PELAKSANAAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI SMARTPHONE MELALUI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN PT ADIRA QUANTUM CABANG DENPASAR.

(1)

(2)

PELAKSANAAN PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM

PERJANJIAN JUAL-BELI SMARTPHONE MELALUI

PERUSAHAAN PEMBIAYAAN PT ADIRA QUANTUM CABANG

DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

HENDRA ADINATA NIM 1116051220

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(3)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL, 15 DESEMBER 2015

Pembimbing I

A.A Sri Indrawati, SH.,MH NIP. 19571014 198601 2 001

Pembimbing II

I Made Dedy Priyanto, SH.,M.Kn NIP. 19840411 200812 1 003


(4)

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 11 JANUARI 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 1209/UN14.4E/IV/PP/2015 Tanggal : 28 DESEMBER 2015

Ketua : A.A Sri Indrawati, SH.,MH ( )

Sekretaris : I Made Dedy Priyanto, SH.,M.Kn ( )

Anggota : 1. Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH ( )

2. Dr. I Wayan Novy Purwanto, SH.,M.Kn ( )

3. I Made Pujawan, SH.,MH ( )


(5)

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dan hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan Keaslian ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 21 Desember 2015 Yang Menyatakan.

(Hendra Adinata)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas rahmat dan karunia-NYA, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Udayana guna memperoleh gelar Sarjana Hukum.


(6)

Mengingat masih kurangnya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan tentu saja apa yang dihasilkan dalam laporan ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Dengan keberanian dan kerendahan hati saya mencoba untuk menguraikan masalah yang menjadi pokok pembahasan

dalam skripsi ini dengan mengambil judul “PELAKSANAAN PENYELESAIAN

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI SMARTPHONE MELALUI

PERUSAHAAN PEMBIAYAAN PT ADIRA QUANTUM CABANG DENPASAR”.

Adapun keberhasilan penyusunan laporan ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan berbagai pihak, baik bantuan secara moral maupun material. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak A.A Gede Oka Parwata, SH.,MH, Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

6. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Ibu A.A Sri Indrawati, SH.,MH, Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak I Made Dedy Priyanto, SH.,M.Kn, Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan telah banyak memberikan petunjuk serta saran-saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Bapak I Ketut Sandhi Sudarsana, SH.,MH, Pembimbing Akademik yang memberikan pengarahan terhadap mata kuliah yang ditempuh selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staff Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan sumbangsih berupa ilmu pengetahuan dan pelayanan administrasi kepada penulis.

11.PT Adira Quantum Cabang Denpasar, yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi serta data yang dibutuhkan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

12.Orang tua yang sangat penulis cintai dan hormati, Alm. Made Kariani terima kasih penulis ucapkan atas kasih sayang serta segala doanya yang telah mendukung, membimbing dan mendidik penulis.

13.Kakak tersayang, Feni Setiawan, Sapta Ria, Sintari Dewi, Eva Ariana, Fifi Pratiwi, Sumartha, Gunawan, Candra Junaidi dan Sedana yang telah banyak membantu dan mendukung penulis.


(8)

14.Seluruh teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Udayana, khususnya: Intan, Tasya, Gung Wulan, Putri, Ari Manik, Diana, Ayu, Eby, Lastri, Dewinda, Rizky, Cokorda, Tata, Elfira, dan Santi serta rekan-rekan angkatan 2011 yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis ucapkan terima kasih atas dukungannya selama ini.

15.Beserta segenap pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaian laporan ini.

Semoga segala bantuan, motivasi dan petunjuk yang diberikan kepada penulis mendapatkan berkah dan anugerah yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya serta kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini, sehingga dapat memberi manfaat sebagaimana yang diharapkan.

Denpasar, Desember 2015


(9)

ABSTRAK

Permasalahan ini ditemukan pada PT Adira Quantum cabang Denpasar, dimana beberapa pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya atau dengan kata lain dalam pembayaran angsuran yang harunya dilakukan setiap bulannya mengalami kemacetan hingga lebih dari batas waktu yang telah ditentukan, sehingga mengakibatkan barang yang menjadi objek pembiayaan tersebut ditarik kembali oleh kreditur yaitu pihak perusahaan pembiayaan, sedangkan uang angsuran yang telah dibayarkan pada bulan-bulan sebelumnya tidak dapat ditarik kembali. Sehingga menimbulkan dua permasalahan yakni Bagaimanakah bentuk-bentuk wanprestasi yang terjadi pada perjanjian jual-beli smartphone melaui perusahaan pembiayaan PT Adira Quantum cabang Denpasar dan bagaimanakah upaya penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian jual-beli smartphone melaui perusahaan pembiayaan PT Adira Quantum cabang Denpasar.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Penelitian empiris, yaitu penelitian hukum yang memakai sumber data primer, data yang diperoleh berasal dari observasi dan wawancara.

Bentuk wanprestasi yang pernah terjadi di PT Adira Quantum berupa melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, yaitu pihak konsumen tidak melakukan pembayaran angsuran tepat pada tanggal yang janjikan dan melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana seperti yang dijanjikan, yaitu situasi dimana pihak konsumen melakukan pembayaran angsuran hanya beberapa kali dan berhenti melakukan pembayaran sebelum melunasi agsuran tersebut. Upaya penyelesaian sengketa yang digunakan pihak PT Adira Quantum dalam menyelesaikan wanprestasi yang dilakukan pihak konsumen adalah upaya penyelesaian melalui jalur non-litigasi yakni melalui musyawarah mufakat. Hendaknya PT Adira Quantum lebih teliti lagi dalam menganalisi calon konsumen dalam penyetujuan permohonan pembiayaan konsumen dan musyawarah mufakat hendaknya mencapai kesepakatan ke 2 belah pihak sehingga disarankan kepada PT Adira Quantum mengoptimalkan jalur musyawarah mufakat.


(10)

ABSTRACT

This problem was found in PT Adira Quantum branch Denpasar, where some of the debtor does not carry out his performance or with other words in installments to harunya done every month stalled by more than the limit specified time, resulting in the goods which become the object of financing is withdrawn by creditors that the company's financing, while the installment money that has been paid in previous months can not be withdrawn. So that raises two issues namely What forms of defaults that occurred in the contract of sale of smartphones through a financing company PT Adira Quantum Denpasar branch and how remedies in default under the contract of sale of smartphones through a financing company PT Adira QuantumDenpasar branch.

The method used in this thesis is empirical research, namely legal research that uses primary data source, data obtained came from observations and interviews.

Form of default that have occurred in PT Adira Quantum in the form of implementing what was promised, but too late, that the consumer does not make installment payments right on that promise and implement what was promised but not as as promised, namely a situation where the consumer make installment payments only several times and stop making payments before paying off the agsuran. Mediation used the PT Adira Quantum in resolving defaults conducted by consumers is through the efforts of non-settlement of litigation namely through deliberation. PT Adira Quantum should be more thoroughly analyzed the potential consumers in the consumer financing request approval and consensus should be reached agreement to two sides so it is

advisable to PT Adira Quantum optimize deliberationtrack.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4. Orisinalitas Penelitian ... 6

1.5. Tujuan Penelitian ... 7

1.5.1.Tujuan Umum ... 7

1.5.2.Tujuan Khusus ... 8

1.6. Manfaat Penelitian ... 8

1.6.1.Manfaat Teoritis ... 8

1.6.2.Manfaat Praktis ... 8

1.7. Landasan Teoritis... 9

1.8. Metode Penelitian ... 17

1.8.1.Jenis Penelitian ... 17

1.8.2.Jenis Pendekatan ... 17

1.8.3.Sifat Penelitian ... 18

1.8.4.Sumber Data ... 18

1.8.5.Teknik Pengumpulan Data ... 19


(12)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI, DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

2.1 Perjanjian ... 21

2.1.1 Pengertian Perjanjian ... 21

2.1.2 Syarat Sah Perjanjian ... 24

2.1.3 Berakhirnya Perjanjian ... 28

2.2 Wanprestasi ... 29

2.2.1 Pengertian Wanprestasi ... 29

2.2.2 Macam-Macam Wanprestasi ... 30

2.2.3 Akibat Wanprestasi ... 32

2.3 Lembaga Pembiayaan Konsumen ... 34

2.3.1 Pengertian Pembiayaan Konsumen ... 34

2.3.2 Bentuk Perjanjian Pembiayaan Konsumen ... 35

2.3.3 Hubungan Para Pihak Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen ... 37

BAB III BENTUK-BENTUK WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT ADIRA QUANTUM CABANG DENPASAR 3.1 Hubungan Hukum Antar Para Pihak dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Adira Quantum Cabang Denpasar ... 39

3.2 Prosedur dalam Perjanjian Pembiayaan pada PT Adira Quantum Cabang Denpasar 42 3.3 Bentuk-Bentuk Wanprestasi Pihak Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Adira Quantum Cabang Denpasar ... 47

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT ADIRA QUANTUM CABANG DENPASAR 4.1 Akibat Hukum Wanprestasi dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Adira Quantum Cabang Denpasar ... 51

4.2 Upaya Penyelesaian Wanprestasi Perjanjian Pembiayaan Konsumen pada PT Adira Quantum Cabang Denpasar ... 58


(13)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 62 5.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA


(14)

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Telepon selular atau yang lebih dikenal dengan sebutan handphone sudah menjadi

kebutuhan primer bagi masyarakat modern saat ini.kecanggihan teknologi yang semakin hari semakin meningkat menjadikan fungsi telepon selular bukan lagi sekedar alat komunikasi. Kemunculan smartphone yang merupakan telepon selular yang tidak hanya digunakan sebagai alat

komukasi tapi juga dapat digunakan untuk mengakses internet sebagai media hiburan, media untuk mendapatkan informasi, bahkan digunakan untuk menjalankan bisnis.

Melihat kecanggihan smartphone tidak heran jika harga jualnya tinggi sehingga pada awal kemunculannya hanya menjadi konsumsi kalangan menengah ke atas. Namun, keadaannya berbeda saat ini karena fungsinya, smartphone menjadi sebuah kebutuhan utama masyarakat

dalam bertukar informasi. Harga bukan lagi menjadi masalah utama bagi peminat smartphone

ditambah lagi dengan adanya lembaga pembiayaan konsumen yang menawarkan pembiayaan konsumen untuk barang-barang elektronik termasuk smartphone.

Dengan memanfaatkan lembaga pembiayaan ini, masyarakat yang tadinya sulit untuk membeli barang kebutuhannya secara tunai, kini dengan bantuan pembiayaan konsumen kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Konsumen yang berkepentingan hanya perlu menghubungi Perusahaan Pembiayaan Konsumen agar dapat membayar secara tunai harga barang kebutuhan yang dibelinya dari pemasok (Supplier) dengan ketentuan pembayaran kembali harga barang itu


(16)

kepada Perusahaan Pembiayaan Konsumen dilakukan secara angsuran. Dengan cara demikian, kebutuhan masyarakat konsumen dapat terpenuhi secara wajar.1

Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Berdasarkan pengertian lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud diatas, maka dalam lembaga pembiayaan terdapat unsur-unsurnya yaitu badan usaha yang merupakan perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan, Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas dengan cara membiayai pihak-pihak atau sektor usaha yang dibutuhkan, Penyediaan dana, yaitu perbuatan penyediaan uang untuk suatu keperluan. Barang Modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu atau barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan sebagainya. Tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking).2

Perjanjian pembiayaan konsumen (consumer finance agreement) merupakan dokumen

hukum utama yang dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat sebagamana ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) dan perjanjian pembiayaan konsumen ini berfungsi sebagai dokumen atau bukti yang sah bagi perusahaan pembiayaan dan konsumen. Akibat hukum perjanjian yang dibuat secara sah, maka akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang melakukan perjanjian yaitu perusahaan pembiayaan dan konsumen sesuai ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Serta, perjanjian

1Abdul Kadir Muhammad dan Rida Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 250.

2


(17)

harus dilaksanakn dengan itikad baik (in good faith) dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak

(unilateral unavoidable).3

PT Adira Quantum adalah salah satu brand pembiayaan dari PT Adira Finace yang melayani pembiayaan multi produk antara lain produk elektronik seperti laptop, telepon selular, kulkas, AC, mesin cuci, TV, serta perabotan rumah tangga seperti furniture, lemari, maupun tempat tidur, dan juga peralatan pertanian, dan lain-lain. PT Adira Quantum juga memiliki puluhan cabang di seluruh Indonesia, salah satunya yaitu PT Adira Quantum Cabang Denpasar.

Perusahaan pembiayaan harus berhati-hati dalam menilai sebelum memberikan pembiayaan konsumen.Terdapat berbagai persyaratan serta prosedur yang telah ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan dan wajib diikuti atau dipenuhi oleh para konsumen.

Di dalam prakteknya pembiayan konsumen menggunakan perjanjian pembiayaan yang pada umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar. Perjanjian standart, sebagai perjanjian tertulis yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yang mengandung syarat-syarat baku, yang oleh salah satu pihak yaitu pihak perusahaan pembiayaan yang kemudian diberikan kepada pihak konsumen untuk disetujui. Ciri dari perjanjian standar adanya sifat uniform atau keseragaman dari syarat-syarat perjanjian untuk semua

perjanjian untuk sifat yang sama. Syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah syarat konsep tulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang akan masih dibuat yang jumlahnya tidak tertentu, tanpa merundingkan terlebih dahulu isinya.4

Seringkali perjanjian yang sudah disepakati kedua belah pihak dalam prakteknya tidak terpenuhi sesuai dengan isi perjanjian, karena kesengajaan atau kelalaian baik yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atau oleh pihak debitur. Terlebih karena bentuk perjanjiannya

3 Abdul Kadir Muhammad dan Rida Murniati,Op.Cit, h. 256.

4


(18)

adalah perjanjian baku yang isi perjanjiannya dibuat oleh pihak perusahaan pembiayaan tanpa campur tangan pihak konsumen. Seringkali debitur kurang memperhatikan isi perjanjian baku melainkan hanya mementingkan barang serta harga.

Permasalahan ini ditemukan pada PT Adira Quantum cabang Denpasar. Dimana beberapa pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya atau dengan kata lain dalam pembayaran angsuran yang harunya dilakukan setiap bulannya mengalami kemacetan hingga lebih dari batas waktu yang telah ditentukan, sehingga mengakibatkan barang yang menjadi objek pembiayaan tersebut ditarik kembali oleh kreditur yaitu pihak perusahaan pembiayaan, sedangkan uang angsuran yang telah dibayarkan pada bulan-bulan sebelumnya tidak dapat ditarik kembali.

Berdasarkan latar belakang diatas sangat menarik untuk dilakukannya penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul: PELAKSANAAN PENYELESAIAN

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI SMARTPHONE MELALUI

PERUSAHAAN PEMBIAYAAN PT ADIRA QUANTUM CABANG DENPASAR.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk wanprestasi yang terjadi pada perjanjian jual-beli

smartphone melaui perusahaan pembiayaan PT Adira Quantum cabang Denpasar ?

2. Bagaimanakah upaya penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian jual-beli smartphone melaui perusahaan pembiayaan PT Adira Quantum cabang Denpasar ?


(19)

1.3Ruang Lingkup Masalah

Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun permasalahan pertama dibatasi mengenai bentuk-bentuk wanprestasi yang terjadi pada perjanjian jual-beli smartphone melalui perusahaan pembiayaan PT Adira Quantum cabang Denpasar.

Permasalahan kedua dibatasi hanya mengenai upaya penyelesaian hukum yang dapat dilakukan apabila terjadi wanprestasi terhadap perjanjian jual-beli smartphone pada perusahaan pembiayaan

PT Adira Quantum cabang Denpasar.

1.4Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat di dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. “Pelaksanaan Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Pembiayaan ( Studi pada : PT Adira Quantum cabang Denpasar)” karena skripsi ini belum pernah ditulis sebelumnya, maka dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 2 (dua) skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan perjanjian pembiayaan :

Tabel 1.1. Daftar Penelitian Sejenis

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1. Perjanjian Pembiayaan

Konsumen Sepeda

Motor Pada PT. Adira Finance Cabang Padang

Yuliana Fridayani (Fakultas Hukum, Universitas

Andalas, Padang), Tahun 2011.

1. Bagaimana prosedur dan pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen pada PT. Adira Finance cabang Padang ?


(20)

2. Bagaimana jika terjadi

kelalaian atau

wanprestasi dalam

pelunasan angsuran dan akibatnya terhadap pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor pada PT. Adira Finance cabang Padang ?

3. Apa saja kendala dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen pada PT. Adiran Finance cabang Padang?

2. Jaminan dan

Pembiayaan Konsumen

(Studi tentang

Konstruksi Jaminan Fidusia pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen di PT. OTO Finace tbk, Surakarta

Iqbal Latif

(Mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas

Muhammaddiyah Surakarta), Tahun 2011.

1. Bagaimana konstruksi perjanjian pembiayaan konsumen yang dilakukan di PT. OTO Finance tvk, Surakarta ?

2.Masalah-masalah apa yang timbul dalam praktek perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia pada PT. OTO Finance tbk, Surakarta?

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk wanprestasi yang terjadi pada perusahaan pembiayaan.


(21)

1.5.2Tujuan Khusus

1. Untuk lebih memahami mengenai bentuk-bentuk wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian jual-beli smartphone melaui perusahaan pembiayaan PT Adira Quantum

cabang Denpasar.

2. Untuk lebih memahami mengenai upaya penyelesaian wanprestasi perjanjian jual-beli

smartphone melaui PT Adira Quantum cabang Denpasar

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan perjanjian dalam hukum pembiayaan.

2. Diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi masyarakat serta perusahaan pembiayaan konsumen, khususnya dalam hal mengenai perjanjian jual-beli melalui perusahaan pembiayaan.

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Dapat dijadikan acuan apabila terjadi wanprestasi perjanjian jual-beli melalui perusahaan pembiayaan.

2. Dapat dijadikan sebagai upaya penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian jual-beli melalui perusahaan pembiayaan serta mengetahui bentuk-bentuk wanprestasinya.


(22)

1.7 Landasan Teori

Pada prinsipnya suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel ataulebih yang telah diuji kebenarannya.5 Sehingga

dalam menjawab permasalahan yang terkait denganPembiayaan Konsumen.

Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian yang diatur pasal 1313 KUHPerdata adalah perjanjian obligator, yaitu perjanjian yang memberi hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata syarat sahnya perjanjian ada 4 yaitu: 1. Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Hal pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, apabila tidak terpenuhi syarat pertama dan kedua maka perjanjian dapat dibatalkan.Sedangkan, syarat ketiga dan ke-empat merupakan syarat objektif yang apabila tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.6

Hukum kontrak di Indonesia menganut sistem terbuka yang berarti bahwa setiap orang bebas membuat kontrak, sehingga mempunyai sifat yang “optional law”. Dalam pembuatan suatu perjanjian atau kontrak dikenal salah satu asas,yaituasas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan

5Soerjono Soekanto,2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta, h.30. 6 Handri Raharjo, 2000, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisi, Yogyakarta, h..42.


(23)

berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan suatu pemahaman bahwa setiap orang dapat melakukan suatu kontrakdengan siapapun dan untuk hal apapun.Namun asas kebebasan berkontrak bukan berarti bebas mutlak, ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh Pasal-Pasal dalam KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.

Pembatasan asas kebebasan berkontrak selain harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata juga Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Begitu juga ketentuan Pasal 1338 ayat (3) yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian hanya dapat dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan demikian, cara ini dikatakan suatu sistem terbuka, sehingga dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan. Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan adanya 3 asas dalam perjanjian:7

1. Mengenai terjadinya perjanjian

Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut KUHPerdata perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).

2. Tentang akibat perjanjian

Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat

7Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 59.


(24)

secara sah di antara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

3. Tentang isi perjanjian

Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau partijautonomie) yang

bersangkutan. Dengan kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hati klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik.Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.Sehingga dalam membuat perjanjian pembiayaan konsumen para pihak bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya dan bebas mengatur isi kontrak tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Perjanjian yang dibuat dengan sengaja atas kehendak para pihak secara sukarela dan yang telah disepakati/disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana yang telah dikehendaki. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.8

Perjanjian pembiayaan konsumen diadakan oleh karena konsumen tidak mampu membayar harga barang secara sekaligus, maka dilakukan perjanjian pembiayaan konsumen.dimana pihak konsumen dapat membayar barang dengan angsuran atau berkala. Namun, hak milik terhadap barang tersebut baru berpindah kepada konsumen setelah membayar lunas angsuran.Perjanjian pembiayaan konsumen yang dilakukan secara angsuran ini disebut

8 Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h.65.


(25)

dengan conditional sale atau jual beli bersyarat, dimana pihak pembiaya dapat menggugat untuk

menguasai kembali barang jika konsumen lalai sebelum hak milik berpindah kepadanya.9

Perjanjian pembiayaan konsumen dapat dikatakan sebagai perjanjian baku karena isi perjanjian dibuat sepihak oleh perusahaan pembiayaan, sedangkan debitur hanya perlu setuju atau tidak dengan perjanjian tersebut tapi tidak bisa mengubah isi perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa

belanda yaitu “standard contract” kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah model, rumusan dan ukuran. Model rumusan dan ukuran sudah dibakukan tidak dapat diganti, diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya dalam bentuk formulir yang di dalamnya sudah dilampiri dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan dokumen bukti perjanjian yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi oleh pihak debitur.10

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.11 Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu :12

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. 2. Memenuhi prestasi tapi tidak tpat waktu. 3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai.

9 Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h. 297 10Ibid, h. 87.

11 Nindyo Pramono, 2003, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, h. 2 12 R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, Jakarta, h. 18.


(26)

Dalam hal debitur tidak melakukan pa yang sudah diperjanjikan maka debitur dapat dikatakan melakukan wanprestasi, kelalaian atau kealpaan.Menurut R. Subekti kealpaan seorang debitur dapat berupa :13

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dalam perjanjian baku sering terdapat ketentuan bahwa para pihak telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1226 KUHPerdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya sudah batal demi hukum. Dalam hal ini wanprestasi merupakan syarat batal. Beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal terjadinya wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan kepada hakim dengan alasan bahwa sekalipun debitur wanprestasi hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan kepadanya untuk memenuhi perjanjian.14

Pengertian perusahaan pembiayaan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa perusahaan pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau Usaha Kartu Kredit. Terdapat beberapa lembaga pembiayaan berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, antar lain :

1. Perusahaan Pembiayaan;

13Subekti, 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, h. 148.


(27)

2. Perusahaan Modal Ventura;

3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.

Beberapa kegiatan usaha perusahaan pembiayaan menurut ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan, yakni :

1. Sewa Guna Usaha; 2. Anjak Piutang; 3. Usaha Kartu Kredit; 4. Pembiayaan Konsumen.

Lembaga pembiayaan konsumen (consumers finance) adalah suatu lembaga yang dalam

melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dilakukan dengan sistem pembayaran secara angsuran atau berkala. Kegiatan pembiayaan konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Kebutuhan konsumen yang dimaksud adalah :

1. Pembiayaan kendaraan bermotor 2. Pembiayaan alat-alat rumah tangga 3. Pembiayaan barang-barang elektronik 4. Pembiayaan perumahan

Dasar pokok pengaturan pembiayaan konsumen adalah hukum kontrak/perjanjian.Dalam pembiayaan konsumen, bentuk perjanjian merupakan suatu permufakatan atau persepakatan antara pihak-pihak yang mengadakannya, dimana masing-masing pihak diikat oleh janji-janji yang telah diadakan antara masing-masing, kemudian berkembang menjadi satu untuk secara bersama-sama mencapai suatu tujuan tertentu yang telah disepakati.


(28)

Memperjelas mengenai definisi perjanjian, M Yahya Harahap menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.15

Adapun upaya yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan perkara wanprestasi yakni, penyelesaian sengketa wanprestasi di pengadilan (Litigasi) dan upaya penyelesaian diluar pengadilan (Non-Litigasi). Pengajuan sengketa wanprestasi ke pengadilan didahului dengan adanya somasi yaitu pemberitahuan atau pernyataan kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan tersebut. Adapun bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata yaitu dalam bentuk surat perintah, akta sejenis atau tersimpul dalam perikatan itu sendiri. Selain upaya penyelesaian secara litigasi, ada juga penyelesaian secara non litigasi atau penyelesaian di luar pengadilan dapat berupa negosiasi, mediasi, konsiliasi, konsultasi dan penilaian ahli.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum empiris.

Penelitian empiris merupakan penelitian hukum yang memakai sumber data primer, data yang diperoleh berasal dari eksperimen dan observasi.Adapun maksud penggunaan metode pendekatan empiris dalam penelitian ini adalah di samping menelaah peraturan


(29)

undangan dan kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang perjanjian pembiayaan dan mengenai lembaga pembiayaan konsumen juga bekerjanya hukum dan kesadaran serta kepatuhan masyarakat terhadap hukum.Disamping itu, lebih relevan dilakukan penelitian lapangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.16

1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan

(The Statue Approach), dan pendekatan fakta (The Fact Approach).

Pendekatan undang-undang (The Statue Approach) yaitu dilakukan dengan mengkaji semua

undang-undang dan pengaturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam penelitian ini pendekatan undang-undang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perjanjian pembiayaan.

Pendekatan fakta (The Fact Approach) dilakukan dengan cara mengkaji fakta-fakta yang

terjadi dalam hal pelaksanaan penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian pembiayaan pada PT Adira Quantum cabang Denpasar.

1.8.3 Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian ilmu hukum yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.

1.8.4 Sumber Data


(30)

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini berupa data primer, data sekunder dan data tersier sebagai berikut.

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat melalui wawancara, yaitu memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-orang yang berwenang, dalam hal ini orang-orang yang berweanang pegawai kantor PT Adira Quantum cabang Denpasar dan para debitur.

2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan hukum yaitu.

a. Bahan hukum primer, yaitu terdiri dari Perundang-Undangan yakni Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang mejelaskan bahan hukum primer, seperti pendapat para sarjana, dokumen-dokumen resmi dan bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier yaitu kamus hukum.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam pennulissan skripsi ini adalah : 1. Studi kepustakaan, dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan pustaka yang didapat dari berbagai literature atau buku-buku dan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

2. Penelitian lapangan, adalah dilakukan dengan wawancara langsung terhadap para responden informan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Dengan harapan dapat memberi


(31)

jawaban dari masalah mengenai wanprestasi jual-beli smartphone melalui perusahaan pembiayaan PT Adira Quantum Cabang Denpasar.

1.8.6 Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi pustaka pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu ddata yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistimatis.Selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik simpulan deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.17


(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

2.1 Perjanjian

2.1.1 Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut KUHPerdata) Pasal 1313 yaitu perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatana dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dari ketentuan pasal ini jelaslah untuk didapatkan adanya suatu perjanjian paling sedikitnya harus ada dua pihak sebagai subyek hukum, dimana masing-masing pihak sepakat untuk mengikat dirinya dalam suatu hal tertentu.

Para Sarjana pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam ketentuan KUHPerdata tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena hanya mengenai hal-hal yang mengenai janji kawin yaitu perbuatan didalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga tetapi bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan sehingga Buku III KUHPerdata secara langsung tidak berlaku dan mencakup perbuatan melawan hukum sedangkan dalam perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan.

Beberapa para sarjana memiliki pendapat berbeda mengenai pengertian perjanjian seperti halnya Menurut Subekti suatu perjanjian merupakan peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.1


(33)

Menurut R. Setiawan perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dengan diadakannya suatu perjanjian maka para pihak yang berjanji harus tunduk kepada hal-hal yang telah diperjanjikan. Semua perjanjian harus dilakukan dengan etikad baik dan tidak boleh dilakukan secara bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan.

Lain halnya dengan perjanjian yang diberikan oleh Yahya Harahap dikatakan bahwa

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu orang untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.2 Dari pengertian ini unsur perjanjian harus adanya hubungan hukum menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan hak pada suatu pihak yang meletakan kewajiban dipihak lain.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat diketahui adanya beberapa kesamaan bahwa perjanjian mengandung pengertian suatu pernyataan kesepakatan antara dua pihak atau bersama-sama melakukan dan untuk tidak melakukan sesuatu yang mengandung hak dan kewajiban diantara mereka serta sepakat untuk menerima akibat bila mereka tidak memenuhi persyaratan masing-masing.

Dari uraian diatas, maka pernyataan dalam perjanjian pada hakekatnya terdapat tiga hal pokok yaitu :

a. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban pihak lain yaitu pihak yang mempunyai hak, adalah menerima hasil dari kewajiban pihak lainnya misalnya dalam perjanjian perbankan, kewajiban pihak perbankan adalah menyiapkan sejumlah uang untuk diserahkan kepada


(34)

debitur sebagai uang pinjamannya. Dan jumlah yang dipinjam sesuai dengan perjanjian, adalah hak debitur untuk mendapatkan pelayanan menerima pinjaman dari perbankan. b. Kewajiban pihak lainya merupakan hak pihak yang satu yaitu kewajiban debitur untuk

membayar hutangnya dan penerimaan kembali angsuran pinjaman merupakan hak perbankan sebagai debitur termasuk didalamnya hak perbankan terhadap barang yang dijadikan jaminan terhadap sejumlah uang yang dipinjam.

c. Kesepakatan yang dimaksud dalam hal ini adalah dimaksudkan bahwa materi perjanjian yang menetapkan bahwa bila terjadi situasi yang menyebabkan timbul perselisihan antara para pihak, dapat ditempuh jalan damai dan jalan lain malalui prosedur hukum dan peraturan – peraturan perundang-undangan. Dikatakan mereka telah menyepakati pula akibat sebagai sanksi yang harus diterima. Contohnya ganti kerugian, besar bunga tunggakan, akibat wanprestasi dan lainnya sebagainya.

2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian

Buku III KUHPerdata selain mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian juga mengetur perikatan yang timbul dari Undan-Undang. Dalam KUHPerdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu yang namanya sudah diberikan undang-undang.3

Untuk sahnya perjanjian harus memenuhi 4 syarat seperti yang ditegaskan didalam pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri


(35)

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.4

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.5 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:

1. Orang yang belum dewasa

2. Orang yang berada dalam pengampuan atau perwalian

3. Orang perempuan atau istri yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

4 Subekti, 1992, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, h. 14. (Selanjutnya disebut Subekti III) 5 J.Satrio, 1993, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, h. 129.


(36)

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.6

3. Suatu hal tertentu

Perjanjian ini harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan, Suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan dengan saling menguntungkan dan dalam perjanjian kedua belah pihak menganggap baik sehinggga tidak ada yang dirugikan.

Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

4. Suatu sebab yang halal

Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.

Pada Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban

6 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, h.78. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II).


(37)

umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.

Syarat kesepakatan dan kecapakan disebut sebagai syarat subjektif karena syarat tersebut harus dipenuhi oleh subjek hukum. Adanya kesepakatan atau consensus dimaksudkan bahwa para

pihak sepakat atau setuju untuk saling mengikatkan diri dalam perjanjian. Syarat subjektif kedua adalah cakap hukum yang artinya para pihak memilki kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Apabila tidak terpenuhi syarat pertama dan kedua tersebut yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan jika ada yang memohonkan pembatalan.

Mengenai ketentuan atau syarat ketiga dan keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif, syarat yang harus dipenuhi oleh objek atau benda yang diperjanjikan. Yang dimaksud syarat ketiga adalah dalam suatu perjanjian haruslah ada objek atau sesuatu hal yang diperjanjikan dan syarat keempat menegaskan hal yang diperjanjikan haruslah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Apabila persyaratan ketiga dan keempat yang tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum dan dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.

2.1.3 Berakhirnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian atau berakhirnya suatu perjanjian dan sering disebut hapusnya persetujuan, berarti menghapus semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dengan debitur.


(38)

Sesuai dengan pasal 1381 KUHPerdata bahwa hapusnya perjanjian disebabkan karena : a. Karena pembayaran, Perjanjian hapus karena pembayaran apabila pihak debitur telah

melunasi pinjamannya seluruhnya baik yang sudah jatuh tempo maupun pinjaman yang masih berjalan.

b. Karena pembaharuan hutang, Diakibatkan karena pihak debitur melakukan pembaharuan hutangnya dengan melunasi pinjaman terdahulu untuk membuat perjanjian baru apakah pinjaman debitur masih tersisa atau sudah lunas dengan membuat perjanjian baru.

c. Karena kompensasi, Perjanjian hapus karena pihak debitur melakukan konvensasi dari sisa hutangnya untuk membuat hutang yang baru. Akibat dari hutang yang barupihak debitur membuat perjanjian baru, sedangkan perjanjian yang lama tidak berlaku lagi.

d. Karena konfusi atau percampuran hutang, Percampuran hutang terjadi akibat dari debitur dan kreditur mempunyai kedudukan yang sama, dimana debitur menjadi ahli waris dari kreditur jika kreditur meninggal dunia

e. Karena penghapusan hutang, Perjanjian hapus karena penghapusan hutang oleh pihak kreditur disebabkan debitur tidak mampu membayar hutang-hutangnya meskipun telah memperhitungkan barang-barang yang dimiliki oleh debitur tidak cukup untuk melunasi pinjamannya.

f. Karena pernyataan tidak sah atau terhapus, Hal ini disebabkan karena pernyataan yang dibuat oleh pihak debitur maupun kreditur tidak sesuai dengan perjanjian.

g. Karena daluwarsa, Salah satu sebab hapusnya perjanjian ialah dengan lampau waktu atau kadaluwarsa atau perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak sudah habis masa berlakunya.7


(39)

2.2 Wanprestasi

2.2.1 Pengertian Wanprestasi

Kata wanprestasi berasal dari bahasa belanda “wanprestatie” yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud dengan wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian. Menurut Subekti wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.8

Menurut A. Ridwan Halim, yang dimaksud dengan “Wanprestasi adalah kelalaian suatu pihak dalam memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya berdasarkan perikatan yang telah dibuat”.9

Menurut Abdulkadir Muhammad wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 kemungkinan alasan, yaitu :

a. Karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian.

b. Karena keadaan memaksa (force majeure) jadi diluar kemampuan debitur. Debitur tidak

bersalah.10

Sedangkan R. Subekti membagi wanprestasi menjadi 4 yaitu : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

8 Subekti II, Op.Cit, h. 40.

9 Ridwan Halim A,1982, Hukum Dalam Tanya Jawab, Gahlia Indonesia, Jakarta, h.158

10 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h.20 (Selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II)


(40)

3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

2.2.2 Macam-Macam Wanprestasi

Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek

hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak. Dari perjanjian tersebut maka muncul kewajiban para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian (prestasi). Prestasi tersebut dapat dituntut apabila tidak dipenuhi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata prestasi terbagi dalam 3 macam:

1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu.

2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu. 3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu.

R. Subekti, dalam bukunya tentang hukum perjanjian menguraikan bahwa wanprestasi (Kelalaian dan kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam yaitu :

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh diakukannya.11

Mariam Darus Badrulzaman, menyebutkan bahwa ada tiga bentuk wanprestasi yaitu : a. Debitur sama sekali tidak berprestasi

Dalam hal ini debitur tidak perlu dinyatakan lalai oleh kreditur, karena dalam hal ini diharapkan debitur dapat berprestasi percumalah memberi dorongan kepada debitur agar


(41)

melaksanakan perikatan yang ia tidak mampu melaksanakannya. Jadi dalam debitur sama sekali tidak berprestasi, pernyataan lalai tidak diperlukan karena disini debitur memang betul-betul sudah tidak berkemampuan sekali untuk melaksanakan prestasinya.

b. Debitur salah berprestasi

Dalam hal debitur berprestasi salah, apakah debitur dinyatakan lalai lebih dahulu oleh kreditur agar nantinya iada dapat menuntut pembatalan perikatan dengan tambahan ganti rugi, biaya atau bunga.

c. Debitur terlambat berprestasi

Disini berarti tidak berprestasinya debitur tepat pada waktunya yang disepakati dengan kreditur akan tetapi debitur berprestasi lebih dari waktunya.12

2.2.3 Akibat Wanprestasi

Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :

1. Membayar kerugian ( ganti rugi )

Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :

a. Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak

b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor


(42)

c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

Dalam ketentuan Pasal 1247 KUHPerdata disebutkan bahwa orang yang berhutang hanya diwajibkan mengganti biaya kerugian dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tersebut tidak dipenuhi perjanjian itu disebabkan karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.

2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian

Pembatal perjanjian karena kelalaian diatur dalam ketentuan pasal 1266 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat bata mengenai tidak dipenuhinya kewajiban tersebut dinyatakan dalam perjanjian. Apabila syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan pemohon, untuk memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajibannya, dimana jangka waktu yang dimaksud tidak boleh lebih dari satu bulan.

3. Peralihan resiko

Peralihan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata yaitu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan oleh salah satu pihak yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.


(43)

2.3 Lembaga Pembiayaan Konsumen

2.3.1 Pengertian Pembiayaan Konsumen

Pembiayaan konsumen dalam bahasa inggris disebut dengan istilah consumer finance.

Pembiayaan konsumen ini pada hakikatnya sama saja dengan kredit konsumen (consumer credit).

Yang membedakan adalah pada lembaga yang membiayainya. Pembiayaan konsumen adalah biaya yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan (financing company), sedangkan kredit konsumen diberikan oleh bank.13

Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan, memberikan pengertian lembaga pembiayaan konsumen sebagai suatu kegiatan pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pembiayaan Konsumen, Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan

barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Selain itu pengertian lainnya, pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang dan jasa yang akan langsung dikonsumsikan oleh konsumen, dan bukan untuk tujuan produksi atau distribusi. Perusahaan yang memberikan pembiayaan diatas, disebut perusahaan pembiayaan konsumen (Customer Finance

Company).

Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen.14 Mengacu pada ketentuan Undang-Undang

13 Sunaryo, 2007, Hukum Lembga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 96 14 Sentosa Sembiring, 2001, Hukum Dagang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.114.


(44)

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

2.3.2 Bentuk Perjanjian Pembiayaan Konsumen

Di dalam prakteknya pembiayan konsumen menggunakan perjanjian pembiayaan yang pada umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar.

Perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris yaitu standartcontract. Standar

kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Penyusunan perjanjian baku telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian, tetapi apabila menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut.

Dari subyek yang akan melakukan perjanjian, dalam membuat asas kebebasan berkontrak

para pihak bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan ”apa” dan ”dengan siapa” perjanjian itu diadakan dan bebas menentukan isi dari perjanjian. perjanjian. Bentuk perjanjian baku yang telah baku dapat mengurangi implementasi kebebasan berkontrak, karena isi perjanjian telah disusun oleh perusahaan. Apabila permintaan pembiayaan disetujui oleh perusahaan maka pihak konsumen tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memahami isi perjanjian. Ini disebabkan setelah permohonan disetujui pihak perusahaan langsung menyodorkan berkas perjanjian baku dan konsumen tidak disediakan waktu untuk memahami isi perjanjian.


(45)

Munir Fuady mengartikan kontrak baku yaitu suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk menegoisasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak, sehingga kontrak baku sangat berat sebelah.15

Penggunaan perjanjian baku dalam kontrak-kontrak yang biasanya dilakukan oleh pihak yang banyak melakukan perjanjian yang sama terhadap pihak lain, didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata tersebut sangat ideal jika para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak posisi tawarnya seimbang antara satu dengan yang lain.

2.3.3 Hubungan Para Pihak Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen

a. Pihak perusahaan pembiayaan dengan konsumen

Hubungan antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen adalah hubungan kontraktual, dalam hal ini kontrak pembiayaan. Pihak perusahaan pembiayaan berkewajiban untuk memberikan sejumlah dana (uang) untuk pembelian suatu barang konsumsi. Sementara pihak konsumen berkewajiban untuk membayar kembali uang tersebut secara angsuran (cicilan) kepada pihak

15 Munir Fuady, 1999, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), hal. 209


(46)

perusahaan pembiayaan. Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyediaan dengan konsumen adalah sejenis perjanjian kredit.

Secara yuridis apabila kontrak pembiayaan tersebut sudah ditandatangani oleh para pihak dan dana sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka

barang tersebut sudah langsung menjadi hak milik konsumen, meskipun harganya belum dibayar lunas. Dalam hal ini berbeda dengan kontrak leasing, dimana secara yuridis barang leasing tetap menjadi milik lessor, terkecuali pihak lessee menggunakan hak pilih (opsinya) untuk memiliki barang tersebut pada akhir kontrak.

b. Pihak supplier dengan konsumen

Antara pihak konsumen dengan supplier terdapat hubungan jual beli (bersyarat), di mana pihak supplier selaku penjual menjual barang kepada konsumen selaku pembeli dengan syarat, bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu pihak pemberi biaya.16 Syarat tersebut memiliki

arti, bahwa apabila karena alasan apapun pihak pemberi biaya tidak dapat menyediakan dananya, maka jual beli antara supplier dengan konsumen sebagai pembeli akan batal.

c. Pihak Perusahaan Pembiayaan dengan Supplier

Antara pihak penyedia dana (pemberi biaya) dengan supplier tidak ada hubungan hukum

yang khusus, kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga yang disyaratkan untuk menyediakan dana dan digunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak pemasok dengan konsumen. Oleh karena itu apabila pihak penyedia dana wanprestasi dalam menyediakan dananya, sementara kontrak jual beli maupun kontrak pembiayaan konsumen telah selesai dilakukan, maka jual beli bersyarat antara pemasok dengan konsumen akan batal, sehingga konsumen dapat menggugat pihak pemberi dana atas wanprestasinya


(47)

(1)

c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

Dalam ketentuan Pasal 1247 KUHPerdata disebutkan bahwa orang yang berhutang hanya diwajibkan mengganti biaya kerugian dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tersebut tidak dipenuhi perjanjian itu disebabkan karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.

2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian

Pembatal perjanjian karena kelalaian diatur dalam ketentuan pasal 1266 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat bata mengenai tidak dipenuhinya kewajiban tersebut dinyatakan dalam perjanjian. Apabila syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan pemohon, untuk memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajibannya, dimana jangka waktu yang dimaksud tidak boleh lebih dari satu bulan.

3. Peralihan resiko

Peralihan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata yaitu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan oleh salah satu pihak yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.


(2)

2.3 Lembaga Pembiayaan Konsumen 2.3.1 Pengertian Pembiayaan Konsumen

Pembiayaan konsumen dalam bahasa inggris disebut dengan istilah consumer finance. Pembiayaan konsumen ini pada hakikatnya sama saja dengan kredit konsumen (consumer credit). Yang membedakan adalah pada lembaga yang membiayainya. Pembiayaan konsumen adalah biaya yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan (financing company), sedangkan kredit konsumen diberikan oleh bank.13

Keputusan Menteri Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 Tentang Perusahaan Pembiayaan, memberikan pengertian lembaga pembiayaan konsumen sebagai suatu kegiatan pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pembiayaan Konsumen, Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Selain itu pengertian lainnya, pembiayaan konsumen adalah suatu pinjaman atau kredit yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada debitur untuk pembelian barang dan jasa yang akan langsung dikonsumsikan oleh konsumen, dan bukan untuk tujuan produksi atau distribusi. Perusahaan yang memberikan pembiayaan diatas, disebut perusahaan pembiayaan konsumen (Customer Finance Company).

Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen.14 Mengacu pada ketentuan Undang-Undang

13 Sunaryo, 2007, Hukum Lembga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 96 14 Sentosa Sembiring, 2001, Hukum Dagang, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.114.


(3)

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

2.3.2 Bentuk Perjanjian Pembiayaan Konsumen

Di dalam prakteknya pembiayan konsumen menggunakan perjanjian pembiayaan yang pada umumnya dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar.

Perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris yaitu standart contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Penyusunan perjanjian baku telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian, tetapi apabila menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut.

Dari subyek yang akan melakukan perjanjian, dalam membuat asas kebebasan berkontrak para pihak bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan ”apa” dan ”dengan siapa” perjanjian itu diadakan dan bebas menentukan isi dari perjanjian. perjanjian. Bentuk perjanjian baku yang telah baku dapat mengurangi implementasi kebebasan berkontrak, karena isi perjanjian telah disusun oleh perusahaan. Apabila permintaan pembiayaan disetujui oleh perusahaan maka pihak konsumen tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk memahami isi perjanjian. Ini disebabkan setelah permohonan disetujui pihak perusahaan langsung menyodorkan berkas perjanjian baku dan konsumen tidak disediakan waktu untuk memahami isi perjanjian.


(4)

Munir Fuady mengartikan kontrak baku yaitu suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali sudah tercetak dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk menegoisasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak, sehingga kontrak baku sangat berat sebelah.15

Penggunaan perjanjian baku dalam kontrak-kontrak yang biasanya dilakukan oleh pihak yang banyak melakukan perjanjian yang sama terhadap pihak lain, didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata tersebut sangat ideal jika para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak posisi tawarnya seimbang antara satu dengan yang lain.

2.3.3 Hubungan Para Pihak Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen

a. Pihak perusahaan pembiayaan dengan konsumen

Hubungan antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen adalah hubungan kontraktual, dalam hal ini kontrak pembiayaan. Pihak perusahaan pembiayaan berkewajiban untuk memberikan sejumlah dana (uang) untuk pembelian suatu barang konsumsi. Sementara pihak konsumen berkewajiban untuk membayar kembali uang tersebut secara angsuran (cicilan) kepada pihak

15 Munir Fuady, 1999, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), hal. 209


(5)

perusahaan pembiayaan. Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyediaan dengan konsumen adalah sejenis perjanjian kredit.

Secara yuridis apabila kontrak pembiayaan tersebut sudah ditandatangani oleh para pihak dan dana sudah dicairkan serta barang sudah diserahkan oleh supplier kepada konsumen, maka barang tersebut sudah langsung menjadi hak milik konsumen, meskipun harganya belum dibayar lunas. Dalam hal ini berbeda dengan kontrak leasing, dimana secara yuridis barang leasing tetap menjadi milik lessor, terkecuali pihak lessee menggunakan hak pilih (opsinya) untuk memiliki barang tersebut pada akhir kontrak.

b. Pihak supplier dengan konsumen

Antara pihak konsumen dengan supplier terdapat hubungan jual beli (bersyarat), di mana pihak supplier selaku penjual menjual barang kepada konsumen selaku pembeli dengan syarat, bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga yaitu pihak pemberi biaya.16 Syarat tersebut memiliki arti, bahwa apabila karena alasan apapun pihak pemberi biaya tidak dapat menyediakan dananya, maka jual beli antara supplier dengan konsumen sebagai pembeli akan batal.

c. Pihak Perusahaan Pembiayaan dengan Supplier

Antara pihak penyedia dana (pemberi biaya) dengan supplier tidak ada hubungan hukum yang khusus, kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga yang disyaratkan untuk menyediakan dana dan digunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak pemasok dengan konsumen. Oleh karena itu apabila pihak penyedia dana wanprestasi dalam menyediakan dananya, sementara kontrak jual beli maupun kontrak pembiayaan konsumen telah selesai dilakukan, maka jual beli bersyarat antara pemasok dengan konsumen akan batal, sehingga konsumen dapat menggugat pihak pemberi dana atas wanprestasinya


(6)