MEMBANGUN MODEL KEARIFAN LOKAL DALAM MEN

MEMBANGUN MODEL KEARIFAN LOKAL DALAM MENUNJANG
PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

Oleh :
SEPTIAN JULIFAR SYAMSUL HUDA. SKM
NIM. 1410245993

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2015

I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pembangunan pada dasarnya perbaikan kesejahteraan masyarakat terus menerus,
sepanjang waktu, ditandai pertumbuhan ekonomi yang positif. Pertumbuhan ini hanya
akan berkelanjutan jika sumber-sumber pertumbuhan terjaga sepanjang waktu. Salah
satu yang terpenting adalah sumberdaya alam selain sumberdaya manusia. Oleh karena
itu, sangat penting menjaga kelestarian sumber daya alam bagi kemaslahatan generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang. Sejak awal pembangunan, bangsa

Indonesia bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam secara intensif. Namun, agenda
pelestarian sumberdaya alam, termasuk pelestarian lingkungan, belum menjadi titik
perhatian yang serius dalam masalah pembangunan (Nurjaya I Nyoman, 2008).
Permasalahan pemanfaatan sumberdaya alam selalu tidak lepas dari keadilan/
pemerataan antar generasi, generasi sekarang dibandingkan dengan generasi yang akan
datang, selain keadilan/pemerataan intragenerasi - antar kelompok masyarakat di suatu
waktu tertentu. Sumberdaya alam pada dasarnya adalah warisan dan generasi
sebelumnya yang bisa dimanfaatkan oleh generasi sekarang. tetapi bukan untuk
dihabiskan karena didalamnya ada hak generasi selanjutnya. Oleh karena itu, penting
sekali agar sumber daya alam dikelola secara bekesinambungan dalam proses jangka
paajang agar dapat mewariskannya kepada generasi yang akan datang.
Masalah sumberdaya alam dan lingkungan merupakan permasalahan yang harus
ditempatkan sebagai permasalahan jangka panjang. Pemanfaatan sumber daya alam
yang hanya dilihat sebagai kepentingan jangka pendek niscaya hanya akan merugikan
generasi sekarang, apalagi generasi yang akan datang. Eksploitasi sumberdaya alam
yang di luar ambang batas, sungguh nyata akan sangat berpengaruh di masa yang akan

datang. Walaupun. di masa sekarang, dampaknya sedikit mulai terlihat seperti curah
hujan berlebih, namun dampak terbesar akan dirasakan ganerasi yang akan datang.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat diperbarui (renewable) hendaknya tetap

menjaga agar capital stock sumberdaya alam tersebut terjaga dan selalu berada dalam
titik optimum. Sedangkan, strategi pemanfaatan sumberdaya alam tidak dapat diperbarui
(non-renewable) hendaknya melalui pemakaian dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan
berusaha mencari substitusinya.
Kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam harus memiliki visi makro untuk
menciptakan ekologi yang sustainable. Sedangkan visi mikronya adalah menjaga jenisjenis keanekaragaman yang sustainable. Selain itu, pemanfaatan sumbedaya alam juga
harus memiliki rasa keadilan intra generasi (antar kelompok masyarakat) saat ini dan
keadilan antar generasi. Menempatkan permasalahan sumberdaya alam sebagai
permasalahan jangka panjang. pada akhirnya, akan bermuara pada dimensi keadilan
antargenerasi. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tidak sepenuhnya dapat
menguraikan mekanisme pasar. Karena pasar memiliki beberapa kelemahan dan tidak
bisa menyelesaikan semua masalah.
Kelemahan tersebut adalah kegagalan pasar yang ditandai ekssternalitas dan
barang publik (public goods). Permasalahan mi mengakibatkan harga sumberdaya alam
menjadi lebih murah (under pricing) karena tidak memasukkan unsur deplesi. Begitu
pula dengan barang-barang industri, harganya lebih murah karena tidak memasukkan
unsur eksternalitas negatif, seperti polusi misalnya. Oleh karena itu, diperlukan
intervensi pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar tersebut.
Instrumen pemerintah untuk mengatasi ekstemalitas negatif adalah pengenaan
pajak untuk kompensasi pencemaran


lingkungan bagi industri-industri yang

mengeluarkan limbah perusak lingkungan selain itu dilakukannya syarat-syarat

pengelolaan lingkungan bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan usahanya dalam
mekanisme Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) maupun Upaya
Pemantauan Lingkungan/Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL/UKL).
Paradigra lama dalam mengatasi masalah sumber daya alam dan lingkungan yang
hanya mengandalkan mekanisme pasar dan intervensi pemerintah untuk mengatasi
ketidaksempurnaan pasar sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Karena keterbatasan
pemerintah dalam kemampuan personal dan penguasaan informasi. Sehingga, penguatan
stakeholders yg merasakan dampak kerusakan lingkungan dan sumberdava alam perlu
dilakukan. Termasuk menggali nilai-nilai setempat yang sering disebut kearifan lokal
(local wisdom) untuk dijadikan pendukung pengelolaan lingkungan hidup yang lestari.
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan menelaah sejauh mana
kearifan lokal dapat mendukung pengelolaan sumberdaya alam serta melihat
kemungkinan membangun model untuk melaksanakan hal tersebut.
1.3. Metode Penulisan

Penulisan dilakukan secara diskriptif dengan menggunakan sumber pustakan dan
sumber lain yang relevan.

II. KONSEP DAN TEORI
KEARIFAN LOKAL
2.1. Pembangunan dan Kearifan Lokal
Menurut Julian H. Steward (1930) Ekologi sebagai suatu pengetahuan yang
berkembang pada abad 20, tetapi kebanyakan terbatas pada penelitian tentang tumbuhan
dan binatang daripada ke-manusia. memberikan kontribusi yang sangat penting yakni
berupa “metode ekologi budaya”, yang merupakan pengenalan bahwa lingkungan dan

budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain tapi terlibat dalam mempengaruhi
dialektika yang disebut umpan balik atau timbal balik. Pada dasarnya berpendirian
bahwa tiap proses perkembangan kebudayaan manusia di dunia bersifat khas. Namun
terdapat kesejajaran yang tampak dalam kebudayaan universal (primer) mulai dari
sistemmata pencahrian hidup, organisasi sosial, dan sistem religi. Dan yang tidak primer
seperti teknologi, system pengetahuan, dan kesenian tidak menampakkan evolusi yang
sejajar.
Metode ekologi budaya Julian Steward dibagi dua yaitu ada perkembanganperkembangan, ada yang pasif yaitu lingkungan yang merupakan faktor internal. Jadi
yang disebut inti kebudayaan yaitu suatu unsur kebudayaan, aspek subsistem yang

perkembangan evolusinya sangat dipengaruhi oleh kekuatan alam, baik berupa letak
geografis, musim, iklim, SDA, termasuk di dalamnya pola-pola pemukiman.
Perkembangan pola pemukiman yang menetap dan berpindah-pindah mengikuti aktifitas
ekonomi masyarakat. Dapat disimpulkan secara singkat, bahwa Steward menjelaskan
tingkat-tingkat evolusi dalam enam kebudayaan di dunia, yang didasarkan atas bahan
prehistori yang konkret, atau multilinear evolution yaitu proses-proses perkembangan
yang berjalan lambat dari kebudayaan-kebudayaan yang berlainan dan yang hidup
dalam lingkungan yang berbeda-beda, tetapi yang secara garis besar menunjukkan
persamaan dalam proses-proses evolusi kebudayaan manusia dalam unsur-unsur
primernya, tetapi menunjukkan perbedaan besar dalam unsur-unsur sekundernya
(Anwar, 2008).
Dua ide dasar dari sudut pandang ekologis yang tidak bisa dipisahkan dalam
konsep hubungan timbal balik : Ide baik itu lingkungan maupun budaya adalah
pemberian, tapi satu-sama lain disimpulkan dalan istilah lain dan ide bahwa lingkungan

bermain aktif, tidak hanya berperan dalam membatasi atau menyeleksi aktivitas
manusia. Pengaruh lingkungan dan budaya yang relatif mempengaruhi lingkungan dan
budaya dalam hubungannya dengan umpan balik yang tidak sama. Sesuai dengan
pandangan ini, kadang kala budaya memainkan suatu peran aktif dan kadang kala juga
lingkungan lepas tangan. Steward percaya bahwa beberapa sektor dari budaya memiliki

hubungan yang kuat dengan lingkungan daripada sektor lain, dan analisa ekologis harus
bisa digunakan untuk menjelaskan kesamaan persilangan budaya hanya ada di inti
budaya. Inti budaya terdiri dari sektor ekonomi masyarakat, yang menonjolkan aktivitas
kehidupan dan penyelenggaraan ekonomi masyarakat. Metode ekologi budaya
melibatkan analisa tentang :
1.

Hubungan timbal balik di antara lingkungan dan eksploitasi atau teknologi
produktif.

2.

Hubungan timbal balik di antara pola perilaku dan teknologi eksploitasi

3.

Tingkat dimana pola perilaku cenderung ke sektor lain dari budaya
Inti budaya Steward tidak termasuk banyak aspek dari struktur sosial dan

hampir tidak ada perilaku ritual (upacara agama). Tidak satupun dari hal tersebut

mempengaruhi lingkungan. Steward menyingkirkan atau memisahkan pembahasan
ekologi budaya dari biologi, dengan menyatakan bahwa dibandingkan dengan potensial
genetik untuk adaptasi, akomodasi (tempat tinggal), dan bertahan hidup, budaya lebih
menjelaskan sifat alami manusia. Ekologi budaya juga telah menjadi daya tarik para
possibilis pada pembahasan mengenai corak budaya yang spesifik. Steward berhasil
menjelaskan corak budaya asli dan polanya dengan perbedaan karakteristik wilayah.
Metodenya menghendaki pembahasan mendalam dari kelompok lokal di lingkungan
mereka yang menjadi tuntutan sebagai suatu prasyarat dalam membuat penyamaan
ekologi. Pendekatan Steward dalam melihat ciri/corak budaya dan ciri/corak lingkungan
tercakup serta bagaimana hubungan fungsional dan yang kedua menjalin hubungan yang

sama

dalam

wilayah

yang

berbeda


menurut

sejarah, Vayda

dan

Rapport.

berargumentasi, pendekatan ini tidak lagi dibutuhkan, artinya ciri atau corak lingkungan
disebabkan oleh corak budaya.
Kelemahan kedua dari ekologi kultur Steward adalah dalam inti budaya hanya
memasukkan teknologi. Beberapa pembahasan yang dapat kita lihat menunjukkan
bahwa ritual dan ideologi juga berinteraksi dengan lingkungan. Rappaport dan Vayda
juga memberikan masukan terhadap penjelasan Steward mengenai seleksi ciri/corak
lingkungan, yang menurutnya tidak mencakup atau memasukkan kajian organisme lain
maupun kelompok manusia dalam pembahasannya. Akhirnya, pendekatan Steward tidak
memasukkan pembahasan mengenai interaksi antara budaya dan biologi, tidak genetik
juga tidak bentuk fisik.
Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan

yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat, tidak dapat dipungkiri
telah membawa kita pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan
ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi,
pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan
ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan
sebagian dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang
lebar antara si kaya dan si miskin, antara kecanggihan dan keterbelakangan.
Kebudayaan dan kearifan lokal sangat erat hubungannya dengan masyarakat,
maknanya bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan dapat dipandang
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagai superorganic.

Selain itu, kebudayaan dapat diartikan pula sebagai suatu sistem pengetahuan
yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan

bermasyarakat (Soemarwoto Otto, 1986).
Kearifan lokal sering diidentikkan dengan local wisdom, atau yang lebih
tepat local knowledge. Kearifan lokal idealnya lebih pas disebut penemuan/temuan
tradisi(invention of tradition). Hal ini dapat diuraikan bahwa invented tradition sebagai
seperangkat aksi atau tindakan yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang dapat
diterima secara jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang
ingin menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan,
yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu.
Dalam hal ini yang dipentingkan adalah bagaimana kearifan lokal dapat memberikan
kebermanfaatan yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal seluas-luasnya yang menjadi
pendukung kebudayaan setempat.

III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
KEARIFAN

MASYARAKAT

DAYAK

MERATUS


SEBAGAI MODEL

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM LESTARI
3.1. Pegunungan Meratus
Pegunungan Meratus merupakan kawasan hutan alami yang letaknya
membentang dari arah Tenggara sampai Utara berbatasan dengan provinsi Kalimantan
Timu dan diperkirakan luasnya lebih dari sejuta hektar. Seperti umumnya kawasan
pegunungan, kawasan ini termasuk ekosistem yang ringkih (fragile ecosystem) dan juga
merupakan ecological

sensitive

area,

yang

menuntut

ekstra

hati-hati

dalam

pembangunan kawasan (PKPA III, 2006).
Lanskap Pegunungan Meratus berupa daerah berbukit-bukit yang sangat
beragam dari sedang-terjal-sangat terjal dan beragam pula formasi ekosistem yang
membentuknya. Sebagian besar kawasannya masih ditutupi oleh hutan alami mulai dari
dataran rendah sampai dataran tinggi yang didominasi oleh formasi hutan
campuran dipterocarpaceae perbukitan bawah-atas dan hutan hujan pegunungan. Secara
administratif, kawasan ini berada pada 10 dari 13 provinsi di Kalimantan Selatan yaitu
Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai
Selatan, Tapin, Banjar, Tanah Laut, Tanah Laut, dan Pulau Laut. Sebagian kecil wilayah
yang lain masuk dalam wilayah Kalimantan Timur.
Pegunungan

Meratus merupakan

bentangan

pegunungan

yang

memiliki

beberapa puncak gunungyakni Gunung Besar/Halau-halau Laki (1.892 m), Gunung
Kilai (1.640 m), Gunung Batu Berangkup (1.154 m), Gunung Sangsarahim (1.153
m), Gunung Besar Bini (1.760 m), Gunung Panginangan (1.450 m) serta gununggunung lainnya yang berjumlah sekitar 28 gunung.Pegunungan ini mewarisi nilai

keragaman hayati yang sangat tinggi dan penting secara lokal, regional, maupun
internasional.
3.2. Kepemilikan dan Pengelolaan Tanah
Hutan merupakan bagian dari lingkaran kehidupan masyarakat Dayak Meratus,
seperti juga tanah, air, ladang, palawija, dan makhluk hidup di sekitarnya.
Memnbicarakan hutan dan sumberdaya lain dalam konteks masyarakat dayak tidak bisa
dipisahkan dari pembicaraan tentang ”tanah”. Dalam masyarakat dayak meratus, tanah
adalah asal muasal manusia, sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan
merupakan harta kekayaan yang tidak bisa diperlakukan secara sembarangan. Hubungan
ini menciptakan tatacara tertentu untuk mencapai keseimbangan hidup untuk mencapai
keseimbangan hidup dalam interaksi manusiadengan alamnya, yang oleh masyarakat
dayak Meratus disebut sebagai ”Aruh”(PKPA III, 2006).
Memiliki tanah yang luas merupakan anugerah bagi Masyarakat Meratus.
Mereka mengandalkan sumberdaya alam setempat dan mengambil secukupnya yang
mereka butuhkan. Karena itu setiap umbunmemiliki jatah tanah masing-masing
enam payah (lebih kurang tiga hektar) tanah dan jika perlu dan mampu boleh mengelola
lebih dari itu. Sistem kepemilikan tanah masyarakat Dayak Meratus didasarkan pada
kesepakatan dan kepercayaan dalam aturan adat tanpa menggunakan bukti tertulis. Jadi
meskipun tanah tersebut secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat Dayak Meratus,
tidak

satu

pun

dari

mereka

memiliki

surat

kepemilikan

tanah.

Batas-

batastambit (kepemilikan tanah) yang digunakan adalah penanaman tanaman keras
seperti karet atau kayu manis, rumpun bambu, atau kayu lurus, batang pinang, dan
sungai. Penentuan batas ini merupakan kesepakatan antar pemilik-pemilik lahan yang
berbatasan langsung sehingga tidak timbul masalah di kemudian hari.

IV. KESIMPULAN
1. Paradigra lama dalam mengatasi masalah sumber daya alam dan lingkungan yang hanya
mengandalkan mekanisme pasar dan intervensi pemerintah untuk mengatasi
ketidaksempurnaan pasar sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena keterbatasan
pemerintah dalam kemampuan personal dan penguasaan informasi. Sehingga, penguatan
stakeholders yg merasakan dampak kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam perlu
dilakukan. Termasuk menggali nilai-nilai setempat yang sering disebut kearifan lokal
(local wisdom) untuk dijadikan pendukung pengelolaan lingkungan hidup yang lestari.
2. Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang paling
bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut
keberlanjutan kehidupan mereka. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana
memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka.
Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan. Masyarakat adat memiliki
kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan ekosistem
hutannya.
3. Masyarakat Dayak Meratus merupakan satu model kearifan lokal yang dapat mendukung
pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan merupakan satu dari banyak kearifan
masyarakat dayak dan masyarakat Indonesia lainnya dalam mengelola lingkungannya.
Terdapat lima prinsip dasar yang bisa dicermati dalam budaya Dayak Pegunungan
Meratus yaitu keberlanjutan, kebersamaan, keanekaragaman hayati, subsisten, dan
kepatuhan kepada hukum adat. Bila kelima prinsip ini dilaksanakan secara konsisten
maka akan menghasilkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan,
yang mencakup secara ekonomis bermanfaat, secara ekologis tidak merusak, dan secara
budaya menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar Wahyudi K, 2008. Perspektif Globalisasi, Ekonomi dan Kearifan Lokal di Kabupaten
Kotawaringin Timur.Makalah pada Dialog Interaktif Hari Jadi Kabupaten Kotawaringin
Timur di Sampit.
Nurjaya I Nyoman, 2008. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Makalah
dalam Temu Kerja Dosen Sosiologi Hukum, Antropolog Hukum, dan HukumAdat
Fakultas Hukum Se-Jawa Timur, Kerjasama Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya dengan HuMa Jakarta,tanggal 22 – 23 Pebruari 2006 di Program
Pascasarjana Universitas Brawijaya.
Pusat Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III, 2006.Pola Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan LingkunganBerbasis Pengetahuan dan Kearifan Lokal (Local Wisdom) di
Kalimantan. Lembaga Administrasi Negara, Samarinda.
Soemarwoto Otto, 1986. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjahmada University
Press, Yogyakarta.