Essay Pengambilan Keputusan Luar Negeri
Kelompok 4.
Mata Kuliah
Dosen Pengampu
Anggota
: Politik Luar Negeri
: Adde M Wirasenjaya, M.A.
: Randy Tirtasandi
20130510105
Aldi Alvianto
20130510387
Junita Siregar
20130510398
Rolin Noris
20130510406
Ummiati Lesnusa
20130510449
Satriya Ade Nugroho
20130510467
“Politik luar negeri adalah pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara
sewaktu memerjuangkan kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain (yaitu)
bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin pengambilan
keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya manusia dan alam untuk bersaing
dengan negara lain di dalam lapangan internasional.” (Carlton Clymer Rodee, seorang ahli
political-science. Pengarang buku “An Introduction to Political Science.)
Politik luar negeri yang diterapkan suatu negara sangat menentukan cara pandang dan
arah politik. Begitupun dengan tindakan dan langkah yang diambil suatu negara kaitannya
dengan pengambilan keputusan maupun kebijakan. Dalam menentukan keputusan luar
negeri, terdapat faktor-faktor yang memengaruhi dan melatarbelakangi dan salah satunya
adalah faktor atau model bureaucratic (birokratif/organisasional).
Model birokratif menyangkut struktur dan proses pemerintahan serta efeknya
terhadap politik luar negeri. Graham Alison dan Morton Halperin menganggap bahwa faktor
dan kompleksitas dari birokrasi sendiri merupakan karakteristik normal yang hampir terdapat
di semua negara dimana negara bukan sebagai aktor tunggal. Model ini dalam melakukan
pengambilan keputusan menekankan pada SOP, kultur organisasi, world view, dan
pendidikan. Ketepatan sasaran menjadi kuncinya, dimana akurasi lebih penting ketimbang
hasil akhir. Salah satu contoh dari proses pengambilan keputusan luar negeri melalui model
ini adalah penandatanganan ratifikasi kabut asap. Asean Agreement on Transboundary Haze
Pollution (AATHP) merupakan perjanjian negara-negara ASEAN dalam kerjasama
penyelesaian permasalahan kabut asap akibat dari kebakaran lahan dan/atau hutan. Kurang
lebih selama menunggu 12 tahun barulah Indonesia meratifikasi Perjanjian ASEAN tentang
Pencemaran Asap Lintas Batas tepatnya pada 16 September 2014. Keputusan yang dihasilkan
tidak dibuat oleh pengambil keputusan pada level tertinggi. Keputusan yang diambil
dirumuskan terlebih dahulu melalui lembaga dan pihak-pihak terkait seperti Dewan
Perwakilan Rakyat, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Direktur
Perancangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun contoh lain dari model
ini yakni pada kasus krisis nuklir Kuba. Krisis yang melibatkan dua kekuatan dunia pada
masa itu ;yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat; menimbulkan perbedaan pengambilan
kebijakan atas penyelesaian masalah ini. Dimana organisasi Uni Soviet dulu telah mendirikan
tempat penggelaran peluru di Kuba tanpa ada upaya kamuflase, sedangkan perilaku Amerika
terhadap krisis Kuba dengann prosedur organisasional memengaruhi pengumpulan info
intelejen serta pilihan tindakan yang dipertimbangkan dan penerapan blokade atas
Kuba.Sebagai contoh yakni pada saat pengiriman pesawat pengintai untuk memotret kegiatan
di Kuba terlambat hingga 10 hari disebabkan karena ‘pertikaian’ organisasional antara
angkatan udara dengan CIA tentang kewenangan atas misi tersebut.
Pada kasus Indonesia dalam AATHP ditandai dengan adanya keterlibatan aktor lain
selain negara, seperti DPR dan kementerian terkait. Namun, pada kasus seperti ini tidak
jarang pula kepentingan-kepentingan pihak tertentu dan personalitas dapat memengaruhi
keputusan suatu lembaga. Oleh karenanya tak jarang model birokratif ini memakan waktu
yang cukup dan bahkan sangat lama dalam pengambilan keputusannya. Tengok saja
Indonesia yang harus ‘menunggu’ selama 12 tahun untuk meratifikasi AATHP. Proses yang
sistematis dan prosedural serta banyaknya lembaga atau organisasi yang terlibat ditambah
lagi dengan konflik kepentingan menyebabkan hal ini terjadi. “Where you stand depends on
where you sit” nampaknya cukup jelas menggambarkan bahwa dalam model birokratif
meskipun keputusan bukan diambil oleh negara namun tidak menutup kemungkinan ada
campur tangan dan intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi dan
kepentingan organisasi di dalamnya. Sedang dalam kasus nuklir Kuba, ciri dari model
birokratif ini terlihat pada Standar Operasi dan Prosedur dari sebuah lembaga atau organisasi.
Ciri ini memfokuskan perhatian pada politik di dalam pemerintahan. Kebijakan dirumuskan
tidak hanya oleh lembaga atau organisasi lainn namun juga merupakan hasil dari bargaining
games diantara aktor-aktor dalam pemerintahan nasional. Kebijakan yang ditempuh Amerika
yang disampaikan Kennedy merupakan hasil dari perdebatan yang panjang. Presiden
Kennedy mengundang Executive Committee of the National Security (EX-COM)
yang terdiri dari beberapa pemimpin dan kepala bagian bidang
pertahanan nasional yang juga tiap-tiap chief memiliki cara pandang dan
keputusan priadi maupun kelompok.
Dari analisa diatas, kami beranggapan bahwa dalam pengambilan
keputusan model birokratif, keputusan yang diambil tidak sepenuhnya
demi kepentingan nasional negara tersebut. Di dalamnya juga terdapat
kepentingan-kepentingann lain semisal kepentingan organisasi dan juga
kepentingan individu.
Simpulan
Birokrasi merupakan institusi penting dari negara yang fungsinya
sangat primer dalam mengeksekusi kebijakan. Peran penting birokrasi
tidak hanya sekedar pada implementasi politik luar negeri namun juga
menjadi aktor kunci yang berperan dalam pembuatan kebijakan melalui
dialog, debat, konflik dan perundingan
Birokrasi yang terdiri atas menteri-menteri, departemen atau
lembaga, dan agensi yang bekerja untuk negara pada kapasitas yang
berbeda memiliki tujuan, sudut pandang dan kepentingan yang berbeda.
Perbedaan ideologi ini ditunjukkan pada proses pengambilan keputusan
dimana setiap birokrat tentunya ingin mewujudkan kepentingan
organisasional mereka. Meskipun begitu, kepentingan-kepentingan inilah
yang memusatkan dan memfokuskan pada kemajuan dari kepentingan
nasional suatu negara yang mana sangat penting dalam pembentukan
kebijakan luar negeri negara tersebut.
Mata Kuliah
Dosen Pengampu
Anggota
: Politik Luar Negeri
: Adde M Wirasenjaya, M.A.
: Randy Tirtasandi
20130510105
Aldi Alvianto
20130510387
Junita Siregar
20130510398
Rolin Noris
20130510406
Ummiati Lesnusa
20130510449
Satriya Ade Nugroho
20130510467
“Politik luar negeri adalah pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara
sewaktu memerjuangkan kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain (yaitu)
bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin pengambilan
keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya manusia dan alam untuk bersaing
dengan negara lain di dalam lapangan internasional.” (Carlton Clymer Rodee, seorang ahli
political-science. Pengarang buku “An Introduction to Political Science.)
Politik luar negeri yang diterapkan suatu negara sangat menentukan cara pandang dan
arah politik. Begitupun dengan tindakan dan langkah yang diambil suatu negara kaitannya
dengan pengambilan keputusan maupun kebijakan. Dalam menentukan keputusan luar
negeri, terdapat faktor-faktor yang memengaruhi dan melatarbelakangi dan salah satunya
adalah faktor atau model bureaucratic (birokratif/organisasional).
Model birokratif menyangkut struktur dan proses pemerintahan serta efeknya
terhadap politik luar negeri. Graham Alison dan Morton Halperin menganggap bahwa faktor
dan kompleksitas dari birokrasi sendiri merupakan karakteristik normal yang hampir terdapat
di semua negara dimana negara bukan sebagai aktor tunggal. Model ini dalam melakukan
pengambilan keputusan menekankan pada SOP, kultur organisasi, world view, dan
pendidikan. Ketepatan sasaran menjadi kuncinya, dimana akurasi lebih penting ketimbang
hasil akhir. Salah satu contoh dari proses pengambilan keputusan luar negeri melalui model
ini adalah penandatanganan ratifikasi kabut asap. Asean Agreement on Transboundary Haze
Pollution (AATHP) merupakan perjanjian negara-negara ASEAN dalam kerjasama
penyelesaian permasalahan kabut asap akibat dari kebakaran lahan dan/atau hutan. Kurang
lebih selama menunggu 12 tahun barulah Indonesia meratifikasi Perjanjian ASEAN tentang
Pencemaran Asap Lintas Batas tepatnya pada 16 September 2014. Keputusan yang dihasilkan
tidak dibuat oleh pengambil keputusan pada level tertinggi. Keputusan yang diambil
dirumuskan terlebih dahulu melalui lembaga dan pihak-pihak terkait seperti Dewan
Perwakilan Rakyat, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Direktur
Perancangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun contoh lain dari model
ini yakni pada kasus krisis nuklir Kuba. Krisis yang melibatkan dua kekuatan dunia pada
masa itu ;yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat; menimbulkan perbedaan pengambilan
kebijakan atas penyelesaian masalah ini. Dimana organisasi Uni Soviet dulu telah mendirikan
tempat penggelaran peluru di Kuba tanpa ada upaya kamuflase, sedangkan perilaku Amerika
terhadap krisis Kuba dengann prosedur organisasional memengaruhi pengumpulan info
intelejen serta pilihan tindakan yang dipertimbangkan dan penerapan blokade atas
Kuba.Sebagai contoh yakni pada saat pengiriman pesawat pengintai untuk memotret kegiatan
di Kuba terlambat hingga 10 hari disebabkan karena ‘pertikaian’ organisasional antara
angkatan udara dengan CIA tentang kewenangan atas misi tersebut.
Pada kasus Indonesia dalam AATHP ditandai dengan adanya keterlibatan aktor lain
selain negara, seperti DPR dan kementerian terkait. Namun, pada kasus seperti ini tidak
jarang pula kepentingan-kepentingan pihak tertentu dan personalitas dapat memengaruhi
keputusan suatu lembaga. Oleh karenanya tak jarang model birokratif ini memakan waktu
yang cukup dan bahkan sangat lama dalam pengambilan keputusannya. Tengok saja
Indonesia yang harus ‘menunggu’ selama 12 tahun untuk meratifikasi AATHP. Proses yang
sistematis dan prosedural serta banyaknya lembaga atau organisasi yang terlibat ditambah
lagi dengan konflik kepentingan menyebabkan hal ini terjadi. “Where you stand depends on
where you sit” nampaknya cukup jelas menggambarkan bahwa dalam model birokratif
meskipun keputusan bukan diambil oleh negara namun tidak menutup kemungkinan ada
campur tangan dan intervensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi dan
kepentingan organisasi di dalamnya. Sedang dalam kasus nuklir Kuba, ciri dari model
birokratif ini terlihat pada Standar Operasi dan Prosedur dari sebuah lembaga atau organisasi.
Ciri ini memfokuskan perhatian pada politik di dalam pemerintahan. Kebijakan dirumuskan
tidak hanya oleh lembaga atau organisasi lainn namun juga merupakan hasil dari bargaining
games diantara aktor-aktor dalam pemerintahan nasional. Kebijakan yang ditempuh Amerika
yang disampaikan Kennedy merupakan hasil dari perdebatan yang panjang. Presiden
Kennedy mengundang Executive Committee of the National Security (EX-COM)
yang terdiri dari beberapa pemimpin dan kepala bagian bidang
pertahanan nasional yang juga tiap-tiap chief memiliki cara pandang dan
keputusan priadi maupun kelompok.
Dari analisa diatas, kami beranggapan bahwa dalam pengambilan
keputusan model birokratif, keputusan yang diambil tidak sepenuhnya
demi kepentingan nasional negara tersebut. Di dalamnya juga terdapat
kepentingan-kepentingann lain semisal kepentingan organisasi dan juga
kepentingan individu.
Simpulan
Birokrasi merupakan institusi penting dari negara yang fungsinya
sangat primer dalam mengeksekusi kebijakan. Peran penting birokrasi
tidak hanya sekedar pada implementasi politik luar negeri namun juga
menjadi aktor kunci yang berperan dalam pembuatan kebijakan melalui
dialog, debat, konflik dan perundingan
Birokrasi yang terdiri atas menteri-menteri, departemen atau
lembaga, dan agensi yang bekerja untuk negara pada kapasitas yang
berbeda memiliki tujuan, sudut pandang dan kepentingan yang berbeda.
Perbedaan ideologi ini ditunjukkan pada proses pengambilan keputusan
dimana setiap birokrat tentunya ingin mewujudkan kepentingan
organisasional mereka. Meskipun begitu, kepentingan-kepentingan inilah
yang memusatkan dan memfokuskan pada kemajuan dari kepentingan
nasional suatu negara yang mana sangat penting dalam pembentukan
kebijakan luar negeri negara tersebut.