PERAN ASEAN DALAM MENCIPTAKAN RESOLUSI K

PERAN ASEAN DALAM MENCIPTAKAN RESOLUSI KONFLIK UNTUK
PERMASALAHAN INTERNAL ANGGOTA DAN KAWASAN DALAM
PERDAMAIAN DUNIA
EGI ERIFTI EVIANI
FANIA OKTASARI
Mahasiswa Hubungan Internsional
Universitas Resptati Yogyakarta
Abstract : Research published by some researcher indicated a significant security capability
growth of ASEAN member states. This capability will potentially increase ASEAN’s bargaining
position in ASEAN region. However, the key role of ASEAN in the region might not be
separated from ASEAN’s perfomance on handling existed security issues. Unfortunately, the
Security perfomance, which tends to grow, is not necessarily decreasing the risk of security in
the region of Asia. Therefore, to affirm ASEAN capability, the prioritization of security issues is
needed for then being solved comprehensively As a means of negotiation and generate
mutual decision together. the ASEAN Maritime Forum (AMF) is a conference venue/semina for
all members of ASEAN Member States (AMSS) to conduct dialogue on maritime issues which
give the concept of cooperation in the area of maritime waters to reduce crime and provide
solutions to the problems faced. The role of the AMF And the role of the ASEAN Maritime
Forum will provide useful results and ideas for tackling issues of maritime crime and security
in the waters of Southeast Asia. Also in the mechanisms of ASEAN Maritime Forum to date,
only a forum to facilitate dialogue on maritime issues. The last, ASEAN try to be actor for

solve all problems in Southeast Asia area. Although, it has kind of ways and strategics to
solve it.
Keyword : Security. Terorism, Maritime, Southeast Asia.

A. Pendahaluan
1. Latar Belakang Masalah
ASEAN dan Perdamaian Kawasan, organisasi regional Asia Tenggara yang didirikan
pada tanggal 8 Agustus 1967, kini menjadi sorotan masyarakat internasional. ASEAN akan
bertransformasi menjadi sebuah komunitas politik yang memiliki beberapa kemiripan dengan
model komunitas politik European Union.
Komunitas politik tersebut kiranya akan membawa dampak baik untuk kawasan Asia
Tenggara yang juga menginginkan kemajuan serta integrasi kawasan. Sepuluh negara
anggota ASEAN memimpikan kemajuan bersama, tidak ada yang berat sebelah atau hanya
satu negara yang maju sedangkan yang lainnya tertinggal.

Agustus nanti ASEAN akan menginjak usia yang ke-45. Hal tersebut adalah bukti
bahwa ASEAN telah lama berkarir di bidang politik internasional dimana peran ASEAN cukup
berpengaruh dalam proses perdamaian intra-kawasan dan penyelesaian konflik antar negara
anggota serta perannya yang cukup signifikan ketika cold war. Perdamaian yang ASEAN capai
kini adalah salah satu trigger untuk mendirikan political community. Asia Tenggara adalah

salah satu dari sekian banyak kawasan yang memiliki banyak konflik dan permasalahan,
kebanyakan konflik tersebut berupa konflik laten antar negara ataupun konflik internal di
dalam negara sendiri. Tanpa ASEAN sangat sulit untuk memadamkan api-api konflik di antara
negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini. Oleh karenanya dalam kesempatan ini, paper
ini akan membahas keberhasilan ASEAN dalam menciptakan resolusi konflik untuk
permasalahan-permasalahan internal dan kesulitan yang ASEAN hadapi dalam konflik-konflik
tersebut terutama menyangkut prinsip ASEAN: Non-Intervention.
Dalam proses pengintegrasian sebuah kawasan sangatlah penting membentuk
komunitas politik karena hal tersebut akan berpengaruh langsung pada identitas regional di
masyarakat internasional, seperti halnya European Union (EU), mereka adalah satu kesatuan
meskipun terdiri dari banyak aktor negara, individu manapun yang berasal dari salah satu
negara anggota EU akan dianggap sebagai bagian dari masyarakat Eropa oleh international
society yang cakupannya jauh lebih besar dari Eropa. Demikian pula dengan integrasi politik
yang akan terjadi ketika suatu kawasan telah menjadi komunitas politik, integrasi politik pada
suatu kawasan akan memicu terciptanya lembaga supranasional yang menyatukan
kedaulatan dari masing-masing negara anggota menjadi satu kedaulatan dalam sebuah
lembaga dalam pencapaian kepentingan bersama. Adapun fase spill-over akan terjadi pada 3
dimensi yaitu functional spill-over, political spill-over, dan geographical spill-over. Semuanya
kerap kali terjadi pada kawasan yang telah terintegrasi dan Eropa adalah masterpiece dari
teori ini.

Karena proses dalam setiap integrasi kawasan adalah proses yang konfliktual
tentunya kita juga harus memahami konsep perdamaian dan konflik serta realita yang terjadi
terutama pada kawasan yang menjadi sorotan dalam paper ini.
Perdamaian diidentifikasi menjadi dua yaitu positive peace dan negative peace.
Negative peace adalah kondisi dimana situasi perdamaian mengandung unsur konflik atau
suasana dimana rekonsialisasi pasca-konflik sehingga konten-konten konflik sebelumnya
masih sangat terasa dan sangat potensial menghasilkan konflik baru jika tidak ditangani
dengan tuntas. Sedangkan positive peace adalah kondisi perdamaian yang tidak mengandung
unsur konflik sama sekali sehingga kehidupan bernegara berjalan “lempeng” tanpa ada beban
dan hambatan yang mengganjal. Peace adalah pencapaian yang dapat ditempuh dengan 3
pendekatan yaitu strategic studies, security dan yang terakhir adalah conflict resolution.
Konflik identik dengan pertentangan dan perselisihan serta kekerasan. Konflik sendiri
berasal dari kata Latin konfigere yang berarti menyerang bersama-sama atau saling serang.

Situasi dan kondisi akan disinyalir berada dalam lingkup konflik ketika aktor yang terlibat
lebih dari satu, adanya tension “ketegangan”, hilangnya kepercayaan atau mistrust, adanya
keterlibatan emosi, putusnya komunikasi dan tujuan-tujuan yang bertentangan. Selain itu
konflik memiliki manfaat tersendiri seperti konflik dapat membantu pembentukan dan
perkembangan


sebuah

komunitas,

memperjelas

dan

menyeimbangkan

kepentingan-

kepentingan yang ada, juga membantu individu (aktor) memahami dan mengambil langkah
untuk persoalan-persoalan yang dihadapi dalam interaksi sosial. Menurut Coser, konflik
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari karena konflik sendiri adalah jelmaan atau hasil dari
interaksi antar manusia
2 . Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mengambil topik Kawasan (Regional)
dengan judul “PERAN ASEAN DALAM MENCAPAI MENCIPTAKAN RESOLUSI KONFLIK UNTUK


PERMASALAHAN INTERNAL ANGGOTA DAN KAWASAN DALAM PERDAMAIAN DUNIA ”. Fokus
dari penelitian ini adalah bagaimana peran ASEAN dalam menyelesaikan berbagai konflik
dengan anggota internal sendiri dan juga kawasan (Regional) lainnya. Adapun Batasan
masalah pada Penelitian ini adalah Anggota Internal dan Pengaruh bagian Kawasan-kawasan.
B. ISI
1. Peran ASEAN MARITIME FORUM (AMF) dalam keamanan perairan di Asia
Tenggara
Sejalan dengan perkembangan di bidang ekonomi dan teknologi informasi dan
komunikasi ancaman keamanan terhadap zona maritim Asia Tenggara akan terus ada. Zona
maritim Asia Tenggara adalah sebuah zona dimana kegiatan ekonomi serta kegiatan ilegal
seperti human trafficking dan pembajakan maritim saat ini menunjukkan peningkatan yang
signifikan. Dimana perairan di Asia Tenggara, merupakan sekitar sepertiga perdagangan
dunia dan setengah BBM dunia transit di Selat Malaka yang memainkan peran sangat sentral
dalam menghubungkan satu wilayah dengan bagian-bagian dunia lainnya. Dan tidak dapat
dipungkiri fakta bahwa globalisasi perekonomian saat ini saling terkait, rumit dan sangat
tergantung pada maritim perdagangan didalam mempertahankan pergerakan energi, bahan
baku dan barang jadi.
Seperti diketahui bahwa kawasan Asia Tenggara lebih dibatasi oleh wilayah perairan
dan batas negaranya pun masih saling tumpang tindih dengan negara lain. Ini menyebabkan
tidak adanya komunikasi yang intens terhadap permasalahan yang sebenarnya sudah tidak

lagi harus diselesaikan sendiri tetapi harus bersifat kebersamaan mengingat konteks ancaman
transnasional meluas tidak hanya akan merugikan sendiri tetapi juga dapat merugikan keNegara lain.

ASEAN harus mengantisipasi kemungkinan bahwa pembajakan bisa menjadilebih
ganas, sarana maritim semakin dimanfaatkan oleh penjahat dan teroris sehingga ancaman
terhadap

pengiriman

meningkat.

Dalam

konteks

tertentu,

prosedur

dan


tindakan

pencegahan, penangkalan, penolakan, deteksi, penampungan, atau respons akan berfungsi
untuk mengurangi ancaman keamanan pada tingkat yang memadai.
Daftar permasalahan yang umum terjadi terkait dengan masalah keamanan maritim dan
harus ditangani melalui kerjasama keamanan maritim ASEAN yang efektif seperti isu-isu
maritim yang berkaitan dengan kejahatan transnasional, seperti perdagangan manusia,
penyelundupan, illegal fishing, illegal logging, perampokan bersenjata dan pembajakan dan
lain-lainnya.
Kekhawatiran terbesar berasal dari trend perompakan (piracy) dan perampokan
bersenjata (armed robbery) yang cenderung naik antara 1999-2005. Selat Malaka telah
menjadi tempat perburunan para perompak sejak lama, namun seiring serangan teroris 9/11/
isu keamanan Selat menjadi lebih sensitive. Laporan IMO (International Maritime
Organisazation)

menunjukkan

bahwa


kejahatan

maritim

mencapai

keadaan

yang

membahayakan. Berdasarkan laporan tahunan IMB (International Maritime Bureau) 2004,
terdapat 330 kasus perompakan di dunia, dimana 169 diantaranya dilaporkan terjadi di Selata
Malaka dan 68 lainnya terjadi di perairan Indonesia. Terlihat pada tahun 2004 terjadi 10,
jumlah ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 25 kasus dan tahun 2008 melonjak menjadi
95 kasus. Pada tahun 2008 sudah 88 kapal diserang di kawasan tersebut dan sejauh ini 33
kapal dikuasai perompak
Disamping masalah perompakan, penyelundupan manusia melalui perairan kawasan
Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, juga cenderung meningkat. Australia yang berada di
bagian selatan kawasan Asia Tenggara, merupakan salah satu negara tujuan para imigran
gelap. Hal tersebut menjadikan perairan di kawasan Asia Tenggara, termasuk perairan

Indonesia, menjadi jalur laut menuju benua tersebut. Penyelundupan manusia tidak dapat
dipandang sebagai masalah yang sederhana. Upaya penanggulangannya melibatkan
beberapa negara dengan berbagai kepentingan yang berbeda, terutama keamanan,
kemanusiaan, ekonomi, dan politik. Kegiatan migrasi ilegal berskala besar kerap kali
dilakukan oleh organisasi yang memiliki jaringan internasional. Migrasi ilegal memberikan
dampak negatif terhadap negara tujuan dan negara transit sehingga sering menimbulkan
persoalan politik, sosial ekonomi, dan ketegangan hubungan antar Negara. Disamping migrasi
ilegal, kasus penyelundupan manusia, seperti penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan
bayi, atau wanita ke negara lain melalui wilayah perairan.
Selain itu penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut Indonesia terus meningkat,
dengan total kerugian yang dialami Indonesia sekitar US$ 2 milyar, atau sekitar Rp. 18

Trilyun per tahun. Dari kegiatan penyelundupan, Indonesia mengalami kerugian sekitar US$ 1
milyar per tahun. Eksploitasi pasir secara ilegal merugikan Indonesia lebih dari Rp. 2 Trilyun
setiap tahun. Sementara kegiatan pencurian kayu (illegal logging) merugikan negara sekitar
Rp 30 trilyun. Kondisi yang memprihatinkan tersebut menuntut upaya sistematis bangsa dan
pemerintah untuk menyelamatkan perairan Indonesia, maupun meningkatkan kemampuan
sumber daya untuk memanfaatkan laut Indonesia.
Pembentukan kesadaran saling percaya sangat dibutuhkan agar tidak ada kecurigaan
dalam kerjasama karena keamanan maritim di Asia Tenggara sangat rawan dan tinggi.

ASEAN sebagai komunitas regional yang menjadi wadah bagi setiap anggotanya menjadi
penting untuk meluaskan cakupan yang dapat mengkontrol keamanan wilayah maritim,
seperti contoh kerjasama keamanan di perbatasan, kerjasama, di wilayah perairan
international, kerjasama di jalur strategis perdagangan international.
Maritim merupakan jalur yang mempunyai prospek tinggi untuk meluaskan
kejahatan, yang bersifat lintas batas negara. Untuk mengatasi itu Asia Tenggara dengan
program ASEAN maritime forum lebih meningkatkan kerjasama pertahanan diwilayah laut
(www.deplu.go.id, diakses 23 Mei 2013). Dari pengertian non-traditional ancaman ini datang
dengan seiring perkembangan ekonomi, semakin meluasnya cakupan tingkat perekonomian
sebuah Negara maka keamanan akan bertambah pula, karena tidak hanya pada militer tetapi
meliputi ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan serta masalah HAM dan demokratisasi
(Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochamad Yani, 2006). Kerjasama kelautan yang
dimasukkan dalam visi AMF memberi tanggapan positif bagi anggota ASEAN terutama Negara
yang menggunakan jalur laut untuk kelangsungan kerjasama perekonomian khusunya
perdagangan international, seperti Singapore, Indonesia yang membutuhkan keamanan di
selat malaka untuk menghindari serangan pembajak ataupun teroris. Dalam hal ini semua
Negara wajib memberi dukungan untuk menciptakan keamanan dan stabilitas di wilayah
regional ASEAN. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap Negara mempunyai kepentingan
tersendiri dalam hal-ekonomi, politik dan kepentingan nasional mereka, tetapi untuk menjaga
stabilnya kawasan, peningkatan pertahanan wajib dibentuk bersama. karena menyangkut

kelancaran masing-masing kepentingan yang hendak dicapai, serta keuntungan (benefit)
yang didapat.
Pembentukan ASEAN Maritime Forum (AMF) adalah salah satu tindakan penting yang
harus dilakukan sesuai blueprint Komunitas Politik-Keamanan. Untuk itu ASEAN merumuskan
untuk membentuk sebuah komunitas yang menangani permasalahan keamanan terutama
keamanan maritime, yaitu terwujud dengan hadirnya ASEAN Maritime Forum (AMF)
(www.aseansec.org diakses 30 Maret 2013). Komunitas Keamanan ASEAN ini di maksudkan
untuk menciptakan perdamaian, Stabilitas kawasan demokrastis dan sejahtera untuk
mendukung keharmonisan hubungan satu sama lain. Maka dibentuk ASEAN Maritime Forum

(AMF) yang bertujuan sebagai komunikasi konflik di wilayah maritime dan penanggulangan
permasalahn keamanan wilayah maritime seperti terorisme, trafiking, drug, perdagangan
senjata dan perompakan.
Adapun tujuan spesifik AMF sebagai berikut:
a. Kerjasama maritim melalui dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu maritim yang
menjadi kepentingan dan perhatian bersama, sejalan dengan ketentuan Konvensi PBB tahun
1982 tentang Hukum Laut UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dan perjanjian
serta konvensi internasional yang relevan;
b. Mempromosikan dan mengembangkan pemahaman dan pandangan umum antara negaranegara Anggota ASEAN Member States (AMSs) mengenai isu-isu maritim regional dan global;
c. Berkontribusi pada upaya-upaya menuju Confidence Building Measures (CBM) dan
Preventive Diplomacy (PD);
d. Meningkatkan kemampuan negara Anggota untuk mengelola masalah maritim melalui
konsultasi tanpa mengganggu hak-hak, kedaulatan dan integritas teritorial
e. Melakukan penelitian kebijakan yang berorientasi pada masalah-masalah maritim regional
yang spesifik serta mempromosikan pembangunan kapasitas,meningkatkan pelatihan dan
kerjasama teknis keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan maritim;
f. Berkontribusi pada pembentukan Komunitas Politik-Keamanan ASEAN sebagaimana
dimaksud dalam Bali Concord II.
Prinsip AMF adalah berkontribusi pada diskusi tentang isu-isu yang berhubungan
dengan maritim yang dijalankan oleh badan-badan ASEAN yang ada tanpa duplikasi terhadap
mekanisme tersebut. Dalam hal ini, formulasi kebijakan dan keputusan pada semua
permasalahan yang berada dalam lingkup badan sektoral ASEAN yang sudah ada, akan tetap
berada di bawah badan sektoral masingmasing. ASEAN Menghormati prinsip-prinsip
kesetaraan kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan. Mengakui bahwa komunitas
dan organisasi internasional seperti International Maritime Organization (IMO) dan
negaranegara yang tergabung didalamnya, memiliki peran dalam menangani ancaman dan
tantangan maritim. Dalam hal ini ASEAN melakukan pendekatan yang terpadu dan
komprehensif mencakup semua tantangan dan ancaman maritim terkait.
Dengan penciptaan keamanan regional yang merupakan salah satu tujuan utama dari
ASEAN dalam menunjang interaksi kerjasama antar Negara di Asia Tenggara. tantangan
keamanan ASEAN memasuki abad 21 juga semakin kompleks. Definisi keamanan sendiri
mengalami perluasan yang bukan hanya menyangkut dimensi keamanan militer (tradisional),

tetapi juga menyangkut aspek-aspek non-militer (non-tradisional). Disamping itu, perubahan
kepemimpinan negara-negara ASEAN menjadi tantangan sendiri bagi ASEAN dimasa datang.
Selain itu ASEAN memiliki banyak permasalahan territorial yang secara luas mencakup
keamanan bersama, dari ancaman tradisional menuju nontradisional. Dengan berubahanya
pola ancaman keamanan Traditional ke nontraditional pasca perang dingin, memberi warna
baru terhadap perkembangan di kawasan Asia Tenggara, dimana lebih memprioritaskan
pembangunan ekonomi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Untuk itu ASEAN
membentuk sebuah komunitas yang menangani permasalahan keamanan terutama
keamanan maritim, yaitu terwujud dengan hadirnya ASEAN Maritime Forum (AMF).
2. ASEAN dalam melawan Terorisme
Sejak berdirinya ASEAN, organisasi ini telah memutuskan untuk bekerjasama secara
komprehensif di bidang keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam perkembangannya,
kerjasama ASEAN lebih banyak dilakukan di bidang ekonomi, sementara kerjasama di bidang
politik- keamanan masih belum maksimal akibat adanya persepsi ancaman yang berbedabeda dan penerapan prinsip- prinsip non- interference serta sovereign equality oleh negaranegara anggota ASEAN.
Komunitas Keamanan ASEAN merupakan sebuah pilar yang fundamental dari komitmen ASEAN
dalam mewujudkan Komunitas ASEAN. Pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN akan
memperkuat ketahanan kawasan dan mendukung penyelesaian konflik secara damai.
Terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan akan menjadi modal bagi proses
pembangunan ekonomi dan sosial budaya masyarakat ASEAN.
Komunitas Keamanan ASEAN menganut prinsip keamanan komprehensif yang
mengakui saling keterkaitan antar aspek-aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Komunitas Keamanan ASEAN memberikan mekanisme pencegahan dan penanganan konflik
secara damai. Hal ini dilakukan antara lain melalui konsultasi bersama untuk membahas
masalah- masalah politik-keamanan kawasan seperti keamanan maritim, perluasan kerjasama
pertahanan, serta masalah- masalah keamanan non- tradisional (kejahatan lintas negara,
kerusakan lingkungan hidup dan lain-lain). Dengan derajat kematangan yang ada, ASEAN
diharapkan tidak lagi menyembunyikan masalah-masalah dalam negeri yang berdampak pada
stabilitas kawasan dengan berlindung pada prinsip- prinsip non- interference.
Kerja sama ASEAN di bidang pemberantasan terorisme telah dilakukan sejak kurun
waktu yang lama.

Pertemuan KTT ASEAN ke-7 tahun 2001 di Brunei Darussalam telah

mengeluarkan ASEAN Declaration on Joint Action to Counter Terrorism. SelanjutnyaKTT ke-8
ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, November 2002 mengeluarkan Declaration on Terrorism.
Mekanisme utama kerja sama pemberantasan terorisme di ASEAN dilakukan melalui AMMTC

dan SOMTC, dimana Indonesia dipercaya menjadi lead shepherd di bidang counter terrorism
sekaligus menjadi ketua Working Group on Counter Terrorism (WG-CT).
Salah satu capaian kerja sama ASEAN dalam pemberantasan terorisme adalah ASEAN
Convention on Counter Terrorism (ACCT) yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Negara
Anggota ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN tanggal 13 Januari 2007 di Cebu, Filipina. Sejak 27
Mei 2011, ACCT berlaku setelah enam Negara Anggota ASEAN (Kamboja, Filipina, Singapura,
Thailand, Vietnam, dan Brunei) meratifikasinya. Indonesia meratifikasi ACCT melalui UU No. 5
tahun 2012 yang disahkan tanggal 9 April 2012. Pada tahun 2013, seluruh Negara ASEAN
telah meratifikasi ACCT yang ditandai dengan penyerahan instrumen ratifikasi oleh Laos dan
Malaysia pada Sekretariat ASEAN pada bulan Januari 2013.
ACCT disusun untuk memiliki nilai tambah dibandingkan dengan instrumen hukum
internasional serupa, dengan desain yang memiliki karakteristik regional yang kuat. Kerja
sama yang tertuang dalam konvensi tersebut bersifat komprehensif yang mencakup bidang
pencegahan, penindakan (law enforcement), pemberantasan, dan program rehabilitasi,
sebagai salah satu strategi dan pendekatan untuk mencegah terulangnya tindak kejahatan
terorisme serta pengungkapan jaringan terorisme. Konvensi ini memuat berbagai bentuk
kerja sama dalam bidang penanganan root causes terorisme termasuk kerja sama untuk
mendorong interfaith dialogues yang merupakan gagasan/pemikiran untuk Indonesia yang
telah dianut secara global.
Adapun pengalaman-pengalaman ASEAN dalam menghadapi Terorisme. Seperti
bagaimana ASEAN merespons masalah-masalah ISIS. Jika melihat konteks historisnya,
ancaman ekstrimisme dan radikalisme yang berujung pada aksi-aksi teror mulai mendapat
tanggapan besar dari ASEAN pasca peristiwa 11 September di Amerika Serikat (AS) dan bom
Bali 12 Oktober (Emmers 2003). Beberapa pengamat melihat Asia Tenggara sebagai ‘front
kedua’ dalam proyek global melawan terorisme yang diusung oleh Amerika Serikat (lihat
Choiruzzad, 2003; Gunaratna, 2002). Respons terhadap terorisme tersebut mencapai
puncaknya pada November 2001 saat para pemimpin ASEAN mendeklarasikan perang
terhadap terorisme.
Namun demikian, terlihat bahwa deklarasi tersebut tidak berasal dari konsensus
nyata di antara negara-negara anggota. Adanya kepentingan domestik yang berbeda-beda
antara Indonesia, Malaysia, Filipina dan Singapura

membuat pencapaian kesepakatan

regional dan perumusan langkah-langkah nyata tidak berjalan dengan baik (Emmers 2003).
Di sisi lain, dimensi politik domestik juga sangat kental dalam respons ini. Sebagai
contoh, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Presiden Filipina Gloria MacapagalArroyo dengan cepat mendukung perang Amerika melawan terorisme dan menggunakannya
untuk

keuntungan

politik.

Mahathir

mengambil

keuntungan

11

September

untuk

mendiskreditkan Partai Islam se-Malaysia dengan menggambarkannya sebagai partai militan
Islam. Arroyo yang menggambarkan Abu Sayyaf sebagai gerakan teroris internasional
bersedia menerima bantuan militer AS untuk menumpas anggotanya di Pulau Basilan.
Singapura, yang semenjak pasca perang dingin sudah menjadi bagian dari sekutu AS (Hafiz
ed. 2006), memberikan kontribusi langsung untuk mendukung proyek tersebut.
Sebaliknya, Presiden Indonesia saat itu Megawati Soekarnoputri menghadapi situasi
yang sulit. Indonesia bergantung pada organisasi-organisasi muslim moderat yang
menentang respon politik terhadap kelompok-kelompok teror yang diidentikkan dengan islam
tersebut. Tidak adanya langkah-langkah anti-teroris di Indonesia, seperti tidak melakukan
penangkapan terhadap pimpinan Jamaah Islamiyah (JI), menyebabkan Menteri Senior
Singapura Lee Kuan Yew meresponnya dalam bentuk pidato pada Februari 2002 (Emmers
2003). Yew menyatakan bahwa Singapura akan beresiko terkena serangan terorisme selama
pemimpin ekstremis itu tidak ditangkap. Hal ini tentu saja membawa sedikit ketegangan pada
hubungan kedua negara di kawasan.
Dengan demikian, terlihat bahwa sebagai sebuah entitas regional, pendekatan yang
digunakan oleh ASEAN masih bertmpu pada inisiatif negara-negara anggotanya. Hal ini dapat
dipahami, sebagaimana kritik dari beberapa analis, kelahiran ASEAN tidak dilatari oleh fondasi
institusional yang kokoh (tidak seperti Uni Eropa, misalnya), oleh karenanya stabilitas bukan
hal yang dapat dijelaskan secara objektif apakah mampu bertahan lama atau tidak (Kivimäki
2012). ASEAN juga dikritik punya kelemahan karena sebagai organisasi internasional memiliki
sumberdaya yang minim yang secara kelembagaan tidak efisien (Kivimäki 2001; (Jasudasen
2010).
Namun demikian ASEAN sebetulnya masih memiliki cita-cita regional dalam
memandang realitas masa depan. Oleh karena itu ASEAN masih harus terus mengembangkan
konstruksi sosial dalam masyarakat, pentingnya ASEAN dan kekuatannya di ranah global.
Sementara itu, dampak utama propaganda ISIS di Asia Tenggara diyakini menjadi
inspirasi bagi gerakan Islam ekstrimis secara langsung. Potensi ini mendatangkan ancaman
serta menyinggung masalah keamanan regional. Propaganda ISIS juga harus ditangani
dengan hati-hati dan efektif. Sebab, prioritas mereka untuk menghadirkan tenaga dan
sumberdaya militan mulai melirik ke daerah non-inti konflik, yakni kawasan ASEAN ini mulai
besar. Pengalaman kelompok militan dan ekstrimis di Indonesia, Malaysia, Filipina dan
Thailand menyimpan potensi besar guna memasok kebutuhan calon yang direkrut.
Aksi radikalisme dan teror dalam regional tentunya dapat mengganggu prospek
stabilitas ASEAN kedepannya. Namun, prospek tersebut tidak sebegitu mudah runtuh jika
norma-norma dalam ASEAN Way diresapi. Poin-poin dari ASEAN Way (Kivimäki 2012) yaitu,
(1) non-intervensi urusan dan penggunaan militer; (2) Berfokus pada hal-hal yang

menyatukan ketimbang memisahkan musuh potensial; (3) Prioritas pada pembangunan
(developmentalisme); (4) Praktek personalistik, berbasis konsensus, dan negosiasi yang
menjunjung martabat semua pihak, menyimpan potensi besar untuk mengoptimalisasi arah
kebijakan keamanan nantinya.
Respon ASEAN menanggapi aksi teror dan radikal ini seringkali hanya berupa
perangkat retoris belaka. Sejauh ini, negara-negara anggota ASEAN lebih banyak berfokus
pada tindakan-tindakan yang tidak mengikat, tidak spesifik, dan tanpa membangun
mekanisme monitoring kemajuan melawan tindakan-tindakan teror tersebut. Masyarakat
modern ASEAN perlu melepaskan diri dari kecenderungan untuk mengeluarkan statement
tanpa ada aksi afirmatif yang serius di tingkat regional.
Dengan mendefinisikan ulang ASEAN Way, norma ditingkat regional dalam
menghindari radikalisme mampu membangun semangat demokrasi dan ekonomi lebih baik.
Fokus pada isu-isu yang lebih dapat menyatukan semangat regional seperti kesamaan
menjaga budaya lokal, pertumbuhan menjadi negara yang modern, demokratis serta
developmentalis mampu membuat ASEAN bertaji dan menggalang kekuatan internalnya
memupus radikalisme sempit tersebut. ASEAN belum kehilangan kemampuan menghela
kasus-kasus tersebut. Hanya saja instrumen pendekatan kebijakan dan strategi penanganan
radikalisme perlu dikerucutkan: apakah sudah membawa semangat satu ASEAN atau masih
suka berjalan sendiri-sendiri? mari kita lihat dalam konstruksi regionalisme di masa depan.
Bagi kawasan Asia Tenggara kebijakan AS terhadap terorisme telah melahirkan
sebuah security complex yang semakin rumit. Mengingat dalam suasana dimana masalahmasalah keamanan yang sudah ada dikawasan belum menemukan bentuk penyelesaiannya,
ditambah lagi beban keamanan regional dengan munculnya ancaman terorisme. Oleh karena
itu negara-negara yang tergabung dalam ASEAN kedepan termasuk Indonesia akan
berhadapan dengan tantangan keamanan regional yang tidak ringan.
3. ASEAN dalam memecahkan konflik teritorial di bagian anggota Internal dan
Kawasan
Terlepas dari konflik internasional dan internal yang terjadi di kawasan Asia
Tenggara, merupakan tugas ASEAN untuk menjaga agar kawasan Asia Tenggara menjadi
kawasan yang kondusif untuk perdamaian dan bukan menjadi kawasan tempat perebutan
pengaruh ataupun tempat bersengketa mengenai apapun. Melalui pembentukan komunitas
politik, sekiranya dapat menekan potensi konflik-konflik lama terangkat kembali dan juga
mencegah munculnya konflik-konflik baru di masa depan. ASEAN ketika dipimpin oleh
Indonesia mendapat pujian dari Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Banga Ban Ki-moon
bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang konsisten dalam menjalankan perdamaian
dunia.[2]

Hal tersebut membuktikan bahwa keamanan dan perdamaian di kawasan Asia

Tenggara relatif stabil dan kondusif, meskipun potensi terjadinya konflik masih tetap ada.
Prinsip non-kekerasan dan non-intervensi ASEAN dinilai cukup berhasil, tapi tidak selamanya
hal tersebut relevan dalam menjaga perdamaian, banyak desakan untuk dihapuskannya
prinsip tersebut, agar ASEAN lebih realistis dalam menyelesaikan konflik dengan tindakan
langsung yang tepat sasaran
Sejak beberapa dekade terakhir, ASEAN terus mengintensifkan kerja sama melalui
berbagai mekanisme, inisiatif, dan instrumen hukum untuk mencegah dan memberantas
kejahatan lintas negara.

Badan pengambil kebijakan tertinggi dalam kerja sama ASEAN

dalam penanganan kejahatan lintas negara adalah ASEAN Ministerial Meeting on
Transnational

Crime

(AMMTC)

yang

diselenggarakan

dua

tahun

sekali.

AMTTC

mengkoordinasikan berbagai kerja sama badan-badan ASEAN yang terkait dengan
pemberantasan kejahatan lintas negara, seperti ASEAN Senior Officials on Drug Matters
(ASOD), ASEAN Chiefs of National Police (ASEANAPOL), ASEAN Directors-General of Customs,
dan ASEAN Directors-General of Immigration and Heads of Consular Division, Ministry of
Foreign Affairs (DGCIM). Untuk mengimplementasikan dan mengkoordinasikan kebijakan dan
rencana aksi yang ditetapkan oleh AMMTC, pertemuan tingkat pejabat tinggi (Senior Official
Meeting on Transnational Crime /SOMTC) diselenggarakan minimal satu kali dalam setahun.
Selain mekanisme AMMTC dan SOMTC, mekanisme lain yang berkaitan dengan
penanganan transnational crime adalah pertemuan ASEAN DGICM; ASEAN Senior Law
Officials Meeting/ASLOM; ASOD dan ASEAN-China Cooperative Operation in Response to
Dangerous Drugs (ACCORD). Selain itu terdapat juga mekanisme kawasan di luar struktur
ASEAN, yakni ASEANAPOL yang telah membuat system database terbatas (E-ADS).
Untuk mengefektifkan upaya pemberantasan kejahatan lintas negara, ASEAN telah
memiliki Rencana Aksi untuk Memberantas Kejahatan Lintas Negara

(Plan of Action to

Combat Transnational Crime) yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu strategi
kawasan yang terpadu untuk mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara, dengan
fokus pada delapan (8) bidang prioritas, yaitu: (1) counter terrorism, (2) illicit drugs
trafficking, (3) trafficking in persons, (4) money laundering, (5) arms smuggling, (6) sea
piracy, (7) international economic crime, dan (8) cybercrime.
Adapun salah satu permasalahan di ASEAN adalah mengenai laut tiongkok selatan.
Laut Tiongkok Selatan merupakan wilayah stategis yang berbatasan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan RRT. Di beberapa bagian
terjadi tumpang tindih yurisdiksi antara claimant states (Brunei Darussalam, Filipina,
Malaysia, Singapura, Vietnam, dan RRT) yang menjadikan potensi konflik di wilayah ini cukup
tinggi.

Dalam upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan, para
Menteri Luar Negeri negara anggota ASEAN mengeluarkan ASEAN Declaration on the South
China Sea yang ditandatangani di Manila tanggal 22 Juli 1992. Adapun prinsip-prinsip yang
dimuat dalam deklarasi ini, antara lain, menekankan perlunya penyelesaian sengketa secara
damai, dan mendorong dilakukannya eksplorasi kerja sama terkait dengan safety of maritime
navigation and communication; perlindungan atas lingkungan laut; koordinasi search and
rescue; upaya memerangi pembajakan di laut dan perampokan bersenjata serta perdagangan
gelap obat-obatan.
Sepuluh tahun kemudian, bersama RRT, ASEAN mengeluarkan Declaration on
Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) yang ditandatangani di Phnom Penh,
Kamboja, pada 4 November 2002. Deklarasi ini berisikan komitmen dari negara anggota
ASEAN dan Tiongkok untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati
freedom of navigation di Laut Tiongkok Selatan, menyelesaian sengketa secara damai, dan
menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi konflik. DOC menjadi pedoman
bertindak bagi negara anggota ASEAN dan RRT dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di
wilayah yang menjadi sengketa dengan semangat kerja sama dan saling percaya.
Pada tahun 2011, ASEAN dan RRT berhasil menyepakati Guidelines for the
Implementation of the DOC (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea).
Kesepakatan itu membuka kesempatan bagi upaya implementasi DOC melalui pelaksanaan
kegiatan atau proyek kerja sama antara ASEAN dan RRT di kawasan Laut Tiongkok Selatan
dan bagi dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan suatu regional Code of
Conduct in the South China Sea (CoC) yang akan berfungsi sebagai sebuah mekanisme
operasional pencegahan konflik (operational preventive measure) dan bertujuan untuk
mengatur tata perilaku negara secara efektif (effectively regulate the behaviour).
Kemudian pada bulan Juli 2012, ASEAN mengeluarkan dokumen ASEAN’s Six Points
Principles. Dokumen tersebut diharapkan dapat juga digunakan untuk pembahasan mengenai
isu Laut Tiongkok Selatan, khususnya untuk penyelesaian COC. Hingga tahun 2014, ASEAN
dan RRT terus melakukan konsultasi untuk penyelesaian COC.
C. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Komunitas ASEAN akan menjadi wadah yang baik untuk memulai perdamaian.
Dengan berlandaskan ASEAN Charter dan prinsipnya yang terkenal “ASEAN way”, ke
depannya diharapkan kemajuan dapat diraih bersama melalui komunitas ini.

Ada tiga variabel dalam makalah ini yang menjadi perhatian, yakni terorisme, Maritim
negeri dan konflik teritorial serta kondisi aktual negara-negara kawasan Asia Tenggara.
Terorisme secara de facto aktivitasnya telah terbukti merugikan banyak pihak.
Asia tenggara dipandang sebagai kawasan strategis dimana, Asia tenggara memiliki
jalur pelayaran perdagangan international yang memiliki nilai ekonomi lebih. Karena
banyaknya lalulintas pelayaran yang melewati jalur itu, menjadikan jalur ini rawan akan
kejahatan, seperti perompakan, penyelundupan senjata, drug, dan human trafiking
Dimana ASEAN Maritime Forum (AMF) dibentuk oleh ASEAN dalam rangka
mewujudkan satu Komunitas ASEAN melalui pilar Komunitas Politik Keamanan ASEAN.
Pembentukan AMF diharapkan sebagai batu loncatan untuk menuju ASEAN serta kawasan
Asia Tenggara yang lebih memperhatikan wilayah keamanan lautnya dan dengan adanya
AMF tersebut akan menciptakan keamanan yang stabil yang akan memperlancar kegiatan
perekonomian.
Organisasi kawasan ini benar-benar harus membenahi cara kerja mereka agar
menjadi komunitas yang sesungguhnya. Tujuan menstabilkan politik dan keamanan,
penguatan ekonomi bersama serta pelestarian budaya dan kehidupan sosial yang baik
sesama negara anggota harus direalisasikan dengan tindakan yang realistis. Mungkin bisa
dimulai dengan lebih sering mengadakan KTT yang tidak hanya satu kali satu tahun. Juga
dengan lebih memperhatikan sektor prosperity, karena dengan tingkat kesejahteraan yang
baik perdamaian dan kepedulian masyarakat akan mudah didapat.
Melalui peran AMF dapat mengatasi semua masalah yang berhubungan dengan
maritim melalui usaha bersama, semangat kesetaraan dan kemitraan dalam rangka
memperkuat landasan bagi terciptanya masyarakat yang makmur dan damai di kawasan Asia
Tenggara. Sehingga dapat terjalin pula kerjasama yang saling menguntungkan, termasuk di
sektor maritim, yang sangat penting bagi negaranegara anggota ASEAN untuk lebih
mempromosikan pembangunan kawasan yang stabil dan dinamis
Terkait dengan perdamaian kawasan, sudah tentu political-security community
ASEAN akan memberikan wadah yang baik untuk kelanjutan resolusi bagi konflik-konflik
masa kini dan masa yang akan datang. Hal tersebut juga tergantung bagaimana mekanisme
yang terjadi di ASEAN, apakah menjadi lebih baik atau sama dengan ASEAN yang lama, oleh
karena itulah menjadi the real community adalah prioritas utama. Perlu ditinjau kembali agar
ASEAN tidak hanya menjadi wadah, tapi adalah wadah dengan isi yang bermanfaat bagi
seluruh civitasnya. Sebagai contoh adalah geographical spill-over yang terjadi di kawasan
yang terintegrasi dapat mengentaskan masalah-masalah state boundaries yang khususnya
sering dipersoalkan di kawasan Asia Tenggara ini.

2. Saran
Adapun makalah ini msih banyak kekurangan, salah satu alasannya adalah
kekurangan dalam waktu meneliti dan kurangnya dalam pendanaan. Sehingga, penelitian ini
adaa kiranya lebih dilanjutkan kembali agar menghasilkan penelitian yang maksimal.
Kemudian, setidaknya paper ini sudah mewakili atau mengambarkan bebera peristiwa di
dalamnya.
Perlu ditingkatkannya kerjasama di ASEAN Maritime Forum yang tidak hanya sekedar
menjadi wadah untuk menfasilitasi dialog mengenai isu maritime, Pertukaran pandangan
melainkan adanya langkah-langkah dan “tindakan nyata” dalam menjalankan kerjasama
antara negara-negara ASEAN dalam upaya penanggulangi berbagai isu-isu pemasalahan yang
di hadapi kedepannya. Adanya kesadaran dan kebersamaan bagi Negara-negara ASEAN
dalam menumbuhkan untuk menjaga dan menciptakan kawasan yang bebas, damai dan
aman.

DAFTAR PUSTAKA
Saputra, S.P., 1985,Politik Luar Negeri RI, Bandung: CV. Remaja Karya.
Suherman, A.M. 2003.Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Djelantik, Sukawarsini, 1999, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional,
Bandung: Parahyangan Centre Study of International Studies.
T. May Rudy, 2005, Administrasi dan Organisasi Internasional, Refika Aditama, Bandung.
Perwita dan Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Rosda.
Kurnia Dewantara, 2012, Potensi Konflik Wilayah Perbatasan dan Solusinya, Pekanbaru.
Makmur Keliat, “Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya Bagi
Indonesia”, (Jakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2009) Vol 13 No 1. 7.
“Documents/ASP” terdapat di http://www.deplu.go.id/Documents/ASP/202010. pdf, diakses pada
tanggal 210 Oktober 2016.