin dilakukan adalah mencari hasil laut sebagai nelayan.
Intensifikasi pertanian menghilangkan peran laki-laki dalam pembukaan dan pengolahan
lahan persawahan, karena pembukaan lahan persawahan tidak lagi dilakukan, sistem
pengolahan lahan telah menggunakan traktor, maka peran laki-laki dalam sistem pertanian
pun tergeser. Pilihan yang mungkin dilakukan adalah para laki-laki Upang harus mencari
alternatif perekonomian lain, yaitu menjadi nelayan.
Walaupun masyarakat Upang hidup di pesisir, namum kegiatan mencari ikan yang
mereka kenal hanyalah bekarang . Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh perempuan atau
5
laki-laki tua yang tidak kuat lagi untuk membuka lahan; sebagai pekerjaan sambilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak untuk di jual; dan hanya dilakukan di sungai-sungai
kecil sekitar pemukiman mereka. Masyarakat Upang tidak memiliki pengalaman dan
pengetahuan untuk mencari ikan di laut lepas. Menjadi nelayan juga membawa konsekuensi
mereka harus hidup di laut dan meninggalkan keluarga mereka untuk waktu yang lama.
Pengetahuan melaut mereka peroleh dari masyarakat Sungsang5 dimana mayoritas
penduduknya adalah nelayan dan perdagangan hasil laut lainnya. Pada awalnya mereka
belajar melaut dengan menjadi anak buah kapal orang Sungsang atau orang Bugis di
Sungsang. Pengetahuan menjadi nelayan, sekarang telah umum dimiliki oleh masyarakat
Upang, dan masyarakat Upang 75% menggantungkan kehidupan mereka dari kegiatan
mencari ikan dan mengolah hasil laut lainnya dan hanya 25% saja yang masih mengandalkan
perekonomian keluarganya dari pertanian, mereka ini adalah keluarga-keluarga yang
memiliki tanah daratan yang cukup luas.
Perubahan ini juga menuntut terjadinya perubahan pada relasi sosial masyarakat
Upang. Ketika mereka menjadi petani, relasi kekeluargaan menjadi modal yang penting
dalam mengolah lahan mereka, semua dilakukan dalam ikatan keluarga dan hasilnya pun
dinikmati oleh seluruh keluarga yang berkontribusi dalam kegiatan tersebut. Kehidupan
nelayan, relasi yang terbangun menjadi sangat terbuka dan bersifat ekonomi, mereka diikat
oleh kepentingan ekonomi, relasi yang terbangun adalah hubungan sesaat, selama masa
mencari ikan tersebut. Hasil yang diperoleh pun dibagi berdasarkan kesepakatan diantara
mereka. Kebutuhan subsistensi keluarga mereka di darat sangat tergantung kepada juragan
mereka, bila hasil laut yang mereka peroleh sedikit maka mereka pun harus berhutang kepada
juragan. Berbeda dengan kegiatan pertanian yang lebih memberikan kepastian terhadap
jaminan subsistensi keluarga, maka kehidupan sebagai nelayan menempatkan kehidupan
subsistensi mereka dalam ketidakpastian.
Relasi Ekonomi: Laut, Sawah, dan Produksi
Perubahan lingkungan yang terjadi mendorong masyarakat Upang melakukan inovasi
terhadap sistem perekonomian mereka untuk mempertahankan subsistensinya. Keterbatasan
sumber daya alam, seperti ketersediaan pohon nipah dan mangrove, memaksa mereka
mencari alternatif ekonomi yang lain yaitu mencari ikan di laut. Pilihan ini merupakan bentuk
adaptasi mereka terhadap lingkungan hidup mereka dengan melakukan komplementari dalam
Sungsang adalah sebuah kota kecil berada di Muara Sungai Musi berhadapan dengan Selat Bangka. Kota ini
merupakan pusat kegiatan perikanan di Sumatera Selatan. Kehidupan masyarakatnya sangat tergantung dari
kegiatan perikanan karena ketersediaan lahana daratan yang sangat terbatas. Keberadaan kota ini telah dikenal
sejak masa Kesultanan Palembang pada abad 18-19 sebagai pintu masuk ke Palembang.
5
6
memanfaatkan sumber ekonomi yang mereka miliki. Ketika musim angin barat, dimana
kondisi cuaca tidak baik untuk melaut, namun menjadi waktu yang tepat untuk bertanam
padi, maka kegiatan pertanian dilakukan oleh masyarakat Upang. Ketika musim kemarau
tiba, lahan-lahan pertanian menjadi kering, maka kegiatan melaut menjadi andalan mereka.
Tidak semua hasil tangkapan nelayan, laku dijual sehingga harus dibawa pulang atau
dijual murah untuk dijadikan ikan asin. Kegiatan memproduksi ikan asin merupakan pekerjan
perempuan Upang. Hasil produksi ikan asin tersebut kemudian dibeli oleh pedagang
pengepul dari Sungsang yang datang ke desa mereka. Selain memanfaatkan ikan-ikan yang
tidak laku di jual, perempuan Upang juga memanfaatkan udang-udang kecil dari hasil
tangkapan nelayan, yang tidak laku di jual juga dimanfaatkan oleh para perempuan Upang
untuk diproduksi menjadi kerupuk udang, kemudian akan dibeli oleh pedagang pengepul dari
Palembang.
Sistem ekonomi yang dihasilkan oleh masyarakat Upang tidak dapat terlepas dari
konsep mencari lokak atau mencari kesempatan. Prinsip ini mendorong masyarakat Upang
mencari berbagai kesempatan yang mungkin mereka peroleh untuk mendapatkan
penghasilan. Keterbatasan yang dihadapi mendorong mereka melakukan inovasi terhadap
sistem perekonomian mereka sehingga mereka memiliki alternatif ekonomi yang adaptif
dengan kondisi lingkungan mereka.
Prinsip mencari lokak ini juga menjadikan mereka jeli untuk melihat peluang
ekonomi yang mungkin mereka lakukan. Dengan terbukanya kawasan rawa di pesisir,
memungkinkan lalu lintas perairan di Sungai Musi, dari hulu ke hilir menjadi ramai, posisi
desa mereka berada tepat di tengah lintasan antara hilir dan Palembang. Potensi geografis ini
dipandang menguntungkan dimana desa mereka menjadi tempat persinggahan kapal sebelum
ke atau dari Palembang untuk mengisi bahan bakar. Maraknya alur perlayaran ini mendorong
munculnya warung-warung kecil dan pusat penjualan bahan bakar di sepanjang desa Upang.
Potensi yang dimiliki serta posisi geografisnya yang bagus menjadikan desa Upang sebagai
desa penting bagi pendukung perdagangan di kawasan Sungsang, sehingga desa ini pun mulai
banyak didatangi oleh para pendatang yang mencari penghidupan.
Gambaran proses adaptasi yang terjadi pada masyarakat Upang tidak dapat dilepaskan
dari budaya masyarakat tersebut, hal ini tercermin dari prinsip hidup masyarakat Upang,
mencari lokak mendorong mereka melakukan inovasi terhadap potensi yang dimiliki
(Amilda, 2010). Ketersediaan hasil laut yang cukup dilihat sebagai sumber penghasilan
ekonomi yang potensial. Keterbatasan lahan persawahan tidak berarti mereka meninggalkan
pertanian, dengan mengadopsi sistem pertanian intensifikasi para transmigran, masyarakat
7
Upang dapat mempertahankan subsistensi padi mereka. Ketika mereka kehilangan sumber
daya hutan sebagai tempat untuk mengumpulkan hasil hutan untuk memperoleh tambahan
penghasilan, maka masyarakat Upang mengadopsi pengetahuan melaut yang dimiliki oleh
masyarakat Sungsang, dengan mengubah jenis produk pencarian mereka, dari daun nipah dan
nibung menjadi hasil laut, terutama udang. Selain itu, mereka juga tetap memelihara
hubungan mereka dengan pasar, dengan tetap menghasilkan produk walau dengan jenis yang
berbeda, bukan lagi atap nipah namun ikan asin dan kerupuk udang. Varian ekonomi yang
dimiliki oleh masyarakat Upang merupakan hasil adaptasi budaya mereka dengan kondisi
lingkungan yang mereka hadapi serta kemampuan mereka menyerap budaya dari masyarakat
lain, seperti budaya Jawa dengan tradisi pertanian sawah intensif, dari orang Bugis di
Sungsang, sebagai nelayan, serta dari masyarakat asli Sungsang untuk mengolah hasil laut
menjadi ikan asin dan kerupuk udang.
Simpulan
Perubahan lingkungan yang cepat, akan selalu mendorong masyarakat yang hidup
didalamnya untuk beradaptasi. Kemampuan suatu masyarakat beradaptasi sangat tergantung
pada kemampuan budaya mereka menerima dan mengolah unsur-unsur yang datang dari luar
budaya mereka. Unsur budaya yang paling cepat beradaptasi adalah sistem ekonomi, ditandai
dengan kemampuan menyerap teknologi baru yang dihasilkan sebagai bentuk penyesuaian
terhadap perubahan tersebut. Kemampuan teknologi memanfaatkan segala sumber daya yang
dimiliki suatu masyarakat kembali ditentukan oleh kemampuan budaya masyarakat tersebut
menyerap sumber-sumber ekonomi yang tersedia sehingga mendorong masyarakat tersebut
memiliki sumberl alternatif lain bagi subsistensi mereka. Alternatif subsistensi tersebut
sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan. Lingkaran ini menunjukkan hubungan interrelasi
antara manusia dan lingkungan.
Hubungan interrelasi antara manusia dan lingkungan, dimana manusia mampu
memanfaatkan perubahan dan ketebatasan lingkungan yang mereka miliki ditunjukkkan oleh
masyarakat Upang. Adaptasi mereka terhadap keterbatasan tersebut menghasilkan berbagai
alternatif sumber subsistensi mereka. Pada masa mereka tidak dapat melaut, kehidupan
subsistensi mereka ditopang oleh hasil dari pertanian sawah; ketika sawah tidak dapat
ditanami maka kebutuhan hidup mereka dipenuhi dari aktifitas melaut. Ketika hasil laut yang
diperoleh tidak laku dijual, maka mereka menutupi kebutuhan tersebut dari hasil mengolah
hasil laut yang tidal laku tersebut menjadi ikan asin atau kerupuk udang; kemudian di jual ke
pasar. Kemampuan mereka beradaptasi ini sangat dipengaruhi oleh nilai budaya yang mereka
8
miliki, mencari lokak . Nilai ini menjadikan masyarakat Upang dipacu untuk selalu melihat
peluang yang memungkinkan mereka tetap dapat melihat peluang untuk memperoleh
pendapatan dari setiap perubahan yang terjadi.
Pustaka
Abdulkadir-Sunito, Melani. 2004. Orang Kampung dan Pendatang Analysis of
Demographyc Structure and Migration in Two Forest-Margin Villages Central
Sulawesi dalam Gerhard Gerold. Land Use, Nature Conservation and the Stability of
Rain Forest Margins in Southeast Asia. Berlin [u.a]: Springer.
Abdulkadir-Sunito, Melani & M.T.F. Sitorus. 2007. From Ecological to Political
Bufferzone:Ethnic Politics and Forest Encroachmen in Upland Central Selawesi
dalam Tscharntke T, Leuschner C, Zeller M , Guhardja E, Bidin A (eds.). The
Stability of Tropical Rain Forest Margins: Linking Ecological, Economic, and Social
Constraints of Land Use Conservation. Berlin: Spinger Verlag. pp.167-180.
Amilda. 2010. Gambaran Beberapa Desa di Muara Sungai Musi dan Selat Bangka .
Ekspedisi Sriwijaya: Mencari Jalur yang Hilang. Palembang: Balai Arkeologi
Palembang.
Angelsen. 1995. Shifting Cultivation and Deforestation A Study from Indonesia . World
Development 23 (10): 1713-1729.
Charras, Muriel & Marc Pain (ed.). 1993. Spontaneous Settlement in Indonesi Agricultural
Pioneers in Southern Sumatra. Jakarta: Departemen Transmigrasi PI & ORSTOM
CNRS.
Cohen, Yehudi A. 1974. Man in Adaptation: the Culture Present. Chicago: Aldine Pub. Co.
Davis, Gloria. 1988. The Indonesia Transmigrants dalam Julie Sloan Denslow & Chistine
Padock. People of the Tropical Rain Forest. Berkeley: Univesity of California.
Fearnside, Philip M. 1997. Transmigration in Indonesia: Lessons from Its Environmental
and Social Impacts. Environmental Management Vol 21 No. 4. Spinger-Verlag. New
York. pp. 553-570.
Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution the Processes of Ecological Change in
Indonesia. Berkeley & Los Angeles, California: University of California Press.
Harris, Marvin, 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New
York: Random House.
Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Y. Crowell.
Keesing, Roger M. 1974. Theories of Culture dalam Annual Review of Anthropology.
Vol.3. pp. 73-97.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2012. Tahun 2011 Kawasan Transmigrasi
Sumbang 5,87 juta ton Beran . www. Indonesia.go.id (diakses 2 September 2013).
Rambo, Terry. 1983. Conceptual Approaches to Human Ecology. Honolulu: East West
Center.
Rappaport, Roy A. 1971. Nature, Culture, and Ecological Anthropology dalam H.L.
Shapiro (ed.). Man, Culture, and Society. London: Oxford University.
Secrett, C. 1986. The Environmental Impact of Transmigration . The Ecologist 16 (2/3): 7788.
9
Sunderline, William D. & Ida Aju Pradnja Resosudarma. 1997. Laju dan Penyebab
Deforstasi di Indonesia: Penelaah Kerancuan dan Penyelesaiannya. Jakarta: CIFOR.
Sutton, Mark Q. & E.N. Anderson. 2010. Introduction Cultural Ecology Second Edition.
Maryland: AltaMira Press
Steward, Julian H. 1955. Theory of Culture Change: The Methodology of Multilinear
Evolution. Urbana : University of Illinois Press.
White, Leslie A. 1975. The Evolution of Culture. New York: Mc Graw-Hill
Whitten, Anthony J., Herman Haeruman, Hadi S. Alikodra. 1987. Transmigran and
theEnvironment in Indonesia the Past, Present, and Future. Gland, Cambridge:
International Union for Conservation of Nature and Natural Resou
10
Model Adaptasi Sosial-Budaya
Masyarakat Upang terhadap Perubahan Lingkungan1
Amilda2
Abtract: Environmental changes that occurred largely on the East Coast region
of South Sumatra, not only the ecological impact of the physical environment but
also the impact on the public area of the dwelling, as experienced by the Upang
peoples, when the delta Upang swamp forests turned into residential and
agricultural areas for transmigration. These changes are forcing people to
adapt to the limitations of Upang's going to be able to sustain their lives. This
research will discuss the form of adaptations made by the Upang peoples as the
impact of the loss of forest resources and their agricultural land. These results
indicated that the limited availability of land planted with rice that does not
mean they will leave this activity, rice farming remains the mainstay for their
subsistence, through intensive farming systems. On the other hand, they began to
innovate on their economic activities to become fishermen. Choice to be a
strategy to anticipated fishing season paddy fields which could not be planted.
Uncertainty to guarantee their subsistence from the sea, pushing the Upang
Peoples into the production sector to produce salted fish and prawn crackers for
sale by utilizing the fish and shrimp that did not sell at the market. Model
adaptation is inseparable from the principle of their lives 'mencari lokak' that
reflected their ability to exploit the limitations of the environment into economic
value to guarantee their subsistence.
Keyword: adaptation, ecologi, subsistent, inovation, culture
Pendahuluan
Kehidupan manusia sangat tergantung dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya,
semakin baik lingkungan tempat tinggalnya maka akan semakin baik pula kualitas hidup
individunya. Pada dasarnya, lingkungan akan selalu berubah, baik perubahan yang sifatnya
alami maupun akibat aktivitas manusia terhadap lingkungan tersebut. Perubahan tersebut
akan memaksa individu-individu yang ada didalamnya menyesuaikan diri atau beradaptasi.
Proses penyesuaian diri ini menjadi penting sebagai usaha mempertahankan kehidupannya.
Perubahan tersebut berdampak pada keterbatasan manusia memperoleh sumber daya alam
dari lingkungannya. Berbagai variasi bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan ini
memunculkan berbagai varian budaya sebagai bentuk adaptasi budaya suatu masyarakat.
Makalah disampaikan pada Simposium Kebudayaan Indonesia Malaysia, Universitas Padjajaran, Jatinangor
Jawa Barat, 13-14 November 2013.
2
Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Sosiologi-Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjajaran Bandung.
1
Perubahan budaya merupakan bentuk adaptasi manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan lingkungan yang cepat dan massif
adalah dibukanya kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi (lihat Secrett, 1986).
Program nasional ini, sejak tahun 1905-2011, telah membuka lahan kawasan hutan di
Indonesia seluas 4.537.034 ha untuk dijadikan kawasan pemukiman bagi 2.268.517 KK atau
8,8 juta jiwa (Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi, 2012). Pembukaan kawasan
transmigrasi ini dilakukan pada kawasan hutan yang berfungsi sebagai wilayah pencarian
hasil hutan masyarakat lokal setempat, akibatnya mereka harus beradaptasi terhadap
perubahan lingkungan ini.
Kehadiran program transmigrasi ini secara langsung maupun tidak langsung
memutuskan akses masyarakat lokal terhadap hutan mereka, terkait dengan hak kepemilikan
dan pemanfaatan hasil hutan tersebut. Kondisi ini memunculkan konflik kepemilikan dan hak
untuk mengakses lahan hutan (Abdulkadir-Sunito, 2004; Abdulkadir-Sunito & Sitorus, 2007)
serta terjadinya perebutan terhadap sumberdaya lahan dan hutan (Angelsen, 1995; CIFOR,
1997).
Berbagai kajian tentang transmigrasi dan dampaknya, lebih banyak menyoroti dari
aspek kerusakan yang ditimbulkan oleh program ini (Charras, 1999; Davis, 1988; Fearnside,
1997; Whitten, 1987; Secrett, 1986; Levang, 2003). Kesemua penelitian tersebut
menunjukkan bahwa transmigrasi menjadi penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia
dengan tujuan pemerataan penduduk dan mengurangi penduduk miskin di Jawa; serta
mempercepat pembangunan di luar Jawa dengan mengabaikan kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, maka tulisan ini akan fokus adaptasi budaya
yang dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai akibat dari perubahan lingkungan yang
terjadi. Bentuk adaptasi acapkali memaksa masyarakat mengganti fokus aktivitas kehidupan
mereka berdasarkan sumber daya alam lain yang masih tersisa, sebagai strategi dan kejelian
mensiasati kelangkaan sumber daya alam, dalam usaha mempertahankan hidupnya.
Perubahan lingkungan tersebut juga berdampak pada relasi ekonomi yang terjadi dalam
masyarakat sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Culture as an Adaptive Systems
Konsep adaptasi menjadi penting karena lingkungan bersifat dinamis, akan terus
mengalami perubahan dan memaksa organisme yang hidup didalamnya merespon segala
2
bentuk perubahan tersebut. Respon tersebut disebut adaptasi, yaitu strategi yang digunakan
oleh manusia untuk menghadapi perubahan lingkungan dan budaya (Sutton, 2010, Harris,
1968; Rappaport, 1971; Cohen, 1974). Proses adaptasi ini merupakan bentuk dari mekanisme
budaya (lihat juga Geertz, 1963; Cohen, 1974; Rambo, 1983). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kebudayaan sebagai sistem adaptasi manusia (White, 1975; Harris, 1968; Keesing,
1974).
Asumsi yang dibangun oleh pendekatan ekologi budaya ini adalah kebudayaan
sebagai sistem dari pola-pola perilaku sosial, yang menghubungkan komunitas manusia
dengan lingkungannya. Sistem dari perilaku sosial komunitas tersebut meliputi teknologi dan
model organisasi ekonomi, pola pemukiman, model kelompok sosial dan organisasi politik,
kepercayaan dan praktek-prakteknya, dan lain-lain. Menurut Harris (1968), konsep
kebudayaan berasal dari pola-pola perilaku yang diasosiasikan dengan kelompok dari
masyarakat tertentu, yang menjadi adat-istiadat atau cara hidup dari masyarakat tersebut.
Kebudayaan berubah melalui proses adaptasi dan seleksi alam. Karena kebudayaan sebagai
sistem adaptif maka perubahan kebudayaan akan selalu terjadi seiring dengan perubahan
ekosistem.
Bagian dari unsur kebudayaan yang paling adaptif dalam menerima perubahan adalah
teknologi, ekonomi subsistensi, dan elemen dari organisasi sosial. Bobot terpenting dalam
adaptasi manusia dengan lingkungan terletak pada teknologi (White, 1975; Steward, 1955;
Harris, 1979). Harris (1979) menempatkan kegiatan ekonomi dan hubungan sosial dalam
kegiatan ekonomi menjadi hal yang utama dan ia sebut dengan demo-techno-econenvironmental conditions, dimana semua aspek kebudayaan akan dipengaruhi oleh hubungan
antara teknologi dan lingkungan. Ia menempatkan teknologi dan tindakan-tindakan yang
dilakukan untuk mengembangkan atau membatasi produksi dalam usaha mempertahankan
subsistensi sebagai pondasi dasar yaitu infrastruktur. Perubahan pada infrastruktur akan
membawa perubahan pada struktur, meliputi organisasi sosial, perubahan pada struktur akan
berdampak pada superstruktur yaitu ritual dan ideologi (Harris, 1979).
Perubahan Kawasan Delta Upang
Delta Upang merupakan kawasan dataran rendah yang sangat dipengaruhi oleh
pasang-surut air Sungai Musi. Kondisi kawasan ini pada akhir tahun 1970-an merupakan
kawasan hutan mangrove yang sangat subur membentang disepanjang pesisir timur Sumatera
Selatan. Kawasan yang subur ini memberikan sumber daya ekonomi yang sangat besar bagi
3
masyarakat sekitarnya, terutama ketersediaan udang dan ikan melalui aktivitas bekarang 3.
Kawasan ini kaya dengan batang nibung dan nipah, kedua jenis tanaman yang menjadi bahan
baku utama masyarakat untuk membuat rumah. Batang nibung digunakan sebagai penyangga
rumah dan pemukiman mereka4. Daun-daun nipah sangat berguna untuk membuat atap nipah.
Selain memiliki sumber daya yang penting, kawasan ini juga merupakan hamparan
rawa pasang-surung yang subur untuk pertanian padi. Areal rawa yang luas memungkinkan
masyarakat melakukan penanaman padi secara berpindah untuk memberakan tanah agar
kembali subur. Hasil pertanian padi ini memberikan mereka jaminan subsistensi keluarga
sepanjang tahun.
Perubahan besar terhadap kawasan delta Upang terjadi pada akhir tahun 1970-an,
ketika kawasan ini dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman transmigrasi yang
membentang di sepanjang Pantai Timur Sumatera Selatan. Perubahan ini mendorong
terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat di delta Upang. Kawasan pencaharian
mereka menjadi berkurang. Pemukiman dan persawahan transmigrasi menggantikan
hamparan hutan nipah dan nibung mereka.
Mulai berkurangnya ketersediaan pohon nipah membuat perempuan Upang
kehilangan sumber penghasilan mereka dari membuat atap nipah karena batang-batang nipah
sangat sulit ditemukan, kalaupun ada, jaraknya sangat jauh dari pemukiman mereka. Bagi
perempuan Upang, kegiatan membuat atap nipah merupakan pekerjaan mereka ketika masa
bersawah belum tiba. Atap-atap nipah yang mereka hasilkan kemudian akan dibawa ke
Palembang oleh para pengepul di desa mereka. Dengan kegiatan ini, perempuan-perempuan
Upang memiliki kesempatan untuk menabung dan membeli kebutuhan mereka sendiri tanpa
harus meminta kepada suami atau orang tua mereka. Ketiadaan bahan baku membuat
kegiatan ini semakin ditinggalkan, hanya beberapa keluarga saja yang masih melakukannya,
melalui sistem borong, para pengepul yang menyediakan bahan baku, mereka hanya
menerima upah membuatkan, dengan konsekuensi penghasilan yang lebih rendah.
Selain kehilangan sumber daya yang dapat menjadi sumber penghasilan alternatif
bagi masyarakat Upang; mereka juga mengalami keterbatasan lahan yang dapat digunakan
untuk dijadikan lahan persawahan. Situasi ini memaksa mereka untuk mengintensifkan lahan
persawahan mereka dengan menggunakan teknologi seperti traktor dan pupuk. Perubahan
Bekarang adalah aktivitas mencari ikan di tepi sungai dengan menggunakan perahu kecil/sampan. Alat yang
digunakan berupa jaring. Kegiatan ini umumnya dilakukan pada siang hari.
4
Pemukiman penduduk Upang didirikan di atas permukaan sungai, dengan disanggah oleh kayu-kayu nibung.
Batang nibung diyakini masyarakat sebagai kayu yang sangat kuat terhadap kadar garam air laut sehingga
pondasi pemukiman mereka akan bertahan lama.
3
4
sistem pertanian ini menuntut ketersediaan modal yang lebih besar untuk membeli pupuk,
sewa traktor, dan bahan bakarnya. Penggunaan pupuk sangat dibutuhkan karena lahan
pasang-surut tersebut tidak cukup lama untuk diberakan akan menjadi lahan persawahan
tidak subur, sehingga memaksa petani menjadi sangat tergantung kepada pupuk jika ingin
mendapatkan hasil panen yang cukup.
Secara ekologis, hilangnya kawasan rawa sebagai wilayah penyimpan air membuat
desa-desa di delta Upang terancam abrasi akibat air pasang tidak lagi tertampung di rawarawa tersebut, namun langsung kembali ke sungai, sehingga air pasang menjadi lebih tinggi
dan sering, kemudian menggerus tebing-tebing di sepanjang sungai tempat dimana
pemukiman mereka dibangun. Abrasi tersebut memaksa masyarakat Upang memodifikasikan
pemukiman mereka dengan membangun pemukiman di atas sungai dengan disanggah oleh
batang-batang nibung. Pilihan memodifikasi ini diambil karena lahan daratan yang mereka
miliki terbatas, dan lebih diperuntukan bagi lahan persawahan yang memberikan jaminan
subsistensi bagi mereka. Namun keterbatasan hutan rawa membuat mereka kesulitan untuk
mendapatkan batang-batang nibung tersebut, kalaupun ada harganya menjadi sangat mahal.
Perubahan lingkungan yang terjadi memaksa masyarakat Upang melakukan adaptasi
terhadap sistem perekonomian mereka dengan lebih memfokuskan pada sistem pertanian
sawah dan meninggalkan kegiatan mencari hasil hutan. Situasi ini memaksa mereka
menggunakan teknoloagi pertanian intensifikasi yang padat modal serta menghilangkan
sistem bera lahan akibat keterbatasan ketersediaan lahan.
Adaptasi Sosial terhadap perubahan lingkungan
Keterbatasan ketersediaan lahan untuk persawahan serta sistem pertanian intensif
yang bersifat padat modal, serta hilangnya alternatif penghasilan keluarga dari membuat
nipah dan mencari ikan
bekarang
memaksa masyarakat Upang mencari sumber
penghidupan lain dalam rangka mempertahankan subsistensi mereka. Alternatif kegiatan
perkonomian yang mungkin dilakukan adalah mencari hasil laut sebagai nelayan.
Intensifikasi pertanian menghilangkan peran laki-laki dalam pembukaan dan pengolahan
lahan persawahan, karena pembukaan lahan persawahan tidak lagi dilakukan, sistem
pengolahan lahan telah menggunakan traktor, maka peran laki-laki dalam sistem pertanian
pun tergeser. Pilihan yang mungkin dilakukan adalah para laki-laki Upang harus mencari
alternatif perekonomian lain, yaitu menjadi nelayan.
Walaupun masyarakat Upang hidup di pesisir, namum kegiatan mencari ikan yang
mereka kenal hanyalah bekarang . Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh perempuan atau
5
laki-laki tua yang tidak kuat lagi untuk membuka lahan; sebagai pekerjaan sambilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak untuk di jual; dan hanya dilakukan di sungai-sungai
kecil sekitar pemukiman mereka. Masyarakat Upang tidak memiliki pengalaman dan
pengetahuan untuk mencari ikan di laut lepas. Menjadi nelayan juga membawa konsekuensi
mereka harus hidup di laut dan meninggalkan keluarga mereka untuk waktu yang lama.
Pengetahuan melaut mereka peroleh dari masyarakat Sungsang5 dimana mayoritas
penduduknya adalah nelayan dan perdagangan hasil laut lainnya. Pada awalnya mereka
belajar melaut dengan menjadi anak buah kapal orang Sungsang atau orang Bugis di
Sungsang. Pengetahuan menjadi nelayan, sekarang telah umum dimiliki oleh masyarakat
Upang, dan masyarakat Upang 75% menggantungkan kehidupan mereka dari kegiatan
mencari ikan dan mengolah hasil laut lainnya dan hanya 25% saja yang masih mengandalkan
perekonomian keluarganya dari pertanian, mereka ini adalah keluarga-keluarga yang
memiliki tanah daratan yang cukup luas.
Perubahan ini juga menuntut terjadinya perubahan pada relasi sosial masyarakat
Upang. Ketika mereka menjadi petani, relasi kekeluargaan menjadi modal yang penting
dalam mengolah lahan mereka, semua dilakukan dalam ikatan keluarga dan hasilnya pun
dinikmati oleh seluruh keluarga yang berkontribusi dalam kegiatan tersebut. Kehidupan
nelayan, relasi yang terbangun menjadi sangat terbuka dan bersifat ekonomi, mereka diikat
oleh kepentingan ekonomi, relasi yang terbangun adalah hubungan sesaat, selama masa
mencari ikan tersebut. Hasil yang diperoleh pun dibagi berdasarkan kesepakatan diantara
mereka. Kebutuhan subsistensi keluarga mereka di darat sangat tergantung kepada juragan
mereka, bila hasil laut yang mereka peroleh sedikit maka mereka pun harus berhutang kepada
juragan. Berbeda dengan kegiatan pertanian yang lebih memberikan kepastian terhadap
jaminan subsistensi keluarga, maka kehidupan sebagai nelayan menempatkan kehidupan
subsistensi mereka dalam ketidakpastian.
Relasi Ekonomi: Laut, Sawah, dan Produksi
Perubahan lingkungan yang terjadi mendorong masyarakat Upang melakukan inovasi
terhadap sistem perekonomian mereka untuk mempertahankan subsistensinya. Keterbatasan
sumber daya alam, seperti ketersediaan pohon nipah dan mangrove, memaksa mereka
mencari alternatif ekonomi yang lain yaitu mencari ikan di laut. Pilihan ini merupakan bentuk
adaptasi mereka terhadap lingkungan hidup mereka dengan melakukan komplementari dalam
Sungsang adalah sebuah kota kecil berada di Muara Sungai Musi berhadapan dengan Selat Bangka. Kota ini
merupakan pusat kegiatan perikanan di Sumatera Selatan. Kehidupan masyarakatnya sangat tergantung dari
kegiatan perikanan karena ketersediaan lahana daratan yang sangat terbatas. Keberadaan kota ini telah dikenal
sejak masa Kesultanan Palembang pada abad 18-19 sebagai pintu masuk ke Palembang.
5
6
memanfaatkan sumber ekonomi yang mereka miliki. Ketika musim angin barat, dimana
kondisi cuaca tidak baik untuk melaut, namun menjadi waktu yang tepat untuk bertanam
padi, maka kegiatan pertanian dilakukan oleh masyarakat Upang. Ketika musim kemarau
tiba, lahan-lahan pertanian menjadi kering, maka kegiatan melaut menjadi andalan mereka.
Tidak semua hasil tangkapan nelayan, laku dijual sehingga harus dibawa pulang atau
dijual murah untuk dijadikan ikan asin. Kegiatan memproduksi ikan asin merupakan pekerjan
perempuan Upang. Hasil produksi ikan asin tersebut kemudian dibeli oleh pedagang
pengepul dari Sungsang yang datang ke desa mereka. Selain memanfaatkan ikan-ikan yang
tidak laku di jual, perempuan Upang juga memanfaatkan udang-udang kecil dari hasil
tangkapan nelayan, yang tidak laku di jual juga dimanfaatkan oleh para perempuan Upang
untuk diproduksi menjadi kerupuk udang, kemudian akan dibeli oleh pedagang pengepul dari
Palembang.
Sistem ekonomi yang dihasilkan oleh masyarakat Upang tidak dapat terlepas dari
konsep mencari lokak atau mencari kesempatan. Prinsip ini mendorong masyarakat Upang
mencari berbagai kesempatan yang mungkin mereka peroleh untuk mendapatkan
penghasilan. Keterbatasan yang dihadapi mendorong mereka melakukan inovasi terhadap
sistem perekonomian mereka sehingga mereka memiliki alternatif ekonomi yang adaptif
dengan kondisi lingkungan mereka.
Prinsip mencari lokak ini juga menjadikan mereka jeli untuk melihat peluang
ekonomi yang mungkin mereka lakukan. Dengan terbukanya kawasan rawa di pesisir,
memungkinkan lalu lintas perairan di Sungai Musi, dari hulu ke hilir menjadi ramai, posisi
desa mereka berada tepat di tengah lintasan antara hilir dan Palembang. Potensi geografis ini
dipandang menguntungkan dimana desa mereka menjadi tempat persinggahan kapal sebelum
ke atau dari Palembang untuk mengisi bahan bakar. Maraknya alur perlayaran ini mendorong
munculnya warung-warung kecil dan pusat penjualan bahan bakar di sepanjang desa Upang.
Potensi yang dimiliki serta posisi geografisnya yang bagus menjadikan desa Upang sebagai
desa penting bagi pendukung perdagangan di kawasan Sungsang, sehingga desa ini pun mulai
banyak didatangi oleh para pendatang yang mencari penghidupan.
Gambaran proses adaptasi yang terjadi pada masyarakat Upang tidak dapat dilepaskan
dari budaya masyarakat tersebut, hal ini tercermin dari prinsip hidup masyarakat Upang,
mencari lokak mendorong mereka melakukan inovasi terhadap potensi yang dimiliki
(Amilda, 2010). Ketersediaan hasil laut yang cukup dilihat sebagai sumber penghasilan
ekonomi yang potensial. Keterbatasan lahan persawahan tidak berarti mereka meninggalkan
pertanian, dengan mengadopsi sistem pertanian intensifikasi para transmigran, masyarakat
7
Upang dapat mempertahankan subsistensi padi mereka. Ketika mereka kehilangan sumber
daya hutan sebagai tempat untuk mengumpulkan hasil hutan untuk memperoleh tambahan
penghasilan, maka masyarakat Upang mengadopsi pengetahuan melaut yang dimiliki oleh
masyarakat Sungsang, dengan mengubah jenis produk pencarian mereka, dari daun nipah dan
nibung menjadi hasil laut, terutama udang. Selain itu, mereka juga tetap memelihara
hubungan mereka dengan pasar, dengan tetap menghasilkan produk walau dengan jenis yang
berbeda, bukan lagi atap nipah namun ikan asin dan kerupuk udang. Varian ekonomi yang
dimiliki oleh masyarakat Upang merupakan hasil adaptasi budaya mereka dengan kondisi
lingkungan yang mereka hadapi serta kemampuan mereka menyerap budaya dari masyarakat
lain, seperti budaya Jawa dengan tradisi pertanian sawah intensif, dari orang Bugis di
Sungsang, sebagai nelayan, serta dari masyarakat asli Sungsang untuk mengolah hasil laut
menjadi ikan asin dan kerupuk udang.
Simpulan
Perubahan lingkungan yang cepat, akan selalu mendorong masyarakat yang hidup
didalamnya untuk beradaptasi. Kemampuan suatu masyarakat beradaptasi sangat tergantung
pada kemampuan budaya mereka menerima dan mengolah unsur-unsur yang datang dari luar
budaya mereka. Unsur budaya yang paling cepat beradaptasi adalah sistem ekonomi, ditandai
dengan kemampuan menyerap teknologi baru yang dihasilkan sebagai bentuk penyesuaian
terhadap perubahan tersebut. Kemampuan teknologi memanfaatkan segala sumber daya yang
dimiliki suatu masyarakat kembali ditentukan oleh kemampuan budaya masyarakat tersebut
menyerap sumber-sumber ekonomi yang tersedia sehingga mendorong masyarakat tersebut
memiliki sumberl alternatif lain bagi subsistensi mereka. Alternatif subsistensi tersebut
sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan. Lingkaran ini menunjukkan hubungan interrelasi
antara manusia dan lingkungan.
Hubungan interrelasi antara manusia dan lingkungan, dimana manusia mampu
memanfaatkan perubahan dan ketebatasan lingkungan yang mereka miliki ditunjukkkan oleh
masyarakat Upang. Adaptasi mereka terhadap keterbatasan tersebut menghasilkan berbagai
alternatif sumber subsistensi mereka. Pada masa mereka tidak dapat melaut, kehidupan
subsistensi mereka ditopang oleh hasil dari pertanian sawah; ketika sawah tidak dapat
ditanami maka kebutuhan hidup mereka dipenuhi dari aktifitas melaut. Ketika hasil laut yang
diperoleh tidak laku dijual, maka mereka menutupi kebutuhan tersebut dari hasil mengolah
hasil laut yang tidal laku tersebut menjadi ikan asin atau kerupuk udang; kemudian di jual ke
pasar. Kemampuan mereka beradaptasi ini sangat dipengaruhi oleh nilai budaya yang mereka
8
miliki, mencari lokak . Nilai ini menjadikan masyarakat Upang dipacu untuk selalu melihat
peluang yang memungkinkan mereka tetap dapat melihat peluang untuk memperoleh
pendapatan dari setiap perubahan yang terjadi.
Pustaka
Abdulkadir-Sunito, Melani. 2004. Orang Kampung dan Pendatang Analysis of
Demographyc Structure and Migration in Two Forest-Margin Villages Central
Sulawesi dalam Gerhard Gerold. Land Use, Nature Conservation and the Stability of
Rain Forest Margins in Southeast Asia. Berlin [u.a]: Springer.
Abdulkadir-Sunito, Melani & M.T.F. Sitorus. 2007. From Ecological to Political
Bufferzone:Ethnic Politics and Forest Encroachmen in Upland Central Selawesi
dalam Tscharntke T, Leuschner C, Zeller M , Guhardja E, Bidin A (eds.). The
Stability of Tropical Rain Forest Margins: Linking Ecological, Economic, and Social
Constraints of Land Use Conservation. Berlin: Spinger Verlag. pp.167-180.
Amilda. 2010. Gambaran Beberapa Desa di Muara Sungai Musi dan Selat Bangka .
Ekspedisi Sriwijaya: Mencari Jalur yang Hilang. Palembang: Balai Arkeologi
Palembang.
Angelsen. 1995. Shifting Cultivation and Deforestation A Study from Indonesia . World
Development 23 (10): 1713-1729.
Charras, Muriel & Marc Pain (ed.). 1993. Spontaneous Settlement in Indonesi Agricultural
Pioneers in Southern Sumatra. Jakarta: Departemen Transmigrasi PI & ORSTOM
CNRS.
Cohen, Yehudi A. 1974. Man in Adaptation: the Culture Present. Chicago: Aldine Pub. Co.
Davis, Gloria. 1988. The Indonesia Transmigrants dalam Julie Sloan Denslow & Chistine
Padock. People of the Tropical Rain Forest. Berkeley: Univesity of California.
Fearnside, Philip M. 1997. Transmigration in Indonesia: Lessons from Its Environmental
and Social Impacts. Environmental Management Vol 21 No. 4. Spinger-Verlag. New
York. pp. 553-570.
Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution the Processes of Ecological Change in
Indonesia. Berkeley & Los Angeles, California: University of California Press.
Harris, Marvin, 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New
York: Random House.
Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory. New York: Thomas Y. Crowell.
Keesing, Roger M. 1974. Theories of Culture dalam Annual Review of Anthropology.
Vol.3. pp. 73-97.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2012. Tahun 2011 Kawasan Transmigrasi
Sumbang 5,87 juta ton Beran . www. Indonesia.go.id (diakses 2 September 2013).
Rambo, Terry. 1983. Conceptual Approaches to Human Ecology. Honolulu: East West
Center.
Rappaport, Roy A. 1971. Nature, Culture, and Ecological Anthropology dalam H.L.
Shapiro (ed.). Man, Culture, and Society. London: Oxford University.
Secrett, C. 1986. The Environmental Impact of Transmigration . The Ecologist 16 (2/3): 7788.
9
Sunderline, William D. & Ida Aju Pradnja Resosudarma. 1997. Laju dan Penyebab
Deforstasi di Indonesia: Penelaah Kerancuan dan Penyelesaiannya. Jakarta: CIFOR.
Sutton, Mark Q. & E.N. Anderson. 2010. Introduction Cultural Ecology Second Edition.
Maryland: AltaMira Press
Steward, Julian H. 1955. Theory of Culture Change: The Methodology of Multilinear
Evolution. Urbana : University of Illinois Press.
White, Leslie A. 1975. The Evolution of Culture. New York: Mc Graw-Hill
Whitten, Anthony J., Herman Haeruman, Hadi S. Alikodra. 1987. Transmigran and
theEnvironment in Indonesia the Past, Present, and Future. Gland, Cambridge:
International Union for Conservation of Nature and Natural Resou
10