EVALUASI PENUTUPAN TPA DI KAB. SIDOARJO

1

EVALUASI PENUTUPAN TPA DI KAB. SIDOARJO
DITINJAU DARI ASPEK TATA RUANG DAN REGULASI PENGELOLAAN
PERSAMPAHAN
Oleh
VIVI RAHMATUL LAILI

A. PENDAHULUAN

Meningkatnya pembangunan akhir – akhir ini baik pembangunan perumahan
maupun industri perdagangan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk yang
ada. Konsekuensi dari kondisi ini adalah meningkatnya jumlah sampah yang dihasilkan.
Jika masalah sampah tidak dikelola dengan baik, maka secara tidak langsung akan
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan dampak selanjutnya adalah
menurunnya kesehatan masyarakat. Masalah persampahan yang dihadapi saat ini pada
umumnya adalah pengelolaan yang kurang optimal dan keterbatasan lahan. Sebagai
contoh adalah pengurangan volume sampah melalui program 3R ( Reduse, Reuse,
Recycle) belum berjalan secara optimal dan akibatnya sampah-sampah yang ada tetap
berakhir ke TPA tanpa adanya pengelolaan terlebih dahulu.
Permasalahan sampah bukan lagi sekedar masalah kebersihan dan lingkungan

saja, tetapi sudah menjadi masalah sosial yang mampu menimbulkan konflik. Lebih
parah lagi hampir semua kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil , tidak
mempunyai penanganan sampah yang baik. Umumnya kota di Indonesia memiliki
manajemen sampah yang sama, yaitu dengan metode kumpul-angkut-buang. Sebuah
metode manajemen persampahan klasik yang akhirnya berubah menjadi praktek
pembuangan sampah secara sembarangan tanpa mengikuti ketentuan teknis dilokasi
yang sudah ditentukan (open dumping). Hal ini mengakibatkan daya tampung TPA
semakin berkurang dan dapat memperpendek umur TPA yang ada.
Permasalahan persampahan yang ada saat ini dialami hampir oleh seluruh
Kab/Kota di Indonesia, tidak terlepas juga Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo
merupakan salah satu Kabupaten yang cukup besar di Jawa Timur baik secara luas
wilayah, jumlah penduduk maupun jumlah lahan yang terbangun. Wilayah administrasi
Kabupaten Sidoarjo terdiri atas wilayah daratan dan wilayah lautan. Luas wilayah
daratan adalah sebesar 714,245 Km2 dan luas wilayah lautan berdasarkan perhitungan
GIS sampai dengan 4 mil ke arah laut adalah sebesar 201,6868 Km². Berdasarkan data
Kabupaten Sidoarjo dalam angka Tahun 2014 jumlah penduduk Kab. Sidoarjo pada

2

Tahun 2013 sebesar 2.090.619 jiwa sedangkan pada Tahun 2012 sebesar 2.053.467

jiwa (Kab. Sidoarjo dalam angka 2013). Hal ini menunjukkan adanya kenaikan 37.152
jiwa atau sebesar 1,81 persen. Tentunya kondisi ini akan berdampak pada jumlah
sampah yang dihasilkan oleh penduduk di Kabupaten Sidoarjo. Jumlah sampah yang
dihasilkan pada tahun 2012 sebesar 6.674 m3/hari dengan komposisi sampah yang
tidak terangkut ke TPS = 5817 m³/hari atau 87,15 % dimana dari jumlah ini sampah yang
dibakar sebesar 40 %, dibuang kesungai 3,45 %, dibuang ke lahan kosong 4,88 % serta
ditimbun sebesar 50,36 %. Sedangkan untuk sampah yang terangkut ke TPS sebesar
857 m³/hari = 12, 8 % dimana sampah yang dibakar di TPS sebesar 23,3 % dan sampah
yang dibuang ke TPA sebesar 76,6 % (Masterplan pengelolaan sampah Kab. Sidoarjo
Tahun 2013).
Dengan jumlah sampah yang masuk ke TPA hampir 80 % tentu ini akan semakin
menambah beban dari TPA yang ada, sehingga dari 7 TPA yang ada di Kabupaten
Sidoarjo, 6 diantaranya telah ditutup yaitu

TPA Barengkrajan - Krian, TPA Tambak

Kalisogo - Jabon, TPA Bulu Sidokare - Sidoarjo, TPA Bluru Kidul - Sidoarjo, TPA
Ngelom - Taman, TPA Candi Pari – Porong. Dari kondisi diatas, penulis ingin mengkaji
tentang penutupan TPA yang ada ditinjau dari aspek regulasi dan kesesuaian teori lokasi.
B. KONSEP


DASAR

TEORI

DAN

KONSEP

KEBIJAKAN

SPASIAL

DAN

PENGELOLAAN SANITASI LINGKUNGAN

1. Struktur Ruang Kota
a. Teori Konsentris Dari Ernest W. Burgess (1929)
Bahwa wilayah kota dibagi enam zona, yaitu :



Zona Pusat Wilayah Kegiatan (Central Bussines Districts) -->didalamnya terdapat
pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, hotel, restoran,
dan sebagainya



Zona Peralihan atau zona transisi --> zone peralihan merupakan konsentrasi
penduduk miskin. Sering ditemui wilayah kumuh (slum area)



Zona Pemukiman Kelas Proletar--> didiami oleh para pekerja yang berpenghasilan
kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah. Ditandai oleh adanya rumah susun
sederhana.



Zona Pemukiman Kelas Menengah (Residental Zone) -->merupakan kompleks

perumahan karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu.



Wilayah Tempat Tinggal Masyarakat Berpenghasilan Tinggi ditandai dengan
kawasan elit. Sebagian besar penduduknya merupakan kaum eksekutif

3



Zona Penglaju (Commuters) -->merupakan wilayah yang memasuki wilayah
belakang (Hinterland) atau merupakan wilayah batas desa-kota. Penduduknya
bekerja di kota tetapi tinggal di pinggiran kota.
Gambar:
Keterangan model teori konsentrik menurut Teori
Konsentris Dari Ernest W. Burgess (1929),
1.
2.
3.

4.
5.

Zona pusat wilayah kegiatan
Zona peralihan
Zona permukiman kelas proletar.
Zona permukiman kelas menengah.
Zona penglaju.






b. Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt
Bahwa kota tersusun sebagai berikut :


Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD) yang terdiri dari atas bangunan
kantor, hotel, bank, dan pusat perbelanjaan




Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan perdagangan
Dekat pusat kota dan dekat sektor pada nomor 2, terdapat sektor murbawisma,
yaitu tempat tinggal kaum buruh



Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor
madyawisma, yaitu permukiman golongan menengah



Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan
atas

gambar :Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt :

4


Zona 1: Zona pusat wilayah kegiatan.
Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.
Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.
Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.
Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.
c. Teori Inti Berganda (Multiple Nuclei) dari C. D. Harris dan E. L. Ullman (1945)
Struktur ruang kota meliputi:
1.

Pusat kota (CBD)

2.

Kawasan niaga dan industri ringan

3.

Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah


4.

Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah

5.

Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi

6.

Pusat niaga berat

7.

Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran

8.

Upakota (suburban), untuk kawasan madyawisma dan adiwisma


9.

Upakota (suburban), untuk kawasan industri

Gambar : Teori Inti Berganda (Multiple Nuclei) dari C. D. Harris dan E. L. Ullman (1945)

Keterangan:
• Zona 1: Zona pusat wilayah kegiatan.
• Zona 2: Zona wilayah terdapat para grossier dan manufactur.
• Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.
• Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.
• Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.
• Zona 6: Zona manufactur berat
• Zona 7: Zona wilayah di luar pusat wilayah Kegiatan (PWK)
• Zona 8: Zona wilayah permukiman suburb
• Zona 9: Zona wilayah industri suburb

5

2. Teori Lokasi



Teori Christaller

Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota,
dan distribusinya di dalam satu wilayah. Menurut Christaller, pusat-pusat pelayanan
cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti
itu akan terlihat dengan jelas di wilayah yang mempunyai dua syarat. Pertama, topografi yang
seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan
pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan. Kedua, kehidupan ekonomi
yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padipadian, kayu atau batu bara. Perkembangan tempat-tempat sentral tergantung konsumsi
barang sentral yang dipengaruhi faktor penduduk, permintaan dan penawaran serta harga, juga
kondisi wilayah dan transportasi seperti yang telah dikemukakan oleh Christaller dalam “
Central Place Theory ” . Suatu wilayah memiliki ketergantungan pada wilayah lain. Pada setiap wilayah
memiliki kelebihan dibanding yang lain sehingga wilayah tersebut memiliki beberapa fasilitas yang
mampu melayani kebutuhan penduduk dalam radius yang lebih luas, sehingga penduduk akan
mendatangi wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Christaller menjelaskan bahwa teori
tempat pusat merupakan suatu tempat yang menyediakan barang dan jasa bagi daerah itu sendiri dan
daerah orang lain. Christaller mengatakan beberapa asumsi dalam penyusunan teori tersebut, seperti :
1. Konsumen yang menanggung ongkos angkutan.
2. Jangkauan suatu barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu.
3. Konsumen memilih tempat pusat yang paling dekat.
4. Kota-kota berfungsi sebagai central place bagi wilayah sekitarnya.
5. Wilayah tersebut sebagai dataran yang rata, ciri ekonomis sama, dan penduduk
tersebar secara merata.
3. Penataan Ruang
Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang menyatakan : Penataan
ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.

6

Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:


penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;



penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;



pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;



mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor;



penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan



penataan ruang kawasan strategis kabupaten.

Pemanfaatan Ruang Wilayah
Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan:


perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan
rencana tata ruang kawasan strategis;



perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola
ruang wilayah dan kawasan strategis; dan



pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah
dan kawasan strategis.

Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan sesuai dengan:


standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;



standar kualitas lingkungan; dan



daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui :


penetapan peraturan zonasi,



perizinan,



pemberian insentif dan disinsentif, serta



pengenaan sanksi.

4. Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA)
Tempat pemrosesan sampah merupakan tempat dimana sampah mencapai
tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan,
pemindahan atau pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. Dalam menentukan
lokasi TPA dibutuhkan beberapa parameter, yaitu parameter umum, fisika tanah dan
parameter fisik dan lingkungan.

7

a.

Kriteria Regional dalam Pemilihan Lokasi TPA

Untuk mendapatkan lokasi TPA sampah yang memenuhi persyaratan perlu ditetapkan
beberapa kriteria teknis. Pendekatan kriteria teknis untuk penentuan lokasi sampah telah
diatur dalam persyaratan teknis yang dimuat dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
dengan Nomor

SNI 03-3241-1994. Berdasarkan SNI 03-3241-1994. Lokasi TPA

Sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
• Kondisi Geologi


Tidak terletak di zona Holocene fault



Tidak boleh di daerah berbahaya geologi

• Kondisi Hidrogeologi


Tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter



Tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 106 cm/detik



Jarak terhadap sumber air minum harus > 100 m di hilir



Bila tidak ada zona yang memenuhi kriteria, maka harus ada masukan teknologi
Kemiringan zona harus kurang dari 20%
Jarak dari lapangan terbang (>3.000 meter untuk turbo jet atau 1.500 m untuk jenis
lain).
Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam, dan daerah banjir (periode ulang 25
tahun).
Agar keberadaan TPA tidak mencemari lingkungan, maka jarak TPA ke badan air
penerima > 100m, ke perumahan terdekat > 500 m, ke airport 1500 m (untuk
pesawat propeler) dan 3000 m (untuk pesawat jet). Selain itu muka air tanah harus >
4 m, jenis tanah lempung dengan nilai K < 10-6 cm/det.
Metode pembuangan akhir minimal harus dilakukan dengan controlled landfill (untuk
kota sedang dan kecil) dan sanitary landfill (untuk kota besar dan metropolitan)
dengan “sistem sel”
Prasarana dasar minimal yang harus disediakan adalah jalan masuk, drainase
keliling dan pagar pengaman (dapat berfungsi sebagai buffer zone)
Fasilitas perlindungan lingkungan yang harus disediakan meliputi lapisan dasar
kedap air, jaringan pengumpul lindi, pengolahan lindi dan ventilasi gas / flaring atau
landfill gas extraction untuk mngurangi emisi gas.
Fasilitas operasional yang harus disediakan berupa alat berat (buldozer, excavator,
loader dan atau landfill compactor) dan stok tanah penutup
Penutupan tanah harus dilakukan secara harian atau minimal secara berkala dengan
ketebalan 20 - 30 cm

8

Selain itu pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang
sebagai berikut (dardak, 2007):
1. Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan
daerah perkotaan (Urbanized Area).
2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong
pengembangannya (Urban Promotion Area)
3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju
perkotaan/daerah padat.
4. Penentuan lokasi TPA sampah harus mengacu pada RTR dan ketentuan lainnya
yang terkait.
Berdasarkan UU RI Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah Pasal
9 Ayat 2 Menyatakan Penetapan lokasi tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat
pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan
bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 23 dijelaskan bahwa :
1) Dalam melakukan pemrosesan akhir sampah, pemerintah kabupaten/kota wajib
menyediakan dan mengoperasikan TPA.
2) Dalam menyediakan TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah
kabupaten/kota:
a. melakukan pemilihan lokasi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi
dan/atau kabupaten/kota;
b. menyusun analisis biaya dan teknologi; dan
c. menyusun rancangan teknis.
3) Lokasi TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling sedikit memenuhi
aspek:
a. geologi;
b. hidrogeologi;
c. kemiringan zona;
d. jarak dari lapangan terbang;
e. jarak dari permukiman;
f.

tidak berada di kawasan lindung/cagar alam; dan/atau

g. bukan merupakan daerah banjir periode ulang 25 (dua puluh lima) tahun.
4) TPA yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus dilengkapi:
a. fasilitas dasar;

9

b. fasilitas perlindungan lingkungan;
c. fasilitas operasi; dan
d. fasilitas penunjang.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/Prt/M/2013
Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan
Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Pasal 61 ayat 1
Penutupan TPA dapat dilakukan jika memenuhi kriteria seperti:
a. TPA telah penuh dan tidak mungkin diperluas;
b. keberadaan TPA sudah tidak sesuai lagi dengan RTRW/RTRK kota/kabupaten;
dan/atau
c. dioperasikan dengan cara penimbunan terbuka.

b. Metode Pengelolaan Sampah di Tempat Pembuangan Akhir
Jenis pengolahan sampah di TPA perlu dipertimbangkan sesuai dengan kondisi lokasi,
pembiayaan, teknologi, dan keamanannya. Berbagai cara pengelolaan sampah di TPA,
diantaranya dengan cara Open Dumping, Controlled Landfill dan Sanitary Landfill (
Buku Opsi Sistem dan Teknologi Sanitasi) :
1. TPA Open Dumping sampah dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan
akhir tanpa ada perlakuan apapun. Tidak ada penutupan tanah.
2. TPA Controlled Landfill merupakan sarana pengurugan sampah yang bersifat antara,
sebelum mampu melaksanakan operasi sanitary landill. Penutupan tanah sel
sampah dengan tanahpenutup dilakukan setiap 7 hari sekali.
3. TPA Sanitary landfill merupakan sarana pengurugan sampah ke lingkungan yang
disiapkan dan dioperasikan secara sistematis. Dengan penyebaran dan pemadatan
sampah pada area pengurugan dan penutupan sampah setiap hari. Penutupan sel
sampah dengan tanah penutup juga dilakukan setiap hari
C. ALASAN PEMILIHAN JUDUL DAN LOKASI
Pemilihan judul ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor – faktor apa saja yang
membuat adanya penutupan 6 TPA di Kabupaten Sidoarjo, terutama kaitannya dengan
rencana tata ruang dan kelembagaan yang ada. Apakah Lokasi yang dijadikan TPA
sebelumnya sudah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Sidoarjo atau tidak dan apakah TPA yang ada sudah menggunakan metode sanitary
landfill, control landfill ataukah masih open dumping. Dan apakah TPA yang telah ditutup
itu sudah sesuai dengan SNI yang ada atau tidak.

10

Pola perkembangan di Gerbangkertasusila plus terjadi terutama pada koridor
antar kota dan pada beberapa bagian berfungsi sebagai suatu pusat ( nodal ). Pada
dasarnya antara Surabaya–Sidoarjo bukan lagi Menunjukkan pola koridor akan tetapi
sudah merupakan penyatuan dua kawasan dalam skala besar. Sedangkan ke arah
selatan Kota Surabaya memiliki perkembangan yang pesat, terutama berkembang
kegiatan jasa‐ perdagangan, industri, dan sebagian perumahan. Mengingat koridor ini
sudah sangat padat, maka perkembangan sepanjang jalan utama kota harus dibatasi,
membentuk kawasan industry di luar jalan utama kota. (RTRW Propinsi Jawa Timur
2020).
Dengan adanya perkembangan kearah selatan Surabaya dengan kata lain
adalah

Kabupaten

Sidoarjo

maka

dipastikan

perkembangan

baik

industri,

perumahan/permukiman, perdagangan dan jasa , pergudangan dan sebagainya akan
berdampak terhadap pertambahan jumlah penduduk yang ada. Baik penduduk yang
berasal dari Kab.Sidoarjo sendiri maupun kaum urban dari daerah lain. Akibatnya adalah
semakin bertambahnya jumlah sampah yang dihasilkan oleh penduduk di Kabupaten
Sidoarjo setiap tahunnya. Jumlah sampah yang semakin banyak ini akan berdampak
pula pada kondisi TPA yang ada, terutama daya tampung dari TPA. Dengan adanya
kelebihan daya tampung ini, bisa dipastikan lama kelamaan akan menyebabkan TPA
ditutup apabila tidak ada teknologi yang digunakan untuk mengolah sampah.
D.

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT
Faktor-faktor pendukung dalam penutupan TPA yang ada di Kabupaten Sidoarjo
( TPA Barengkrajan - Krian, TPA Tambak Kalisogo - Jabon, TPA Bulu Sidokare Sidoarjo, TPA Bluru Kidul - Sidoarjo, TPA Ngelom - Taman, TPA Candi Pari – Porong)
sebagai berikut :
1. Lokasi TPA tidak berada dijalur utama transportasi/jalan arteri sehingga kendaraan
pengangkut sampah agak mengalami kesulitan untuk keluar masuk.
2. Volume sampah yang ada di TPA tidak sebanding dengan daya tampung TPA yang
ada.
3. Belum ada teknologi yang digunakan untuk pengolahan sampah, sehingga sampah
yang ada hanya dibiarkan saja/open dumping. Akibatnya akan menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Sedangkan faktor penghambatnya adalah TPA yang dioperasikan di Kabupaten
Sidoarjo saat ini hanya TPA Kupang – Jabon. Apabila TPA yang lainnya ditutup maka
dapat dipastikan TPA Kupang umur pemakaiannya juga tidak akan lama karena harus
menampung seluruh sampah yang ada di Kabupaten Sidoarjo.

11

E. IMPLIKASI TEORI KEBIJAKAN SPASIAL TERHADAP PENGELOLAAN SANITASI
YANG DIPILIH
Berdasarkan data yang ada di Masterplan Pengelolaan Sampah kabupaten
Sidoarjo Tahun 2013, terdapat 6 TPA yang telah ditutup dari 7 TPA yang dimiliki, berikut
adalah nama-nama TPA yang sudah ditutup :
Lokasi Bekas Lahan TPA
NO.

LOKASI TPA YANG TIDAK DIMANFAATKAN

LUAS (M²)

1.

Ds. Barengkrajan, Krian

24.625

2.

Ds. Tambak kalisogo, Jabon

22.635

3.

Ds. Bulu Sidokare, Sidoarjo

23.000

4.

Ds, Bluru Kidul, Sidoarjo

20.000

5.

Ds. Ngelom, Taman

20.064

6.

Ds Candi Pari, Porong

20.000

Luas

130.324

Sumber : Masterplan pengelolaan sampah, 2013
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009-2029, Ds. Barengkrajan,
Krian terletak di SSWP IV dengan fungsi utama konservasi pertanian teknis, peternakan,
zona industry ditunjang dengan kegiatan permukiman kepadatan rendah. Ds. Tambak
kalisogo, Jabon terletak di SSWP III dengan fungsi utama sebagai Kawasan
Permukiman, Konservasi Geologi, industri, pertanian,dan perdagangan skala regional.
Ds. Bulu Sidokare dan Ds, Bluru Kidul, Sidoarjo terletak di SSWP II dengan fungsi utama
permukiman, pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa. Ds. Ngelom, Taman terletak
di SSWP I dengan fungsi utama Permukiman, Industri dan Perdagangan skala lokal,
regional, dan internasional. Ds Candi Pari, Porong terletak di SSWP V dengan fungsi
utama kawasan budidaya perikanan dan pariwisata.
Menurut Teori Konsentris dari Ernest W. Burgess, Teori Struktur Kota dibagi
menjadi 5 zona. Dimana TPA dikawasan krian, jabon, taman, porong merupakan zona
penglaju karena rata-rata masyarakatnya bekerja di Kota. Sedangkan untuk TPA di
kawasan sidoarjo kota, masuk dalam zona CBD atau pusat pelayanan. Berdasarkan
Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt, struktur kota juga terbagi menjadi 5
zona, Untuk TPA kawasan krian, jabon,porong dan taman termasuk dalam zona

12

permukiman kelas menengah. Sedangkan untuk TPA yang berada di Kecamatan
Sidoarjo terletak di zona pusat wilayah kegiatan. Berdasarkan Teori Inti Berganda
(Multiple Nuclei) dari C. D. Harris dan E. L. Ullman (1945) TPA dikawasan porong
termasuk dalam Kawasan Zona wilayah permukiman suburb, sedangkan untuk TPA
yang terletak di kawasan sidoarjo kota termasuk kedalam zona pusat kegiatan wilayah.
Untuk TPA yang terletak dikawasan krian, jabon dan taman termasuk dalam wilayah
industry suburb.
Berdasarkan Teori Lokasi Christaller (1933) , pusat pelayanan cenderung
berada didalam wilayah dengan syarat yang pertama topografi yang seragam
sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain
dalam hubungan dengan jalur pengangkutan. Kedua, kehidupan ekonomi yang homogen
dan tidak memungkinkan adanya produksi primer. Dalam “ Central Place Theory ” christaller
dijelaskan suatu wilayah memiliki ketergantungan pada wilayah lain. Pada setiap wilayah memiliki
kelebihan dibanding yang lain sehingga wilayah tersebut memiliki beberapa fasilitas yang mampu
melayani kebutuhan penduduk dalam radius yang lebih luas, sehingga penduduk akan mendatangi
wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Christaller menjelaskan bahwa teori tempat
pusat merupakan suatu tempat yang menyediakan barang dan jasa bagi daerah itu sendiri dan daerah
orang lain. Pusat pelayanan persampahan berupa TPA yang ada di Kabupaten Sidoarjo
tentunya mempunyai topografi yang berbeda tidak sesuai dengan teori christaller

yang

menyatakan suatu daerah mempunyai keseragaman topografi. Berdasarkan data BPS (Kab.
Sidoarjo dalam angka) tahun 2014, topografi kawasan krian terletak 12 m diatas permukaan laut,
kawasan taman 9 m diatas permukaan laut,, sidoarjo dan porong 4 m diatas permukaan laut,, jabon 2
diatas permukaan laut. Kondisi yang ada ini jelas berbeda dengan pendapat christaller yang
menyatakan topografi daerah memiliki keseragaman. Untuk central place theory seluruh lokasi TPA di
Kabupaten Sidoarjo yang sudah ditutup bisa dikatakan teori ini dapat diterapkan karena 1 TPA yang ada
melayani beberapa kecamatan disekitarnya. Untuk TPA barengkrajan krian melayani wilayah di
Kabupaten Sidoarjo bagian barat, diantaranya krian, balongbendo, tarik, wonoayu, prambon. TPA
Ds.ngelom Taman melayani Wilayah Sidoarjo bagian utara diantaranya sukodono, taman, waru. TPA
Ds. Tambak kalisogo, Jabon melayani Sidoarjo bagian timur diantaranya tanggulangin
dan jabon . Ds. Bulu Sidokare, Sidoarjo melayani wilayah gedangan, sedati, buduran.
Ds, Bluru Kidul, Sidoarjo melayani candi dan kecamatan sidoarjo. Ds Candi Pari, Porong
melayani wilayah Sidoarjo bagian selatan diantaranya tulangan, krembung, porong.
(Hasil analisa, 2015).
Menurut SNI 03-3241-1994, Lokasi TPA Sampah yang sudah ditutup di Kab.
Sidoarjo, ada beberapa poin di SNI yang sudah diterapkan, diantaranya kemiringan
lahan kurang dari 20 %, di Kabupaten Sidoarjo rata-rata kemiringan lahan 5-15 %.

13

Lokasi TPA tidak berada dicagar alam. Sedangkan untuk Kawasan yang sering
mengalami banjir atau genangan terbanyak adalah di wilayah Kota Sidoarjo dan
Kecamatan Waru, Di samping itu pada daerah hilir sungai atau sebelah Timur Jalan
Raya Surabaya Sidorjo Porong dan antara Jalan Tol dengan Jalan Raya sering terjadi
genangan. Beberapa daerah yang rawan dan sering terkena banjir/genangan antara
lain: Kawasan perkotaan Bluru Kidul, Rangka, Gebang, Kemiri, Suko dan daerah lainya
di luar kota Sidoarjo. Sehingga dari 6 TPA yang telah ditutup ada 1 TPA yang lokasinya
rawan banjir yakni TPA bluru kidul, sidoarjo.

Secara garis besar TPA di Kabupaten Sidoarjo yang sudah
mengalami penutupan ini masih banyak yang belum sesuai dengan SNI.
Diantaranya metode pembuangan akhir yang masih menggunakan open
dumping, dimana sampah-sampah yang ada hanya ditumpuk di TPA tanpa
adanya pengolahan lebih lanjut. Metode open dumping ini menyebabkan
kerusakan pada lingkungan. Di peraturan pemerintah tentang pengelolaan
sampah, metode ini sudah seharusnya ditinggalkan mulai tahun 2003, tetapi
kenyataannya metode ini masih tetap digunakan. TPA yang ada juga seharusnya
dilengkapi oleh zona penyangga (buffer zone) dan kolam leachate serta
penutupan tanah harus dilakukan secara harian atau minimal secara berkala dengan
ketebalan 20 - 30 cm. Tetapi pada kenyataannya hal ini pun tidak dilakukan di TPA yang
sudah di tutup.
Pembangunan prasarana dan sarana kebersihan/persampahan skala kabupaten
berdasarkan RTRW Kab. Sidoarjo Tahun 2009-2029

dilakukan dengan penyediaan

prasarana dan sarana penanganan sampah terpadu pada Tempat Pengelolaan Akhir
(TPA) di Jabon dan Tarik penanganan kebersihan dan persampahan skala Kabupaten
juga dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat dan penerapan teknologi tepat guna.
yang ramah lingkungan dalam penanganan sampah. Pengembangan TPA di lokasi lain
harus sesuai dengan kajian teknis penentuan TPA. Menurut RTRW Kab. Sidoarjo
Tahun 2009-2029 dari 6 lokasi TPA yang sudah ditutup, hanya 1 lokasi TPA yang
sesuai dengan RTRW yaitu TPA Jabon. Sedangkan 5 TPA diantaranya tidak sesuai
dengan rencana pada RTRW Kab. Sidoarjo Tahun 2009-2029. Menurut undang-undang
No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, lokasi TPA harus disediakan oleh
pemerintah setempat dengan memperhatikan RTRW yang ada, berdasarkan dardak,
2007 pun demikian bahwa lokasi TPA harus sesuai dengan rencana tata ruang dan jauh
dari permukiman warga. Sementara Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia Nomor 03/Prt/M/2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana

14

Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga Pasal 61 ayat 1 menyatakan bahwa Penutupan TPA dapat
dilakukan jika memenuhi kriteria seperti:
1. TPA telah penuh dan tidak mungkin diperluas;
2. keberadaan TPA sudah tidak sesuai lagi dengan RTRW/RTRK kota/kabupaten;
dan/atau
3. dioperasikan dengan cara penimbunan terbuka.
Dari aspek regulasi, pendapat pakar dan hasil wawancara dengan aparat terkait,
dapat dijelaskan bahwa penutupan 6 TPA di Kabupaten Sidoarjo sudah memenuhi
syarat baik secara teknis persyaratan TPA berdasarkan SNI, rencana tata ruang dan
regulasi tentang pengelolaan sampah. Selain karena 5 dari 6 TPA yang ada tidak sesuai
dengan RTRW, juga karena TPA yang ada sudah penuh untuk TPA Krian dan Jabon
juga metode yang masih digunakan adalah open dumping dimana metode ini sudah
dilarang oleh pemerintah.untuk TPA. Disamping itu ada juga konflik sosial yang terjadi
seperti pada TPA Candipari, porong keberadaannya di tolak oleh warga.

15

Lokasi TPA yang sudah ditutup :
F. Lesson Learned
1. Kesimpulan
Berdasarkan teori struktur kota, teori lokasi dan regulasi yang ada tentang pengelolaan
sampah dan RTRW Kab. Sidoarjo Tahun 2009-2029 dapat ditarik kesimpulan bahwa
secara struktur kota, 6 Lokasi TPA yang sudah ditutup 4 diantaranya (TPA Krian, TPA
Jabon, TPA Porong, dan TPA Taman) sudah sesuai karena tidak terletak di di daerah
CBD (Central Business Districts), sedangkan 2 Lokasi TPA yang terletak di Kecamatan
Sidoarjo secara teori struktur kota tidak sesuai untuk lokasi TPA. Berdasarkan Teori
Christaller, keseragaman topografi tidak bisa diterapkan untuk lokasi TPA, karena
topografi yang ada berbeda-beda. Sedangkan untuk Central place theory bisa
diterapkan untuk masing-masing TPA karena melayani kawasan di luar kawasannya
sendiri. Menurut RTRW Kab. Sidoarjo dan regulasi tentang pengelolaan sampah, 5 dari
6 lokasi TPA yang ada tidak sesuai dengan RTRW dan metode yang digunakan adalah

16

open dumping dan tidak terdapat zona penyangga serta kolam leachet (lindi) untuk
masing-masing TPA sesuai dengan yang dipersyaratkan di SNI 03-3241-1994 .
Sehingga kesimpulannya penutupan lokasi TPA yang ada di Kabupaten Sidoarjo secara
garis besar sudah tepat/sesuai untuk mengurangi pencemaran lingkungan.
2. Lesson Learned


Bagi Pemerintah
Penetapan Lokasi pelayanan sampah terutama TPA harus mengacu pada
Regulasi perencanaan tata ruang yang ada (RTRW Kabupaten Sidoarjo).
Membentuk tim teknis untuk mengawasi pengelolaan TPA di Kabupaten
Sidoarjo.
Penerapan metode control landfill/sanitary landfill harus dijalankan di TPA untuk
mengurangi pencemaran lingkungan
Untuk merencanakan TPA, tidak hanya memperhatikan lokasi saja tetapi juga
persyaratan teknis yang sesuai dengan SNI juga harus diterapkan.



Bagi Swasta
Swasta dapat bekerjasama dengan pemerintah untuk melakukan pengelolaan
sampah dengan menggunakan kesepakatan bagi hasil. Ini dikarenakan dana
yang digunakan untuk pengelolaan sampah sangat besar.



Bagi bidang sanitasi
Ahli sanitasi bisa membantu pemerintah untuk penerapan teknologi pengelolaan
sampah yang ramah lingkungan.
Regulasi dan teknologi harus berjalan seimbang, sehingga tidak terjadi tumpang
tindih dalam penerapannya.