Analisis Interaksi Genotipe dan Lingkungan Dalam Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida (Zea mays L.)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian Di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan Agronomi

Diajukan Oleh : AWALUDIN SUBARKAH

NIM H 1106001

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Analisis Interaksi Genotipe dan Lingkungan Dalam Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida (Zea mays L.)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

AWALUDIN SUBARKAH

H 1106001

Telah dipertahankan di depan penguji

Pada tanggal : 28 Juli 2010

Dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima

SusunanTim Penguji

Ketua

Anggota I

Anggota II

Ir. Sri Hartati, MP NIP.194812021978111001

Ir. Joko Mursito, MP

Dr. Ir. Djati W. Djoar ,Ms

NIP. 195102021980031003 NIP.195705201980032002

Surakarta, 28 Juli 2010

Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro W. A., MS NIP. 195512171982031003

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi “Analisis Interaksi Genotipe dan Lingkungan Dalam Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida (Zea mays L.)”, dapat terselesaikan dengan baik.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan dan sumbangan pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro W.A., MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ir. Wartoyo SP, MP selaku Ketua Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ir. Joko Mursito, MP selaku Pembimbing Utama atas segala bimbingan dan arahannya.

4. Dr. Ir. Djati W. Djoar ,Ms selaku Pembimbing Utama atas segala bimbingan dan arahannya.

5. Ir. Sri Hartati, MP selaku Dosen Pembahas atas segala arahan, evaluasi dan masukan bagi penulis.

6. Kepala BPSB II Jawa Tengah, Ibu Siti, Bapak Sriyono, Bapak Untung, bapak Sarjono, Ibu Tinuk, bapak Sugito, bapak Sartono beserta staff BPSB Tegalgondo Klaten atas bimbingan dan arahan selama pelaksanaan di lapang.

7. Bapak, ibu, kakak, adik, dan semua keluarga serta sahabat atas doa, dukungan, bantuan dan kasih sayangnya.

8. Teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan serta motivasi demi kelancaran selama penelitian hingga penyusunan skripsi.

Akhirnya penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan wawasan dan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkannya.

Surakarta, Juli 2010 Penulis

DAFTAR TABEL

4.1 Interaksi genotipe dan lokasi terhadap tinggi tanaman (cm) .............. 22

4.2 Interaksi genotipe dan lokasi umur masak fisiologis (hst)................... 25

4.3 Interaksi genotipe dan lokasi tinggi letak tongkol (cm) ...................... 28

4.4 Interaksi genotipe dan lokasi jumlah tongkol panen per petak (kg) .... 31

4.5 Interaksi genotipe dan lokasi berat 100 biji (gram) ............................. 36

4.6 Interaksi genotipe dan lokasi kadar air panen (%) .............................. 43

4.7 Nilai KKG dan Heritabilitas pada variabel pengamatan..................... 46

DAFTAR GAMBAR

4.1 Diagram batang purata tinggi tanaman jagung (cm) .......................... 23

4.2 Diagram batang purata umur masak fisiologis (hst) ........................... 27

4.3 Diagram batang purata tinggi letak tongkol (cm) ............................... 29

4.4 Diagram batang purata jumlah tongkol panen per petak ..................... 32

4.5 Diagram batang purata berat tongkol panen per petak (kg/petak) ...... 34

4.6 Diagram batang purata berat 100 biji (gram) ...................................... 37

4.7 Diagram batang purata berat pipilan per petak (kg/petak) .................. 39

4.8 Diagram batang purata berat pipilan per hektar (ton/ha) .................... 41

4.9 Diagram batang purata kadar air panen (%) ........................................ 44

ANALISIS INTERAKSI GENOTIPE DAN LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL JAGUNG HIBRIDA(Zea mays L.)

Awaludin Subarkah

H 1106001

RINGKASAN

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan dengan teknologi yang semakin maju, diperkirakan kebutuhan jagung untuk keperluan pangan, industri dan pakan akan semakin tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi jagung ialah dengan menggunakan varietas unggul atau hibrida. Untuk mendapatkan jagung hibrida atau varietas yang unggul, perlu dilakukan pengujian terhadap daya hasil genotipe yang lingkungan berbeda, variasi genetik dan heritabilitasnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya hasil interaksi genotipe dan lingkungan diujikan, nilai variasi genetik, nilai heretabilitas jagung hibrida (Zea mays .L) yang diujikan.

Penelitian dilaksanakan di desa Pucang Miliran, kecamatan Tulung kabupaten Klaten, pada ketinggian tempat 235 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah regosol, dan desa Ngemplak, kecamatan Kartosuro, kabupaten Sukoharjo, pada ketinggian tempat 146 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah entisol, pada bulan Februari sampai Mei 2010. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial. Adapun macam perlakuannya yaitu a) perlakuan genotipe terdiri dari 11 genotipe jagung hibrida (A-7, A–8, A-9, A-10, A-11, A-12, A-13, A-14, A-15, A-16, A-17), dan 3 genotipe jagung pembanding yaitu (JAYA-1, BISI 16, dan PIONEER 12), diulang tiga kali dan b) perlakuan lingkungan terdiri dari 2 lokasi pengujian diatas. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan uji F taraf 5% dan apabila terdapat interaksi genotype dan lingkungan yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5% kemudian dihitung KKG dan heretabiltasnya.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi antara genotipe dan lingkungan yaitu pada umur masak fisiologis, jumlah tongkol panen, berat 100 biji, dan kadar air panen. Karakter beberapa genotipe jagung yang mempunyai keragaman/variasi tertinggi yaitu pada: kedudukan tongkol. Nilai heritabilitas termasuk dalam kriteria tinggi untuk variabel pengamatan, kecuali untuk berat tongkol panen dan berat pipilan per hektar yaitu dengan kriteria sedang.

Kata kunci: interaksi, heritabilitas, variasi genetik, hibrida

ANALISIS INTERAKSI GENOTIPE DAN LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL JAGUNG HIBRIDA(Zea mays L.)

Awaludin Subarkah

H 1106001

ABSTRAC

Along with the growth of population and human technological was advance, it was estimated the raised of that the needs of corn for food, industry, and poultry. One way of method to increase corn production was by using superior variety or hybrid variety. For getting hybrid corn or superior variety, was need a testing against to potential genotype with different environment, genetic variation and it`s heritability. The purpose of this research is to know potensi interaction genotype and environment was tested, the genetic variation and the heritability of some genotypes of hybrid corn (Zea mays L) was tested.

This research was conducted in the village of Pucang Miliran,Tulung district of Boyolali regency with the height of the location about 235 meter above sea level and soil type regosol and in the village of Ngemplak, Kartosuro district of Sukoharjo regency with the height of the location about 146 meter above sea level and soil type entisol on February until May 2010. This research used Randomized Complete Block Design (RCBD) Factorial. The kinds of treatments consist of a) genotype treatment consist of 11 genotypes of corn hybrid (A-7, A–

8, A-9, A-10, A-11, A-12, A-13, A-14, A-15, A-16, A-17) and 3 genotype of comparison corn and , those are (JAYA-1, BISI 2, and PIONEER 12), was repeated for three times and b) environment treatment consist of two location was tested this above. Data of the result of the research was analyzed by F test level 5% and if there was apparent different, it was continued with Duncan Multiple Range Test level 5 %.

The result of the research showed interaction between genotype with environment of : age of physiological maturity, amount of plant ripe, the weight of a hundred grains and water contains of the grains. The character some genotype corn is highest genotypic variation of: the height cob position. There was the highest heritability value for most variable, axcept for the weight of grain per plot and the weight of grain corn per plot with moderate criterion.

Keyword : interaction, heritability, variation of genetic, hybrid

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kebutuhan akan pangan karbohidrat semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein yang kedua setelah beras. Jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan karbohidrat yang dapat membantu pencapaian dan pelestarian swasembada pangan (Subandi et al., 1998 dalam Budiarti 1999). Jagung dapat dimanfaatkan antara lain bahan pakan sebagai sumber karbohidrat, sayuran (jagung manis), makanan ringan (pop corn), bioetanol, bahan ekspor nonmigas, dan bahan baku industri makanan ternak.

Cara budidaya jagung cukup mudah, namun masih menimbulkan masalah dalam hal produktivitas jagung yang belum mampu mencukupi permintaan pasar. Pengembangan usaha tani jagung merupakan bidang yang masih terbuka bagi peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi jagung ialah dengan menggunakan varietas unggul.

Budidaya jagung hibrida merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada, selain produktivitasnya tinggi, umur genjah, ketahanan tanaman juga rendemennya tinggi, varietas hibrida mempunyai adaptasi terhadap jenis tanah dan iklim yang sangat khusus dan hanya akan memberikan hasil optimal bila di tanam pada lingkungan yang sesuai. Untuk mendapatkan varietas yang beradaptasi luas perlu dilakukan pengujian di beberapa daerah sentra jagung sehingga akan diperoleh suatu varietas yang mempunyai kemampuan beradaptasi dan produksi tinggi. Keunggulan- keunggulan tersebut diharapkan memberikan keuntungan bagi industri pakan maupun terciptanya swasembada pangan dan akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani (Anonim, 2008).

Keberhasilan suatu program pemuliaan tanaman sangat tergantung pada variasi/keragaman genetik yang diturunkan dan seberapa besar interaksi antara beberapa genotipe dan lingkungan. Informasi variasi genetik akan memberi gambaran keleluasaan dalam memilih sifat yang diinginkan. Tanpa keragaman genetik yang digambarkan tidak akan didapat kemajuan seleksi. Apabila suatu sifat mempunyai keragaman genetik rendah, maka setiap individu dalam populasi tersebut secara teoritis sama, sehingga tidak akan dilakukan perbaikan sifat melalui seleksi. Keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang yang lebih besar dilakukan seleksi. Variasi keseluruhan dalam suatu populasi merupakan hasil kombinasi genotipe dan pengaruh lingkungan. Proporsi variasi merupakan sumber yang penting dalam program pemuliaan karena dari jumlah variasi genetik ini diharapkan akan terjadi kombinasi genetik yang baru. Proporsi dari seluruh variasi yang disebabkan oleh perubahan genetik disebut heritabilitas (Welsh, 1991).

Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varians genetik terhadap varians total (varian fenotipe) yang biasanya dinyatakan dengan persen (%). Heritabilitas dinyatakan dengan huruf H atau h2 (Mangoendidjojo, 2000).

B. Perumusan Masalah

Masalah pangan saat ini masih menjadi prioritas utama dalam kebutuhan masyarakat Indonesia. Permintaan jagung semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan semakin pesatnya pertumbuhan disektor industri pangan dan makanan ternak. Namun peningkatan permintaan ini tidak diikuti oleh peningkatan produksi jagung, sehingga permintaan-permintaan tersebut kadang tidak terpenuhi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemuliaan tanaman yang bertujuan untuk memaksimalkan potensi genetik tanaman melalui perakitan kultivar unggul baru yang berdaya hasil tinggi berumur genjah, dan berkualitas tinggi serta resisten terhadap kendala biotik dan abiotik (Azrai, 2005).

Untuk mendapatkan varietas yang beradaptasi luas perlu dilakukan pengujian di beberapa daerah sentra jagung sehingga pada akhirnya diperoleh suatu varietas yang mempunyai kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dan produksi tinggi. Semakin tinggi variasi genetik, maka semakin besar peluang pemilihan sifat-sifat yang diinginkan. Heritabilitas merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu seleksi guna memperbaiki sifat suatu varietas yang menunjukkan hubungan antara genotipe dan fenotipe dari sifat tersebut. Pendugaan nilai heritabilitas berguna untuk mengetahui apakah sifat-sifat tersebut lebih diperankan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya serta menganalisis seberapa besar interaksi antara genotipe yang diuji terhadap beberapa lingkungan yang berbeda.

Oleh karena itu, maka diharapkan dapat diperoleh informasi tentang :

1. Bagaimana variasi daya hasil beberapa genotipe jagung hibrida yang diuji?

2. Bagaimana heritabilitas beberapa genotipe jagung hibrida yang diuji?

3. Bagaimana Interaksi genotipe dan lingkungan beberapa galur jagung hibrida yang diuji?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui interaksi genotipe dan lingkungan beberapa galur jagung hibrida berdasarkan daya hasil jagung hibrida yang diuji.

2. Untuk mengetahui variasi daya hasil dan heritabilitas beberapa genotipe jagung hibrida pada dua lingkungan yang berbeda.

D. Hipotesis

Pada penelitian ini diduga terdapat perbedaan hasil dari beberapa genotipe jagung hibrida yang diuji pada lingkungan yang berbeda dan terdapat interaksi antara genotipe dan lingkungan tanaman tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Taksonomi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

Sistematika tanaman jagung adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi

: Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas

: Monocotyledoneae (berkeping satu) Ordo

: Graminae (rumput-rumputan) Famili

: Graminaceae Genus

: Zea Spesies

: Zea mays L. (Warisno, 1998). Tanaman jagung cocok ditanam di Indonesia, karena kondisi tanah yang sesuai. Di samping itu tanaman jagung tidak banyak menuntut persyaratan tumbuh serta pemeliharaannya pun lebih mudah, maka banyak petani yang selalu mengusahakan lahannya dengan tanaman jagung. Jagung telah tersebar di seluruh Indonesia. Daerah-daerah penghasil jagung yang telah tercatat antara lain Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku (Anonim, 2007).

B. Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

Akar tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah yang memungkinkan untuk pertumbuhan tanaman. Sistem perakaran tanaman jagung terdiri dari akar seminal yang tumbuh ke bawah pada saat biji berkecambah, akar koronal yang tumbuh ke atas dari jaringan batang setelah plumula muncul, dan akar adventif merupakan bentukan akar lain yang tumbuh dari pangkal batang, diatas permukaan tanah (soil surface), kemudian menembus dan masuk ke dalam tanah. Akar adventif berfungsi memperkuat Akar tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah yang memungkinkan untuk pertumbuhan tanaman. Sistem perakaran tanaman jagung terdiri dari akar seminal yang tumbuh ke bawah pada saat biji berkecambah, akar koronal yang tumbuh ke atas dari jaringan batang setelah plumula muncul, dan akar adventif merupakan bentukan akar lain yang tumbuh dari pangkal batang, diatas permukaan tanah (soil surface), kemudian menembus dan masuk ke dalam tanah. Akar adventif berfungsi memperkuat

Batang jagung beruas dan pada bagian pangkal batang jagung beruas pendek dengan jumlah ruas berkisar antara 8–21, umumnya tidak bercabang kecuali ada beberapa yang bercabang yang muncul dari pangkal batang, misalnya pada jagung manis. Panjang batang berkisar antara 60–300 cm tergantung dari tipe jagung. Tunas batang yang telah berkembang menghasilkan tajuk bunga betina (Muhadjir, 1988).

Daun mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman terutama berpengaruh dalam penentuan produksi, sebab pada daun terjadi beberapa aktivitas tanaman yang sangat mendukung proses perkembangan tanaman. Daun pada dasarnya terdiri dari tiga bagian yaitu kelopak daun (biasanya melingkari dan membungkus sebagian batang tetapi kadang-kadang ada yang menutup keseluruhan batang hingga buku-bukunya tidak nampak), helaian daun, dan ligula atau lidah daun yang transparan.

Daun jagung muncul dari buku-buku batang, sedangkan pelepah daun menyelubungi ruas batang untuk memperkuat batang. Panjang daun bervariasi antara 30–150 cm dan lebar 4–15 cm, dengan ibu tulang daun yang sangat keras. Tepi helaian daun halus dan kadang-kadang berombak. Helaian daun termasuk tipe liniear dan didalamnya terdapat ibu tulang daun yang diikuti daun lainnya dengan arah sejajar dengan ibu tulang daun. Jumlah daun yang menempel pada tiap tanaman antara 8–48 helai, tetapi biasanya berkisar 12-18 helai. Hal ini tergantung varietas dan umur tanaman jagung. Jagung berumur genjah biasanya memiliki jumlah daun sedikit, sedangkan yang berumur dalam berdaun lebih banyak (Anonim, 2007).

Tanaman jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dimana bunga jantan (staminate) terbentuk pada ujung batang, sedangkan bunga betina (pistilate) terletak pada pertengahan batang. Tanaman jagung bersifat protandry, dimana bunga jantan umumnya tumbuh 1–2 hari sebelum munculnya rambut (style) pada bunga betina. Oleh karena bunga jantan dan betina terpisah ditambah dengan sifat protandry, maka jagung mempunyai Tanaman jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecious) dimana bunga jantan (staminate) terbentuk pada ujung batang, sedangkan bunga betina (pistilate) terletak pada pertengahan batang. Tanaman jagung bersifat protandry, dimana bunga jantan umumnya tumbuh 1–2 hari sebelum munculnya rambut (style) pada bunga betina. Oleh karena bunga jantan dan betina terpisah ditambah dengan sifat protandry, maka jagung mempunyai

Biji jagung terletak pada tongkol (janggel) yang tersusun memanjang. Pada tongkol atau janggel tersimpan biji-biji jagung yang menempel erat, sedangkan pada buah jagung terdapat rambut-rambut yang memanjang hingga keluar dari pembungkus (kelobot). Pada setiap tanaman jagung terbentuk 1-2 tongkol. Biji jagung memiliki bermacam-macam bentuk dan bervariasi. Perkembangan biji dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain varietas tanaman, tersedianya kebutuhan makanan di dalam tanah dan faktor lingkungan seperti sinar matahari dan kelembaban udara. Angin panas dan kering dapat mengakibatkan tepung sari tidak keluar dari pembungkus atau tidak tumbuh sehingga penyerbukan terganggu (Anonim, 2007).

C. Syarat Tumbuh Tanaman Jagung (Zea mays L.)

Setiap tanaman dalam proses hidupnya selalu membutuhkan persyaratan tumbuh, demikian pula pada tanaman jagung. Persyaratan tumbuh yang sesuai diharapkan dapat menunjang tingkat produksi sesuai dengan harapan para petani. Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub tropis atau tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak

antara 0 o -50 Lintang Utara hingga 0 -40 Lintang Selatan.

oo

Temperatur yang dikehendaki tanaman jagung antara 21 o -30

C, tetapi

temperatur optimum adalah antara 23 o –27

C. Temperatur di suatu daerah sangat erat hubungannya dengan ketinggian tempat. Semakin tinggi suatu daerah, suhu udara akan semakin turun. Pada proses perkecambahan benih memerlukan temperatur yang cocok, sebab kehidupan embrio dan

pertumbuhannya menjadi kecambah perlu suhu kira-kira 30 o

C. Jagung dapat C. Jagung dapat

Sinar matahari merupakan sumber energi dan sangat membantu dalam proses asimilasi daun. Pada proses asimilasi tersebut sinar matahari berperan langsung pada pemasakan makanan yang kemudian diedarkan keseluruhan bagian tubuh tanaman. Disamping itu, penyinaran matahari juga berperan dalam pembentukan batang, batang menjadi lebih kokoh (Anonim, 2007).

Distribusi curah hujan yang merata selama pertumbuhan akan memberikan hasil yang baik. Distribusi hujan yang ideal bagi pertumbuhan tanaman jagung kurang lebih 200 mm tiap bulan. Untuk memperoleh hasil yang baik, tanaman jagung menghendaki keadaan air yang cukup terutama pada fase pembungaan hingga pengisisan biji (Sutoro et al., 1988).

Kemiringan tanah ada hubungannya dengan gerakan air pada permukaan tanah. Tanah dengan kemiringan kurang dari 8% dapat dilakukan penanaman jagung. Selain itu, Tanah sebagai tempat tumbuh tanaman jagung harus mempunyai kandungan hara yang cukup. Tersedianya zat makanan di dalam tanah sangat menunjang proses pertumbuhan tanaman hingga menghasilkan atau berproduksi. Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus, hampir berbagai macam tanah dapat diusahakan untuk pertanaman jagung. Tetapi jagung yang ditanam pada tanah gembur, subur, dan kaya akan humus dapat memberi hasil dengan baik. Disamping itu, drainase dan aerasi yang baik serta pengolahan yang baik akan membantu keberhasilan usaha pertanaman jagung. Untuk pertumbuhan tanaman dibutuhkan tanah yang bersifat netral atau mendekati netral. Keasaman tanah ini biasanya dinyatakan dengan pH. pH tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan optimal tanaman jagung yaitu pH 5,5-6,5 (Anonim, 2007).

D. Pemuliaan Tanaman

Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode eksploitasi potensi genetik untuk mendapatkan kultivar unggul baru yang berdaya hasil, berkualitas tinggi dan resinten terhadap kendala biotik dan abiotik pada kondisi lingkungan tertentu. Keberhasilan program pemuliaan tanaman dipengaruhi ketersediaan plasma nutfah yang mencukupi baik dalam jumlah maupun variabilitas genetiknya. Palsma nutfah mempunyai variasi genetik tinggi yang merupakan sumber gen untuk sifat-sifat tertentu, seperti sifat daya hasil yang tinggi, umur genjah, sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit tertentu (Azrai, 2009).

Menurut Allard (1991) penggandaan varietas unggul dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman, untuk itu diperlukan keragaman genetik yang memadai. Dengan tersedianya keragaman genetik maka memperbesar kemungkinan untuk melakukan pemilihan, penggabungan sifat-sifat baik, menguji dan membentuk varietas-varietas baru. Upaya untuk memperbesar keragaman genetik antara lain melalui mutasi, introduksi, seleksi, dan persilangan.

Menurut (Frey, 1983 dalam Wahyuni et al., 2004) pemuliaan tanaman meliputi 3 tahap kegiatan, yaitu (a) menciptakan variabilitas genetik dalam suatu populasi tanaman, (b) seleksi genotipe yang mempunyai gen-gen pengendali karakter yang diinginkan, dan (c) melepas kultivar terbaik untuk produksi pertanian. Keberhasilan seleksi tergantung pada kemampuan pemulia untuk memisahkan sifat-sifat genotipe yang unggul. Cara membedakan genotipe unggul dari genotipe yang tidak dikehendaki berdasarkan penilaian fenotipe individu atau kelompok individu yang dievaluasi.

Menurut (Martin, et al., 1976 dalam Susanto, et al,. 2001).Metode umum untuk mengembangkan dan memproduksi jagung hibrida terdiri dari : (1) Isolasi melalui perkawinan sendiri dan menyeleksi garis keturunan untuk karakter tertentu, (2) penentuan galur murni dengan menggabungkan Menurut (Martin, et al., 1976 dalam Susanto, et al,. 2001).Metode umum untuk mengembangkan dan memproduksi jagung hibrida terdiri dari : (1) Isolasi melalui perkawinan sendiri dan menyeleksi garis keturunan untuk karakter tertentu, (2) penentuan galur murni dengan menggabungkan

E. Potensi Hasil Jagung Hibrida

Varietas jagung hibrida telah terbukti memberikan hasil yang lebih baik dari varietas jagung bersari bebas, terutama pengembangan benih hibrida di negara-negara berkembang. Secara umum, varietas hibrida lebih seragam, bersifat lebih tahan penyakit dan mampu berproduksi lebih tinggi 15 – 20% dari varietas bersari bebas. Sifat unggul lainnya adalah ketahanan terhadap penyakit dan variasi fenotipe yang seragam (Morris, 1995).

Heterosis bukan mengacu pada penggabungan dua sifat baik dari kedua tetua kepada keturunan hasil persilangan, melainkan pada penyimpangan dari penampilan yang diharapkan dari penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya. Gejala heterosis yang terjadi dikelompokkan dalam beberapa teori, yaitu 1) teori keuntungan dominan (muncul akibat adanya aksi dan interaksi dari gen-gen yang dominan dan menguntungkan), 2) dominan berlebih(peningkatan penampilan pada generasi F1 hasil persilangan, yang heterozigot, terjadi akibat genotipe heterozigot pada suatu lokus berekspresi lebih kuat daripada genotipe homozigot di lokus itu), 3) epistasis (interaksi antara gen-gen pada lokus yang berbeda), 4) heterosis moleculer (teknik-teknik biologi molekular dengan melibatkan analisis menyeluruh terhadap DNA dan QTL, mRNA, protein, dan metabolit (dikenal sebagai ilmu-ilmu "omics"), dibantu dengan dukungan bioinformatika). Tipe hibrida mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi daripada tipe bersari bebas, karena hibrida memiliki gen-gen dominan yang mampu untuk memberi hasil tinggi. Hibrida dikembangkan berdasarkan adanya gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan galur tanaman generasi F1 sebagai tanaman produksi. Penyimpangan ini sebagian besar bersifat positif, dalam arti melebihi rata-rata penampilan kedua tetuanya dan menunjukkan daya pertumbuhan (vigor) yang lebih besar. Oleh karena itu, benih hibrida selalu dibuat ataupun diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Penggunaan tipe hibrida selain meningkatkan Heterosis bukan mengacu pada penggabungan dua sifat baik dari kedua tetua kepada keturunan hasil persilangan, melainkan pada penyimpangan dari penampilan yang diharapkan dari penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya. Gejala heterosis yang terjadi dikelompokkan dalam beberapa teori, yaitu 1) teori keuntungan dominan (muncul akibat adanya aksi dan interaksi dari gen-gen yang dominan dan menguntungkan), 2) dominan berlebih(peningkatan penampilan pada generasi F1 hasil persilangan, yang heterozigot, terjadi akibat genotipe heterozigot pada suatu lokus berekspresi lebih kuat daripada genotipe homozigot di lokus itu), 3) epistasis (interaksi antara gen-gen pada lokus yang berbeda), 4) heterosis moleculer (teknik-teknik biologi molekular dengan melibatkan analisis menyeluruh terhadap DNA dan QTL, mRNA, protein, dan metabolit (dikenal sebagai ilmu-ilmu "omics"), dibantu dengan dukungan bioinformatika). Tipe hibrida mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi daripada tipe bersari bebas, karena hibrida memiliki gen-gen dominan yang mampu untuk memberi hasil tinggi. Hibrida dikembangkan berdasarkan adanya gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan galur tanaman generasi F1 sebagai tanaman produksi. Penyimpangan ini sebagian besar bersifat positif, dalam arti melebihi rata-rata penampilan kedua tetuanya dan menunjukkan daya pertumbuhan (vigor) yang lebih besar. Oleh karena itu, benih hibrida selalu dibuat ataupun diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Penggunaan tipe hibrida selain meningkatkan

F. Konsep Heritabilitas dan Variasi Genetik Jagung

Pembentukan genotipe-genotipe baru yang memiliki kelebihan dan keunggulan tinggi dibidang produksi, adaptasi luas, umur genjah (pendek), dan tahan terhadap hama dan penyakit tanaman. Hal ini bisa dijadikan alternatif untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan akan jagung. Jagung dikatakan varietas unggul apabila mempunyai salah satu sifat keunggulan yang lebih daripada keturunan sebelum atau sesudahnya, yaitu sifat unggul jagung diantaranya menghasilkan produktivitas yang tinggi dan mantap (AAK, 1993)

Semua tumbuh-tumbuhan dapat digolongkan atas dasar perbedaan atau persamaan sifat-sifat. Perbedaan sifat-sifat ini disebabkan oleh faktor genotipe (faktor dalam yang turun-menurun) dan juga faktor lingkungan faktor fenotipe ini sangat mempengaruhi sifat kuantitatif dan kualitatif dari tumbuhan. Perbaikan varietas dapat dilakukan melalui penggabungan sifat-sifat genetik yang diinginkan, peningkatan dan pemanfaatan keragaman genetik, dilanjutkan dengan seleksi dan evaluasi daya hasil. Bahan pemuliaan dapat berasal dari varietas lokal, varietas liar, varietas introduksi dari mancanegara ataupun galur-galur homozigot (Kasno, 1992).

Keberhasilan program pemuliaan tanaman sangat tergantung pada variabilitas atau keragaman genetik dari karakter yang dapat diwariskan dan kemampuan genotipe unggul dalam proses seleksi. Adanya variabilitas genetik berarti terdapat perbedaan nilai antar individu genotipe dalam populasi yang merupakan syarat keberhasilan seleksi terhadap sifat yang diinginkan. Oleh karena itu, studi ragam genetik dan pendugaan nilai heritabilitasnya tidak lepas dari suatu pengujian galur-galur harapan (Satoto dan Supriyatno, 1996).

Salah satu usaha perbaikan jagung adalah dengan melakukan seleksi pada suatu populasi dengan keragaman genetik cukup tinggi. Apabila suatu karakter memiliki keragaman genetik cukup tinggi, maka setiap individu dalam populasi hasilnya akan tinggi pula, sehingga seleksi akan lebih mudah untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan. Oleh sebab itu, informasi keragaman genetik sangat diperlukan untuk memperoleh varietas baru yang diharapkan (Helyanto et al., 2000).

Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varians genetik terhadap varians total (varian fenotipe) yang biasanya dinyatakan dengan persen (%). Heritabilitas dinyatakan dengan huruf H atau h2. Karakter tanaman yang dikategorikan mempunyai nilai heritabilitas tinggi, sedang dan rendah, apabila nilainya berturut-turut H >50%, 20%< H < 50% dan H <20%. (Mangoendidjojo, 2000). Heritabilitas menentukan keberhasilan seleksi karena heritabilitas dapat memberikan petunjuk suatu sifat lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat dibandingkan faktor lingkungan (Suprapto dan Kairudin, 2007).

G. Interaksi Genotipe dan Lingkungan

Variasi genetik merupakan syarat mutlak kegiatan pemuliaan tanaman terutama dalam kegiatan seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi besar, ini menunjukkan individu dalam populasi beragam sebagai peluang untuk memperoleh genotip yang diharapkan akan besar. Sedangkan pendugaan nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor pengaruh genetik lebih besar terhadap penampilan fenotipe bila dibandingkan dengan lingkungan. Untuk itu informasi sifat tersebut lebih diperankan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya dan seberapa besar hasil interaksi antara tiap –tiap genotipe dengan genotipe galur yang diujikan (Sudarmadji et al., 2007). .

Jagung hibrida merupakan hasil perkawinan antara dua jenis tetua masing-masing galur murni dari tanaman tersebut (INBREAD LINE), sehingga terjadi perpaduan sifat unggul (Riani et al., 2001 dalam Kuruseng dan Kuruseng, 2008). Varietas hibrida mempunyai potensi hasil yang tinggi, daya adaptasi luas, pertumbuhan dan hasil tanaman lebih seragam, tahan penyakit bulai dan karat daun. Setiap hibrida menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang beragam sebagai akibat dari pengaruh genetik dan lingkungan yang diujikan. Pengaruh genetik merupakan pengaruh keturunan yang dimiliki oleh setiap galur sedangkan pengaruh lingkungan adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh habitat dan kondisi lingkungan

( Kuruseng dan Kuruseng , 2008 ). Heritabilitas digunakan untuk menduga perbaikan harapan dari suatu konsep seleksi, maka untuk menduga heritabilitas suatu sifat pada suatu

populasi diperlukan parameter genetik yang digunakan berupa variasi sifat fenotip dan genotipe yang diwariskan kepada keturunannya. Pendugaan nilai heritabilitas dapat didasarkan pada individu tanaman, petak tunggal, petak berulangan dengan satu atau dua lingkungan atau lebih. Sedangkan meterial genetik yang digunakan berkisar pada sejumlah genotipe atau populasi

tanaman F 2 sampai keturunan F n, yang dilakukan secara persilangan Back Cross dan berdasarkan struktur kekerabatannya dari suatu galur (Basuki, 2005). Menurut (Eberhart et al., 1966 dalam Baihaki et al., 2002). Dalam menentukan pilihan kebijakan genotipe tanaman yang bagaimana akan disebarkan atau dilepaskan, ataupun untuk digunakan dalam estimasi komponen varians suatu karakter tertentu dibutuhkan data tanda-tanda dan hasil pengamatan suatu penelitian yang terkait dengan adanya dan tidak adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan. Dari banyak penelitian menunjukkan interaksi antara (G x E) yang dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan sering menggangu dalam seleksi genotipe-genotipe unggul. Karena adanya variasi lingkungan tumbuh makro tanaman tidak akan menjamin suatu tanaman F 2 sampai keturunan F n, yang dilakukan secara persilangan Back Cross dan berdasarkan struktur kekerabatannya dari suatu galur (Basuki, 2005). Menurut (Eberhart et al., 1966 dalam Baihaki et al., 2002). Dalam menentukan pilihan kebijakan genotipe tanaman yang bagaimana akan disebarkan atau dilepaskan, ataupun untuk digunakan dalam estimasi komponen varians suatu karakter tertentu dibutuhkan data tanda-tanda dan hasil pengamatan suatu penelitian yang terkait dengan adanya dan tidak adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan. Dari banyak penelitian menunjukkan interaksi antara (G x E) yang dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan sering menggangu dalam seleksi genotipe-genotipe unggul. Karena adanya variasi lingkungan tumbuh makro tanaman tidak akan menjamin suatu

Interaksi (G x E) banyak dikaitkan dengan kemampuan adaptasi yang dimiliki oleh suatu individu atau populasi tanaman pada lingkungan tertentu. Untuk tanaman pertanian, analisis untuk menduga adanya interaksi (G x E) banyak dilakukan pada tanaman semusim (annual) yang ditanam pada beberapa lokasi sebagai variasi lingkungan yang umumnya bersifat spatial. Untuk tanaman perkebunan yang umumnya merupakan tanaman tahunan (perennial) analisis varian lingkungan yang digunakan umumnya bersifat sekuensial , dilihat dari waktu bulan ke bulan, tahun ke tahun (Mangoendidjojo, 2000).

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2010 dan bertempat di Desa Pucang Miliran, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dengan ketinggian tempat 235 m diatas permukaan laut, dengan jenis tanah Regosol kelabu dan Desa Ngemplak, Kecamatan Kartosuro, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dengan ketinggian tempat 146 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah Entisol.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Genotipe benih jagung hibrida yang diuji (A-7, A–8, A-9, A-10, A-11, A-12, A-13, A-14, A-15, A-16, A-17 dan JAYA-1, BISI 2, P-12)

b. Pupuk urea, SP-36, dan KCl.

c. Insektisida Furadan 3G dan Decis.

2. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Cangkul a. Cangkul

c. Meteran

d. Timbangan digital

e. Tali raffia

f. Alat pengukur kadar air (Seed Moisture Tester)

g. Alat tulis

C. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan percobaan faktorial dengan dasar rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) yang diulang tiga kali. Adapun macam perlakuan terdiri dari 2 faktor, yaitu:

a) Faktor 1 : “Perlakuan Genotipe” yang terdiri dari 11 genotipe jagung yang diujikan (A-7, A–8, A-9, A-10, A-11, A-12, A-13, A-14, A-15, A- 14

16, A-17) dan 3 genotipe jagung pembanding yaitu JAYA-1, BISI 2, P- 12). Adapun cara perlakuan tiap lokasi (lingkungan) sama dengan 11 genotipe yang diuji dan 3 genotipe pembanding yang diletakkan sesuai petak perlakuan sebagai berikut :

A=A–7 B=A–8 C=A–9

M = JAYA -1 N = BISI 2 O = P – 12 M = JAYA -1 N = BISI 2 O = P – 12

D. Cara Kerja Penelitian

1. Pelaksanaan Penelitian

a. Pengolahan tanah Pengolahan tanah meliputi pembersihan lahan dari sisa tanaman sebelumnya dan gulma, lalu dicangkul sampai tanah menjadi cukup gembur. Kemudian membuat petakan/plot dengan ukuran 3 m x

5 m, antar plot tidak diberi jarak dan jarak antar ulangan adalah 1,5 m.

b. Penanaman Setiap genotipe ditanam dalam empat baris, panjang baris adalah 5 m. Menanam 2 benih per lubang. Jarak antar baris 75 cm, jarak tanam dalam barisan 20 cm (maka untuk 500 cm diperoleh 25 lubang tanam), sehingga bila semua benih tumbuh maka akan terdapat

50 tanaman per baris.

c. Penyulaman dan Penjarangan Penyulaman bertujuan untuk mengganti tanaman tidak tumbuh atau mati. Kegiatan ini dilakukan 7-10 HST setelah tanam dengan menggunakan benih yang sama. Penjarangan dilakukan apabila dalam satu lubang tanam tumbuh benih lebih dari satu, maka perlu pecabutan c. Penyulaman dan Penjarangan Penyulaman bertujuan untuk mengganti tanaman tidak tumbuh atau mati. Kegiatan ini dilakukan 7-10 HST setelah tanam dengan menggunakan benih yang sama. Penjarangan dilakukan apabila dalam satu lubang tanam tumbuh benih lebih dari satu, maka perlu pecabutan

d. Pemupukan

1) Urea, SP-36, KCl (100,200,100) kg/ha, atau 1,5 gram urea, 3 gram SP-36, dan 1,5 gram KCl per lubang pada saat tanam. Cara pemupukan dengan menugal disamping tanaman pada jarak 5-7 cm sedalam 5 cm, kemudian ditutup kembali.

2) Urea: 200 kg/ha atau 3 gram Urea per lubang pada umur 4 MST. Pemupukan kedua dilakukan setelah penyiangan dan pembumbunan. Cara pemupukan dengan menugal disamping tanaman pada jarak 10 cm sedalam 7 cm, kemudian ditutup kembali.

e. Pemeliharaan

1) Penyiangan dan pembumbunan Penyiangan dilakukan pada umur 4 MST. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan dan bertujuan untuk memperkokoh posisi batan dan untuk menutup akar yang bermunculan diatas permukaan tanah. Sehingga tanaman tidak mudah rebah. Selain itu untuk memperlancar aerasi dan drainase.

2) Pengairan Pengairan yang cukup diperlukan bila tidak ada hujan. Bila saat penelitian bertepatan dengan musim tidak dilakukan pengairan, namun diperlukan pengaturan drainase dengan saluran drainase agar tanaman tidak tergenang air dan terjadi busuk akar.

3) Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian dilakukan secara teratur tanpa menunggu timbulnya gejala serangan hama atau penyakit tanaman. Untuk mencegah serangan lalat bibit pada waktu tanam, tiap lubang diberi Furadan 3G dengan takaran 8 - 16 kg/ha atau sekitar 4 butir/lubang. Bila ada tanda-tanda serangan hama pada masa pertumbuhan, Furadan dapat diberikan lagi melalui pucuk daun. Pencegahan penyakit bulai telah 3) Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian dilakukan secara teratur tanpa menunggu timbulnya gejala serangan hama atau penyakit tanaman. Untuk mencegah serangan lalat bibit pada waktu tanam, tiap lubang diberi Furadan 3G dengan takaran 8 - 16 kg/ha atau sekitar 4 butir/lubang. Bila ada tanda-tanda serangan hama pada masa pertumbuhan, Furadan dapat diberikan lagi melalui pucuk daun. Pencegahan penyakit bulai telah

f. Panen Panen dilakukan dengan cara manual yaitu dengan memutar tongkol berikut kelobotnya hingga tongkol terlepas dari batang. Pemanenan dilakukan apabila jagung sudah masak fisiologis.

2. Variabel Penelitian Pada setiap petak terdapat 100 tanaman yang terletak pada 4 baris, sehingga setiap baris terdapat 25 tanaman. Pengambilan sampel tanaman per petak yaitu 10 tanaman, diambil dari 2 baris tanaman yang letaknya ditengah, cara pengambilan sampel diacak seperti pada denah masing- masing lokasi Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu :

1. Tinggi tanaman (cm) Memilih sepuluh tanaman secara acak di setiap petakan. Mengukur jarak dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai pangkal terakhir bunga jantan (pada masa perkembangan vegetatif, primordia bunga, dan generatif).

2. Umur masak fisiologis (HST) Pencatatan umur masak fisiologis dilakukan bila 80% kelobot telah menguning, biji kering, keras, dan mengkilat, dan apabila ditekan tidak membekas.

3. Tinggi letak tongkol (cm) Mengukur jarak dari permukaan tanah sampai dasar kedudukan tongkol. Bila tanaman mempunyai dua tongkol, maka diambil tongkol yang teratas/tongkol yang lebih normal perkembangannya. Pengukuran tinggi letak tongkol ini dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman pada fase generatif.

4. Berat 100 biji (gram) Untuk mengetahui potensi hasil dan kebutuhan benih pada perluasan lahan.

5. Jumlah tongkol yang dipanen Menghitung jumlah seluruh tongkol yang dipanen per petak pada saat panen, kecuali tongkol-tongkol yang sangat kecil dan hanya mempunyai beberapa biji.

6. Berat tongkol panen kupasan basah (kg) Menimbang berat per petak tongkol-tongkol yang dipanen setelah dikupas.

7. Berat pipilan per petak (kg)

Menghitung berat pipilan per petak dengan menggunakan rumus:

8. Berat pipilan kering per hektar (ton) Sebelumnya melakukan penimbangan tongkol kering 2 baris tengah per petak, kemudian memipil dan menimbang bobot seluruh tongkol.

Menghitung berat pipilan per ha dengan menggunakan rumus: 10000 100 - KA 1

Keterangan: LP = Luas panen KA 1 = Kadar air panen KA 2 = Kadar air standar (15%)

B = Berat tongkol panen R

= Rendemen (0,78)

9. Kadar air biji yang dipanen Mengambil 5-10 tongkol sampel per petak lalu memipil bijinya

2 baris setiap tongkol. Mencampurkan biji yang dipipil dan mengukur kadar air dengan alat Seed Moisture Tester. Angka kadar air panen digunakan untuk menghitung hasil pipilan kering pada kadar air standar (15%).

3. Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dengan uji F taraf 5% dan apabila interaksi genotipe dan lingkungan serta perlakuan genotipe berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan / DMRT (Duncan Multiple Range Test) taraf 5%.

Untuk mengetahui besarnya variasi genetik/genotipe yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan r ulangan pada k lokasi dapat dilakukan dengan :

E (KT) Lokasi

Sumber Keragaman

db KT

k-1

Ulangan/lokasi

(r-1) k

2 2 Genotipe 2 a-1 KT

g σ e +rσ ge + rk σ g =KT gl + rk

2 Genotipe X Lokasi 2 (k-1) (a- KT

gl σ e +rσ ge

Galat 2 KT

Koefisien variasi genetik dihitung dengan rumus Hanson et al., (1956) dalam Murdaningsih et al. (1990) dengan persamaan :

2 ( KTgenotipe - KTerror ) s G =

UlanganXLo kasi Keterangan :

s 2 G = varians/ragam genetik KTgenotipe = Kuadrat Tengah genotipe

KTerror = Kuadrat Tengan error/galat s 2 G

KVG = ´ 100 % x

Keterangan : x = nilai tengah karakter yang diamat (purata besar) KVG = Koefisian Variasi Genetik Kriteria KVG relatif secara umum menurut Murdaningsih et al. (1990) yaitu :

1. Rendah (0%-25%)

2. Agak rendah (25%-50%)

3. Cukup tinggi (50%-75%)

4. Tinggi (75%-100%) Kriteria KVG relatif dalam penelitian ini yaitu :

1. Rendah (0,953< x < 4,19)

2. Agak rendah (4,20 < x < 7,43)

3. Cukup tinggi (7,44 < x < 10,67)

4. Tinggi (10,68 < x < 13,92) Untuk kriteria KVG yang bernilai rendah dan agak rendah digolongkan ke dalam karakter yang memiliki variabilitas genetik yang sempit, sedangkan yang bernilai cukup tinggi dan tinggi digolongkan ke dalam variabilitas genetik yang luas.

Menurut Basuki (2005) nilai heritabilitas dalam arti luas (H), dihitung dengan rumus sebagai berikut :

2 2 s 2 F = [ s G + s e / rl ]

s 2 e= KTerror Keterangan :

H = nilai duga heritabilitas dalam arti luas s 2 G = varians/ragam genetik/genotipe

s 2 F = varians/ragam fenotipe s 2 e = varians/ragam lingkungan

r = ulangan l = lokasi/lingkungan tempat tumbuh Kriterianya yaitu :

1. Tinggi bila nilai H > 0,5

2. Sedang bila nilai 0,2 < H < 0,5

3. Rendah bila nilai H < 0,2

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tinggi tanaman

Pertumbuhan adalah proses pertambahan ukuran yang tidak dapat kembali ke asal (irreversibel) yang meliputi pertambahan volume dan massa. Cara yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan menyatakan dalam penambahan berat kering, tinggi ataupun diameter batang (Hardjowigeno, 1987 dalam Kariada et al., 2007). Dalam arti sempit menurut Sitompul dan Guritno (1995) tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman merupakan indikator pertumbuhan tanaman maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengatur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan dalam suatu pengujian tanaman. Tabel 4.1 Interaksi genotipe dan lokasi terhadap tinggi tanaman(cm)

NO Genotipe Lokasi Tulung Lokasi Ngemplak Rata-Rata

2 A-8 168.200 bcd 181.300 174.75

3 A-9 170.500 d 194.167 182.33

4 A - 10 169.033 abcd 172.600 170.82

5 A - 11 155.367 abc 173.200 164.28

6 A - 12 151.600 abc 175.833 163.72

7 A - 13 147.700 ab 168.633 158.17

8 A - 14 161.800 bcd 184.867 173.33

9 A - 15 167.800 cd 187.800 177.80

10 A - 16 159.267 bcd 186.133 172.70

11 A – 17 168.500 bcd 182.200 175.35

12 JAYA – 1 166.200 bcd 178.600 172.40

13 BISI 2 172.767 cd 186.367 179.57

14 PIONNER 12

162.395 179.798 Rata-rata Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama artinya

berbeda tidak nyata dengan uji jarak Duncan taraf 5%

Hasil sidik ragam tinggi tanaman (lampiran 2) menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara genotipe tanaman jagung dan lokasi yang diuji.

Tetapi perlakuan genotipe memberikan pengaruh yang nyata dan perlakuan lokasi berpengaruh sangat nyata. Berdasarkan hasil analisis tinggi tanaman dengan uji Jarak Duncan taraf 5% (Tabel 4.1) dapat dilihat bahwa beberapa genotipe jagung memberikan hasil terhadap hasil tinggi tanaman yang cenderung berbeda tidak nyata di lokasi Tulung maupun lokasi Ngemplak. Hal ini ditunjukkan pada hasil tinggi tanaman yang rata-ratanya lebih tinggi atau sama dengan dibandingkan tiga genotipe pembandingnya yaitu JAYA-1, BISI-2 dan PIONNER 12, terdapat pada genotipe A -7, A -9, A -10, A -11, A-15, A-16, A -17. Tinggi tanaman yang relatif tinggi dapat meningkatkan resiko kerebahan tanaman yang dapat menurunkan hasil tanaman. Tetapi ada beberapa genotipe tanaman jagung yang memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan tiga genotipe pembandingnya yaitu JAYA-1, BISI-2 dan PIONNER 12, terdapat pada genotipe A -8, A -11, A -10, A -12,

A -13, dan A -14.

Gambar 4.1 Diagram batang rata-rata tinggi tanaman genotipe

jagung hibrida yang diuji.

Dari gambar 4.1 dapat dilihat bahwa genotipe yang memberikan hasil terhadap rata-rata tinggi tanaman yang lebih rendah terdapat pada genotipe

A -8, A -11, A -10, A -12, A -13, dan A -14. Hal ini menunjukkan bahwa keenam genotipe diatas, dapat dimungkinkan memiliki resiko kerebahan yang lebih kecil dibandingkan tiga genotipe JAYA-1, BISI-2 maupun PIONNER