NUANSA KEHIDUPAN BERNEGARA DALAM TEORI K

NUANSA KEHIDUPAN BERNEGARA
DALAM TEORI KONTRAK SOSIAL (THEORY SOCIAL CONTRACT )
Oleh Fitri Haryanti H.S.A (0906491383)

Kehidupan bernegara dan segala sumber kewenangan politik di dunia ini tidak lepas
dari pembahasan mengenai teori terbentuknya negara, salah satunya adalah teori kontrak
sosial. Teori kontrak sosial menjelaskan terbentuknya suatu negara didasari oleh anggota
masyarakat yang mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara sehingga sumber
kewenangannya adalah masyarakat itu sendiri. Perkembangan pemikiran teori kontrak sosial
merupakan buah dasar pemikiran Konfucu (teori ciptaan Tuhan) dan Aquinas. Konfucu
menyatakan bahwa Tuhan memberi mandat (the mandate of heaven) kepada raja untuk
memerintah rakyatnya. Apabila raja dianggap tidak memerintah dengan baik, maka mandat
itu dicabut oleh Tuhan. Tetapi bagaimana dan kapan mandat harus dicabut, rakyatlah yang
mengetahui dengan melihat gejala-gejala alam, seperti adanya bencana banjir, gempa bumi,
kelaparan dan sebagainya. Walaupun Tuhan sebagai sumber kewenangan namun manusialah
(rakyat) yang secara praktis mengoperasikannya. Thomas Aquinas mengembangkan
pemikiran tentang principium (prinsip), modus (cara) dan exercitium (pelaksanaan) dari
kewenangan. Aquinas secara tegas menyatakan bahwa pada prinsipnya kewenangan
bersumber pada Tuhan, bahwa cara kewenangan dioperasikan ditentukan oleh manusia, dan
bahwa pelaksanaannya pun dilakukan oleh manusia.
Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran zaman pencerahan

sekitar abad 18 di Eropa. Hal ini ditandai dengan rasionalisme, humanisme dan realisme yang
menempatkan manusia sebagai pusat gerak. Menurut Immanuel Kant, pencerahan adalah
bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Orang-orang yang tercerahkan selalu berpikir
ke depan dan selalu memikirkan kemungkinan yang lebih baik dari kondisi yang ada. Oleh
karena itu, mereka berani menggunakan pemahamannya sendiri dan membuang jauh-jauh
pandangan-pandangan dari masa silam yang tak lagi relevan.
Zaman pencerahan intinya melahirkan pemikiran bahwa manusia adalah sumber
kewenangan untuk mengelola dan mengatasi berbagai persoalan kehidupan bernegara. Tiga
pemikir utama teori kontrak sosial yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jacques
Rousseau yang menjelaskan pola-pola kehidupan bernegara. Perpolitikan dalam kehidupan
5

6

bernegara juga tak lepas dari teori Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan negara yang
terkenal dengan sebutan Trias Politika Montesquieu.
Thomas Hobbes (1588-1679) lahir di Malmesbury, Inggris. Sejak lahir sampai akhir
hidupnya, terjadi perang sipil dan perang agama, konfrontasi antara raja dengan dewan rakyat
terjadi tanpa henti-hentinya. Kekerasan kekejaman, dendam dan ketakutan akibat peperangan
agama dan perang sipil di Inggris mewarnai kehidupan Thomas Hobbes. Pemikiran Hobbes

menyatakan bahwa secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Setiap individu
mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan
tindakan mereka. Appetites manusia berupa hasrat atau nafsu kekuasaan, kekayaan,
pengetahuan, dan kehormatan, sedangkan aversions manusia berupa keengganan untuk hidup
sengsara dan mati. Manusia dalam memenuhi hasrat dan keengganan menggunakan power
masing-masing sehingga terjadi benturan yang meningkatkan keengganan untuk mati.
Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power
antar sesama manusia lain. Akhirnya dengan akal manusia berusaha menghindari peperangan
yang dapat menyebabkan ancaman kematian bagi manusia sendiri. Terciptalah suatu kondisi
artifisial (buatan) yang tidak hanya kondisi alamiah tapi manusia juga memasuki kondisi sipil.

Setiap anggota masyarakat mengadakan kesepakatan untuk melepaskan hak-hak mereka dan
menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga
kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Yang memegang kedaulatan penuh adalah
beberapa orang atau lembaga yang bersangkutan. Masyarakat menyerahkan hak mereka
kepada pemegang kedaulatan sehingga pemegang kedaulatan mempunyai hak untuk
memerintah dan tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Yang mengadakan kontrak adalah
masyarakat sendiri bukan kontrak antar pemerintah.
John Locke (1632-1704) lahir


di Wrington, Inggris. Ia belajar ilmu alam dan

kedokteran juga sangat tertarik dengan filsafat Descartes. Menurut John Locke, untuk
menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia, manusia menyelenggarakan perjanjian
masyarakat untuk membentuk masyarakat yang selanjutnya disebut ‘negara’. Masyarakat
menunjuk penguasa yang diberi wewenang untuk menjamin terlaksananya hak asasi manusia
tapi kekuasaan penguasa terbatas. Artinya dalam menjalankan pemerintahan, penguasa tidak
boleh melanggar hak asasi manusia, antara rakyat dan penguasa terjalin kontrak sosial dalam
mengelola negara. Locke menyatakan ide mengenai pembagian kekuasaan politik atas tiga

7

unsur diantaranya kekuasaan politik dibagi antara pemerintah (eksekutif), parlemen
(menetapkan undang-undang) dan rakyat (kekuasaan federatif) yang memutuskan hal-hal
penting seperti perang dan damai. Sistem pembagian kekuasaan ini disebut Monarki
Konstitusional atau Monarki Parlementer. Ide inilah yang dikembangkan oleh Montesqiue.

Menurut pendapat Locke, tugas dan fungsi negara adalah kekuasaan yang terorganisir
untuk menjamin keteraturan dan menyelesaikan perselisihan. Pemerintah juga turut wajib
untuk melindungi milik, menjaga keteraturan menyediakan lingkungan yang aman agar setiap

individu bisa mencapai tujuan mereka dengan bebas.
Jean Jacques Rousseau lahir di Geneva, 28 Juni 1712, wafat di Ermenonville, 2 Juli
1778 adalah seorang tokoh filosofi besar, penulis dan komposer pada abad pencerahan.
Pemikiran filosofinya memengaruhi revolusi Prancis, perkembangan politika modern dan
dasar pemikiran edukasi. Pemikiran Rosseau mengenai negara dan masyarakat tertuang dalam
bukunya Du Contrat Social (Perjanjian Sosial) suatu teori politik umum. Menurut Rosseau,
dalam kehidupan primtif. Manusia tergantung pada benda-benda bukan terhadap sesama
manusia. Keadaan ini harus diciptakan juga dalam keadaan sosial. Hal itu mungkin terjadi
kalau manusia hanya bergantung pada undang-undang yang mengungkapkan ‘kehendak
umum’. Kehendak umum (mufakat) berbeda dengan ‘kehendak dari semua’. ‘Kehendak
umum’ merupakan suatu ‘subjek baru’ yang bersifat politik kolektif.
Konsep pertama Rousseau tentang negara adalah hukum (law), setiap negara yang
diperintah oleh hukum dengan Republik bagaimanapun bentuk administrasinya. Selanjutnya,
badan legislatif bertugas membuat dasar aturan/ hukum tapi sama sekali tidak memiliki
kekuasaan untuk memerintah. Kekuasaan legislatif harus di tangan rakyat sedangkan
eksekutif harus didasari pada kemauan bersama. Rakyat sejajar dengan penguasa untuk,
mengadakan sidang secara periodik sehingga mengabaikan fungsi eksekutif. Teori Rousseau
sebagai landasan demokrasi modern dan mengutamakan fungsi warga negara dalam
masyarakat dan negara. Selain itu, Rousseau mengubah sistem politik penuh kekerasan
menjadi musyawarah. Sistem negara inilah yang melandaskan akan revolusi Prancis (liberte,

egalite, fraternite).

Rousseau juga mengemukakan pendapatnya bahwa peran masyarakat diperlukan agar
keberhasilan pembangunan terwujudkan dan menekankan kepada masyarakat yang berprinsip
Demokrasi Mutlak, kekuasaan negara ada ditangan rakyat artinya segala keputusan/kebijakan

8

pemerintah yang dibuat harus sesuai dengan hati nurani rakyat dan keinginan rakyat. Selain
itu, Rousseau tidak membenarkan adanya persekutuan termasuk adanya partai yang berjuang
pada kekuasaan dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Charles de Montesquieu lahir pada tanggal 18 January 1689 di Bordeaux dan wafat
pada tanggal 10 February 1755. Ia mendalami hukum dan pernah menjadi praktisi hukum di
pengadilan. Montesquieu mulai terkenal setelah menulis “Persian Letters” pada tahun
1721, yang berupa satire atas politik dan kondisi sosial Perancis. Karya selanjutnya mengenai
kebangkitan dan kejatuhan Romawi berjudul The Cosiderations on the causes of the
Grandeur and Decadance of the Roman yang mirip sebuah novel. Karyanya yang terbaik

bejudul Spirits Of The Laws. Berisi konsep hukum modern yang didalamnya terdapat konsep
Trias Politika. Montesquieu menyatakan ada hubungan antara iklim, geografi, dan kondisi

sebuah negara dengan bentuk pemerintahan di negara itu. Selain itu, dalam buku ini
Montesquieu juga menyampaikan pendapatnya yang amat terkenal bahwa kekuasaan dalam
pemerintah harus dibagi-bagi agar hak-hak dan kemerdekaan individu dapat terjamin.
Konsep Trias Politika Montesquieu digunakan hampir di seluruh negara yang
menganut

sistem

Demokrasi

termasuk

Indonesia.

Pada

dasarnya

Montesquieu


mengembangkan konsep pembagian kekuasaan negara John Locke. Trias Politika menyatakan
bahwa kekuasaan terbagi menjadi tiga bagian yaitu kekuasaan legislatif yang membuat
Undang-undang, eksekutif yang melaksanakan Undang-undang dan yudikatif yang mengadili
atas pelanggaran Undang-undang. Tujuan dari pemisahan ini adalah untuk memelihara
kebebasan politik agar seseorang tidak cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dan
merusak keamanan masyarakat. Oleh karena itu, agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi harus
ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap
kekuasaan lainnya.
Penerapan Trias Politika terutama terletak dengan adanya lembaga legislatif sehingga
kepentingan rakyat dapat terwakili dan ini merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu
lembaga ini berfungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak
terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif
dan efisien.

9

Pemikiran-pemikiran Hobbes, Locke, Rousseau dan Montesquieu di atas bisa
membantu analisis terhadap kehidupan dan perilaku politik, baik pihak pemerintah maupun
pihak rakyat yang diperintah. Pelaksanaan kehidupan perilaku politik pemikiran itu sering
mewarnai kehidupan dan perilaku politik. Setiap negara memiliki pandangan sendiri dan

penerapan berbeda terhadap sistem pemerintahan negaranya. Bagaimana keterkaitan
pemikiran keempat tokoh itu terhadap pemerintahan di Indonesia? Pemikiran tokoh siapa
yang sesuai diterapkan untuk Indonesia?
Analisis pemikiran Thomas Hobbes yang menyatakan antara rakyat dan pemerintah
tidak terikat kontrak sangat tidak cocok diterapkan di Indonesia. Indonesia yang menerapkan
sistem pemilihan umum dan memilih langsung pemimpin negara (penguasa) menyalurkan
aspirasi kepada penguasa dan terikat kontrak. Hal ini berbeda dari Hobbes bahwa kehidupan
politik rakyat hanya ditandai dengan kewajiban untuk taat dan tunduk pada penguasa,
sementara penguasa akan merasa leluasa untuk bertindak tanpa memperhatikan aspirasi dan
tuntutan politik dari rakyatnya. Pemikiran Hobbes inilah yang tidak sesuai juga didasarkan
akan konsep dasar negara Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945 menyatakan pendapat
dan aspirasi adalah hak setiap individu. Pemikiran John Locke atas tiga pembagian kekuasaan
merepresentasikan kehidupan politik memiliki ciri yang khas, seperti pemerintah berhati-hati
dalam melakukan tugas-tugasnya, parlemen amat vokal dalam mengontrol dan berperan
dalam politik, dan masyarakat tidak segan-segan untuk melakukan kritik. Kewenangan dan
kekuasaan pemerintah dibatasi oleh hak rakyat juga pelaksanaan pemerintahan tanpa
dukungan rakyat sangat tidak berarti. Selain itu, John Locke merupakan Bapak Peletak
Dasar Hak Asasi Manusia . Inti dari teorinya, tatkala pemilih pimpinan negara diangkat maka

rakyat menyerahkan hak-hak aspirasinya, pemimpin tersebut harus mewujudkan, melindungi

keinginan rakyat serta pemimpin disodorkan hak-hak rakyat bukan mengabaikan hak-hak
dasar. Teori John Locke sangat sesuai bila diterapkan di Indonesia yang rakyatnya sangat
menghargai dan menghormati hak asasi manusia.
Konsep pemikiran Rosseau sebagai teori demokrasi modern yang mengubah
kekerasan menjadi musyawarah sangat sesuai diterapkan bangsa Indonesia. Landasan negara
Indonesia yakni dalam pengamalan Pancasila yang menghargai pengambilan keputusan secara
musyawarah sebagai wujud pelaksanaan demokrasi yang bersifat kerakyatan. Rakyat
memegang peranan penting terhadap hasil keputusan yang berlaku di negara sehingga fungsi

10

warga negara lebih diutamakan. Analisis konsep Trias Politika Montesquieu sebagai
pengembangkan teori pemisahan negara John Locke memilki peran sangat penting bagi
pemisahan kekuasaan di Indonesia. Namun, konsep Trias Politika di Indonesia tidak
sepenuhnya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Montesquieu. Pelaksanaan dengan
sistem presidensil mempunyai wewenang sendiri dan saling berkaitan. DPR merupakan

lembaga legislatif yang berwenang membuat dan menetapkan Undang-undang, Presiden
sebagai lembaga eksekutif yang melaksanakan Undang-undang, uniknya Presiden pun bisa
menjalankan fungsi legislatif yaitu ketika bersama DPR membuat rancangan Undang-undang,

jika satu dari lembaga tersebut tidak menyetujui maka rancangan tersebut batal, Persetujuan
Undang-undang harus ada dari kedua belah pihak. Selain itu, DPR sebagai legislatif tapi
dapat berperan sebagai yudikatif ketika menjalankan pemerintahan. Mahkamah Agung
sebagai yudikatif mengawasi pelaksanaan Undang-undang. Amandemen Undang-undang
Dasar 1945 melahirkan lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dalam menjalankan
konstitusi, Jika ada pelanggaran terhadap Undang-undang maka Mahkamah Konstitusi berhak
untuk menguji Undang-undang dengan 9 hakim konstitusinya (uji materi UU) untuk kerja uji
materi sehingga keputusan apakah dapat membatalkan atau meratifikasi ayat-ayat yang ada.