makalah PERAN ETIKA DALAM MEMBENTUK PRIL

PERAN ETIKA DALAM MEMBENTUK
PRILAKU ORGANISASI
Mata Kuliah : Etika Pelayanan Publik

Disusun Oleh :
\

NAMA

NPM

Siti Tansiha

:

051 424 222

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCASARJANA
STISIPOL CANDRADIMUKA
PALEMBANG

2015
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia, sebagai bangsa yang mempunyai cita – cita untuk mewujudkan
tujuan Nasional seperti yang telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang–

Undang Dasar 1945 yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur,
merata dan berkesinambungan antara materiil dan spirituil yang berdasarkan pada
Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia maka diperlukan
adanya pembangunan yang bertahap, berencana, dan berkesinambungan.
Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan
panjang dan tak kenal lelah. Setelah kemerdekaan diperoleh, tentu saja harus diisi
dengan pembangunan di semua bidang dengan semangat dan kemauan yang kuat
dan pantang menyerah.
Setelah Negara Republik Indonesia didirikan tanggal 18 Agustus
1945 pasca Proklamasi

tanggal


17 Agustus

1945. Negara/pemerintahan

Indonesia memerlukan pegawai-pegawai Administrasi

yang memiliki jiwa

kebangsaan

akan

dan

kemerdekaan

dan

yang


tidak

menghianati

Perjuangan Kemerdekaan.
Dengan sendirinya yang terpilih menjadi Pegawai Negeri Republik
Indonesia

adalah

perintis-perintis

membuktikan kesadaran berbangsa

“kemerdekaan”
tanpa pamrih

itu,

yang


sudah

selama bertahun-tahun,

tanpa mengharapkan maupun memperoleh imbalan sepeser pun dari
pemimpin-pemimpinnya, Bung Karno dan Bung Hatta. Walaupun masih
tersisa pegawai yang selama ini bekerja dalam administrasi pemerintah
Belanda.
Setelah

terbentuk

negara

Republik

Indonesia

Serikat,


kedua

kelompok penyelenggara pemerintahan itu dengan susah payah dilebur
menjadi satu. Tetapi hal itu terjadi dengan berbagai pertentangan antara
kedua kubu. Bagaimanapun juga hasil peleburan itu mengakibatkan

timbulnya kelompok Pegawai Negeri Sipil yang terlalu besar, karena baik
para pejuang Kemerdekaan maupun Pegawai Negeri Sipil yang diangkat
oleh NICA, terpaksa harus ditampung oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam kenyataannya, yang diangkat oleh Pemerintah Republik
Indonesia bersikap nasionalis, namun sayangnya mereka tidak atau kurang
profesional, karena tidak pernah bekerja sebagai pegawai negeri. Di lain
pihak,

kebanyakan

pegawai

negeri


Hindia-Belanda

adalah

pegawai

profesional, tetapi tidak berjiwa nasionalis, sehingga seringkali justru
menggagalkan tujuan puncak Pemerintah Republik Indonesia.
Tampaklah bahwa dikotomi di bidang politik akhirnya sangat
mempengaruhi kinerja aparat negara di bidang Administrasi Pemerintahan dan
Pembangunan Negara; bahkan sampai kini.
Namun demikian, perlu diketahui bahwa pada saat itu sebenarnya
sudah ada pegawai-pegawai negeri yang diangkat oleh Pemerintah HindiaBelanda dan Jepang yang menjadi aparat penjajah dan karena itu tidak
dipercayai oleh pejuang-pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dari saat itulah suasana pertentangan antara Pegawai Negeri
”Cooperator” dan “non cooperator” semakin menajam. Sebab, kalau
sebelum tahun 1945 pertentangan antara “Cooperator” (yaitu orang bumi
putera yang bekerja sama atau yang menjadi pegawai pemerintah
Belanda) dan


(Hindia

“non cooperator”, baru merupakan pertentangan sikap di

bidang politik dan semangat nasionalisme. Sesudah tahun 1945, menjadi
pegawai negeri Pemerintah pendudukan Belanda (NICA) dianggap sebagai
“Cooperator” bahkan penghianat bangsa dan kaki tangan Belanda, atau
musuh.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku
aparatur negara, kompendium tentang Perilaku Aparatur Negara bermaksud
mendiskripsikan
aparatur.

keterkaitan

antara

Sejauhmana kebijakan


perundang-undangan

kebijakan

politik

dengan perilaku

politik yang diwadahi dalam peraturan

menginternalisasi

maupun

mempengaruhi

membentuk watak atau karakter Aparatur.
Hal yang dikemukakan adalah menjawab sejauh mana
atau


simpul

penyelenggaraan
sikap atau

keterkaitan
pemerintahan

antara “sistem”

yang

mampu mempengaruhi

hubungan

menjadi
dan


atau

acuan

membentuk

perilaku aparatur. Interaksi antara birokrasi dengan “sistem”

yang menjadi keharusan dilaksanakan dan dilakukan berulang-ulang dalam
jangka waktu lama, dan tiada pilihan lain sebagai pengganti, mempengaruhi
pola pikir, sikap dan perilaku.
Suatu peraturan perundang-undangan yang senantiasa menjadi pedoman
bekerja aparatur dan begitu sebaliknya aparatur harus senantiasa berada
dalam koridor hukum. Guna membatasi ruang lingkup, dalam penenelitian
ini dibatasi, bahwa “sistem” yang dimaksud dalam uraian ini adalah
sistem yang diwadahi oleh produk hukum, peraturan perundang-undangan,
sehingga

akan diungkapkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang


selama ini diterapkan, mempunyai pengaruh terhadap jiwa, sikap dan perilaku
aparatur Korps Pegawai Negeri.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan
Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, di atur bagaimana seorang PNS
berperilaku/beretika dalam bernegara, etika dalam berorganisasi, etika dalam

bermasyarakat, etika terhadap diri sendiri, dan etika terhadap sesama PNS.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dijelaskan bahwa:
“Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil adalah rasa Kesatuan dan persatuan,
kebersamaan, kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, kreativitas,
kebanggaan dan rasa memiliki organisasi Pegawai Negeri Sipil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
“Kode Etik Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman sikap, tingkah laku,
dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dan
pergaulan hidup sehari hari.”
Untuk menjamin agar setiap Pegawai Negeri Sipil selalu berupaya
terus meningkatkan kesetiaan ketaatan, dan pengabdiannya tersebut, ditetapkan
ketentuan perundang-undangan yang mengatur sikap, tingkah laku, dan
perbuatan Pegawai Negeri Sipil, baik di dalam maupun di luar dinas. Untuk
memperoleh Pegawai Negeri Sipil yang kuat, kompak dan bersatu padu,
memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi,
berdisiplin, serta sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara
dan abdi masyarakat diperlukan pembinaan jiwa korps dan kode etik Pegawai
Negeri Sipil. Pembinaan jiwa korps dimaksudkan untuk meningkatkan
semangat juang, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan Pegawai Negeri Sipil
kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional, diperlukan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang netral, mampu menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa, profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan
tugas, serta penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang

Dasar 1945, Negara dan Pemerintah Republik Indonesia. Agar PNS mampu
melaksanakan tugasnya sebagaimana tersebut di atas secara berdaya guna dan
berhasil

guna,

diperlukan

pembinaan

secara

terus

menerus

dan

berkesinambungan. Pembinaan jiwa korps akan berhasil dengan baik apabila
diikuti dengan pelaksanaan dan penerapan kode etik dalam kehidupan seharihari PNS, Salah satunya Program Peningkatan Kapasitas sumberdaya Aparatur
dengan Pengiriman Pegawai Pada Diklat Tehknis/ Fungsional dan Program
peningkatan Disiplin Aparatur dengan pengadaan pakaian seragam. Dengan
adanya kode etik bagi PNS dimaksudkan sebagai bagian dari upaya
meningkatkan kualitas PNS dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Untuk mewujudkan pembinaan jiwa korps PNS dan menjunjung tinggi
kehormatan serta keteladanan sikap, tingkah laku dan perbuatan PNS dalam
melaksanakan tugas kedinasan dan pergaulan hidup sehari-hari, Kode Etik
dipandang merupakan landasan yang dapat mewujudkan hal tersebut. Nilainilai dasar yang tercantum dalam dalam PP No. 42 tahun 2004 tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil merupakan
pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan yang berlaku bagi seluruh PNS
tanpa membedakan di mana yang bersangkutan bekerja. Nilai-nilai dasar ini
wajib dijunjung tinggi karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat, bangsa, negara dan Pemerintah.
Sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dibahas, difokuskan
terhadap sistem politik yang diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan, atau dibingkai produk hukum. Pembatasan ini dimaksudkan

karena aspek penyebab yang menjadikan perilaku aparatur seperti yang
terjadi saat ini, dapat dilihat dari berbagai sisi, seperti sosiologi.
Sistem sebagaimana dimaksudkan adalah sistem yang

secara

langsung atau kebijakan politik yang menginternalisasi perilaku birokrasi,
karena

keberadaannya

tidak

dapat

dipisahkan,

dan

birokrasi

tidak

mempunyai pilihan lain bertindak di luar sistem tersebut. Secara garis
besar, dikelompokkan dalam 2 (dua) bagian yaitu (a). Sistem yang menjadi
anutan bekerja birokrasi; dan (b) sistem yang mampu menentukan hak-hak
kepegawaian seorang aparatur. Kedua sistem ini secara sah berlaku,
karena diletakkan dalam undang-undang sebagai keputusan politik yang
wajib dilaksanakan birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Persoalan yang akan mengemuka adalah, menjawab pertanyaan
mengapa sistem yang diwadahi dalam produk hukum tersebut, mempunyai
peran yang menghasilkan mental model aparatur. Bilamana dikemudian
hari, hal tersebut diakui kebenarannya, mungkin yang dapat dilakukan
adalah mencarikan solusi perbaikan mental

model aparatur, melalui

penggantian sistem. Demikian seterusnya, yang pula harus diganti adalah
bingkai hukumnya. Hukum, bukan satu-satunya yang dapat dijadikan
acuan, karena aspek lain, tentu mempunyai peran.
Namun demikian, upaya mencoba mengurai masalah yang menyelimuti
penyakit birokrat

ini, dapat dilakukan

melalui

aspek

hukum dengan

melaksanakan Program Pembinaan dan Bantuan Hukum Anggota

seperti

Penyuluhan Hukum bagi PNS dan Anggota . Demikian pula solusinya juga
dapat dilakukan melalui pendekatan ini.

Untuk lebih meningkatkan peran

pegawai negeri agar lebih efisien dan efektif mengisi kemerdekaan dan
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pegawai Republik
Indonesia harus dibina sebaik-baiknya. Efektifitas dan efisiensi setiap pegawai
negeri harus selalu berhasil melaksanakan tugas secara berdaya dan berhasil guna
dengan mengedepankan pelayanan kepada masyarakat yang pada gilirannya
meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraannya. Maka, dibentuklah Korps
Pegawai Republik Indonesia pada 29 November 1971 sesuai dengan Keputusan
Presiden Nomor 82 Tahun 1971 sebagai satu-satunya wadah untuk menghimpun
dan membina seluruh pegawai Republik Indonesia di luar kedinasan, guna lebih
meningkatkan pengabdian dalam mengisi kemerdekaan dan melaksanakan
pembangunan. Anggota adalah pegawai negeri meliputi pegawai negeri sipil,
pegawai BUMN, BUMD dan anak perusahaannya, serta petugas yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan desa. Dalam menjalankan fungsi dan
tugas sebagai organisasi pegawai Republik Indonesia, mengalami perubahanperubahan orientasi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Peneliti juga memperhatikan bahwa para pegawai banyak yang keluar
masuk kantor pada jam kerja bahkan ada yang hadir tidak tepat waktu. Melihat
dan menimbang masalah yang terjadi di harapkan adanya perubahan yang
semakin baik, supaya kualitas pelayanan publik bagi para pegawai di instansi
pemerintah

memberikan

kualitas

pelayanan

yang

baik.

Dengan demikian perlu ditegakkan dan ditingkatkan kualitas pembinaan nstansi
pemerintah. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi,

meningkatkan

produktifitas

dan

kwalitas

kerja

dan

lain

sebagainya,

Mangkunegara (2003 : 52)

BAB II
LANDASAN TEORI
A. KONSEP ETIKA PELAYANAN PUBLIK
Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti,
salah satudiantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau
akhlak dan watak. Filsufbesar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata
etika ini dalam menggambarkanfilsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan memperhatikan beberapa
sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu
etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yangmenjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, ataudisebut
dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering
dikenaldengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk,
yang acapkali disebut“filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat

yang ditulis dalam TheEncyclopedia of Philosophy yang menggunakan etika
sebagai (1) way of life; (2) moral codeatau rules of conduct; dan (3) penelitian
tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihatDenhardt, 1988: 28).
Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah
suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah
dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung
maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan
intensitas kebutuhan masyarakat,kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini
lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu
delivery system yang sehat. Pelayanan publik inidapat dilihat sehari-hari di bidang
administrasi,

keamanan,

kesehatan,

pendidikan,

telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan

perumahan,

air

bersih,

pelayanan publik adalah

menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang
terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang
memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan
sebagaifilsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules
of conduct (aturanberperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi
pelayanan publik atauadministrator publik (lihat Denhardt, 1988).
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang
dimaksudkandengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi
publik dan atau pemberianpelayanan publik (delivery system) yang didasarkan

atas serangkaian tuntunan perilaku (rulesof conduct) atau kode etik yang mengatur
hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atausebaliknya yang “tidak baik” agar
dihindarkan.
B. Konsep Umum Etika Organisasi
Etika diartikan sebagai nilai-nilai normatif atau pola perilaku seseorang
atau badan/lembaga/organisasi sebagai suatu kelaziman yang dapat diterima
umum dalam interaksi dengan lingkungannya.etika dalam organisasi tidak
mungkin lagi dapat dibesar-besarkan. Organisasi tidak mungkin berfungsi secara
bertanggung jawab tanpa memiliki etika ketika menjalankan urusan kesehariannya
setiap organisasi,baik publik maupun swasta, Etika berkaitan dengan baik dan
buruk, benar dan salah, betul dan tidak, bohong dan jujur. Dalam berinteraksi
dengan lingkungannya orang-orang dapat menunjukkan perilaku yang dinilai baik
atau buruk, benar atau salah ketika melakukan suatu tindakan. Hal tersebut sangat
bergantung kepada nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan di mana orangorang berfungsi. Tidak jarang terdapat penilaian yang berbeda terhadap suatu
perilaku dalam lingkungan yang berbeda.
C. Hakikat etika dan moralitas
Etika menggambarkan suatu kode perilaku yang berkaitan dengan nilai
tentang mana yang benar dan mana yang salah yang berlaku secara obyektif
dalam masyarakat. Dengan demikian, etika dapat diartikan sebagai perilaku
individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.sedangkan diartikan sebagai
dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang berkaitan dengan etika. Moralitas dilandasi oleh nilai-nilai tertentu yang

diyakini oleh seseorang atau organisasi tertentu sebagai sesuatu yang baik atau
buruk, sehingga bisa membedakan mana yang patut dilakukan dan mana yang
tidak sepatutnya dilakukan.

BAB III
PEMBAHASAN
Karena menyadari pentingnya diterapkan pembinaan dalam peningkatan
jiwa Korps Pegawai Negeri maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana
Efektivitas Pembinaan Jiwa Korps Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
Yang perlu dilakukan untuk membentuk prilaku pegawai instansi
pemerintah,sebagai berikut :
A. Larangan PNS
1. Menyalahgunakan wewenang;
2. Menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang
lain dengan menggunakan kewenangan orang lain;
3. Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain
dan/atau lembaga atau organisasi internasional;

4. Bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya
masyarakat asing;
5. Memiliki,

menjual,

membeli,

menggadaikan,

menyewakan,

atau

meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen
atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau
orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan
untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung
atau tidak langsung merugikan negara;
7. Memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik
secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk
diangkat dalam jabatan;
8. Menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang
berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;
9. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10. Melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat
menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga
mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
11. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
12. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara:
a) Ikut serta sebagai pelaksana kampanye;

b) Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau
atribut PNS;
c) Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d) Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
B. Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik
Alasan yang melandasi mengapa Pembinaan Mental Pegawai Negeri Sipil
(PNS) penting adalah, karena ada tuntutan nasional dan tantangan global agar
meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah sebagai pelayan publik yang
sampai saat ini masyarakat masih belum merasakan tugas dan fungsi pelayanan
sebagaimana yang diharapkan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pada aspek mental
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sering menuai kritik dari masyarakat dikarenakan
oleh perilaku menyimpang, baik pada tataran perundang-undangan, agama
maupun budaya.
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS tertuang dalam PP. Nomor 42
Tahun 2004 tanggal 18 Oktober 2004.
Pembinaan jiwa korps PNS mutlak diperlukan untuk meningkatkan
perjuangan, pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada NKRI serta
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Karena PNS yang kuat, kompak, dan bersatu padu, memiliki kepekaan,
tanggap, dan memilki kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan
tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat hanya
akan terwujud apabila kepada PNS tersebut terus-menerus diberikan pembinaan
mengenai

penting

membangun

jiwa

korpS,

termasuk

kode

etiknya.

Oleh karena itu menurut pasal 3 PP No. 42 Tahun 2004, ada tiga tujuan
pembinaan jiwa korps PNS, yaitu untuk : a). Membina watak, memelihara rasa
persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan guna mewujudkan kerja sama,
semangat pengabdian kepada masyarakat, meningkatkan kemampuan, dan
keteladanan PNS. b). Mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang
bermutu tinggi dan sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur Aparatur negara,
dan abdi masyarakat. c). Menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran,
dan wawasan kebangsaan sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
dalam wadah NKRI.
Di dalam pasal 8-12 PP No. 42/2004 disebutkan bahwa Kode Etik PNS
meliputi 5 (lima) Kode Etik.
a) Etika Bernegara. Hal ini mengandung arti bahwa seorang PNS harus:

Melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan UUD 1945; Mengangkat harkat dan
martabat bangsa dan negara; Menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam
NKRI; Menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa; Tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu
dalam melaksanakan setiap kebijan dan program pemerintah; Menggunakan
atau memanfaatkan semua sumber daya negara secara efisien dan efektif;
Tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.
b) Etika Berorganisasi. Maksudnya adalah bahwa seorang PNS harus:
Melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku; Menjaga
informasi yang sifat rahasia; Melaksanakan setiap kebijakan yang ditetapkan

oleh pejabat yang berwenang; Membangun etos kerja untuk meningkatkan
kinerja organisasi; Menjalin kerjasama secara kooperatif dengan unit kerja
lain yang terkait; Memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas; Patuh dan
taat terhadap standar operasional dan tata kerja; Mengembangkan pemikiran
secara kreatif dan inovatif; Berorientasi pada upaya peningkatan kualitas
kerja.
c) Etika Bermasyarakat. Pengertiannya adalah bahwa setiap PNS harus :
Mewujudkan pola hidup sederhana; Memberikan pelayanan dengan empati,
hormat dan santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan; Memberika
pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil, serta tidak diskriminatif;
Tanggap terhadap kedaan lingkungan masyarakat; Berorientasi kepada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan tugas.
d) Etika terhadap Diri Sendiri, yang meliputi arti sebagai berikut: Jujur dan
terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar; Bertindak dengan
penuh kesungguhan dan ketulusan; Menghindari konflik kepentingan pribadi,
kelompok, maupun golongan; Berinisiatif untuk meningkatkan kualitas
pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, dan sikap; Memiliki daya juang yang
tinggi; Memelihara kesehatan jasmani dan rohani; Menjaga keutuhan dan
keharmonisan keluarga; Berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan.
e) Etika Terhadap Sesama PNS. Maksudnya adalah, bahwa seorang PNS harus:
Saling menghormati sesama warga negara yang memeluk agama/kepercayaan
yang berlainan; Memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama PNS; Saling
menghormati antara teman sejawat baik secara vertikal maupun horizontal

dalam unit kerja, instansi maupun antar instansi; Menghargai perbedaan
pendapat; Menjunjung tinggi harkat dan martabat PNS; Menjaga dan
menjalin kerja sama yang kooperatif sesama PNS; Berhimpun dalam satu
wadah KORPRI yang menjamin terwujud solidaritas dan soliditas semua
PNS dalam memperjuangkan hak-haknya.
Untuk menegakkan kode etik PNS tersebut, maka di setiap instansi
dibentuk Majelis Kode Etik yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
yang bersangkutan.Keanggotan Majelis Kode Etik jumlahnya harus ganjil dan
sekurang-kurangnya terdiri dari 5 orang, meliputi: 1 ( satu orang Ketua
merangkap Anggota; 1 (satu) orang Sekretaris merangkap Anggota; dan sekurangkurangnya 3 (tiga) orang Anggota. Mereka yang menjadi Anggota Majelis Kode
Etik harus memiliki jabatan dan pangkat yang lebih tinggi dari jabatan dan
pangkat

PNS

yang

diperiksa

karena

disangka

melanggar

kode

etik.

Dalam pasal 19 PP No. 42/2004 disebutkan: kepada PNS yang diperiksa diberi
kesempatan untuk membela diri sebelum Majelis mengambil keputusan. Adapun
keputusan yang diambil sedapat mungkin dilakukan secara musyawarah mufakat,
dan keputusannya bersifat final.
Secara riil PP No 42/2004 juga mengatur mengenai wahana pembinaan
jiwa korps. Di dalam pasal 12 huruf “g” secara tegas disebutkan bahwa: (PNS)
“berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI)
yang menjamin terwujudnya solidaritas dan soliditas semua PNS dalam
memperjuangkan hak-haknya”.

Dengan demikian KORPRI adalah wahana pembinaan jiwa korps yang
diakui oleh pemerintah dalam rangka membangun sikap, tingkah laku, etos kerja,
dan perbuatan terpuji yang harus dilakukan oleh setiap PNS dalam kedinasan dan
kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu KORPRI ditetapkan dengan PP. No. 42 Tahun 2004
sebagai wadah pembinaan jiwa korps dan organisasi dalam kedinasan maupun
dalam kehidupan sehari-hari, maka kode etik anggota KORPRI juga merupakan
kode etik bagi setiap PNS. Kode Etik anggota KORPRI terdapat dalam Panca
Prasetya KORPRI serta Deklarasi Hasta Dharma KORPRI.
C.

Pendekatan Pembinaan PNS

a. Pendekatan Yuridis
Dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
dewasa ini telah terjadi krisis moral. Hal itu ditandai oleh sikap dan perilaku yang
cenderung mengabaikan penghargaan dan ketaatan terhadap norma-norma moral
dan nilai-nilai etika dalam pola interaksi kemasyarakatan maupun dalam
penyelenggaraan negara.
Moral dan etika yang lemah dalam proses penyelenggaraan negara
tercermin dari berbagai pernyataan dan kebijakan aparatur negara yang
bertentangan satu sama lain, bahkan mengindikasikan terjadi kebohongan publik,
inkonsistensi dalam melaksanakan ketentuan hukum, dedikasi yang rendah,
bertindak

sewenang-wenang,

kurang

memberikan

diskriminatif dalam memberikan pelayanan.

teladan

dan

bersikap

Pola sikap dan perilaku aparatur negara yang demikian pada akhirnya akan
menimbulkan

gangguan

sosial

dan

ketidakpercayaan,

bahkan

resistensi

masyarakat terhadap aparatur negara, sehingga mengganggu keharmonisan,
kedamaian, dan keserasian dalam pola hubungan publik dengan unsur aparatur
negara.
Di sisi lain, dinamika perkembangan masyarakat menunjukkan tuntutan
kepedulian yang tinggi terhadap public accountability sebagai dampak
internasilsasi nilai-nilai global di masyarakat. Dalam konteks ini, pelayanan yang
diharapkan oleh masyarakat dari PNS dalam kapasitasnya sebagai abdi negara dan
abdi masyarakat adalah pelayanan yang semakin prima, cepat, dan paripurna serta
tidak diskriminatif.
Berdasarkan situasi dan kondisi itulah maka kemudian muncul suatu
paradigma baru tentang nilai-nilai moral dan etika sebagai standard operating
procedure bagi PNS, secara formal dalam UU No. 43 tahun 1999, pasal 3 ayat (1)
disebutkan; “Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang
bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional,
jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan
penyelenggaraan negara, pemerintahan, dan pembangunan”. Sikap profesional,
jujur, adil, dan merata ini adalah nilai-nilai yang dijadikan ukuran apakah seorang
aparatur bermoral baik atau tidak.
Sedangkan Etika merupakan pola tata nilai dan sebagai indikator ukuran
sikap perilaku yang dianggap baik, lazim dan patut dilakukan. Pedoman etika

sudah lama diterapkan secara global sebagai sesuatu yang melekat pada peran
suatu profesi, seperti : kode etik kedokteran, kode etik pengacara, dan sebagainya.
Dalam konteks inilah maka norma etika PNS diperlukan, yaitu sebagai
sistem yang mengikat sekaligus menjadi aturan main ( the rule of game), yang
disepakati dan diterima oleh semua PNS seperti profesi-profesi lainnya.
Untuk menyikapi hal-hal tersebut, maka setiap CPNS pada saat
pengangkatannya menjadi PNS wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agama atau keyakinan masing-masing yang diakui oleh pemerintah disamping
pengucapan sumpah janji bagi para PNS juga diajarkan pula mengenai pembinaan
jiwa korps, kode etik dan peraturan disiplin yang tidak boleh bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 UUD 1945, dasar hukum yang menjadi rujukan
untuk pembinaan jiwa korps, kode etik dan peraturan disiplin ini adalah PP. No.
42/2004. Adapun Jiwa Korps PNS itu isinya adalah suatu rasa kesatuan dan
persatuan, kebersamaan, kerjasama, tanggungjawab, dedikasi, disiplin, kreativitas,
kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam bingkai NKRI dan Kode
Etik PNS ini merupakan suatu pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan PNS
di dalam melaksanakan tugas dan bergaul dalam kehidupan sehari-hari,
Pembinaan Jiwa Korps PNS bertujuan untuk:
1.

Membina watak, membina rasa persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan
guna mewujudkan kerjasama dan semangat pengabdian kepada masyarakat
serta meningkatkan kemampuan, dan keteladanan;

2. Mendorong etos kerja PNS untuk mewujudkan PNS yang bermutu tinggi
dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara, dan abdi
masyarakat;
3.

Menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan
kebangsaan sehingga dapat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam
NKRI. bahkan secara khusus mengatur perilaku PNS sudah ada PP No.
30/1980 dengan menggunakan istilah “Kewajiban dan Larangan“ pada pasal
2 dan 3 pada PP dijelaskan 26 butir kewajiban dan 18 butir larangan bagi
PNS.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 42/2004 selain mengatur Kode Etik

PNS juga mengatur pula Kode Etik Pejabat Pembina Kepegawaian, kode etik
instansi dan organisasi profesi yang berada di lingkungan PNS.
Untuk penegakkan kode etik sebagaimana disebutkan di atas, PNS yang
melakukan pelanggaran dikenakan sanksi moral yang dibuat secara tertulis dan
dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dari masing-masing instansi
sanksi berupa pernyataan secara tertutup atau terbuka dan harus disebutkan jenis
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS oleh pejabat yang berwenang
dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pejabat lain sekurang-kurangnya
pejabat struktural eselon IV.
Selain sangsi moral, PNS yang melakukan pelanggaran juga dapat
dikenakan tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, atas rekomendasi Majelis Kode Etik, yang pembentukannya
ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian yang bersangkutan.

b. Pendekatan Keagamaan
Agama mengajarkan nilai-nilai luhur, yang bila dilaksanakan, akan
menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat, baik sebagai individu,
maupun masyarakat, bangsa, atau manusia. Pegawai Negeri Sipil sebagai abdi
Negara yang berasaskan Pancasila, wajib menjalankan nilai-nilai yang diajarkan
agamanya. Oleh karena itu pembinaan mental PNS melalui pendekatan
keagamaan sangat penting artinya dan sangat strategis peranannya.
Nilai-nilai yang diajarkan agama banyak, tetapi dalam pembinaan mental
PNS ini nilai-nilai yang diperioritaskan agar dimiliki dan dijalankan oleh PNS
adalah:
1. Nilai Keimanan dan Ketaqwaan
Keimanan meliputi tiga unsur: mempercayai, mengikrarkan, dan menjalankan
kebenaran. Mempercayai suatu kebenaran adalah meyakininya. Keyakinan itu
perlu diungkapkan dalam ucapan. Dan keyakinan dan ucapan itu harus
dibuktikan dalam perbuatan. Meyakini dan mengucapkan suatu kebenaran,
tetapi tidak menjalankannya, itu adalah kebohongan. Dan menjalankan suatu
2.

kebenaran tetapi tidak meyakininya, itu adalah munafik.
Nilai Keikhlasan
Keikhlasan adalah ketulusan dalam bekerja, yaitu bekerja semata-mata hanya
untuk pengabdian karena Allah. Keikhlasan tertinggi adalah ketulusan Allah
dalam menciptakan dan memelihara alam ini untuk keperluan manusia tanpa
mengharapkan balasan dari mereka. Bahkan manusia yang menikmati
karunia-Nya itu, bila mematuhi dengan tulus aturan-aturan yang digariskanNya, akan diberi-Nya kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Seorang yang ikhlas dengan demikian adalah juga seorang yang baik.
Seorang yang baik adalah yang bekerja dengan baik dan tidak mencitacitakan apalagi mengambil sesuatu yang merupakan haknya. Seorang yang
baik adalah yang mengambil kurang dari haknya dan memberikan lebih dari
kewajibannya.
PNS sudah memilih jalan hidupnya sebagai abdi Negara. Ia perlu bekerja
dengan tulus dan penuh dedikasi. Seorang pengabdi Negara tidak boleh
menyalahgunakan wewenangnya. Ia hanya akan mengambil haknya, bahkan
kurang dari haknya itu. Dan sebaliknya ia akan melaksanakan kewajibannya
sebagaimana
3.

mestinya,

bahkan

kewajibannya itu.
Nilai Keadilan
Keadilan adalah

berusaha

kesamaan,

yaitu

memberikan

lebih

memperlakukan

dari

sesuatu

sebagaimana mestinya, keseimbangan, yaitu memberikan kepada sesuatu apa
yang menjadi haknya, dan kebenaran, yaitu berpihak kepada kebenaran.
Memperlakukan sesuatu sebagaimana mestinya adalah memperlakukan
sesuatu tidak berat sebelah. Perlakuan ini dilaksanakan dalam bidang hukum.
Memberikan

kepada

memperlakukan

secara

sesuatu

apa

sepatutnya,

yang

menjadi

artinya

tidak

haknya

adalah

sewenang-wenang.

Perlakuan ini diberikan dalam bidang pelayanan. Dan berpihak kepada
kebenaran adalah menjadikan kebenaran sebagai tolok ukur dalam bersikap
dan bertindak. Manusia memiliki hak-hak asasi yang harus diberikan secara
seimbang dan tidak diskriminatif. Manusia juga berhak atas perlakuan yang
adil baik dalam bentuk pelayanan maupun perlakuan. Dan manusia
mempercayai hukum, baiuk hukum baik yang ditetapkan agama maupun

manusia. Manusia perlu menyesuaikan sikap dan tindakannya itu berdasar
hukum tersebut.
Seorang PNS perlu menanamkan dalam dirinya bahwa ia adalah abdi
Negara dan pelayan masyarakat. Ia perlu memberi lebih banyak
daripada mengambil. Ia perlu melayani bukan minta dilayani. Ia perlu
bersikap proporsional, tidak sewenang-wenang, dan objektif.
4.

Nilai Kesabaran
Sabar adalah 1) tahan dan tabah, dan 2) tenang. Sabar adalah tahan
menderita, tidak lekas patah hati, dan tidak lekas putus asa.
Bentuk-bentuk kesabaran adalah:
a. Sabar menghadapi penderitaan, seperti kemiskinan, krisis ekonomi,
dsb.
b. Sabar menghadapi instabilitas, seperti gangguan keamanan,
peperangan, dsb.
c. Sabar menghadapi bencana, seperti musibah, penyakit, dsb.
d. Sabar dalam memperlakukan orang lain, yaitu dapat memberikan
pelayanan dengan baik, menahan diri bila diperlakukan tidak baik

5.

oleh orang lain, dsb.
Nilai Kerjasama
Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh dua
atau lebih orang atau pihak untuk mencapai tujuan bersama.
Namun kerjasama itu tidak menutup kemungkinan adanya konflik
antara pihak-pihak yang bekerjasama itu, terutama ketika
kepentngan pribadi atau golongan lebih ditonjolkan dalam
mencapai tujuan bersama.
Kerjasama diperlukan karena tujuan yang ingin dicapai tidak

sederhana atau persoalan yang dihadapi tidak ringan. Di pihak lain

kemampuan manusia terbatas. Kerjasama diperlukan supaya tujuan itu dapat
dicapai dan persoalan dapat diatasi.
Agama mengajarkan agar manusia bekerjasama. Kerjasama itu harus
hanya pada perbuatan-perbuatan baik dan mendorong kepatuhan berbuat baik.
Agama melarang manusia bekerjasama dalam melakukan perbuatan jahat dan
mendorong orang berbuat jahat.
PNS sebagai aparat negara memiliki tujuan yang sama yaitu
menyelenggarakan pemerintahan dan memajukan bangsa dan Negara. Mereka
juga menghadapi musuh yang sama, yaitu ketertinggalan bangsa dan negara
di berbagai bidang pada saat ini. PNS karena itu harus bekerjasama dan
menghindari konflik. Oleh karena itu nasionalisme, semangat pengabdian,
kesetiaan, kerja keras, dsb. harus ditingkatkan. PNS perlu memiliki semangat
'memberi" bukan semangat "menerima", apalagi semangat "Mengambil".
6.

Nilai Kesyukuran
Syukur adalah mengakui nikmat dari pemberi nikmat itu yaitu Allah. Juga
mengakui kebaikan dari orang yang sangat baik yaitu orang tua (ayah-ibu).
Syukur diungkapkan dengan tiga cara:
a. Menyadari dan mengakui di dalam hati tentang nikmat atau
kebaikan yang telah diterima.
b. Mengungkapkan syukur atau terima kasih kepada yang telah
memberi nikmat atau kebaikan.
c. Membalasi nikmat atau kebaikan yang diterima dengan
perbuatan

baik.

menggunakan

Membalasi

nikmat

itu

nikmat
sesuai

dari

Allah

kehendak-Nya,

adalah
yaitu

menggunakannya untuk kebaikan. Membalasi kebaikan orang
tua adalah dengan berbakti kepada mereka.

Allah memiliki sifat Syakur 'Amat Bersyukur', yaitu menghargai sekali
perbuatan baik manusia, dan membalasi berlipat ganda perbuatan baiknya itu.
Allah menjanjikan bahwa bila manusia bersyukur Ia akan menambah nikmat-Nya
kepada orang itu. Tetapi bila ia mengingkarinya, Allah akan menghukumnya. Hal
itu menunjukkan bahwa manusia sangat perlu menanamkan sifat syukur itu di
dalam dirinya. Syukur akan menjauhkan manusia dari kesyirikan, kesombongan,
takabur, lupa daratan, dan sebagainya
PNS harus memiliki sifat syukur itu secara utuh. Mereka perlu menyadari
bahwa kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia adalah karunia Allah, yaitu
"berkat rahmat Allah Yang maha Kuasa", sebagaimana dinyatakan oleh para
pendiri negara ini (founding fathers). PNS harus mampu mengisi kemerdekaan itu
dengan pengabdian dan kerja keras dalam membangun bangsa dan negara. Dan
rasa syukur dengan semangat pengabdian dan kerja keras itu perlu mereka
wariskan kepada generasi demi generasi.
c. Pendekatan Psikologik
Istilah “Psikologi“ dalam bahasa Jepang adalah Shinrigaku (Ilmu tentang
hati dan emosi), maka pintu Pembinaan Mental secara psikologi adalah hati, dan
emosi sebagai jendelanya. Jika ditinjau dari daerah kawasan yang menjadi wadah
dan wahana Pembinaan Mental itu digodok serta diolah berada di kawasan rasa
(affective domain) melebihi kawasan cipta (cognitive domain); sedangkan
muaranya berada di kawasan karsa (conative domain). Adapun alur tahapan
masuk ke kawasan rasa itu sebagai berikut:
1. Penerimaan nilai-nilai secara sadar, sebagai ijab kabulnya;
2. Bertanggungjawab terhadap apa yang telah diterimanya;
3. Pengambilan hikmah (arti dan manfaat nilai-nilai itu);
4. Pengaturan dalam fungsi kecerdasan hati (emosi dan spiritual);
5. Karakterisasi (pembentukan watak).

Oleh sebab itu siapa yang menjadi narasumber dalam Pembinaan Mental
PNS itu perlu:
1. Kehadirannya diterima oleh audien;
2. Dikenal sebagai pribadi yang bertanggungjawab;
3. Apa yang disampaikan penuh dengan hikmah manfaat;
4. Mudah dan enak dicerna secara sistematik dan sistemik;
5. Keunikan karakter kepribadiannya terbaca secara signifikan sehingga
kewibawaan jati dirinya utuh.
Untuk mepercepat dan menjamin mutu proses Pembinaan Mental
diperlukan mekanisme internalisasi:
1. Penyiangan, pembersihan beban batin;
2. Revitalisasi potensi diri baik minus dan plusnya;
3. Intervensi nilai-nilai luhur via sensitivity training;
4. Dibangun kemandiriannya;
5. Ditata etos kerjanya secara prima;
6. Dibiasakan memantau dan mengevaluasi kemajuan dirinya.
d. Pendekatan Sosial Budaya
Di dalam mencapai suatu generasi tauladan diperlukan tidak hanya
memiliki komitmen terhadap moral dan etika serta kompetensi saja, tetapi juga
memiliki karakter, dan mempunyai tekad untuk mencerdaskan dirinya.
Guna mencapai kualitas aparatur yang baik dapat dicapai jika upaya
pemberdayaan segenap Aparatur pemerintah diimbangi dengan upaya aktualisasi
nilai-nilai kepemimpinan, keteladanan, integritas moral dan etika segenap
pimpinan baik dari tingkat bawah sampai pada tingkat pimpinan puncak nasional.
Oleh karena itu dalam Pembinaan Mental PNS perlu melakukan
pendekatan pada sosial budaya antara lain dengan cara:
1. Di lingkungan DIKLAT sering kali ditempuh dengan pendekatan 3 SA yaitu:
Silih Asah, Silih Asih dan Silih Asuh (Jawa Barat) dan Hasta Karma Pratama
(delapan laku utama=mpu purwo) antara lain Pandangan yang benar; Pikiran
yang benar; Bicara yang benar; Tingkah laku yang benar; Kehidupan yang
benar; Usaha yang benar; Ingatan yang benar dan sembahyang yang benar.
(bahasa Sansekerta)
2. Dalam masyarakat dikenal beberapa kata arif atau pepatah, antara lain:

a. “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”(Melayu).
b. “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat”.
c. “adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah”.
d. “tiga tungku sejarangan (ninik mamak, cerdik pandai, alim ulama)”.
e. “tigo tali sapilin (hukum adat, hukum agama, hukum negara,)(Minangkabau)”.
f. ”sai bumi khua jurai (satu bumi bagi pribumi dan pendatang, Lampung)”.
g. .“mangan ora mangan awewaton kumpul (menderita sekalipun asasnya
kompak/bersatu, Jawa)”.
h. “baku sayang, baku ingat, baku tolong (saling menyayangi, saling
mengingatkan dan saling membantu (Minahasa)”.

BAB IV

PENUTUP

A.

KESIMPULAN
Etika diartikan sebagai nilai-nilai normatif atau pola perilaku seseorang

atau badan/lembaga/organisasi sebagai suatu kelaziman yang dapat diterima
umum dalam interaksi dengan lingkungannya.sedangkan Moral dalam bahasa
Inggris dapat diartikan sebagai dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan
atau

tidak

melakukan

sesuatu

yang

berkaitan

dengan

etika.

Maka dari uraian di atas dapat dibedakan antara etika dan moralitas sebagai suatu
sistem nilai dalam diri seseorang atau organisasi. Moralitas merujuk kepada nilainilai yang diyakini dan menjadi semangat dalam diri seseorang atau suatu
organisasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan etika
merupakan nilai-nilai perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang atau organisasi
ketika berinteraksi dengan lingkungannya.
B. Saran-saran
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis mengemukakan
saran-saran sebagai berikut :
1. Hendaknya para seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang berkaitan dengan etika. Moralitas harus dilandasi oleh nilai-nilai tertentu
yang diyakini oleh seseorang atau organisasi tertentu sebagai sesuatu yang
baik atau buruk, sehingga bisa membedakan mana yang patut dilakukan dan
mana yang tidak sepatutnya dilakukan.

2. Dalam organisasi, peran individu sangat penting, karena organisasi terbentuk
dengan adanya

sekelompok

orang yang saling berinteraksi

dalam

mewujudkan tujuan tertentu.dengandi dasari oleh Nilai-nilai yang diyakini
oleh individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan/perilaku
3. Dalam melaksanakan akvititasnya,seseorang harus mengetahui prinsipprinsip etika,nilai-nilai, Moral, dan Budaya Organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Atmo Soeprapto, Kisdarto, (1999), Menuju SDM Berdaya, Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuar
Inner Journey Melalui Al-Ihsan, Penerbit Arga Jakarta, 2003.
Bachtiar Effendy, 2001. Politisasi Birokrasi Sesuatu yang Tak Terelakkan, Seri
Kertas Kerja 05/2001, Pusat penelitian Pengembangan Kepegawaian
Negara, Jakarta.
Chaplin, James P., (2000), Dictionary of Psychology, New York: Dell Publising
Co.,Inc.
Dadi J. Iskandar, 11996. Birokrasi Indonesia Kontemporer”, Algaprint,
Jatinangor,.
Departemen Agama RI., (2003), KMA No. 1 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pendidikan dan
Danah Zohar dan Ian Marshal, 2007. SQ : Kecerdasan Spritual, Mizan, Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., (1988), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Perum Balai Pustaka.
Eko Sutrisno, 2001. Upaya Reformasi Sumber Daya Aparatur , Sebuah Dilema
Antara Peran Politis dan Profesionalisme, Seri Kertas Kerja 05/2001,
Pusat penelitian Pengembangan Badan kepegawaian. Negara, Jakarta,
2001
Goleman, Daniel,(1995), Emotional Intelligence, New York: Scientific American,
Inc.
Mahfud, M.D. Moh. 1999 Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama
Media. Yogyakarta.
Manihuruk A.E., 2001, Pegawai Negeri Sipil Di awal Kemerdekaan dan Era
Reformasi, Seri kertas Kerja, Edisi Khusus, Ulang Tahun ke 53, badan
kepegawaian Nasional, Jakarta, Puslitbang BKN.
Makhya,
Syarief
”Problem
Kepemimpinan
Kepala
Daerah,”
http://fisippemerintahan.unila.ac.id/ index.php? (diunduh, Tanggal, 19
Agustus 2013)