Pemilihan umum DI INDONESIA era

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

D

IS
R

U
E

S
Y

X

U
H

-1

O


N
A
0

N

L
C

E
A

H
H

:
Y

O


T

R

IA

N

A

N

T

O

(2

5


)

A. MASA DEMOKRASI PARLEMENTER
(1945 – 1959)


Awalnya pemilu direncanakan sejak bulan Oktober 1945



1955 dilakukan pemungutan suara dua kali. Pertama, memilih anggota
DPR pada bulan September 1955. Kedua, memilih anggota Konstituante
pada bulan Desember 1955.



Sistem yang digunakan adalah proposional. Dicontohkan oleh Belanda
serta satu – satunya sistem yang dikenal oleh para pemimpin negara




Menghasilkan 27 partai dan satu perorangan dengan jumlah total 257
kursi. Pemenangnya ada 4 partai, yaitu Masyumi, PNI, NU, dan PKI.



Namun tidak terjadi stabilitas politik. Kabinet Ali Sastroamijoyo I
dan II yang memerintah selama dua tahun dan terdiri atas koalisi tiga
besar, yaitu masyumi, NU, dan PNI ternyata tidak kompak menghadapi
beberapa persoalan.

B. PEMILIHAN UMUM PADA MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN (1959 – 1965)


Soekarno mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang kebebasan untuk
mendirikan partai, dengan mengurangi jumlah partai menjadi sepuluh.




Sepuluh partai tersebut adalah PNI, Masyumi, NU, PKI, Partai Khatolik, Partindo,
Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, dan Partai Islam Perti.



Pemilu dilaksanakan tahun 1971 pada masa orde baru, di zaman demokrasi terpimpin
tidak diadakan pemilu

C. MASA DEMOKRASI PANCASILA / ORDE
BARU
• Runtuhnya rezim demokrasi Terpimpin ada harapan besar bagi kalangan masyarakat
untuk mendirikan partai


Musyawarah Nasional III Persahi 1966 dan simposium HAM pada Juni 1967. Diskusi
terpenting adalah seminar Angkatan Darat II tahun 1966 di seskoad, Bandung.




Salah satu cara untuk mengurangi jumlah partai adalah dengan diadakan pemilu. Secara
alamiah tanpa paksaan adalah dengan sistem distrik.



Berkurangnya jumlah partai dapat membawa stabilitas politik. Keputusan seminar
kemudian di tuangkan dalam suatu Rancangan Undang - Undang ditolak oleh partai partai
di DPR tahun 1967. Alasannya ada kekhawatiran bahwa sistem distrik akan merugikan
eksistensi partai politik. Akhirnya sistem pemilu diganti menjadi sistem proporsional.



Presiden Soeharto mulai mengambil beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan
kepartaian. Pertama adalah mengadakan fusi ( penggabungan ) yaitu menggabungkan
menjadi 3 golongan yaitu, Golongan Nasionalis : Partai Demokrasi Indonesia
(PDI)
Golongan Spiritual

: Partai Persatuan Pembangunan (PPP)


Golongan Karya

: Golkar

D. MASA REFORMASI/ PASCA ORDE
BARU


Dibuka kembali kesempatan untuk partai politik bergerak secara bebas
termasuk mendirikan partai baru. Terwujud dalam pemilu 1999 bersifat
multipartai, dengan 48 partai politik



Tahun 2004 pertama kali dilaksanakan pemilu untuk memilih Presiden dan
wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)




Diadakan pemilu untuk badan baru, yaitu Dewan perwakilan Daerah
(DPD)



Diadakan electoral threshold, yaitu ketentuan bahwa untuk pemilihan
legislatif harus meraih 3% dari jumlah persen kursi anggota. Untuk pemilu
Presiden dan Wakil Presiden harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi
dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah
secara nasional. Kemudian electoral threshold bisa mengajukan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden harus berkoalisi dengan partai.