PEMBANGUNAN SEKTOR AIR LIMBAH DALAM PEND
PEMBANGUNAN SEKTOR AIR LIMBAH
DALAM PENDEKATAN KERUANGAN DAN EKOLOGI
Studi Kasus: Denpasar Sewerage Development Project (DSDP), Bali
MATA KULIAH
ANALISIS KEBIJAKAN SPASIAL
I MADE WAHYU WIJAYA
3315 202 006
PROGRAM STUDI
MAGISTER TEKNIK SANITASI LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2016
PENDAHULUAN
Berdasarkan data statistik wisatawan tahun 2014, kedatangan wisatawan mancanegara
ke Pulau Bali mengalami peningkatan yang cukup pesat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Peningkatan kunjungan terbesar wisatawan mancanegara ke Pulau Bali terjadi pada tahun
2014, yakni mencapai 14,89% dari tahun sebelumnya. Untuk menunjang sektor pariwisata,
Kota Denpasar memiliki 29 unit hotel berbintang dan 257 unit akomodasi lainnya. Kota
Denpasar merupakan destinasi wisata internasional yang memiliki beberapa objek wisata,
berupa pantai, lokasi peninggalan sejarah, pasar seni tradisional, dan taman kota. Sektor
pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan daerah, selain sektor pertanian dan jasa.
Seiring peningkatan jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara, maka
perlu diikuti dengan pemeliharaan lingkungan untuk menjaga kenyamanan wisatawan.
Berdasarkan hal tersebut, peningkatan kualitas lingkungan menjadi salah satu prioritas
pembangunan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Berdasarkan kondisi eksisting,
banyak terjadi pencemaran lingkungan terutama pada wilayah sungai, pantai, dan sumur
penduduk yang disebabkan oleh air limbah. Kegiatan penggunaan air oleh penduduk lokal
maupun wisatawan akan meningkatkan produksi air limbah yang umumnya dibuang secara
langsung ke saluran drainase ataupun sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Adanya
bahan pencemar yang terkandung dalam air limbah, seperti zat organik, nutrien, partikel padat,
atau senyawa berbahaya lainnya dapat mencemari ekosistem air. Air limbah yang dibuang ke
sungai atau saluran drainase akan terbawa ke laut dan berpotensi mencemari ekosistem laut.
Berdasarkan data dari Pokja Sanitasi Kota Denpasar (2013), sebesar 62% air limbah
domestik dibuang secara langsung oleh masyarakat ke saluran drainase, 26% ditampung di
dalam tanki septik, dan 12% dibuang ke halaman. Dalam penanganan air limbah dari industri
pariwisata, terdapat 35% hotel berbintang dan 10% hotel melati yang memiliki Sewerage
Treatment Plant (STP). Upaya yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Bali,
pemerintah Kota Denpasar, dan Pemerintah kabupaten Badung adalah menyediakan prasarana
dan sarana sanitasi, khususnya dalam pengelolaan air limbah, salah satunya adalah
pembangunan sistem pengolahan air limbah terpusat (off-site). Pembangunan tersebut dikenal
dengan Denpasar Sewerage Development Project (DSDP). Berdasarkan Perda Kota Denpasar
No. 27 Thn. 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031, sistem pengolahan air limbah
kota terdiri dari pengolahan air limbah terpusat (off site), yakni DSDP dan pengolahan air
limbah komunal (on site) melalui program sanimas. DSDP bertujuan untuk menghubungkan
semua rumah penduduk dan fasilitas pariwisata di Kota Denpasar dengan instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) melalui jaringan pipa air limbah. Adanya DSDP merupakan salah satu
upaya untuk mencapai sasaran MDGs, yakni peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi.
Pada kajian ini hanya dipusatkan pada sistem pengolahan air limbah secara terpusat (off site
system), yakni DSDP.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Air Limbah Domestik
Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan
permukiman (real estate), rumah makan (restaurant), perkantoran, perniagaan, apartemen dan
asrama (KepmenLH no 112/2003). Menurut Sugiharto (1987), air Limbah domestik adalah air
yang telah dipergunakan yang berasal dari rumah tangga atau pemukiman termasuk
didalamnya air buangan yang berasal dari WC, kamar mandi, tempat cuci, dan tempat
memasak.
Limbah merupakan buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki di ligkungan karena tidak mempunyai nilai ekonomi (Gintings, 2005). Pengertian
air limbah menurut Tchobanoglous dan Eliassen (1981), adalah gabungan cairan dan sampah
yang terbawa dari tempat tinggal, kantor, bangunan perdaganan, industri serta air tanah, air
permukaan, dan air hujan yang mungkin ada. Air limbah pada umumnya mengandung air,
bahan padat, dan mikroorganisme. Keberadaan mikroorganisme dalam kandungan air limbah
dapat membantu terjadinya proses pengolahan sendiri air limbah (self purification) Batasan
yang banyak dikemukakan mengenai air limbah umumnya meliputi komposisi serta sumber
darimana air limbah tersebut berasal. Misalnya air limbah rumah tangga, air limbah industri,
air limbah rumah sakit dan lain-lain. Setiap jenis air limbah memiliki karakteristik masingmasing. Sehingga dalam upaya pengolahannya, setiap jenis air limbah memerlukan perlakuan
yang berbeda.
Menurut Wilgoso (1979), air limbah merupakan air kotor yang membawa sampah dari
tempat tinggal bangunan perdagangan dan industry berupa campuran air dan bahan padat
terlarut dan bahan tersuspensi. Air limbah adalah air bekas yang berasal dari penyediaan air
bersih yang sudah dicemari berbagai macam penggunaannya (Salvato, 1982). Limbah cair
adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah
dipergunakan dengan hampir 0,1 % daripadanya berupa benda-benda padat yang terdiri dari
zat organic dan anorganik (Mahida, 1984).
Air limbah merupakan lingkungan yang baik bagi kehidupan berbagai mikroorganisme
termasuk bakteri pathogen sehingga dapat membawa penyakit pada manusia. Limbah cair
yang memiliki nilai BOD (biochemical oxygen demand) yang tinggi dan COD (chemical
oxygen demand) yang rendah tentunya akan memiliki kandungan organic yang tinggi sehingga
memudahkan bakteri-bakteri patogen untuk tumbuh. Apabila limbah cair yang memiliki nilai
BOD dan COD rendah tersebut dibuang ke lingkungan, maka tentunya akan memiliki
kandungan zat organik yang tinggi yang telah ditumbuhi oleh mikroorganisme pathogen
beserta hasil metabolism yang menimbulkan bau menyengat serta menyebabkan gangguan
pada kesehatan manusia maupun hewan yang ada disekitar perairan yang tercemar air limbah
(Soemirat, 1994). Limbah cair mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan manusia.
Bahan pencemar kimia tersebut dapat menimbulkan penyakit baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kandungan pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi adalah salah satu
parameter pencemaran oleh bahan kimia, yang apabila dibuang langsung ke lingkungan akan
menimbulkan penyakit, seperti dermatitis, iritasi, atau keracunan (Sastrodimedjo, 1985).
Menurut KepmenLH no 112/2003, air limbah memiliki karakteristik fisik (bau, warna,
padatan, suhu, kekeruhan), karakteristik kimia (organik, anorganik dan gas) dan karakteristik
biologis (mikroorganisme).
2. Sistem Pengolahan Air Limbah Terpusat
Pengolahan limbah adalah usaha untuk mengurangi atau menstabilkan zat-zat pencemar
sehingga saat dibuang tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan. Tujuan utama
pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi kandungan bahan pencemar terutama
senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba pathogen, dan senyawa organik yang tidak
dapat diuraikan oleh mikroorganisme alami. Tujuan lain pengolahan limbah cair adalah:
1. Mengurangi dan menghilangkan pengaruh buruk limbah cair bagi kesehatan manusia
dan lingkungan
2. Meningkatkan mutu lingkungan hidup melalui pengolahan, pembuangan dan atau
pemanfaatan limbah cair untuk kepentingan hidup manusia dan lingkungan
Proses pengolahan limbah terdiri dari dua jenis yaitu pengolahan limbah setempat (on site)
dan pengolahan limbah secara terpusat (off site). Menurut Ayi Fajarwati dalam Penyaluran Air
Buangan Domestik (2000), sistem sanitasi setempat (on site sanitation) adalah sistem
pembuangan air limbah dimana air limbah tidak dikumpulkan serta disalurkan ke dalam suatu
jaringan saluran yang akan membawanya ke suatu tempat pengolahan air buangan atau badan
air penerima, melainkan dibuang di tempat. Sedangkan sistem sanitasi terpusat (off site
sanitation) merupakan sistem pembuangan air buangan rumah tangga (mandi, cuci, dapur, dan
limbah kotoran) yang disalurkan keluar dari lokasi pekarangan masing-masing rumah ke
saluran pengumpul air buangan dan selanjutnya disalurkan secara terpusat ke bangunan
pengolahan air buangan sebelum dibuang ke badan perairan.
Proses pengolahan air limbah sistem terpusat umumnya dibagi menjadi empat tahapan, yaitu:
1. Pengolahan awal (pre treatment)
2. Pengolahan tahap pertama (primary treatment)
3. Pengolahan tahap kedua (secondary treatment)
4. Pengolahan tahap akhir (tertiary treatment)
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau Wastewater Treatment Plant (WWTP) adalah
sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air
sehingga memungkinkan air tersebut untuk dapat digunakan kembali pada aktivitas yang lain.
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan pencemar di
dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba patogen, dan senyawa
organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat di alam. IPAL terdiri
dari unit-unit pengolahan yang saling berhubungan dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
air limbah.
a. Kolam Stabilisasi
Kolam stabilisasi didefinisikan sebagai kolam dangkal buatan manusia yang
menggunakan proses fisis dan biologis untuk mengurangi kandungan bahan pencemar yang
terdapat pada air limbah. Proses tersebut antara lain meliputi pengendapan partikel padat,
penguraian zat organik, pengurangan nutrien (P dan N) serta pengurangan organisme
patogenik seperti bakteri, telur cacing dan virus (Varon and Mara, 2004).
Menurut Metcalf dan Eddy (1991), kolam oksidasi atau istilah lainnya kolam stabilisasi
(stabilization pond) adalah kolam tanah yang relatif dangkal yang digunakan untuk
pengolahan air limbah.Kolam oksidasi ini cocok untuk pengolahan air limbah komunitas yang
kecil karena biaya pembangunan dan operasinya lebih rendah dibandingkan dengan
pengolahan biologis yang lain.
Kolam stabilisasi ini cukup banyak digunakan oleh negara-negara berkembang karena
biaya pembuatan dan pemeliharaannya murah serta lahan yang tersedia masih cukup banyak.
Menurut Venstra (2000), prinsip dasar dari kolam stabilisasi adalah sebagai berikut;
Menyeimbangkan dan menjaga fluktuasi beban organik dan beban hidrolis limbah air
Mengendapkan partikel padatan dari air limbah di kolam pertama.
Memanfaatkan proses fotosintesis yang dilakukan oleh algae sebagai sumber utama
oksigen.
Proses penguraian zat organik secara biologis yang dilakukan oleh mikroorganisme (baik
secara aerobik maupun anaerobik).
Pengurangan organisme patogenik melalui beberapa proses interaktif antara alga dan
bakteria.
Menurut Polprasert (2001), kolam stabilisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan pada
proses biologis yang utama pada kolam tersebut, pola pembebanan hidrolis atau tingkat
pengolahan
yang
diinginkan.
Berdasarkan pada hal tersebut, kolam stabilisasi dapat
digolongkankan menjadi: kolam anaerobik, kolam fakultatif dan kolam pematangan.
Kolam anaerobik (anaerobic ponds).
Kolam anaerobik didesain agar partikel padat yang dapat terurai secara biologis dapat
mengendap dan diuraikan melalui proses anaerobik. Kolam ini biasanya mempunyai
kedalaman 3 sampai 5 meter dengan masa tinggal hidrolis (hydraulic retention time) antara
1 sampai 20 hari.
Kolam fakultatif (facultative ponds).
Kolam fakultatif biasanya mempunyai kedalaman berkisar 1 sampai 2 meter dengan
proses penguraian secara aerobik dibagian atas dan penguraian secara anaerobik di lapisan
bawahnya. Jenis kolam ini mempunyai masa tinggal hidrolis antara 5 sampai 30 hari.
Penggunaan kolam fakultatif bertujuan untuk menyeimbangkan input oksigen dari proses
fotosintesis alga dengan pemakaian oksigen yang digunakan untuk penguraian zat organik.
Kolam pematangan (maturation ponds).
Kolam pematangan adalah kolam dangkal dengan kedalaman hanya 1 sampai 1,5 meter.
Hal ini ditujukan agar keseluruhan kolam tersebut dapat ditumbuhi oleh alga sehingga
oksigen yang dihasilkan selama proses fotosintesis dapat dipergunakan untuk proses
penguraian secara aerobik. Kolam ini digunakan untuk memperbaiki kualitas air yang
dihasilkan oleh pengolahan di kolamfakultatif dan untuk mengurangi jumlah organisme
patogenik
Selain cukup banyak digunakan di negara-negara tropis maupun sub-tropis, dikarenakan
oleh kehandalan dan efisiensinya, sistem ini juga digunakan dibeberapa negara maju seperti
Amerika Serikat dan Jerman. Kolam stabilisasi yang terdiri dari kolam anaerobik, fakultatif
dan pematangan mampu mengurangi kandungan BOD air limbah sampai dengan 90%,
sedangkan pengurangan bakteri coli (sebagai indikator adanya organisme patogen) dapat
mencapai 99% (Veenstra, 2000). Dalam aplikasinya, terdapat beberapa kelebihan dan
kekurangan dari teknologi kolam stabilisasi dalam pengolahan air limbah. Berikut adalah
tabel kelebihan dan kekurangan dari kolam stabilisasi.
Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan kolam stabilisasi
Kelebihan
Kekurangan
Biaya investasi relatif rendah
Area yang dibutuhkan relatif luas
Mempunyai kemampuan untuk
Air hasil pengolahan memiliki
menghindari kelebihan pembebanan
kandungan alga yang tinggi
bahan
organic
Kebutuhan
energi relatif rendah
Adanya kehilangan air karena
penguapan
Pengoperasian dan pemeliharaan
Ada kemungkinan menjadi tempat
relatif mudah
berkembang biak nyamuk dan agen
penyakit lainnya
Lumpur (biomass) yang dihasilkan
dapat digunakan sebagai kompos
untuk keperluan pertanian
b. Kolam Aerasi
Menurut Metcalf dan Eddy (1991), kolam aerasi adalah suatu unit proses pengolahan air
limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme tersuspensi tanpa menggunakan resirkulasi
lumpur. Penambahan udara pada kolam oksidasi dilakukan dengan menggunakan aerator.
Kolam aerasi adalah cara pengolahan secara aerob, kolam ini dilengkapi dengan aerator baik
nerupa aerator mekanik maupun injeksi udara. Kolam aerasi merupakan modifikasi dari kolam
oksidasi. Kedalaman kolam aerasi adalah 1,5-5 meter dan kedalaman optimum adalah 3 meter,
pada kedalaman tersebut didasar kolam dapat terjadi proses anaerob, sehingga dibutuhkan
aerator untuk pemberian oksigen. Pengolahan dengan kolam aerasi akan menghasilkan
bisolid (endapan lumpur) (Fardiaz, 2008).
3. Rencana Tata Ruang Wilayah
Tata Ruang merupakan wujud dari pola ruang dan struktur ruang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. Pola ruang erat kaitannya
dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, serta
posisi/lokasi dan lain- lain. Istilah pola pemanfaatan ruang aspek distribusi menurut lokasi.
Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai
bentuk peta.
Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
terwujudnya alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbanganantar wilayah. Proses perencanaan
tata ruang sendiri dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan input, proses,
output. Input yang digunakan adalah keadaan fisik yang diproses dengan analisis secara
integral, baik kondisi saat ini maupun ke depan untuk masing-masing hirarki tata ruang
nasional, provinsi maupun kabupaten/kota sehingga menghasilkan output berupa Rencana Tata
Ruang yang menyeluruh, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW
Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Produk rencana tata ruang wilayah kota adalah tujuan
pemanfaatan ruang wilayah kota dan rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah
kota.
Gambar 1. RTRW dalam Perencanaan Pembangunan
PENDEKATAN
Pada kajian implikasi kebijakan tata ruang terhadap prasarana air limbah, dengan studi
kasus Denpasar Sewerage Development Project (DSDP) ini, dilakukan beberapa pendekatan.
Pendekatan dilakukan untuk memperdalam kajian dengan sudut pandang yang berbeda.
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan keruangan, pendekatan
ekologi, dan pendekatan teknologi.
1. Pendekatan Keruangan
Pendekatan keruangan didasarkan pada perbedaan lokasi dari sifat-sifat pentingnya seperti
perbedaan struktur, pola, dan proses. Struktur keruangan terkait dengan elemen pembentuk
ruang yang berupa kenampakan titik, garis, dan area. Sedangkan pola keruangan berkaitan
dengan lokasi distribusi ketiga elemen tersebut. Dalam pendekatan keruangan, yang perlu
diperhatikan adalah persebaran penggunaan ruang dan penyediaan ruang yang akan
dimanfaatkan. Pendekatan keruangan dapat ditinjau dari fenomena geografi suatu wilayah,
mata pencaharian atau aktivitas masyarakat, dan karakteristik regional. melalui pendekatan
keruangan akan dikaji kesesuaian pembangunan prasarana air limbah, yakni DSDP terhadap
RTRW Kota Denpasar. Selain itu terkait juga dengan implikasinya terhadap pemanfaatan
lahan untuk prasarana sanitasi lainnya di dalam wilayah Kota Denpasar.
2. Pendekatan Ekologi
Pendekatan ekologi dilakukan untuk mengkaji implikasi keberadaan DSDP terhadap
kondisi ekosistem lingkungan. Air limbah domestik yang dihasilkan oleh kegiatan masyarakat
ataupun kegiatan usaha mengandung bahan pencemar yang dapat mencemari lingkungan jika
tidak diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air. Dampak negatif yang ditimbulkan
diantaranya, pendangkalan saluran air/sungai akibat endapan, eutrofikasi akibat tingginya
konsentrasi nutrien, timbulnya bau tidak sedap, dan berpotensi menjadi sumber penyakit. Air
limbah domestik yang langsung dibuang di saluran air atau sungai akan bermuara ke laut,
sehingga berpotensi mengakibatkan pencemaran di muara sungai, pantai, dan laut. Di sisi lain,
pantai merupakan daya tarik wisatawan yang berkunjung ke bali, sehingga perlu dijaga
kebersihan dan kelestarian lingkungannya. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, maka
air limbah dapat diolah dengan berbagai alternatif pengolahan, salah satunya adalah IPAL
DSDP di Suwung Denpasar. Adanya DSDP tidak terlepas dari partisipasi masyarakat dalam
memanfaatkan fasilitas pengelolaan air limbah yang disediakan oleh pemerintah.
GAMBARAN UMUM DAN DATA WILAYAH STUDI
1. Profil Wilayah Kota Denpasar
Secara geografis, Kota Denpasar terletak antara 080 35’ 31” – 080 44’ 49” Lintang Selatan
dan 1150 10’ 23” – 1150 16’ 27” Bujur Timur. Luas wilayah Kota Denpasar adalah 12.778
hektar atau 2,18% dari luas wilayah Provinsi Bali. Batas wilayah Kota Denpasar adalah sebagai
berikut:
Sebelah utara
: Kabupaten Badung
Sebelah timur
: Kabupaten Gianyar
Sebelah selatan
: Samudera Hindia
Sebelah barat
: Kabupaten Badung
Secara administratif, wilayah Kota Denpasar terbagi ke dalam 4 wilayah kecamatan, 16
kelurahan, dan 27 desa, meliputi Kecamatan Denpasar Utara, Kecamatan Denpasar Timur,
Kecamatan Denpasar Selatan, dan Kecamatan Denpasar Barat. Berdasarkan data dari Kota
Denpasar dalam Angka 2015, jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun 2014 adalah
863.600 jiwa dengan kepadatan penduduk 6.759 jiwa per km 2. Luas wilayah setiap kecamatan
di Kota Denpasar disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Wilayah Kota Denpasar per Kecamatan
No
Kecamatan
Luas Wilayah (km2)
1
Denpasar Utara
31,42
2
Denpasar Selatan
49,99
3
Denpasar Timur
22,31
4
Denpasar Barat
24,06
Sumber: Kota Denpasar Dalam Angka, 2015
Sebesar 76,41% dari luas wilayah Kota Denpasar merupakan lahan bukan pertanian yang
digunakan untuk jalan, permukiman, perkantoran, dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan,
sebesar 23,59% merupakan lahan pertanian yang meliputi lahan sawah dan lahan bukan sawah.
Beberapa sungai yang melintasi wilayah Kota Denpasar, diantaranya Tukad Ayung, Tukad
Badung, Tukad Mati, Tukad Penggawa, dan Tukad Abianbase dengan total luas daerah yang
dialiri adalah 2.557 hektar. Dari segi topografi, keadaan medan Kota Denpasar secara umum
miring kea rah selatan dengan ketinggian berkisar antara 0-75 meter di atas permukaan laut.
Secara umum morfologi Kota Denpasar landai dengan kemiringan lahan mencapai 15%. Peta
wilayah Kota Denpasar disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta Wilayah Administrasi Kota Denpasar
2. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun
2011 – 2031. RTRW Kota Denpasar berpedoman pada RTRW Nasional dan RTRW Provinsi,
yang selanjutnya diintegrasikan dengan penetapan sistem perkotaan dan sistem prasarana
wilayah kota. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan struktur ruang
pada tingkat nasional, provinsi, dan kota. RTRW Kota Denpasar disusun berdasarkan prinsip
Tri Hita Karana, keterpaduan, keserasian, keberlanjutan, keterbukaan, kebersamaan, keadilan,
dan akuntabilitas. Penataan ruang Kota Denpasar bertujuan untuk mewujudkan ruang Kota
Denpasar yang produktif, aman, nyaman, dan berkelanjutan sebagai pusat kegiatan nasional
dalam sistem perkotaan, berbasis pariwisata dan ekonomi kreatif yang berjati diri budaya Bali.
RTRW Kota Denpasar merupakan pedoman dalam perencanaan pembangunan, seperti
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Berdasarkan RTRW Kota Denpasar, sistem dan fungsi
perwilayahan Kota Denpasar dilaksanakan melalui pembagian wilayah menjadi 5 (lima)
Bagian Wilayah Kota (BWK), yakni BWK Tengah, BWK Utara, BWK Timur, BWK Selatan,
dan BWK Barat.
Dalam sektor air limbah, RTRW Kota Denpasar telah mengatur tentang sistem pengelolaan
air limbah kota yang meliputi sistem pengelolaan air limbah terpusat (off site) skala kota dan
sistem pengelolaan air limbah setempat (on site) secara individual. Pengembangan sistem
pembuangan air limbah melalui perpipaan terpusat dilakukan melalui pendayagunaan dan
pemeliharaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Suwung di Denpasar Selatan. IPAL
tersebut melayani Kawasan Pusat Kota Denpasar, Denpasar Selatan, Kawasan Sanur, serta
Kawasan Kuta. Pada kawasan yang tidak terlayani jaringan air limbah perpipaan terpusat skala
kota, dikembangkan jaringan air limbah komunal setempat (on site) dalam bentuk program
Sanitasi Berbasis masyarakat (Sanimas) yang dikelola masyarakat atau kerjasama dengan
pihak lain.
Rencana pola ruang wilayah merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam
wilayah Kota Denpasar yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
fungsi budidaya. Ukuran atau luasan fungsi fungsi lindung dan fungsi budidaya ditentukan
berdasarkan kebutuhan ruang untuk berbagai kegiatan serta target proporsi pemanfaatan ruang
terbangun yang diharapkan. Berdasarkan misi penataan ruang Kota Denpasar yaitu untuk
mencapai kebutuhan ruang terbuka yang ingin dituju adalah 35% yang terdiri dari RTH Publik
dan RTH Privat, maka komposisi pemanfaatan uang harus dikelola sedemikian rupa untuk
dapat mewujudkannya. Rencana pola ruang wilayah Kota Denpasar merujuk pada rencana pola
ruang yang ditetapkan dalam RTRWN, RTRWP Bali, serta diserasikan dengan RTRW
Kabupaten yang berbatasan yang terdiri dari Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Peta
Rencana Struktur Ruang dan Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar dapat dilihat pada Gambar
3 dan Gambar 4.
Gambar 3. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Denpasar
Gambar 4. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar
3. Denpasar Sewerage Development Project (DSDP)
Denpasar Sewerage Development Project (DSDP) merupakan proyek pembangunan
jaringan limbah cair domestik yang melayani Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Perkembangan sektor pariwisata, khususnya di Kota Denpasar perlu selaraskan dengan
kegiatan pelestarian lingkungan, salah satunya pengelolaan air limbah domestik. Selain itu,
masyarakat di lingkungan permukiman juga turut serta menjadi sumber air limbah domestik
dari kegiatan penggunaan air sehari-hari. Oleh karena itu, pemerintah mendorong pemilik
usaha pariwisata atau akomodasi lainnya, dan juga masyarakat untuk memanfaatkan layanan
DSDP untuk menyalurkan air limbah domestik yang dihasilkan.
IPAL dan SPAL DSDP mulai dibangun pada tahun 2004 dan selesai pada tahun 2008.
Pembangunan DSDP terdiri dari dua bagian, yakni IPAL dan jaringan pipa (SPAL). IPAL
DSDP berlokadi di Suwung, Denpasar dengan kapasitas 51.000 m 3/hari. IPAL DSDP terdiri
dari dua tipe kolam, yakni kolam aerasi dan kolam sedimentasi. Sistem aerasi digunakan untuk
mengurangi kebutuhan lahan dan mengurangi bau. Sistem tersebut relative lebih sederhana
karena tidak perlu tenaga/operator IPAL dengan keahlian khusus untuk operational dan
pemeliharaan. Dari aspek pembiayaan, biaya investasi, operasional, dan pemeliharaan yang
diperlukan juga relatif rendah. IPAL DSDP menghasilkan kualitas efluen air limbah terolah
dengan BOD kurang dari 30 mg/liter, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penyiraman di
taman-taman kota ataupun dialirkan ke laut. Untuk mengatasi adanya rembesan air limbah
terhadap air tanah, pada kolam aerasi dilakukan pelapisan dengan geomembran dan geotekstil.
Lingkungan sekitar IPAL akan ditanami pohon dan dibangun taman. Jaringan pipa (SPAL)
untuk wilayah Kota Denpasar total panjang saluran adalah sekitar 90.000 meter dengan
diameter pipa 200 mm – 1200 mm. Pelayanan DSDP hingga saat ini telah memasuki tahap
kedua dari tiga tahap yang direncanakan. Cakupan pelayanan DSDP pada tahap I dan tahap II
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas Wilayah Kota Denpasar per Kecamatan
Lokasi
Denpasar
Sanur
Kawasan Kuta
Total
Area Pelayanan (Ha)
Penduduk Terlayani (Jiwa)
Tahap I
Tahap II
Tahap I
Tahap II
520
330
295
1.145
250
115
350
715
71.000
31.000
58.000
160.000
40.000
17.500
32.500
90.000
Gambar 5. Denpasar Sewerage Development Project
Gambar 6. Layout IPAL DSDP
Gambar 7. Skema Pengelolaan Air Limbah Terpusat DSDP
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Kesesuaian Lokasi DSDP dengan RTRW Kota Denpasar
Rencana struktur tata ruang wilayah Kota Denpasar diarahkan untuk meningkatkan
integrasi dan keterkaitan Kota Denpasar dengan wilayah yang lebih luas, yakni wilayah
nasional, wilayah provinsi dan kawasan Metropolitan Sarbagita. Kota Denpasar sebagai Kota
Inti dari Kawasan Metropolitan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan)
membutuhkan koordinasi dan integrasi pengembangan sistem prasarana kota, khususnya
dalam hal pembangunan sanitasi, yakni pengembangan sistem pengolahan air limbah. DSDP
adalah salah satu prasarana air limbah yang beroperasi di Wilayah Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung dan terletak di Suwung, Kecamatan Denpasar Selatan.
Pemerintah Kota Denpasar telah melaksanakan beberapa upaya peningkatan kualitas
lingkungan, khususnya pada sektor air limbah. Namun, masih banyak ditemukan di lapangan
pembangan air limbah secara sembarangan ke saluran drainase ataupun sungai. Berdasarkan
data dari Strategi Sanitasi Kota (SSK) Denpasar, limbah tinja dari masyarakat umumnya
dikelola secara onsite dengan menggunakan tanki septik. Prosentase penggunaan jamban
dengan tanki septik sebesar 56%, jamban dengan leaching pit 42%, dan 2% tidak memiliki
fasilitas jamban. Prosentase pembuangan air limbah domestik ke saluran drainase dan sungai
sebesar 62%, pembuangan melalui tanki septik/leaching pit sebesar 26%, dan sebesar 12%
dibuang ke lingkungan sekitar. Untuk pengolahan limbah secara terpusat (off site), DSDP
memiliki cakupan pelayanan untuk Kota Denpasar sebesar 30%.
Berdasarkan Perda No. 7 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar, peraturan zonazi
sistem pengelolaan air limbah kota terdiri atas:
1. Pembangunan unit pengolahan limbah berada di luar radius kawasan tempat suci
2. Pengembangan jaringan tidak melewati dan/atau memotong kawasan tempat suci/pura
3.
Pembuangan efluen air limbah ke media lingkungan hidup tidak melampaui standar
baku mutu air limbah
4.
Penataan lokasi, aktivitas dan teknik pengolahan pada Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL)
Menurut Samsuhadi (2012), terdapat beberapa faktor pertimbangan dalam menentukan
lokasi IPAL, salah satunya adalah tata guna lahan yang terdapat pada RTRW daerah setempat.
Rencana pembangunan IPAL harus dikoordinasikan dengan pemerintah setempat agar sesuai
dengan perencanaan tata ruang kota. Pemilihan lokasi IPAL pada wilayah yang memiliki tata
guna lahan sebagai lahan pertanian merupakan lokasi yang paling ideal. Perencanaan
pengembangan suatu kota cenderung memiliki prosentase yang lebih besar dalam hal
pengembangan permukiman daripada pengembangan pada sektor lain. Sehingga, untuk
efisiensi luas wilayah yang digunakan, lokasi IPAL lebih baik di daerah pengembanan wilayah
yang mempunyai prosentase pengembangan kecil, misalnya daerah lahan pertanian.
Selain IPAL, DSDP juga dilengkapi dengan sistem penyaluran air limbah (SPAL) yang
menyalurkan air limbah dari wilayah pelayanan. Berdasarkan petunjuk teknis tata cara
pengelolaan air limbah Cipta karya, prinsip penyaluran air limbah adalah sebagai berikut:
1. Disalurkan kedalam saluran tertutup, dan harus rapat air
2. Jalur salurannya disesuaikan sedemikian rupa, sehingga sedapat mungkin melalui
daerah pelayanan (service area) sebanyak-banyaknya, sehingga jalur seluruhnya
sambung- menyambung dari mulai saluran awal (lateral), menuju saluran cabangcabangnya yang kemudian menuju kedalam saluran-saluran induknya. Dari saluran–
saluran induk tersebut, air limbah dibuang ke pembuangan akhir yang aman dengan
atau diolah dalam bangunan pengolahan air limbah tertentu, dengan tingkat
pengolahan, sesuai dengan karakteristik air limbahnya, dan tempat pembuangan
akhirnya, sehingga badan air setelah bercampur dengan air limbah, memenuhi
persyaratan-persyaratan kaulitas tertentu.
3. Aliran air limbah harus mampu membawa kotoran-kotorannya (self clensing velocity)
dan tidak boleh merusak salurannya.
4. Kedalaman aliran air limbah harus mampu dipakai berenangnya benda-benda yang ada
di dalamnya dan juga tidak boleh penuh. Kecuali yang pengalirannya memerlukan
pemompaan.
5. Sedapat mungkin aliran air limbah dapat terus-menerus membawa benda-benda yang
terhenti atau mengendap di dalam jalur salurannya. Bila terjadi pembusukan di
dalamsaluran akan timbul gas yang berbahaya dan beracun
Dalam RTRW Kota Denpasar, lokasi IPAL DSDP terletak di BWK Selatan, Lingkungan
Selatan III, yakni Kelurahan Pedungan. IPAL tersebut melayani Kawasan Pusat Denpasar,
sebagian Kawasan Denpasar Selatan, Kawasan Sanur, serta sebagian Kawasan Kuta. Dilihat
dari peta RTRW Kota Denpasar, lokasi IPAL DSDP terletak berbatasan dengan kawasan
perdagangan dan jasa serta kawasan lindung, yaitu hutan mangrove. Meski demikian, efluen
yang dihasilkan tidak akan mencemari badan air di kawasan hutan mangrove karena kualitas
air limbah telah memenuhi baku mutu yang berlaku. Lokasi tersebut sesuai dengan ketentuan
dalam RTRW Kota Denpasar, yakni berada di luar kawasan tempat suci. Lokasi IPAL DSDP
yang dekat dengan kawasan hutan mangrove menunjukan bahwa lokasi IPAl berada pada
permukaan tanah yang rendah, sehingga penyaluran air limbah domestik dari kawasan
permukiman dan kawasan wisata dapat dilakukan secara gravitasi. Hal tersebut juga dapat
mencegah masuknya air limbah domestik yang tidak terolah ke badan air, yaitu pantai secara
langsung. Berikut adalah lokasi IPAL DSDP yang diambil dari citra satelit (Google Earth).
Kawasan
Permukiman
Kawasan Hutan
Mangrove
Kawasan
Pariwisata
IPAL DSDP
Kawasan
Suci
Gambar 8. Lokasi IPAL DSDP Dilihat dari Citra Satelit (Google Earth)
Gambar 9. Peta Pelayanan DSDP
Berdasarkan peta pelayanan penyaluran air limbah domestik DSDP, area pelayanan
meliputi kawasan permukiman serta kawasan pariwisata. Kawasan pariwisata meliputi area
Sanur, Seminyak, Legian, dan Kuta. Pada area tersebut, terdapat banyak fasilitas akomodasi
pariwisata berupa hotel, homestay, restoran, dan lainnya yang sangat berpotensi menghasilkan
air limbah domestik. Hingga saat ini, total cakupan pelayanan DSDP mencapai 250.000 jiwa
yang terbagi ke dalam 3 daerah pelayanan, yakni area Denpasar 44,4%, area Sanur 19,4%, dan
area Kuta 36,2%.
2. Implikasi DSDP Terhadap Ekosistem
Pengolahan air limbah terpusat DSDP memberikan banyak manfaat bagi masyarakat dan
lingkungan. Dengan adanya DSDP, msyarakat tidak perlu lagi menggunakan tanki septik di
rumahnya, begitu juga dengan pemilik usaha, seperti hotel dan fasilitas akomodasi pariwisata
lainnya, sehingga tidak perlu melakukan pengurasan tanki septik. Dengan demikian, resiko
pencemaran tanah dan air tanah dapat dihindari. Prasarana pengolahan air limbah terpusat akan
memberikan pelayanan yang lebih mudah dan nyaman bagi masyarakat dan pemilik usaha.
Selain itu, air limbah domestik yang biasanya dibuang ke sungai/drainase dapat diolah terlebih
dahulu pada IPAL terpusat sehingga efluen air limbah tidak mencemari ekosistem sungai dan
laut. Adanya sistem pengolahan terpusat juga dapat membantu dalam memantau kualitas
lingkungan secara berkala. Dari segi kesehatan, adanya pengolahan air limbah terpusat dapat
mengurangi resiko penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kondisi sanitasi yang buruk.
Berdasarkan hasil analisis EHRA dan studi dari SKPD terkait, beberapa permasalahan
dalam pengelolaan air limbah di Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
1. Belum adanya instansi tersendiri dalam pengelolaan air limbah secara onsite. Badan
Layanan Umum Pengelola Air Limbah (BLUPAL) yang telah dibentuk oleh
Pemerintah Provinsi Bali masih menangani pengelolaan air limbah domestik secara
offsite saja.
2. Pembiayaan untuk sektor air limbah masih sangat minim dibandingkan dengan sektor
lainnya
3. Kesadaran masyarakat Kota Denpasar belum menyeluruh dalam mengolah air limbah
sebelum dibuang ke badan air
4. Sarana pembuangan air limbah masih terbatas, sehingga pembuangan air limbah bekas
mandi, cuci dan dapur dilakukan secara langsung ke sungai, saluran drainase, atau
pantai.
5. Terjadinya pencemaran pada air permukaan dan air tanah akibat pembuangan air
limbah secara sembarangan
6. Belum semua rumah dapat dilayani DSDP karena faktor kondisi jalan lingkungan dan
topografi wilayah
Penyelenggaraan DSDP membutuhkan kerjasama antara pemerintah sebagai pengelola,
masyarakat dan pemilik usaha sebagai konsumen dalam mengoptimalkan pemanfaatan DSDP
sebagai prasarana pengolahan air limbah terpusat. Dalam upaya meningkatkan kesadaran
masyarakat dan pemilik usaha akan pentingnya melakukan pengolahan air limbah yang
dihasilkan, maka perlu dilakukan sosialisasi terkait DSDP dan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan. Dengan demikian, diharapakan setiap kegiatan yang menghasilkan air limbah baik
dari permukiman maupun kegiatan usaha, dapat diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke
badan air. Untuk mendukung eksistensi DSDP dalam hal pelayanan, BLUPAL merupakan
sebuah lembaga yang mengatur operasional dan pemeliharaan DSDP dan juga melayani
masyarakat atau pemilik usaha untuk membuat sambungan penyaluran air limbah.
IPAL DSDP memiliki dua kolam pengolahan air limbah yang beroperasi secara seri, yakni
kolam aerasi dan kolam sedimentasi. Kolam aerasi berupa kolam dengan kedalaman 4 meter
yang terdiri dari dua buah kolam dan dilengkapi dengan aerator sebanyak sebelas buah, yang
berfungsi sebagai pemasok udara (oksigen). Pengolahan yang dilakukan adalah pengolahan
biologis, sehingga membutuhkan oksigen untuk menunjang bakteri aerobik dalam
mendegradasi zat organik dalam air limbah. Di aerated lagoon, air limbah diaduk dengan
aerator untuk menyuplai oksigen untuk membantu bakteri-bakteri pengurai tetap hidup selama
kurang lebih 2 hari. Dalam sehari aerasi dilakukan dari jam 23.00 hingga 09.00 karena
penelitian-penelitian telah menemukan bahwa bakteri-bakteri tersebut pada malam hari lebih
membutuhkan oksigen (Biological Oxygen Demand/BOD), sehingga perlu dibantu dengan
aerasi. Kolam sedimentasi memiliki kedalaman 2,4 meter dan merupakan tempat proses
lanjutan dari air limbah yang telah memasuki kolam aerasi. Pada kolam aerasi, sampah padat
biasanya menepi ke pinggiran kolam karena pengaruh angin dan penetralisir limbah digunakan
bakteri. Air yang terdapat pada kolam tersebut memiliki kekeruhan dan kandungan lumpur
yang tinggi. Air dengan kandungan lumpur tersebut dialirkan ke kolam sedimentasi untuk
diendapkan sehingga lumpur-lumpur yang ada mengendap ke dasar kolam sedimentasi. Jika
lumpur telah mengendap, maka akan dilakukan pengerukan untuk mengambil endapan lumpur
tersebut. Proses di kolam sedimentasi ini memerlukan waktu ± 16 jam.
Untuk menjaga kualitas efluen air olahan agar tidak mencemari badan air, maka dilakukan
pengukuran beberapa parameter kualitas lingkungan seperti BOD, COD, pH, TSS, dan
kandungan nutrien. Standard baku mutu kualitas air limbah yang digunakan adalah Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 dan Surat Keputusan Gubernur Bali
Nomor 515 Tahun 2000 Tentang Baku Mutu Lingkungan Daerah Bali.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, diperoleh beberapa kesimpulan dari kajian
pembangunan sektor air limbah dalam kebijakan tata ruang, studi kasus DSDP Bali adalah
sebagai berikut:
1. Pembangunan DSDP di Provinsi Bali dalam pendekatan keruangan telah sesuai dengan
kriteria lokasi IPAL serta aspek tata ruang dan tata guna lahan yang berlaku. Lokasi
IPAL DSDP tidak berdekatan dengan kawasan suci namun berbatasan langsung dengan
kawasan hutan mangrove. Efluen air limbah tidak mencemari kawasan perairan di
hutan mangrove karena sudah sesuai dengan standard baku mutu kualitas air limbah
yang berlaku. Pelayanan DSDP mencakup kawasan permukiman dan kawasan
pariwisata. Dengan demikian, adanya DSDP dapat menjadi suatu upaya untuk
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dalam sektor permukiman dan
pariwisata.
2. Dalam rangka meningkatkan akses sanitasi, khususnya pengolahan air limbah, maka
diperlukan partisipasi masyarakat dan pemilik usaha pariwisata untuk memanfaatkan
prasarana air limbah, yakni DSDP, secara optimal. Hal tersebut juga merupakan suatu
upaya untuk menjaga kelestarian dan kesehatan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Buletin Cipta Karya. 2008. Departemen Pekerjaan Umum.
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. 2006. DSDP: Denpasar
Sewerage Development Project. PU. Jakarta
Petunjuk Teknis: Tata Cara Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Direktorat Jenderal
Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.
Muchsin dan Jaman, N. Metode Pelaksanaan Konstruksi Denpasar Sewerage
Development Project. ISBN No. 978-979-18342-0-9
Samsuhadi. 2012. Tata Cara pemilihan Lokasi IPLT dan IPAl dengan Menggunakan
Sistem Skor. Jurnal teknik Lingkungan. ISSN 1441-318X, Edisi Khusus hari
Lingkungan Hidup, Hal 157-168
Wulandari, P. R. 2014. Perencanaan Pengolahan Air Limbah Sistem Terpusat (Studi
Kasus Di Perumahan PT Pertamina Unit Pelayanan III Plaju – Sumatera
Selatan. Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Volume 2 Nomor 3 ISSN: 2355-374X
Badan Pusat Statistik Kota Denpasar. Kota Denpasar Dalam Angka 2015
Pokja Sanitasi Kota Denpasar. Strategi Sanitasi Kota Denpasar 2013
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031
Metcalf and Eddy. 1981. Wastewater Engineering: Treatment and Disposal. New York:
Mc.Graw Hill Inc.
Metcalf and Eddy. 1981. Collecting and Pumping of Wastewater. New York: Mc.Graw Hill
Inc.
Pena-Varon, M. and Mara, D., 2004. Waste Stabilization Ponds. IRC: Delft- The Netherlands.
Polprasert, C., Van der Steen, N.P., Veenstra, S., and Gijzen, H.J., 2001. Wastewater
Treatment II: Natural System for Wastewater Management. Delft:
International Institute for Infrastructure, Hydraulics and
Environmental
Engineering (IHE Delft).
Veenstra, S., 2000. Wastewater Treatment. Delft: Institute for Infrastructure, Hydraulics and
Environmental Engineering (IHE Delft)
DALAM PENDEKATAN KERUANGAN DAN EKOLOGI
Studi Kasus: Denpasar Sewerage Development Project (DSDP), Bali
MATA KULIAH
ANALISIS KEBIJAKAN SPASIAL
I MADE WAHYU WIJAYA
3315 202 006
PROGRAM STUDI
MAGISTER TEKNIK SANITASI LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2016
PENDAHULUAN
Berdasarkan data statistik wisatawan tahun 2014, kedatangan wisatawan mancanegara
ke Pulau Bali mengalami peningkatan yang cukup pesat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Peningkatan kunjungan terbesar wisatawan mancanegara ke Pulau Bali terjadi pada tahun
2014, yakni mencapai 14,89% dari tahun sebelumnya. Untuk menunjang sektor pariwisata,
Kota Denpasar memiliki 29 unit hotel berbintang dan 257 unit akomodasi lainnya. Kota
Denpasar merupakan destinasi wisata internasional yang memiliki beberapa objek wisata,
berupa pantai, lokasi peninggalan sejarah, pasar seni tradisional, dan taman kota. Sektor
pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan daerah, selain sektor pertanian dan jasa.
Seiring peningkatan jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara, maka
perlu diikuti dengan pemeliharaan lingkungan untuk menjaga kenyamanan wisatawan.
Berdasarkan hal tersebut, peningkatan kualitas lingkungan menjadi salah satu prioritas
pembangunan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Berdasarkan kondisi eksisting,
banyak terjadi pencemaran lingkungan terutama pada wilayah sungai, pantai, dan sumur
penduduk yang disebabkan oleh air limbah. Kegiatan penggunaan air oleh penduduk lokal
maupun wisatawan akan meningkatkan produksi air limbah yang umumnya dibuang secara
langsung ke saluran drainase ataupun sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Adanya
bahan pencemar yang terkandung dalam air limbah, seperti zat organik, nutrien, partikel padat,
atau senyawa berbahaya lainnya dapat mencemari ekosistem air. Air limbah yang dibuang ke
sungai atau saluran drainase akan terbawa ke laut dan berpotensi mencemari ekosistem laut.
Berdasarkan data dari Pokja Sanitasi Kota Denpasar (2013), sebesar 62% air limbah
domestik dibuang secara langsung oleh masyarakat ke saluran drainase, 26% ditampung di
dalam tanki septik, dan 12% dibuang ke halaman. Dalam penanganan air limbah dari industri
pariwisata, terdapat 35% hotel berbintang dan 10% hotel melati yang memiliki Sewerage
Treatment Plant (STP). Upaya yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Bali,
pemerintah Kota Denpasar, dan Pemerintah kabupaten Badung adalah menyediakan prasarana
dan sarana sanitasi, khususnya dalam pengelolaan air limbah, salah satunya adalah
pembangunan sistem pengolahan air limbah terpusat (off-site). Pembangunan tersebut dikenal
dengan Denpasar Sewerage Development Project (DSDP). Berdasarkan Perda Kota Denpasar
No. 27 Thn. 2011 tentang RTRW Kota Denpasar 2011-2031, sistem pengolahan air limbah
kota terdiri dari pengolahan air limbah terpusat (off site), yakni DSDP dan pengolahan air
limbah komunal (on site) melalui program sanimas. DSDP bertujuan untuk menghubungkan
semua rumah penduduk dan fasilitas pariwisata di Kota Denpasar dengan instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) melalui jaringan pipa air limbah. Adanya DSDP merupakan salah satu
upaya untuk mencapai sasaran MDGs, yakni peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi.
Pada kajian ini hanya dipusatkan pada sistem pengolahan air limbah secara terpusat (off site
system), yakni DSDP.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Air Limbah Domestik
Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan
permukiman (real estate), rumah makan (restaurant), perkantoran, perniagaan, apartemen dan
asrama (KepmenLH no 112/2003). Menurut Sugiharto (1987), air Limbah domestik adalah air
yang telah dipergunakan yang berasal dari rumah tangga atau pemukiman termasuk
didalamnya air buangan yang berasal dari WC, kamar mandi, tempat cuci, dan tempat
memasak.
Limbah merupakan buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki di ligkungan karena tidak mempunyai nilai ekonomi (Gintings, 2005). Pengertian
air limbah menurut Tchobanoglous dan Eliassen (1981), adalah gabungan cairan dan sampah
yang terbawa dari tempat tinggal, kantor, bangunan perdaganan, industri serta air tanah, air
permukaan, dan air hujan yang mungkin ada. Air limbah pada umumnya mengandung air,
bahan padat, dan mikroorganisme. Keberadaan mikroorganisme dalam kandungan air limbah
dapat membantu terjadinya proses pengolahan sendiri air limbah (self purification) Batasan
yang banyak dikemukakan mengenai air limbah umumnya meliputi komposisi serta sumber
darimana air limbah tersebut berasal. Misalnya air limbah rumah tangga, air limbah industri,
air limbah rumah sakit dan lain-lain. Setiap jenis air limbah memiliki karakteristik masingmasing. Sehingga dalam upaya pengolahannya, setiap jenis air limbah memerlukan perlakuan
yang berbeda.
Menurut Wilgoso (1979), air limbah merupakan air kotor yang membawa sampah dari
tempat tinggal bangunan perdagangan dan industry berupa campuran air dan bahan padat
terlarut dan bahan tersuspensi. Air limbah adalah air bekas yang berasal dari penyediaan air
bersih yang sudah dicemari berbagai macam penggunaannya (Salvato, 1982). Limbah cair
adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah
dipergunakan dengan hampir 0,1 % daripadanya berupa benda-benda padat yang terdiri dari
zat organic dan anorganik (Mahida, 1984).
Air limbah merupakan lingkungan yang baik bagi kehidupan berbagai mikroorganisme
termasuk bakteri pathogen sehingga dapat membawa penyakit pada manusia. Limbah cair
yang memiliki nilai BOD (biochemical oxygen demand) yang tinggi dan COD (chemical
oxygen demand) yang rendah tentunya akan memiliki kandungan organic yang tinggi sehingga
memudahkan bakteri-bakteri patogen untuk tumbuh. Apabila limbah cair yang memiliki nilai
BOD dan COD rendah tersebut dibuang ke lingkungan, maka tentunya akan memiliki
kandungan zat organik yang tinggi yang telah ditumbuhi oleh mikroorganisme pathogen
beserta hasil metabolism yang menimbulkan bau menyengat serta menyebabkan gangguan
pada kesehatan manusia maupun hewan yang ada disekitar perairan yang tercemar air limbah
(Soemirat, 1994). Limbah cair mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan manusia.
Bahan pencemar kimia tersebut dapat menimbulkan penyakit baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kandungan pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi adalah salah satu
parameter pencemaran oleh bahan kimia, yang apabila dibuang langsung ke lingkungan akan
menimbulkan penyakit, seperti dermatitis, iritasi, atau keracunan (Sastrodimedjo, 1985).
Menurut KepmenLH no 112/2003, air limbah memiliki karakteristik fisik (bau, warna,
padatan, suhu, kekeruhan), karakteristik kimia (organik, anorganik dan gas) dan karakteristik
biologis (mikroorganisme).
2. Sistem Pengolahan Air Limbah Terpusat
Pengolahan limbah adalah usaha untuk mengurangi atau menstabilkan zat-zat pencemar
sehingga saat dibuang tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan. Tujuan utama
pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi kandungan bahan pencemar terutama
senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba pathogen, dan senyawa organik yang tidak
dapat diuraikan oleh mikroorganisme alami. Tujuan lain pengolahan limbah cair adalah:
1. Mengurangi dan menghilangkan pengaruh buruk limbah cair bagi kesehatan manusia
dan lingkungan
2. Meningkatkan mutu lingkungan hidup melalui pengolahan, pembuangan dan atau
pemanfaatan limbah cair untuk kepentingan hidup manusia dan lingkungan
Proses pengolahan limbah terdiri dari dua jenis yaitu pengolahan limbah setempat (on site)
dan pengolahan limbah secara terpusat (off site). Menurut Ayi Fajarwati dalam Penyaluran Air
Buangan Domestik (2000), sistem sanitasi setempat (on site sanitation) adalah sistem
pembuangan air limbah dimana air limbah tidak dikumpulkan serta disalurkan ke dalam suatu
jaringan saluran yang akan membawanya ke suatu tempat pengolahan air buangan atau badan
air penerima, melainkan dibuang di tempat. Sedangkan sistem sanitasi terpusat (off site
sanitation) merupakan sistem pembuangan air buangan rumah tangga (mandi, cuci, dapur, dan
limbah kotoran) yang disalurkan keluar dari lokasi pekarangan masing-masing rumah ke
saluran pengumpul air buangan dan selanjutnya disalurkan secara terpusat ke bangunan
pengolahan air buangan sebelum dibuang ke badan perairan.
Proses pengolahan air limbah sistem terpusat umumnya dibagi menjadi empat tahapan, yaitu:
1. Pengolahan awal (pre treatment)
2. Pengolahan tahap pertama (primary treatment)
3. Pengolahan tahap kedua (secondary treatment)
4. Pengolahan tahap akhir (tertiary treatment)
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau Wastewater Treatment Plant (WWTP) adalah
sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air
sehingga memungkinkan air tersebut untuk dapat digunakan kembali pada aktivitas yang lain.
Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan pencemar di
dalam air terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba patogen, dan senyawa
organik yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat di alam. IPAL terdiri
dari unit-unit pengolahan yang saling berhubungan dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
air limbah.
a. Kolam Stabilisasi
Kolam stabilisasi didefinisikan sebagai kolam dangkal buatan manusia yang
menggunakan proses fisis dan biologis untuk mengurangi kandungan bahan pencemar yang
terdapat pada air limbah. Proses tersebut antara lain meliputi pengendapan partikel padat,
penguraian zat organik, pengurangan nutrien (P dan N) serta pengurangan organisme
patogenik seperti bakteri, telur cacing dan virus (Varon and Mara, 2004).
Menurut Metcalf dan Eddy (1991), kolam oksidasi atau istilah lainnya kolam stabilisasi
(stabilization pond) adalah kolam tanah yang relatif dangkal yang digunakan untuk
pengolahan air limbah.Kolam oksidasi ini cocok untuk pengolahan air limbah komunitas yang
kecil karena biaya pembangunan dan operasinya lebih rendah dibandingkan dengan
pengolahan biologis yang lain.
Kolam stabilisasi ini cukup banyak digunakan oleh negara-negara berkembang karena
biaya pembuatan dan pemeliharaannya murah serta lahan yang tersedia masih cukup banyak.
Menurut Venstra (2000), prinsip dasar dari kolam stabilisasi adalah sebagai berikut;
Menyeimbangkan dan menjaga fluktuasi beban organik dan beban hidrolis limbah air
Mengendapkan partikel padatan dari air limbah di kolam pertama.
Memanfaatkan proses fotosintesis yang dilakukan oleh algae sebagai sumber utama
oksigen.
Proses penguraian zat organik secara biologis yang dilakukan oleh mikroorganisme (baik
secara aerobik maupun anaerobik).
Pengurangan organisme patogenik melalui beberapa proses interaktif antara alga dan
bakteria.
Menurut Polprasert (2001), kolam stabilisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan pada
proses biologis yang utama pada kolam tersebut, pola pembebanan hidrolis atau tingkat
pengolahan
yang
diinginkan.
Berdasarkan pada hal tersebut, kolam stabilisasi dapat
digolongkankan menjadi: kolam anaerobik, kolam fakultatif dan kolam pematangan.
Kolam anaerobik (anaerobic ponds).
Kolam anaerobik didesain agar partikel padat yang dapat terurai secara biologis dapat
mengendap dan diuraikan melalui proses anaerobik. Kolam ini biasanya mempunyai
kedalaman 3 sampai 5 meter dengan masa tinggal hidrolis (hydraulic retention time) antara
1 sampai 20 hari.
Kolam fakultatif (facultative ponds).
Kolam fakultatif biasanya mempunyai kedalaman berkisar 1 sampai 2 meter dengan
proses penguraian secara aerobik dibagian atas dan penguraian secara anaerobik di lapisan
bawahnya. Jenis kolam ini mempunyai masa tinggal hidrolis antara 5 sampai 30 hari.
Penggunaan kolam fakultatif bertujuan untuk menyeimbangkan input oksigen dari proses
fotosintesis alga dengan pemakaian oksigen yang digunakan untuk penguraian zat organik.
Kolam pematangan (maturation ponds).
Kolam pematangan adalah kolam dangkal dengan kedalaman hanya 1 sampai 1,5 meter.
Hal ini ditujukan agar keseluruhan kolam tersebut dapat ditumbuhi oleh alga sehingga
oksigen yang dihasilkan selama proses fotosintesis dapat dipergunakan untuk proses
penguraian secara aerobik. Kolam ini digunakan untuk memperbaiki kualitas air yang
dihasilkan oleh pengolahan di kolamfakultatif dan untuk mengurangi jumlah organisme
patogenik
Selain cukup banyak digunakan di negara-negara tropis maupun sub-tropis, dikarenakan
oleh kehandalan dan efisiensinya, sistem ini juga digunakan dibeberapa negara maju seperti
Amerika Serikat dan Jerman. Kolam stabilisasi yang terdiri dari kolam anaerobik, fakultatif
dan pematangan mampu mengurangi kandungan BOD air limbah sampai dengan 90%,
sedangkan pengurangan bakteri coli (sebagai indikator adanya organisme patogen) dapat
mencapai 99% (Veenstra, 2000). Dalam aplikasinya, terdapat beberapa kelebihan dan
kekurangan dari teknologi kolam stabilisasi dalam pengolahan air limbah. Berikut adalah
tabel kelebihan dan kekurangan dari kolam stabilisasi.
Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan kolam stabilisasi
Kelebihan
Kekurangan
Biaya investasi relatif rendah
Area yang dibutuhkan relatif luas
Mempunyai kemampuan untuk
Air hasil pengolahan memiliki
menghindari kelebihan pembebanan
kandungan alga yang tinggi
bahan
organic
Kebutuhan
energi relatif rendah
Adanya kehilangan air karena
penguapan
Pengoperasian dan pemeliharaan
Ada kemungkinan menjadi tempat
relatif mudah
berkembang biak nyamuk dan agen
penyakit lainnya
Lumpur (biomass) yang dihasilkan
dapat digunakan sebagai kompos
untuk keperluan pertanian
b. Kolam Aerasi
Menurut Metcalf dan Eddy (1991), kolam aerasi adalah suatu unit proses pengolahan air
limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme tersuspensi tanpa menggunakan resirkulasi
lumpur. Penambahan udara pada kolam oksidasi dilakukan dengan menggunakan aerator.
Kolam aerasi adalah cara pengolahan secara aerob, kolam ini dilengkapi dengan aerator baik
nerupa aerator mekanik maupun injeksi udara. Kolam aerasi merupakan modifikasi dari kolam
oksidasi. Kedalaman kolam aerasi adalah 1,5-5 meter dan kedalaman optimum adalah 3 meter,
pada kedalaman tersebut didasar kolam dapat terjadi proses anaerob, sehingga dibutuhkan
aerator untuk pemberian oksigen. Pengolahan dengan kolam aerasi akan menghasilkan
bisolid (endapan lumpur) (Fardiaz, 2008).
3. Rencana Tata Ruang Wilayah
Tata Ruang merupakan wujud dari pola ruang dan struktur ruang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. Pola ruang erat kaitannya
dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, serta
posisi/lokasi dan lain- lain. Istilah pola pemanfaatan ruang aspek distribusi menurut lokasi.
Secara formal, ekspresi pola pemanfaatan ruang umumnya digambarkan dalam berbagai
bentuk peta.
Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
terwujudnya alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbanganantar wilayah. Proses perencanaan
tata ruang sendiri dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan input, proses,
output. Input yang digunakan adalah keadaan fisik yang diproses dengan analisis secara
integral, baik kondisi saat ini maupun ke depan untuk masing-masing hirarki tata ruang
nasional, provinsi maupun kabupaten/kota sehingga menghasilkan output berupa Rencana Tata
Ruang yang menyeluruh, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW
Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Produk rencana tata ruang wilayah kota adalah tujuan
pemanfaatan ruang wilayah kota dan rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah
kota.
Gambar 1. RTRW dalam Perencanaan Pembangunan
PENDEKATAN
Pada kajian implikasi kebijakan tata ruang terhadap prasarana air limbah, dengan studi
kasus Denpasar Sewerage Development Project (DSDP) ini, dilakukan beberapa pendekatan.
Pendekatan dilakukan untuk memperdalam kajian dengan sudut pandang yang berbeda.
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan keruangan, pendekatan
ekologi, dan pendekatan teknologi.
1. Pendekatan Keruangan
Pendekatan keruangan didasarkan pada perbedaan lokasi dari sifat-sifat pentingnya seperti
perbedaan struktur, pola, dan proses. Struktur keruangan terkait dengan elemen pembentuk
ruang yang berupa kenampakan titik, garis, dan area. Sedangkan pola keruangan berkaitan
dengan lokasi distribusi ketiga elemen tersebut. Dalam pendekatan keruangan, yang perlu
diperhatikan adalah persebaran penggunaan ruang dan penyediaan ruang yang akan
dimanfaatkan. Pendekatan keruangan dapat ditinjau dari fenomena geografi suatu wilayah,
mata pencaharian atau aktivitas masyarakat, dan karakteristik regional. melalui pendekatan
keruangan akan dikaji kesesuaian pembangunan prasarana air limbah, yakni DSDP terhadap
RTRW Kota Denpasar. Selain itu terkait juga dengan implikasinya terhadap pemanfaatan
lahan untuk prasarana sanitasi lainnya di dalam wilayah Kota Denpasar.
2. Pendekatan Ekologi
Pendekatan ekologi dilakukan untuk mengkaji implikasi keberadaan DSDP terhadap
kondisi ekosistem lingkungan. Air limbah domestik yang dihasilkan oleh kegiatan masyarakat
ataupun kegiatan usaha mengandung bahan pencemar yang dapat mencemari lingkungan jika
tidak diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air. Dampak negatif yang ditimbulkan
diantaranya, pendangkalan saluran air/sungai akibat endapan, eutrofikasi akibat tingginya
konsentrasi nutrien, timbulnya bau tidak sedap, dan berpotensi menjadi sumber penyakit. Air
limbah domestik yang langsung dibuang di saluran air atau sungai akan bermuara ke laut,
sehingga berpotensi mengakibatkan pencemaran di muara sungai, pantai, dan laut. Di sisi lain,
pantai merupakan daya tarik wisatawan yang berkunjung ke bali, sehingga perlu dijaga
kebersihan dan kelestarian lingkungannya. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, maka
air limbah dapat diolah dengan berbagai alternatif pengolahan, salah satunya adalah IPAL
DSDP di Suwung Denpasar. Adanya DSDP tidak terlepas dari partisipasi masyarakat dalam
memanfaatkan fasilitas pengelolaan air limbah yang disediakan oleh pemerintah.
GAMBARAN UMUM DAN DATA WILAYAH STUDI
1. Profil Wilayah Kota Denpasar
Secara geografis, Kota Denpasar terletak antara 080 35’ 31” – 080 44’ 49” Lintang Selatan
dan 1150 10’ 23” – 1150 16’ 27” Bujur Timur. Luas wilayah Kota Denpasar adalah 12.778
hektar atau 2,18% dari luas wilayah Provinsi Bali. Batas wilayah Kota Denpasar adalah sebagai
berikut:
Sebelah utara
: Kabupaten Badung
Sebelah timur
: Kabupaten Gianyar
Sebelah selatan
: Samudera Hindia
Sebelah barat
: Kabupaten Badung
Secara administratif, wilayah Kota Denpasar terbagi ke dalam 4 wilayah kecamatan, 16
kelurahan, dan 27 desa, meliputi Kecamatan Denpasar Utara, Kecamatan Denpasar Timur,
Kecamatan Denpasar Selatan, dan Kecamatan Denpasar Barat. Berdasarkan data dari Kota
Denpasar dalam Angka 2015, jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun 2014 adalah
863.600 jiwa dengan kepadatan penduduk 6.759 jiwa per km 2. Luas wilayah setiap kecamatan
di Kota Denpasar disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Wilayah Kota Denpasar per Kecamatan
No
Kecamatan
Luas Wilayah (km2)
1
Denpasar Utara
31,42
2
Denpasar Selatan
49,99
3
Denpasar Timur
22,31
4
Denpasar Barat
24,06
Sumber: Kota Denpasar Dalam Angka, 2015
Sebesar 76,41% dari luas wilayah Kota Denpasar merupakan lahan bukan pertanian yang
digunakan untuk jalan, permukiman, perkantoran, dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan,
sebesar 23,59% merupakan lahan pertanian yang meliputi lahan sawah dan lahan bukan sawah.
Beberapa sungai yang melintasi wilayah Kota Denpasar, diantaranya Tukad Ayung, Tukad
Badung, Tukad Mati, Tukad Penggawa, dan Tukad Abianbase dengan total luas daerah yang
dialiri adalah 2.557 hektar. Dari segi topografi, keadaan medan Kota Denpasar secara umum
miring kea rah selatan dengan ketinggian berkisar antara 0-75 meter di atas permukaan laut.
Secara umum morfologi Kota Denpasar landai dengan kemiringan lahan mencapai 15%. Peta
wilayah Kota Denpasar disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta Wilayah Administrasi Kota Denpasar
2. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun
2011 – 2031. RTRW Kota Denpasar berpedoman pada RTRW Nasional dan RTRW Provinsi,
yang selanjutnya diintegrasikan dengan penetapan sistem perkotaan dan sistem prasarana
wilayah kota. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan struktur ruang
pada tingkat nasional, provinsi, dan kota. RTRW Kota Denpasar disusun berdasarkan prinsip
Tri Hita Karana, keterpaduan, keserasian, keberlanjutan, keterbukaan, kebersamaan, keadilan,
dan akuntabilitas. Penataan ruang Kota Denpasar bertujuan untuk mewujudkan ruang Kota
Denpasar yang produktif, aman, nyaman, dan berkelanjutan sebagai pusat kegiatan nasional
dalam sistem perkotaan, berbasis pariwisata dan ekonomi kreatif yang berjati diri budaya Bali.
RTRW Kota Denpasar merupakan pedoman dalam perencanaan pembangunan, seperti
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Berdasarkan RTRW Kota Denpasar, sistem dan fungsi
perwilayahan Kota Denpasar dilaksanakan melalui pembagian wilayah menjadi 5 (lima)
Bagian Wilayah Kota (BWK), yakni BWK Tengah, BWK Utara, BWK Timur, BWK Selatan,
dan BWK Barat.
Dalam sektor air limbah, RTRW Kota Denpasar telah mengatur tentang sistem pengelolaan
air limbah kota yang meliputi sistem pengelolaan air limbah terpusat (off site) skala kota dan
sistem pengelolaan air limbah setempat (on site) secara individual. Pengembangan sistem
pembuangan air limbah melalui perpipaan terpusat dilakukan melalui pendayagunaan dan
pemeliharaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Suwung di Denpasar Selatan. IPAL
tersebut melayani Kawasan Pusat Kota Denpasar, Denpasar Selatan, Kawasan Sanur, serta
Kawasan Kuta. Pada kawasan yang tidak terlayani jaringan air limbah perpipaan terpusat skala
kota, dikembangkan jaringan air limbah komunal setempat (on site) dalam bentuk program
Sanitasi Berbasis masyarakat (Sanimas) yang dikelola masyarakat atau kerjasama dengan
pihak lain.
Rencana pola ruang wilayah merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam
wilayah Kota Denpasar yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
fungsi budidaya. Ukuran atau luasan fungsi fungsi lindung dan fungsi budidaya ditentukan
berdasarkan kebutuhan ruang untuk berbagai kegiatan serta target proporsi pemanfaatan ruang
terbangun yang diharapkan. Berdasarkan misi penataan ruang Kota Denpasar yaitu untuk
mencapai kebutuhan ruang terbuka yang ingin dituju adalah 35% yang terdiri dari RTH Publik
dan RTH Privat, maka komposisi pemanfaatan uang harus dikelola sedemikian rupa untuk
dapat mewujudkannya. Rencana pola ruang wilayah Kota Denpasar merujuk pada rencana pola
ruang yang ditetapkan dalam RTRWN, RTRWP Bali, serta diserasikan dengan RTRW
Kabupaten yang berbatasan yang terdiri dari Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Peta
Rencana Struktur Ruang dan Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar dapat dilihat pada Gambar
3 dan Gambar 4.
Gambar 3. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Denpasar
Gambar 4. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar
3. Denpasar Sewerage Development Project (DSDP)
Denpasar Sewerage Development Project (DSDP) merupakan proyek pembangunan
jaringan limbah cair domestik yang melayani Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Perkembangan sektor pariwisata, khususnya di Kota Denpasar perlu selaraskan dengan
kegiatan pelestarian lingkungan, salah satunya pengelolaan air limbah domestik. Selain itu,
masyarakat di lingkungan permukiman juga turut serta menjadi sumber air limbah domestik
dari kegiatan penggunaan air sehari-hari. Oleh karena itu, pemerintah mendorong pemilik
usaha pariwisata atau akomodasi lainnya, dan juga masyarakat untuk memanfaatkan layanan
DSDP untuk menyalurkan air limbah domestik yang dihasilkan.
IPAL dan SPAL DSDP mulai dibangun pada tahun 2004 dan selesai pada tahun 2008.
Pembangunan DSDP terdiri dari dua bagian, yakni IPAL dan jaringan pipa (SPAL). IPAL
DSDP berlokadi di Suwung, Denpasar dengan kapasitas 51.000 m 3/hari. IPAL DSDP terdiri
dari dua tipe kolam, yakni kolam aerasi dan kolam sedimentasi. Sistem aerasi digunakan untuk
mengurangi kebutuhan lahan dan mengurangi bau. Sistem tersebut relative lebih sederhana
karena tidak perlu tenaga/operator IPAL dengan keahlian khusus untuk operational dan
pemeliharaan. Dari aspek pembiayaan, biaya investasi, operasional, dan pemeliharaan yang
diperlukan juga relatif rendah. IPAL DSDP menghasilkan kualitas efluen air limbah terolah
dengan BOD kurang dari 30 mg/liter, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penyiraman di
taman-taman kota ataupun dialirkan ke laut. Untuk mengatasi adanya rembesan air limbah
terhadap air tanah, pada kolam aerasi dilakukan pelapisan dengan geomembran dan geotekstil.
Lingkungan sekitar IPAL akan ditanami pohon dan dibangun taman. Jaringan pipa (SPAL)
untuk wilayah Kota Denpasar total panjang saluran adalah sekitar 90.000 meter dengan
diameter pipa 200 mm – 1200 mm. Pelayanan DSDP hingga saat ini telah memasuki tahap
kedua dari tiga tahap yang direncanakan. Cakupan pelayanan DSDP pada tahap I dan tahap II
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas Wilayah Kota Denpasar per Kecamatan
Lokasi
Denpasar
Sanur
Kawasan Kuta
Total
Area Pelayanan (Ha)
Penduduk Terlayani (Jiwa)
Tahap I
Tahap II
Tahap I
Tahap II
520
330
295
1.145
250
115
350
715
71.000
31.000
58.000
160.000
40.000
17.500
32.500
90.000
Gambar 5. Denpasar Sewerage Development Project
Gambar 6. Layout IPAL DSDP
Gambar 7. Skema Pengelolaan Air Limbah Terpusat DSDP
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Kesesuaian Lokasi DSDP dengan RTRW Kota Denpasar
Rencana struktur tata ruang wilayah Kota Denpasar diarahkan untuk meningkatkan
integrasi dan keterkaitan Kota Denpasar dengan wilayah yang lebih luas, yakni wilayah
nasional, wilayah provinsi dan kawasan Metropolitan Sarbagita. Kota Denpasar sebagai Kota
Inti dari Kawasan Metropolitan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan)
membutuhkan koordinasi dan integrasi pengembangan sistem prasarana kota, khususnya
dalam hal pembangunan sanitasi, yakni pengembangan sistem pengolahan air limbah. DSDP
adalah salah satu prasarana air limbah yang beroperasi di Wilayah Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung dan terletak di Suwung, Kecamatan Denpasar Selatan.
Pemerintah Kota Denpasar telah melaksanakan beberapa upaya peningkatan kualitas
lingkungan, khususnya pada sektor air limbah. Namun, masih banyak ditemukan di lapangan
pembangan air limbah secara sembarangan ke saluran drainase ataupun sungai. Berdasarkan
data dari Strategi Sanitasi Kota (SSK) Denpasar, limbah tinja dari masyarakat umumnya
dikelola secara onsite dengan menggunakan tanki septik. Prosentase penggunaan jamban
dengan tanki septik sebesar 56%, jamban dengan leaching pit 42%, dan 2% tidak memiliki
fasilitas jamban. Prosentase pembuangan air limbah domestik ke saluran drainase dan sungai
sebesar 62%, pembuangan melalui tanki septik/leaching pit sebesar 26%, dan sebesar 12%
dibuang ke lingkungan sekitar. Untuk pengolahan limbah secara terpusat (off site), DSDP
memiliki cakupan pelayanan untuk Kota Denpasar sebesar 30%.
Berdasarkan Perda No. 7 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Denpasar, peraturan zonazi
sistem pengelolaan air limbah kota terdiri atas:
1. Pembangunan unit pengolahan limbah berada di luar radius kawasan tempat suci
2. Pengembangan jaringan tidak melewati dan/atau memotong kawasan tempat suci/pura
3.
Pembuangan efluen air limbah ke media lingkungan hidup tidak melampaui standar
baku mutu air limbah
4.
Penataan lokasi, aktivitas dan teknik pengolahan pada Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL)
Menurut Samsuhadi (2012), terdapat beberapa faktor pertimbangan dalam menentukan
lokasi IPAL, salah satunya adalah tata guna lahan yang terdapat pada RTRW daerah setempat.
Rencana pembangunan IPAL harus dikoordinasikan dengan pemerintah setempat agar sesuai
dengan perencanaan tata ruang kota. Pemilihan lokasi IPAL pada wilayah yang memiliki tata
guna lahan sebagai lahan pertanian merupakan lokasi yang paling ideal. Perencanaan
pengembangan suatu kota cenderung memiliki prosentase yang lebih besar dalam hal
pengembangan permukiman daripada pengembangan pada sektor lain. Sehingga, untuk
efisiensi luas wilayah yang digunakan, lokasi IPAL lebih baik di daerah pengembanan wilayah
yang mempunyai prosentase pengembangan kecil, misalnya daerah lahan pertanian.
Selain IPAL, DSDP juga dilengkapi dengan sistem penyaluran air limbah (SPAL) yang
menyalurkan air limbah dari wilayah pelayanan. Berdasarkan petunjuk teknis tata cara
pengelolaan air limbah Cipta karya, prinsip penyaluran air limbah adalah sebagai berikut:
1. Disalurkan kedalam saluran tertutup, dan harus rapat air
2. Jalur salurannya disesuaikan sedemikian rupa, sehingga sedapat mungkin melalui
daerah pelayanan (service area) sebanyak-banyaknya, sehingga jalur seluruhnya
sambung- menyambung dari mulai saluran awal (lateral), menuju saluran cabangcabangnya yang kemudian menuju kedalam saluran-saluran induknya. Dari saluran–
saluran induk tersebut, air limbah dibuang ke pembuangan akhir yang aman dengan
atau diolah dalam bangunan pengolahan air limbah tertentu, dengan tingkat
pengolahan, sesuai dengan karakteristik air limbahnya, dan tempat pembuangan
akhirnya, sehingga badan air setelah bercampur dengan air limbah, memenuhi
persyaratan-persyaratan kaulitas tertentu.
3. Aliran air limbah harus mampu membawa kotoran-kotorannya (self clensing velocity)
dan tidak boleh merusak salurannya.
4. Kedalaman aliran air limbah harus mampu dipakai berenangnya benda-benda yang ada
di dalamnya dan juga tidak boleh penuh. Kecuali yang pengalirannya memerlukan
pemompaan.
5. Sedapat mungkin aliran air limbah dapat terus-menerus membawa benda-benda yang
terhenti atau mengendap di dalam jalur salurannya. Bila terjadi pembusukan di
dalamsaluran akan timbul gas yang berbahaya dan beracun
Dalam RTRW Kota Denpasar, lokasi IPAL DSDP terletak di BWK Selatan, Lingkungan
Selatan III, yakni Kelurahan Pedungan. IPAL tersebut melayani Kawasan Pusat Denpasar,
sebagian Kawasan Denpasar Selatan, Kawasan Sanur, serta sebagian Kawasan Kuta. Dilihat
dari peta RTRW Kota Denpasar, lokasi IPAL DSDP terletak berbatasan dengan kawasan
perdagangan dan jasa serta kawasan lindung, yaitu hutan mangrove. Meski demikian, efluen
yang dihasilkan tidak akan mencemari badan air di kawasan hutan mangrove karena kualitas
air limbah telah memenuhi baku mutu yang berlaku. Lokasi tersebut sesuai dengan ketentuan
dalam RTRW Kota Denpasar, yakni berada di luar kawasan tempat suci. Lokasi IPAL DSDP
yang dekat dengan kawasan hutan mangrove menunjukan bahwa lokasi IPAl berada pada
permukaan tanah yang rendah, sehingga penyaluran air limbah domestik dari kawasan
permukiman dan kawasan wisata dapat dilakukan secara gravitasi. Hal tersebut juga dapat
mencegah masuknya air limbah domestik yang tidak terolah ke badan air, yaitu pantai secara
langsung. Berikut adalah lokasi IPAL DSDP yang diambil dari citra satelit (Google Earth).
Kawasan
Permukiman
Kawasan Hutan
Mangrove
Kawasan
Pariwisata
IPAL DSDP
Kawasan
Suci
Gambar 8. Lokasi IPAL DSDP Dilihat dari Citra Satelit (Google Earth)
Gambar 9. Peta Pelayanan DSDP
Berdasarkan peta pelayanan penyaluran air limbah domestik DSDP, area pelayanan
meliputi kawasan permukiman serta kawasan pariwisata. Kawasan pariwisata meliputi area
Sanur, Seminyak, Legian, dan Kuta. Pada area tersebut, terdapat banyak fasilitas akomodasi
pariwisata berupa hotel, homestay, restoran, dan lainnya yang sangat berpotensi menghasilkan
air limbah domestik. Hingga saat ini, total cakupan pelayanan DSDP mencapai 250.000 jiwa
yang terbagi ke dalam 3 daerah pelayanan, yakni area Denpasar 44,4%, area Sanur 19,4%, dan
area Kuta 36,2%.
2. Implikasi DSDP Terhadap Ekosistem
Pengolahan air limbah terpusat DSDP memberikan banyak manfaat bagi masyarakat dan
lingkungan. Dengan adanya DSDP, msyarakat tidak perlu lagi menggunakan tanki septik di
rumahnya, begitu juga dengan pemilik usaha, seperti hotel dan fasilitas akomodasi pariwisata
lainnya, sehingga tidak perlu melakukan pengurasan tanki septik. Dengan demikian, resiko
pencemaran tanah dan air tanah dapat dihindari. Prasarana pengolahan air limbah terpusat akan
memberikan pelayanan yang lebih mudah dan nyaman bagi masyarakat dan pemilik usaha.
Selain itu, air limbah domestik yang biasanya dibuang ke sungai/drainase dapat diolah terlebih
dahulu pada IPAL terpusat sehingga efluen air limbah tidak mencemari ekosistem sungai dan
laut. Adanya sistem pengolahan terpusat juga dapat membantu dalam memantau kualitas
lingkungan secara berkala. Dari segi kesehatan, adanya pengolahan air limbah terpusat dapat
mengurangi resiko penyebaran penyakit yang disebabkan oleh kondisi sanitasi yang buruk.
Berdasarkan hasil analisis EHRA dan studi dari SKPD terkait, beberapa permasalahan
dalam pengelolaan air limbah di Kota Denpasar adalah sebagai berikut:
1. Belum adanya instansi tersendiri dalam pengelolaan air limbah secara onsite. Badan
Layanan Umum Pengelola Air Limbah (BLUPAL) yang telah dibentuk oleh
Pemerintah Provinsi Bali masih menangani pengelolaan air limbah domestik secara
offsite saja.
2. Pembiayaan untuk sektor air limbah masih sangat minim dibandingkan dengan sektor
lainnya
3. Kesadaran masyarakat Kota Denpasar belum menyeluruh dalam mengolah air limbah
sebelum dibuang ke badan air
4. Sarana pembuangan air limbah masih terbatas, sehingga pembuangan air limbah bekas
mandi, cuci dan dapur dilakukan secara langsung ke sungai, saluran drainase, atau
pantai.
5. Terjadinya pencemaran pada air permukaan dan air tanah akibat pembuangan air
limbah secara sembarangan
6. Belum semua rumah dapat dilayani DSDP karena faktor kondisi jalan lingkungan dan
topografi wilayah
Penyelenggaraan DSDP membutuhkan kerjasama antara pemerintah sebagai pengelola,
masyarakat dan pemilik usaha sebagai konsumen dalam mengoptimalkan pemanfaatan DSDP
sebagai prasarana pengolahan air limbah terpusat. Dalam upaya meningkatkan kesadaran
masyarakat dan pemilik usaha akan pentingnya melakukan pengolahan air limbah yang
dihasilkan, maka perlu dilakukan sosialisasi terkait DSDP dan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan. Dengan demikian, diharapakan setiap kegiatan yang menghasilkan air limbah baik
dari permukiman maupun kegiatan usaha, dapat diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke
badan air. Untuk mendukung eksistensi DSDP dalam hal pelayanan, BLUPAL merupakan
sebuah lembaga yang mengatur operasional dan pemeliharaan DSDP dan juga melayani
masyarakat atau pemilik usaha untuk membuat sambungan penyaluran air limbah.
IPAL DSDP memiliki dua kolam pengolahan air limbah yang beroperasi secara seri, yakni
kolam aerasi dan kolam sedimentasi. Kolam aerasi berupa kolam dengan kedalaman 4 meter
yang terdiri dari dua buah kolam dan dilengkapi dengan aerator sebanyak sebelas buah, yang
berfungsi sebagai pemasok udara (oksigen). Pengolahan yang dilakukan adalah pengolahan
biologis, sehingga membutuhkan oksigen untuk menunjang bakteri aerobik dalam
mendegradasi zat organik dalam air limbah. Di aerated lagoon, air limbah diaduk dengan
aerator untuk menyuplai oksigen untuk membantu bakteri-bakteri pengurai tetap hidup selama
kurang lebih 2 hari. Dalam sehari aerasi dilakukan dari jam 23.00 hingga 09.00 karena
penelitian-penelitian telah menemukan bahwa bakteri-bakteri tersebut pada malam hari lebih
membutuhkan oksigen (Biological Oxygen Demand/BOD), sehingga perlu dibantu dengan
aerasi. Kolam sedimentasi memiliki kedalaman 2,4 meter dan merupakan tempat proses
lanjutan dari air limbah yang telah memasuki kolam aerasi. Pada kolam aerasi, sampah padat
biasanya menepi ke pinggiran kolam karena pengaruh angin dan penetralisir limbah digunakan
bakteri. Air yang terdapat pada kolam tersebut memiliki kekeruhan dan kandungan lumpur
yang tinggi. Air dengan kandungan lumpur tersebut dialirkan ke kolam sedimentasi untuk
diendapkan sehingga lumpur-lumpur yang ada mengendap ke dasar kolam sedimentasi. Jika
lumpur telah mengendap, maka akan dilakukan pengerukan untuk mengambil endapan lumpur
tersebut. Proses di kolam sedimentasi ini memerlukan waktu ± 16 jam.
Untuk menjaga kualitas efluen air olahan agar tidak mencemari badan air, maka dilakukan
pengukuran beberapa parameter kualitas lingkungan seperti BOD, COD, pH, TSS, dan
kandungan nutrien. Standard baku mutu kualitas air limbah yang digunakan adalah Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 dan Surat Keputusan Gubernur Bali
Nomor 515 Tahun 2000 Tentang Baku Mutu Lingkungan Daerah Bali.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, diperoleh beberapa kesimpulan dari kajian
pembangunan sektor air limbah dalam kebijakan tata ruang, studi kasus DSDP Bali adalah
sebagai berikut:
1. Pembangunan DSDP di Provinsi Bali dalam pendekatan keruangan telah sesuai dengan
kriteria lokasi IPAL serta aspek tata ruang dan tata guna lahan yang berlaku. Lokasi
IPAL DSDP tidak berdekatan dengan kawasan suci namun berbatasan langsung dengan
kawasan hutan mangrove. Efluen air limbah tidak mencemari kawasan perairan di
hutan mangrove karena sudah sesuai dengan standard baku mutu kualitas air limbah
yang berlaku. Pelayanan DSDP mencakup kawasan permukiman dan kawasan
pariwisata. Dengan demikian, adanya DSDP dapat menjadi suatu upaya untuk
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dalam sektor permukiman dan
pariwisata.
2. Dalam rangka meningkatkan akses sanitasi, khususnya pengolahan air limbah, maka
diperlukan partisipasi masyarakat dan pemilik usaha pariwisata untuk memanfaatkan
prasarana air limbah, yakni DSDP, secara optimal. Hal tersebut juga merupakan suatu
upaya untuk menjaga kelestarian dan kesehatan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Buletin Cipta Karya. 2008. Departemen Pekerjaan Umum.
Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. 2006. DSDP: Denpasar
Sewerage Development Project. PU. Jakarta
Petunjuk Teknis: Tata Cara Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Direktorat Jenderal
Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.
Muchsin dan Jaman, N. Metode Pelaksanaan Konstruksi Denpasar Sewerage
Development Project. ISBN No. 978-979-18342-0-9
Samsuhadi. 2012. Tata Cara pemilihan Lokasi IPLT dan IPAl dengan Menggunakan
Sistem Skor. Jurnal teknik Lingkungan. ISSN 1441-318X, Edisi Khusus hari
Lingkungan Hidup, Hal 157-168
Wulandari, P. R. 2014. Perencanaan Pengolahan Air Limbah Sistem Terpusat (Studi
Kasus Di Perumahan PT Pertamina Unit Pelayanan III Plaju – Sumatera
Selatan. Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan Volume 2 Nomor 3 ISSN: 2355-374X
Badan Pusat Statistik Kota Denpasar. Kota Denpasar Dalam Angka 2015
Pokja Sanitasi Kota Denpasar. Strategi Sanitasi Kota Denpasar 2013
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031
Metcalf and Eddy. 1981. Wastewater Engineering: Treatment and Disposal. New York:
Mc.Graw Hill Inc.
Metcalf and Eddy. 1981. Collecting and Pumping of Wastewater. New York: Mc.Graw Hill
Inc.
Pena-Varon, M. and Mara, D., 2004. Waste Stabilization Ponds. IRC: Delft- The Netherlands.
Polprasert, C., Van der Steen, N.P., Veenstra, S., and Gijzen, H.J., 2001. Wastewater
Treatment II: Natural System for Wastewater Management. Delft:
International Institute for Infrastructure, Hydraulics and
Environmental
Engineering (IHE Delft).
Veenstra, S., 2000. Wastewater Treatment. Delft: Institute for Infrastructure, Hydraulics and
Environmental Engineering (IHE Delft)