PENGARUH EKSPRESI EMOSI KELUARGA TERHADAP FREKUENSI KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Irene Yunita Prihandini G0009110

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

commit to user

Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta

Irene Yunita Prihandini, NIM : G0009110, Tahun : 2012 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Kamis Tanggal 6 September 2012

Pembimbing Utama

Nama : Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K) ……………………….. NIP

Pembimbing Pendamping

Nama : Ruben Dharmawan, dr., Ir., Sp.Park., Ph.D……………………….. NIP

Penguji Utama

Nama :

I. G. B. Indro N, dr., Sp.KJ

……………………….. NIP

Penguji Pendamping

Nama :

Sri Haryati, Dra., M.Kes

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

NIP: 19660702 199802 2 001 NIP: 19510601 197903 1 002

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 6 September 2012

Irene Yunita Prihandini NIM. G0009110

Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

Latar Belakang: Skizofrenia adalah suatu penyakit yang berat, dengan gangguan dasar kepribadian, distorsi proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, dan afek yang tidak sesuai dengan situasi sebenarnya. Pada pasien skizofrenia, terdapat degradasi taraf fungsi sebelumnya dalam bidang pekerjaan, hubungan sosial, dan kemampuan merawat diri sendiri. Dengan demikian, pasien skizofrenia memerlukan caregiver yang dapat merawatnya, terutama pada saat penyakitnya kambuh.

Metode: Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan case control study yang dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2012 di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Pengambilan sampel dilaksanakan secara purposive sampling dengan criteria inklusi yang dibagi menjadi 2, kriteria inklusi caregiver adalah (1) Anggota keluarga dari pasien skizofrenia yang mengantar atau menunggui pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta (2) Tinggal satu rumah dengan pasien (3) Pasien berusia 20-60 tahun (4) Bersedia menjadi responden dalam penelitian dan telah menyetujui lembar informed consent, sedangkan untuk kriteria inklusi pasien skizofrenia adalah (1) Pasien kambuh (2) Pasien Tidak kambuh. Sampel mengisi (1) lembar formulir identitas & informed consent (2) kuesioner ekspresi emosi. Diperoleh 60 sampel dan dianalisis menggunakan uji pearson dan paired sampel t-test melalui program SPSS 17.0 for windows.

Hasil: Berdasarkan pada hasil penelitian diketahui bahwa taraf signifikansi sebesar 0,004 maka (dimana 0,004 < 0,01/0,05) sehingga keputusannya adalah menerima hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Ekspresi Emosi (EE) dengan Frekuensi kekambuhan gangguan Skizofrenia pasien Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Perbedaan rata-rata kelompok ekspresi emosi tinggi dan kelompok ekspresi emosi rendah, t hitung (3.826 > t tabel 1,76) sehingga H0 di tolak. Jadi ada perbedaan kekambuhan yang signifikan antara kelompok ekspresi emosi tinggi dan kelompok ekspresi emosi rendah. Sedangkan r hitung dalam hasil penelitian ini sebesar 0,508, maka hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara Ekspresi Emosi (EE) dengan Frekuensi Kekambuhan gangguan Skizofrenia pasien Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta diterima. Dengan demikian hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang positif yang signifikan antara Ekspresi Emosi (EE) keluarga dengan frekuensi kekambuhan ditolak. Arah hubungan kedua variabel itu positif, yaitu jika Ekspresi Emosi (EE) keluarga penderita gangguan Skizofrenia tinggi maka frekuensi kekambuhan akan tinggi, dan sebaliknya jika Ekspresi Emosi (EE) keluarga rendah maka frekuensi kekambuhan akan rendah.

Simpulan: Semakin tinggi Ekspresi Emosi (EE) keluarga maka frekuensi kekambuhan semakin tinggi dan sebaliknya jika Ekspresi Emosi (EE) keluarga rendah maka frekuensi kekambuhan akan rendah.

Kata Kunci : Ekspresi Emosi, Frekuensi Kekambuhan

ABSTRACT

Irene Yunita Prihandini, G0009110, 2012. The Influence of the Family Emotional Expression Towards the Frequency of Recurrence of Schizophrenia Patients in Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta .

Background: Schizophrenia is a severe disease, with basic personality disorder, distortion the proccess of thought, sometimes have the feeling that he/she was being controlled by external powers, peculiar delusions, disturbing perception, and an affect which does not correspond to the actual situation. In Schizophrenia patients, there are degradation in the field of employment, socialization, and self-care function. Thus, the patient requires caregiver who could take care of him/her, especially when the disease is relapse.

Methods: This research is analitical observational by its character with the case control study approach that held between June up to July 2012 in Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. It used purposive sampling by divide it into two inclusion criterisa, the caregiver inclusion criteria were (1) Schizophrenia patient's family that accompany the patient in the Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta (2) Schizophrenia patient's family that live in the same house with the patient (3) Patient that currently 20-60 years old (4) Voluntarily become respondent in this research and have agreed the informed consent sheet, whereas the inclusion criteria for the schizophrenia patients was (1) relapse patient (2) no reccurrence patient. The sample fulfill (1) identity & informed consent sheet (2) emotion expression quesioner. There are 60 sample and analyzed by pearson test and paired sampel t-test with SPSS 17.0 program for windows.

Results: According to the result, we have known that the significance level is 0.004 so (which is 0.004<0.01/0.05) the decision is to accept the hypothesis which was stated that there is a significant connection between the emotion expression with the frequency of recurrence Schizophrenia patients in Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. The average difference between the groups of high emotional expression and low emotional expression, t arithmetic (3.826 > t table 1.76) so that H0 could be rejected. Therefore, there is also significant difference in recurrence between the groups of high emotional expression and the low emotional expression. While r calculation in this research is 0.058, so the alternative hypothesis (Ha) which was stated that there is significant positive connection between the Emotional Expression (EE) with the frequency of reccurrence Schizophrenia Patients in Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta is accepted. Thus, naught hypothesis (Ho) which was stated that there isn't significant positive between the family emotional expression (EE) and the frequency of recurrence is rejected. The direction of both variables is positive, that is if Schizophrenia patient's family emotional expression is high then the frequency of recurrence must be high too, vice versa.

Conclusions: The higher family emotional expression (EE) then the frequency of recurrence is must be higher too, vice versa.

Key words: Emotional Expression, Frequency of Recurrence Key words: Emotional Expression, Frequency of Recurrence

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan. dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan FK UNS Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi FK UNS Surakarta.

3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K), selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi bagi penulis.

4. Ruben Dharmawan, dr., Ir., Sp.Park., Ph.D, selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi bagi penulis.

5. I. G. B. Indro N, dr., Sp.KJ, selaku Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

6. Sri Haryati, Dra., M.Kes, selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

7. Seluruh dosen dan staf SMF Psikiatri RSUD Dr. Moewardi dan Bagian Skripsi FK UNS Surakarta yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

8. Seluruh staf RSJD Surakarta yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.

9. Kedua orang tuaku tercinta (Dionisius Supriyanto, Theresia Tri Wahyuni) yang telah memberikan doa dan dukungan, baik material maupun spiritual.

10. Pendamping hidupku (Stanislaus Radityo Adi Putranto) yang telah menemani jalannya penelitian dan selalu memotivasi sampai dalam pengerjaan skripsi ini.

11. Sahabat-sahabatku (Tita, Tika, Shita, Yeni) yang telah memberikan dukungan dalam mengerjakan skripsi ini.

12. Ensan Galuh Pertiwi sebagai rekan skripsiku yang telah berjuang bersama penulis dalam penelitian ini dengan penuh kesabaran.

13. Teman-teman keluarga besar Asisten Mikrobiologi FK UNS, dan Pendidikan Dokter 2009 atas inspirasi dan kebersamaannya selama ini.

14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Surakarta, September 2012

Irene Yunita Prihandini

Tabel 2.1

Matriks Instrument Family Questionnaire (FQ)

Tabel 2.2

Instrument Family Questionnaire (FQ)

Tabel 4.1

Distribusi Umur Anggota Keluarga Pasien Skizofrenia

Tabel 4.2

Distribusi Jenis Kelamin Anggota Keluarga Pasien Skizofrenia

Tabel 4.3

Distribusi Pendidikan Terakhir Anggota Keluarga Pasien Skizofrenia

Tabel 4.4

Distribusi Pekerjaan Anggota Keluarga Pasien Skizofrenia

Tabel 4.5

Distribusi Hubungan Anggota Keluarga dengan Pasien Skizofrenia

Tabel 4.6

Distribusi Umur Pasien Skizofrenia

Tabel 4.7

Distribusi Jenis Kelamin Pasien Skizofrenia

Tabel 4.8

Distribusi Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia

Tabel 4.9

Hasil skor Ekspresi Emosi (EE) Keluarga dan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.10

Hasil Skor Ekspresi Emosi (EE) Keluarga Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tabel 4.11

Hasil Skor Ekspresi Emosi (EE) Keluarga Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Tabel 4.12

Hasil Skor Ekspresi Emosi (EE) Keluarga Berdasarkan Hubungan dengan Pasien Skizofrenia

Tabel 4.13

Hasil Analisis Uji Pearson

Tabel 4.14

Hasil Analisis Paired Samples Statistics

Tabel 4.15

Hasil Analisis Paired Samples Correlations

Tabel 4.16

Hasil Analisis Paired Samples Test

Gambar 2.1 Teori Diathesis-Stress Model

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta

Lampiran 2. Family Questionare (FQ)

Lampiran 3. Hasil Analisis Uji Pearson

Lampiran 4. Hasil Analisis Paired sampel t-test

Lampiran 5. Daftar Hasil Skor Ekspresi Emosi 25% Teratas dan 25% Terbawah Lampiran 6. Daftar Distribusi Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia adalah suatu penyakit yang berat, dengan gangguan dasar kepribadian, distorsi proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, dan afek yang tidak sesuai dengan situasi sebenarnya. Pada pasien skizofrenia, terdapat degradasi taraf fungsi sebelumnya dalam bidang pekerjaan, hubungan sosial, dan kemampuan merawat diri. Dengan demikian, pasien skizofrenia memerlukan caregiver yang dapat merawatnya, terutama pada saat penyakitnya kambuh (Kaplan dan Sadock, 2010).

Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 memperkirakan bahwa 1 % populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama oleh WHO juga mengatakan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat pasien skizofrenia lebih dari dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah (Tomb, 2004).

Skizofrenia dapat ditemukan hampir di seluruh dunia. Prevalensi skizofrenia pada populasi umum adalah berkisar 1-1,3% dan dapt ditemukan pada semua lapisan sosial, pendidikan, ekonomi, dan ras. Usia awitan gangguan ini tergolong dini, yaitu pada dewasa muda atau usia produktif (dibawah 45 tahun) (Chandra, 2005). Demikian juga dengan Irmansyah (2006), bahwa penderita yang dirawat di Bagian Psikiatri di Indonesia hampir 70% karena skizofrenia.

mencapai 72,9 % dari jumlah seluruh pasien yang ada. Pasien skizofrenia tersebut terdiri dari 434 skizofrenia paranoid, 51 skizofrenia hebefrenik, 40 skizofrenia katatonik, 850 skizofrenia tak terinci, 6 depresi paska skizofrenia, 260 skizofrenia residual, 3 skizofrenia simplek dan 171 skizofrenia lainnya (Rekam medik, 2009).

Penyakit skizofrenia seringkali kronis dan kambuh, sehingga pasien memerlukan terapi/perawatan lama. Di samping itu semua etiologi, patofisiologi dan perjalanan penyakitnya amat bervariasi/heterogen bagi setiap pasien, sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan seperti ini akan menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga sering kali mengalami tekanan mental karena gejala yang ditampilkan oleh pasien dan juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut. Kondisi inilah yang akan melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan berdampak negatif pada pasien. Biasanya keluarga menjadi emosional, kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan oleh pasien (Irmansyah, 2006).

Kekacauan dan dinamika keluarga ini memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan. Pasien yang dipulangkan ke rumah lebih cenderung kambuh pada tahun berikutnya dibandingkan dengan penderita yang ditempatkan pada lingkungan residensial. Pasien yang paling berisiko untuk kambuh adalah pasien yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh permusuhan, keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu protektif terhadap pasien (Tomb, 2004).

sebelum berhubungan dengan orang lain. Selain itu, keluarga berfungsi untuk menjaga kesehatan anggota keluarga baik sehat raga maupun jiwa, sehingga, keluarga menjadi unsur penting dalam perawatan/pemulihan pasien skizofrenia (Nurdiana, 2007).

Dari uraian di atas dapat diyakini bahwa keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar adaptasi pasien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas peran serta keluarga yang memadai akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien sehingga status kesehatan pasien meningkat.

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah pengaruh ekspresi emosi keluarga terhadap frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ekspresi emosi keluarga terhadap frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh ekspresi emosi keluarga terhadap frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia.

2. Manfaat Praktis Memberikan sumbangan pemikiran kepada keluarga pasien skizofrenia khususnya dalam merawat pasien skizofrenia sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Skizofrenia a. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu schizein yang berarti terpisah/pecah dan phren yang berarti jiwa. Penderita skizofrenia mengalami perpecahan atau ketidakserasian antara afek, kognitif, dan perilaku sehingga tidak dapat membedakan alam nyata dan alam khayal (Hawari, 2006).

b. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Ada beberapa kriteria diagnostik Skizofrenia di dalam DSM IV TR (APA, 2000, h. 312) antara lain : 1) Karakteristik : Terdapat dua (atau lebih) dari kriteria di bawah ini, masing-masing ditemukan secara signifikan selama periode satu bulan (atau kurang, bila berhasil ditangani) :

a) Delusi (waham) b) Halusinasi c) Pembicaraan yang tidak terorganisasi (misalnya, topiknya sering

menyimpang atau tidak berhubungan) d) Perilaku yang tidak terorganisasi secara luas atau munculnya perilaku katatonik

yang jelas yang jelas

Catatan : Hanya diperlukan satu simptom dari kriteria A, jika delusi yang muncul bersifat kacau (bizare) atau halusinasi terdiri dari beberapa suara yang terus- menerus mengkomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling berbincang antara satu dengan yang lainnya. 2) Ketidakberfungsian sosial atau pekerjaan : Untuk kurun waktu yang signifikan sejak munculnya onset gangguan, ketidakberfungsian ini meliputi satu atau lebih fungsi utama; seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, adanya kegagalan untuk mencapai beberapa tingkatan hubungan interpersonal, prestasi akademik, atau pekerjaan yang diharapkan). 3) Durasi : Adanya tanda-tanda gangguan yang terus-menerus menetap selama sekurangnya enam bulan. Pada periode enam bulan ini, harus termasuk sekurangnya satu bulan gejala (atau kurang, bila berhasil ditangani) yang memenuhi kriteria A (yaitu fase aktif simptom) dan mungkin termasuk pula periode gejala prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual ini, tanda-tanda dari gangguan mungkin hanya dimanifestasikan oleh simptom negatif atau dua atau lebih simptom yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).

4) Di luar gangguan Skizoafektif dan gangguan Mood : Gangguan-gangguan lain dengan ciri psikotik tidak dimasukkan, karena :

a) Selama fase aktif simptom, tidak ada episode depresif mayor, manik atau episode campuran yang terjadi secara bersamaan.

b) Jika episode mood terjadi selama simptom fase aktif, maka durasi totalnya akan relatif lebih singkat bila dibandingkan dengan durasi periode aktif atau residualnya.

5) Di luar kondisi di bawah pengaruh zat atau kondisi medis umum : Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (penyalahgunaan obat, pengaruh medikasi) atau kondisi medis umum.

c. Tipe-Tipe Skizofrenia

Berdasarkan definisi dan kriteria diagnostik tersebut, Skizofrenia di dalam DSM IV TR (APA, 2000, h. 313-317) dapat dikelompokkan menjadi beberapa subtipe, yaitu :

1) Skizofrenia Paranoid Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

a) Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi dengar yang menonjol secara berulang-ulang. b) Tidak ada yang menonjol dari berbagai keadaan berikut ini: pembicaraan yang tidak terorganisasi, perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik, atau afek yang datar atau tidak sesuai.

2) Skizofrenia Simpleks Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 2) Skizofrenia Simpleks Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

b) Tidak memenuhi kriteria untuk tipe katatonik 3) Skizofrenia Katatonik Tipe Skizofrenia dengan gambaran klinis yang didominasi oleh sekurang- kurangnya dua hal berikut ini :

a) Imobilitas motorik, seperti ditunjukkan adanya katalepsi (termasuk fleksibilitas lilin) atau stupor b) Aktivitas motorik yang berlebihan (tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh

stimulus eksternal) c) Negativisme yang berlebihan (sebuah resistensi yang tampak tidak adanya

motivasi terhadap semua bentuk perintah atau mempertahankan postur yang kaku dan menentang semua usaha untuk menggerakkannya) atau mutism

d) Gerakan-gerakan sadar yang aneh, seperti yang ditunjukkan oleh posturing (mengambil postur yang tidak lazim atau aneh secara disengaja), gerakan stereotipik yang berulang-ulang, mannerism yang menonjol, atau bermuka menyeringai secara menonjol

e) Ekolalia atau ekopraksia (pembicaraan yang tidak bermakna). 4) Skizofrenia Tak Terinci Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria A, tetapi tidak memenuhi criteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi, dan katatonik.

5) Skizofrenia Residual Tipe Skizofrenia yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

a) Tidak adanya delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisasi, dan perilaku yang tidak terorganisasi atau katatonik yang menonjol

b) Terdapat terus tanda-tanda gangguan, seperti adanya simptom negatif atau dua atau lebih simtom yang terdapat dalam kriteria A, walaupun ditemukan dalam bentuk yang lemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengelaman persepsi yang tidak lazim).

d. Simptom dan Gambaran Klinis Skizofrenia

Berdasarkan DSM IV TR, ciri yang terpenting dari Skizofrenia adalah adanya campuran dari dua karakteristik (baik simptom positif maupun simptom negatif) (APA, 2000, h. 298). Davison dan Neale (2001, h. 283) menyatakan bahwa secara umum, karakteristik simptom Skizofrenia (kriteria A), dapat digolongkan dalam tiga kelompok : simptom positif, simptom negatif, dan simptom lainnya. Simptom positif adalah tanda yang biasanya pada orang kebanyakan tidak ada, namun pada pasien Skizofrenia justru muncul.

Simptom positif adalah simptom yang bersifat bizzare atau aneh, antara lain berupa delusi, halusinasi, ketidakteraturan pembicaraan, dan perubahan perilaku. Simptom positif dapat mempengaruhi seorang pasien Skizofrenia dalam berpikir, berbicara, dan menangkap stimulus dari luar. Apabila simtom positif tersebut muncul dan mengganggu kehidupan seorang penderita Skizofrenia, maka harus segera dilakukan penanganan oleh tenaga medis (Riggio, 2011).

Hawari (2006, h. 44) menyatakan bahwa waham adalah keyakinan yang keliru, namun tetap dipertahankan sekalipun dihadapkan dengan cukup bukti tentang kekeliruannya, dan tidak serasi dengan latar belakang pendidikan dan sosial budaya orang yang bersangkutan. Jenisnya, antara lain : waham persekusi, waham kebesaran, nihilistik, dikendalikan oleh orang atau kekuatan lain, waham cemburu, erotomania, dan lain-lain. Sedangkan halusinasi adalah penghayatan (seperti persepsi) yang dialami melalui panca indera, dan terjadi tanpa adanya stimulus eksternal. Jenisnya, antara lain : visual (penglihatan), auditorik (pendengaran), olfaktori (penciuman), haptik (taktil; sentuhan atau sensasi permukaan), serta halusinasi liliput.

Menurut Kendall dan Hammen (1998, h. 267-268), simtom negatif adalah menurunnya atau tidak adanya perilaku tertentu, seperti perasaan yang datar, tidak adanya perasaan yang bahagia dan gembira, menarik diri, ketiadaan pembicaraan yang berisi, mengalami gangguan sosial, serta kurangnya motivasi untuk beraktivitas. Simtom negatif bersifat defisit, yaitu perilaku yang seharusnya dimiliki oleh orang yang normal, namun tidak dimunculkan oleh pasien.

Wiramihardja (2005, h. 136-137) menyatakan bahwa yang termasuk dalam simtom ini adalah avolition atau apathy (hilangnya energi dan hilangnya minat atau ketidakmampuan untuk mempertahankan hal-hal yang awalnya merupakan aktivitas rutin), alogia (kemiskinan kuantitas dan atau isi pembicaraan), anhedonia (ketidakmampuan untuk memperoleh kesenangan, muncul antara lain dalam bentuk hilangnya minat dalam hubungan seksual), abulia (berkurangnya impuls untuk bertindak atau berpikir, tidak mampu memikirkan konsekuensi dari tindakan), dan asosialitas (gangguan yang buruk dalam hubungan sosial). Selain itu, muncul pula Wiramihardja (2005, h. 136-137) menyatakan bahwa yang termasuk dalam simtom ini adalah avolition atau apathy (hilangnya energi dan hilangnya minat atau ketidakmampuan untuk mempertahankan hal-hal yang awalnya merupakan aktivitas rutin), alogia (kemiskinan kuantitas dan atau isi pembicaraan), anhedonia (ketidakmampuan untuk memperoleh kesenangan, muncul antara lain dalam bentuk hilangnya minat dalam hubungan seksual), abulia (berkurangnya impuls untuk bertindak atau berpikir, tidak mampu memikirkan konsekuensi dari tindakan), dan asosialitas (gangguan yang buruk dalam hubungan sosial). Selain itu, muncul pula

Davison dan Neale (2001, h. 286) menyatakan bahwa kategori simtom yang ketiga adalah disorganisasi, antara lain perilaku yang aneh (misalnya katatonia, dimana pasien menampilkan perilaku tertentu berulang-ulang, menampilkan pose tubuh yang aneh, dan lain-lain; atau waxy flexibility, orang lain dapat memutar atau membentuk posisi tertentu dari anggota badan pasien, yang akan dipertahankan dalam waktu yang lama) dan disorganisasi pembicaraan. Adapun disorganisasi pembicaraan adalah masalah dalam mengorganisasikan ide dan pembicaraan, sehingga orang lain mengerti (dikenal dengan gangguan berpikir formal). Misalnya asosiasi longgar, inkoherensi, dll.

e. Teori Diathesis-Stress Model

Skizofrenia dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor yang saling berkombinasi, sehingga skizofrenia dapat menunjukkan beberapa bentuk beragam baik dari simptom maupun manifestasinya. Berdasarkan pernyataan tersebut maka teori Diathesis-Stress Model lebih tepat untuk menerangkan tentang penyebab munculnya skizofrenia. Teori Diathesis-Stress Model dipakai oleh peneliti untuk mendukung proses penelitian, karena membahas tentang faktor penyebab skizofrenia secara lengkap dan menyeluruh (Rusdi, 2003).

Teori Diathesis-Stress Model dapat diterangkan dalam dua bagian, yaitu : Diathesis Model , yang menyatakan bahwa penyebab skizofrenia adalah faktor genetik sebagai predisposisi biologis, seperti : kerusakan struktur otak, ketidakmampuan Teori Diathesis-Stress Model dapat diterangkan dalam dua bagian, yaitu : Diathesis Model , yang menyatakan bahwa penyebab skizofrenia adalah faktor genetik sebagai predisposisi biologis, seperti : kerusakan struktur otak, ketidakmampuan

Teori Diathesis-Stress Model (dalam Kaplan & Sadock, 2010) menyatakan bahwa teori ini menggabungkan antara faktor psikologis, biologis, dan lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri sesorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling berpengaruh secara dinamis.

1) Faktor Biologis Penyebab skizofrenia secara pasti belum dapat diketahui, namun dari berbagai penelitian, dalam sepuluh tahun terakhir menyatakan bahwa peran dari gangguan secara fisik-biologislah yang paling dominan. Gangguan tersebut dapat berupa : kerusakan dan gangguan di bagian otak tertentu,

Faktor biologis

Faktor psikososial

Faktor lingkungan

Munculnya gangguan

skizofrenia skizofrenia

Di dalam genetika, dinyatakan bahwa gen pembawa genetika skizofrenia dapat diwariskan pada suatu silsilah keluarga yang sifat hubungannya tertutup. Namun, faktor genetik ini akan muncul secara nyata dalam manifestasi perilaku, apabila dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Adapun pewarisan predisposisi genetik dari skizofrenia adalah sebagai berikut : prevalensi saudara kandung bukan kembar 8%, prevalensi anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%, prevalensi anak dengan kedua orang tua skizofrenia 40%.

2) Faktor Lingkungan Komponen lingkungan dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu yang bersifat biologis-fisik (seperti adanya infeksi virus yang akhirnya mengakibatkan kerusakan otak, penyalahgunaan obat atau zat, cedera di bagian otak tertentu) dan bersifat psikologis (seperti adanya situasi keluarga yang penuh dengan ketegangan, kematian orang terdekat).

3) Faktor Psikososial Metode penanganan skizofrenia sekarang ini telah diupayakan untuk dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya melakukan penanganan secara biologismedik, tetapi juga telah menggabungkan penanganan yang bersifat psikososial.

f. Perjalanan Gangguan dan Prognosis Skizofrenia

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang perjalanan berkembangnya Skizofrenia, perlu dimahami terlebih dahulu tentang keadaan masa lalu subjek. Oleh karena itu, peneliti tidak hanya akan mencari informasi tentang keadaan subjek di masa sekarang, namun juga tentang masa lalunya. Masa lalu subjek dapat tercermin dari keadaan dinamika keluarganya.

Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Arif (2006.a, h. 13) yang menyatakan bahwa ketika seseorang mendapatkan masalah di masa lalunya dan belum terselesaikan, seringkali hal itu akan menyebabkan distorsi di masa sekarang. Dengan demikian pengalaman masa lalu menjadi penghambat bagi perkembangan masa sekarang. Itulah yang dimaksud Freud tentang kondisi terfiksasi (arrested development), yaitu kondisi keterpakuan di masa lalu.

Perjalanan berkembangnya Skizofrenia sangatlah beragam pada setiap kasus. Namun, secara umum melewati tiga fase utama, yaitu : fase prodromal, fase aktif, dan fase residual (Kaplan & Sadock, 2010.a, h. 722-723).

1) Fase prodromal Fase prodromal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fungsi kehidupan, sebelum fase aktif simtom gangguan, dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau akibat gangguan penggunaan zat, serta mencakup paling sedikit dua simtom dari kriteria A pada kriteria diagnosis Skizofrenia. Awal munculnya Skizofrenia dapat terjadi setelah melewati suatu periode yang sangat panjang, yaitu ketika seorang individu mulai menarik diri secara sosial dari lingkungannya (Virit, 2009).

Individu yang mengalami fase prodromal dapat berlangsung selama beberapa minggu hingga bertahun-tahun, sebelum gejala lain yang memenuhi kriteria untuk menegakkan diagnosis Skizorenia muncul. Individu dengan fase prodromal singkat, perkembangan gejala gangguannya lebih jelas terlihat daripada individu yang mengalami fase prodromal panjang.

2) Fase Aktif Fase aktif ditandai dengan munculnya simtom-simtom Skizofrenia secara jelas. Sebagian besar penderita gangguan Skizofrenia memiliki kelainan pada kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight. Sebagai akibatnya episode psikosis dapat ditandai oleh adanya kesenjangan yang semakin besar antara individu dengan lingkungan sosialnya.

3) Fase Residual Fase residual terjadi setelah fase aktif paling sedikit terdapat dua simtom dari kriteria A pada kriteria diagnosis Skizofrenia yang bersifat menetap dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan gangguannya, beberapa pasien Skizofrenia mengalami kekambuhan hingga lebih dari lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kekambuhan. Kaplan & Sadock (2010.a, h. 709) menyatakan bahwa penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu prognosis positif apabila didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti : onset terjadi pada usia yang lebih lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya kehidupan yang relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara singkat, munculnya gejala 3) Fase Residual Fase residual terjadi setelah fase aktif paling sedikit terdapat dua simtom dari kriteria A pada kriteria diagnosis Skizofrenia yang bersifat menetap dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan gangguannya, beberapa pasien Skizofrenia mengalami kekambuhan hingga lebih dari lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kekambuhan. Kaplan & Sadock (2010.a, h. 709) menyatakan bahwa penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu prognosis positif apabila didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti : onset terjadi pada usia yang lebih lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya kehidupan yang relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, dan seksual, fase prodromal terjadi secara singkat, munculnya gejala

Sedangkan prognosis negatif, dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan seperti berikut : onset gangguan lebih awal, faktor pencetus tidak jelas, riwayat kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase prodromal terjadi cukup lama, adanya perilaku yang autistik, melakukan penarikan diri, statusnya lajang, bercerai, atau pasangannya telah meninggal, adanya riwayat keluarga yang mengidap Skizofrenia, munculnya simtom negatif, sering kambuh secara berulang, dan tidak adanya sistem pendukung yang baik (Ingkiriwang, 2010).

2. Konsep Kekambuhan a. Definisi Kekambuhan

Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali (Andri, 2008). Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stres dapat memicu pada orang-orang yang mudah terkena depresi, dimana dapat ditemukan bahwa orang- orang yang mengalami kekambuhan lebih besar kemungkinannya daripada orang- orang yang tidak mengalami kejadian-kejadian buruk dalam kehidupannya (Maramis, 2004).

b. Faktor- Faktor Kekambuhan Pasien Skizofrenia

Pasien dengan diagnosis skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50 % pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua (Sullinger, 1988) dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit (Carson & Ross, 1987). Menurut Sullinger

(1988 dalam Keliat, 1996) ada 4 faktor penyebab pasien kambuh dan perlu dirawat kembali di rumah sakit jiwa, yaitu :

1) Pasien Secara umum bahwa pasien yang minum obat secara tidak teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50% pasien skizofrenia yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara teratur (Appleton, dalam Keliat 1996). Pasien kronis, khususnya skizofrenia sukar mengikuti aturan minum obat karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan. Di rumah sakit perawat bertanggung jawab dalam pemberian atau pemantauan pemberian obat sedangkan di rumah tugas perawat digantikan oleh keluarga.

2) Dokter Minum obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping yang mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. Pemberian obat oleh dokter diharapkan sesuai dengan dosis terapeutik sehingga dapat mencegah kekambuhan.

3) Penanggung Jawab Pasien (Caregiver) Setelah pasien pulang ke rumah, maka penanggung jawab kasus mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan pasien, sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini pasien dan segera mengambil tindakan.

4) Keluarga Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu penderita juga mudah dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan).

Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar adaptasi pasien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas perilaku keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien sehingga status kesehatan pasien meningkat.

3. Ekspresi Emosi a. Pengertian Ekspresi Emosi

Ekspresi emosi berasal dari kata expressed emotion (EE) adalah persepsi dalam bentuk verbal dan non verbal, merupakan aspek penting menentukan efektivitas dalam komunikasi hubungan interpersonal. Terdiri dari beberapa sikap yaitu permusuhan, kritik yang berlebihan, dukungan yang tidak tepat. Sikap yang negatif merefleksikan EE yang tinggi dan dapat menjadi stressor yang meningkatkan kerentanan individu terhadap gangguan psikologis maupun kekambuhan (Wick-Nelson, 2006).

Ekspresi emosi sebagai indeks keseluruhan emosi, sikap, dan perilaku, yang diekspresikan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan Hasanat (2006).

b. Aspek-Aspek Ekspresi Emosi

Ekspresi emosi dalam keluarga diklasifikasikan terutama berdasarkan dua faktor yaitu ‘kritik’ (critical comment/CC) dan ‘keterlibatan emosi yang berlebihan’ (emotional over involment/EOI). Faktor ketiga yaitu ‘hostilitas’ (hostility), biasanya diasosiasikan dengan tingginya tingkat critical comment. Dua faktor ekspresi emosi lainnya, kehangatan (warmth) dan ‘komentar positif’ (positif remarks) kurang dianggap penting sebagai predikator kekambuhan pasien skizofrenia.

c. Instrumen Untuk Mengukur Ekspresi Emosi

Untuk mengukur ekspresi emosi pada keluarga pasien skizofrenia digunakan Family Questionnaire (FQ). Family Questionnaire (FQ) merupakan skala laporan diri (self report scale) untuk menilai ekspresi emosi, dikembangkan dan divalidasi oleh Georg Wiedemann, Oliver Rayki, Elias Feinstein dan Kurt Hahlweg dari Universitas Tubingan, Departemen Psikiatri dan Psikoterapi, di Jerman. Pengembangan versi awal pada Family Questionnaire (FQ) dilakukan oleh para ahli klinis yang berpengalaman, disusun berdasarkan pernyataan anggota keluarga penderita Skizofrenia, mengenai iteraksi dan cara bersosialisasi dalam keluarga. Kuesioner ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2001 dan terdiri dari 130 pertanyaan, selanjutnya pada tahun 2002 mengalami pemampatan menjadi 30 butir dan pada akhirnya versi yang terbaru terdiri dari 20 pertanyaan.

Pengembangan versi akhir FQ terdiri dari 20 butir pertanyaan, yang mencakup 2 dimensi (domain) yang berbeda dari ekspresi emosi keluarga penderita Skizofrenia, yaitu: kritik/Critical Comments (CC) dan keterlibatan emosi yang berlebihan/ Emotional Over Involvement (EOI). Butir-butir yang berkaitan dengan area sikap dan perilaku yang dicatat di dalam CFI juga disertakan (CC, misalkan pernyataan tidak suka; EOI, misalkan pengorbanan diri yang berlebihan). Untuk mencapai kesesuaian yang maksimum dengan kategori CFI, sejumlah butir yang merefleksikan criteria evaluasi (CFI) digunakan dimensi kritik (CC) dan keterlibatan emosional yang berlebihan (EOI) (Nurtantri, 2005).

Untuk meminimalkan respons yang tidak akurat dan dihasilkan dari kecenderungan kepada ‘ingin disukai secara sosial’ (social desirability), butir- butir ini diformulasikan sehingga mengkonseptualisasikan respons negatif bukan sebagai kesalahan keluarga, tetapi sebagai akibat dari stres yang berlebihan, misalnya ‘saya harus berusaha untuk tidak mengkritiknya’. Untuk menghindari jawaban-jawaban yang stereotope, terdapat empat pilihan jawaban yang memungkinkan mulai dari ‘tidak pernah/sangat jarang’ = 0; jarang = 1; sering = 2; hingga sangat sering = 3.

Hasil uji reliabilitas FQ menunjukkan bahwa skala FQ stabil/konsisten. Test- retest reliability dinilai menggunakan Pearson r Correlation, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara test dan retest. Uji Cronbach Alpha menghasilkan internal consistency seperti yang diharapkan, nilainya adalah 0,90 untuk CC dan 0,82 untuk EOI. Uji validitas FQ dibandingkan dengan Camberwell Family Interview (CFI), instrument FQ menunjukan tingkat sensitivitas dan Hasil uji reliabilitas FQ menunjukkan bahwa skala FQ stabil/konsisten. Test- retest reliability dinilai menggunakan Pearson r Correlation, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara test dan retest. Uji Cronbach Alpha menghasilkan internal consistency seperti yang diharapkan, nilainya adalah 0,90 untuk CC dan 0,82 untuk EOI. Uji validitas FQ dibandingkan dengan Camberwell Family Interview (CFI), instrument FQ menunjukan tingkat sensitivitas dan

Tabel 2.1 Matriks Instrument Family Questionnaire (FQ) Dimensi (Domain)

Butir Pernyataan

Critical Comments

(CC)

20. I’m often angry with him/her

4. He/she irritates

8. It’s hard for us to agree on things

18. I have to insist that he/she behave differently

12.he/she sometimes gets on my nerves

14. He /she does some things out of site

6. I have to try not to criticize him/her

2. I have to keep asking him/her to do things

16. When he/she constantly wants some thing from me, it annoys me

10. He /She does not appreciate what I do for him/

her

Emotional Over Invovment

(EOI)

13. I’m Very worried about him/her

5. I Keep thinking about the reasons for his her illness

1. I often think about what is to become of him/her

7. I Can’t sleep because of him/her

11. I Regard my own needs as less important

1. I tend to neglect my self because of him/her

19. I Have given up important things in order to be able to help hip/her

15. I Thought I would become ill myself

9. When something about him/her brothers me, I

keep it to my self

17. He /She is an important part of my life

Selanjutnya, dalam proses validasi FQ di Indonesia dilakukan penterjemahan dan validasi instrument FQ versi terakhir yang dikembangkan oleh Georg weidemen dari Universitas Tubingan, Departemen Psikiatri dan Psikoterapi di

Jerman ke dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan teknik back translation. Penerjemahan tersebut dikoreksi bersama-sama oleh tim peneliti yang tergabung dalam penelitian family needs, burdens and Resources as caregiver of parent Schizophrenia. Departemen Psikiatri FKUI RSCM di bawah super visi dr. Irmansyah sebagai pembimbing penelitian. FQ dalam bahasa Indonesia hasil koreksi tersebut diterjemahkan kembali ke dalam bahasa aslinya yaitu bahasa Inggris oleh Dra. Hana Rambe, lulusan sastra Inggris UI dan Ir. Budi Parwatha, MBA lulusan school of mines, Coloroda. Keduanya adalah guru bahasa Inggris. Hasil terjemahan kembali tersebut dibandingkan dengan instrument FQ yang asli dan setiap perbedaan didiskusikan bersama pembimbing untuk mendapat hasil akhir terjemahan FQ yang tepat dan benar serta meminta persetujuan dari pemilik hak cipta instrument FQ. Di bawah ini adalah proses penerjemahan FQ (Nurtantri, 2005).

Berikut akan diuraikan matriks instrumen Family Questionnaire (FQ) untuk mengukur variable Ekspresi Emosi (EE) pada Caregiver penderita Skizofrenia yang akan digunakan pada penelitian ini yang sudah diterjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia.

FQ

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

FQ hasil terjemahan

Di koreksi

Di terjemahkan kembali ke dalam Bahasa Ingggris

FQ hasil terjemahan, kembali di terjemahkan ke

dalam Bahasa Indonesia

Diskusi perbedaan

FQ versi Bahasa Indonesia yang digunakan

Tabel 2.2 Instrument Family Questionnaire (FQ)

No

Butir pertanyaan

1 Saya cenderung tidak memperdulikan diri sendiri karenanya 2 Saya harus selalu menyuruhnya untuk melakukan sesuatu 3 Saya sering berfikir bagaimana dengan nasibnya 4 Dia menjengkelkan saya 5 Saya selalu memikirkan penyebab penyakitnya 6 Saya harus berusaha untuk tidak mengkritiknya 7 Saya tidak bisa tidur karenanya 8 Sulit bagi kami untuk sependapat dalam berbagai hal 9 Ketika ada sesuatu tentangnya mengganggu saya, saya pendam sendiri 10 Dia tidak menghargai apa yang saya lakukan untuknya 11 Saya beranggapan kepentingan saya sendiri kurang penting 12 Dia terkadang membuat saya menjadi tegang 13 Saya sangat khawatir tentangnya

Di luar kebiasaannya, dia melakukan hal yang menyebalkan/membuat kesal

15 Terpikir oleh saya bahwa saya sendiri akan menjadi sakit 16

Ketika ia terus menerus meminta sesuatu dari saya, itu menjengkelkan saya

17 Dia merupakan bagian penting dari hidup saya 18 Saya harus memaksanya untuk mengubah perilakunya 19 Saya telah mengorbankan hal yang penting untuk bisa menolongnya 20 Saya sering marah terhadapnya 17 Dia merupakan bagian penting dari hidup saya 18 Saya harus memaksanya untuk mengubah perilakunya 19 Saya telah mengorbankan hal yang penting untuk bisa menolongnya 20 Saya sering marah terhadapnya

Ekspresi emosi dalam keluarga dapat berupa ekspresi negatif yang merefleksikan tingginya ekspresi emosi (high EE). Ekspresi emosi yang tinggi menunjukkan sikap yang penuh kritikan dan kebencian. Hal ini muncul apabila orangtua atau anggota keluarga lainnya menganggap bahwa gangguan dipengaruhi oleh faktor internal dan seharusnya dapat dikendalikan sendiri oleh individu penderita gangguan. Orang tua dan anggota keluarga lainnya beranggapan bahwa sikap individu dapat berubah dengan cara mengkritik, dimana kritikan seringkali tidak semata-mata mengenai gangguan yang dialami namun juga menyangkut kepribadian individu. EE tinggi seringkali menyebabkan kekambuhan karena kritik verbal agresif yang dimunculkan (Weisman, Nuechlerlein, Goldstein, & Snyder, 1998; dalam McDonagh, 2003).

Ekspresi emosi yang rendah (low EE) menunjukkan sikap yang lebih konservatif terhadap kritik. Angota keluarga merasa bahwa individu yang mengalami gangguan tidak memiliki kontrol terhadap gangguan dan simpati kepadanya. Hal ini karena keluarga memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih banyak mengenai gangguan sehingga keluarga dapat memahami dan tidak terlalu mengkritik. Hal inilah yang menjadi alasan ekspresi emosi menjadi lebih rendah. Keluarga juga terdidik dan dapat menerima gangguan yang dialami anggota keluarganya daripada keluarga yang memiliki ekspresi emosi tinggi (Weisman dkk., 1998; dalam McDonagh, 2003).

4. Teori Keluarga a. Definisi Keluarga

Berdasarkan Undang-Undang nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Penduduk dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, BAB I Pasal 1 (dalam buku Peraturan tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera, 2006) dinyatakan bahwa : Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami-istri dan anak, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

Berdasarkan dimensi hubungan sosial, keluarga dapat didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dalam tempat tinggal yang sama dan masing- masing anggota merasakan adanya pertautan batin, sehingga tercipta suasana saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri (Shochib, 2000, h. 17).

b. Interaksi Keluarga

Setiap anggota keluarga memiliki perbedaan kebiasaan dalam berperilaku, sehingga masing-masing anggota keluarga akan mengalami perbedaan dalam memaknai setiap peristiwa yang terjadi dalam keluarga tersebut (Klein, 1996, h. 88).

Keluarga sebagai sebuah kelompok kecil selalu berkembang berdasarkan pola interaksi yang terjalin di antara anggota keluarga tersebut. Keluarga dapat berkembang karena setiap anggota keluarga secara terus-menerus mempelajari norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakatnya, sehingga keadaan keluarga akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Interaksi keluarga dan anak Keluarga sebagai sebuah kelompok kecil selalu berkembang berdasarkan pola interaksi yang terjalin di antara anggota keluarga tersebut. Keluarga dapat berkembang karena setiap anggota keluarga secara terus-menerus mempelajari norma-norma yang berlaku di lingkungan masyarakatnya, sehingga keadaan keluarga akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Interaksi keluarga dan anak

Interaksi antara orang tua dan anak sering diwarnai dengan konflik apabila telah mengarah pada pola penegakan disiplin orang tua untuk mengendalikan perilaku anak, konflik dapat terjadi apa negosiasi dan kompromi antara orang tua dan anak tidak tercapai, konflik dapat terjadi apabila tidak tercapai kesepahaman dalam proses komunikasi antargenerasi. 2) Kerja sama