MAKALAH ORGANISASI DAN MANAJEMEN TEORI B

MAKALAH ORGANISASI DAN MANAJEMEN
TEORI BIROKRASI
MAX WEBER

Disusun Oleh

Novan Arifanto (1510201049)
Aprilia Ayu Nugraheni (1510201042)
Nur Ma’rifah (1510201048)
Fara Indah Damayanti (1510201054)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TIDAR
2017
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun
dapat menyelesaikan makalah Organisasi dan Manajemen ini. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Organisasi dan Manajemen.

Dalam kesempatan ini Penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang
sudah memberikan kesempatan untuk menyusun makalah ini, yaitu kepada Ibu Anisa selaku
dosen Mata Kuliah Organisasi dan Manajemen yang sudah banyak membantu selama
perkuliahan. Tidak lupa juga kepada teman-teman yang selalu menemani, membantu dan
mendukung selama pembuatan makalah ini. Sehingga, makalah ini dapat terselesaikan tidak
lepas dari kerjasama semuanya.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu Penyusun harapkan.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Magelang, 17 Maret 2017

Penyusun

2

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL

i


KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1

1.2 Rumusan Masalah

1

1.3 Tujuan

1

1.4 Manfaat

2


BAB II PEMBAHASAN
2.1 Max Weber on Bureaucracy 3
2.2 Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi 6
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teori Weberian 9
2.4 Analisa Teori Weberian terhadap Organisasi
BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

13

DAFTAR PUSTAKA 15

3

11

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tipe ideal birokrasi Max Weber memuat sejumlah unsur sebagai berikut :

Pembagian divisi pegawai yang terdefinisi secara jelas, Struktur otoritas impersonal,
Memiliki jenjang hirarki, Bergantung pada aturan formal, Menggunakan sistem merit pada
pegawai, Ketersediaan karir, dan Pemisahan jarak antara kehidupan sebagai anggota
organisasi dan kehidupan pribadi. Max Weber menyatakan pula bahwa sebagai bentuk
representasi organisasi, aktivitas birokrasi merupakan rasionalisasi aktivitas kolektif guna
mencapai tingkatan tertinggi dari efisiensi.
Konsep-konsep birokrasi secara awam lekat dengan stempel “tak efektif”,
“lambat”, “kaku”, bahkan “menyebalkan.” Stempel-stempel seperti ini pada satu sisi
menemui sejumlah kebenarannya pada fakta lapangan. Namun, sebagian lain merupakan
stereotipe yang sesungguhnya masih dapat diperdebatkan keabsahannya.
Pada materi ini, kita akan kembali kepada tema awal maksud dari gagasan
birokrasi. Konsep birokrasi yang dikaji pada materi ini mengikut pada dua teoretisi yang
cukup berpengaruh di bidang ini. Pertama adalah konsep birokrasi yang disodorkan Max
Weber. Kedua adalah konsep birokrasi yang disodorkan oleh Martin Albrow.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, dapat disusun beberapa
rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana Teori Birokrasi menurut Max Weber ?
2. Bagaimana kritik beberapa ahli terhadap Teori Birokrasi Max Weber ?

3. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari Teori Birokrasi Max Weber ?
4. Bagaimana analisa Teori Weberian terhadap organisasi ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakaang yang telah dipaparkan sebelumnya maka tujuan yang
ingin dicapai dalampembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Organisasi dan Manajemen.
2. Menjelaskan Teori Birokrasi dari Max Weber.

3. Menjelaskan kritik beberapa ahli terhadap Teori Birokrasi Max Weber.
4. Menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari Teori Birokrasi Max Weber.
5. Menganalisa Teori Weberian terhadap organisasi.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini untuk menambah wawasan dan pengetahuan
tentang Teori Birokrasi dari Max Weber bagi mahasiswa dan pembaca serta mampu
menjadi bahan pemikiran untuk pembuatan makalah selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Max Weber on Bureaucracy
Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau

etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal
dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang
diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan
lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk
kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara
kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga
kepresidenan.
Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif
menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis
ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber
sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup
Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak
pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya
banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal.
Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya
(ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah
otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu:

1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;

2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsifungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksisanksi;
3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak
kontrol dan pengaduan (complaint);
4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun
secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi
diperlukan;
5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu
pribadi;
6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung
menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
8. sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada
bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi
birokratik.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi
tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional. Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi
pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah
organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut:

1. para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan
tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2. terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3. fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4. para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;

5. para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada
suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
6. para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji
bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat
diberhentikan;
7. pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8. suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian
(merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
9. pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan
sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10. pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.

Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin

(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi
menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai
sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat
disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas
penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat.
Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di
tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan
sesuai keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap
kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:
1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam
pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan
mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja
diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.

2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab
terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk
menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan
Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat
membatasi akumulasi kekuasaan.

3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak
mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja
direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala
KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap
TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu
saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang
bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia,
meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus
di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat
merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat
mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat
diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat
pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat
pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini
atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.
2.2 Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi

Secanggih apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula
pandangan Weber akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para ahli
akan pandangan Weber, yang seluruhnya diambil dari karya Martin Albrow (lihat
referensi).

Robert K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”,
Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber
pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu
administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan,
dapat menjadi tujuan itu sendiri. Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk
solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan
untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingkah laku
mereka dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warga negara. Apa yang
ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber
dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu
bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Philip

Selznick.

Selznick

mengutarakan

kritiknya

atas

Weber

tentang

Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu
organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi
secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan
kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak
sub-sub unit tujuan.
Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang
dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga
hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat memunculkan
konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam
hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya,
timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang
memiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?
Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner
memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar
kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik
antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang uta:
“Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan Perwakilan (representative). Pada tipe
punishment centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang
mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada
tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan
menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan meerka sendiri.

Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada
pelaksanaan organisasi yang efisien.
R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam
buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan
bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan
kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan, tetapi dalam prakteknya para
staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan-keadaan yang cocok
dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.
Rudolf Smend. Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan
bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang
administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban
fungsi-fungsi teknis. Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes.
Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif
mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh
manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan
melalui fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari
seseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk
akal jika orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”
Reinhard Bendix. Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai
tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya.
Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah adanya
kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik
yang umum. Semua peraturan diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam menentukan
apakah suatu kasus berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan
alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya,
pejabat menemukan suatu dilema. Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang
ia secara populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya pada
inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab perundangundangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai suatu penyalahgunaan
kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.
Carl Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa
seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis. Kenyataannya,
peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk bertindak. Ini artinya,

faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam
menginterpretasikan tindakan pejabat. Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan
perlunya pilihan untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini
berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrati untuk menghindari
semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di
luar ketentuan teknis, ataupun menurut instruksi. Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber
karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber terhadap
otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer. Ia menghalangi
setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola kooperatisme.
Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan
yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di
dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada
perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak
dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang
kaku. Hanya dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi
sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya
tentangng keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.
R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus mengamati
kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi
Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri
batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha
tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat. Kesimpulan
kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak
patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang
sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi
ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.
2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teori Weberian
Kelebihan Birokrasi Weberian :
1. Agar Fokus, Birokrasi harus dicerna sebagai satu fenomena sosiologis. Dan birokrasi
sebaiknya dipandang sebagai buah dari proses rasionalisasi.

2. Konotasi atau anggapan negatif terhadap birokrasi sebenarnya tidak mencerminkan
birokrasi dalam sosoknya yang utuh. Birokrasi adalah salah satu bentuk dari organisasi,
yang diangkat atas dasar alasan keunggulan teknis, di mana organisasi tersebut
memerlukan koordinasi yang ketat, karena melibatkan begitu banyak orang dengan
keahlian-keahlian yang sangat bercorak ragam.
3. Ada tiga kecenderungan dalam merumuskan atau mendefinisikan birokrasi, yakni:
pendekatan struktural, pendekatan behavioral (perilaku) dan pendekatan pencapaian
tujuan dari Max Weber
a. Apa yang telah dikerjakan oleh Max Weber adalah melakukan konseptualisasi
sejarah dan menyajikan teori-teori umum dalam bidang sosiologi. Di antaranya
yang paling menonjol adalah teorinya mengenai birokrasi.
b. Cacat-cacat yang seringkali diungkapkan sebenarnya lebih tepat dicerna sebagai
disfungsi birokrasi. Dan lebih jauh lagi, birokrasi itu sendiri merupakan kebutuhan
pokok peradaban modern. Masyarakat modern membutuhkan satu bentuk
organisasi birokratik. Pembahasan mengenai birokrasi mempunyai kemiripan
dengan apa yang diamati oleh teori organisasi klasik.
c. Dalam membahas mengenai otorita. Weber mengajukan 3 tipe idealnya yang terdiri
dari: otorita tradisional, kharismatik dan legal rasional. Otorita tradisional
mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legimitasi diletakkan pada
loyalitas bawahan kepada atasan. Sedang otorita kharismatik menunjukkan
legimitasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar biasa. Adapun otorita
legal rasional kepatuhan bawahan di dasarkan atas legalitas formal dan dalam
yurisdiksi resmi.
d. Kelemahan dari teori Weber terletak pada keengganan untuk mengakui adanya
konflik di antara otorita yang disusun secara hirarkis dan sulit menghubungkan
proses birokratisasi dengan modernisasi yang berlangsung di negara-negara sedang
berkembang.
4. Ada tujuh hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan organisasi
birokratik Pentingnya Birokrasi
a. Teori yang lama memandang birokrasi sebagai instrumen politik. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, teori tersebut ditolak, dengan menyatakan pentingnya
peranan birokrasi dalam seluruh tahapan atau proses kebijakan publik.

b. Menurut Robert Presthus, pentingnya birokrasi diungkapkan dalam peranan-nya
sebagai "delegated legislation", "initiating policy" dan"internal drive for power,
security and loyalty".
c. Dalam membahas birokrasi ada tiga pertanyaan pokok yang harus diperhati-kan, (1)
bagaimana para birokrat dipilih, (2) apakah peranan birokrat dalam pembuatan
keputusan, dan (3) bagaimana para birokrat diperintah. Dalam hubungannya
dengan pertanyaan kedua, hal pertama yang perlu disadari adalah ada perbedaan
antara proses pembuatan keputusan yang aktual dengan yang formal. Dalam
kenyataan birokrat merupakan bagian dari para pembuat keputusan.
Kelemahan Birokrasi Weberian :
1. Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang berkembang
dimana

mereka

semuanya

telah

memberikan

prioritas

kegiatannya

pada

penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini kelemahan dan
Problema
a. Kelemahan

dalam
-

kelemahan

teori
yang

ada

Birokrasi
pada

birokrasi

terletak

Weber
dalam

hal:

1. Penetapan standar efisiensi yang dapat dilaksanakan secara fungsional
2. Terlalu menekankan aspek-aspek rasionalitas, impersonalitas dan hirarki
3. Kecenderungan

birokrat

untuk menyelewengkan

tujuan-tujuan

organisasi

4. Berlakunya pita merah dalam kehidupan organisasi
b. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam birokrasi sebenarnya tidak berarti bahwa
birokrasi adalah satu bentuk organisasi yang negatif, tetapi seperti dikemukakan
oleh K. Merton lebih merupakan "bureaucratic dysfunction" dengan ciri utamanya
"trained incapacity''.
c. Usaha-untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk teori
birokrasi sistem perwakilan. Asumsi yang dipergunaksn adalah bahwa birokrat di
pengaruhi oleh pandangan nilai-nilai kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada
gilirannya aktivitas administrasi diorientasikan pada kepen-tingan kelompok
sosialnya. Sementara itu, kontrol internal tidak dapat dijalankan. Sehingga dengan
birokrasi sistem perwakilan diharapkan dapat diterapkan mekanisme kantrol
internal. Teori birokrasi sistem perwakilan secara konseptual amat merangsang,
tetapi tidak mungkin untuk diterapkan. Karena teori ini tidak realistik, tidak jelas
kriteria keperwakilan, emosional dan mengabaikan peranan pendidikan.

2.4 Analisa Teori Weberian terhadap Organisasi
Weber membedakan suatu kelompok kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan.
Kelompok kerjasama adalah suatu tata hubungan sosial yang dihubungkan dan dibatasi
oleh aturan-aturan yang dapat memaksa seseorang untuk melakukan kerja sebagai suatu
fungsinya yang konstan baik dilakukan oleh pimpinan maupun oleh pegawai administrasi.
Berikut adalah unsur-unsur propertis organisasi atau kelompok kerjasama:
1. Organisasi merupakan tata hubungan sosial
Dalam hal ini seorang individu melakukan proses interaksi sesamanya di
dalam organisasi tersebut.
2. Organisasi mempunyai batasan-batasan tertentu
Seorang individu yang melakukan hubungan interaksi tidak didasarkan atas
kemauan sendiri, akan tetapi mereka dibatasi oleh peraturan tertentu.
3. Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan yang membedakan
dengan kumpulan kemasyarakatan lainnya
Tata aturan ini menyusun proses interaksi antara orang-orang yang bekerja
sama didalamnya, sehingga interaksi tersebut tidak muncul begitu saja.
4. Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang terstruktur
Didalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk
menjalankan suatu fungsi tertentu.
Konsep birokrasi Weber yang apabila dianut dalam organisasi pemerintahan banyak
memperlihatkan cara-cara officialdom. Dimana pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra
dari penyelesaian urusan masyarakat. Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan
tertentu dalam birokrasi pemerintahan, yang pada teori Weberian ditekankan bahwa
kekuasaannya sangat mutlak dan menentukan. Jabatan-jabatan disusun dalam tatanan
hirarki, setiap jabatan memiliki kewenangan dan kekuasaan tertentu terhadap organisasi.
Jabatan yang berada di hirarki atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada
jabatan yang berada di tataran bawah yang mana setiap jabatan itu memiliki fasilitasfasilitas tertentu yang mencerminkan kekuasaannya. Pada dasarnya dalam hubungan
organisasi Max Weber menjelaskan pentingnya interaksi antar individu dalam suatu
kegiatan pencapaian tujuan organisasi tersebut. Di samping itu, seorang individu juga
penting mengetahui posisi dirinya dalam organisasi sehingga ia akan memahami apa tugas,
wewenang, serta tanggung jawabnya. Dengan sistem pembagian kerja yang terstruktur
maka proses serta pelaksanaan kegiatan dalam pencapaian tujuan organisasi akan lebih

mudah untuk diwujudkan. Adapun para individu harus paham dan patuh terhadap
peraturan-peraturan organisasi sehingga mereka tidak bertindak semaunya sendiri dalam
menjalankan tugasnya di suatu organisasi. Pada hakekatnya sifat kerjasama dalam
organisasi ini lebih bercorak asosiatif dan bukan kerjasama yang komunal atau kerjasama
seperti dalam keluarga. Jadi terlihat jelas antara atasan dan bawahan. Contoh kasus: Deni
adalah seorang mandor di sebuah pabrik plastik. Ia sangat menghormati dan menghargai
Joni yang merupakan atasannya, meskipun usianya lebih muda dari Deni. Sedangkan
kepada Pak Markus, Deni bisa bertindak semaunya, dikarenakan Pak Markus merupakan
bawahannya. Hubungan ketiga orang tersebut telah ditentukan menurut struktur formal
yang ditetapkan oleh organisasinya. Adanya hubungan semacam ini membuat seseorang
menghargai orang lain dengan melihat bagaimana kedudukan, pangkat, dan jabatan
seseorang. Hal tersebut tidak di dasarkan atas orang sebagai manusia dengan kata lain
hubungan tersebut dalam organisasi ditentukan oleh kriteria siapa orang tersebut dan bukan
ditentukan oleh apa yang bisa dikerjakan oleh orang tersebut. Dalam hubungan ini simbol
memegang peranan penting, orang yang mempunyai simbol mempesona misalnya pangkat,
jabatan, kedudukan atau pun kekayaan akan dihargai oleh orang lain. Sebaliknya orang
yang tidak memiliki simbol tersebut sulit mendapat tempat dalam panggung penghargaan.
Dalam model birokrasi Weberian memang tidak memberikan kesempatan informalitas
masuk dalam tatanan organisasi. Sehingga organisasi diatur sebagai mesin yang bergerak
menurut aturan-aturan yang sudah ditentukan.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN


Pertama. Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi.
Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa
hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di dalam
menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian birokrasi
sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.



Kedua. Weber telah menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal typhus dari
suatu organisasi yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian

diterjemahkan sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi yang
lega-rasional.


Ketiga. Weber juga telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi
sebagai sebuah organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut kini
melekat pada sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat.



Keempat. Weber juga telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan
orang di dalam birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang
mudah-mudahan dapat mencegah efek negatif kekuasaan orang-orang yang ada di
dalam sebuah birokrasi.



Kelima. Konsepsi Weber tentang birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah
ahli. Para ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi
administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber
berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam birokrasi.
Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan aturan tersebut
sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional.



Keenam. Martin Albrow, setelah mengkritisi pendapat Weber, membangun 7
konsepsinya mengenai birokrasi. Konsepsi-konsepsinya tersebut adalah : (1)
Birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi;
(3) Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan para pejabat; (4) Birokrasi sebagai
administrasi negara (publik); (5) Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan
pejabat; (6) Birokrasi sebagai suatu organisasi; dan (7) Birokrasi sebagai masyrakat
modern.



Ketujuh. Teori Weberian dalam konteks organisasi masa kini kurang mendukung
apabila diterapkan dalam kegiatan berorganisasi. Hal ini dikarenakan kurang
menghargainya seseorang kepada orang lain yang tidak memiliki jabatan dalam
organisasi. Oleh karena itu, perlu pembenahan dalam birokrasi pemerintahan agar
tidak kaku seperti teori Weber yang terlihat kaku. Hal ini dapat dilakukan dengan
metode pendekatan perilaku organisasi yang mana dalam hal ini manusia
diletakkan sebagai unsur yang paling penting dalam organisasi, dan bukan lagi
pertimbangan utama yang diletakkan pada struktur organisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Hafusi Jonathan Mavanyisi, The Nature of Political Control over the Bureaucracy with
Reference to the Northern Province, Thesis Master Degree on Public Administration,
University of South Africa, 2002.
John Toye, Modern Bureaucracy, Research Paper No. 2006/52, Unived Nations University,
May 2006.
Martin Albrow, Birokrasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet.3, 2004)
Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada

Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi & Politik di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wicaksono, Kristian Widya. 2006. Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta:
Graha Ilmu