KRITIK HADIS DAN TUJUAN PEMELIHARAAN ORS

KRITIK HADIS DAN TUJUAN PEMELIHARAAN
ORSINILITAS TEKS
Didin Chonytha (14750010)

A. Latar Belakang
Membicarakan tentang Hadits, maka kita sebagai umat muslim pasti
mengetahui bahwa hadits adalah sumber rujukan kedua setelah Al-Qur’an. Posisi
hadits sebagai penjelas atas arti dan maksud ayat Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW bermacam-macam bentuknya. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan,
tulisan maupun taqrir Nabi (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan
yang dilakukan oleh orang lain). Berbeda dengan Al-Qur’an yang mempunyai
kepastian teks dan kepastian argument.1
Sekalipun ulama hadits telah meletakkan lima syarat dalam menilai validitas
hadits, namun dalam tataran praktis khususnya penilaian sanad sering terjadi
perdebatan di antara mereka. Akhirnya, muncullah ijtihad untuk menggabungkan
berbagai pendapat tersebut, atau memberikan penilaian tersendiri atas hadits yang
belum dikritisi. Ijtihad yang dimaksud tentu berdasarkan metodologi yang kuat dan
objektif; bukan ijtihad yang muncul dari sikap fanatik atau mendewakan‘ rasio.
Tulisan ini akan mencoba menelaah metode kritik hadits yang menjadi landasan para
ulama dalam menilai hadits, baik metode yang telah menjadi kesepakatan bersama
atau masih dalam perbedatan. Untuk selanjutnya dapat dinilai apakah perbedaan

ijtihad itu saling bertentangan (ikhtilâfu tadhâdh) atau justru saling melengkapi
(iktilâfu takamuly).

1

Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits: Versi Muhaddisin dan Fuqaha . Cet. I, (Yogyakarta: Teras,
2004), h. 3

1

Cara mengetahui bagaimana sebuah sanad dan matan hadits itu bisa
dinyatakan sebagai hadits shahih maka harus ada pembahasan lebih lanjut tentang
bagaimana sanad dan matan itu harus memiliki kualitas yang terstandar, sehingga
bisa dinyatakan kalau hadits tersebut termasuk hadits shahih. Di sini penulis akan
membatasi pembahasan hanya pada kritik terhadap sanad hadits, karena dalam
pembahasan tentang matan hadits, akan dibahas oleh kelompok lain, sehingga untuk
memfokuskan pembahasan pada makalah ini, penulis hanya akan membahas tentang
kritik terhadap sanad hadits.
Kritik dalam konteks ilmu hadits, tidak sinonim dengan istilah kritik yang
secara umum digunakan oleh orientalis. Dalam perpektif orientalis, kritik

dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan semacam kecaman, yang pada
akhirnya dapat melahirkan pelecehan terhadap eksistensi hadits. Istilah kritik tidak
berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Aktivitas kritik dalam
ilmu hadits dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadits, sehingga dapat diketahui
mana yang shahih dan mana yang tidak shahih. Dengan demikian istilah kritik berasal
dari ulama hadits bukan dari dunia barat.2
Aktivitas kritik hadits merupakan keharusan yan dilakukan untuk memberikan
keyakinan kepada umat islam untuk berupaya merealisasikan serangkaian ajaran
islam dengan berpegang teguh pada hadits-hadits yang telah terbukti kesahihannya
dan meninggalkan hadits-hadits yang tidak bisa diterima sebagai dasar agama.
Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan dalam realisasi ajaran
agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah dapat diminimalisir. Kritik terhadap
hadits selalu berorientasi pada dua aspek, yakni aspek pada sanad (kredibilitas rawi)
dan pada aspek matan hadits (orisinilitas teks hadits).3

2
3

Umi Sumbulah, Kritik Hadits Pendekatan Historis Metodologis, (Malang, UIN Press, 2008), hlm. 26
Umi Sumbulah, Kritik Hadits: hlm. 26


2

Oleh karena itu, di dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa sub
tema yang terkait dengan pembahasan tentang kritik Hadits dan tujuan pemeliharaan
orisinalitas teks yang akan disajikan lebih luas dan mendalam.

B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan definisi dan pengertian dhabt?
2. Bagaimana kritik terhadap perawi dari sudut pandang ke-dhabit-an dan
keorsinilan teks hadits?
3. Bagaimana metode dan analisis untuk mengetahui ke-dhabit-an perawi?

C. Tujuan Masalah
1. Agar pembaca mengetahui definisi dan pengertian dhabit.
2. Untuk memperjelas kritik terhadap perawi dari sudut pandang ke-dhabit-an dan
keorsinilan teks hadits.
3. Untuk mengetahui metode serta analisis ke-dhabit-an perawi.

3


BAB II
PEMBAHASAN

A. Metodologi Studi Kritik Hadits
Studi kritik hadis, pada umumnya terbagi menjadi dua sisi hadis, yaitu sisi
sanad dan sisi matan. Terkait istilah kritik sanad dan kritik matan, terdapat perbedaan
yang sangat signifikan antara dua kaidah ulama klasik dan ulama modern. Ulama
klasik mengatakan bahwa setiap yang sanadnya sahih, pasti matannya sahih, begitu
juga sebaliknya. Sementara ulama ahli hadis modern memiliki kaidah yakni
kesahihan atau ke-daif-an sanad tidak mempengaruhi ke-sahih-an / ke-daif-an matan,
begitu pula tidak sebaliknya.
Kaidah kritik versi ulama‟ modern ini bukanlah plagiat atau membenarkan
apa yang sering dikatakan oleh para orientalis belakangan ini. Sebab kaidah ini telah
dicetuskan oleh ulama khalaf (setelah masa fitnah) lantaran banyaknya aksi
pemalsuan hadis pada masa fitnah yang dipelopori oleh kaum syi’ah, mu'tazilah,
zindiq, ahli bid'ah dan kaum sufi yang sengaja membuat matan palsu lalu mencuri
sebuah sanad dari beberapa hadis sahih bahkan mutawatir untuk membenarkan
ideologi dan aliran mereka.4
Melihat fenomena sejarah kelam hadis yang pernah dilalui oleh umat Islam,

maka dirasa penting memisahkan antara kesahihan sanad hadis dan matannya. Sebab
itulah ulama hadis melakukan kajian kritik yang komprehensif baik dari sisi matan
hadis maupun sanadnya dengan tidak meniadakan hubungan erat antara keduanya.

1. Kritik Sanad
Sanad hadis merupakan unsur utama penelitian dan pemahaman hadis.
Kualitas sanad yang ditetapkan ulama memiliki tingkatan yang berbeda. Perbedaan
4

Nuruddin Atar, Manhaj al-naqd fi Ulum al-hadith (Beirut: Dar Al Fikr, 1418), h.469-470

4

tersebut dapat disebabkan antara lain: tingkatan otoritas yang dimiliki oleh
komunitas tertentu, terhadap syarat minimal kesahihan suatu hadis, serta penetapan
tingkatan hadis yang dapat digunakan dalam persoalan tertentu. Para ulama hadis
telah menetapkan bahwa pedoman bagi aqidah haruslah berdasarkan hadis-hadis
mutawatir. Jika suatu hadis yang di dalamnya terdapat pembicaraan yang ganjil
dan sukar untuk dipahami, maka persoalan sanad menjadi hal utama yang harus
diperhatikan. Dengan kata lain, kondisi kandungan hadis yang dibicarakan hadis

tersebut akan ditinggalkan apabila setelah diteliti ternyata sanadnya dha'if.
Sanad boleh dikatakan menjadi pusat perhatian ulama' hadis dalam
mengkritik hadis, karena mayoritas ulama' hadis menjadikan sanad sebagai
patokan sahih tidaknya suatu hadis. Dengan demikian ulama' hadis memusatkan
perhatian pada keadaan setiap perawi hadis, baik itu dari pengetahuan dan
pengalaman mereka sendiri (pengamatan pribadi), maupun dari penilaian beberapa
ulama' lain yang akan menguatkan penilaian mereka. Mereka juga memperhatikan
perjalanan riwayat antara perawi yang satu dengan yang lain, apakah ada
kesinambungan atau tidak. Dari sini sangatlah penting bagi ulama' hadis untuk
mengembangkan studi sanad sebagai proses seleksi yang sangat urgen.
a. Syarat Kesahihan Sanad5
1) Ittishal (sambungnya sanad)
Sanad dianggap sambung jika dalam setiap tingkatan sanad itu terdapat
perawi yang saling menghubungkan satu sama lain yang keduanya benarbenar pernah bertemu atau minimal mereka berdua sama-sama hidup satu
masa. Dari sini, informasi tentang biografi perawi atau sensus generasi
perawi sangatlah urgen dan membantu bagi pengkritik sanad hadis.

5

Abdurrahman, elan sumarna, Metode kritik hadis, (Bandung, Rosda, 2011), h14


5

2) ‘Adalah dan Dhabit.
Kedua variabel ini harus di penuhi oleh perawi. Dengan ‘Adalah, kejujuran
perawi dapat diketahui dan dengan dengan Dabt, kecerdasan perawi dapat
pula diketahui.6
3) Jika dua-duanya terpenuhi, maka perawi sudah bisa dikatakan thiqah. Jika
salah satu saja tidak terpenuhi, maka riwayatnya tidak dapat diterima.
Untuk mengetahui apakah perawi itu ‘adil atau tidak, Dabit atau tidak,
diperlukan penelusuran (tatabbu‘) lebih lanjut.
2. Instrumen Penting Dalam Studi Kritik Sanad
Dalam sebuah studi kritik sanad hadis, seorang pengkritik tidak boleh melupakan
beberapa hal berikut :
a. Illat.

Yang dimaksud illat adalah faktor pencacat dalam sebuah hadis, yang
tersembunyi, yang mana secara zahir, hadis yang bersangkutan selamat dari
faktor pencacat tersebut7.
b. Perawi Yang Mengalami Ikhtilat (kacau, pikun)


Kekacauan yang terjadi pada perawi hadis kadangkala dikarenakan umurnya
yang sudah tua, kehilangan penglihatan atau kehilangan kitab jika ia biasa
meriwayatkan melalui tulisan bukan melalui hafalan. Diantara Ulama' hadis
yang sempat mengalami masa pikun adalah : Ata' bin al-Saib al-Thaqafi al-

‘Adalah : bakat atau sifat yang mendorong perawi untuk selalu bertaqwa dan menjahui hal-hal yang
dapat mengurangi reputasi, citra, wibawa dan harga dirinya dan menjahui kemaksiatan yang dapat
membuat dirinya menjadi orang yang fasiq.
Dhabt : kecerdasan, ketangkasan, kecermatan, atau suatu kemampuan untuk memahami hadith,
mampu untuk meriwayatkan seperti apa yang diriwayatkan oleh gurunya , kemampuan menghafal
hadith (jika ia meriwayatkannya dari hafalan) dan ketelitian serta kecermatan dalam menulis hadith
dan menjaganya dari segala bentuk kesalahan atau perubahan (tahrîf) yang mungkin terjadi ( jika ia
meriwayatkan hadith dari kitabnya), Al-Suyûti, Tadrib Al-Rawi fi sharh taqrib al-Nawawi, jld. 1
(Beirut: Maktabah Dar Al Turath, 1392), 300-301.
7
Mustafa bin Ismail al Sulaimani al Ma‟aribi, Al-Ja >wa >hir al-Sulaima >niyah, sharh}u al –
manz}umah al-baiqu>niyah, (Riyad : Dar al-Kayan, 2006), 46
6


6

Kufy, Imam Ahmad, Ibnu Rahawaih, Ibnu Ma'in, Ibn al-Madini, Waki dan lain
lain.
c) Mengenali perawi lebih jauh
Untuk mengenal perawi lebih jauh, pengkritik sanad harus mengetahui:
1) Tahun kelahiran dan tahun wafat perawi. Ini akan memudahkan pengkritik
sanad untuk mengetahui hubungan perawi dengan guru-gurunya dan
murid-muridnya;
2) Kebangsaan perawi. Ini penting sekali untuk membedakan antara perawi
yang ada keserupaan (misalnya nama) dengan perawi lain yang di negara
lain;
3) Guru-guru dan murid-muridnya, sehingga status sanad bisa dipastikan
apakah ittsal, inqit}a‟ atau ada tadlis didalamnya;
4) Sabiq dan lahiq, untuk mengetahui siapakah yang wafat lebih dulu antara
dua rowi. Salah satu rujukan dalam disiplin ini adalah Al-sabiq wa al-lahiq
karya Al-Khatib Al-Baghdadi;
5) Identitas, integritas, kredibilitas dan kualitas seorang perawi berdasarkan
pendapat-pendapat ulama hadis. Dan manakala terjadi kontradiksi antara
periwayatan beberapa perawi thiqah, maka riwayat perawi yang

mempunyai tingkat kethiqahan paling tinggi harus diunggulkan atas
riwayat perawi lain yang tingkat kethiqahannya lebih rendah;
6) Perawi yang dikenal sering melakukan tadlis.dan irsal . Tadlis adalah jika
perawi mempunyai guru ( atau siapa saja yang pernah ia jumpai) dan
biasanya ia menerima hadis dari gurunya itu, namun ketika ia mendapatkan
hadis dari orang lain, ia kemudian meriwayatkan hadis yang didapat dari
orang lain itu, tapi menggunakan perangkat yang mengkaburkan dan
seakan -akan ia menerima hadis tersebut dari gurunya sendiri (dengan
menggunakan sighat ittisal, seperti ‫ ) عن‬padahal ia tidak menerimanya

7

darinya. Perawi yang terkenal sering melakukan tadlis adalah Baqiyyah bin
Al-Walid8 dan Al-Walid bin Muslim Al-Dimashqi;
7) Madhhab perawi, apakah ia ahlussunnah atau ahli bid'ah, apakah bid'ahnya
membuatnya menjadi munafiq, kafir atau tidak, apakah ia mengajak orang
lain (mendakwahkan) kebid‟ahannya atau tidak. ini memudahkan
pengkritik sanad untuk labeling perawi sesuai madhhab yang ia anut,
apakah mu'tazilah atau shî'ah rafidah, qadiyaniyah, khattabiyah dan
sebagainya;

8) Nama dan laqob perawi. Banyaknya jumlah perawi hadis menyebabkan
terjadinya keserupaan pada nama, kunyah, dan laqob.
B. Kritik Sanad Hadits
Para ulama Hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang cukup
ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa Rasul saw. dengan masa
kodifikasi hadis, sekitar satu setengah abad atau 150 tahun, menyebabkan teori-teri
tersebut dalam prakteknya menghadapi hambatan yang cukup serius. Diantaranya
yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan dalam proses pembuktian. Dan pada
perkembangan selanjutnya keterbatasan-keterbatasan ini diatasi oleh teori-teori baru,
seperti Ash-shohabah Kulluhum 'Uduul (semua sahabat bersifat adil). Dengan kata
lain, validitas satu generasi pertama, generasi sahabat, tidak perlu ada pembuktian.
Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum mengandung
kelemahan inheren, seperti anggapan tentang seorang manusia terhormat yang tidak
memiliki keinginan berdusta sehingga mereka pasti bercerita benar. Di samping itu,
para peneliti hadis kadang tidak menyadari adanya masalah ingatan yang keliru,
pikiran yang mengandung kepentingan, pembacaan ke belakang (dari masa kini ke
masa lalu) atau pun tersangkutnya pengaruh seseorang dan bahkan tentang adanya
berbagai tuntutan mendesak. Kelemahan yang terdapat dalam teori kritik sanad ini
mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses pembuktian validitas
8

Jenis tadlis yang dilakukan adalah tadlis taswiyah.

8

sebuah hadis. Prof Ali Mustafa ya’kub membagi ke-Dhabit-an hadis menjadi enam
bagian yaitu;
1. Memperbandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah Shahabat
Nabi, antara yang satu dengan yang lain.
2. Memperbandingkan Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang
berlainan.
3. Memperbandingkan Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal
dari seorang guru Hadits.
4. Memperbandingkan suatu Hadits yang sedang diajarkan oleh seorang dengan
Hadits semisal yang diajarkan oleh guru lain.
5. Memperbandingkan antara Hadits-hadits yang tertulis dalam buku dengan yang
tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan Hadits.
6.

Memperbandingkan Hadits dengan ayat-ayat al-Qur‘an.

Penelitian dan kritik Sanad atau Isnad (diringkas dan diubah dari Fitnah
Kubro karya Prof DR M. Amhazun yang diterjemahkan oleh Daud Rasyid dari hal.
39-79 dengan beberapa perubahan dan penambahan) yaitu untuk meluruskan dan
membongkar kedustaan yang ada dalam khabar (berita) dengan melalui dua aspek
iaitu:
1. Aspek teoritis, iaitu penetapan kaedah-kaedah yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya kedustaan.
2. Aspek praktis, iaitu penjelasan tentang peribadi-peribadi yang dianggap sebagai
pendusta dan seruannya pada umat manusia agar bersikap hati-hati terhadap
mereka.
Dalam aspek teoritis, metode kritik para ulama telah berhasil sampai pada
peletakan kaedah-kaedah ilmu periwayatan yang canggih dan sangat teliti sebagai

9

puncak kreasi yang dihasilkan oleh kemampuan manusia. Untuk mengetahui
ketelitian metode ilmiah yang diikuti ulama yang berkecimpung di bidang ini, maka
cukuplah kita baca karya-karya yang mereka hasilkan dalam bentuk kaedah-kaedah
Al-Jarh dan At-Ta‘dil, pengertian istilah-istilah yang tercakup dalam dua kategori itu,

urutan hirarkisnya yang dimuali dari yang teratas Ta‘dil sampai tingkat yang
terbawah –Jarh-, syarat-syarat penerimaan suatu riwayat, dimana mereka tetapkan
dua syarat pokok terhadap perawi yang bisa diterima periwayatannya,9 yaitu:
1. Al ‘Adalah (keadilan) iaitu seorang perawi itu harus muslim, baligh, berakal, jujur,
terbebas dari sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang merusak
muru‘ah (martabat diri)
2. Adh Dhabit iaitu seorang perawi harus menguasai apa yang diriwayatkannya, hafal
atas apa yang diriwayatkan kalau dia meriwayatkannya dengan metode hafalan,
cermat dengan kitabnya kalau dia meriwayatkannya dengan melalui kitabnya.

C. Pengertian Dhabt
Aspek intelektualitas (Dhabit) perawi yang dikenal dalm ilmu hadits di
fahami sebagai kecerdasan perawi hadits. Istilah dhabit sendiri secara etimologi yakni
menjaga sesuatu.10 Aspek tersebut adalah salah satu aspek untuk di terimanya riwayat
yang disampaikan.
Sedangkan secara terminology terdapat beberapa pengertian mengenai definisi
Dhabit yakni salah satunya menurut Al-Sarkhasi11 bahwa dhabt mengandung makna

sebagai tingkat kemampuan dan kesempurnaan intelektualitas seseorang dalam
penerimaan hadits, mampu memaknai secara mendalam makna yang dikandungnya,
menghafalkan dan menjaga hafalanya semaksimal mungkin hingga pada waktu
9

Bustamin, metodologi studi kritik hadis, (Jakarta: Grafindo persada, 2004), h.43
Abu Louis Ma’luf, Al munjid fil lughoh wal al-a’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), cet. Ke-24, h.
224
11
Nama lengkap al-syarkhasi adalah Muhammad bin ahmad bin sahal Abu bakar, dia adalah ulama
dari kalangan ahnaf, seorang mujtahid, ulama ushul dari sharkas masa kekuasaan Kemal pasha.
10

10

penyebaranya dan periwayatan hadis yang didengarnya tersebut kepada orang lain.
Dengan demikian di tuntut adanya konsistensi mulai dari proses tahammul hingga
proses ‘ada’al hadits.
Dari segi bahasa, kata dhabit memiliki beberapa pengertian. Dalam
kitab lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzur menjelaskan :

‫ لزوم شيئ ا يفرقه ي كل شيئ‬: ‫الظبط‬
‫والظبط الشيئ خفظه بااحزم‬
‫ شديد البطش‬, ‫والرجل الظبط اي حا زم‬
Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dhabit dapat dimaknai dengan
sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu secara
sempurna, kuat pegangannya. Adapun pengertian dhabit menurut istilah, telah
dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format bahasa, antara lain sebagai berikut :
1. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit
adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya.
2. Dhabit adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya,
dia memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan
sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu
menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
3. Dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia
memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya
dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya
mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut
kepada orang lain.
Dari definisi di atas, kelihatannya memiliki versi dan format bahasa yang
berbeda, namun makna dan prinsip-prinsip pemahaman yang terkandung di dalamnya

11

memiliki kesamaan. Intinya adalah kuatnya hafalan periwayat dalam meriwayatkan
hadis (mulai dari ia mendengarnya sampi ia menyampaikan kepada orang lain dan ia
memahami betul apa yang disampaikannya itu).
Ulama hadis umumnya tidak menerangkan argumen mendasar unsur kaedah
periwayat bersifat dhabit. Mereka umumnya hanya mengemukakan berkenaan dengan
pengertian Dhabit sebagai salah satu unsur kaedah kesahihan sanad hadis.12
Klasifikasi Dhabt
NO Pemilik Konsep Dhabt
1

Dalam kitab fath
mughith

Klasifikasi Dhabt
al- dhabt fil hifdzi:

dhabt fil kitab:

di maksudkan sebagai

dimaknai sebagai suatu

tetapnya hadits hingga

kondisi

kapanpun diriwayatkan

hadits yang telah di

terjaganya

terima seorang perawi
dalam catatan yang rapi
hingga

dapat

secara

benar meriwayatkanya.
2

Menurut Ibn al-Athir al- Dhabt Zahir:
Jazari

Dhabt Batin:

Kemampuan perawi dari Kemampuan
segi kebahasaan,

dalam
hokum

perawi

mengungkap
syara’

yang

dikandung oleh sebuah
teks hadits yakni berupa
fikih.
3

Al-Salafi

Dhabt As-Shadr:

Dhabt al-kitab:

Yakni mampu menghafal memelihara
dengan baik
12

Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab (Beirut; Dar al-Shadar, 1863)

12

dengan

kitabnya

baik

dari

apapun

yang

mengurangi

dapat
kualitas

sebuah

kitab,

sebatas

sisipan

baik
atu

sebagiannya.

D. Penelitian Matan Hadis Musykil
Penelitian matan hadis merupakan salah satu bentuk upaya meneliti
kandungan atau matan suatu hadis. Para ulama hadis berpendapat bahwa kritik matan
harus didahului oleh kritik sanad. Dengan kata lain, sebuah hadis yang sudah
dinyatakan lemah dari segi sanadnya, maka upaya terhadap kritik matan tidak lagi
menjadi kewajiban, karena hadis tersebut sudah dianggap tidak memenuhi syarat
untuk dijadikan hujjah.
Langkah-langkah pelaksanaan kritik matan hadis Agar upaya pelaksanaan
kritik matan mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan, maka diperlukan adanya
pedoman atau petunjuk pelaksanaannya, termasuk juga tata urutan segenap kegiatan
dalam melakukan kritik dimaksud. Sebagian ulama menetapkan langkah-langkah
kritik matan yang terdiri atas;
a. Bidang kebahasaan, termasuk kritik teks yang mencermati keaslian dan kebenaran
teks, format qauli atau format fi'li. Target analisis proses kebahasaan matan hadis
ini tertuju pada upaya penyelamatan hadis dari pemalsuan dan jaminan kebenaran
teks hingga ukuran sekecil-kecilnya. Langkah metodologis ini bertaraf kritik
otentisitas documenter (naqd taqnini ikhtilathi). Temuan hasil analisisnya bisa
mengarah pada gejala mawdhu', mudhtarif, mudraj, maqlub, mushahhaf/
muharraf, ziyadat al-tsiqah, tafarrud, mu’allal dan sebagainya.

13

b. Analisis terhadap isi kandungan makna (konsep doktrin) pada matan hadis. Target
kerja analisisnya berorientasi langsung pada aplikasi ajaran berstatus layak
diamalkan, harus dikesampingkan atau ditangguhkan pemanfaatannya sebagai
hujjah syar’iyyah. Kategori kritiknya adalah naqd tathbiqi. Hasil temuan
analisisnya bisa menjurus pada gejala: munkar, syadz, mukhtalif (kontroversi)
atau ta'arudh (kontradiksi);
c.

Penelusuran ulang nisbah (asosiasi) pemberitaan dalam matan hadis kepada
narasumber. Target analisisnya terkait potensi kehujjahan hadis dalam upaya
merumuskan norma syari’ah. Seperti diisyaratkan oleh surat al-Nahl: 41 bahwa
Rasulullah Saw. menerima tugas untuk menjelaskan (bayan) terhadap ungkapan
Alquran yang mujmal dan pada surat al-Ahzab 21 memproyeksikan pribadi
Rasulullah saw. Sebagai sumber keteladanan yang ideal bagi umatnya. Kedua
kapasitas

itu

lekat

maqam

kerasulan/kenabiannya.

Karenanya

perlu

dikembangkan uji nisbah (asosiasi) kandungan makna yang termuat dalam matan
hadis, apakah benar-benar melibatkan peran aktif nabi Saw, ataukah hanya
sebatas praktek keagamaan sahabat/tabiin atau semata-mata fatwa pribadi mereka.
Hasil temuan analisisnya menjurus pada data marfu’, mawquf, maqthu’ atau
sebatas atsar/kreatifitas ijtihad.

14

BAB III
PENUTUP

Dari berbagai tulisan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. menurut Al-Sarkhasi bahwa dhabt mengandung makna sebagai tingkat
kemampuan dan kesempurnaan intelektualitas seseorang dalam penerimaan
hadits, mampu memaknai secara mendalam makna yang dikandungnya,
menghafalkan dan menjaga hafalanya semaksimal mungkin hingga pada waktu
penyebaranya dan periwayatan hadis yang didengarnya tersebut kepada orang
lain. Dengan demikian di tuntut adanya konsistensi mulai dari proses tahammul
hingga proses ‘ada’al hadits.
2. Kaidah kritik versi ulama’ modern ini bukanlah plagiat atau membenarkan apa
yang sering dikatakan oleh para orientalis belakangan ini. Sebab kaidah ini telah
dicetuskan oleh ulama khalaf (setelah masa fitnah) lantaran banyaknya aksi
pemalsuan hadis pada masa fitnah yang dipelopori oleh kaum shi’ah, mu'tazilah,
zindiq, ahli bid'ah dan kaum sufi yang sengaja membuat matan palsu lalu mencuri

sebuah sanad dari beberapa hadis sahih bahkan mutawatir untuk membenarkan
ideologi dan aliran mereka
3. Studi kritik hadis, pada umumnya terbagi menjadi dua sisi hadis, yaitu sisi sanad
dan sisi matan. Terkait istilah kritik sanad dan kritik matan, terdapat perbedaan
yang sangat signifikan antara dua kaidah ulama klasik dan ulama modern. Ulama
klasik mengatakan bahwa setiap yang sanadnya sahih, pasti matannya sahih,
begitu juga sebaliknya. Sementara ulama ahli hadis modern memiliki kaidah
yakni kesahihan atau ke-daif-an sanad tidak mempengaruhi ke-sahih-an / ke-daifan matan, begitu pula tidak sebaliknya.

15

Daftar pustaka

Abdurrahman, elan sumarna, Metode kritik hadis, (Bandung, Rosda, 2011)
Abu Louis Ma’luf, Al munjid fil lughoh wal al-a’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986)
Al-Asqalaniy, Nuzhah al-Nazhar (Kairo: Dar al-Fikr, t.th).
as-Sakhawiy, al-Mutakallimun fi al-Rijal (Kairo: maktabah al-Mathba’ah alIslamiyah, 1980).
Bustamin, metodologi studi kritik hadis, (Jakarta: Grafindo persada, 2004)
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits: Versi Muhaddisin dan Fuqaha . Cet. I,
(Yogyakarta: Teras, 2004)
Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab (Beirut; Dar al-Shadar, 1863).
Shubhiy Shaleh, “Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut : Dar al-‘Imiy alMalayin, 1977).
Mustafa bin Ismail al Sulaimani al Ma‟aribi, Al-Jarwahir al-Sulaimaniyah, sharhu al
–manzumah al-baiquniyah, (Riyad : Dar al-Kayan, 2006)
Nuruddin Atar, Manhaj al-naqd fi Ulum al-hadith (Beirut: Dar Al Fikr, 1418)
Shubhiy Shaleh, “Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut : Dar al-‘Imiy alMalayin, 1977).
Umi Sumbulah, Kritik Hadits Pendekatan Historis Metodologis, (Malang, UIN Press,
2008)

16