HAM DALAM PERSPEKTIF PANCASILA. doc
0
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA
( Kasus Kebebasan Beragama)
Oleh Yazwardi
A. Latar Belakang Masalah
Pada medio Juni 2004, dua orang intelektual Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta
dan Sayidiman Suryohadiprojo, gubernur lemhanas pada waktu itu, menulis artikel yang
saling bersahutan di kolom harian kompas. Keduanya sepakat dan saling mendukung
tentang upaya dikembalikannya Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan istilah
“Rejuvenasi Pancasila”. Azra dapat dianggap sebagai intelektual muslim yang mewakili
golongan mayoritas muslim dan Sayidiman mewakili kalangan militer. Fakta ini
menunjukkan kegelisahan dua anak bangsa tentang pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara yang semakin redup dan mulai kehilangan nilai-nilai falsafatinya.
Di antara tulisan Azra1 tersebut adalah sebagai berikut:
Apakah sebuah ideologi masih penting bagi negara, Pertanyaan tentang relevansi
ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru.
Sejak akhir 1960-an, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi
ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran
internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada awal 1970-an telah berbicara tentang
"the end of ideology". Namun, perang dingin yang terus meningkat antara Blok
Barat dengan ideologi kapitalisme dan Blok Timur dengan ideologi sosialismekomunisme menunjukkan bahwa ideologi tetap relevan dalam kancah politik,
ekonomi, dan lain-lain.Gelombang demokrasi yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan runtuhnya rezim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa
Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti
Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai "the end of
history", masa "akhir sejarah" di mana satu-satunya ideologi yang relevan adalah
demokrasi Barat. Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan
meningkatnya globalisasi seakan-akan membuat ideologi makin tidak relevan dalam
dunia yang kian tanpa batas. Namun, seperti sudah banyak diketahui, globalisasi
mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi
mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi-baik universal maupun lokal-tetapi
pada pihak lain globalisasi mendorong bangkitnya nasionalisme lokal, bahkan
dalam bentuknya yang paling kasar, semacam ethno-nationalism dan bahkan
tribalism. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai penyebab "Balkanisasi", yang
terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut etnis, sosio1
Kompas, 17 Juni 2004
1
kultural, dan agama seperti Indonesia…. Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai
dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai wacana publik. Dengan menjadi
wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas
pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan
pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik
merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai
ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sehingga tetap
relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Sayidiman2 menyahuti artikel tersebut:
…Sebenarnya pendapat Azyumardi Azra bukan hal baru karena sudah sering
dinyatakan, sekalipun tanpa istilah "rejuvenasi". Namun, yang sering menyatakan
adalah anggota TNI, mantan TNI, atau orang yang dekat dengan TNI. Ada
prasangka sementara orang, memperjuangkan Pancasila adalah memperjuangkan
kembalinya kekuasaan rezim Soeharto meski yang menyatakan adalah mantan TNI
yang tidak termasuk lingkungan kekuasaan Soeharto. Maka, bila kini dinyatakan
oleh orang yang bukan atau dekat TNI, semoga tidak terjadi prasangka....namun,
harus secara sadar diakui, rejuvenasi Pancasila adalah perjuangan yang berat dan
sulit. Selain harus mengatasi sinisme di banyak kalangan karena Pancasila sudah
didiskreditkan para penguasa Republik Indonesia, juga harus berjuang melawan
kuatnya dan agresifnya ideologi Barat yang hendak menguasai Indonesia.
Dua tokoh tersebut sesungguhnya mewakili perasaan sebagian anak bangsa yang
merasa semakin gamang tentang ideologi bangsanya. Setelah lebih dari satu dasawarsa
reformasi, kegamangan atau lebih tepat disebut ’kehilangan pedoman’ kehidupan semakin
dirasakan oleh bangsa Indonesia. Kemajemukan yang sesungguhnya merupakan identitas
kebangsaan yang selama ini semakin kehilangan bentuk, sikap toleransi yang selama ini
di’bangga-banga’kan juga semakin kehilangan arah, dan bahkan semangat (perasaan)
nasionalisme yang seharusnya membangkitkan citra kita sebagai bangsa semakin meluntur
dari hari ke hari. Berbagai kasus dari persoalan sosial, etnik, budaya, politik, ekonomi,
konflik horizontal dan vertikal menambah kuat stigma negatif tentang NKRI; seorang
politisi PDIP Efendi Simbolon dalam live talkshow di sebuah televisi swasta menyebut
NKRI sebagai ’negeri antah berantah”.3 Pancasila yang lebih dari 50 tahun mampu
merekatkan keragaman bangsa telah di”tinggal”kan, dan bangsa ini semakin kehilangan
arah dan tidak mustahil bermuara pada pencarian ”ideologi baru”.
2
3
Kompas, 23 Juni 2004
Metro TV, Live Talkshow tentang penggunaan pertamax bagi kendaraan pribadi, 5 Januari 2012.
2
Tulisan singkat ini mencoba kembali ”membaca” Pancasila dari perspektif falsafah
yang digunakan sebagai solusi (alat analisis) persoalan kebangsaan yang semakin
menyedihkan ini.
B. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah
ideologi tertutup dan ideologi terbuka.4 Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan
dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial,
yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus
diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi
tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral
yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi
berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia
atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan
kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang
bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang
untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut
ketaatan tanpa reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat,
melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya,
baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai
tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus
dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter
dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi
yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov
Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan
hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4
Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi
implisit. Lihat Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992), hal. 230.
3
Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam
berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai
materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan
tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh
sekelompok orang atas nama kaum proletar.5
Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar,
sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu
dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di
masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori,
melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat
inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.
Sebagai sebuah ideologi bangsa, berikut sejarah ideologi sebagai pandangan hiduo
bangsa sebagaimana yang dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut
Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan
pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada abad
ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem
berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada sebelum
kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan
gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi
kapitalis. Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin
kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada
sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem
menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem
politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik
individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang
menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.Kedua
ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang
dunia kedua hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik
komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam
penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan
pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda
dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika
Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang
berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.6
5
Ibid., hal. 232-233.
Jimly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, www. mahkamahkonstitusi.net. diakses 26
Desember 2011
6
4
Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling
berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat
dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari
sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression)
Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian
berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai
ideologi,
yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi
kapitalisme klasik.
Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun
membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses
demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negara-negara komunis yang
ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.
Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar
utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan
Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini
merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun
kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat
dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide
komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada
sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme.
Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana
mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup
kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah
libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula
halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan
muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.
Mempelajari Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai
budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga
negara Indonesia. Pancasila yang benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam
5
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui
Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan tersebut
diperlukan untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang berbeda, yang
dapat menimbulkan kerancuan pendapat dalam memberikan isi Pancasila yang benar dan
sesungguhnya.
Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna meningkatkan kesadaran akan
peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan karenanya mengikat
seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila
mengandaikan tumbuh dan berkembangnya pengertian, penghayatan dan pengamalannya
dalam keseharian hidup kita secara individual maupun sosial selaku warga negara
Indonesia.
Pendekatan komprehensif diperlukan untuk memahami aneka fungsi dan
kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai historis dan yuridis-konstitusional
Pancasila: sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan
hidup bangsa Indonesia. Telaah tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain
merupakan philosphische grondslaag, dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila
pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau pandangan hidup bangsa (way of
life / weltanschauung). Maka tinjauan historis dan filosofis juga dipilih untuk memperoleh
pemahaman yang mengarah pada hakikat nilai-nilai budaya bangsa yang dikandung
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat. Pancasila adalah keniscayaan sejarah yang dinamis
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, tinjauan
filosofis tidak hendak mengabaikan sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek religius
dalam Pancasila. Dengan tercantumnya Ketuhanan yang mahaesa sebagai sila pertama
dalam Pancasila, Pancasila sebenarnya telah membentuk dirinya sendiri sebagai suatu
ruang lingkup filsafat dan religi. Karena hanya sistem filsafat dan religi yang mempunyai
ruang lingkup pembahasan tentang Ketuhanan yang mahaesa. Dengan demikian secara
‘inheren’ Pancasila mengandung watak filosofis dan aspek-aspek religius, sehingga
pendekatan filosofis dan religius adalah konsekuensi dari essensia Pancasila sendiri yang
mengandung unsur filsafat dan aspek religius. Karenanya, cara pembahasan yang terbatas
pada bidang ilmiah semata-mata belum relevan dengan Pancasila.
6
Secara yuridis-konstitusional, Pancasila adalah dasar negara. Namun secara
multidimensional, ia memiliki berbagai sebutan (fungsi/ posisi) yang sesuai pula dengan
esensi dan eksistensinya sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Karena itu Pancasila sering disebut dan dipahami sebagai: 1 ) Jiwa Bangsa
Indonesia; 2 ) Kepribadian Bangsa Indonesia; 3 ) Pandangan Hidup Bangsa Indonesia; 4 )
Dasar Negara Republik Indonesia; 5 ) Sumber Hukum atau Sumber Tertib Hukum bagi
Negara Republik Indonesia; 6 ) Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia pada waktu mendirikan
Negara; 7 ) Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia; 8 ) Filsafat Hidup yang mempersatukan
Bangsa Indonesia.
Sebutan yang beraneka ragam itu mencerminkan kenyataan bahwa Pancasila
adalah dasar negara yang bersifat terbuka. Pancasila tidak bersifat kaku (rigid), melainkan
luwes karena mengandung nilai-nilai universal yang praktis (tidak utopis) serta bersumber
pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka keanekaragaman
fungsi Pancasila tersebut merupakan konsekuensi logis dari esensinya sebagai satu kesatuan
sistem filsafat (philosophical way of thinking) milik sendiri yang dipilih oleh bangsa
Indonesia untuk dijadikan dasar negara (dasar filsafat negara atau philosophische gronslaag
negara dan atau ideologi negara/ staatside).
Meskipun demikian, dalam tugas dan kewajiban luhur melaksanakan serta
mengamankan Pancasila sebagai dasar negara itu, kita perlu mewaspadai kemungkinan
berjangkitnya pengertian yang sesat mengenai Pancasila yang direkayasa demi kepentingan
pribadi dan atau golongan tertentu yang justru dapat mengaburkan fungsi pokok Pancasila
sebagai dasar negara. Karena itu tepatlah yang dianjurkan Darji Darmodihardjo
berdasarkan pengalaman sejarah bangsa dan negara kita, yaitu bahwa “… dalam mencari
kebenaran Pancasila sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system
tidaklah perlu sampai menimbulkan pertentangan dan persengketaan apalagi perpecahan.”
Pancasila diharapkan tidak dimengerti melulu sebagai indoktrinasi yang bersifat imperatif
karena fungsi pokoknya, tetapi yang juga perlu diintenalisasi ke dalam batin setiap dan
seluruh warga negara Indonesia karena ‘fungsi penyertanya’ yang justru merupakan sumber
Pancasila sebagai dasar negara.
7
Dipandang dari segi hukum, kedudukan dan fungsi dasar negara dalam pengertian
yuridis-ketatanegaraan
sebenarnya
sudah
sangat
kuat
karena
pelaksanaan
dan
pengamalannya sudah terkandung pula di dalamnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan
Pancasila secara multidimensional. Sebagaimana kita ketahui dari sejarah kelahirannya,
Pancasila digali dari sosio-budaya Indonesia, baik secara perorangan maupun kolektif,
kemudian ditetapkan secara implisit sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.
Mengenai kekokohan Pancasila yang bersifat kekal-abadi (Pancasila dalam arti statis
sebagai dasar negara), Ir. Soekarno mengatakan: “Sudah jelas, kalau kita mau mencari
suatu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang
ada jiwa Indonesia.”
Namun Pancasila bukanlah dasar negara yang hanya bersifat statis, melainkan
dinamis karena ia pun menjadi pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional,
kepribadian bangsa, sumber dari segala sumber tertib hukum, tujuan negara, perjanjian
luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan pengamanannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praksis kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara Indonesia, peranan atau implementasi Pancasila secara multidimensional itu dapat
dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara
penyelenggaraan negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
1. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa
Indonesia dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa
dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara
individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan arah
sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
2. Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh
dan mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan
yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya bangsa yang
terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum, azasi dan
fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam proses mengada dan
menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
3. Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia
Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta pedoman
pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh seluruh bangsa Indonesia.
8
4. Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi
bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri
sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang khas
Indonesia.
5. Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan
tertinggi dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan,
undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya
(sekaligus pengamanan) Pancasila.
6. Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai
Pancasila itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola
pembangunan nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia
untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
7. Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia
sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang harus
diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus
adalah kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya berarti mengingkari
perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat dan harkat diri kita
sebagai manusia.
Dari perspektif Filsafat Ilmu, nilai-nilai ontologis-axiologis Pancasila terjabar dan
diaktualisasikan melalui Sistem Kenegaraan Pancasila, UUD 1945 dan sebagai Sistem
Ideologi Nasional Indonesia. Asas-asas fundamental filosofis-ideologis dan konstitusional
adalah jabaran dan aktualisasi asas filsafat Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh
Mohammad Noor Syam, SH, Guru Besar Emeritus dan Ketua Laboratorium Pancasila
Universitas Negeri Malang sebagai berikut:
1. Asas filsafat Pancasila sebagai sistem ideologi secara ontologis-axiologis tegak
dalam aktualisasi Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45
2. Menjamin ranah (in casu : HAM) privat dan publik berdasarkan asas keseimbangan
HAM dan KAM sebagai diamanatkan bagian III A diatas. Tegasnya, individualitas
dan komunitas berkembang dalam asas keseimbangan dalam wujud asas
kekeluargaan sebagai asas integralisme fungsional!
3. Menjiwai dan melandasi asas moral dan budaya politik nasional : politisi,
kepemimpinan nasional, bahkan warganegara dalam pergaulan nasional dan
internasional senantiasa menegakkan integritas moral dan martabat nasional!
4. Asas HAM, hak kemerdekaan (kebebasan) tetap dijamin selama warganegara,
golongan / parpol tetap setia (loyal, bangga) kepada dasar negara (ideologi negara)
Pancasila dan UUD Proklamasi 45.
9
5. Secara filosofis-ideologis dan UUD Pasal 29 bangsa dan NKRI menganggap
ideologi marxisme-komunisme-atheisme bertentangan dengan ideologi Pancasila
yang beridentitas theisme-religious; karenanya dikategorikan sebagai : separatisme
ideologi, makar.
Sebaliknya, siapapun atas nama kebebasan (liberalisme) dan demokrasi (kedaulatan
rakyat) mengembangkan / memperjuangkan nilai ideologi selain ideologi negara Pancasila
(non-Pancasila), dikategorikan sebagai melakukan tindakan : separatisme ideologi, makar
dan atau mengkhianati sistem kenegaraan Pancasila. Waspadalah kepada berbagai sistem
ideologi yang mengancam integritas ideologi Pancasila, seperti : ideologi liberalismekapitalisme, sekularisme; dan marxisme-komunisme-atheisme.
Amanat menegakkan NKRI dalam integritas sebagai sistem kenegaraan Pancasila,
bermakna bahwa bangsa Indonesia (rakyat, warganegara RI) berkewajiban membela NKRI
dalam integritasnya sebagai sistem kenegaraan Pancasila antar sistem kenegaraan:
kapitalisme-liberalisme, dan marxisme-komunisme-atheisme yang dapat mengancam
integritas bangsa dan NKRI. Jadi, bangsa Indonesia senantiasa waspada dan harus siap
membela negara atas tantangan dan ancaman bangsa dan negara yang mengancam
integritas ideologi Pancasila: baik neoimperialisme Amerika maupun ideologi marxisme –
komunisme – atheisme dari manapun datangnya; termasuk kebangkitan PKI, neo-PKI atau
KGB.7
C. Konsepsi Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Dilihat dari sejarahnya, proses perkembangan pemikiran HAM yang kemudian
diberlakukan secara universal setelah dicetuskan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948, peran agama
dan agamawan jarang disebut. Pengakuan secara jujur terhadap keterbatasan peran agama
diungkap oleh Frans Magnis-Suseno, guru besar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
(STF) Jakarta. Pada salah satu tulisanya yang membahas hak asasi manusia dalam tinjauan
7
Mohammad Noor Syam,. Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. 2007. p. 25.
10
teologi Katolik kontemporer. Suseso mengatakan, 8 alih-alih paham hak-hak asasi manusia
timbul di kalangan gereja-gereja, melainkan merupakan refleksi para filosof maupun
politisi yang bercita-cita atas pengalaman ketertindasan masyarakat. Suseno juga
menjelaskan, pada pada awalnya pihak gereja Katolik bersikap dingin, bahkan ada yang
menentang terhadap paham modern hak-hak asasi manusia, meski pada 1963 gereja Katolik
bersikap lebih terbuka.
Kendati antara Islam dan Katolik, juga dengan agama-agama lainnya tetap memiliki
perbedaan, penerimaan Islam terhadap HAM juga tidak berjalan mulus. Beberapa literatur
yang menelaah hubungan Islam dengan HAM mengungkap resistensi yang diperlihatkan
oleh beberapa sarjana dan negara Muslim terhadap HAM. Buku yang ditulis Ann Elizabeth
Mayer (1999) dan Daniel E. Price (1999), misalnya, menyinggung konsep relativisme
budaya (cultural relativism) yang dijadikan dasar penolakan beberapa sarjana di negara
Muslim terhadap paham universalitas HAM (the idea of the universality of human rights).
Dengan menggunakan konsep relativisme budaya, HAM dipandang memiliki keterbatasan
ketika ingin diterapkan pada masyarakat di negara Muslim yang memiliki perbedaan
budaya dengan pencetus universalisme HAM yang didominasi oleh negara-negara Barat.
Apalagi, Barat sebagai pihak yang dipandang paling dominan dalam penciptaan dan
diseminasi paham HAM, juga dinilai memiliki catatan yang tidak kalah buruk dalam
penegakan HAM, dibandingkan dengan negara-negara Muslim yang sering mendapat
sorotan tajam, justru dari pihak Barat.
Tidak semua sarjana Muslim setuju dengan pembelahan paham HAM berdasarkan
konsep relativisme budaya. Todung Mulya Lubis,9 menganggap pemilahan HAM
berdasarkan pendekatan universalisme dan relativisme budaya tidak relevan lagi setelah
banyak negara meratifikasi instrumen dasar HAM yang dicetuskan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Pandangan konstruktif terhadap HAM juga dikemukakan Abdullahi
8
Suseso, Frans Magnis. “Hak Asasi Manusia dalam Teologi Katolik Kontemporer”,Dalam Diseminasi Hak
Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan
LP3ES, 2000.
9
Lubis, Todung Mulya. ―Perkembangan Pemikiran dan Perdebatan HAM.‖ Dalam Diseminasi Hak Asasi
Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES,
2000.
11
Ahmed an-Nai‘im dalam bukunya, Islam and the Secular State10). Sebagaimana Lubis, anNaim juga berpandangan bahwa HAM pada dasarnya merupakan gagasan universal .
Sewaktu dicetuskan sebagai paham universal yang kemudian terkenal dengan Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), agama
sengaja tidak dilibatkan sebagai landasan justifikasi agar ide-ide dasar dalam HAM bisa
digunakan baik oleh kalangan yang beragama maupun yang tidak beragama sekalipun.
Terhadap corak sekuler pada paham universalisme HAM yang dicetuskan oleh PBB
itu, alih-alih menyatakan penolakan, pemikir Muslim terkemuka asal Sudan itu justru
dengan tegas mengajak agar umat Islam mengakui bahwa HAM merupakan produk
kesepakatan dunia internasional. Dalam pandangan an-Na‘im, Deklarasi Universal HAM
merupakan instrumen penting untuk melindungi kemulian manusia dan untuk
meningkatkan kesejahteraan setiap orang di manapun mereka berada berkat universalitas
kekuatan moral dan politik yang dimilikinya. An-Na‘im tentu sadar, ajakan dan pandangan
konstruktifnya tersebut akan menuai protes dan penolakan dari kalangan Islam yang tetap
bertahan pada pemikiran relativisme budaya.
Sadar terhadap hal tersebut, an-Na‘im giat melakukan penelitian terhadap hukum
Islam untuk menemukan hubungan yang lebih positif dan rekonsiliatif antara syari‘ah
dengan HAM. Sebelum, Islam and the Secular State yang terbit pada 2008, pada 1990 anNa‘im telah menerbitkan buku, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Rights and International Law. Pada kedua buku tersebut, an-Na‘im memaparkan argumen
dari perspektif hukum Islam untuk memperkuat hubungan positif dan rekonsiliatif antara
Islam dengan HAM. Kesimpulan penting yang bisa diambil dari pemikiran an-Na‘im, Islam
sebagai fenomena agama dapat dijadikan sebagai legitimasi terhadap paham universalitas
HAM.
Gagasan an-Na‘im mendapat dukungan Rhoda E. Howard. Sebagaimana halnya anNaim, Howard11 juga berpendapat bahwa paham HAM yang dikembangkan oleh PBB
merupakan produk pemikiran sekuler, bukan didasarkan pada keputusan ilahi. Menyadari
corak sekuler pada pemikiran HAM tersebut, Howard sebenarnya tidak memandang
10
An-Nai‘m, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Harvard,
Harvard University Press, 2008. p. 231
11
Howard, Rhoda E. Human Rights and the Search for Community. Boulder, Westview Press, 1995. p 210
12
legitimasi agama sebagai hal yang mutlak. Tetapi jika dipandang justru memberikan
jaminan terhadap pelaksanaan HAM, maka legitimasi agama seperti dikembangkan oleh
an-Naim patut memperoleh apresiasi. Dalam kaitan pentingnya aspek agama dalam HAM,
pendapat dari Joseph Runzo, Nancy M. Martin dan Arvind Sharma pada kata pengantar
buku, Human Rights and Responsibilities in the World Religions (2003) perlu diperhatikan:
Religions have too often been used to justify the violation of human rights, in part
through the hierarchical and selective use of role ethics and the postponement of
temporal justice to devine judgement of future karmic consequences. Yet the world
religions have also provided a constant voice of critique against the violation of
human rights by calling for equality, and universal compassion and love, call which
reach far beyond the mere protection of human rights.
Poin penting pendapat Runzo, Martin, dan Sharma adalah, bagaimana agama dalam
konsruksi yang positif—sekalipun agama sering disalahgunakan sebagai alat justifikasi
pelanggaraan hak asasi manusia (the violation of human rights)—dijadikan sebagai sumber
energi bagi upaya penegakan hak asasi manusia dalam pelbagai aspek. Meskipun HAM
telah menjadi peraturan internasional, pelanggaran terhadap HAM sering terjadi di
beberapa negara. Di antara bentuk pelanggaran HAM yang perlu diperhatikan adalah
pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Kebebasan beragama atau
kepercayaan, merupakan hak asasi manusia yang berlaku universal serta dikodifikasi dalam
instrumen internasional HAM.
Pada tingkat normatif, sejak awal era HAM sudah tampak jelas bahwa kebebasan
beragama atau kepercayaan merupakan hak fundamental, dan benar-benar merupakan salah
satu hak-hak fundamental yang utama. Muncul pertama kali sejak Perang Dunia II, hak
tersebut telah dirumuskan dalam pasal 18 Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (the Universal
Declaration of Human Rights) serta Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Politik dan
Sipil (the International Covenant on Civil and Political Rights).
Sebagai salah satu hak yang paling fundamental, pelaksanaan kebebasan beragama
atau berkepercayaan didasarkan pada delapan norma sebagai berikut:
Pertama, internal freedom (kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap
orang dipandang memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Norma ini
juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan
atau mengubah agama dan kepercayaannya.
13
Kedua, external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan
mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti
kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan
beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi maupun publik.
Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.
Ketiga, noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan
individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan.
Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau
kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun.
Keempat, nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan norma ini, negara
berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah
kekuasaanya dan yurisdiksinya memperoleh jaminan
kebebasan beragama
atau
berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau
kepercayaan,pandanga politik dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan, status
kelahiran.
Kelima, rights of parent and guardian (hak orang tua dan wali). Menurut norma ini,
negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang abash secara
hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai
dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hakhak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaan sesuai dengan kemampuan
mereka sendiri.
Keenam, corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul dan
memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan
terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan
untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi .
Ketujuh, limits of permissible restrictions on external freedom (pembatasan yang
diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau
mengeskpresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum
dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan
hak-hak dasar lainnya.
14
Kedelapan, nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan
beragama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.
Pada kenyataannya, kedelapan norma kebebasan beragama atau berkepercayaan
tersebut tidak berjalan mulus. Di beberapa negara sering dijumpai pelanggaran terhadap
kebebasan beragama atau berkepercayaan. Salah satu negara yang sering mendapat sorotan
terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah Indonesia.
Meskipun memiliki cukup banyak landasan normatif, ternyata Indonesia belum bebas dari
pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan. Berdasarkan analisis yang
dilakukan oleh Imparsial (2006), pelanggaran yang dilakukan negara terhadap kebebasan
beragama atau berkepercayaan menggunakan dua modus.
Modus pertama, negara melakukan pelanggaran secara tidak langsung dengan cara
melakukan pembiaran atas berbagai kasus yang terjadi sehingga menimbulkan aksi
kekerasan yang dilakukan masyarakat. Dalam beberapa kasus terlihat sikap aparat
keamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan sehingga mendorong
sekelompok orang untuk tetap melanjutkan aksinya seperti menutup tempat ibadah atau
melakukan penyerangan terhadap kepercayaan kelompok lain. Sebagai pihak yang punya
kewenangan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan
seharusnya menindak pelaku kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan
melakukan pembiaran seakan tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan pembiaran
yang dilakukan oleh aparat keamanan menurut Imparsial tidak dapat dibenarkan karena
sama halnya negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan
beragama atau berkepercayaan.
Sedangkan dalam modus kedua, negara melakukan pelanggaran secara langsung
melalui pembuatan dan penguatan berbagai kebijakan yang membatasi dan membelenggu
keberagama dan berkepercayaan. Masih mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh
negara. Menurut Ghufron Mabruri (2007), pelanggaran tersebut disebabkan oleh
ketidakmampuan negara dalam mengambil jarak terhadap persoalan agama yang muncul di
masyarakat. Kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan bagian dari hak-hak
sipil dan politik yang dikategorikan sebagai hak negatif (negative rights)—berbeda dengan
hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya yang dikategorikan sebagai hak positif (positive
rights). Hak positif (sosial, ekonomi, dan budaya) bisa terpenuhi jika negara ikut berperan
15
aktif memajukannya. Sebaliknya, hak negatif, bisa diwujudkan jika negara tidak terlalu
banyak mencampuri urusan agama dalam masyarakat . Mabruri menyebut keberadaan
Direktorat Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (Pakem) sebagai
contoh campur tangan negara yang terlalu jauh dalam urusan agama dan keyakinan.
Direktorat ini berada di bawah Kejaksaan Agung yang terbentuk berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Menurut Mabruri, peran negara seharusnya
terbatas pada menjamin hak setiap warga. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama
atau berkepercayaan, negara menurut Mabruri perlu melakukan dua hal, yakni: Pertama,
tidak membuat regulasi yang membatasi dan mengekang kebebasan beragama.
Kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi (nonderogable rights) dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun meliputi; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Perlindungan atas hak asasi manusia yang fundamental ini diatur dalam Pasal 4 UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
―dalam keadaan apapun termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata dan/atau keadaan
darurat. Yang dimaksud dengan ―siapapun- adalah negara, pemerintah dan atau anggota
masyarakat. Melihat perumusan dari Pasal 4 undang-undang tersebut jelas dapat dipahami
bahwa di Indonesia kebebasan beragama dijamin dan dilindungi oleh peraturan perundangundangan. Dengan demikian, segala bentuk prilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar
etnik, ras, warna kulit, budaya, bangsa, agama, golongan jenis kelamin dan status sosial
lainnya yang dapat mengakibatkan penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial harus
dihapuskan.12
Kemudian hal kedua yang perlu dilakukan oleh negara menurut Mabruri adalah,
mencegah setiap potensi yang memungkinkan adanya gangguan dan hambatan bagi setiap
orang untuk memilih dan menjalankan keyakinannya di tengah masyarakat. Pelanggaran
terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan oleh negara memberikan peluang
12
Fernando J.M.M. Karisoh, http://www.psik-paramadina.org.
16
terhadap masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Dengan kata lain, masyarakat juga
menjadi aktor yang melakukan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau
berkepercayaan setelah adanya peluang dari negara. Tetapi apakah pelanggaran yang
dilakukan oleh masyarakat hanya disebabkan oleh peluang yang diberikan negara? Kendati
negara tidak mungkin diabaikan, kondisi internal masyarakat sendiri sebagai penyebab
terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan perlu diungkap.
Apakah pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat ada kaitannya dengan cara pandang
suatu kelompok kepada kelompok yang lain? Studi yang dilakukan oleh Fatimah Husein,
Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist
Muslim Perspectives (2005), patut dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Hubungan Muslim dan Kristen yang menjadi fokus studi Husein merupakan topik penting
sekaligus sensitif.
Konflik dan kekerasan sering mewarnai perkembangan Islam dan Kristen di
Indonesia. Dalam pandangan Husein, relasi antara Islam dan Kristen tidak bisa dilepaskan
dari cara pandang masing-masing pemeluk agama tersebut terhadap agamanya sendiri
maupun agama kelompok lain. Dalam studinya Husein mengungkap dua cara pandang
dominan di kalangan Muslim yang mempengaruhi relasi Islam dan Kristen, yakni:
eksklusif (exclusive) dan inklusif (inclusive). Muslim eksklusif memiliki keyakinan Islam
sebagai agama terakhir untuk mengoreksi (kesalahan) agama lain. Cara pandang ini
menurut Husein menimbulkan sikap tidak toleran (intolerance) terhadap keberadaan agama
lain. Sedangkan Muslim inklusif memiliki keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang
benar. Meskipun begitu, mereka tidak menegasikan agama di luar Islam yang juga dapat
memberikan keselamatan (salvation) bagi pemeluknya. Dengan cara pandang ini, Muslim
inklusif bersikap lebih terbuka terhadap kelompok agama lain.
D. Contoh Kasus “Pelanggaran” Kebebasan Beragama
Dalam beberapa peristiwa hak asasi manusia, khususnya kebebasan beragama
tampak seakan-akan pejabat negara Indonesia membenarkan pelarangan kebebasan
beragama atas nama ketertiban umum. Pada April 2010, Mahkamah Konstitusi menguatkan
Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 yang mengatur pelarangan "penodaan agama",
mengkriminalisasikan praktik keyakinan yang dianggap menyimpang dari kegiatan
17
keagamaan satu dari enam agama resmi yang diakui negara, dengan dasar menjaga
ketertiban umum.
Dalam beberapa kejadian, organisasi militan Islam memobilisasi kelompok
masyarakat yang jauh lebih besar dan menyerang tempat-tempat ibadah komunitas
minoritas. Kepolisian seringkali gagal menangkap para pelaku kekerasan. Pada Juli 2009,
pemerintah daerah berusaha menyegel masjid yang menjadi tempat ibadah jemaah
Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat. Ketika anggota jemaah Ahmadiyah menghalangi
mereka, ratusan penyeru anti-Ahmadiyah mencoba tutup paksa masjid, mengakibatkan luka
ringan. Kepolisian tak melakukan penangkapan. Menteri Agama menyerukan pelarangan
kegiatan Ahmadiyah, menyatakan kekerasan yang muncul disebabkan jemaah Ahmadiyah
tak mematuhi Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri pada 2008 yang mengharuskan
jemaah Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajaran agama mereka.
Beberapa jemaah agama minoritas menangkap kesan bahwa pejabat pemerintah
setempat menolak secara sewenang-sewenang untuk memberikan izin mendirikan rumah
ibadah sebagai syarat hukum yang berlaku di Indonesia. Bagi mereka yang berusaha
mendirikan rumah ibadah tanpa izin malah menghadapi serangan dan kekerasan. Pada
Agustus 2010, para penentang menyerang suatu jemaah Prostestan di Bekasi, daerah
pinggiran Jakarta. Ini dimulai saat jemaah memiliki surat tanah guna mendirikan tempat
ibadah namun pemerintah setempat menolak memberikan izin serta menyegel dua rumah
yang mereka gunakan untuk tempat ibadah. Sekitar 20 jemaah luka-luka, tapi pihak
kepolisian tak melakukan penangkapan. Pada September 2010, para penentang menyerang
dua panitua jemaah, salah satunya mendapatkan luka serius. Kepolisian menahan 10
tersangka, termasuk ketua Front Pembela Islam cabang Bekasi.13
Dari berbagai persoalan di atas, nampak bahwa bangsa Indonesia yang sejatinya
menjunjung tinggi kebhinnekaan, semakin tergerus oleh munculnya ’ideologi baru’ yang
bernama ’kekerasan’. Semakin bangsa ini menginggalkan Pancasila, maka semakin jauh
13
Sumber: http://www.hrw.org/world-report-2011/indonesia-0 Diakses: 2-1-2012
18
harapan para pendiri bangsa (founding father) untuk mewujudkan negara yang sejahtera,
adil makmur berdasarkan Pancasila.
E. Kesimpulan
Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap
selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan kebijaksanaan dan
pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga
masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan
resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir. Substansi dari adanya dinamika dalam
aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis adalah selalu terjadinya perubahan dan
pembaharuan dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup
dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya.
Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi apabila ada
dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan
untuk pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila. Muara dari semua upaya
perubahan dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya
akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warganegara Indonesia termasuk di dalam
tentang kehidupan beragama yang merupakan salah satu Hak Asasi Manusia.
Jika tidak demikian, Amanat menegakkan NKRI yang dapat dimaknani menjaga
integritas sebagai sistem kenegaraan Pancasila, dapat mengancam integritas bangsa dan
NKRI; dan atau akan lahir ideologi-ideologi ‘baru’ yang menggantikan Pancasila baik
neoimperialisme Amerika (kapitalisme-liberal) maupun ideologi marxisme-komunisme
(atheisme) dari manapun datangnya; termasuk kebangkitan PKI, neo-PKI, dan paham kiri
lainnya. Inilah pentingnya rejuvenasi Pancasila.
---------
Wallahu A’lam.
19
DAFTAR PUSTAKA
An-Nai‘m, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of
Shari’a. Harvard, Harvard University Press, 2008.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan pustaka firdaus).
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble,
Inc.
Kompas, 17 Juni 2004
Kompas, 23 Juni 2004
Metro TV, Live Talkshow tentang penggunaan pertamax bagi kendaraan pribadi, 5 Januari
2012.
Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka,
dan ideologi implisit. Lihat Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
(Jakarta; Kanisius, 1992).
Jimly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, www. mahkamahkonstitusi.net.
diakses 26 Desember 2011
Suseso, Frans Magnis. “Hak Asasi Manusia dalam Teologi Katolik Kontemporer”,Dalam
Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.
Lubis, Todung Mulya. ―Perkembangan Pemikiran dan Perdebatan HAM. Dalam
Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.
Howard, Rhoda E. Human Rights and the Search for Community. Boulder, Westview Press,
1995.
Fernando J.M.M. Karisoh, http://www.psik-paramadina.org.
Huston Smith, 1985: The Religions of Man, (Agama-Agama Manusia, terjemah oleh :
Saafroedin Bahar), Jakarta, PT. Midas Surya Grafindo.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow,
Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang,
Laboratorium Pancasila.
------------------ 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan SosioKultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
20
HUMAN RIGHTS, 1998. Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO.
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003) dan PP RI No. 6 tahun 2005.
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA
( Kasus Kebebasan Beragama)
Oleh Yazwardi
A. Latar Belakang Masalah
Pada medio Juni 2004, dua orang intelektual Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta
dan Sayidiman Suryohadiprojo, gubernur lemhanas pada waktu itu, menulis artikel yang
saling bersahutan di kolom harian kompas. Keduanya sepakat dan saling mendukung
tentang upaya dikembalikannya Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan istilah
“Rejuvenasi Pancasila”. Azra dapat dianggap sebagai intelektual muslim yang mewakili
golongan mayoritas muslim dan Sayidiman mewakili kalangan militer. Fakta ini
menunjukkan kegelisahan dua anak bangsa tentang pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara yang semakin redup dan mulai kehilangan nilai-nilai falsafatinya.
Di antara tulisan Azra1 tersebut adalah sebagai berikut:
Apakah sebuah ideologi masih penting bagi negara, Pertanyaan tentang relevansi
ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru.
Sejak akhir 1960-an, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi
ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran
internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada awal 1970-an telah berbicara tentang
"the end of ideology". Namun, perang dingin yang terus meningkat antara Blok
Barat dengan ideologi kapitalisme dan Blok Timur dengan ideologi sosialismekomunisme menunjukkan bahwa ideologi tetap relevan dalam kancah politik,
ekonomi, dan lain-lain.Gelombang demokrasi yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan runtuhnya rezim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa
Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti
Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai "the end of
history", masa "akhir sejarah" di mana satu-satunya ideologi yang relevan adalah
demokrasi Barat. Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan
meningkatnya globalisasi seakan-akan membuat ideologi makin tidak relevan dalam
dunia yang kian tanpa batas. Namun, seperti sudah banyak diketahui, globalisasi
mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi
mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi-baik universal maupun lokal-tetapi
pada pihak lain globalisasi mendorong bangkitnya nasionalisme lokal, bahkan
dalam bentuknya yang paling kasar, semacam ethno-nationalism dan bahkan
tribalism. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai penyebab "Balkanisasi", yang
terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut etnis, sosio1
Kompas, 17 Juni 2004
1
kultural, dan agama seperti Indonesia…. Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai
dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai wacana publik. Dengan menjadi
wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas
pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan
pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik
merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai
ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sehingga tetap
relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Sayidiman2 menyahuti artikel tersebut:
…Sebenarnya pendapat Azyumardi Azra bukan hal baru karena sudah sering
dinyatakan, sekalipun tanpa istilah "rejuvenasi". Namun, yang sering menyatakan
adalah anggota TNI, mantan TNI, atau orang yang dekat dengan TNI. Ada
prasangka sementara orang, memperjuangkan Pancasila adalah memperjuangkan
kembalinya kekuasaan rezim Soeharto meski yang menyatakan adalah mantan TNI
yang tidak termasuk lingkungan kekuasaan Soeharto. Maka, bila kini dinyatakan
oleh orang yang bukan atau dekat TNI, semoga tidak terjadi prasangka....namun,
harus secara sadar diakui, rejuvenasi Pancasila adalah perjuangan yang berat dan
sulit. Selain harus mengatasi sinisme di banyak kalangan karena Pancasila sudah
didiskreditkan para penguasa Republik Indonesia, juga harus berjuang melawan
kuatnya dan agresifnya ideologi Barat yang hendak menguasai Indonesia.
Dua tokoh tersebut sesungguhnya mewakili perasaan sebagian anak bangsa yang
merasa semakin gamang tentang ideologi bangsanya. Setelah lebih dari satu dasawarsa
reformasi, kegamangan atau lebih tepat disebut ’kehilangan pedoman’ kehidupan semakin
dirasakan oleh bangsa Indonesia. Kemajemukan yang sesungguhnya merupakan identitas
kebangsaan yang selama ini semakin kehilangan bentuk, sikap toleransi yang selama ini
di’bangga-banga’kan juga semakin kehilangan arah, dan bahkan semangat (perasaan)
nasionalisme yang seharusnya membangkitkan citra kita sebagai bangsa semakin meluntur
dari hari ke hari. Berbagai kasus dari persoalan sosial, etnik, budaya, politik, ekonomi,
konflik horizontal dan vertikal menambah kuat stigma negatif tentang NKRI; seorang
politisi PDIP Efendi Simbolon dalam live talkshow di sebuah televisi swasta menyebut
NKRI sebagai ’negeri antah berantah”.3 Pancasila yang lebih dari 50 tahun mampu
merekatkan keragaman bangsa telah di”tinggal”kan, dan bangsa ini semakin kehilangan
arah dan tidak mustahil bermuara pada pencarian ”ideologi baru”.
2
3
Kompas, 23 Juni 2004
Metro TV, Live Talkshow tentang penggunaan pertamax bagi kendaraan pribadi, 5 Januari 2012.
2
Tulisan singkat ini mencoba kembali ”membaca” Pancasila dari perspektif falsafah
yang digunakan sebagai solusi (alat analisis) persoalan kebangsaan yang semakin
menyedihkan ini.
B. Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah
ideologi tertutup dan ideologi terbuka.4 Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan
dunia atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial,
yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus
diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi
tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral
yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi
berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia
atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak hanya menentukan
kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang
bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang
untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut
ketaatan tanpa reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak bersumber dari masyarakat,
melainkan dari pikiran elit yang harus dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya,
baik-buruknya pandangan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai
tidaknya dengan ideologi tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus
dipaksakan berlaku dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter
dan dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi
yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov
Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan
hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4
Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi
implisit. Lihat Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992), hal. 230.
3
Ideologi Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam
berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah sebagai
materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus ditata, bahkan
tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi monopoli kekuasaan oleh
sekelompok orang atas nama kaum proletar.5
Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar,
sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu
dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di
masyarakat. Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori,
melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat
inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem yang demokratis.
Sebagai sebuah ideologi bangsa, berikut sejarah ideologi sebagai pandangan hiduo
bangsa sebagaimana yang dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut
Istilah ideologi negara mulai banyak digunakan bersamaan dengan perkembangan
pemikiran Karl Marx yang dijadikan sebagai ideologi beberapa negara pada abad
ke-18. Namun sesungguhnya konsepsi ideologi sebagai cara pandang atau sistem
berpikir suatu bangsa berdasarkan nilai dan prinsip dasar tertentu telah ada sebelum
kelahiran Marx sendiri. Bahkan awal dan inti dari ajaran Marx adalah kritik dan
gugatan terhadap sistem dan struktur sosial yang eksploitatif berdasarkan ideologi
kapitalis. Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin
kemudian disebut sebagai ideologi sosialisme-komunisme. Sosialisme lebih pada
sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem
menghapuskan hak milik pribadi, sedangkan komunisme menunjuk pada sistem
politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak sipil dan politik
individu. Ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi liberalisme-kapitalis yang
menekankan pada individualisme baik dari sisi politik maupun ekonomi.Kedua
ideologi besar tersebut menjadi ideologi utama negara-negara dunia pasca perang
dunia kedua hingga berakhirnya era perang dingin. Walaupun demikian baik
komunisme maupun kapitalisme memiliki warna yang berbeda-beda dalam
penerapannya di tiap wilayah. Ideologi selalu menyesuaikan dengan medan
pengalaman dari suatu bangsa dan masyarakat. Komunisme Uni Soviet berbeda
dengan komunisme di Yugoslavia, Cina, Korea Utara, dan beberapa negara Amerika
Latin. Demikian pula dengan kapitalisme yang memiliki perbedaan antara yang
berkembang di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Asia.6
5
Ibid., hal. 232-233.
Jimly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, www. mahkamahkonstitusi.net. diakses 26
Desember 2011
6
4
Walaupun negara-negara yang menganut kedua besaran ideologi tersebut saling
berhadap-hadapan, namun proses penyesuaian diantara kedua ideologi tersebut tidak dapat
dihindarkan. Kapitalisme, dalam perkembangannya banyak menyerap unsur-unsur dari
sosialisme. Setelah mengalami krisis besar pada tahun 1920-an (the great depression)
Amerika Serikat banyak mengadopsi kebijakan-kebijakan intervensi negara di bidang
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian
berkembang menjadi konsep negara tersendiri, bahkan ada yang menyebutnya sebagai
ideologi,
yaitu negara kesejahteraan (welfare state) yang berbeda dengan ideologi
kapitalisme klasik.
Di sisi lain, beberapa negara komunis yang semula sangat tertutup lambat-laun
membuka diri, terutama dalam bentuk pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik. Proses
demokratisasi terjadi secara bertahap hingga keruntuhan negara-negara komunis yang
ditandai dengan tercerai-berainya Uni Soviet dan Yugoslavia pada dekade 1990-an.
Ada yang menafsirkan bahwa keruntuhan Uni Soviet dan Yugoslavia sebagai pilar
utama adalah tanda kekalahan komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Bahkan
Fukuyama pernah mendalilkan hal ini sebagai berakhirnya sejarah yang selama ini
merupakan panggung pertentangan antara kedua ideologi besar tersebut. Namun
kesimpulan tersebut tampaknya terlalu premature. Keruntuhan komunisme, tidak dapat
dikatakatan sebagai kemenangan kapitalisme karena dua alasan, yaitu (a) ide-ide
komunisme, dan juga kapitalisme tidak pernah mati; dan (b) ideologi kapitalisme yang ada
sekarang telah menyerap unsur-unsur sosialisme dan komunisme.
Ide-ide komunisme tetap hidup, dan memang perlu dipelajari sebagai sarana
mengkritisi sistem sosial dan kebijakan yang berkembang. Ide-ide tersebut juga dapat hidup
kembali menjadi suatu gerakan jika kapitalisme yang saat ini mulai kembali ke arah
libertarian berada di titik ekstrim sehingga menimbulkan krisis sosial. Demikian pula
halnya dengan gerakan-gerakan demokratisasi dan perjuangan atas hak-hak individu akan
muncul pada sistem yang terlalu menonjolkan komunalisme.
Mempelajari Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai
budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga
negara Indonesia. Pancasila yang benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam
5
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui
Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan tersebut
diperlukan untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang berbeda, yang
dapat menimbulkan kerancuan pendapat dalam memberikan isi Pancasila yang benar dan
sesungguhnya.
Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna meningkatkan kesadaran akan
peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan karenanya mengikat
seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila
mengandaikan tumbuh dan berkembangnya pengertian, penghayatan dan pengamalannya
dalam keseharian hidup kita secara individual maupun sosial selaku warga negara
Indonesia.
Pendekatan komprehensif diperlukan untuk memahami aneka fungsi dan
kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai historis dan yuridis-konstitusional
Pancasila: sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan
hidup bangsa Indonesia. Telaah tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain
merupakan philosphische grondslaag, dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila
pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau pandangan hidup bangsa (way of
life / weltanschauung). Maka tinjauan historis dan filosofis juga dipilih untuk memperoleh
pemahaman yang mengarah pada hakikat nilai-nilai budaya bangsa yang dikandung
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat. Pancasila adalah keniscayaan sejarah yang dinamis
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, tinjauan
filosofis tidak hendak mengabaikan sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek religius
dalam Pancasila. Dengan tercantumnya Ketuhanan yang mahaesa sebagai sila pertama
dalam Pancasila, Pancasila sebenarnya telah membentuk dirinya sendiri sebagai suatu
ruang lingkup filsafat dan religi. Karena hanya sistem filsafat dan religi yang mempunyai
ruang lingkup pembahasan tentang Ketuhanan yang mahaesa. Dengan demikian secara
‘inheren’ Pancasila mengandung watak filosofis dan aspek-aspek religius, sehingga
pendekatan filosofis dan religius adalah konsekuensi dari essensia Pancasila sendiri yang
mengandung unsur filsafat dan aspek religius. Karenanya, cara pembahasan yang terbatas
pada bidang ilmiah semata-mata belum relevan dengan Pancasila.
6
Secara yuridis-konstitusional, Pancasila adalah dasar negara. Namun secara
multidimensional, ia memiliki berbagai sebutan (fungsi/ posisi) yang sesuai pula dengan
esensi dan eksistensinya sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Karena itu Pancasila sering disebut dan dipahami sebagai: 1 ) Jiwa Bangsa
Indonesia; 2 ) Kepribadian Bangsa Indonesia; 3 ) Pandangan Hidup Bangsa Indonesia; 4 )
Dasar Negara Republik Indonesia; 5 ) Sumber Hukum atau Sumber Tertib Hukum bagi
Negara Republik Indonesia; 6 ) Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia pada waktu mendirikan
Negara; 7 ) Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia; 8 ) Filsafat Hidup yang mempersatukan
Bangsa Indonesia.
Sebutan yang beraneka ragam itu mencerminkan kenyataan bahwa Pancasila
adalah dasar negara yang bersifat terbuka. Pancasila tidak bersifat kaku (rigid), melainkan
luwes karena mengandung nilai-nilai universal yang praktis (tidak utopis) serta bersumber
pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka keanekaragaman
fungsi Pancasila tersebut merupakan konsekuensi logis dari esensinya sebagai satu kesatuan
sistem filsafat (philosophical way of thinking) milik sendiri yang dipilih oleh bangsa
Indonesia untuk dijadikan dasar negara (dasar filsafat negara atau philosophische gronslaag
negara dan atau ideologi negara/ staatside).
Meskipun demikian, dalam tugas dan kewajiban luhur melaksanakan serta
mengamankan Pancasila sebagai dasar negara itu, kita perlu mewaspadai kemungkinan
berjangkitnya pengertian yang sesat mengenai Pancasila yang direkayasa demi kepentingan
pribadi dan atau golongan tertentu yang justru dapat mengaburkan fungsi pokok Pancasila
sebagai dasar negara. Karena itu tepatlah yang dianjurkan Darji Darmodihardjo
berdasarkan pengalaman sejarah bangsa dan negara kita, yaitu bahwa “… dalam mencari
kebenaran Pancasila sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system
tidaklah perlu sampai menimbulkan pertentangan dan persengketaan apalagi perpecahan.”
Pancasila diharapkan tidak dimengerti melulu sebagai indoktrinasi yang bersifat imperatif
karena fungsi pokoknya, tetapi yang juga perlu diintenalisasi ke dalam batin setiap dan
seluruh warga negara Indonesia karena ‘fungsi penyertanya’ yang justru merupakan sumber
Pancasila sebagai dasar negara.
7
Dipandang dari segi hukum, kedudukan dan fungsi dasar negara dalam pengertian
yuridis-ketatanegaraan
sebenarnya
sudah
sangat
kuat
karena
pelaksanaan
dan
pengamalannya sudah terkandung pula di dalamnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan
Pancasila secara multidimensional. Sebagaimana kita ketahui dari sejarah kelahirannya,
Pancasila digali dari sosio-budaya Indonesia, baik secara perorangan maupun kolektif,
kemudian ditetapkan secara implisit sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.
Mengenai kekokohan Pancasila yang bersifat kekal-abadi (Pancasila dalam arti statis
sebagai dasar negara), Ir. Soekarno mengatakan: “Sudah jelas, kalau kita mau mencari
suatu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang
ada jiwa Indonesia.”
Namun Pancasila bukanlah dasar negara yang hanya bersifat statis, melainkan
dinamis karena ia pun menjadi pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional,
kepribadian bangsa, sumber dari segala sumber tertib hukum, tujuan negara, perjanjian
luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan pengamanannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praksis kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara Indonesia, peranan atau implementasi Pancasila secara multidimensional itu dapat
dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara
penyelenggaraan negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.
1. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa
Indonesia dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa
dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara
individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan arah
sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.
2. Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh
dan mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan
yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya bangsa yang
terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum, azasi dan
fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam proses mengada dan
menjadi manusia Indonesia seutuhnya.
3. Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia
Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta pedoman
pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh seluruh bangsa Indonesia.
8
4. Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi
bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri
sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang khas
Indonesia.
5. Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan
tertinggi dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan,
undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya
(sekaligus pengamanan) Pancasila.
6. Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai
Pancasila itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola
pembangunan nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia
untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
7. Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia
sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang harus
diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus
adalah kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya berarti mengingkari
perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat dan harkat diri kita
sebagai manusia.
Dari perspektif Filsafat Ilmu, nilai-nilai ontologis-axiologis Pancasila terjabar dan
diaktualisasikan melalui Sistem Kenegaraan Pancasila, UUD 1945 dan sebagai Sistem
Ideologi Nasional Indonesia. Asas-asas fundamental filosofis-ideologis dan konstitusional
adalah jabaran dan aktualisasi asas filsafat Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh
Mohammad Noor Syam, SH, Guru Besar Emeritus dan Ketua Laboratorium Pancasila
Universitas Negeri Malang sebagai berikut:
1. Asas filsafat Pancasila sebagai sistem ideologi secara ontologis-axiologis tegak
dalam aktualisasi Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45
2. Menjamin ranah (in casu : HAM) privat dan publik berdasarkan asas keseimbangan
HAM dan KAM sebagai diamanatkan bagian III A diatas. Tegasnya, individualitas
dan komunitas berkembang dalam asas keseimbangan dalam wujud asas
kekeluargaan sebagai asas integralisme fungsional!
3. Menjiwai dan melandasi asas moral dan budaya politik nasional : politisi,
kepemimpinan nasional, bahkan warganegara dalam pergaulan nasional dan
internasional senantiasa menegakkan integritas moral dan martabat nasional!
4. Asas HAM, hak kemerdekaan (kebebasan) tetap dijamin selama warganegara,
golongan / parpol tetap setia (loyal, bangga) kepada dasar negara (ideologi negara)
Pancasila dan UUD Proklamasi 45.
9
5. Secara filosofis-ideologis dan UUD Pasal 29 bangsa dan NKRI menganggap
ideologi marxisme-komunisme-atheisme bertentangan dengan ideologi Pancasila
yang beridentitas theisme-religious; karenanya dikategorikan sebagai : separatisme
ideologi, makar.
Sebaliknya, siapapun atas nama kebebasan (liberalisme) dan demokrasi (kedaulatan
rakyat) mengembangkan / memperjuangkan nilai ideologi selain ideologi negara Pancasila
(non-Pancasila), dikategorikan sebagai melakukan tindakan : separatisme ideologi, makar
dan atau mengkhianati sistem kenegaraan Pancasila. Waspadalah kepada berbagai sistem
ideologi yang mengancam integritas ideologi Pancasila, seperti : ideologi liberalismekapitalisme, sekularisme; dan marxisme-komunisme-atheisme.
Amanat menegakkan NKRI dalam integritas sebagai sistem kenegaraan Pancasila,
bermakna bahwa bangsa Indonesia (rakyat, warganegara RI) berkewajiban membela NKRI
dalam integritasnya sebagai sistem kenegaraan Pancasila antar sistem kenegaraan:
kapitalisme-liberalisme, dan marxisme-komunisme-atheisme yang dapat mengancam
integritas bangsa dan NKRI. Jadi, bangsa Indonesia senantiasa waspada dan harus siap
membela negara atas tantangan dan ancaman bangsa dan negara yang mengancam
integritas ideologi Pancasila: baik neoimperialisme Amerika maupun ideologi marxisme –
komunisme – atheisme dari manapun datangnya; termasuk kebangkitan PKI, neo-PKI atau
KGB.7
C. Konsepsi Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
Dilihat dari sejarahnya, proses perkembangan pemikiran HAM yang kemudian
diberlakukan secara universal setelah dicetuskan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi
Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948, peran agama
dan agamawan jarang disebut. Pengakuan secara jujur terhadap keterbatasan peran agama
diungkap oleh Frans Magnis-Suseno, guru besar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
(STF) Jakarta. Pada salah satu tulisanya yang membahas hak asasi manusia dalam tinjauan
7
Mohammad Noor Syam,. Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural,
Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. 2007. p. 25.
10
teologi Katolik kontemporer. Suseso mengatakan, 8 alih-alih paham hak-hak asasi manusia
timbul di kalangan gereja-gereja, melainkan merupakan refleksi para filosof maupun
politisi yang bercita-cita atas pengalaman ketertindasan masyarakat. Suseno juga
menjelaskan, pada pada awalnya pihak gereja Katolik bersikap dingin, bahkan ada yang
menentang terhadap paham modern hak-hak asasi manusia, meski pada 1963 gereja Katolik
bersikap lebih terbuka.
Kendati antara Islam dan Katolik, juga dengan agama-agama lainnya tetap memiliki
perbedaan, penerimaan Islam terhadap HAM juga tidak berjalan mulus. Beberapa literatur
yang menelaah hubungan Islam dengan HAM mengungkap resistensi yang diperlihatkan
oleh beberapa sarjana dan negara Muslim terhadap HAM. Buku yang ditulis Ann Elizabeth
Mayer (1999) dan Daniel E. Price (1999), misalnya, menyinggung konsep relativisme
budaya (cultural relativism) yang dijadikan dasar penolakan beberapa sarjana di negara
Muslim terhadap paham universalitas HAM (the idea of the universality of human rights).
Dengan menggunakan konsep relativisme budaya, HAM dipandang memiliki keterbatasan
ketika ingin diterapkan pada masyarakat di negara Muslim yang memiliki perbedaan
budaya dengan pencetus universalisme HAM yang didominasi oleh negara-negara Barat.
Apalagi, Barat sebagai pihak yang dipandang paling dominan dalam penciptaan dan
diseminasi paham HAM, juga dinilai memiliki catatan yang tidak kalah buruk dalam
penegakan HAM, dibandingkan dengan negara-negara Muslim yang sering mendapat
sorotan tajam, justru dari pihak Barat.
Tidak semua sarjana Muslim setuju dengan pembelahan paham HAM berdasarkan
konsep relativisme budaya. Todung Mulya Lubis,9 menganggap pemilahan HAM
berdasarkan pendekatan universalisme dan relativisme budaya tidak relevan lagi setelah
banyak negara meratifikasi instrumen dasar HAM yang dicetuskan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Pandangan konstruktif terhadap HAM juga dikemukakan Abdullahi
8
Suseso, Frans Magnis. “Hak Asasi Manusia dalam Teologi Katolik Kontemporer”,Dalam Diseminasi Hak
Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan
LP3ES, 2000.
9
Lubis, Todung Mulya. ―Perkembangan Pemikiran dan Perdebatan HAM.‖ Dalam Diseminasi Hak Asasi
Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES,
2000.
11
Ahmed an-Nai‘im dalam bukunya, Islam and the Secular State10). Sebagaimana Lubis, anNaim juga berpandangan bahwa HAM pada dasarnya merupakan gagasan universal .
Sewaktu dicetuskan sebagai paham universal yang kemudian terkenal dengan Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), agama
sengaja tidak dilibatkan sebagai landasan justifikasi agar ide-ide dasar dalam HAM bisa
digunakan baik oleh kalangan yang beragama maupun yang tidak beragama sekalipun.
Terhadap corak sekuler pada paham universalisme HAM yang dicetuskan oleh PBB
itu, alih-alih menyatakan penolakan, pemikir Muslim terkemuka asal Sudan itu justru
dengan tegas mengajak agar umat Islam mengakui bahwa HAM merupakan produk
kesepakatan dunia internasional. Dalam pandangan an-Na‘im, Deklarasi Universal HAM
merupakan instrumen penting untuk melindungi kemulian manusia dan untuk
meningkatkan kesejahteraan setiap orang di manapun mereka berada berkat universalitas
kekuatan moral dan politik yang dimilikinya. An-Na‘im tentu sadar, ajakan dan pandangan
konstruktifnya tersebut akan menuai protes dan penolakan dari kalangan Islam yang tetap
bertahan pada pemikiran relativisme budaya.
Sadar terhadap hal tersebut, an-Na‘im giat melakukan penelitian terhadap hukum
Islam untuk menemukan hubungan yang lebih positif dan rekonsiliatif antara syari‘ah
dengan HAM. Sebelum, Islam and the Secular State yang terbit pada 2008, pada 1990 anNa‘im telah menerbitkan buku, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Rights and International Law. Pada kedua buku tersebut, an-Na‘im memaparkan argumen
dari perspektif hukum Islam untuk memperkuat hubungan positif dan rekonsiliatif antara
Islam dengan HAM. Kesimpulan penting yang bisa diambil dari pemikiran an-Na‘im, Islam
sebagai fenomena agama dapat dijadikan sebagai legitimasi terhadap paham universalitas
HAM.
Gagasan an-Na‘im mendapat dukungan Rhoda E. Howard. Sebagaimana halnya anNaim, Howard11 juga berpendapat bahwa paham HAM yang dikembangkan oleh PBB
merupakan produk pemikiran sekuler, bukan didasarkan pada keputusan ilahi. Menyadari
corak sekuler pada pemikiran HAM tersebut, Howard sebenarnya tidak memandang
10
An-Nai‘m, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Harvard,
Harvard University Press, 2008. p. 231
11
Howard, Rhoda E. Human Rights and the Search for Community. Boulder, Westview Press, 1995. p 210
12
legitimasi agama sebagai hal yang mutlak. Tetapi jika dipandang justru memberikan
jaminan terhadap pelaksanaan HAM, maka legitimasi agama seperti dikembangkan oleh
an-Naim patut memperoleh apresiasi. Dalam kaitan pentingnya aspek agama dalam HAM,
pendapat dari Joseph Runzo, Nancy M. Martin dan Arvind Sharma pada kata pengantar
buku, Human Rights and Responsibilities in the World Religions (2003) perlu diperhatikan:
Religions have too often been used to justify the violation of human rights, in part
through the hierarchical and selective use of role ethics and the postponement of
temporal justice to devine judgement of future karmic consequences. Yet the world
religions have also provided a constant voice of critique against the violation of
human rights by calling for equality, and universal compassion and love, call which
reach far beyond the mere protection of human rights.
Poin penting pendapat Runzo, Martin, dan Sharma adalah, bagaimana agama dalam
konsruksi yang positif—sekalipun agama sering disalahgunakan sebagai alat justifikasi
pelanggaraan hak asasi manusia (the violation of human rights)—dijadikan sebagai sumber
energi bagi upaya penegakan hak asasi manusia dalam pelbagai aspek. Meskipun HAM
telah menjadi peraturan internasional, pelanggaran terhadap HAM sering terjadi di
beberapa negara. Di antara bentuk pelanggaran HAM yang perlu diperhatikan adalah
pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Kebebasan beragama atau
kepercayaan, merupakan hak asasi manusia yang berlaku universal serta dikodifikasi dalam
instrumen internasional HAM.
Pada tingkat normatif, sejak awal era HAM sudah tampak jelas bahwa kebebasan
beragama atau kepercayaan merupakan hak fundamental, dan benar-benar merupakan salah
satu hak-hak fundamental yang utama. Muncul pertama kali sejak Perang Dunia II, hak
tersebut telah dirumuskan dalam pasal 18 Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (the Universal
Declaration of Human Rights) serta Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Politik dan
Sipil (the International Covenant on Civil and Political Rights).
Sebagai salah satu hak yang paling fundamental, pelaksanaan kebebasan beragama
atau berkepercayaan didasarkan pada delapan norma sebagai berikut:
Pertama, internal freedom (kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap
orang dipandang memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Norma ini
juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan
atau mengubah agama dan kepercayaannya.
13
Kedua, external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan
mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti
kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan
beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi maupun publik.
Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain.
Ketiga, noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan
individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan.
Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau
kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun.
Keempat, nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan norma ini, negara
berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah
kekuasaanya dan yurisdiksinya memperoleh jaminan
kebebasan beragama
atau
berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau
kepercayaan,pandanga politik dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan, status
kelahiran.
Kelima, rights of parent and guardian (hak orang tua dan wali). Menurut norma ini,
negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang abash secara
hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai
dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hakhak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaan sesuai dengan kemampuan
mereka sendiri.
Keenam, corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul dan
memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan
terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan
untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi .
Ketujuh, limits of permissible restrictions on external freedom (pembatasan yang
diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau
mengeskpresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum
dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan
hak-hak dasar lainnya.
14
Kedelapan, nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan
beragama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.
Pada kenyataannya, kedelapan norma kebebasan beragama atau berkepercayaan
tersebut tidak berjalan mulus. Di beberapa negara sering dijumpai pelanggaran terhadap
kebebasan beragama atau berkepercayaan. Salah satu negara yang sering mendapat sorotan
terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah Indonesia.
Meskipun memiliki cukup banyak landasan normatif, ternyata Indonesia belum bebas dari
pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan. Berdasarkan analisis yang
dilakukan oleh Imparsial (2006), pelanggaran yang dilakukan negara terhadap kebebasan
beragama atau berkepercayaan menggunakan dua modus.
Modus pertama, negara melakukan pelanggaran secara tidak langsung dengan cara
melakukan pembiaran atas berbagai kasus yang terjadi sehingga menimbulkan aksi
kekerasan yang dilakukan masyarakat. Dalam beberapa kasus terlihat sikap aparat
keamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan sehingga mendorong
sekelompok orang untuk tetap melanjutkan aksinya seperti menutup tempat ibadah atau
melakukan penyerangan terhadap kepercayaan kelompok lain. Sebagai pihak yang punya
kewenangan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan
seharusnya menindak pelaku kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan
melakukan pembiaran seakan tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan pembiaran
yang dilakukan oleh aparat keamanan menurut Imparsial tidak dapat dibenarkan karena
sama halnya negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan
beragama atau berkepercayaan.
Sedangkan dalam modus kedua, negara melakukan pelanggaran secara langsung
melalui pembuatan dan penguatan berbagai kebijakan yang membatasi dan membelenggu
keberagama dan berkepercayaan. Masih mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh
negara. Menurut Ghufron Mabruri (2007), pelanggaran tersebut disebabkan oleh
ketidakmampuan negara dalam mengambil jarak terhadap persoalan agama yang muncul di
masyarakat. Kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan bagian dari hak-hak
sipil dan politik yang dikategorikan sebagai hak negatif (negative rights)—berbeda dengan
hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya yang dikategorikan sebagai hak positif (positive
rights). Hak positif (sosial, ekonomi, dan budaya) bisa terpenuhi jika negara ikut berperan
15
aktif memajukannya. Sebaliknya, hak negatif, bisa diwujudkan jika negara tidak terlalu
banyak mencampuri urusan agama dalam masyarakat . Mabruri menyebut keberadaan
Direktorat Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (Pakem) sebagai
contoh campur tangan negara yang terlalu jauh dalam urusan agama dan keyakinan.
Direktorat ini berada di bawah Kejaksaan Agung yang terbentuk berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Menurut Mabruri, peran negara seharusnya
terbatas pada menjamin hak setiap warga. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama
atau berkepercayaan, negara menurut Mabruri perlu melakukan dua hal, yakni: Pertama,
tidak membuat regulasi yang membatasi dan mengekang kebebasan beragama.
Kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi (nonderogable rights) dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun meliputi; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Perlindungan atas hak asasi manusia yang fundamental ini diatur dalam Pasal 4 UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
―dalam keadaan apapun termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata dan/atau keadaan
darurat. Yang dimaksud dengan ―siapapun- adalah negara, pemerintah dan atau anggota
masyarakat. Melihat perumusan dari Pasal 4 undang-undang tersebut jelas dapat dipahami
bahwa di Indonesia kebebasan beragama dijamin dan dilindungi oleh peraturan perundangundangan. Dengan demikian, segala bentuk prilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar
etnik, ras, warna kulit, budaya, bangsa, agama, golongan jenis kelamin dan status sosial
lainnya yang dapat mengakibatkan penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial harus
dihapuskan.12
Kemudian hal kedua yang perlu dilakukan oleh negara menurut Mabruri adalah,
mencegah setiap potensi yang memungkinkan adanya gangguan dan hambatan bagi setiap
orang untuk memilih dan menjalankan keyakinannya di tengah masyarakat. Pelanggaran
terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan oleh negara memberikan peluang
12
Fernando J.M.M. Karisoh, http://www.psik-paramadina.org.
16
terhadap masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Dengan kata lain, masyarakat juga
menjadi aktor yang melakukan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau
berkepercayaan setelah adanya peluang dari negara. Tetapi apakah pelanggaran yang
dilakukan oleh masyarakat hanya disebabkan oleh peluang yang diberikan negara? Kendati
negara tidak mungkin diabaikan, kondisi internal masyarakat sendiri sebagai penyebab
terjadinya pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan perlu diungkap.
Apakah pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat ada kaitannya dengan cara pandang
suatu kelompok kepada kelompok yang lain? Studi yang dilakukan oleh Fatimah Husein,
Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist
Muslim Perspectives (2005), patut dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Hubungan Muslim dan Kristen yang menjadi fokus studi Husein merupakan topik penting
sekaligus sensitif.
Konflik dan kekerasan sering mewarnai perkembangan Islam dan Kristen di
Indonesia. Dalam pandangan Husein, relasi antara Islam dan Kristen tidak bisa dilepaskan
dari cara pandang masing-masing pemeluk agama tersebut terhadap agamanya sendiri
maupun agama kelompok lain. Dalam studinya Husein mengungkap dua cara pandang
dominan di kalangan Muslim yang mempengaruhi relasi Islam dan Kristen, yakni:
eksklusif (exclusive) dan inklusif (inclusive). Muslim eksklusif memiliki keyakinan Islam
sebagai agama terakhir untuk mengoreksi (kesalahan) agama lain. Cara pandang ini
menurut Husein menimbulkan sikap tidak toleran (intolerance) terhadap keberadaan agama
lain. Sedangkan Muslim inklusif memiliki keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang
benar. Meskipun begitu, mereka tidak menegasikan agama di luar Islam yang juga dapat
memberikan keselamatan (salvation) bagi pemeluknya. Dengan cara pandang ini, Muslim
inklusif bersikap lebih terbuka terhadap kelompok agama lain.
D. Contoh Kasus “Pelanggaran” Kebebasan Beragama
Dalam beberapa peristiwa hak asasi manusia, khususnya kebebasan beragama
tampak seakan-akan pejabat negara Indonesia membenarkan pelarangan kebebasan
beragama atas nama ketertiban umum. Pada April 2010, Mahkamah Konstitusi menguatkan
Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 yang mengatur pelarangan "penodaan agama",
mengkriminalisasikan praktik keyakinan yang dianggap menyimpang dari kegiatan
17
keagamaan satu dari enam agama resmi yang diakui negara, dengan dasar menjaga
ketertiban umum.
Dalam beberapa kejadian, organisasi militan Islam memobilisasi kelompok
masyarakat yang jauh lebih besar dan menyerang tempat-tempat ibadah komunitas
minoritas. Kepolisian seringkali gagal menangkap para pelaku kekerasan. Pada Juli 2009,
pemerintah daerah berusaha menyegel masjid yang menjadi tempat ibadah jemaah
Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat. Ketika anggota jemaah Ahmadiyah menghalangi
mereka, ratusan penyeru anti-Ahmadiyah mencoba tutup paksa masjid, mengakibatkan luka
ringan. Kepolisian tak melakukan penangkapan. Menteri Agama menyerukan pelarangan
kegiatan Ahmadiyah, menyatakan kekerasan yang muncul disebabkan jemaah Ahmadiyah
tak mematuhi Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri pada 2008 yang mengharuskan
jemaah Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan ajaran agama mereka.
Beberapa jemaah agama minoritas menangkap kesan bahwa pejabat pemerintah
setempat menolak secara sewenang-sewenang untuk memberikan izin mendirikan rumah
ibadah sebagai syarat hukum yang berlaku di Indonesia. Bagi mereka yang berusaha
mendirikan rumah ibadah tanpa izin malah menghadapi serangan dan kekerasan. Pada
Agustus 2010, para penentang menyerang suatu jemaah Prostestan di Bekasi, daerah
pinggiran Jakarta. Ini dimulai saat jemaah memiliki surat tanah guna mendirikan tempat
ibadah namun pemerintah setempat menolak memberikan izin serta menyegel dua rumah
yang mereka gunakan untuk tempat ibadah. Sekitar 20 jemaah luka-luka, tapi pihak
kepolisian tak melakukan penangkapan. Pada September 2010, para penentang menyerang
dua panitua jemaah, salah satunya mendapatkan luka serius. Kepolisian menahan 10
tersangka, termasuk ketua Front Pembela Islam cabang Bekasi.13
Dari berbagai persoalan di atas, nampak bahwa bangsa Indonesia yang sejatinya
menjunjung tinggi kebhinnekaan, semakin tergerus oleh munculnya ’ideologi baru’ yang
bernama ’kekerasan’. Semakin bangsa ini menginggalkan Pancasila, maka semakin jauh
13
Sumber: http://www.hrw.org/world-report-2011/indonesia-0 Diakses: 2-1-2012
18
harapan para pendiri bangsa (founding father) untuk mewujudkan negara yang sejahtera,
adil makmur berdasarkan Pancasila.
E. Kesimpulan
Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap
selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan kebijaksanaan dan
pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga
masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan
resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir. Substansi dari adanya dinamika dalam
aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan praksis adalah selalu terjadinya perubahan dan
pembaharuan dalam mentransformasikan nilai Pancasila ke dalam norma dan praktik hidup
dengan menjaga konsistensi, relevansi, dan kontekstualisasinya.
Sedangkan perubahan dan pembaharuan yang berkesinambungan terjadi apabila ada
dinamika internal (self-renewal) dan penyerapan terhadap nilai-nilai asing yang relevan
untuk pengembangan dan penggayaan ideologi Pancasila. Muara dari semua upaya
perubahan dan pembaharuan dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila adalah terjaganya
akseptabilitas dan kredibilitas Pancasila oleh warganegara Indonesia termasuk di dalam
tentang kehidupan beragama yang merupakan salah satu Hak Asasi Manusia.
Jika tidak demikian, Amanat menegakkan NKRI yang dapat dimaknani menjaga
integritas sebagai sistem kenegaraan Pancasila, dapat mengancam integritas bangsa dan
NKRI; dan atau akan lahir ideologi-ideologi ‘baru’ yang menggantikan Pancasila baik
neoimperialisme Amerika (kapitalisme-liberal) maupun ideologi marxisme-komunisme
(atheisme) dari manapun datangnya; termasuk kebangkitan PKI, neo-PKI, dan paham kiri
lainnya. Inilah pentingnya rejuvenasi Pancasila.
---------
Wallahu A’lam.
19
DAFTAR PUSTAKA
An-Nai‘m, Abdullahi Ahmed. Islam and the Secular State: Negotiating the Future of
Shari’a. Harvard, Harvard University Press, 2008.
Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus
(terjemahan pustaka firdaus).
Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas & Noble,
Inc.
Kompas, 17 Juni 2004
Kompas, 23 Juni 2004
Metro TV, Live Talkshow tentang penggunaan pertamax bagi kendaraan pribadi, 5 Januari
2012.
Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka,
dan ideologi implisit. Lihat Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
(Jakarta; Kanisius, 1992).
Jimly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, www. mahkamahkonstitusi.net.
diakses 26 Desember 2011
Suseso, Frans Magnis. “Hak Asasi Manusia dalam Teologi Katolik Kontemporer”,Dalam
Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.
Lubis, Todung Mulya. ―Perkembangan Pemikiran dan Perdebatan HAM. Dalam
Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, ed. E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah. Jakarta, CESDA dan LP3ES, 2000.
Howard, Rhoda E. Human Rights and the Search for Community. Boulder, Westview Press,
1995.
Fernando J.M.M. Karisoh, http://www.psik-paramadina.org.
Huston Smith, 1985: The Religions of Man, (Agama-Agama Manusia, terjemah oleh :
Saafroedin Bahar), Jakarta, PT. Midas Surya Grafindo.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,
Bandung, Penerbit Alumni.
Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell
McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow,
Bell & Bain Ltd.
Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum
(sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang,
Laboratorium Pancasila.
------------------ 2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan SosioKultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila.
Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to
Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.
Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.
Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cetakan ke6.
Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,
London, George Allen and Unwind Ltd.
20
HUMAN RIGHTS, 1998. Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO.
UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;
2001, 2003) dan PP RI No. 6 tahun 2005.
Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New
York, Harvard College, University Press.