MENAMBAH MUATAN SUBSTANTIF DALAM SISTEM

MENAMBAH MUATAN SUBSTANTIF DALAM SISTEM
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

oleh Erdi
Dosen pada FISIP UNTAN, MAP pada UPBJJ-UT,
dan IPDN Kampus Kalbar;

Makalah disampaikan dalam Diskusi Kebangsaan MPR-RI dan Universitas
Panca Bhakti yang bertema “Reformulasi Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional Model GBHN” diselenggarakan
pada Senin, tanggal 26 September 2016
di Universitas Panca Bhakti
Pontianak

UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016

Page | 0

MENAMBAH MUATAN SUBSTANTIF DALAM SISTEM

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL1
oleh Erdi2
Templete Semangat GBHN ke RPJMN
Dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah, yakni UU No. 22 tahun
1999 yang telah dua kali revisi, dan kini menjadi UU No. 23 tahun 2014; dan
sebagai konsekwensi dari UU Otda tersebut, lahirlah UU No. 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); dimana di
salah satu dasar pemikirannya adalah menghapus Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana
pembangunan Nasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya pedoman
baru bagi Presiden untuk menyusun rencana pembangunan nasional.
Saat ini, sistem perencanaan nasional dan juga daerah mengacu
pada UU No. 25 tahun 2004; dimana perencanaan pembangunan
dilakukan melalui empat (4) tahapan yang membentuk siklus
perencanaan secara utuh. Keempat tahapan itu adalah:
(1)
penyusunan rencana; yakni penyiapan rancangan rencana
pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur.
(2)
penetapan rencana; dimana masing-masing instansi pemerintah

menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman
pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan.
(3)
pengendalian pelaksanaan rencana; adalah upaya melibatkan
masyarakat
(stakeholders)
dan
menyelaraskan
rencana
pembangunan melalui musyawarah bagi pelaksanaan atas
perencanaan pembangunan.
(4)
evaluasi pelaksanaan rencana; yakni penyusunan rancangan akhir
rencana pembangunan dengan membuat penetapan rencana
menjadi produk hukum agar mengikat semua pihak untuk
melaksanakannya.

1

2


Makalah disampaikan dalam Diskusi Kebangsaan MPR-RI dan Universitas Panca
Bhakti yang bertema “Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Model GBHN” diselenggarakan pada hari Senin, tanggal 26 September 2016 di
Universitas Panca Bhakti Pontianak.
Erdi adalah Doktor Kebijakan Publik; Dosen pada FISIP UNTAN, MAP pada UPBJJUT, dan IPDN Kampus Kalbar; juga menjadi Instruktur pada Lembaga
Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas
Tanjungpura, Pontianak.

Page | 1

Dari kisah perencanaan di atas, tampaknya ada yang tak mampu
terkejarkan oleh satu periode pemerintahan yang menurut UU hanya
berdurasi 5 tahun dan paling lama 10 tahun (dua periode). Bahan
dimaksud adalah perencanaan mengenai arah pembangunan nasional
jangka panjang; yang kemudian disebut Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (untuk tingkat nasional) dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (untuk tingkat Provinsi dan
Kabupaten serta Kota). Ketika durasi pemerintahan hanya 10 tahun,
maka dikhawatirkan arah pembangunan jangka menengah dimaksud

terlewati atau keberadaannya hanya sekedar menggugurkan kewajiban
sehingga RPJP dimaksud dapat dipandang antara ada dan tiada.
Dulu --sebelum reformasi di negeri ini digulirkan-- pekerjaan
menyusun rencana pembangunan; baik pembangunan jangka pendek
5 tahunan yang dikenal dengan Repelita maupun rencana
pembangunan jangka panjang 25-30 tahunan digarap oleh MPR. Baik
RPJP maupun Repelita dan kesemuanya ditumpahkan ke dalam GBHN.
Kini, kedua perencanaan pembangunan dimaksud terpisah satu sama
lain karena keduanya ditetapkan melalui UU yang terpisah. Pemisahan
dimaksud dapat saja berujung pada ketidak-sinkronan atau tidak
nyambung diantara yang pendek dan yang panjang. Sementara model
GBHN yang menyatukan keduanya, kemungkinan tidak nyambung akan
kecil karena yang pendek (Repelita) disusun dari atau berdasarkan pada
RPJP dan hasil pencapaian pada periode sebelumnya.
Ketika kedua jenis perencanaan tersebut tidak atau belum dapat
dipersatukan, maka ketidak-singkronan antara perencanaan jangka
panjang dengan jangka menengah (lima tahunan) mungkin terjadi dan
ketika singkron dapat dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat kebetulan.
Jadi, system yang baik menurut penulis adalah model GBHN yang
mampu menumpahkan perencanaan jangka panjang dan menengah

ke dalam satu dokumen. Namun, tidak harus kembali ke model GBHN
dulu karena system ketata-negaraan di negara ini telah berubah.

Perubahan Substantif tentang Peran MPR Pasca Reformasi
Sistem politik Indonesia yang berlangung pasca-reformasi telah
mengalami banyak perubahan; satu diantaranya adalah perubahan
sistem kelembagaan Negara dari sistem MPR sebagai lembaga tertinggi
negara yang dulu berwenang menentukan arah pembangunan negara
melalui GBHN, kini menjadi lembaga yang sejajar dengan lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun lembaga ini dihuni oleh DPR-RI
dan DPD-RI (dulu: utusan daerah), tetapi kewenangannya diperkecil;
2|Page

yakni dikurangi satu dari tiga kewenangan sebelum reformasi; sehingga
tinggal dua yakni wewenang mengubah dan menetapkan UUD; dan
wewenang melantik dan memberhentikan Presiden hasil pilihan rakyat.
Satu wewenang MPR yang hilang tersebut adalah kewenangan
menentukan arah pembangunan nasional yang kini telah diserahkan
kepada Presiden sebagaimana amanat UU No. 25 tahun 2004 pasal 4
ayat 2. Sementara Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) tampaknya tidak tersentuh oleh pemerintah karena presiden
lebih fokus pada penyusunan, penetapan, pelaksanaan dan evaluasi
RPJMN yang telah dijanjikan ketika berstatus pasangan: calon presiden
dan calon wakil presiden. Ketika calon telah terpilih dan ditetapkan
menjadi presiden dan wakil presiden, maka visi-misi dimaksud diadopsi
menjadi RPJMN untuk masa lima tahun ke depan; sementara RPJP
berlaku untuk 25 tahun. Dengan durasi pemerintahan yang hanya 5 tahun
atau maksimal 10 tahun, maka RPJMN akan tak mampu menjangkau
RPJPN. Oleh karena itu, ketika perencanaan jangka panjang dan
menengah tidak dapat dipersatukan ke dalam satu dokumen model
GBHN dulu, maka tampaknya kewenangan MPR perlu ditambah dengan
menyusun RPJPN.
Saat ini memang sudah ada RPJPN yang berlaku 2005 sd 2025
sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007. Naskah setebal 78 halaman itu
terlalu mudah untuk diubah ketika rezim pemerintahan berganti baju dari
satu warna ke warna lain. Dengan menambah wewenang MPR dalam
menetapkan RPJPN, diharapkan perubahan dimaksud dapat dilakukan
pada hal-hal yang bersifat substantive dan sifatnya tidak mengarah
pada pertimbangan politis. Perlu diingat bahwa di dalam TAP MPR
tersebut mesti dicantumkan dalam salah satu pasal bahwa pelaksanaan

dari ketetapan majelis ini dilakukan oleh Presiden dengan pengawalan
oleh DPR. Jika tidak, maka TAP MPR akan hanya menjadi TAP yang tidak
bergigi.
Mari kita lihat TAP MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia
Masa Depan. Selain tidak semua orang Indonesia dapat mengenal dan
mengetahui TAP MPR ini, juga dianggap sebagai TAP yang tak bergigi.
Lihat Bab V Kaidah Pelaksanaan pada TAP tersebut, disana disebutkan
bahwa menugaskan kepada semua penyelenggara negara (pasal 1)
untuk menggunakan Visi Indonesia 2020 sebagai pedoman dalam
menyusun dan merumuskan arah kebijakan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Selain itu, TAP MPR ini juga tidak memiliki mekanisme
evaluasi pelaksanaan sehingga berkesan hanya bersifat himbauan;
bukan sebuah desakan atau keharusan yang mesti ditunaikan.
Page | 3

Ketika TAP MPR ditetapkan seperti GBHN, maka dapat
menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan itu
tidak mungkin dilakukan karena selain harus merevisi UU MD3; juga
tampaknya DPR-RI tidak siap untuk kehilangan kekuatan dalam
mengontrol jalannya pemerintahan oleh Presiden/Wakil Presiden. Namun,

dalam kontek ini, MPR cukup menetapkan RPJP itu dan menugaskan
Presiden untuk melaksanakannya dengan dipandu oleh DPR-RI. Pada
masa Orde Baru, GBHN merupakan pedoman bagi Presiden dalam
menjalankan roda pemerintahan. Jika Presiden tidak melaksanakan atau
tidak mengikuti atau melanggar ketentuan sebagaimana termaktub
dalam GBHN, maka MPR dapat memberhentikan Presiden di tengah
jalan setelah membeberkan daftar kesalahan presiden berdasarkan
kacamata GBHN. Oleh karena itu, GBHN versi kini adalah RPJPN yang
dibuat bukan untuk menekan Presiden tetapi mengarahkan dan
menegaskan arah pembangunan secara umum; meskipun RPJPN ini
diserahkan kepada presiden dengan pengawalan oleh DPR-RI.

Substansi Dari Perencanaan Pembangunan Nasional
GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara
yang dinyatakan secara garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak
rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh MPR untuk
jangka waktu 5 tahun. Hal-hal yang tertulis dalam GBHN adalah sebuah
wacana tentang haluan pembangunan negara Republik Indonesia yang
dibuat oleh MPR untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh
Presiden. Isi wacana yang sudah tersemat di dalam GBHN tidak

diperbolehksn bersimpangan atau bertentangan dan berbeda tujuan
dengan UUD 1945. Secara ekplisit, GBHN tempo dulu memiliki 10 fungsi,
yakni:
1.
Sebagai visi dan misi rakyat indonesia yang ditujukan untuk rencana
pembangunan nasional dimana proses pembangunan yang akan
dijalankan harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat
secara merata adil dan makmur.
2.
Sebagai tata cara, perilaku, cara bertindak dan cara pemersatu di
dalam pembangunan nasional tanpa lagi melihat perbedaan suku,
agama dan ras.
3.
Sebagai landasan untuk menentukan arah, tujuan dan sasaran yaitu
mewujudkan Masyarakat Indonesia yang lebih demokratif, saling
melindungi dan membela hak asasi manusia selama tidak
merugikan pihak lain, berkeadilan sosial, menjalankan serta
menegakkan supremasi hukum di dalam kehidupan bermasyarakat,

4|Page


berakhlak baik, santun, berbudaya dalam kurun waktu lima tahun ke
depan dan lima tahun selanjutnya.
4.
Sebagai arah dan pondasi kuat serta strategi pembangunan
nasional untuk menjadikan masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang makmur, bersatu dan saaling gotong-royong demi
terwujudnya cita-cita yang berdasarkan Pancasila.
5.
Pembanguanan nasional yang dilaksanakan hanya semata mata
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Pelaaksanaannya mencakup beberapa aspek penting yaitu aspek
kehidupan berbangsa, politik, sosial budaya, pertahaanan
keamanan
dan
ekonomi,
dimana
dilakuakan
dengan
memperkuata manfaat dari sumber daya manusia, sumber daya

alam dan memperkuat ketajhanan nasional secara merata.
6.
Pembangunan yang dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan
lahir batin masyarakat Indonesia, mencapai kemajuan di segala
bidang yang saling menguntungkan, terciptanya rasa aman,
keadilan, saling mengharahgai, saling menyayangi, sama-sama
menciptakan lingkungan yang tentram dan menjamin rakyatnya
untuk mengeluarkan pendapat.
7.
Sebagai pemersatu antara pemerintah dan masyarakat, agar
terwujud saling mendukung, saling bekerja-sama, saling
melengkapai dan saling bersatu di dalam satu tujuan demi
terwujudnya pembangunan nasional yang adil dan makmur.
8.
Sebagai penguat tegaknya kedaulataan masyarakat Indonesia di
segala bidang dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
9.
Sebagai pedoman untuk mewujudkan pengamalan, pelaksanaan
dan pendukungan penuh terhadap ajaran agama dalam
kehidupan bermasyarakat; agar tercipta rasa iman dan takwa
kepada Tuhan yang Maha Esa demi persatuan seluruh Indonesia
yang hidup saling bertoleransi, rukun, damai dan sejahtera seperti
pada fungsi Pancasila.
10. Sebagai perisai untuk menghadang segala pengaruh globalisasi3
yang masuk ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
yang diharapkan masyarakat mampu hidup dengan cara bersosial
budaya yang memakai kepribadian yang kreatif, berfikiran positif ke

3

Kalau saat ini, tidak mungkin pemerintah mampu menahan arus globalisasi untuk
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Globalisasi mesti diberi jalan karena
menurut Anthony Giddens (1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration; Polity Press); ia bagaikan tank besar yang akan menghancurkan
semua yang berada di hadapannya. Oleh karena itu, globalisasi pasti memberi
dampak sebagai konsekwensi dari modernity (1990. The Consequences of
Modernity. Polity Press). Oleh karena itu, dalam kerangka menghadapi globalisasi
ini, sosiolog Selo Sumarjan (2000. Menuju Tata Indonesia Baru. Gramedia, Jakarta)
berpesan kepada anak bangsa agar membangun kepribadian dan kepercayaan
melalui penguasaan satu bidang ilmu pengetahuan secara mendalam dan
professional agar anak bangsa tidak meninggalkan ciri sebagai bangsa Indonesia.

Page | 5

depan, dinamis dan dapat menimbang manfaat serta kerugian dari
masuknya pengaruh dari luar.
Sebagai ganti GBHN, kini hadir Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP), yakni penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan
Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan
arah pembangunan Nasional. Jadi, GBHN sekarang berubah nama
menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
selama 20 tahun sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, sebagai amanat dari
Pasal 13 ayat (1) UU No. 25/2004 tentang SPPN. RPJPN ini menjadi rujukan
pembangunan lima tahunan yang disebut RPJMN. Dengan demikian,
RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang
penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat
strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program kementerian
dan lembaga serta lintas kementerian dan lembaga, kewilayahan dan
lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup
gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan
fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif (UU No. 25/2004 pasal 4 ayat 2).
Secara substantive, RPJMN berisi gabungan antara RPJPN dan
Visi-misi Capres/Cawapres agar dapat dipersatukan ke dalam satu buku
seperti model GBHN dulu. Selain itu, hal terpenting dari muatan RPJMN
adalah (1) terlibatnya DPD-RI dalam penyusunan RPJMN; (2) RPJMN
diturunkan dari RPJPN sebagai konsekwensi dari implementasi UU No.
17/2007; (3) substansi muatan RPJMN adalah bukan hanya visi misi
pasangan calon presiden/wakil presiden terpilih, tetapi juga kehendak
seluruh rakyat Indonesia yang harus mampu diserap oleh pemerintah;
dan (4) mengakumulasi, mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan
rakyat, bangsa dan negara melalui berbagai saluran dan mekanisme
yang telah baku; diantaranya adalah melalui perlembagaan partai
politik dan utusan daerah; serta (5) adanya tenggat waktu yang cukup
bagi Presiden untuk menyusun RPJMN secara lengkap dan menyeluruh
dengan memperhatikan kaidah 1 sd 4 di atas.

Sinkronisasi Perencanaan Pembangunan Pusat dan Daerah
Hingga saat ini, posisi daerah tetaplah underbouw pusat sehingga
pusat adalah pengendali secara politik dan keuangan bagi daerah.
Ketika daerah tidak “mau” mendengar pusat, maka posisi daerah akan
menjadi terjepit. Baru-baru ini daerah dihebohkan oleh keputusan pusat
6|Page

mengenai penundaan penyaluran sebagian dana alokasi umum tahun
anggaran 2016 sebagaimana tertuang dalam Permenkeu No.
125/PMK.07/2016 tanggal 16 Agustus 2016. Melalui Permenkeu tersebut,
Kalbar kebagian penundaan sebesar Rp 551.780.890.908 seperti tertera
pada Tabel 1. Seluruh daerah di Indonesia yang mengalami penundaan
adalah sebanyak 169 daerah dan di Kalbar terjadi pada Provinsi dan tiga
kabupaten dengan jumlah yang tidak sama.
Tabel 1
Penundaan Pencairan DAU di Kalbar Periode September sd
Desember Berdasar Permenkeu No. 125/PMK.07/2016
Daerah
Provinsi Kalbar
Kab. Ketapang
Kab. Sanggau
Kab. Kubu Raya

Besaran (Rp)
67.604.236.194
41.030.311.126
15.059.794.098
14.250.881.309
TOTAL DI KALBAR
TOTAL NASIONAL

Periode
(Sept – Des)
4 bulan
4 bulan
4 bulan
4 bulan

Total DAU Tertunda
270.416.944.776
164.121.244.504
60.239.176.392
57.003.525.236
551.780.890.908
19.418.975.064.480

Sumber: Permenkeu 125/PMK.07/2016
Dari kasus ini, daerah hanya dapat teriak dan protes kepada
pusat; tetapi putusan akhir tetap berada pada pusat. Oleh karena itu,
belajar dari kasus ini, daerah akan ikut rentak tari yang diinginkan oleh
pusat ketika tidak ingin tersakiti dalam pembiayaan pembangunan.
Model pengaturan dimaksud dilakukan pusat melalui mekanisme
pengaturan formal, yakni mulai dari Undang-undang hingga peraturan
menteri. Tidak ada daerah yang dapat melawan arogansi dan dominasi
pusat pada daerah di seluruh negeri ini.
Jalan yang dapat dilakukan daerah adalah mensinergikan
program dan kegiatan daerah dengan program dan kegiatan pusat
agar tercipta percepaan pencapaian target pembangunan. Paling tidak
terdapat tiga alasan penting melakukan sinergi ini; yakni:
1. Persebaran potensi dan sumber daya di daerah tidak merata;
sehingga daerah hanya dapat memilih dan memprioritaskan
pembangunan daerah berdasarkan ketersediaan dan daya dukung
potensi yang ada.
2. Keterbatasan sumber pendanaan pemerintah daerah sebagai
konsekwensi dari NKRI yang membuat daerah terkebiri dalam
pencarian sumber pendanaan bagi pembiayaan pembangunan.

Page | 7

3. Pembatasan kewenangan yang dimiliki oleh daerah. Salah satu
contoh adalah usulan Perda Impor Mobil Bekas di Kalbar yang sempat
diajukan kepada pemerintah pusat dan tidak menunggu hari, usulan
perda tersebut langsung ditolak karena dianggap melanggar UU No.
33 tahun 2004; meskipun alasan sebenarnya dari penolakan dimaksud
adalah adanya selingkuh antara pemerintah dengan pengusaha
mobil yang selama ini telah memberikan kontribusi cukup besar pada
panghasilan negara.
Hal yang sudah biasa dilakukan daerah adalah melakukan
sebanyak 5 (lima) macam sinergi, yakni:
1. Sinergi dalam kerangka perencanaan kebijakan; yang meliputi sinergi
dokumen perencanaan pembangunan (RPJPN, RPJMN yang materi
pentingnya diinserkan ke dalam RPJPD dan RPJMD).
2. Sinergi dalam kerangka regulasi; yang dimaksudkan untuk
mendorong harmonisasi peraturan antara pusat dan daerah. Dengan
sinergi ini, daerah sering melakukan konsultasi dalam penyusunan
peraturan perundangan daerah dan dengan konsultasi itu tidak
jarang perda kemudian batal karena dianggap tidak sinkron dengan
peraturan atau kebijakan pusat.
3. Sinergi dalam kerangka anggaran dimaksdukan sebagai upaya
daerah untuk menyusun dan memanfaatkan dana (DAK, DBH dan
DAU) sesuai jumlah alokasi yang telah ditetapkan pusat. Satu hal yang
perlu diingat bahwa, distribusi dana pusat ke daerah adalah tidak
merata sehingga perkembangan antar wilayah menjadi tidak
seimbang; seperti table 2.
4. Sinergi dalam kerangka kelembagaan dan aparatur; yakni (1)
menata dan menyempurnakan pengaturan kewenangan antar
tingkatan pemerintahan seperti melalui PP. No 16 tahun 2016; (2) dan
meningkatkan kapasitas aparatur di daerah.
5. Sinergi dalam kerangka pengembangan wilayah; di satu sisi pusat
ingin mengembangkan kapasitas daerah, tetapi dalam aspek lain
tetap mengendalikan pemekaran daerah. Ketika pusat bilang
“tidak”, maka rakyat di daerah harus berjuang dan bahkan
menggagas konflik terlebih dahulu agar dapat menjadi “ya”.
Dengan lima sinergi tersebut, dapat disimpulkan bahwa daerah
akan selalu ikut dengan pusat melalui strategi “kepala dilepas, ekor tetap
dicekal” sehingga membuat daerah menjadi underbouw selamanya
kepada pusat.

8|Page

Tabel 2
Distribusi Dana Pembangunan Di Indonesia tahun 2015
No
Jenis Dana
1
Dekonsentrasi

Regional
Jawa, Bali dan Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Nusa tenggara
Papua
2
Perimbangan
Jawa, Bali dan Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Nusa tenggara
Papua
3
Distribusi PMDN
Jawa, Bali dan Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Nusa tenggara
Papua
4
Kredit Perbankan Jawa, Bali dan Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku dan Nusa tenggara
Papua
Sumber: Bappenas, Maret 2016

Prosentasi
81,80
4,95
6,77
4,37
2,11
62,59
10,33
10,60
9,30
6,18
86,78
7,18
5,26
0,08
0,70
88,22
5,28
4,60
1,30
0,60

Penutup
Menempatkan kembali MPR seperti dulu adalah sesuatu yang
sulit dilakukan karena akan berbenturan dengan UU MD3 yang sudah
dianggap lebih pas dan mencerminkan kedinamisan politik Indonesia
saat ini.
Hal yang dapat dilakukan MPR kini adalah (1) mendorong
pemerintah untuk memberlakukan templete semangat GBHN ke RPJMN
dan selanjutnya berjenjang ke bawah; yakni Pemerintahan Provinsi dan
Pemerintahan Kabupaten dan Kota; (2) Memasukkan kedua jenis
perencanaan ke dalam satu dokumen seperti GBHN dulu agar kedua
jenis perencanaan itu tidak terberai; (3) Mensinkronkan perencanaan
pembangunan daerah dengan RPJMN yang sudah disusun oleh
pemerintah pusat; (4) Mendorong kemajuan dan kemandirian daerah
melalui penyeimbangan investasi ke kawasan timur dan dan tengah
Indonesia.

Page | 9

RPJPN sebaiknya disusun oleh MPR agar sedemikian rupa dapat
mencerminkan kehendak seluruh komponen bangsa. Hasil rumusan
RPJPN tersebut diserahkan kepada pemerintah (Presiden) dengan
menugaskan DPR-RI dalam mengawal implementasi RPJPN tersebut.
Sebagai konsekwensi daerah ikut pusat, maka daerah yang telah
menyusun RPJPD dan RPJMD dianjurkan untuk melakukan perubahan
dan menyesuaikannya dengan RPJMN. Pemerintah Provinsi Kalbar,
setahu penulis telah melakukan perubahan dimaksud pada tahun 2015
dimana penulis tergabung dalam tim penyusun perubahan yang
diselaraskan dengan Nawacita Pembangunan Indonesia 2014-2019.
Merujuk pendapat Taufiq (2016)4 bahwa wacana menghidupkan
kembali GBHN masih memerlukan kajian mendalam, tetapi tidak dalam
konteks menghidupkan kembali kekuasaan seperti Orde Baru. Bagi saya
lebih baik menambahkan muatan substantive dalam perencanaan
pembangunan nasional dengan menumpahkan RPJPN dan RPJMN ke
dalam satu dokumen agar sinkron, sinergis dan tidak berderai.

4

Taufiq, M. AR. 2016. Menakar Gagasan Reformulasi Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional dengan Model GBHN. Makalah disampaikan pada FGD
dengan MPR-RI “Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan dengan Model
GBHN”, Yogyakarta, 15 April 2016.

10 | P a g e