PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AFEKTIF UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SISWA DALAM ASPEK AKHLAK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

(1)

DAFTAR ISI

Hal ABSTRAK

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR ISI i ii iii iv BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

TEORI MODEL PEMBELAJARAN AFEKTIF A. Model Pembelajaran Afektif

B. Hakekat Kompetensi C. Hakekat Akhlak

METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian B. Prosedur Penelitian

C. Subyek Penelitian

D.Teknik Pengumpulan Data E. Pengembangan Instrumen F. Teknik Analisis Data

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama

B. Hasil Analisis Data

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

B. Rekomendasi

1 11 11 12 13 32 34 39 58 60 61 62 73 74 79 143 147


(2)

DAFTAR TABEL Hal TABEL 2.1 TABEL 2.2 TABEL 2.3 TABEL 4.1 TABEL 4-2 TABEL 4.3 TABEL 4-4 TABEL 4-5 TABEL 4-6 TABEL 4-7 TABEL 4-8 TABEL 4-9 TABEL 4-10 TABEL 4-11 TABEL 4-12 TABEL 4-13 TABEL 4-14 TABEL 4-15

Minat terhadap pelajaran Pendidikan Agama Islam Sikap terhadap pelajaran Pendidikan Agama Islam Pelajaran Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam (PAI) SMP 1 Wanasari Pendidikan Agama Islam (PAI) SMP 2 Wanasari Pendidikan Agama Islam (PAI) SMP 3 Wanasari Pendidikan Agama Islam (PAI) SMP 4 Wanasari Strategi Pembelajaran untuk Mengembangkan Akhlak (SMP 1 Wanasari )

Hasil Uji Validitas Untuk SMP 1 Wanasari Statistik SMP 1 Wanasari

SMP 1 Wanasari

Strategi Pembelajaran untuk Mengembangkan Akhlak (SMP 2 Wanasari)

Hasil Uji Validitas Untuk SMP 2 Wanasari Statistik SMP 2 Wanasari

SMP 2 Wanasari

Strategi Pembelajaran untuk Mengembangkan Akhlak (SMP 3 Wanasari)

Hasil Uji Validitas Untuk SMP 3 Wanasari Statistik SMP 3 Wanasari

51 52 52 82 95 109 122 86 91 93 93 100 105 107 107 114 118 120


(3)

TABEL 4-16 TABEL 4-17

TABEL IV-18 TABEL IV-19 TABEL IV-20

SMP 3 Wanasari

Strategi Pembelajaran untuk Mengembangkan Akhlak (SMP 4 Wanasari )

Hasil Uji Validasi Untuk SMP 4 Wanasari Statistik SMP 4 Wanasari

SMP 4 Wanasari

Hal 121 127

132 134 134


(4)

DAFTAR GAMBAR

Hal GAMBAR 1-1

GAMBAR 4.1 GAMBAR 4-2 GAMBAR 4-3 GAMBAR 4-4

Kerangka Pemikiran

Histrogram SMP 1 Wanasari Histrogram SMP 2 Wanasari Histrogram SMP 3 Wanasari Histrogram SMP 4 Wanasari

59 94 108 122 135


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Bagi suatu bangsa pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Dengan pendidikan manusia menjadi lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan, manusia juga akan mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena itu membangun pendidikan menjadi suatu keharusan, baik dilihat dari perspektif internal (kehidupan internal bangsa) maupun dalam perspektif eksternal (kaitannya dengan kehidupan bangsa-bangsa lain).

Pendidikan berasal dari kata Pedagogia (Yunani) yang terdiri dari kata Paedos (anak) dan Agoge (saya membimbing) yang menunjuk kepada seorang pelayan pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak ke dan dari sekolah (Fatoer.2010. The-fatoer. blogspot.com/ 2009./pengertian-pendidikan).

Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan.

Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam,dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek


(6)

yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Menurut Hartoto (Hartoto.2010. fatamorghana.wordpress.com/.../bab-ii-pengertian-dan-unsur-unsur-pendidikan/ -) memberikan batasan pengertian pendidikan

dari berbagai sudut pandang :

1. Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya

Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.

2. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi

Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.

3. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara

Diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.


(7)

3

4. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja

Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Hal Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.

Para ahli berpendapat tentang hakikat pendidikan dan batasan pengertiannya dan kesemuanya itu sejalan dengan isi hati mereka, menurut arah pandangan, pemahaman terhadap hakikat kehidupan dan tujuan hidup itu. Pendapat para ahli itu diantaranya (Fatoer.2010. The-fatoer.blogspot.com/2009/.../pengertian-pendidikan) :

1. Plato (filosof Yunani yang hidup dari tahun 429 SM-346 M) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah membantu perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang memungkinkan tercapainya kesempurnaan”. 2. Aristoteles (filosof terbesar Yunani, guru Iskandar Makedoni,

yang dilahirkan pada tahun 384 SM-322 SM) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah menyiapkan akal untuk pengajaran”.

3. Ibnu Muqaffa (salah seorang tokoh bangsa Arab yang hidup tahun 106 H- 143 H, pengarang Kitab Kalilah dan Daminah) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani”.

4. Herbert Spencer (filosof Inggris yang hidup tahun 1820-1903 M) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah menyiapkan seseorang agar dapat menikmati kehidupan yang bahagia”. 5. Rousseau (filosof Prancis, 1712-1778 M) mengatakan bahwa :


(8)

belum ada pada kita sewaktu masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya di waktu dewasa”.

6. James Mill (filosof Inggris, 1773-1836) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu harus menjadikan seseorang cakap, agar dia menjadi orang yang senantiasa berusaha mencapai kebahagiaan untuk dirinya terutama dan untuk orang lain selainnya”.

7. John Stuart Mill (filosof Inggris, 1806-1873 M) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu meliputi segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang untuk dirinya atau yang dikerjakan oleh orang lain untuk dia, dengan tujuan mendekatkan dia kepada tingkat kesempurnaan”.

8. John Dewey (filosof Chicago, 1859 M - 1952 M) mengatakan bahwa : " Pendidikan adalah membentuk manusia baru melalui perantaraan karakter dan fitrah, serta dengan mencontoh peninggalan - peninggalan budaya lama masyarakat manusia:. 9. Jean-Jacques Rousseau (filosof swiss 1712-1778) menurutnya :

“Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, tetapi kita membutuhkannya di waktu dewasa”.

10. Langeveld adalah seorang ahli pendidikan bangsa Belanda Ahli ini merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain”.

11. Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, 1889 - 1959) merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.

Pendidikan merupakan bidang yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan dapat mendorong peningkatan kualitas manusia dalam bentuk meningkatnya kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotor. Masalah yang dihadapi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupan sangat kompleks, banyak faktor yang harus dipertimbangkan karena pengaruhnya pada kehidupan manusia tidak dapat diabaikan, yang jelas


(9)

5

disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia suatu bangsa.

Pendidik diharapkan dapat mengembangkan model pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pencapaian seluruh kompetensi dasar perilaku terpuji dapat dilakukan tidak beraturan. Peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam.

Undang – Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menjelaskan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Anak didik adalah anak yang masih dalam proses perkembangan menuju kearah kedewasaan. Hal ini berarti bahwa anak harus berkembang menjadi manusia yang dapat hidup dan menyesuaikan dari dalam masyarakat, yang penuh dengan aturan-aturan dan norma-norma kesusilaan. Oleh karena itu perlulah anak di didik, dipimpin kearah yang dapat dan sanggup hidup menuruti aturan-aturan dan norma-norma kesusilaan. Jadi maksud dari tujuan pendidikan akhlak atau kesusilaan adalah memimpin anak setia serta mengerjakan segala sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk atas kemauan sendiri dalam segala hal dan setiap waktu.


(10)

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam tataran kognitif sudah banyak dilakukan oleh guru Pendidikan Agama Islam melaui metode ceramah, diskusi, dan lain-lain. Ranah psikomotorik melalui metode demonstrasi, bimbingan, dan praktek. Sedangkan ranah afektif dalam pendidikan agama di antaranya menggunakan metode pembiasaan dan keteladanan. Pada ranah dan metode terakhir disebut belum populer di lingkungan sekolah.

Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai.

Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai. Oleh karena itu perlu dikembangkan acuan pengembangan perangkat penilaian ranah afektif serta penafsiran hasil pengukurannya.

Ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial dan sebagainya. Untuk itulah, dalam


(11)

7

merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.

Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotorik dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik.

Di samping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan dan atau memberikan keterampilan tertentu saja, akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, banyak perilaku anak yang tidak sesuai dengan kaidah agama maupun norma di masyarakat seperti; makan dan minum sambil berjalan, makan dan minum sambil berbicara dan banyak lainnya.


(12)

Namun demikian, dalam proses pendidikan di sekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.

Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang

berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif). Akibatnya, upaya yang dilakukan setiap guru diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat menguasai sejumlah pengetahuan sesuai dengan standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat wilayah, maupun evaluasi nasional diarahkan kepada kemampuan anak menguasai materi pelajaran. Pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan misalnya yang semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral, oleh karena keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual, maka evaluasinya pun lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.

Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang

dapat memengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-¬faktor lain terutama


(13)

9

faktor lingkungan. Artinya, walaupun di sekolah guru berusaha memberikan contoh yang baik, akan tetapi manakala tidak didukung oleh lingkungan anak baik lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.

Misalnya, ketika anak diajarkan tentang keharusan bersikap jujur dan displin, maka sikap tersebut akan sulit diinternalisasi manakala di lingkungan luar sekolah anak banyak melihat perilaku-perilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru di sekolah begitu keras menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas, maka sikap tersebut akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas.

Demikian juga, walaupun di sekolah guru-guru menekankan perlunya bagi anak untuk berkata sopan dan halus disertai contoh perilaku guru, akan tetapi sikap itu akan sulit diterima oleh anak manakala di luar sekolah begitu banyak manusia yang berkata kasar dan tidak sopan. Atau ketika anak makan sambil berjalan yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat.Pembentukan sikap memang memerlukan upaya semua pihak, baik lingkungan sekolah, keluarga, maupun lingkungan masyarakat.

Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan

segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang.


(14)

Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama. Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa seseorang telah memakai sikap jujur hanya melihat suatu kejadian tertentu. Selain sikap jujur perlu diuraikan pada indikator-indikator yang mungkin sangat banyak, juga menilai sikap jujur perlu dilaksanakan secara terus-menerus hingga mengkristal dalam segala tindakan dan perbuatan.

Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi

informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program-program televisi, misalnya yang banyak menayangkan program acara produksi luar yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, kebutuhan pendidikan yang berbeda, dan banyak ditonton oleh anak-anak, sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental anak.

Secara perlahan tapi pasti budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung kehidupan, menggeser nilai-nilai lokal sebagai nilai luhur yang mestinya ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya membentuk karakter baru yang mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku.

Berangkat dari pemikiran dan permasalahan di atas, kemudian penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : Pengembangan Model Pembelajaran Afektif Untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa Dalam Aspek Akhlak Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Menengah Pertama.


(15)

11

B.Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini secara makro adalah

“Bagaimanakah model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan akhlak

siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama ?”.

Sedangkan mengingat luasnya rumusan masalah tersebut, penulis menjabarkannya menjadi beberapa pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kondisi pembelajaran PAI yang berlangsung di Sekolah Menengah Pertama di kecamatan Wanasari saat ini? 2. Desain model pembelajaran afektif yang bagaimanakah yang dapat

mengembangkan akhlak siswa?

3. Bagaimanakah efektifitas model pembelajaran afektif?

4. Apakah faktor pendukung dan penghambat penerapan model pembelajaran afektif?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan suatu model pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan akhlak siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan secara khusus bertujuan untuk :

1. Memperoleh gambaran kondisi pembelajaran PAI yang berlangsung di Sekolah Menengah Pertama di kecamatan Wanasari saat ini.


(16)

2. Memperoleh desain model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam.

3. Memperoleh gambaran efektifitas model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam.

4. Mengetahui apa saja faktor pendukung dan penghambat dari penerapan model pembelajaran afektif pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa dimanfaatkan / digunakan oleh :

1. Siswa : Mengembangkan akhlak siswa kaitannya terhadap materi akhlak yang sudah di sampaikan guru dalam mata pelajaran PAI sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari.

2. Guru PAI : Memperkaya model pembelajaran pada aspek akhlak mata pelajaran PAI di Sekolah Menengah Pertama baik dalam segi pemahaman konsep maupun segi penerapan.

3. Peneliti sendiri : Menambah wawasan dan pemahaman tentang strategi pembelajaran afektif sebagai bekal kompetensi pendidik yang profesional.


(17)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Pendekatan dan Metode Penelitian

Ada tiga strategi pokok di dalam membuat skala penilaian dan upaya untuk menemukan kepribadian, yaitu metode deduktif, induktif, dan eksternal. Metode deduktif, atau strategi berbasis pemikiran (juga merujuk kepada rasional, intuisi, dan pendekatan teoritis), berdasar pada gambaran teoritis di masa lampau mengenai ranah perilaku dan kepribadian yang menggambarkan instrumen yang sedang dirancang.

Sangat sukar untuk mengukur atau menilai sikap dan kejiwaan seseorang. Karena itu yang paling tradisional, evaluasi terhadap sikap dilakukan dengan pengamatan kepada tindak-tanduk peserta seusai proses. Tetapi ini memerlukan waktu yang lama. Karena itulah dikembangkan instrumen-instrumen untuk mengukur sikap. Beberapa instrumen yang banyak digunakan adalah :

a. Kuesioner

Berupa isian/pilihan terhadap alternatif, alternatif sikap tertentu. Dengan kuesioner bisa diketahui tingkat apresiasi seseorang terhadap suatu nilai atau fenomena tertentu.


(18)

b. Skala Sikap

Skala sikap berupa suatu skala untuk menilai sikap seseorang terhadap suatu nilai. Biasanya terdapat lima pilihan, yaitu setuju, sangat setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, dan ragu-ragu.

c. Skala Penilaian (Rating Scale)

Instrumen ini mirip dengan skala sikap. Hanya saja sikap ditunjukkan dengan satuan-satuan. Misalnya dengan memberikan angka 0 - 10 sebagai pertanda tingkat sikap, misalnya kesetujuan. Skala Likert adalah skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang tentang objek atau fenomena tertentu. Skala Likert memiliki 2 bentuk pernyataan, yaitu: pernyataan positif dan negatif. Pernyataan positif diberi skor 4,3,2, dan 1; sedangkan bentuk pernyataan negatif diberi skor 1,2,3 dan 4. Bentuk jawaban skala Likert terdiri dari sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Dengan Skala Likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain:

Sangat Penting (SP) Penting (P)

Tidak Penting (TP)


(19)

41

Skala Likert merupakan metode skala bipolar yang mengukur baik tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu pernyataan. Empat skala pilihan juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang memaksa orang memilih salah satu kutub karena pilihan "netral" tak tersedia.

Instrumen penelitian yang menggunakan skala Likert dapat dibuat dalam bentuk checklist ataupun pilihan ganda.

Keuntungan skala Likert adalah : a) Mudah dibuat dan diterapkan

b) Terdapat kebebasan dalam memasukkan pertanyaan-pertanyaan, asalkan mesih sesuai dengan konteks permasalahan

c) Jawaban suatu item dapat berupa alternative, sehingga informasi mengenai item tersebut diperjelas.

d) Reliabilitas pengukuran bisa diperoleh dengan jumlah item tersebut diperjelas.

Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Sedangkan instrumen penilaian yang akan digunakan dalam penelitian ini berdasarkan panduan dari Badan Standar Nasional Pendidikan dalam Panduan penilaian Kelompok mata pelajaran

Agama dan akhlak mulia, dikemukakan ada 11 (sebelas) langkah yaitu:

1. Menentukan spesifikasi instrumen

Ditinjau dari tujuannya ada lima macam instrumen pengukuran ranah afektif, yaitu :


(20)

a. Instrumen sikap b. Instrumen minat c. Instrumen konsep diri d. Instrumen nilai e. Instrumen moral

Dalam menyusun spesifikasi instrumen perlu memperhatikan empat hal yaitu :

a. Tujuan pengukuran b. Kisi-kisi instrument

c. Bentuk dan format instrument d. Panjang instrumen.

Setelah menetapkan tujuan pengukuran afektif, kegiatan berikutnya adalah menyusun kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi

(blue-print), merupakan matrik yang berisi spesifikasi instrumen yang

akan ditulis. Langkah pertama dalam menentukan kisi-kisi adalah menentukan definisi konseptual yang berasal dari teori-teori yang diambil dari buku teks. Selanjutnya mengembangkan definisi operasional berdasarkan kompetensi dasar, yaitu kompetensi yang dapat diukur. Definisi operasional ini kemudian dijabarkan menjadi sejumlah indikator. Indikator merupakan pedoman dalam menulis instrumen. Tiap indikator bisa dikembangkan dua atau lebih instrumen.


(21)

43

2. Menulis instrumen

Penilaian ranah afektif peserta didik dilakukan dengan menggunakan instrumen penilaian afektif sebagai berikut :

a. Instrumen sikap

Sikap merupakan kecenderungan merespon secara konsisten baik menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap suatu objek, misalnya kegiatan sekolah. Sikap bisa positif bisa negatif. Definisi operasional: sikap adalah perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek. Objek bisa berupa kegiatan atau mata pelajaran. Cara yang mudah untuk mengetahui sikap peserta didik adalah melalui kuesioner.

Pertanyaan tentang sikap meminta responden menunjukkan perasaan yang positif atau negatif terhadap suatu objek, atau suatu kebijakan. Kata-kata yang sering digunakan pada pertanyaan sikap menyatakan arah perasaan seseorang; menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk, diingini-tidak diingini.

Contoh indikator sikap terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) misalnya :


(22)

a) Membaca buku mata pelajaran PAI b) Mempelajari materi mata pelajaran PAI c) Melakukan interaksi dengan guru PAI d) Mengerjakan tugas mata pelajaran PAI e) Melakukan diskusi mata pelajaran PAI f) Memiliki buku mata pelajaran PAI Contoh pernyataan untuk kuesioner:

a) Saya senang membaca buku mata pelajaran PAI

b) Tidak semua orang harus belajar mata pelajaran PAI

c) Saya jarang bertanya pada guru tentang mata pelajaran PAI

d) Saya tidak senang pada tugas mata pelajaran PAI

e) Saya berusaha mengerjakan soal-soal mata pelajaran PAI sebaik-baiknya

f) Memiliki buku mata pelajaran PAI penting untuk semua peserta didik

b. Instrumen minat

Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap suatu mata pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk


(23)

45

meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran tersebut. Definisi konseptual: Minat adalah keinginan yang tersusun melalui pengalaman yang mendorong individu mencari objek, aktivitas, konsep, dan keterampilan untuk tujuan mendapatkan perhatian atau penguasaan. Definisi operasional: Minat adalah keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek.

Contoh indikator minat terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI):

a) Memiliki catatan mata pelajaran PAI b) Berusaha memahami mata pelajaran PAI c) Memiliki buku mata pelajaran PAI

d) Mengikuti pelajaran Pendidikan Agama Islam

Contoh pernyataan untuk kuesioner:

a) Buku catatan mata pelajaran PAI saya lengkap

b) Buku catatan mata pelajaran PAI saya terdapat coretan-coretan tentang hal-hal yang penting

c) Saya selalu menyiapkan pertanyaan sebelum mengikuti mata pelajaran PAI


(24)

d) Saya berusaha selalu hadir pada mata pelajaran PAI

c. Instrumen konsep diri

Instrumen konsep diri bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh oleh peserta didik. Definisi konseptual: konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri yang menyangkut keunggulan dan kelemahannya. Definisi operasional konsep diri adalah pernyataan tentang kemampuan diri sendiri yang menyangkut mata pelajaran.

Contoh indikator konsep diri:

a) Memilih mata pelajaran yang mudah dipahami

b) Memiliki kecepatan memahami mata pelajaran

c) Menunjukkan mata pelajaran yang dirasa sulit


(25)

47

Contoh pernyataan untuk instrumen:

a) Saya sulit mengikuti materi mata pelajaran PAI

b) Saya perlu waktu yang lama untuk memahami materi mata pelajaran PAI c) Saya mudah memahami materi mata

pelajaran PAI

d) Saya mudah menghafal suatu konsep. e) Saya merasa sulit mengikuti materi mata

pelajaran PAI d. Instrumen nilai

Nilai merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi peserta didik. Kegiatan yang disenangi peserta didik di sekolah dipengaruhi oleh nilai (value) peserta didik terhadap kegiatan tersebut. Misalnya, ada peserta didik yang menyukai pelajaran keterampilan dan ada yang tidak, ada yang menyukai pelajaran seni tari dan ada yang tidak. Semua ini dipengaruhi oleh nilai peserta didik, yaitu yang berkaitan dengan penilaian baik dan buruk. Nilai seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagaimana ia berbuat atau keinginan berbuat.


(26)

Nilai berkaitan dengan keyakinan, sikap dan aktivitas atau tindakan seseorang. Tindakan seseorang terhadap sesuatu merupakan refleksi dari nilai yang dianutnya. Definisi konseptual: Nilai adalah keyakinan terhadap suatu pendapat, kegiatan, atau objek. Definisi operasional nilai adalah keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Misalnya keyakinan akan kemampuan peserta didik dan kinerja guru.

Kemungkinan ada yang berkeyakinan bahwa prestasi peserta didik sulit ditingkatkan atau ada yang berkeyakinan bahwa guru sulit melakukan perubahan. Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang positif ditingkatkan sedang yang negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.

Contoh indikator nilai adalah:

a) Memiliki keyakinan akan peran sekolah b) Menyakini keberhasilan peserta didik c) Menunjukkan keyakinan atas kemampuan

guru.

d) Mempertahankan keyakinan akan harapan masyarakat


(27)

49

Contoh pernyataan untuk kuesioner tentang nilai peserta didik :

a) Saya berkeyakinan bahwa prestasi belajar peserta didik sulit untuk ditingkatkan. b) Saya berkeyakinan bahwa kinerja pendidik

sudah maksimal.

c) Saya berkeyakinan bahwa peserta didik yang ikut bimbingan tes cenderung akan diterima di perguruan tinggi.

d) Saya berkeyakinan sekolah tidak akan mampu mengubah tingkat kesejahteraan masyarakat.

e) Saya berkeyakinan bahwa perubahan selalu membawa masalah.

f) Saya berkeyakinan bahwa hasil yang dicapai peserta didik adalah atas usahanya.

Selain melalui kuesioner ranah afektif peserta didik, sikap, minat, konsep diri, dan nilai dapat digali melalui pengamatan. Pengamatan karakteristik afektif peserta didik dilakukan di tempat dilaksanakannya kegiatan pembelajaran. Untuk mengetahui keadaan ranah afektif peserta didik, perlu ditentukan dulu indikator substansi yang akan diukur, dan pendidik


(28)

harus mencatat setiap perilaku yang muncul dari peserta didik yang berkaitan dengan indikator tersebut. e. Instrumen Moral

Instrumen ini bertujuan untuk mengetahui moral peserta didik.

Contoh indikator moral sesuai dengan definisi tersebut adalah:

a) Memegang janji

b) Memiliki kepedulian terhadap orang lain c) Menunjukkan komitmen terhadap

tugas-tugas

d) Memiliki Kejujuran

Contoh pernyataan untuk instrumen moral : a) Bila saya berjanji pada teman, tidak harus

menepati.

b) Bila berjanji kepada orang yang lebih tua, saya berusaha menepatinya.

c) Bila berjanji pada anak kecil, saya tidak harus menepatinya.

d) Bila menghadapi kesulitan, saya selalu meminta bantuan orang lain.

e) Bila ada orang lain yang menghadapi kesulitan, saya berusaha membantu.


(29)

51

f) Kesulitan orang lain merupakan tanggung jawabnya sendiri.

g) Bila bertemu teman, saya selalu menyapanya walau ia tidak melihat saya. h) Bila bertemu guru, saya selalu memberikan

salam, walau ia tidak melihat saya.

i) Saya selalu bercerita hal yang menyenangkan teman, walau tidak seluruhnya benar.

j) Bila ada orang yang bercerita, saya tidak selalu mempercayainya.

3. Menentukan skala instrumen

Skala yang sering digunakan dalam instrumen penelilaian afektif adalah Skala Thurstone, Skala Likert, dan Skala Beda Semantik. Dibawah ini adalah contoh Skala Thurstone:

Tabel 2.1

Minat terhadap pelajaran Pendidikan Agama Islam

No Keterangan 7 6 5 4 3 2 1

1. Saya senang belajar PAI 2. Pelajaran PAI bermanfaat

3. Saya berusaha hadir tiap ada jam pelajaran PAI

4. Saya berusaha memiliki buku pelajaran PAI 5. Pelajaran PAI membosankan


(30)

Tabel 2.2

Sikap terhadap pelajaran Pendidikan Agama Islam

No Pertanyaan SS S TS STS

1 Pelajaran PAI sulit

2 Tidak semua harus belajar PAI 3 Pelajaran PAI harus dibuat mudah 4 Pelajaran PAI bermanfaat

Keterangan:

SS : Sangat setuju S : Setuju

TS : Tidak setuju STS : Sangat tidak setuju

Tabel 2.3

Pelajaran Pendidikan Agama Islam

a b c d e F g

Menyenangkan Membosankan

Sulit Mudah

Bermanfaat Sia-sia

Menantang Menjemukan

Banyak Sedikit

4. Menentukan pedoman penskoran

Sistem penskoran yang digunakan tergantung pada skala pengukuran. Apabila digunakan skala Thurstone, maka skor tertinggi untuk tiap butir 7 dan skor terendah 1. Demikian pula untuk instrumen dengan skala beda semantik, tertinggi 7 dan terendah 1. Untuk skala Likert, pada awalnya skor tertinggi tiap butir 5 dan terendah 1.

Dalam pengukuran sering terjadi kecenderungan responden memilih jawaban pada katergori tiga 3 (tiga) untuk skala


(31)

53

Likert. Untuk menghindari hal tersebut skala Likert dimodifikasi dengan hanya menggunakan 4 (empat) pilihan, agar jelas sikap atau minat responden. Skor perolehan perlu dianalisis untuk tingkat peserta didik dan tingkat kelas, yaitu dengan mencari rerata (mean) dan simpangan baku skor. Selanjutnya ditafsirkan hasilnya untuk mengetahui minat masing-masing peserta didik dan minat kelas terhadap suatu mata pelajaran.

5. Menelaah instrumen

Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: a) Butir pertanyaan/pernyataan sesuai dengan indikator. b) Bahasa yang digunakan komunikatif dan menggunakan

tata bahasa yang benar.

c) Butir peranyaaan/pernyataan tidak bias. d) Format instrumen menarik untuk dibaca

e) Pedoman menjawab atau mengisi instrumen jelas f) Jumlah butir dan atau panjang kalimat pertanyaan /

pernyataan sudah tepat sehingga tidak menjemukan untuk dibaca/dijawab.

Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan lebih baik bila ada pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman sejawat bila yang diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang digunakan


(32)

adalah yang sesuai dengan tingkat pendidikan responden. Hasil telaah selanjutnya digunakan untuk memperbaiki instrumen.

Panjang instrumen berhubungan dengan masalah kebosanan, yaitu tingkat kejemuan dalam mengisi instrumen. Lama pengisian instrumen sebaiknya tidak lebih dari 30 menit. Langkah pertama dalam menulis suatu pertanyaan / pernyataan adalah informasi apa yang ingin diperoleh, struktur pertanyaan, dan pemilihan kata-kata. Pertanyaan yang diajukan jangan sampai bias, yaitu mengarahkan jawaban responden pada arah tertentu, positif atau negatif.

Hasil telaah instrumen digunakan untuk memperbaiki instrumen. Perbaikan dilakukan terhadap konstruksi instrumen, yaitu kalimat yang digunakan, waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen, cara pengisian atau cara menjawab instrumen, dan pengetikan.

6. Merakit instrumen

Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu menentukan format tata letak instrumen dan urutan pertanyaan/ pernyataan. Format instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden tertarik untuk membaca dan mengisinya. Setiap sepuluh pertanyaan sebaiknya dipisahkan dengan cara memberi spasi yang lebih, atau diberi batasan garis empat persegi panjang. Urutkan pertanyaan/


(33)

55

pernyataan sesuai dengan tingkat kemudahan dalam menjawab atau mengisinya.

7. Melakukan ujicoba terbatas

Setelah dirakit lebih luas,instrumen diujicobakan kepada responden, sesuai dengan tujuan penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau orang tua peserta didik. Untuk itu dipilih sampel yang karakteristiknya mewakili populasi yang ingin dinilai. Bila yang ingin dinilai adalah peserta didik SMP, maka sampelnya juga peserta didik SMP. Sampel yang diperlukan minimal 30 peserta didik, bisa berasal dari satu sekolah atau lebih.

Pada saat ujicoba yang perlu dicatat adalah saran-saran dari responden atas kejelasan pedoman pengisian instrumen, kejelasan kalimat yang digunakan, dan waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen. Waktu yang digunakan disarankan bukan waktu saat responden sudah lelah. Selain itu sebaiknya responden juga diberi minuman agar tidak lelah. Perlu diingat bahwa pengisian instrumen penilaian afektif bukan merupakan tes, sehingga walau ada batasan waktu namun tidak terlalu ketat.

Agar responden mengisi instrumen dengan akurat sesuai harapan, maka sebaiknya instrumen dirancang sedemikian rupa sehingga waktu yang diperlukan mengisi instrumen tidak terlalu lama. Berdasarkan pengalaman, waktu yang diperlukan agar tidak jenuh adalah 30 menit atau kurang.


(34)

8. Menganalisis hasil ujicoba

Analisis hasil ujicoba meliputi variasi jawaban tiap butir pertanyaan/ pernyataan. Jika menggunakan skala instrumen 1 sampai 7, dan jawaban responden bervariasi dari 1 sampai 7, maka butir pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat dikatakan baik. Namun apabila jawabannya hanya pada satu pilihan jawaban saja, misalnya pada pilihan nomor 3, maka butir instrumen ini tergolong tidak baik. Indikator yang digunakan adalah besarnya daya beda.

Bila daya beda butir instrumen lebih dari 0,30, butir instrumen tergolong baik. Indikator lain yang diperhatikan adalah indeks keandalan yang dikenal dengan indeks reliabilitas. Batas indeks reliabilitas minimal 0,70. Bila indeks ini lebih kecil dari 0,70, kesalahan pengukuran akan melebihi batas. Oleh karena itu diusahakan agar indeks keandalan instrumen minimal 0,70.

9. Memperbaiki instrumen

Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/ pernyataan yang tidak baik, berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik, namun hasil ujicoba empirik tidak baik. Untuk itu butir pertanyaan/pernyataan instrumen harus diperbaiki. Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari responden ujicoba. Instrumen sebaiknya dilengkapi dengan pertanyaan terbuka.


(35)

57

10. Pelaksanakan pengukuran

Pelaksanaan pengukuran perlu memperhatikan waktu dan ruangan yang digunakan. Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah lelah. Ruang untuk mengisi instrumen harus memiliki cahaya (penerangan) yang cukup dan sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk juga diatur agar responden tidak terganggu satu sama lain. Diusahakan agar responden tidak saling bertanya pada responden yang lain agar jawaban kuesioner tidak sama atau homogen.

11. Menafsirkan hasil pengukuran

Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan hasil pengukuran diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan tergantung pada skala dan jumlah butir pertanyaan/pernyataan yang digunakan. Misalkan digunakan skala Likert yang berisi 10 butir pertanyaan/pernyataan dengan 4 (empat) pilihan untuk mengukur sikap peserta didik. Skor untuk butir pertanyaan/pernyataan yang sifatnya positif:

Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju. (4) (3) (2) (1)

Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju. (1) (2) (3) (4)

Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x 4 pilihan = 40, dan skor terendah 10 butir x 1 = 10. Skor ini


(36)

dikualifikasikan misalnya menjadi empat kategori sikap atau minat, yaitu sangat tinggi (sangat baik), tinggi (baik), rendah (kurang), dan sangat rendah (sangat kurang). Berdasarkan kategori ini dapat ditentukan minat atau sikap peserta didik. Selanjutnya dapat dicari sikap dan minat kelas terhadap mata pelajaran tertentu.

B.Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan tahap – tahap sebagai berikut :

1. Orientasi dan administrasi, yaitu melakukan observasi awal tentang kondisi penerapan suatu model/produk tertentu. Dalam kegiatan ini, yang dilakukan adalah menyusun proposal penelitian, memilih lokasi dan mengurus perijinan

2. Menyusun instrumen studi pendahuluan

3. Pelaksanaan studi pendahuluan di SMP 1 Wanasari 4. Pengembangan model pembelajaran afektif

5. Pelaksanaan uji coba terbatas di SMP 1 Wanasari dan uji coba lebih luas di SMP 1 Wanasari, SMP 2 Wanasari SMP 3 Wanasari dan SMP 4 Wanasari.


(37)

59

Sedangkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Gambar 1.1 Kerangka Berfikir

Dalam penelitian ini,pemanfaatan media yang didukung oleh desain pembelajaran dan menajemen pembelajaran menghasilkan proses pembelajaran yang kemudian dievaluasi dan hasilnya adalah peningkatan akhlak siswa.

Pengembangan model pembelajaran yang dapat meningkatkan akhlak siswa dengan menggunakan pembelajaran afektif dipengaruhi oleh desain pembelajaran dan manajemen pembelajaran serta di tunjang dengan pemanfaatan media pembelajaran. Kemudian dilakukan evaluasi untuk mengetahui seberapa besar hasil proses pembelajaran tersebut. Dari hasil evaluasi akan diketahui penguasaan kompetensi siswa terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada aspek akhlak di Sekolah Menengah Pertama yang muaranya adalah peningkatan akhlak siswa.

Pemanfaat an Media

Desain

Pembelajaran

Evaluasi

Manajemen Pembelajaran Proses

Pembelajaran

Peningkat an Akhlak


(38)

C.Subyek Penelitian

Sumber penelitian dalam penelitian ini adalah siswa dan guru sebagai responden. Penelitian dilakukan pada kelas VIII semester II. Uji coba terbatas dilaksanakan pada SMP 1 Wanasari, sedangkan ujicoba luas dilaksanakan di SMP 2 Wanasari, SMP 3 Wanasari dan SMP 4 Wanasari dengan sampel masing – masing sekolah adalah 30 - 34 orang siswa.

Alasan yang menjadi pertimbangan atas pemilihan keempat lokasi SMP tersebut adalah :

1. Keempat SMP tersebut mewakili kualifikasi tinggi, sedang dan rendah.

2. Berdasarkan observasi awal, di empat SMP tersebut belum banyak menggunakan model pembelajaran afektif. Hampir seluruh materi dalam dua aspek pembeljaran PAI (pemahaman konsep dan penerapan) diajarkan dengan metode ceramah biasa.

3. Keempat SMP tersebut berlokasi di Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes, dimana peneliti berdomisili, sehingga dirasa penting untuk mengembangkan model pembelajaran afektif yang baik di daerah sendiri dan terdekat dengan lokasi peneliti.


(39)

61

D. Teknik Pengumpulan Data

Penulis dalam penelitian ini akan berfokus pada tiga hal yaitu :

1. Kondisi pembelajaran PAI di kelas pada saat sekarang sebagai bagian dari penelitian pra survey.

2. Penerapan model pembelajaran afektif pada mata pelajaran PAI dengan uji coba terbatas pada satu SMP.

3. Penerapan model pembelajaran afektif pada mata pelajaran PAI dengan uji coba luas pada tiga SMP.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dikaitkan dengan kebutuhan berdasarkan tahap – tahap penelitian yaitu :

1. Tahap penelitian pra survey dikembangkan instrumen angket, baik untuk guru maupun untuk siswa, wawancara dan instrumen observasi sekolah.

2. Tahap pengembangan model pada uji coba terbatas dikembangkan instrumen observasi kelas dan instrumen nilai (post test).

3. Tahap pengembangan pada uji coba luas dikembangkan instrumen observasi kelas dan instrumen nilai (post test).


(40)

E.Pengembangan Instrumen 1. Definisi Operasional

Peningkatan akhlak siswa merupkan hasil yang harus dituju dalam proses pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) khusunya dalam aspek akhlak di setiap jenjang pendidikan.

Adapun metode pendidikan Islam dalam upaya perbaikan ataupun peningkatan akhlak adalah mengacu pada dua hal pokok, yakni pengajaran dan pembiasaan. Yang dimaksud dengan pengajaran adalah sebagai dimensi teoritis dalam upaya perbaikan dan pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pembiasaan untuk dimensi praktis dalam upaya pembentukan (pembinaan) dan persiapan.

Ali Kholil Abu’Ainin (dalam arianto sam.2010.h.43). mengemukakan secara panjang lebar tentang metode pendidikan Islam, yang diringkasnya menjadi 11 (sebelas) macam, yaitu :

a) Pengajaran tentang cara beramal dan pengalaman / ketrampilan. Metode ini dapat dilakukan melalui ibadah shalat, zakat, puasa, haji dan ijtihad.

b) Mempergunakan akal c) Contoh yang baik dan jujur

d) Perintah kepada kebaikan, larangan perbuatan munkar saling berwasiat kebenaran, kesabaran dan kasih sayang.

e) Nasihat-nasihat f) Kisah-kisah


(41)

63

g) Tamsil (perumpamaan)

h) Menggemarkan dan menakutkan atau dorongan dan ancaman. i) Menanamkan atau menghilangkan kebiasaan.

j) Menyalurkan bakat.

k) Peristiwa-peristiwa yang telah berlalu.

Di dalam penelitian ini, peningkatan akhlak siswa bisa di lihat sebagai keseluruhan proses pembelajaran hingga evaluasi dengan menggunakan pembelajaran afektif. Siswa di sebut mengalami peningkatan akhlak jika sebelum dan sesudah penelitian ini dilakukan, ada perbedaan positif di dalam prilaku mereka.

2. Kisi-kisi Instrumen

Kisi – Kisi Penelitian Pra Survey

” PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AFEKTIF

UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SISWA DALAM ASPEK AKHLAK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA”

Fokus masalah penelitian Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian

Instrumen Sumber Data Bagaimanakah

kondisi pembelajaran PAI yang berlangsung di Sekolah

a. Bagaimanakah persepsi guru mengenai hakekat PAI di SMP ? b. Bagaimanakah

kondisi dan pola

Memperoleh data persepsi guru tentang PAI di SMP

Memperoleh data tentang

Angket Wawancara Angket Guru Kepala sekolah Guru


(42)

Menengah Pertama di kecamatan Wanasari saat ini?

pembelajaran PAI yang selama ini berlangsung?

c. Bagaimanakah persepsi siswa mengenai

pembelajran PAI di SMP?

d. Bagaimanakah ketersediaan dan pemanfaatan

sarana dan

prasarana untuk mata pelajaran PAI di SMP?

kondisi dan pola

pembelajaran PAI yang selama ini berlangsung. Memperoleh data persepsi siswa

mengenai pembelajaran PAI di SMP

Memperoleh data tentang ketersediaan dan

pemanfaatan sarana dan prasarana untuk mata pelajaran PAI di SMP. Angket Angket Studi dokumen tasi Siswa Guru


(43)

65

Kisi – Kisi Instrumen Penelitian

Fokus masalah penelitian : “Bagaimanakah model pengembangan model

pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di sekolah menengah pertama?”

Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian Data Yang dibutuhkan Instrumen Sumber Data 1. Desain strategi

pengembangan model pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di sekolah menengah pertama. Adapun masalahnya adalah:

a. strategi

pengembangan model pembelajaran afektif untuk meningkatkan

kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama

Membuat desain pengembangan model

pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran

pendidikan agama islam di SMP

Rumusan desain strategi pengembangan model pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di SMP

Angket

Angket

Guru


(44)

islam di sekolah menengah pertama.? b. pemanfaatan model

pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di sekolah menengah pertama.

c. Pengelolaan model pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di sekolah menengah pertama.

Memanfaatkan strategi pengem bangan model pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akh lak pada mata pelajaran PAI di SMP Mengelola strategi pengembangan model pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran

pendidikan agama islam di SMP

Rumusan pemanfaatan strategi pengembanagan model pembelajaran

afektif untuk

meningkatkan

kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di SMP

Rumusan pengelolaan strategi pengembangan model pembelajaran

afektif untuk

meningkatkan

kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di sekolah menengah pertama. Angket Skala Likert Guru Siswa


(45)

67

d. penilaian strategi model pembelajaran afektif untuk meningkatkan

kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di sekolah menengah

2. Apakah hasil pene rapan strategi pem -belajaran afektif dapat meningkatkan akhlak siswa

Melakukan

penilaian strategi pengembangan model

pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran

pendidikan agama islam di SMP Mengetahui sejauh mana keberhasilan strategi model pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran PAI di SMP?

Rumusan penilaian strategi pengembangan model pembelajaran

afektif untuk

meningkatkan

kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama islam di SMP

Hasil Belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran model pembelajaran afektif yang berupa data hasil penilaian dengan menggunakan skala likert. Hasil Belajar Hasil Belajar Siswa


(46)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP) 12.2

Sekolah : SMP

Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam Kelas /Semester : VIII/1

Standar Kompetensi

: 12. Membiasakan perilaku terpuji

Kompetensi Dasar : 12.2. Menampilkan contoh adab makan dan minum

Indikator • Membedakan kebiasaan makan minum yang baik dan yang kurang baik

• Mensimulasikan tata krama (adab) makan dan minum dalam berbagai situasi

Alokasi Waktu : 2 X 40 menit ( 1 pertemuan) Tujuan Pembelajaran

Siswa mamahami perbedaan makan minum yang baik dan yang kurang baik dan mensimulasikannya.

Materi Pembelajaran

• Perbedaan makan minum yang yang baik dan yang kurang baik

• Simulasi tata krama (adab) makan dan minum dalam berbagai situasi Metode Pembelajaran

• Simulasi

• Diskusi

• Penugasan

Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Pendahuluan

• Apersepsi

• Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil.

Kegiatan Inti

• Guru menjelaskan langkah-langkah kegiatan simulasi yang harus dilakukan siswa.

• Siswa berdiskusi untuk mencari contoh-contoh kebiasaan makan dan minum yang baik dan yang kurang baik.


(47)

69

Kegiatan Penutup

• Guru bersama siswa melakukan refleksi mengenai kegiatan belajar dalam KD ini. Bermanfaat atau tidak ? Menyenangkan atau tidak ?

Sumber Belajar

• Buku PAI Kelas VIII Tim Abdi Guru Penerbit Erlangga

• LKS MGMP PAI SMP Kabupaten Brebes Penilaian

Teknik

• Skala Sikap

Bentuk Instrumen

• Skala Likert

Instrumen

Siswa mempraktekkan adab makan minum yang baik (sesuai dengan adab/ajaran Islam) dengan menggunakan model klarifikasi nilai dan diakhiri evaluasi menggunakan skala likert.

Brebes, Juli 2011

Mengetahui Guru Mapel PAI

Kepala Sekolah

_________________ _________________


(48)

3. Alat Pengumpulan Data

Salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran afektif mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama. Berkenaan dengan hal tersebut, maka metode yang dirasa tepat untuk digunakan di dalam penelitian ini adalah Research

and Development. Sebagaimana kita ketahui, hasil (produk) yang

dikembangkan melalui Research and Development ini tidak hanya meliputi bahan – bahan material seperti buku cetak, media audio, visual,audio-visual dan sejenisnya. Tetapi juga bisa mencakup prosedur dan proses yang ditetapkan seperti metode mengajar dan metode mengorganisasi pembelajaran. Produk yang diharapkan melalui metode Research and

Development ini adalah desain model pembelajaran Pendidikan Agama

Islam (PAI) pada aspek Akhlak di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di dalam penelitian model pembelajaran afektif ini, peneliti akan menggunakan instrumen penilaian afektif dengan penggunaan teknik penilaiannya adalah instrumen nilai dengan penggunaan bentuk instrumen nya adalah skala likert.

Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.


(49)

71

Angket (kuisoner) dalam penelitian ini digunakan sebagai salah satu alat untuk menjaring data tentang aktifitas belajar – mengajar dan pembelajaran PAI yang sedang berjalan, kondisi dan pemanfaatan sarana dan fasilitas Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), kemampuan siswa, profesionalitas, kemampuan dan kinerja guru, serta lingkungan pembelajaran.

Angket atau kuesioner (questionnaire) merupakan suatu teknik atau cara pengumpulan data secara tidak langsung (peneliti tidak secar langsung bertanya jawab dengan responden). Instrumen atau alat pengumpulan data nya juga disebut angket. Berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab atau direspon oleh responden. (Nana Syaodih Sukmadinata, 2009 : 219).

Selain instrumen penilaian afektif dengan penggunaan teknik penilaian instrumen nilai dan juga penggunaan kuisoner, dalam penelitian ini juga digunakan instrumen observasi. Observasi (observation) atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Kegiatan tersebut bisa berkenaan dengan cara guru mengajar, cara belajar siswa, kepala sekolah yang sedang memberikan pengarahan dan sebagainya. Observasi dapat dilakukan secara partisipatif maupun non pertisipatif. Dalam observasi partisipatif (participatory observation) pengamat ikut serta dalam kegiatan yang sedang berlangsung, pengamat ikut sebagai peserta rapat atau pelatihan. Dalam obsrvasi non partisipatif


(50)

(non participatory observation) pengamat tidak ikut serta dalam kegiatan, dia hanya berperan mengamati kegiatan, tidak ikut dalam kegiatan. (Nana Syaodih.2009.220).

Dalam penelitian ini, kegiatan observasi kelas dilakukan pada tahap penelitian pra survey dan tahap pengembangan model. Kegiatan obsevasi ini merupakan pengamatan proses dalam situasi yang sebenarnya dan langsung diamati oleh peneliti.

Prosedurnya sama dengan kuisoner, yaitu dimulai dengan penentuan definisi konseptual dan definisi operasional. Definisi konseptual kemudian diturunkan menjadi sejumlah indikator. Indikator ini menjadi isi pedoman observasi. Misalnya indikator peserta didik berminat pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah kehadiran di kelas, kerajinan dalam mengerjakan tugas-tugas, banyaknya bertanya, kerapihan dan kelengkapan catatan. Hasil observasi akan melengkapi informasi dari hasil kuesioner. Dengan demikian informasi yang diperoleh akan lebih akurat, sehingga kebijakan yang ditempuh akan lebih tepat.

Wawancara atau interviu (interview) juga digunakan dalam penelitian ini. Wawancara dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual. Adakalanya juga wawancara dilakukan secara kelompok, kalau memang tujuannya untuk untuk menghimpun data dari kelompok seperti dengan suatu keluarga, pengurus yayasan, Pembina pramuka dan lain – lain. (Nana Syaodih.2009.216).


(51)

73

Dalam penelitian ini, wawancara akan dilakukan terhadap Kepala sekolah, bagian kurikulum, guru PAI dan Siswa kelas VIII dari tiap – tiap sekolah yang menjadi obyek penelitian. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang segala macam informasi mengenai pembelajaran Pendidikan Agama Islam khusus nya dalam materi akhlak di kelas VIII.

F. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis, yakni dengan analisis data kualitatif dan kuantitatif.

1. Analisis data kualitatif dilakukan untuk menganalisis data studi pendahuluan, termasuk hasil observasi, angket dan dokumentasi. 2. Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis data skor

hasil belajar siswa melalui uji -t dan chi kuadrat. Uji –t dipergunakan untuk mengetahui signifikansi antara sebelum dan sesudah pengembangan model pembelajaran afektif dilakukan. Sedang chi kuadrat dipergunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pelaksanaan pengembangan model pembelajaran afektif pada sekolah – sekolah tersebut.


(52)

BAB V KESIMPULAN

A.Kesimpulan

Penelitian ini mengkaji tentang pengembangan model pembelajaran afektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah menengah pertama dengan kesimpulan sebagai berikut :

1. Kondisi pembelajaran PAI di yang berlangsung Sekolah Menengah

Pertama di Kecamatan Wanasari saat ini.

Guru Pendidikan Agama Islam berperan penting dalam mengembangkan model – model pembelajaran yang dapat memperluas pemahaman peserta didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya. Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual.

Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih


(53)

144

banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu.

Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekaligus juga seni.

Sebelum penelitian dilakukan, gambaran pembelajaran Pendididkan Agama Islam di dalam kelas cenderung hanya disampaikan melalui metode ceramah. Setelah diujicobakan tentang model pembelajaran afektif, Guru punya alternatif lain dalam pembelajaran aspek akhlak pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wanasari.

2. Desain model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan akhlak

siswa

Berdasarkan proses pembelajaran PAI di kelas, yang dilakukan dalam rangka melibatkan siswa supaya lebih aktif. Dalam hal ini, guru harus dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.

Adapun metode yang digunakan dalam model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam antara lain :

a) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya b) Menyuruh siswa untuk mengungkapkan materi sebelumnya.


(54)

c) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat.

d) Menyuruh siswa untuk membuat kesimpulan dari materi yang telah disampaikan dengan pemahaman nilai yang diyakini oleh siswa.

e) Mengaplikasikan materi akhlak yang diajarkan oleh guru dalam kehidupan sehari-hari.

f) Mengamati perilaku siswa setelah mendapatkan materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari dengan metode pengukuran tes nya adalah skala likert.

3. Efektifitas model pembelajaran afektif

Angket yang diberikan kepada siswa-siswi sebanyak120 orang sebagai responden dari SMP 1, Wanasari SMP 2 Wanasari, SMP 3 Wanasari, dan SMP 4 Wanasari. Masing-masing kelas diambil 30 orang sebagai perwakilan sekolah.

Dalam penelitian ini, digunakan model pembelajaran afektif klarifikasi nilai. Model klarifikasi nilai (values clarification model) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Model ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang.

Bagi penganut model ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya


(55)

146

sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut model ini berpandangan bahwa isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, yang paling menonjol adalah SMP 1 Wanasari meskipun pelajaran yang diberikan oleh guru PAI sama pada tiap – tiap sekolah tersebut.

4. Faktor pendukung dan penghambat penerapan model pembelajaran

afektif

Faktor pendukung dalam penerapan model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam di Sekolah Menengah pertama (SMP) yang menjadi objek penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Antusiasme dan ketertarikan guru dalam mengaplikasikan model pembelajaran afektif di kelas.

b. Siswa merasa lebih memahami materi yang diajarkan oleh guru dengan melalui model pembelajaran afektif dibanding dengan model pembelaran dengan metode ceramah.

Adapun Faktor penghambat dalam penerapan model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang menjadi objek penelitian antara lain:


(56)

a. Belum lengkapnya ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah untuk menunjang kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan menggunakan model pembelajaran afektif.

b. Masih adanya guru yang merasa bahwa tak perlu menggunakan model pembelajaran apapun selain model pembelajaran yang selama ini sudah dilaksanakannya dalam setiap pembelajaran di kelas setiap tahunnya.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, maka penulis memberikan rekomendasi kepada :

1. Guru

Dalam setiap pembelajaran Pendidikan Agama Islam, seorang guru diharapkan tidak hanya terpaku pada satu model pembelajaran yang monoton. Teknik penyampaian materi pelajaran juga jangan hanya dengan teknik ceramah. Guru harus dibiasakan menggunakan model pembelajaran yang inovatif dan tepat sasaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran.

Guru Pendidikan Agama Islam pada sekolah yang menjadi obyek peneltian ini, perlu ditingkatkan lagi kualitas pemahaman dan pengamalannya tentang model pembelajaran afektif agar bisa melaksanakan model pemvbelajaran afektif yang efisien dan efektif.


(57)

148

2. Kepala Sekolah

Mendorong guru untuk terus berinovasi demi kemajuan siswa, termasuk inovasi dalam model pembelajran untuk meningkatkan akhlak siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wanasari.

Disamping hal tersebut, kepala sekolah juga harus mengupayakan sarana dan prasarana pendukung dalam setiap kegiatan pembelajaran termasuk untuk model pembelajaran afektif untuk meningkatkan akhlak siswa.

3. Peneliti selanjutnya

Peneliti merasakan masih adanya pengaruh/faktor lain yang menghambat penerapan model pembelajaran afektif pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam aspek akhlak di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wanasari. Maka agar pengaruh/faktor tersebut dapat diketahui lebih mendalam, perlu dilakukan penelitian lanjutan. Dengan demikian, diperoleh informasi secara jelas mengenai pengaruh/faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan model pembelajaran afektif di sekolah menengah pertama di kecamatan wanasari selain faktor keterbatasan sarana dan prasana dalam proses belajar mengajar serta keengganan guru untuk terus berinovasi dalam profesinya terutama dalam inovasi model pembalajaran.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, (1996), Akhlak Tasawuf , Jakarta, : Raja Grafindo Persada.

Ahmad Badruzaman, (2006), Strategi dan Pendekatan Dalam Pembelajaran, Yogyakarta : Ar Ruuz.

Akhmadsudrajat.wordpress.com/model-pembelajaran-afektif-sikap.

.../Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran.

Asnelly Ilyas, (1998), Mendambakan Anak Soleh, Prinsip – prinsip Pendidikan

Anak Dalam Islam, Bandung : Al – Bayan.

Allen L. Edwards, (1957) Techniques of Attitude Scale Construction, New York : Appleton-century-crofts,inc.

Badan standar nasional pendidikan, (2007), Panduan penilaian Kelompok mata

pelajaran Agama dan akhlak mulia. Badan standar nasional pendidikan

Departemen pendidikan nasional.

Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Pedoman Umum Pengembangan

Silabus SMP.

Daniel Goleman, (2001), Emotional Intelligence terj. Kecerdasan Emosional, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (2004), Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Fatoer.2010.The-fatoer.blogspot.com/2009/.../pengertian-pendidikan)

Hamzah Ya’qub, (1996), Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah, Bandung : Diponogoro.

Hartoto.fatamorghana.wordpress.com/.../bab-ii-pengertian-dan-unsur-unsur-pendidikan/ -

Humaidi, M.K, (2006), Model-Model Pembelajaran Kreatif, Bandung : Remaja Rosdakarya,


(59)

150

Lorin. W. Anderson, (1981), Assessing affective characteristic in the schools. Boston: Allyn and Bacon.

Muhaimin, (2005) Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di

Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : PT. Rajagrafindo

Persada.

Mochamad Jawahir, (2005), Teknik dan Strategi Pembelajaran, Bandung : Cendekia Press.

Muhammad Athiyah Al – Abrasy, (1997), Dasar – dasar Pokok Pendidikan Islam

(terj.at – tarbiyah al - islamiyah), Jakarta : Bulan Bintang.

Nana Syaodih Sukmadinata, (2009), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Omar Hamalik, (1994), Metode Belajar dan kesulitan-Kesulitan Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.

Roestiyah N.K, (2008), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Syaiful Bahri Djamarah, (2000), Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif,

Jakarta : PT Rineka Cipta.

Suharsimi Arikunto,(1993) Prosedur Penelitian, Jakarta : PT. Rineka Cipta. ... (2002), Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi

Aksara.

S. Wojowasito, WJS. Poerwadarminta, (1990), Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Indonesia – Inggris, Bandung : Angkasa Offset.

Wina Sanjaya, (2008), Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses

Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan

Nasional, (Online), (http/// www. depdiknas.go.id/ UU RI No


(1)

c) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat.

d) Menyuruh siswa untuk membuat kesimpulan dari materi yang telah disampaikan dengan pemahaman nilai yang diyakini oleh siswa.

e) Mengaplikasikan materi akhlak yang diajarkan oleh guru dalam kehidupan sehari-hari.

f) Mengamati perilaku siswa setelah mendapatkan materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari dengan metode pengukuran tes nya adalah skala likert.

3. Efektifitas model pembelajaran afektif

Angket yang diberikan kepada siswa-siswi sebanyak120 orang sebagai responden dari SMP 1, Wanasari SMP 2 Wanasari, SMP 3 Wanasari, dan SMP 4 Wanasari. Masing-masing kelas diambil 30 orang sebagai perwakilan sekolah.

Dalam penelitian ini, digunakan model pembelajaran afektif klarifikasi nilai. Model klarifikasi nilai (values clarification model) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Model ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang.

Bagi penganut model ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya


(2)

146

sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut model ini berpandangan bahwa isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, yang paling menonjol adalah SMP 1 Wanasari meskipun pelajaran yang diberikan oleh guru PAI sama pada tiap – tiap sekolah tersebut.

4. Faktor pendukung dan penghambat penerapan model pembelajaran afektif

Faktor pendukung dalam penerapan model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam di Sekolah Menengah pertama (SMP) yang menjadi objek penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Antusiasme dan ketertarikan guru dalam mengaplikasikan model pembelajaran afektif di kelas.

b. Siswa merasa lebih memahami materi yang diajarkan oleh guru dengan melalui model pembelajaran afektif dibanding dengan model pembelaran dengan metode ceramah.

Adapun Faktor penghambat dalam penerapan model pembelajaran afektif yang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam aspek akhlak pada mata pelajaran Pendididkan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang menjadi objek penelitian antara lain:


(3)

a. Belum lengkapnya ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah untuk menunjang kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan menggunakan model pembelajaran afektif.

b. Masih adanya guru yang merasa bahwa tak perlu menggunakan model pembelajaran apapun selain model pembelajaran yang selama ini sudah dilaksanakannya dalam setiap pembelajaran di kelas setiap tahunnya.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, maka penulis memberikan rekomendasi kepada :

1. Guru

Dalam setiap pembelajaran Pendidikan Agama Islam, seorang guru diharapkan tidak hanya terpaku pada satu model pembelajaran yang monoton. Teknik penyampaian materi pelajaran juga jangan hanya dengan teknik ceramah. Guru harus dibiasakan menggunakan model pembelajaran yang inovatif dan tepat sasaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran.

Guru Pendidikan Agama Islam pada sekolah yang menjadi obyek peneltian ini, perlu ditingkatkan lagi kualitas pemahaman dan pengamalannya tentang model pembelajaran afektif agar bisa melaksanakan model pemvbelajaran afektif yang efisien dan efektif.


(4)

148

2. Kepala Sekolah

Mendorong guru untuk terus berinovasi demi kemajuan siswa, termasuk inovasi dalam model pembelajran untuk meningkatkan akhlak siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wanasari.

Disamping hal tersebut, kepala sekolah juga harus mengupayakan sarana dan prasarana pendukung dalam setiap kegiatan pembelajaran termasuk untuk model pembelajaran afektif untuk meningkatkan akhlak siswa.

3. Peneliti selanjutnya

Peneliti merasakan masih adanya pengaruh/faktor lain yang menghambat penerapan model pembelajaran afektif pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam aspek akhlak di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wanasari. Maka agar pengaruh/faktor tersebut dapat diketahui lebih mendalam, perlu dilakukan penelitian lanjutan. Dengan demikian, diperoleh informasi secara jelas mengenai pengaruh/faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan model pembelajaran afektif di sekolah menengah pertama di kecamatan wanasari selain faktor keterbatasan sarana dan prasana dalam proses belajar mengajar serta keengganan guru untuk terus berinovasi dalam profesinya terutama dalam inovasi model pembalajaran.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, (1996), Akhlak Tasawuf , Jakarta, : Raja Grafindo Persada.

Ahmad Badruzaman, (2006), Strategi dan Pendekatan Dalam Pembelajaran, Yogyakarta : Ar Ruuz.

Akhmadsudrajat.wordpress.com/model-pembelajaran-afektif-sikap.

.../Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran.

Asnelly Ilyas, (1998), Mendambakan Anak Soleh, Prinsip – prinsip Pendidikan Anak Dalam Islam, Bandung : Al – Bayan.

Allen L. Edwards, (1957) Techniques of Attitude Scale Construction, New York : Appleton-century-crofts,inc.

Badan standar nasional pendidikan, (2007), Panduan penilaian Kelompok mata pelajaran Agama dan akhlak mulia. Badan standar nasional pendidikan Departemen pendidikan nasional.

Departemen Pendidikan Nasional, (2003), Pedoman Umum Pengembangan Silabus SMP.

Daniel Goleman, (2001), Emotional Intelligence terj. Kecerdasan Emosional, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (2004), Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Fatoer.2010. The-fatoer.blogspot.com/2009/.../pengertian-pendidikan)

Hamzah Ya’qub, (1996), Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah, Bandung : Diponogoro.

Hartoto.fatamorghana.wordpress.com/.../bab-ii-pengertian-dan-unsur-unsur-pendidikan/ -

Humaidi, M.K, (2006), Model-Model Pembelajaran Kreatif, Bandung : Remaja Rosdakarya,


(6)

150

Lorin. W. Anderson, (1981), Assessing affective characteristic in the schools. Boston: Allyn and Bacon.

Muhaimin, (2005) Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.

Mochamad Jawahir, (2005), Teknik dan Strategi Pembelajaran, Bandung : Cendekia Press.

Muhammad Athiyah Al – Abrasy, (1997), Dasar – dasar Pokok Pendidikan Islam (terj.at – tarbiyah al - islamiyah), Jakarta : Bulan Bintang.

Nana Syaodih Sukmadinata, (2009), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Omar Hamalik, (1994), Metode Belajar dan kesulitan-Kesulitan Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.

Roestiyah N.K, (2008), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Syaiful Bahri Djamarah, (2000), Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif,

Jakarta : PT Rineka Cipta.

Suharsimi Arikunto,(1993) Prosedur Penelitian, Jakarta : PT. Rineka Cipta. ... (2002), Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi

Aksara.

S. Wojowasito, WJS. Poerwadarminta, (1990), Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Indonesia – Inggris, Bandung : Angkasa Offset.

Wina Sanjaya, (2008), Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional, (Online), (http/// www. depdiknas.go.id/ UU RI No 20/2003-Sistem Pendidikan Nasional, html.


Dokumen yang terkait

UPAYA KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU PENDIDIKAN AGAMA Upaya Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kompetensi Profesional Guru Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Selogiri Tahun Pelajaran 2014/2015.

0 3 17

UPAYA KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU PENDIDIKAN AGAMA Upaya Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kompetensi Profesional Guru Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Selogiri Tahun Pelajaran 2014/2015.

1 6 15

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PENGUATAN KESADARAN MORAL SPIRITUAL MURID SEKOLAH DASAR PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM.

1 2 74

EVALUASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA.

0 21 46

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA.

2 15 47

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN LIFE SKILLS PESERTA DIDIK :Studi pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama.

0 1 77

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN TEACHING FACTORY 6 LANGKAH (MODEL TF-6M) UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SISWA DALAM MATA PELAJARAN PRADAKTIF SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN.

2 13 95

PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA KOTA PALOPO.

0 0 38

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN FLASH CARD MODEL PERMAINAN KWARTET UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LABSCHOOL UNESA.

2 12 54

1. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) - STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR

0 0 7