SEBAGAI UPAYA YANG LUAR BIASA DI BIDANG

MAKALAH
PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN
SEBAGAI UPAYA YANG LUAR BIASA DI BIDANG PEMBUKTIAN
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun Untuk Memenuhi
Tugas 6 Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi

Oleh :
Nanang Victor Hambali
NIM 030571362
Ilmu Hukum

UNIVERSITAS TERBUKA
JAKARTA
2018
1|Page

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Sistem pembuktian apabila dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya
dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocessrecht) pada khususnya, aspek
“pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang
sehingga dijatuhkan pidana oleh Hakim.1 Pendekatan represif dalam pemberantasan korupsi
masih mengalami kesulitan yang terletak pada hal membuktikan tindak pidana korupsi di
sidang pengadilan. Hukum pembuktian konvensional dalam KUHAP yang berlandaskan asas
presumption of innocence sudah tidak mempermudah pembuktian tindak pidana korupsi di
sidang pengadilan.
Oleh karena itu, upaya yang luar biasa di bidang pembuktian perlu dilakukan penyimpangan
dari hukum pembuktian umum dengan cara memasukkan ketentuan-ketentuan baru
sebagai pengecualian kedalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(selanjutnya disebut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) (LNRI 2001-134, TLNRI 4150).
Bentuk hukum penyimpangan pembuktian itu salah satunya ialah menerapkan sistem beban
pembuktian terbalik (omkering van het bewijslast/reversal burden of proof) yang bertitik
tolak pada asumsi bahwa setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi,
dianggap bahwa orang tersebut sudah bersalah melakukan tindak pidana korupsi
(presumption of guilt). Dengan demikian, dalam proses sidang pengadilan terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak bersalah seperti pada sistem pembuktian

biasa menjadi tidak berlaku. Sekaligus terdakwa mempunyai kewajiban untuk membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
1 Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, Cetakan I,
Alumni, Bandung.

2|Page

Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu “seriousness crime” yang sulit
pembuktiannya, maka sebagian besar kalangan (akademisi dan praktisi) berpendapat bahwa
penanganannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula. Oleh karena
itu, tindak pidana korupsi selain dianggap sebagai “seriousness crime” juga memerlukan
penanganan yang sangat luar biasa (extra ordinary enforcement or measures), yaitu dalam
hal ini melalui pergeseran komprehensif terhadap sistem pembuktian yang ada. Apabila
sistem pembuktian dalam hukum pidana (formil) ini tetap menempatkan perangkat Jaksa
Penuntut Umum sebagai pihak yang wajib membuktikan suatu perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian
ini diletakkan pada Terdakwa, artinya terdapat suatu “reversal burden of proof” atau
“omkering van bewijslast”, yaitu pembalikan beban pembuktian.2
Terdakwa wajib membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan tidaklah sebagai perbuatan

melawan hukum (korupsi). Dengan meletakkan beban pembuktian kepada Terdakwa, maka
asas yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi inipun beralih dari “presumption of
innocence” (praduga tidak bersalah) menjadi “presumption of corruption” (praduga korupsi)
atau “presumption of guilt” (praduga bersalah). Karena itu sering dikatakan bahwa
penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian merupakan potensi terjadinya
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang prinsipiil sekali. Bayangkan saja, seseorang yang
didakwa melakukan tindak pidana korupsi justru harus membuktikan bahwa dirinya tidak
melakukan perbuatan koruptif dengan mengajukan argumentasi yang layak dapat diterima
oleh Penuntut Umum selaku wakil masyarakat atau pemerintah.
Oleh karena itu diperlukan tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum
melalui integrated criminal justice system, artinya diantara lembaga penegak hukum harus
memiliki suatu balanced and equal of power, suatu kewenangan yang berimbang dan sama
diantara para penegak hukum. Balanced and equal of power adalah kebangkitan penegak
hukum (Polri, Kejaksaan dan KPK) sebagai gerbang terdepan (voorportaal) membuka tabir
korupsi kelembagaan dalam konteks due process of law yang prospektif. Dengan demikian,
berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa fakta-fakta hukum dari setiap persidangan dapat
2 Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media, Jakarta

3|Page


dipergunakan oleh hakim untuk mempertimbangkan penerapan sistem pembuktian terbalik
dalam proses persidangan tindak pidana korupsi.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis akan menguraikan rumusan masalah
yang akan dibahas adalah :
a.

Bagaimanakah sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku pada
umumnya?

b. Bagaimanakah sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku pada tindak
pidana korupsi?
c.

Bagaimanakah sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi?

3. Tujuan
Selain untuk memenuhi Tugas 6 dalam Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi FHISIP UT, tujuan
penulisan makalah ini adalah :

a. Untuk mengetahui sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku pada
umumnya.
b. Untuk mengetahui sistem pembuktian dan beban pembuktian yang berlaku pada
tindak pidana korupsi.
c. Untuk mengetahui sistem pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi.

4|Page

BAB II
PEMBAHASAN

1.

Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian terdiri dari dua kata, yaitu kata “sistem” dan “pembuktian”. Secara
etimologis, kata “sistem” merupakan hasil adopsi dari kata asing “system” (Bahasa Inggris)
atau “systemata” (Bahasa Yunani) dengan arti “suatu kesatuan yang tersusun secara
terpadu antara bagian-bagian kelengkapannya dengan memiliki tujuan secara pasti” atau
“seperangkat komponen yang bekerja sama guna mencapai suatu tujuan tertentu”.3
Mengenai arti pembuktian dalam hukum acara pidana terdapat beberapa sarjana hukum

mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Andi Hamzah mendefinisakan pembuktian
sebagai upaya mendapatkan keterangan-keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti
guna memperoleh suatu keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan
serta dapat mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. 4 Lain lagi dengan M.
Yahya Harahap, S.H., dia beranggapan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalaha
ketentuan

yang

membatasi

sidang

pengadilan

dalam

usahanya

mencari


dan

mempertahankan kebenaran.5
Penulis menyimpulkan arti sistem pembuktian dalam konteks hukum acara pidana adalah
suatu kesatuan yang tersusun secara terpada antara bagian-bagian kelengkapannya untuk
mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui
ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa. Maksud kebenaran dalam hukum pidana
berbeda dengan kebenaran dalam konteks hukum perdata. Jika pada hukum perdata
pembuktian dimaksudkan untuk mencari kebenaran formiil maka pada hukum pidana
kebenaran yang dicari adalah kebenaran materiil. Hukum pidana yang berpotensi untuk
“merampas” hak asasi seseorang mengharuskan ditemukannya kebenaran tersebut.

3 Diambil dari http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html
4 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984, hal 77.
5 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993, hal 22.

5|Page

Untuk mengetahui bagian-bagian yang menyusun sistem pembuktian maka haruslah

menganalisis hukum acara pidana. Didalam hukum acara pidana terdapat pihak-pihak yang
terlibat dalam rangka membuktikan kebenaran terhadap perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa. Sebagai contoh kita lihat didalam Undang-Undang No.08 tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana. Didalam Pasal 1 Undang-Undang No.08 tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian terdapat elemenelemen yang menjadi bagian dalam usaha pencarian kebenaran materiil, yaitu : Penyidik,
Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Majelis Hakim, Terdakwa, dan Alat Bukti.
Elemen-elemen inilah yang menjadi bagian-bagian dalam sistem pembuktian. Artinya
elemen-elemen inilah yang membentuk suatu kesatuan yang tersusun secara terpadu untuk
mencari kebenaran terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui
ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.

2. Teori Beban Pembuktian
Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang
beban pembuktian, yaitu:
a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum
Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang-undang
kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai
dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya.
Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus
mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian

akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis beban
pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak bersalah dan
aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri. Teori beban pembuktian ini dikenal di
Indonesia, bahwa ketentuan pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa,
“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian
seperti ini dapat dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”.
6|Page

b. Beban Pembuktian pada Terdakwa
Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana.
Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala
beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian terbalik (Shifting Burden
of Proof) ini dinamakan teori ”Pembalikan Beban Pembuktian” (Omkering van het
Bewijslast atau Reversal Burden of Proof/ Onus of Proof”).
Pada hakikatnya makna dari Reversal Burden of Proof dan Shifting Burden of Proof
berbeda. Jika Shifting Burden of Proof diartikan sebagai “Pergeseran Beban Pembuktian” 6
maka Reversal Burden of Proof diartikan sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian”.
Perbedaan dari kedua pengertian tersebut, jika pada shifting burden of proof pada
umumnya diterapkan sebagai pembalikan beban pembuktian yang terbatas atau tidak

murni, sedangkan pada reversal burden of proof menggunakan pembalikan beban
pembuktian yang murni atau mutlak menurut istilah Indriyanto Seno Adji “Pembalikan
Beban Pembuktian yang Total atau Absolut”.7
Dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan
lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat
terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian
tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu
tindakan luar biasa terhadap tindak pidana korupsi.
c. Beban Pembuktian Berimbang
Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau Penasihat
Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut Umum akan
membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasehat
hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan

6Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan,
Jakarta,2006.
7 Ibid.

7|Page


meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Asas beban
pembuktian ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”.
Dalam tindak pidana korupsi menggunakan beban pembuktian terbalik terbatas seperti
yang terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 yang isinya “Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”.
Maksud terbatas yaitu terdakwa memiliki hak untuk membuktikan di depan pengadilan,
namun Penuntut Umum harus membuktikan kenapa mengajukan dakwaan tersebut ke
pengadilan.
3. Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pada tahun 1971 telah dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 diundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas
yang terdapat dalam Pasal 37 yang memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang
terbatas terhadap harta benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil korupsi. UU
No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori
pembuktian negative, kemudian di UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dan Berimbang. Yang
mengatur pembuktian terbalik secara lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A,
dan 38 B.
Pada hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata kurang efektif
dalam menanggulangi korupsi. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat lebih
memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-pelakunya. Asas
Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar
kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum
Pidana (Formal), baik sistem Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian
dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam
“certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang
diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of
8|Page

Burden Proof” (Omkering van Bewijslast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi
memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap
perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa.
Penjelasan umum dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian
“pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni : “terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya”.
Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37 dikatakan, bahwa apabila
terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana
korupsi” hal itu tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab
Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa ataupun sumber
penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda,
sebagai output. Antara income sebagai input yang tidak seimbang dengan output atau
dengan kata lain input lebih kecil dari output. Dengan demikian diasumsikan bahwa
perolehan barang-barang sebagai output tersebut (misalnya rumah-rumah, mobil-mobil,
saham-saham, simpanan dolar dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan
dari tidak pidana korupsi yang didakwakan.
Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tidak semata-mata pembuktian di tangan
terdakwa. Pembuktian pada tindak pidana korupsi menganut pembalikan beban pembuktian
terbatas, sehingga kewajiban pembuktian tetap ada pada tangan penuntut umum meskipun
terdakwa memiliki hak untuk membuktikan kalau dia tidak bersalah. Sidang dengan sistem in
absencia itu berlaku untuk agenda siding yang memang tidak diperlukan terdakwa. Hal
tersebut diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999.

9|Page

Martiman Prodjohamidjojo8 menjelaskan, dalam pembuktian tindak pidana korupsi dianut
dua teori pembuktian, yakni :
1) Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa.
Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta berwujud
dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999, sebagai berikut:
a) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi.
b) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan
baginya.
c) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga
mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
d) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilan atau sumber panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
e) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4),
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya.
2) Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum.
Teori negatif menurut undang-undang tersirat dalam pasal 183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

8 Martiman Prodjohamidjojo Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31, Tahun 1999),
Mandar Maju, Bandung, 2001.

10 | P a g e

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah sistem
dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan
pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta
benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut
belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari
tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana atau ahli
warisnya. 9

9 Ibid

11 | P a g e

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan makalah di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Sistem pembuktian dalam konteks hukum acara pidana adalah suatu kesatuan yang
tersusun secara terpada antara bagian-bagian kelengkapannya untuk mencari kebenaran
terhadap perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat mengetahui ada tidaknya
kesalahan pada diri terdakwa.
2. Dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian yaitu : Beban Pembuktian pada
Penuntut Umum, Beban Pembuktian pada Terdakwa, dan Beban Pembuktian Berimbang.
3. Pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi tidak semata-mata pembuktian di
tangan terdakwa. Pembuktian pada tindak pidana korupsi menganut pembalikan beban
pembuktian terbatas, sehingga kewajiban pembuktian tetap ada pada tangan penuntut
umum meskipun terdakwa memiliki hak untuk membuktikan kalau dia tidak bersalah.
4. Dalam pembuktian tindak pidana korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni Teori
bebas, yang diturut oleh terdakwa dan Teori negatif menurut undang-undang, yang
diturut oleh penuntut umum

DAFTAR PUSTAKA
BMP Tindak Pidana Korupsi
Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya,
Cetakan I, Alumni, Bandung.
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia: Jakarta 1984.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini: Jakarta 1993.
Martiman Prodjohamidjojo Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31, Tahun
1999), Mandar Maju, Bandung, 2001
Website : http://www.karyatulisilmiah.com/pengertian-sistem.html diakses tanggal 8 April 2018.

12 | P a g e