INDONESIA TOLERANSI ANTARBUDAYA DI TENGA

Indonesia, Toleransi Antarbudaya di Tengah Globalisasi, Siap Hadapi
ASEAN Community 2015
Andi Sitti Rohadatul Aisy
Universitas Hasanuddin

Hingga tulisan ini terkirim, telah banyak pertikaian, peperangan, dan darah yang
tertumpah atas nama agama, suku, dan ras. Setiap mata saling pandang merendahkan, bukan
memberdayakan. Setiap telinga saling dengar fitnah keburukan, bukan nasihat yang
menenangkan. Setiap gerak saling melukai, bukan mengasihani. Perbedaan selalu menjadi
perkara, di manapun itu, mengenai suku, ras, budaya, dan agama, bahkan pertumpahan darah
tak jarang terjadi, meskipun sebenarnya bukan itu pemicu utamanya, namun dengan motif
perbedaan lebih nyaring didengar. Maka saat itu pula seluruh dunia akan angkat bicara
mengenai kedamaian. Menuliskan artikel berlembar-lembar, berpidato panjang lebar sebagai
aksi kepedulian, atau melancarkan sebuah misi?
Berbicara mengenai damai dan toleransi, sebagai makhluk sosial, manusia selalu
hidup berdampingan dan saling membutuhkan, tidak mungkin seorang manusia akan
bertahan hidup dengan kesendiriannya. Manusia akan selalu berinteraksi, saat itulah toleransi
bekerja. Setiap dari kita akan duduk berdampingan, saling membantu dan membutuhkan satu
sama lain, saling bertukar pikiran, tidak memandang dia siapa dan apa. Memasuki kondisi
bertepatan masuknya komunitas masyarakat ASEAN terjadilah proses interaksi berbagai
transforormasi budaya, ekonomi, dan politik antarnegara di Asia Tenggara. Tetapi

sebelumnya, mari kita ketahui dahulu tentang apa yang termasuk di dalam kata „budaya‟.
Seperti umumnya, budaya terdiri dari dua jenis. Yang satu berbicara tentang
keistimewaan primordial dan bawaan, seperti bahasa, agama, sejarah dan kebiasaan. Yang
kedua menunjukkan kumpulan nilai, cara bersikap dan berpikir. Kita bisa menemukan
beberapa persamaan dari jenis satu antara negara-negara di ASEAN. Misalnya, persamaan
bahasa. Bahasa Indonesia dan bahasa Melayu mirip dan dipakai di Indonesia, Brunei,
Malaysia, Singapura, dan beberapa daerah di Filipina dan Thailand. Bahasa Thai juga dipakai
baik di Thailand, maupun di China selatan, di Vietnam, daerah „Shan‟ di Myanmar, di Laos,
dan di Kamboja barat. Lalu, kesenian dan mitos, misalnya cerita Ramayana. Cerita Ramayana
terkenal dan asli dari setidaknya enam atau tujuh negara di ASEAN, antara lain Indonesia,
Thailand, Laos dan juga Myanmar. Ketika persamaan seperti ini ada, kita bisa meningkatkan
kesadaran tentang persamaan itu. Tetapi, kita mungkin tidak bisa hanya mengandalkan
1

persamaan kebiasaan yang sudah ada. Kita bisa mengalihkan perhatian terhadap aspek
budaya yang berhubungan dengan lebih banyak tentang ide dan konsep, yaitu nilai, cara
bersikap, dan berpikir. 1
Menurut penulis, aspek ini memberikan kita lebih banyak kesempatan menciptakan
kumpulan nilai sama. Contohnya, penghormatan hirarki dalam kehidupan sosial masyarakat,
pendekatan konsensus dalam pengambilan sebuah keputusan, dan mementingkan komunitas

atau kelompok daripada individu, hal tersebut yang jelas paling menyolok dan bisa
mempersatukan bangsa-bangsa di ASEAN, karena pendekatan spiritual tersebut untuk
masyarakat, termasuk di dalamnya, semangat untuk membangun komunitas mengenai aspek
manusia.
Beberapa tahun yang lalu juga, Sekretaris-Jenderal ASEAN sudah mengatakan
beberapa ide tentang persamaan nilai di kawasan ini, “Generally speaking, an ASEAN citizen
is family-oriented, tradition-minded, respectful of authority, consensus-seeking and tolerant.
Basically, we have a culture of caring and sharing. Helping each other, sharing
responsibilities, sharing benefits. These common qualities in attitudes and predispositions
are clearly reflected in the Bali Concord II (Declaration of ASEAN Concord II) adopted by
ASEAN Leaders at their Summit in Bali, in October 2003. This important document has
stressed shared responsibility, shared prosperity and shared identity.”

Director-General

ASEAN, H.E Ong Keng Yong.2 Seperti yang beliau katakan, kita bisa menciptakan tujuan
persamaan dari persamaan nilai itu, dan proses tersebut sudah diadakan lewat programprogram seperti yang diresmikan dalam Bali Concord II “ASEAN Socio-Cultural
Community”.

Bagaimana kita bisa menggunakan persamaan budaya ini lebih lanjut sebagai

pemersatu bangsa-bangsa ASEAN? Nah dalam hal ini, peran budaya yang paling penting
adalah membuat persamaan antara bangsa-bangsa menjadi nyata untuk rakyat di ASEAN,
khususnya pemuda di ASEAN, karena merekalah yang akan melaksanakan visi-visi ASEAN
Socio-Cultural Community. Langkah lain untuk meningkatkan penggunaan persamaan
budaya sebagai pemersatu bangsa-bangsa ASEAN adalah menciptakan lebih banyak
kesempatan untuk kolaborasi antara seniman dari ASEAN, mengadakan forum-forum yang
mendiskusikan nilai ASEAN dan cara-cara untuk mengerti perbedaan, mengatur programprogram pertukaran mahasiswa, serta program-program sosial yang berkaitan dengan salah
1

Milton Osborne. Southeast Asia: An Illustrated Introductory History. Allen & Unwin, St. Leonards, 1991.
“ASEAN Cultural Connection: ASEAN Values and its Relevance to the Modern World”, Address by H.E.
Ong Keng Yong, Secretary-General of ASEAN at the Public Relations Academy of Singapore”12th November
2003, Singapore
2

2

satu nilai penting yaitu mengorbankan diri untuk kelompok besar dan keinginan membantu
orang lain.
Langkah-langkah itu kelihatannya kecil tetapi ada potensi yang dapat menciptakan

dampak kuat, walaupun kelihatannya ada perbedaan antara budaya negara-negara ASEAN,
kita masih bisa menemukan beberapa hal yang sama dari banyak hal yang berbeda. Lebih
dari itu, menciptakan kesempatan untuk meningatkan kesadaran tentang persamaan itu.
Lewat pengalaman nyata, diharapkan bangsa-bangsa di ASEAN akan sadar persamaan dan
sekaligus, menghargai keindahan perbedaan. Ketika toleransi budaya dilakukan dengan cara
ini, kita mungkin bisa mencapai tujuan akhir, yaitu memperkuat identitas regional dan
membantu proses kerja sama di kawasan Asia lainnya.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebagai modal sosial menuju kesejahteraan, tahun
2015 nanti, Indonesia akan memasuki zona baru dalam tata pergaulan regional dihampir
segala dimensi hidup, saat itu kita akan menjadi sebuah kawasan bebas dalam bingkai
ASEAN Community 2015. Dengan masuknya negeri ini ke dalam lingkup tersebut, mau tak
mau akan meletakkan negara kita pada model kompetisi yang semakin sengit dan ketat.
Energi kebangsaan kita akan sangat diperlukan untuk menjawab tantangan kompetisi antar
negara tersebut. Mengingat kawasan ASEAN sangat kaya akan keberagaman baik agama,
suku, ras, bahasa, dan warna kulit, memasuki ASEAN Community yang mana negara-negara
ASEAN akan menjadi “satu” atau semakin pudarnya “garis-garis” antar negara yang ada di
kawasan ASEAN, di sinilah keberagaman nilai-nilai kebangsaan kita menjadi ruang yang
kuat untuk mampu memacu semangat kompetisi ini. Karena bila tidak, maka yang terjadi
negeri kita akan semakin tertinggal dan akhirnya berpotensi menjadi sebuah "negara gagal".
Modal sosial keberagaman itulah yang menjadi ruang bagi tumbuhnya era baru kesejahteraan

rakyat. Penguatan keberagaman inilah yang menjadi pilar untuk mendayagunakan kreatifitas,
kegotong-royongan serta nilai-nilai lokal yang menjadi bagian inheren dalam diri kita.
Bagaimanapun

untuk

menjadikan

keberagaman

kebangsaan

kita

mampu

terinternalisasi dalam dimensi hidup masyarakat, peran seumua pihak menjadi demikian
diperlukan. Karena bagaimana kita mampu berkompetisi di arena regional dan internasional
bila hampir seluruh energi kebangsaan kita habiskan hanya untuk membangun kecurigaan
dan prasangka diantara sesama anak bangsa sendiri.

Terlepas dari itu semua, selanjutnya penullis ingin menuliskan dua berita atau artikel
mengenai pandangan negara lain terhadap Indonesia, yang menurut penulis seharusnya
membuat kita bangga dan sebagai tantangan ke depannya. Pertama, seperti yang dimuat oleh
PEN@ Katolik dalam artikel

bertajuk “Vatikan Anggap Indonesia Contoh dan Model
3

Perdamaian dan Toleransi”, “Vatikan telah lama menganggap Indonesia sebagai contoh yang
baik dan model perdamaian, hidup berdampingan antaragama dan toleransi di antara
kelompok-kelompok agama-agama yang berbeda ,” Sekretaris Negara Vatikan, Kardinal

Pietro Parolin, dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, di
Jakarta, Selasa, 11 Agustus 2015. Pembicaraan yang berlangsung setengah jam itu mencakup
empat bidang, koeksistensi antaragama, kerjasama kebudayaan, prakarsa-prakarsa media
bersama, dan pendidikan. Sekretaris Negara itu menghargai fenomena yang sangat signifikan
sehingga masyarakat menunjukkan rasa hormat, hidup dalam toleransi dan menerima
keragaman, yang membuat Indonesia menjadi sebuah bangsa yang benar-benar unik.
Menurut Kardinal Parolin, di negara tempat terjadi ketegangan antara Muslim dan Kristen,
yang paling penting adalah menemukan cara untuk menghormati dan menerima perbedaan;

seraya berupaya agar tidak kasar dan agresif. Dalam pernyataan bersama yang dirilis setelah
pertemuan itu, kedua pihak menyatakan bahwa semua perbedaan harus disikapi dengan cara
sebaik mungkin dan semua kelompok harus menunjukkan kesediaan untuk bekerja sama
menciptakan dunia yang terbuka terhadap setiap orang. 3
Selanjutnya dalam pertemuan bilateral Menlu RI, Retno L.P. Marsudi dengan
mitranya Menlu AS, John F. Kerry di Washington D.C., pada senin 21 Agustus 2015, dalam
pertemuan tersebut, Menlu Kerry menegaskan bahwa sebagai negara kunci di ASEAN,
Indonesia memainkan peran penting dalam menjaga sentralitas ASEAN, kedua Menlu juga
membahas kerjasama untuk mempromosikan toleransi dan moderasi dalam menyikapi
berbagai tantangan fenomena radikalisme global. Menlu Kerry menggarisbawahi bahwa
Indonesia merupakan power house toleransi dan pluralisme. Dalam hal ini Menlu Kerry
menyampaikan bahwa sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia
memiliki peran penting dalam mengatasi berbagai ancaman radikalisme dan ektrimisme di
dunia dewasa ini. 4
Pada tataran di dalam suatu negara, dengan memberikan ilustrasi dari pengalaman
nasional Indonesia yang merupakan negara dengan masyarakat beragam, multi etnis dan
multi bahasa dimana konsep persatuan dalam keberagaman menjadi sesuatu yang tertanam
dalam DNA masyarakat Indonesia. Kerukunan yang sudah ada di Indonesia itu bukan lagi

3


Dikutip dari artiket bertajuk Vatikan Anggap Indonesia Contoh dan Model Perdamaian Toleransi oleh
PEN@ Katolik, diakses melalui http://penakatolik.com/2015/08/13/vatikan-anggap-indonesia-contoh-danmodel-perdamaian-dan-toleransi/ pada 30 September 2015, 13:00 WITA
4
Dikutip dari artikel bertajuk Menlu AS: Indonesia Power House Toleransi dan Pluralisme oleh
Widyastuti Padmarini http://jaringnews.com/internasional/amerika/72555/menlu-as-indonesia-power-housetoleransi-dan-pluralisme pada 30 September 2015 pada 30 September 201513:00 WITA

4

dalam skala nasional, tetapi sudah dalam level internasional. Sebab, kerukunan di Indonesia
adalah yang terbaik di dunia.
Perluasan ASEAN membawa banyak keberagaman. ASEAN tidak hanya milik satu
budaya atau kepercayaan. Heterogenitas ASEAN menjadi tantangan identitas ASEAN.
Sebagai negara multikultur, yang mempraktekkan toleransi yang baik, masyarakat Indonesia
bisa menjadi pelopor kehidupan toleran di ASEAN. Biarpun berbeda-beda, dengan semangat
nasionalisme, semua elemen di Indonesia bersatu padu demi identitas mereka sebagai bangsa
Indonesia. Semangat ini harus ditularkan di ASEAN agar identitas ASEAN pun terbentuk
dari keberagaman yang ada di dalam ASEAN itu sendiri.
Identitas sebagai warga ASEAN harus berdasar pada kokohnya budaya toleransi
masing-masing negara, yang akan menopang single ASEAN identity. Selain itu, budaya

politik demokrasi harus menjadi fundamen bagi implementasi Piagam ASEAN dan ketiga
pilarnya, agar keberagaman ASEAN tadi dimaknai sebagai sebuah political entity yang
menuju pada identitas satu ASEAN. One Vision, One Identity, dan One Community.
Promosi saling percaya dan toleransi merupakan sesuatu yang tidak hanya benar
untuk dilakukan melainkan juga cerdas. Sikap toleran berperan tak tergantikan dalam upaya
pencapaian tujuan-tujuan pembangunan dalam bidang ekonomi, politik, keamanan, dan
lainnya. Sebaliknya, defisit dalam sikap percaya dan toleran secara serius dapat menghambat
upaya mewujudkan pembangunan. Namun, ini jelas bukan pekerjaan rumah nasional, bukan
individu-individu, dan juga bukan hanya beberapa negara saja, melainkan dibutuhkan
perbuatan dari banyak orang untuk mengembalikan nilai toleransi yang seakan sudah lenyap
di dunia.
Toleransi itu diibaratkan seperti api unggun. Satu jam saja dihidupkan, maka dapat
menyelesaikan ribuan masalah. Jadi penting menghidupkan kembali api unggun di Asia
Tenggara melalui gerakan toleransi. Kalau di tiap negara menghidupkan api unggun satu jam
saja setiap minggu, bayangkan berapa masalah dan konflik yang bisa diatasi? Toleransi itu
bagaimana seorang

manusia

menyikapi keberagaman.


Memahami perbedaan dan

menjadikannya modal penting membangun peradaban. Toleransi harus melewati batas-batas
teori, melangkah jauh menjadi sebuah aksi hakiki. Toleransi, jika hanya sebatas teori, yang
ada hanyalah imaji dalam mimpi-mimpi. Toleransi, sekali lagi, adalah sikap bijak terhadap
perbedaan.

5

Daftar Pustaka
Osborne, Milton. 1991. Southeast Asia: An Illustrated Introductory History. Allen & Unwin,
St. Leonards.
“ASEAN Cultural Connection: ASEAN Values and its Relevance to the Modern World”,
Address by H.E. Ong Keng Yong, Secretary-General of ASEAN at the Public
Relations Academy of Singapore” 12th November 2003, Singapore.
Vatikan Anggap Indonesia Contoh dan Model Perdamaian Toleransi . PEN@ Katolik,

Agustus 2015. Diakses melalui http://penakatolik.com/2015/08/13/vatikan-anggapindonesia-contoh-dan-model-perdamaian-dan-toleransi/ pada 30 September 2015,
13:00 WITA

Padmarini, Widyastuti. 2015. Menlu AS: Indonesia Power House Toleransi dan Pluralisme .
Diakses

melalui

http://jaringnews.com/internasional/amerika/72555/menlu-as-

indonesia-power-house-toleransi-dan-pluralisme pada 30 September 2015, pada 30
September 2015 13:00 WITA

6