PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL 0,7 PERSEN KE DALAM SULKUS GINGIVA MENINGKATKAN JUMLAH FIBROBLAS DAN KETEBALAN LIGAMEN PERIODONTAL TIKUS YANG MENGALAMI PERIODONTITIS.

(1)

USULAN PENELITIAN

PEMBERIAN TETRASIKLIN HCL GEL 0,7% KE

DALAM SULKUS GINGIVA MENINGKATKAN

JUMLAH FIBROBLAS DAN KETEBALAN LIGAMEN

PERIODONTAL TIKUS YANG MENGALAMI

PERIODONTITIS

I GUSTI AGUNG SRI PRADNYANI

1290761001

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(2)

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Akademis ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Jaringan Periodontal ... 7

2.1.1 Gingiva ... 8

2.1.2

Cementum

... 9

2.1.3

Periodontal Ligamet

... 9

2.1.4

Alveolar Bone

... 9

2.2 Periodontitis ... 10


(3)

2.2.2 Mekanisme Kerusakan Jaringan Pada Penyakit Periodontal ... 14

2.3 Fibroblas ... 18

2.3.1 Definisi Fibroblas ... 18

2.3.2 Struktur Fibroblas ... 18

2.3.3 Fungsi Fibroblas ... 20

2.4 Kolagen ... 20

2.4.1 Definisi Kolagen ... 20

2.4.2 Struktur Kolagen ... 21

2.4.3 Fungsi Kolagen ... 22

2.4.4 Sintesis Kolagen ... 23

2.5 Peran Fibroblas Dalam Sintesis Kolagen ... 25

2.6 Serat Kolagen Pada Ligamen Periodontal ... 28

2.7 Tetrasiklin ... 30

2.7.1 Sifat Kimia ... 34

2.7.2 Farmakologi ... 34

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN,

DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 37

3.1 Kerangka Berpikir ... 37

3.2 Keragka Konsep ... 38

3.3 Hipotesis Penelitian ... 39

BAB IV METODE PENELITIAN ... 40

4.1 Rancangan Penelitian ... 40

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41

4.2.1 Lokasi ... 41

4.2.2 Waktu Penelitian ... 41

4.3 Penentuan Sumber Data ... 41


(4)

4.3.2 Kriteria Sampel ... 42

4.3.2.1 Kriteria Inklusi ... 42

4.3.2.2 Kriteria Eksklusi ... 43

4.3.2.3 Kriteria Drop Out... 43

4.4 Variabel Penelitan ... 43

4.4.1 Klasifikasi variable... 43

4.4.2 Hubungan Antar Variabel ... 44

4.5 Definisi Operasional... 44

4.6 Bahan dan Alat Penelitian ... 45

4.6.1 Bahan Penelitian... 45

4.6.2 Alat Penelitian ... 45

4.7 Prosedur Penelitian... 46

4.7.1 Pembuatan Tetrasiklin HCL Gel ... 46

4.7.2 Perlakuan Pada Tikus ... 46

4.7.3 Pembuatan Sediaan Mikroskopis ... 47

4.7.4 Menentukan Sintesis Kolagen ... 48

4.8 Alur Penelitian ... 49

4.9 Analisis Data ... 50


(5)

DAFTAR SINGKATAN

CGF

:

Crevicular Gingival Fluid

CMC-Na

:

Carboxymethilcellulosa-Natrium

EDM

:

Extracelullar Dermal Matrix

Gly

: Glycine

HCL

:

Hydrochloride

IFN

: Interferon

IL

: Interleukin

LPS

: Lipopolisakarida

MCP

:

Monocyte Chemoattractant Protein

MIP

:

Macrophage Inflammatory Protein

MMP

:

Matriks metalloproteinase

mRNA

:

messenger Ribose Nucleic Acid

PGE2

: Prostaglandin E2

PMN

: Polimorfonuklear

Pro

: Prolina

RANTES

:

Regulated Activation Normal T cell Expressed and Secreted

TGF

:

Transforming growth factor

TIMP

:

Tissue Inhibitor of Metalloproteinase

TNF

:

Tumor Necrosis Factor

tRNA

:

transfer Ribose Nucleic Acid


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Penampang sagital struktur jaringan periodontal pada gigi ... 8

Gambar 2.2. Struktur gigi beserta jaringan periodontal ... 9

Gambar 2.3. Keadaan gigi yang mengalami periodontitis pada rahang atas ... 12

Gambar 2.4. Progress penyakit periodontal ... 17

Gambar 2.5. Struktur mikroskopis fibroblas pada jaringan ikat longgar dengan pengecatan hematoksilin-eosin ... 26

Gambar 2.6. Peran fibroblas dalam membentuk dan meletakkan serat-serat

dalam matrik, terutama serat kolagen ... 27


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Hasil Penelitian Pendahuluan ... 55

Lampiran 2 : Dokumentasi ... 57


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Penyakit periodontal banyak diderita oleh manusia hampir di seluruh

dunia, dan biasanya penderita datang untuk mendapat perawatan saat keadaan

sudah parah seperti adanya kegoyangan gigi sehingga gigi sulit untuk

dipertahankan.

Menurut hasil survey kesehatan gigi dan mulut di Jatim tahun 1995,

penyakit periodontal terjadi pada 459 orang di antara 1000 penduduk dan lebih

banyak di pedesaan daripada perkotaan. Prevalensi dan intensitas penyakit

periodontal di Asia dan Afrika terlihat lebih tinggi daripada di Eropa, Amerika

dan Australia. Penyakit periodontal menduduki urutan kedua utama di Indonesia

yang masih merupakan masalah di masyarakat (Depkes RI, 2000).

Jaringan periodontal pada rongga mulut manusia meliputi: gingiva,

ligament periodontal, tulang alveolar, dan sementum. Secara klinis bagian

peridontal yang terlihat hanya gingiva yang membalut tulang alveolar dan

mengelilingi gigi. Ligamen periodontal, tulang alveolar, dan sementum

merupakan suatu unit fungsional yang mendukung gigi pada soketnya. Sebagai

suatu unit fungsional, ketiga jaringan tersebut secara bersama-sama sering

dinamakan sebagai struktur periodontal pendukung (Daliemunthe, 2003).

Periodontitis atau penyakit yang menyerang pada gingiva dan jaringan

pendukung gigi ini merupakan penyakit infeksi yang serius dan apabila tidak


(9)

dilakukan perawatan yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan gigi.

Penumpukan bakteri plak pada permukaan gigi merupakan penyebab utama

penyakit periodontal, trutama golongan bakteri gram negatif anerob. Bakteri

tersebut akan mengeluarkan toksin lipopolisakarida (LPS) yang selanjutnya toksin

ini dapat menginduksi kejadian

-

kejadian seluler di jaringan periodontal

khususnya pada tulang alveolar (Amin dkk., 2014).

Penyakit periodontal dimulai dari gingivitis yang bila tidak terawat bisa

berkembang menjadi periodontitis dimana terjadi kerusakan jaringan pendukung

periodontal berupa kerusakan fiber, ligamen periodontal dan tulang alveolar, yang

apabila tidak dilakukan perawatan dapat menyebabkan kegoyangan dan

kehilangan gigi (The American Academy of Periodontology, 2002). Pada

penelitian ini digunakan tikus yang diinduksi lipopolisakarida pada daerah buccal

fold, sehingga menghasilkan keradangan pada jaringan periodontal.`

Ligamen periodontal menghubungkan gigi ke tulang rahang dan juga

menopang gigi pada soketnya dan menyerap beban yang mengenai gigi. Matriks

metalloproteinase

yang

meningkat

pada

keadaan

periodontitis,

dapat

menyebabkan kerusakan kolagen pada jaringan periodontal termasuk pada daerah

ligament peridontalnya, dimana sangat banyak terdapat serat kolagen yang

mendukung jaringan ini. Penurunan sintesis kolagen fibrosa juga dapat

menyebabkan kehilangan perlekatan jaringan periodontal, yang dalam gambaran

histologis diperlihatkan dengan kerusakan pada ligamen periodontal (Isna A.,

2011).


(10)

Matriks ekstraseluler pada ligamen periodontal terdiri dari dua komponen

utama, yaitu serat dan substansi dasar. Komponen serat berperan dalam hal

menjaga daya regang jaringan, sedangkan substansi dasar berfungsi untuk

menahan kekuatan kompresi. Pada jaringan periodontal, dapat ditemukan kolagen

bentuk fibril tipe I, III, IV, V, VI, dan XII, yang terbanyak adalah kolagen tipe I,

terdapat di ligamen periodontal sekitar 80%, sedangkan kolagen tipe III yang

berfungsi untuk kematangan jaringan ikat, jumlahnya kurang lebih 20% dari

jumlah total kolagen. Kolagen merupakan protein serat terbanyak yang ditemukan

pada jaringan ikat. Selain itu pada jaringan ikat juga dapat ditemukan protein serat

yang lain, yaitu serat elastik. Serat elastik terdiri dari tiga tipe, yaitu: serat elastin,

elauin, dan oxytalin (Wahyukundari, 2009).

Tetrasiklin telah digunakan secara luas pada perawatan penyakit

periodontal. Tetrasiklin mempunyai kemampuan untuk berkonsentrasi pada

jaringan dan menghambat pertumbuhan

Actinobacillus actinomycetemcomitans

,

dan mampu merangsang suatu efek antikolagenase sehingga dapat menghambat

terjadinya kerusakan jaringan dan mungkin membantu regenerasi tulang

(Jolkovsky dan Ciancio, 2006). Pemberian tetrasiklin atau metronidazol dalam

waktu singkat atau pemakaian tetrasiklin secara oral dengan alat irigasi yang

lambat ternyata menyebabkan sangat berkurangnya jumlah flora subgingiva

(Manson dan Eley, 1993).

Penggunaan antibiotika golongan tetrasiklin dalam terapi periodontal telah

dimodifikasi secara kimia sebagai obat antimikrobial, antikolagenase dan anti

inflamasi. Tetrasiklin sebagai anti kolagenase digunakan 16 mg/ml mampu


(11)

menghambat aktivitas kolagenase kurang lebih 90% dibanding ampisilin yang

tidak efektif menghambat enzim kolagenase. Pemberian tetrasiklin dapat

menghantarkan suatu konsentrasi yang dapat diterima 10 hari pada sedikitnya 640

mg/ml pada cairan di dalam sulkus (Wahyukundari, 2009).

Biokompatibilitas penggunaan tetrasiklin telah diteliti dalam bentuk

tetrasiklin gel dengan konsentrasi 0,7% yang dapat diterima jaringan dan dapat

menghilangkan lapisan smir, membuka tubuli dentin dan membuka matrix

kolagen (Wahyukundari, 2009).

Tetrasiklin yang diberikan ke dalam

pocket

periodontal, mencapai

konsentrasi yang lebih tinggi dalam cairan

crevicular

daripada di dalam serum,

yaitu dengan cara mengikat substansi yang mengandung kalsium. Tetrasiklin

dapat mengikat ion kalsium dan ion Zn yang terletak di sisi aktif dari enzim

kolagenase. Hambatan pada enzim kolagenase menghasilkan efek antiproteolitik

yang dapat menghambat resorbsi tulang (Dumitescu, 2011).

Tetracycline periodontal fiber

adalah antibiotika dalam bentuk lokal yang

digunakan sebagai perawatan penunjang penyakit periodontal. Antibiotika ini

dapat digunakan untuk menyingkirkan dan menghetikan pertumbuhan bakteri

yang dapat menimbulkan masalah lebih lanjut sekaligus dapat menekan dan

mengontrol perkembangan jumlah bakteri subgingiva pada penyakit periodontal.

Namun terdapat beberapa kesulitan dalam pengaplikasian tetrasiklin periodontal

fiber ini, terutama saat mengeluarkan benang yang telah ditempatkan ke dalam

saku periodontal selama 10 hari. Penempatan tetrasiklin periodontal fiber ke

dalam saku juga dapat menimbulkan ketidaknyamanan sehingga penggunaan


(12)

anastesi lokal terkadang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu

setelah tetrasiklin periodontal fiber ini dikeluarkan akan terdapat celah kecil

antara gingiva dan gigi dan biasanya terlihat sedikit membengkak (Faormousis,

2005).

Tetrasiklin juga dapat mempengaruhi hasil perawatan, karena selain

sebagai antibiotik berspektrum luas, juga memiliki efek non-antibiotik dalam

terapi penyakit periodontal, di antaranya : menghambat enzim kolagenase,

menghambat resorpsi tulang, dan efek langsung pada penyebaran dan perlekatan

sel fibroblast (Wood, 2003).

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah penulis lakukan pada

bulan Mei

Juli 2015 menunjukkan bahwa pemberian tetrasiklin HCL gel ke

dalam sulkus gingiva tikus putih jantan meningkatkan jumlah fibroblas dan

ketebalan ligamen periodontal, terutama pada konsentrasi 0,7%. Penelitian

pendahuluan ini menggunakan 8 ekor tikus, dibagi menjadi 4 kelompok yaitu 1

kelompok kontrol, dan 3 perlakuan. Kelompok kontrol diinduksi LPS dan

diberikan placebo ke dalam sulkus gingival tikus. Kelompok perlakuan I diinduksi

LPS dan diberikan tetrasiklin hcl gel 0,4% ke dalam sulkus gingival. Kelompok

perlakuan II diinduksi LPS dan diberikan tetrasiklin hcl gel 0,7%. Kelompok

perlakuan III diinduksi LPS dan diberikan tetrasiklin hcl gel 1% ke dalam sulkus

gingiva (Pradnyani, 2015). Lebih lanjut akan dilakukan penelitian dengan sampel

yang lebih besar menggunakan tetrasiklin hcl gel konsentrasi 0,7% karena

konsentrasi ini yang paling meningkatkan jumlah fibroblast dan ketebalan

ligament periodontal. Hasil penelitian pendahuluan tercetak pada Lampiran 2.


(13)

1.2. Rumusan masalah

1. Apakah pemberian tetrasiklin HCL gel 0,7% ke dalam sulkus gingiva

dapat meningkatkan jumlah fibroblas pada ligamen periodontal tikus yang

mengalami periodontitis?

2. Apakah pemberian tetrasiklin HCL gel 0,7% ke dalam sulkus gingiva

dapat meningkatkan ketebalan ligamen periodontal tikus yang mengalami

periodontitis?

1.3. Tujuan

1.3.1.

Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan peran tetrasiklin HCL gel

0,7% dapat meningkatkan pembentukan kolagen oleh fibroblast pada ligament

periodontal yang ditandai dengan bertambahnya ketebalan ligamen periodontal

tikus yang mengalami periodontitis.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk membuktikan pemberian tetrasiklin HCL gel 0,7% ke dalam

sulkus gingiva dapat meningkatkan jumlah fibroblas pada ligamen

periodontal tikus yang mengalami periodontitis.

2. Untuk membuktikkan pemberian tetrasiklin HCL gel 0,7% ke dalam

sulkus gingiva dapat meningkatkan ketebalan ligamen periodontal tikus

yang mengalami periodontitis.


(14)

1.4. Manfaat

1.4.1.

Manfaat akademis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan mengenai gel tetrasiklin dapat meningkatkan jumlah fibroblas dan

pembentukkan kolagen yang ditandai dengan bertambahnya ketebalan ligamen

periodontal tikus yang mengalami periodontitis.

1.4.2.

Manfaat praktis

Untuk memberikan informasi bagi praktisi bahwa gel tetrasiklin yang

diaplikasikan secara topikal ke dalam sulkus gingiva dapat meningkatkan jumlah

fibroblas dan ketebalan ligamen periodontal dalam penyembuhan penyakit

periodontal, disamping sebagai anti mikrobial dan anti inflamasi.


(15)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Jaringan Periodontal

Jaringan periodontal merupakan jaringan yang menyangga gigi terdiri dari gingiva, ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolar. Jaringan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu gingiva yang fungsi utamanya adalah memproteksi jaringan dibawahnya, dan attachment apparatus terdiri dari ligamen periodontal, sementum dan tulang alveolar. Sementum termasuk dalam jaringan penyangga karena dengan tulang alveolar, sementum mendukung serat-serat ligamen periodontal (Carranza, 2002).

Jaringan periodontal tersusun dari komponen matriks ekstraseluler yaitu kolagen yang berperan dalam proses regenerasi dan kerusakan jaringan. Kolagen interstisial jaringan periodontal berfungsi untuk penyembuhan dan pembentukan jaringan baru. Penyakit periodontal didefinisikan sebagai penyakit yang kehilangan struktur kolagennya pada daerah yang menyangga gigi, sebagai respon dari akumulasi bakteri pada jaringan periodontal, tapi patogenesis secara molekular masih belum jelas. Matriks metalloproteinase (MMP) diduga berperan secara bermakna pada penyakit periodontal ini ( De Carlo dan Bodden, 2007 ).

MMPs adalah famili dari zinc metallopeptidase yang terkait secara bersama menurunkan kebanyakan komponen matriks ekstraseluler. MMPs merupakan enzim proteolitik dimana dalam proses proteinasenya yang diperlihatkan melalui patogen periodontal yang terinfeksi, akan mengaktifkan MMPs inaktif sehingga terlibat dalam


(16)

degradasi makro molekul matriks ekstraseluler, termasuk juga terlibat dalam degradasi ligamentum periodontal ( Hansen, 2005 ).


(17)

Gambar 2.2. Struktur gigi beserta jaringan periodontal (Newman, 2006)

2.1.1. Gingiva

Dentoginggiva junction adalah gingiva yang melapisi gigi. Dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu epithelial dan connective tissue component. Epithelium ini dibentuk oleh sel basal ( flattened cell ), sel superbasal, dan sel permukaan yang terdiri dari basal lamina, merupakan sel perlekatan. Sel-sel tersebut memiliki banyak sitoplasma, retikulum endoplasma, dan badan golgi. Connective tissue terdiri dari 2 bagian, yaitu superficial dan deep. Terletak bersebelahan dengan junctional epithelium yang berfungsi untuk menyokong epithelium. Selain itu connective tissue memiliki peranan untuk memulihkan dento gingival junction setelah pembedahan periodontal. Jaringan ini dibentuk oleh inflammatory cell infiltrate. Jaringan yang berbatasan dengan epithelium adalah extensive vascular plexus ( Campbell dkk., 2004 ).

2.1.2. Cementum

Cementum merupakan bagian jaringan periodontal yang menyelimuti akar gigi. Bersifat keras, tak berpembuluh darah, serta merupakan perlekatan utama periodontal ligament ( Carranza, 2002 ).


(18)

Sebagian besar periodontal ligament bersifat lunak, terutama jaringan yang berada diantara cementum yang menyelimuti akar gigi dan tulang. Fungsi dari periodontal ligament adalah menjaga gigi pada tempatnya yang disesuaikan dengan kekuatan mengunyah, dan sebagai sensori reseptor pada rahang selama pengunyahan,serta sebagai cadangan sel untuk regenerasi ( Campbell dkk., 2004 ).

2.1.4. Alveolar bone

Adalah tulang yang berongga, tepatnya di samping periodontal ligament. Lapisan luar terdiri dari compact bone, lapisan tengah spongiosa bone, serta lapisan dasar adalah alveolar bone. Lapisan luar (compact bone) dan lapisan tengah ( spongiosa/ trabecular bone ) tersusun atas lamel-lamel dengan system havers.Trabecular tulang tidak hadir pada daerah anterior dari gigi, dan pada beberapa kasus, cortical plate dan alveolar bone yang melekat satu sama lain, tanpa adanya spongiosa bone ( Newman, 2006 ).

2.2. Periodontitis

Gingivitis apabila dibiarkan melanjut tanpa perawatan, keadaan ini akan merusak jaringan periodonsium yang lebih dalam. Cemento enamel junction menjadi rusak, jaringan gingiva lepas dan terbentuk periodontal pocket. Pada beberapa keadaan sudah terlihat ada peradangan dan pembengkakan dengan keluhan sakit bila tersentuh. Bila keparahan telah mengenai tulang rahang maka gigi menjadi goyang dan lepas dari socket nya ( Newman, 2006 ).


(19)

Periodontitis khronik merupakan penyakit yang umum ditemukan pada hampir semua populasi orang dewasa. Gejala klinik yang penting pada penyakit ini adalah terjadinya pocket periodontal, yang terjadi karena pergerakan ke koronal gingiva margin dan perpindahan ke apikal epithelial attachment, oleh karena itu perawatan penyakit periodontal banyak diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi terjadinya pocket periodontal tersebut. Keberhasilan perawatan pocket periodontal ditandai dengan terjadinya perlekatan kembali epithelial attachment dan pergeseran free gingiva margin ke apikal karena pengkerutan dinding gingiva setelah hilangnya peradangan ( Haryanto , 2004 ).

Periodontitis adalah proses inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh kelompok mikroorganisme spesifik menghasilkan kerusakan ligamen periodontal dan tulang alveolar yang ditandai dengan pembentukan poket, resesi maupun keduanya. Gambaran klinis yang membedakan periodontitis dengan gingivitis adalah hilangnya perlekatan atau attachment loss (Puspito, 2013).

Poket periodontal adalah pendalaman sulkus gingiva yang bersifat patologis. Poket periodontal merupakan gambaran klinis penyakit periodontal. Poket periodontal terjadi akibat kerusakan serat kolagen ligamen periodontal dan diperiksa menggunakan probe periodontal. Poket periodontal dibagi lagi menjadi 2 yaitu poket supraboni dan poket infraboni. Poket infraboni atau subcrestal, intraalveolar adalah kerusakan yang terjadi pada jaringan pendukung gigi, dasar poket di apikal atau di bawah puncak tulang alveolar (Puspito, 2013)


(20)

Periodontitis adalah suatu keradangan pada jaringan periodontal dimana perluasannya melewati gingiva dan menghasilkan kerusakan pada perlekatan jaringan penghubung gigi. Karakteristik temuan klinik pada pasien periodontitis khronik yang tidak diobati antara lain akumulasi plak supragingiva maupun subgingiva (sering berhubungan dengan pembentuk kalkulus), keradangan gingiva, pembentukan pocket, kehilangan perlekatan periodontal, kehilangan tulang alveolar, dan kadang-kadang disertai pernanahan (Carranza, 2002).

Gambar 2.3. Keadaan gigi yang mengalami periodontitis pada rahang atas (Carranza, 2002)

Penyakit periodontal merupakan proses inflamasi yang disebabkan oleh bakteri yang dapat berkembang menjadi penyakit yang destruktif ketika terjadi interaksi antara bakteri dengan mekanisme pertahanan tubuh (Keith dkk., 2006).

Bakteri pada keadaan periodontitis didominasi oleh bakteri gram negatif yang mempunyai komponen lipopolisakarida (Mealey dan Perry, 2006). Lipopolisakarida (LPS) adalah komponen dinding sel bakteri gram negatif yang merangsang


(21)

pelepasan berbagai sitokin. Sitokin adalah suatu polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap rangsangan mikroba dan antigen lainnya, berperan sebagai mediator serta mengatur reaksi imun dan inflamasi. Berbagai sitokin yang berperan dalam patogenesis periodontitis adalah interleukin-1, interleukin-6 dan tumor necrosis factor α (Mealey dan Perry, 2006), sitokin-sitokin ini merangsang hati untuk menghasilkan berbagai macam protein seperti amiloid serum, antitripsin, haptoglobin, fibrinogen dan protein C-reaktif. Protein C-reaktif ini merupakan tanda adanya proses inflamasi dalam tubuh (Bratawidjaja, 2004).

2.2.1. Histopatogenesis Gingivitis dan Periodontitis

Gingivitis merupakan reaksi keradangan yang timbul pada 21ingival

akibat adanya jejas, baik mekanis maupun kimiawi. Biasanya terjadi perubahan

patologis pada struktur gingival akibat adanya mikroorganisme yang masuk ke

dalam

sulkus

gingiva sehingga menimbulkan kerusakan epitel, sel-sel jaringan

ikat, dan struktur interseluler. Pada umumnya keadaan keradangan ini diinsiasi

oleh adanya akumulasi plak yang mampu merubah kondisi gingival yang sehat

menjadi gingivitis yang bertingkat (

initial

early

established

advanced lesion

). Berikut adalah skema perkembangan dari gingival yang sehat

menjadi

gingivitis

yang nantinya akan berkembang menjadi

periodontitis

.

1. Pada gingival yang masih sehat tidak terdapat plak, atau terdapat sedikit akumulasi, dengan junctional epithelium yang masih dalam kondisi normal. Kedalaman sulkus gingival minimal. Meskipun dalam kondisi sehat, PMN juga terdapat pada sulkus gingival dalam jumlah sedikit yang berpindah dari junctional epithelium. Terdapat jaringan ikat kolagen padat dan gingival yang intak.


(22)

2. Initial lesion merupakan tahap pertama terjadinya gingivitis yang ditandai dengan adanya perubahan vaskuler berupa dilatasi pembuluh darah perifer disertai dengan naiknya aliran darah. Terdapat akumulasi plak tahap awal, yang menyebabkan keluarnya PMN kearah sulkus gingival. Pada saat terbentuknya lesi awal, PMN yang keluar ini membentuk barrier pada sulkus yang mengalami penurunan. Sudah mulai tampak infiltrasi limfosit pada jaringan subepitelial. Early lesion merupakan tahap kedua gingivitis yang ditandai dengan adanya eritema, proliferasi kapiler, dan peningkatan pembentukan loop kapiler diantara rete peg atau ridge. Bila dilakukan probe terjadi perdarahan. Terjadi kerusakan serabut kolagen mencapai 70%. Produk-produk gingival mengaktifkan monosit dan membentuk substansi vasoaktif seperti prostaglandin E2, interferon, tumor necrosis factor atau interleukin-1.

3. Pada fase Established lesion terlihat gingival mulai merespon akumulasi plak yang bertambah banyak. Tanda-tanda keradangan terlihat semua. Terjadi penurunan junctional epithelium/poket akibat akumulasi plak yang banyak. Respon keradangannya berupa terisi penuhnya pembuluh darah kapiler, kongesti aliran vena yang menyebabkan lambatnya aliran vena dan berujung pada iskemia gingival (berwarna kebiruan diatas gingival yang masih berwarna merah. Ekstravasasi sel darah merah ke jaringan ikat dan pecahnya hemoglobin menyebabkan warna gingival menjadi lebih gelap.

4. Advanced lesion yang dapat berubah menjadi periodontitis, atau dapat juga disebut periodontal breakdown. Perbedaan dari gingivitis dan periodontitis terletak pada bone resorption, proliferasi gingiva, ulserasi pada junctional epithelium, dan kerusakan progresif pada perlekatan jaringan ikat. Pada fase akut dimungkinkan adanya keterlibatan bakteri dan adanya abses. (Carranza, 2005).


(23)

2.2.2. Mekanisme kerusakan jaringan pada penyakit periodontal

Bakteri plak gigi akan mengeluarkan produk/material, seperti asam lemak (contohnya asam butirat dan asam propianat), gingiva seperti FMLP (N-formil methionyl-leucyl-phenylalanine) dan LPS, yang akan berdifusi kedalam lapisan epitel gingival. Material ini akan merangsang sel epitel untuk memproduksi mediator inflamasi seperti interleukin-8 (IL-8), IL-1 beta, prostaglandin E2 (PGE2), matriks metailoproteinase (MMP) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha). Mediator ini akan merangsang pembuluh darah menjadi terinflamasi. Akibatnya khemokin seperti IL-8 akan merangsang khemotraksi sel leukosit keluar dari pembuluh darah menuju ke lokasi plak gigi. LPS dapat pula merangsang sel endotel untuk mengeluarkan mediator untuk mengaktifkan sel pada jaringan konektif. Sebagai contoh sel makrofag, fibroblast, dan sel mastus dari jaringan tersebut akan mengeluarkan mediator, seperti prostaglandin, interleukin dan matriks metalloproteinase, yang berperan sebagai khemokin maupun sebagai mediator penyebab peningkatan permeabilitas gingival. LPS mengaktifkan pula komplemen jalur tidak langsung dari produksi kinin (Jorgensen, 2002).

Peningkatan permeabilitas pembuluh darah menyebabkan ekstravasasi sel leukosit. Protein serum seperti komplemen, protein fase akut dan gingiva plasmin akan semakin meningkatkan respon inflamasi dan mengaktifkan sel endotel untuk memproduksi mediator lebih banyak mediator seperti IL-1 akan mengaktifkan sel makrofag untuk memproduksi mediator lainnya seperti TNF alpha, 8, 1L-6, 10, IL-12, PGE2, MMP, interferon-gamma (IFN-gamma), dan khemokin seperti RANTES, MCP


(24)

dan MIP. Meningkatnya level IL-8 juga menyebabkan aktivasi dan migrasi sel netrofil ke tempat plak gigi (Collins, 2006).

Setelah fase awal inflamasi terjadi, sel makrofag dan sel limfosit mulai infiltrasi. Sel limfosit T akan mengeluarkan produk mediator seperti IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13, TNF-alpha, TGF-beta (Transforming growth factor beta), dan khemokin seperti RANTES, MCP, dan MIP. LPS mampu pula secara langsung mengaktifkan sel limfosit B untuk memproduksi dan merangsang sel makrofag mengeluarkan mediator seperti TGF-beta, IL-1, IL-12, dan IL-10 maupun matriks metalloproteinase. Hasil akhir dari fase ini ialah semakin banyaknya infiltrasi sel makrofag dan limfosit disertai semakin tinggi tingkat kerusakan matriks ekstraselular seperti kolagen. Akibatnya, semakin banyak akumulasi plak gigi, semakin tinggi respon imun dan semakin besar kerusakan jaringan. Hal ini dapat dilihat secara klinis dengan semakin dalamnya poket gingiva dan perdarahan spontan (Collins, 2006).

Mekanisme kerusakan jaringan pada penyakit periodontal tidak terlepas dari peranan enzim matriks metalloproteinase (MMP). Ini adalah enzim proteinase yang mampu merusak matriks ekstraseluler seperti kolagen. MMP ini sebenarnya adalah sekelompok proteinase yang mempunyai fungsi yang sama. Mereka terdiri dari kelompok kolagen interstisial (contohnya ialah MMP-1, MMP8, dan MMP-13), gelatinase (contohnya MMP-2 dan MMP-9), Stromelisin (contohnya MMP-3, MMP-10, MMP-11), kelompok yang berikatan dengan membran (contohnya MMP-14, MMP-15, MMP-16, MMP-17). MMP akan berfungsi melisis target sesuai dengan nama kelompok MMP. Diketahui pula ada substansia yang disebut TIMP (Tissue Inhibitor of Metalloproteinase) dan berfungsi sebagai penghambat kerja TIMP-1, TIMP-2, TIMP-3 dan TIMP-4. MMP dan


(25)

TIMP diproduksi oleh set makrofag dan fibroblast dan letaknya sangat berhubungan dengan jaringan yang sedang mengadakan remodeling. Diduga, produk bakteri seperti LPS akan megaktifkan sel fagosit untuk memproduksi mediator seperti IL-1. Mediator ini kemudian akan mengaktifkan sel makrofag dan fibroblast untuk memproduksi MMP dan regulatornya yaitu TIMP. MMP ini akan mengawali terjadinya destruksi matriks ekstraseluler gingival seperti kolagen dan merangsang terjadinya resorpsi tulang (Williams, 2000).

Gambar 2.4. Progress Penyakit Periodontal (Collins, 2006)

Pada penderita gingivitis, infiltrasi sel mononuklear terus bertambah dan terjadi kerusakan jaringan konektif, tetapi belum nampak adanya resorpsi tulang. Pada penderita periodontitis, infiltrasi sel dan degradasi kolagen bergerak kearah apikal sepanjang akar gigi. Sel osteoblast menghilang tetapi disertai dengan meningkatnya sel osteoklast yang meresorpsi tulang. Permukaan sementum gigi merupakan permukaan terakhir yang diresorpsi osteoklast. LPS bakteri plak gigi akan merangsang sel seperti


(26)

makrofag dan fibroblast untuk memproduksi mediator seperti IL-1, PGE-2 dan TNF-alpha. Mediator inimenghambat proses diferensiasi osteoblast, menghambat produksi mediator sel osteoblast dan menghambat produksi matriks ekstraselulera dan proses kalsifikasi. Akibatnya, jumlah maupun fungsi osteoblast semakin menurun. Sebaliknya mediator ini justru meningkatkan diferensiasi osteoklast dan aktivitas osteoklast. Sehingga, penurunan jumlah osteoblast justru diikuti dengan peningkatan jumlah dan fungsi osteoklast. Hal ini berakibat derajat kerusakan tulang tidak dapat diimbangi oleh proses remodeling oleh osteoblas (Norkiewicz, 2001).

2.3. Fibroblas 2.3.1. Definisi

Fibroblas adalah sel mesenkim dasar jaringan dewasa yang fungsi utamanya adalah mensintesis komponen-komponen jaringan pengikat, yakni kolagen dan mukopolisakarida. Fibroblas berbentuk sel yang memanjang yang dibedakan terutama oleh banyaknya anyaman reticulum endoplasma kasar yang melapisi rongga lebar dalam sitoplasmanya. Fibroblas tampak dalam jumlah yang sangat banyak pada luka yang mulai sembuh sehingga menimbulkan spekulasi tentang asal usulnya, namun umumnya sekarang disepakati bahwa fibroblast berasal dari fibroblast sebelumnya (Spector dan Spector, 2006).

Fibroblast adalah sel yang menghasilkan serat dan substansi dasar amorf jaringan ikat. Pada saat sedang aktif menghasilkan sub stansi internal, sel ini memiliki juluran sitoplasma lebar atau tampak berbentuk kumparan. Sitoplasmanya yang banyak


(27)

bersifat basofil dan anak intinya sangat jelas, yang menandakan adanya sintesis protein secara aktif. Fibroblas merupakan salah satu sel jaringan ikat dalam rongga mulut yang paling khas dan berperan penting dalam perkembangan dan pembentukan struktur jaringan (Cormack, 2005)

2.3.2. Struktur fibroblast

Fibroblas merupakan sel dengan bentuk tidak beraturan, agak gepeng dengan banyak cabang dan dari samping terlihat berbentuk gelondong atau fusiform. Sitoplasmanya bergranula halus dan mempunyai inti lonjong, besar ditengah dengan satu atau dua anak inti jelas. Fibroblas yang aktif memiliki sitoplasma yang besar, nucleus ovoid, besar, tercat pucat, memiliki kromatin halus dan nucleusnya tampak nyata. Sitoplasma kaya akan reticulum endoplasmic kasar dan kompleks golginya berkembang baik (Junqueira dkk., 2007).

Fibroblas yang tidak aktif disebut fibrosit. Potongan melintang, fibrosit berbentuk fusiform dengan ujung meruncing dan terletak disepanjang serabut kolagen. Bentuk nucleus fibroblast yang memanjang selalu terlihat jelas pada preparat histology tetapi batas dinding selnya sering tidak terlihat jelas. Tidak jelasnya batas sel tersebut disebabkan pada saat fibroblast menjadi inaktif sitoplasmanya menjadi eosinofilik seperti kolagen yang ada di sekitarnya. Fibroblas saling berkontak satu dengan yang lain pada jaringan ikat, karena alasan teknik hubungan ini sulit diperlihatkan (Bloom dan Fawcet, 2002).


(28)

Pemeriksaan dengan elektromikrograf, akan tampak bahwa dalam nucleus fibroblast yang berbentuk elips, terdapat satu sampai dua nukleoli, sekelompok kromatin berada dekat dengan nukleus, tampak pula sepasang sentriole, kompleks golgi dan mitokondria di dekat nukleus. Lokasi mitokondria ini dapat meluas sampai ke prosesus fibroblas. Retikulum endoplasmic kasar pada fibrosit bentuknya tipis tetapi terlihat lebih besar pada jaringan ikat yang sedang berkembang. Pada keadaan normal, aktivitas pembelahan sel fibroblast sangat jarang terlihat tetapi saat terjadi perlukaan, fibroblast menjadi lebih aktif memproduksi komponen matriks ekstra seluler (Fawcet, 2002).

2.3.3. Fungsi fibroblas

Fibroblas merupakan sel yang menghasilkan serat-serat kolagen, reticulum, elastin, glikosaminoglikan, dan glikoprotein dari substansi interseluler amorf. Pada orang dewasa, fibroblast dalam jaringan mengalami perubahan. Mitosis hanya tampak jika organism memerlukan fibroblast tambahan, yaitu jika jaringan ikat cedera (Janqueira dkk., 2007).

Fibroblas lebih aktif mensintesis komponen matriks sebagai respon terhadap luka dengan berproliferasi dan peningkatan fibrinogenesis, sehingga fibroblast menjadi agen utama dalam proses penyembuhan luka. Fungsi utama fibroblast adalah untuk mempertahankan integritas struktur jaringan ikat dengan cara mensekresikan prekusor matriks ektraseluler secara kontinyu, sekaligus memelihara matriks ekstra seluler tersebut (Fawcett, 2002).


(29)

2.4. Kolagen

2.4.1. Definisi kolagen

Kolagen adalah protein utama yang menyusun komponen matriks ekstraseluler dan merupakan protein yang paling banyak ditemukan di dalam tubuh manusia. Kolagen termasuk jaringan pengikat, yang tersusun atas fibril kolagen. Fibril kolagen terdiri atas sub unit polipeptida yang disebut tropokolagen yang terdiri atas tiga rantai α -polipeptida yang saling silang (berpilin atau triple helix) dan membentuk bagian penting dari Extracelullar Dermal Matrix (EDM) bersama dengan glikosaminoglikan, proteoglikan, laminin, fibronektin, elastin, dan komponen-komponen seluler (Katili, 2009 ; Rangaraj dkk.,2011).

2.4.2. Struktur kolagen

Kolagen terdiri atas berbagai protein yang memiliki ciri tertentu dengan susunan molekul yang sama namun dengan rantai α yang berbeda-beda dalam komposisi dan urutan asam aminonya (Fawcett, 2002).

Unit dasar kolagen yaitu tropokolagen, suatu molekul kolagen berbentuk batang dengan panjang 300 nm dan diameter 1,5 nm yang terdiri dari 3 rantai polipeptida ra tai α , asi g-masing mengandung sekitar 1000 asam amino. Ketiga rantai polipeptida tersebut berikatan membentuk superhelix (Robbin dan Kumar, 1992). Pada sediaan histologi, serat kolagen bersifat asidofilik, terpulas merah muda dengan


(30)

eosin,biru dengan pulasan trikrom Mallory,dan hijau dengan pulasan trikrom Masson (Junqueira dkk., 2007).

Serat kolagen terutama terdiri dari skleroprotein yang disebut kolagen yang komposisi utama dari asam amino adalah glisin (33,5%), prolin (12%), dan hidroksiprolin (10%). Asam amino hidroksisilin merupakan karakteristik khas dari kolagen karena sejauh ini tidak ditemukan pada protein jaringan lainnya. Hidroksiprolin ditemukan dominan pada kolagen tetapi juga terdapat elastin dalam jumlah kecil (Junqueira dkk., 2007). Hidroksi prolin dan hidroksisilin memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur dan kekuatan kolagen. Kolagen juga mengandung sejumlah kecil glukosa dan galaktosa (kurang dari 1% dari beratnya) oleh karena itu kolagen secara teknis juga merupakan sebuah glikoprotein (Robbins dan Kumar, 1992). Telah diketahui terdapat 12 jenis kolagen. Tipe protein kolagen yang paling umum adalah tipe I yang ditemukan di dalam dermis kulit, tendon, tulang, gigi, dan pada semua jaringan ikat (Balogh dan Fchrenbach, 2006).

Fibril dari kolagen tipe I merupakan komponen organic dominan dalam matriks tulang yang tersusun dalam lembaran atau jala (Pollard dkk., 2008). Kolagen tipe II terdapat pada tulang rawan hialin dan elastin dalam diskus intrvertebralis dan korpus vitreus mata. Kolagen tipe III banyak terdapat di jaringan ikat longgar, dinding pembuluh darah, stroma berbagai kelenjar, limpa, ginjal, dan uterus. Kolagen tipe IV adalah bentuk khusus yang terbatas pada lamina basal epitel. Laminin dan proteoglikan heparin sulfat bersama dengan kolagen akan membentuk jaringan rapat dari filamen halus yang merupakan penyokong fisik dari epitel (Fawcett, 2002). Beberapa tipe dari kolagen lain terdapat dalam jumlah kecil yang berperan penting dalam menentukan sifat fisik dari


(31)

jaringan tertentu (Murray dan Koeley, 2003). Kolagen tipe I, II, dan III merupakan kolagen interstitial atau kolagen fibriler yang berjumlah paling banyak. Dimana kolagen tipe I sekitar 70%, kolagen tipe III sekitar 10% dan sisanya kolagen tipe V, VI, dan VII (Katili, 2009 ; Rangaraj dkk., 2011).

2.4.3. Fungsi kolagen

Kolagen memegang peranan utama yang sangat penting pada setiap tahap proses penyembuhan luka. Kolagen mempunyai kemampuan antara lain homeostasis, interaksi dengan trombosit, interaksi dengan fibronektin, meningkatkan eksudasi cairan, meningkatkan komponen seluler, meningkatkan faktor pertumbuhan dan mendorong proses fibroplasias dan terkadang pada proliferasi epidermis (Triyono, 2005).

Fungsi utama dari kolagen adalah sebagai penopang pada jaringan ikat. Setiap awal proses penyembuhan luka, kolagen tipe III adalah kolagen yang tampak pertama kali, yang kemudian seiring berjalannya waktu digantikan oleh kolagen tipe I ketika mulai proses pembentukan jaringan parut dan remodeling. Deposisi dan remodeling kolagen berkonstribusi dalam meningkatkan kekuatan tensil dari luka, dimana sekurang-kurangnya 3 minggu pasca perlukaan, kekuatan mencapai 70% dari kulit normal (Rangaraj dkk., 2011).

2.4.4. Sintesis kolagen

Kolagen berisi asam amino spesifik-Glycine, prolina, hidroksiprolina dan

arginin. Asam amino ini memiliki pengaturan yang biasa di masing-masing rantai


(32)

tiga subunit kolagen ini. Urutan ini sering mengikuti pola yang Gly-Pro-X atau

Gly-X-Hyp, mana X mungkin salah satu residu asam amino (Mandal, 2012).

Prolina atau hidroksiprolina merupakan sekitar 1/6 dari total

urutan. Glycine (Gly) ditemukan di hampir setiap residu ketiga. Glycine

menyumbang 1/3 dari urutan berarti sekitar setengah dari urutan kolagen yang

tidak glycine, prolina atau hidroksiprolina. Prolina (Pro) membuat sekitar 17%

dari kolagen (Mandal, 2012).

Kolagen juga memiliki dua turunan asam amino yang secara tidak langsung dimasukkan selama terjemahan. Asam-asam amino yang ditemukan di lokasi tertentu relatif terhadap glisin dan diubah post-translationally oleh enzim yang berbeda, keduanya memerlukan vitamin C sebagai suatu kofaktor. Hidroksiprolina berasal dari prolina dan Hydroxylysine berasal dari lisin. Tergantung pada jenis kolagen, berbagai jumlah hydroxylysines yang glikosilasi (kebanyakan memiliki disakarida terpasang) (Shoulders, 2009).

Isi tinggi glycine tidak ditemukan dalam protein globular kecuali dalam bagian yang sangat singkat dari urutan mereka. Karena glycine adalah asam amino terkecil dengan rantai samping tidak ada, itu memainkan peran unik dalam fibrosa protein struktural. Kortisol merangsang degradasi kolagen (kulit) menjadi asam amino (Shoulders, 2009).

Tipe I kolagen adalah kolagen yang paling melimpah dalam tubuh, pembentukan terjadi di dalam dan diluar sel.


(33)

1. Selama terjemahan, dua jenis rantai peptida dibentuk pada ribosom sepanjang retikulum endoplasma kasar (RER). Ini disebut rantai alpha-1 dan alpha-2. Rantai peptida ini (dikenal sebagai preprocollagen) memiliki peptida awal dan peptida sinyal.

2. Preprocollagen kemudian dilepaskan ke lumen RER. Kemudian sinyal peptida diurai di dalam RER dan rantai peptida yang sekarang disebut pro-alpha rantai. 3. Hidroksilasi dari prolin dan lisin asam amino terjadi di dalam lumen. Proses ini

bergantung pada asam askorbat (Vitamin C) sebagai suatu kofaktor. Selanjut terjadi glikosilasi residu hydroxylysine.

4. Struktur triple helix dibentuk di dalam retikulum endoplasma dari setiap dua rantai alpha-1 dan satu jaringan alpha-2. Ini disebut procollagen.

5. Procollagen diangkut ke aparat golgi, dikemas dan disekresikan oleh exocytosis.

Luar sel :

1. Peptida awal diurai dan tropocollagen dibentuk oleh procollagen peptidase. 2. Molekul-molekul tropocollagen ini berkumpul untuk membentuk kolagen fibril,

melalui pembentukan ikatan pertautan kovalen silang oleh lysyl oksidase yang menghubungkan hydroxylysine dan residu lisin. Beberapa kolagen fibril membentuk serat kolagen.

3. Kolagen melekat pada membran sel melalui beberapa jenis protein, termasuk fibronectin dan integrin (Kadler, 2006).


(34)

2.5. Peran Fibroblas Dalam Sintesis Kolagen

Fibroblas paling banyak terdapat dalam ligamen periodontal dan secara

rapat memenuhi populasi, bentuknya gelondong atau

disk flat

(pipih) dan

mempunyai inti yang panjang dan ovoid, serta banyak proses sitoplasmik yang

panjangnya bervariasi. Struktur sitoplasmiknya berhubungan dengan fibroblas lain

dalam jaringan penghubung manusia. Fibroblas membawa banyak vakoula

sitoplasmik

yang

berisi

serat-serat

kolagen

yang

pendek

dan

enzim

proteolytic,

dimana bukti bahwa fibroblas juga turut serta dalam

pembentukan badan serat melalui resorpsi dari kolagen yang telah dibentuk

(Porter, 2007).

Fibroblas merupakan sel dengan bentuk tidak beraturan, agak gepeng

dengan banyak cabang dan dari samping terlihat berbentuk gelondong atau

fusiform. Sitoplasmanya bergranula halus dan mempunyai inti lonjong, besar di

tengah dengan satu atau dua anak inti jelas (Leeson, 1996).


(35)

Gambar 2.5. Struktur mikroskopis fibroblas pada jaringan ikat longgar dengan pengecatan hematoksilin-eosin. Perbesaran 400X (Porter, 2007).

Pengamatan menggunakan mikroskop elektron menampakan aparat golgi secara jelas dan banyak sekali retikulum endoplasma kasar dalam fibroblas, terutama jika sel secara aktif memproduksi matrik, seperti pada proses penyembuhan luka. Aktin da α-aktinin terletak di sekeliling sel dan miosin terdapat di seluruh sitoplasma. Fibroblas aktif lebih kecil dan lebih ovoid serta mempunyai sitoplasma asidofilik, nukleus lebih kecil, memanjang, dan lebih berwarna gelap (Porter, 2007).

Fibroblas adalah sel yang paling banyak terdapat dalam jaringan ikat, berfungsi menghasilkan serat dan substansi interseluler aktif amorf. Fibroblas merupakan sel induk yang berperan membentuk dan meletakkan serat-serat dalam matrik, terutama serat kolagen. Sel ini mensekresi molekul tropokolagen kecil yang bergabung dalam substansi dasar membentuk serat kolagen. Kolagen akan memberikan kekuatan dan integritas pada semua luka yang menyembuh dengan baik (Indah, 2013).


(36)

Gambar 2.6. Peran fibroblas dalam membentuk dan meletakkan serat-serat dalam matrik, terutama serat kolagen (Porter, 2007).

Fibroblas merupakan sel yang menghasilkan serat-serat kolagen, retikulum, elastin, glikosaminoglikan, dan glikoprotein dari substansi interseluler amorf. Pada orang dewasa, fibroblas dalam jaringan mengalami perubahan. Mitosis hanya tampak jika organisme memerlukan fibroblas tambahan, yaitu jika jaringan ikat cedera. Fibroblas lebih aktif mensintesis komponen matriks sebagai respon terhadap luka dengan berproliferasi dan peningkatan fibrinogenesis (Diegelmann, 2004).

Fibroblas merupakan tipe sel utama untuk sintesis kolagen. Tahap pertama sintesis berada pada intraseluler, untuk menghasilkan prokolagen dimana dalam keadaan aktif berada diruang ekstraseluler. Sintesis di intraseluler terjadi dinukleus dimana gen-gen diaktifkan dan terjadi perubahan mRNA, khas untuk rantai polipeptida tunggal, mRNA masuk kedalam sitoplasma dan diubah pada ribosom dari retikulum e doplas a da secara si ulta terjadi si tesis ra tai polipeptida triple. Tiga ra tai α yang identik sebagai kolagen tipe III dan tiga rantai yang berbeda sebagai tipe I. Prokolagen selanjutnya meninggalkan sel, kemudian beberapa asam amino membelah secara enzimatik membentuk tropokolagen. Tropokolagen inilah yang secara definitive disebut molekul kolagen. Molekul-molekul ini secara spontan bersatu kedalam fibril-fibril yang selanjutnya mengalami cross-linking kebentuk yang lebih tebal ataubundle. Kolagen disintesis oleh fibroblas, kondroblas, otot polos, sel endotel dan sel epitel (Masir, 2012).


(37)

Ligament periodontal merupakan jaringan yang mengelilingi akar gigi dan

menghubungkan cementum tersebut ke tulang alveolar. Berlanjut dengan jaringan ikat gingiva dan berhubungan dengan sumsum tulang melalui kanal-kanal vaskular yang terdapat pada tulang alveolar. Meskipun keadaannya fibrous, ligament periodontal merupakan struktur seluler yang mempunyai beragam fungsi yang penting bagi kesehatan alat mastikasi (pengunyahan) dalam jangka panjang (Bernard, 2002).

Elemen ligamen periodontal yang terpenting adalah serat-serat utama (principal fibers) yang dibentuk oleh kolagen, tersusun dalam bundel, dan pada potongan longitudinal terlihat merentang seperti gelombang. Bagian ujung dari serat utama yang tertanam dalam sementum dan tulang alveolar dinamakan serat-serat Sharpey (Sharpey's fibers). Bundel-bundel serat utama terdiri atas serat serat yang membentuk anyaman anastomose yang kontinu antara gigi dengan tulang alveolar (Bernard, 2002).

Serat utama ligamen periodontal dibentuk terutama oleh serat kolagen tipe I, sedangkan serat-serat retikular dibentuk oleh kolagen tipe III. Kolagen adalah protein yang dibentuk oleh berbagai asam amino, terutama glisin, prolin, hidroksilisin, dan hidroksiprolin. Kolagen yang disintesa oleh fibroblas, khondroblas, odontoblas dan sel-sel lain, dapat dibedakan atas beberapa tipe berdasarkan komposisi kimiawi, distribusi, fungsi, dan morfologinya (Bernard, 2002).

Tedapat 6 kelompok serat utama yaitu : transeptal, alveolar crest, horizontal, oblique, apical dan interradicular.


(38)

Group Transeptal : Serat transisi antara serat gingiva dan serat utama ligamen periodontal. Meluas pd permukaan interproksimal, di atas puncak septum interdental.

Group Alveolar Crest : Serat meluas dan berjalan miring dari sementum (tepat di bawah junctional epithelial) menuju puncak tulang alveolar.

Fungsi: menahan gigi di dalam soket jika ada tekanan ke apikal dan lateral.

Group Horizontal : Serat meluas tegak lurus dengan sumbu gigi dari sementum ke tulang alveolar.

Group Oblique : Merupakan group yang paling besar. Serat meluas dari sementum ke arah koronal secara oblique dan melekat ke tulang alveolar. Fungsi : Menerima tekanan vertikal yang besar

Group Interradikular : Serat meluas dari sementum percabangan akar gigi ke puncak septum interradikular.

Group Apical : Serat menyebar dari regio apikal gigi ke tulang pada soket gigi.

Elemen selular ligament periodontal terdiri atas :

1. Sel-sel jaringan ikat : fibroblas, sementoblas, dan osteoblas

2. Sisa-sisa sel epitel : merupakan sisa-sisa epitel Malassez, dan berada dekat ke sementum

3. Sel-sel sistem imun : netrofil, limfosit, makrofag, sel-sel mast, dan eosinofil


(39)

Fibroblas merupakan sel jaringan ikat yang paling banyak dijumpai, fungsinya: mensintesa kolagen dan memfagositosa serat2 kolagen tua dan menghancurkannya dengan bantuan ensim hidrolisis (Bernard, 2002).

Substansi dasar mengisi ruang-ruang yang ada diantara serat-serat dan sel-sel. Dua komponen utama dari substansi dasar adalah:

1. glisaminoglikans, seperti asam hialuronat dan proteoglikans 2. glikoprotein seperti fibronektin dan laminin.

Substansi dasar juga mengandung 70% air (Bernard, 2002).

2.7. Tetrasiklin

Tetrasiklin telah digunakan secara luas pada perawatan penyakit periodontal. Tetrasiklin mempunyai kemampuan untuk berkonsentrasi pada jaringan dan menghambat pertumbuhan Actinobacillus actinomycetemcomitans, dan mampu merangsang suatu efek antikolagenase sehingga dapat menghambat terjadinya kerusakan jaringan dan mungkin membantu regenerasi tulang (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Pemberian tetrasiklin atau metronidazol dalam waktu singkat atau pemakaian tetrasiklin secara oral dengan alat irigasi yang lambat ternyata menyebabkan sangat berkurangnya jumlah flora subgingiva (Manson dan Eley, 2004).

Tetrasiklin merupakan senyawa kristal berwarna kuning dan sedikit larut

dalam air. Pada suhu 28°C kelarutan tetrasiklin dalam air sebesar 1,7 mg/ml

sedangkan dalam metanol lebih dari 20 mg/ml. Tetrasiklin memiliki rumus


(40)

molekul C22H24N2O8 dan memiliki nama IUPAC [4

s

-

(4α,4aα,5aα,6β,12aα)]

-4-

(dimetilamino) 1,4,4a,5,5a, 6-11,12a-oktahidro-3,6,10,12,12a- pentahidroksi- 6-

metil -1,11-diokso- 2- naftasenkarboksamida dengan bobot molekul 444,44 g/mol

(Suryani, 2009) .

Gambar 2.7. Struktur kimia tetrasiklin (Suryani, 2009)

Senyawa tetrasiklin (1948), diperoleh dari streptomyces aureofacien (klortetrasiklin ) dan Streptomyces rimosus (oksitetrasiklin). Tetapi setelah 1960, zat induk tetrasiklin mulai dibuat secara sintetis seluruhnya, yang kemudian disusul oleh derivat –oksi dan –klor serta senyawa long-acting doksisiklin dan minosiklin (Tan dan Kirana, 2002).

Tetrasiklin bebas merupakan senyawa amfoter dalam bentuk kristal dengan daya larut rendah, dan merupakan antibiotik berspektrum luas. Agen-agen ini bersifat bakteriostatik terhadap berbagai bakteri gram-positif dan gram-negatif, termasuk anaerob, rickettsiae, chlamydiae, mycoplasma, dan bentuk-bentuk L, serta aktif pula terhadap beberapa protozoa (Katzung, 2004).


(41)

Tetracycline fibers 25% adalah sediaan tetrasiklin dalam ethylene vinyl acetate, minosiklin 2% dalam lipid gel atau metronidazol 25% dalam lipid gel (Elyzol) dewasa ini sering dipergunakan secara topikal untuk perawatan periondititis (Prayitno dan Herman, 2006).

Dua penelitian besar yang melibatkan masing-masing lebih dari 100 subyek telah dilakukan untuk menilai efektifitas tetracycline fibers 25%, membuktikan bahwa kedalaman poket turun rata-rata 1,02 mm dibandingkan dengan skeling saja rata-rata 0,67mm (Prayitno dan Herman, 2006).

Tetrasiklin Periodontal fiber merupakan turunan tetrasiklin yang tidak hanya memiliki sifat antibakteri namun juga dapat mengurangi inflamasi serta membantu menghentikan kolagenase protein oleh karena sifatnya yang antikolagenase. Antibiotika ini digunakan dalam bentuk lokal sebagai perawatan penunjang untuk penyakit periodontal (Wulandari, 2007).

Minosiklin dalam bentuk lipid gel juga digunakan untuk perawatan saku periodontal. Gel 0,5 gram yang mengandung 10 mg minosiklin diaplikasikan dengan alat suntik ujung plastik, menghasilkan penurunan kedalaman poket 1,7 mm dibandingkan tanpa minosiklin rata-rata 1,4 mm (Prayitno dan Herman, 2006).

Penggunaan antibiotika golongan tetrasiklin dalam terapi periodontal telah dimodifikasi secara kimia sebagai obat antimikrobial, anti kolagenase dan anti inflamasi. Tetrasiklin sebagai anti kolagenase digunakan 16 mg/ml mampu menghambat aktifitas kolagenase kurang lebih 90% dibanding ampisilin yang tidak efektif menghambat enzim kolagenase. Pemberian tetrasiklin dapat menghantarkan suatu konsentrasi yang dapat diterima 10 hari pada sedikitnya 640 mg/ml pada cairan di dalam sulkus (Wahyukundari, 2009).


(42)

Tetrasiklin dapat mengikat ion kalsium dan ion Zn yang terletak di sisi aktif dari enzim kolagenase, sehingga hambatan ini menghasilkan efek antiproteolitik yang dapat menghambat resorbsi tulang. Biokompatibilitas penggunaan tetrasiklin telah diteliti dalam bentuk tetrasiklin gel dengan konsentrasi 0,7% yang dapat diterima jaringan dan dapat menghilangkan lapisan smir, membuka tubuli dentin dan membuka matrix kolagen (Wahyukundari, 2009).

Tetrasiklin efektif dalam mengobati penyakit periodontal pada tiap fase karena mampu berkonsentrasi pada cairan gingiva 2-10 kali daripada di dalam serum, sehingga menyebabkan terjadinya kenaikan konsentrasi obat yang akan diteruskan ke dalam poket periodontal. Beberapa studi telah melakukan percobaan dimana tetrasiklin pada CGF (Crevicular Gingival Fluid) dengan konsentrasi yang rendah (2-4 mg/m) sangat efektif untuk menyerang banyak kuman yang patogen terhadap jaringan periodontal (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Antibiotika lokal yang pertama digunakan di Amerika Serikat berupa serat etilen copolymer vinil asetat (diameter 0,5 mm) terdiri dari tetrasiklin 12.7 mg per 9 inci. Penelitian menunjukkan bahwa serat tetrasiklin yang menempel dengan atau tanpa skeling dan root plening dalam mengurangi kedalaman probing, perdarahan saat probing dan kuman-kuman patogen periodontal dan tingkat perlekatan klinis meningkat beberapa efek secara signifikan lebih baik dibanding dengan efek yang dihasilkan dengan skeling dan root plening saja atau dengan serat placebo (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Tetrasiklin selain memiliki efek antibiotik, juga memiliki efek non-antibiotik dalam terapi penyakit periodontal, diantaranya : menhambat enzim kolagenase, menghambat resorpsi tulang, dan efek langsung pada penyebaran dan perlekatan sel


(43)

(Wood, 2003). Pada penelitian lainnya, terapi tetrasiklin pada permukaan dentin meningkatkan ikatan fibronektin, sehingga merangsang perlekatan dan pertumbuhan fibroblast (Terranova, 2006).

2.7.1. Sifat kimia

Semua terasiklin berwarna kuning dan bersifat amfoter, garam klorida /fosfat paling banyak digunakan. Larutan garam ini hanya stabil pada pH < 2 dan terurai pesat pada pH lebih tinggi. Kapsul yang disimpan ditempat panas dan lembab mudah terurai, terutama di bawah pengaruh cahaya. Produk pengurainya epi-dan anhidrotetrasiklin bersifat sangat toksis bagi ginjal (Tan dan Kirana, 2002).

2.7.2. Farmakologi

Tetrasiklin merupakan sutau kelompok antibiotika yang diproduksi secara alami dari spesies tertentu yang berasal dari streptomyces atau derivat semi sintetik. Antibiotika ini memilki sifat bakteriostatik dan efektif untuk melawan perkembangbiakan bakteri yang cepat. Tetrasiklin lebih efektif dalam melawan bakteri gram-positif daripada gram-negatif (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

a. Farmakodinamik

Terjadi 2 proses masuk ke dalam ribosom bakteri yaitu pertama difusi pasif berikatan dengan ribosom, mencegah ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA ribosom, terhentinya sintesis protein (Jolkovsky dan Ciancio, 2006).

Terapi tetracycline HCL pada permukaan dentin meningkatkan ikatan fibronektin. Fibronektin akan merangsang perlekatan dan pertumbuhan fibroblas. Fibronektin


(44)

adalah high molecular weight glycoprotein yang bisa diisolasi dari plasma, diproduksi oleh fibroblas, sel epitel, dan sel endotel. Fibronektin memainkan peran penting dalam penyembuhan luka dan berhuungan dengan perlekatan sel satu dengan lainnya dan dengan ekstracelluler matriks. Perlekatan adalah elemen yang diperlukan dalam pertumbuhan fibroblas dan sel lainnya secara in vitro. Terranova et al. mengevaluasi perlekatan fibroblas dan sel epitel ke periodontal pada spesimen dentin yang telah diskaling dan didekalsifikasi dengan citric acid. Penulis melaporkan, penambahan fibronektin ke media kultur meningkatkan perlekatan dan proliferasi fibroblas disekitar akar gigi dan menurunkan perlekatan sel epitel. Pada penelitian selanjutnya, mereka melaporkan, fibronektin meningkatkan perlekatan fibroblas gingiva ke dentin specimen yang tidak didemineralisasi. Caffesse et al. mengevaluasi efek akar gigi yang didemineralisasi dengan citric acid dan aplikasi fibronektin pada penyembuhan bedah flap periodontal pada beagle dog dengan periodontitis alami. Mereka menemukan, penggunaan citric acid dan fibronektin dikombinasi dengan prosedur bedah flap menghasilkan keuntungan yang besar pada perlekatan daripada hanya dilakukan bedah flap. Kemudian Caffesse et al. dengan analisis autoradiografi menunjukkan proliferasi selular meningkat secara signifikan saat dua minggu pertama setelah bedah dengan kombinasi terapi tersebut dibandingkan hanya dengan bedah saja (Terranova, 2006).

b. Farmakokinetik

Tetrasiklin terutama berbeda dalam absorbsi setelah pemberian oral dan eliminasinya. Absorbsi setelah pemberian oral adalah sekitar 30% untuk chlortetrasikline, 60-70% untuk tetrasiklin, oksitetrasiklin, demeclosiklin dan metasilin, serta 95-100% untuk doxysiklin dan minosiklin (Katzung, 2004).


(45)

Tetrasiklin sekitar 30-80% diserap dalam saluran cerna. Doksisiklin dan minosiklin diserap lebih dari 90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus. Makanan dalam lambung menghambat penyerapan, kecuali minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi dan pembentukan kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau 2 jam sesudah makan (Karlina dkk., 2009).

Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan melalui empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin di ekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang di ekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik, maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami akumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap, diekskresi melalui tinja (Karlina dkk. 2009).

Tetrasiklin didistribusikan secara luas ke dalam jaringan-jaringan dan cairan-cairan tubuh, kecuali dalam cairan-cairan serebrospinal, dimana konsentrasinya adalah sebesar 10-25% dari konsentrasi serum. Sekitar 40-80% tetrasiklin diikat oleh protein-protein serum. Tetrasiklin mempunyai masa kerja singkat berdasarkan waktu paruh serum (Katzung, 2004).


(46)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Penyakit periodontal dimulai dari gingivitis yang bila tidak terawat bisa

berkembang menjadi periodontitis dimana terjadi kerusakan jaringan pendukung

periodontal berupa kerusakan fiber

ligament

periodontal dan tulang alveolar.

Perubahan-perubahan patologis pada gingivitis berhubungan dengan adanya

mikroorganisme oral yang melekat pada gigi dan di dalam atau di dekat sulkus

gingiva. Organisme-organisme ini mampu mensintesis produk-produk (misal:

kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, endotoksin) yang dapat

menyebabkan kerusakan epitel dan sel-sel jaringan ikat serta pada komponen

interseluler seperti kolagen, substansi dasar dan

glycocalyx

(

cell coat

).

Keradangan pada jaringan periodontal ini menyebabkan peningkatan

pembentukan MMP atau enzim kolagenase oleh bakteri penyebab periodontitis.

Enzim kolagenase yaitu enzim yang dapat memecah kolagen pada peristiwa

remodeling jaringan. MMP terlibat dalam degradasi matriks kolagen interstitial

ekstraseluler.

Tetrasiklin selain memiliki efek antibiotic, juga memiliki efek

non-antibiotik dalam terapi penyakit periodontal, diantaranya : menghambat enzim

kolagenase, menghambat resorpsi tulang, dan efek langsung pada penyebaran dan

perlekatan sel. Pada penelitian lainnya, terapi tetrasiklin pada permukaan dentin


(47)

meningkatkan ikatan fibronektin, sehingga merangsang perlekatan dan

pertumbuhan fibroblas.

Dengan pemberian tetrasiklin HCL gel ke dalam sulkus gingival tikus yg

telah diinduksi lipopolisakarida sehingga menyebabkan keradangan pada jaringan

periodontal, akan menurunkan kadar MMP, dan meningkatkan pertumbuhan dan

penyebaran fibroblast, sehingga diharapkan dapat mengurangi kerusakan kolagen

dan meningkatkan sintesis kolagen oleh fibroblas pada ligamen periodontal.

3.2. Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

Pemberian tetrasikin HCL gel

0,7%

Tikus dengan periodontitis

Jumlah fibroblas

Sintesis kolagen

Faktor endogen

1.

Hormonal

2.

Psikologis

3.

Genetik

4.

Sistem

kekebalan

Faktor eksogen

1.

Lingkungan

2.

Stress

3.

Infeksi

4.

Merokok

5.

Obat


(48)

Keterangan :

:

Tidak diteliti

:

Diteliti

3.3. Hipotesis Penelitian

1.

Pemberian tetrasiklin HCL gel 0,7% ke dalam sulkus gingiva

meningkatkan jumlah fibroblas pada ligamen periodontal tikus yang

mengalami periodontitis.

2.

Pemberian tetrasiklin HCL gel 0,7% ke dalam sulkus gingiva

meningkatkan ketebalan ligamen periodontal tikus yang mengalami

periodontitis.


(49)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah penelitian eksperimental randomized posttest only control group design.

K

P1

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian P

O1

R

O2 S

Ra a


(50)

Keterangan :

P = Populasi

R = Random

S = Sampel

Ra = Random alokasi

K = Kelompok kontrol, diinduksi LPS selama 8 hari dan diberikan placebo ke dalam sulkus gingiva selama 10 hari

P = Kelompok perlakuan, diinduksi LPS selama 8 hari dan diberikan tetrasiklin gel 0,7 % ke dalam sulkus gingiva selama 10 hari

O1 = Observasi jumlah fibroblas dan ketebalan ligamen periodontal kelompok kontrol setelah diinduksi LPS selama 8 hari dan diberikan placebo ke dalam sulkus gingiva selama 10 hari

O2 = Observasi jumlah fibroblas dan ketebalan ligamen periodontal kelompok perlakuan setelah diinduksi LPS selama 8 hari dan diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,7% ke dalam sulkus gingiva selama 10 hari

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi


(51)

Pembuatan tetrasiklin HCL gel dilakukan di Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Pemeliharaan tikus dan perlakuan terhadap tikus dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pemeriksaan histologis dilakukan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

4.2.2. Waktu penelitian

Pembuatan tetrasiklin HCL gel bulan September 2015, pemeliharaan tikus selama dua minggu, lalu dilakukan perlakuan pada tikus selama 18 hari. Pemeriksaan histologis dilakukan setelah preparat dibuat. Pembuatan preparat dilakukan selama dua minggu.

4.3. Penentuan Sumber Data

Sesuai dengan rancangan penelitian, maka sampel (tikus) dalam penelitian ini jumlahnya 38 dan dibagi dalam 2 kelompok, yaitu satu kelompok kontrol diinduksi LPS kemudian diberikan placebo, satu kelompok perlakuan diinduksi LPS kemudian diberikan Tetrasiklin HCl Gel 0,7%;

4.3.1. Besar sampel

Menghitung jumlah sampel menggunakan rumus Federer :

(n-1) (t- ≥

Keterangan : n = jumlah sampel

t = jumlah kelompok perlakuan

Dengan menggunakan rumus di atas maka diperoleh hasil sebagai berikut :


(52)

= (n- ≥ :

= n- ≥ ≥ + ≥

Untuk mengantisipasi adanya sampel yang mati maka ditambah 20% dari sampel yang didapat dari perhitungan (20%x16 = 3,2). Jadi jumlah sampel 16 + 3,2 = 19,2 = 19.

4.3.2. Kriteria sampel

Sampel yang digunakan sebagai obyek penelitian ini adalah tikus putih jantan (Ratus novergicus) yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

4.3.2.1. Kriteria inklusi

a. Tikus putih jantan dewasa strain wistar

b. Umur 8 - 12 minggu

c. Berat badan 180 – 200 gram

d. Sehat

4.3.2.2. Kriteria ekslusi

a. Tikus yang sakit


(53)

a. Tikus mati saat penelitian

4.4.

Variabel Penelitian

4.4.1.

Klasifikasi variable

Variabel bebas :

a.

Tetrasiklin HCl Gel 0,7%

Variabel Tergantung :

a.

Jumlah fibroblas pada ligamen periodontal

b.

Ketebalan ligamen periodontal

Variabel Terkendali

a. Makanan dan kandang tikus b. Umur tikus 8 – 12 minggu c. Jenis kelamin jantan

d. Berat badan tikus 180-200 gram

4.4.2. Hubungan antar variabel

Variabel bebas


(54)

Variabel Terkendali

a. Makanan dan kandang tikus b. Umur tikus 2 bulan

c. Jenis kelamin jantan d. Berat badan tikus 180-200

Variabel Tergantung

a.

Jumlah fibroblas pada ligament periodontal

b.

Ketebalan ligamen periodontal tikus

4.5. Definisi Operasional

a. Tetrasiklin HCl Gel 0,7% adalah tetrasiklin murni ditimbang sebanyak 70 mg dimasukkan ke dalam gel yg sebelumnya telah dibuat dengan mencampurkan 500 mg CMC-Na dengan 10 ml aquades.

b. Jumlah fibroblas adalah banyaknya fibroblas yang aktif (memiliki sitoplasma yang besar, kromatin halus, nucleus ovoid dan tampak nyata) pada ligamen periodontal tikus yang telah dibuat preparat dengan pengecatan Harris Hematoxylin Eosin, dan dilihat pada lima lapang pandang menggunakan mikroskop elektrik dengan pembesaran 400X dan Olympus DP12 Digital Camera


(55)

c. Ketebalan ligamen periodontal adalah pembentukkan kolagen yang ditandai dengan bertambahnya ketebalan ligamen periodontal tikus setelah diberikan tetrasiklin HCl gel ke dalam sulkus gingiva, yang sebelumnya telah diinduksi LPS sehingga mengalami periodontitis. Lalu dibuat preparat dengan pengecatan Harries Hematoxylin-Eosin dan dilihat pada lima lapang pandang yang diukur dengan mikroskop elektrik dengan pembesaran 400X dan Olympus DP12 Digital Camera. e. Periodontitis adalah keradangan pada jaringan periodontal tikus setelah diinduksi

dengan LPS di daerah sulkus gingival incisivus rahang bawah, dengan dosis 5µl LPS/0,05PBS yang dilakukan 24 jam sekali sebanyak 8 kali.

4.6. Bahan dan Alat Penelitian

4.6.1

Bahan penelitian :

a.

Tikus putih jantan

b.

Tetrasiklin HCl Gel 0.7%

c.

LPS

d.

PBS steril

e.

Cat

Harris Hematoxyllin-Eosin

f.

Alkohol 70%

g.

Larutan buffer formalin10%

4.6.2.Alat penelitian

a. Pinset b. Spuit 1 cc


(56)

c. Gunting Bedah d. Scalpel no.11

e. Olympus DP12 Digital Camera

f.

Mikroskop elektrik (

Olympus Type CX 21

)

4.7. Prosedur Penelitian

4.7.1.

Pembuatan Tetrasiklin HCl Gel

Gel dibuat dengan menimbang CMC-Na sejumlah 500 mg ditambahkan

aquadest 10 ml. Gerus CMC-Na dengan aquades di dalam mortir sampai

terbentuk mucilage. Lalu timbang tetracycline sejumlah 70 mg dan gerus ke

dalam mucilage di dalam mortir hingga homogen (Rowe, 2009).

4.7.2.

Perlakuan pada tikus

Tikus yang digunakan sebagai hewan coba diadaptasikan selama satu

minggu dalam kandang individual. Tikus tidak boleh stress dengan

menempatkannya pada tempat yang tenang dan bersih dengan intensitas cahaya

dan sirkulasi udara yang baik. Kandang terbuat dari wadah plastik berukuran

23cm x 17cm x 9,5cm dengan alas sekam padi dengan tutup dari anyaman kawat

yng kuat, tahan gigitan, tidak mudah rusak, sehingga hewan tidak mudah lepas.

Kandang ditempatkan pada ruangan dengan ventilasi baik, cukup cahaya, tenang,

tidak bising, suhu diatur pada suhu kamar 20

o

C dengan kelembaban berkisar 50%.

Kandang dibersihkan 3 hari sekali.


(57)

Diberikan air untuk minum dan diet standar dengan menggunakan

makanan merk HPS 594 produksi PT Charoen Pokphand diberikan 12-20 gram

per ekor per hari dan diberikan minum secara Ad Libitum.

Infeksi pada jaringan periodontal tikus dilakukan dengan induksi LPS pada sulkus gingiva pada daerah labial incisivus sentral rahang bawah tikus putih jantan sebanyak 5 μg dala , l PBS satu kali sehari sela a delapan hari (Indahyani et al., 2010). Untuk memudahkan aplikasi bahan, sebelumnya setiap tikus dianastesi menggunakan kombinasi xylazin (5mg/kg BB) dan ketamin (20mg/kg BB) secara intraperitoneal (Amin dkk., 2013). Dalam delapan hari diharapkan akan terjadi periodontitis (Indahyani dkk., 2010). Ditandai dengan kemerahan dan pembengkakan pada gingival, kehilangan perlekatan gingival terhadap tulang alveolar dan poket yang dalam.

Tetrasiklin HCl gel 0,7% dimasukan ke dalam sulkus gingiva tikus kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan gel placebo. Tetrasiklin HCL gel dimasukan ke dalam sulkus gingiva sampai penuh dan keluar dari dalam sulkus, sebanyak sekali sehari. Tikus dieuthanasia pada hari ke-10 menggunakan eter secara inhalasi, lalu diambil mandibula tikus . Mandibula tikus dimasukkan dalam pot yang berisi buffer formalin 10% selanjutnya dibuat sediaan mikroskopis. Setelah dilakukan euthanasia dan pengambilan jaringan, tikus yang digunakan pada penelitian ini segera dikubur dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya.

4.7.3.

Pembuatan sediaan mikroskopis

Fiksasi jaringan gingiva dilakukan dengan buffer formalin 10% maksimum selama 24 jam. Jaringan yang telah difiksasi dimasukkan ke dalam automatic tissue processor


(58)

untuk menyempurnakan fiksasi. Dehidrasi dengan alkhol 70% - 100% secara bertahap untuk membersihkan sisa-sisa bahan fiksasi. Sisa alkohol dibersihkan dengan xylol dalam proses clearing dan infiltrasi parafin cair pada suhu 57 ºC -59 ºC untuk mengisi rongga dalam jaringan yang ditempati oleh air sehingga terbentuk blok parafin dan didinginkan sebentar di dalam freezer. Setiap blok parafin dilakukan pengirisan jaringan setebal 3-4 µm dengan menggunakan mikrotom. Irisan jaringan tersebut dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu di bawah titik cair parafin. Air pada jaringan diuapkan dengan cara diinkubasi dengan hot plate pada suhu 40-50ºC selama15 menit (Maryuni, 2012).

Prosedur pengecatan dengan deparafinisasi dengan xylol. Rehidrasi dengan alkohol dari konsentrasi rendah untuk menghilangkan xylol dan memasukkan air ke dalam jaringan. Sisa alkohol dihilangkan dengan mencuci preparat di bawah air mengalir, kemudian diberi cat Harris Hematoxillin-eosin. Proses pembersihan dengan xylol dilakukan untuk memberikan warna bening pada jaringan. Prosedur mounting dilakukan agar preparat menjadi awet dan menambah kejernihan. Tahap selanjunya preparat ditutup dengan deckglass dan diberi label (Maryuni, 2012).

4.7.4.

Menentukan jumlah fibroblas dan sintesis kolagen

Banyaknya fibroblast dinilai dengan menghitung fibroblast yang aktif (memiliki sitoplasma yang besar, kromatin halus, nucleus ovoid dan tampak nyata) pada ligament periodontal tikus yang telah dibuat preparat dengan pengecatan Harris Hematoxylin Eosin. Dilihat pada lima lapang pandang menggunakan mikroskop elektrik dengan pembesaran 400X dan Olympus DP12 Digital Camera. Hitung jumlah fibroblas pada tiap lapang pandang, kemudian dijumlahkan dan diambil rata-ratanya.


(1)

4. Analisis komparasi. Pada penelitian ini dibandingkan dua kelompok (kelompok kontrol dan perlakuan). Untuk membandingkan rerata parameter antar kelompok ini, jika data jumlah fibroblas dan ketebalan ligamen periodontal kelompok kontrol dan perlakuan berdistribusi normal maka digunakan uji statistik parametrik independent T-test, jika berdistribusi tidak normal digunakan U Mann Whitney.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. N., Meilawaty, Z., Sandrasari, D. 2010. Prospek Probiotik dalam Pencegahan Agresivitas Resorpsi Osteoklastik Tulang Alveolar yang Diinduksi Lipopolisakarida pada Penyakit Periodontal. Dentika Dental Journal 15 (2) : 150 -3.

Balogh, M. B., Fehrenbach, M. J. 2006. Dental Embriology, Histology and Anatomy. 2nd ed. Philadelphia : ElesevierInc. p.112-113.

Bernard, G. W., Carranza, F. A. 2002. The Tooth Supporting Structures. In :

Carranza’s Clinical Periodontology. 9th ed. Philadelpid : W. B. Saunder Co

Bratawidjaja, K .G. 2004. Imunologi dasar. 1th Ed. Jakarta: Balai penerbit FK UI.

Campbell, N. A., Reece, J. B., Mitchell, L. G. 2004. Biology Oral . 5th ed. vol.3. Jakarta : Erlangga. p. 81-82

Carranza, F. A., Newman, M. G. 2005. Clinical Periodontology. 10th ed. Philadelpia : W. B. Saunders Co. p. 74.

Carranza, F. A., Camargo, P. M. 2002. The Periodontal Pocket. In: Carranza’s Clinical Periodontology. 9th ed. Philadelpia : W.B. Saunder Co.

Collins, F., Rob Veis. 2006. Periodontal Treatment : The Delivery And Role Of Locally Applied Therapeutics. Dental Economics Journal. vol. 3. p. 4 Cormack, P. 2005. Han’s Histology. 9th ed. Jakarta. Binarupa Aksara. h. 245 Daliemunthe, S. H. 2003. Hubungan Timbal Balik Antara Periodontitis Dengan

Diabetes Mellitus. Dentika Dental Journal. vol. 3. p. 115

De Carlo, A. J. L., Boddden, M. K. 2007. Activation and Novel Processing Matrix Metalloproteinase By a Thiol-Proteinase from The Oral Anaerob Porphyromonas Gingivalis. J Dent Res. 76(6):1260-70.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Jawa Timur Dalam Angka. Laporan Survey Kesehatan Rumah Tangga. hal 52-54.

Diegelmann, R. F., Evans, M. C. 2004. Wound Healing : An Overview Of Acute, Fibrotic And Delayed Healing. Fronties In Bioscience 9. p. 283-289

Dumitescu, A. L. 2011. Antibiotics and Antiseptics in Periodontal Therapy . Berlin : Springer Verlag.


(3)

Faormousis I, Tonetti MS, Mombelli A, Lehmann B, Lang NP, Brugger U. 1998. Evaluation of Tetracycline Fiber Therapy with Digital Image Analysis. J Clin Periodontol ; 25 : 737- 45

.

Fawcett, D. W. 2002. Textbook of Histology. 12thed. Philadelpia : W.B. Saunders Company. p.78

.

Hansen, H. B. 2005. Proteolytic Remodelling of Extracellular Matrix. Current Opinion of Cell Biology. Jun (5) : 728 - 35. http://www.perio.org/ consumer/2a.html. 1-3. Accessed 4 Desember 2013

Haryanto, N. 2004. Perbedaan Hasil Perawatan Poket Periodontal Antara Kuretase dan Excisional New Attachment Procedure (ENAP ). ( karya tulis). Yogyakarta : Universitas Gadjah mada.

Indah Puti R. S., Ani Melani Maskoen, Bethy S. Hernowo. 2013. Peran Ekstrak Etanol Topikal Daun Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Pada Penyembuhan Luka Ditinjau Dari Imunoekspresi CD34 Dan Kolagen Pada Tikus Galur Wistar. MKB. Vol. 45. No. 4

Indahyani, D.E., Santoso, A., Utoro, T., Soesatyo M.H. 2010. Fish Oil Regulates Bone Sialoprotein and Osteopontin in Alveolar Bone Resorption. Naskah Lengkap Joint Scientific Meeting in Dentistry (JSMiD). Surabaya 15 –16 Mei 2010

Isna Afifaya, Nur Permatasari, Robinson Pasaribu. 2011. Efek Pemberian Ekstrak Metanol Daun Ciplukan (Physalis minima L) terhadap Lebar Ruang Ligamen Periodontal Tikus Putih (Rattus novergicus) Strain Wistar Pasca Ovariektomi. Jurnal PDGI

Junqueira, L. C., Carneiro, J., Contopoulos, A. N. 2007. Basic Histology, 10th ed. Los Altos : Lange Publications. p.82

Jolkozsky, D. L., Ciancio, S. 2006. Chemoteraphy Agent. In : Clinical Periodontology. 10th ed. Missouri : Saunders Elsevier.

Jorgensen, M. G. 2002. The Ins And Outs Of Periodontal Antimicrobial Therapy. Oral Health Journal 92.10. p. 27-41

Kadler, K. E., Holmes, D. F., Trotter, J. A., and Chapman, J. A. 2006. Collagen Fibril Formation. Biochem J 316 : 1 – 11.

Karlina., Siagian, R. I., Wijaya, A. 2009. http://yosefw.wordpress.com /2009/03/19/farmakokinetikakliniktetrasiklin/ Accessed 4 Desember 2013


(4)

Katili, A. S. 2009. Struktur dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu ; 2(5).

Katzung, B. G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika. Keith, L., Mario, T., Rossa, C., Philip, M.W. 2006. Molecular Biology of The

Host Microbe Interaction in Periodontal Disease. In: Carranza’s clinical periodontology. 10th ed. Philadelphia: W.B Saunder Company.: 259-

74.

Leeson. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta : EGC.

Mandal, Ananya. 2012. Asam Amino Dalam Pembentukkan Kolagen.

http://www.news-medical.net/health/Collagen-Synthesis-%28Indonesian%29.aspx. Accsessed 4 Desember 2013

Manson, J. D., Eley, B. M. 2004. Periodontics. 5th ed. United Kingdom : Elsevier. P. 154 – 8

Maryuni, P.S. 2012. P emberian Tetrasiklin HCL Gel Secara Topikal Konsentrasi 0,4% Lebih Mempercepat Proliferasi Kolagen Dibandingkan Konsentrasi 0,3% dan 0,2% Pada Gingiva Tikus Yang Meradang. Tesis. Denpasar : Universitas Udayana

Masir, O., Menkher Manjas, Andani Eka Putra, Salmiah Agus. 2012. Pengaruh Cairan Cultur Filtrate Fibroblast (CFF) Terhadap Penyembuhan Luka. Jurnal Kesehatan Andalas. 1(3)

Mealey, B. L., Perry, R. K. 2006. Periodontal Medicine : Impact of Periodontal Infection on Systemic Health. In: Carranza’s Clinical Periodontology. 9thed Philadelphia : W. B Saunder Company. p : 312-29.

Murray, R. K., Keeley, F. W. 2003. The Extracellular Matrix. In : Harper’s Illustrated Biochemistry, 26th ed. New York : McGraw. HillCompaniesInc. p.535-537

Newman, M. G. 2006. The Normal Periodonsium. In : Carranza’s Clinical Periodontology. 9th Ed. Philadelpia : W. B. Saunder Co.

Norkiewicz, Dennis S. 2001. The Use Of Chemotherapeutic Agents In Localized Periodontal Pockets. Military Medicine Journal. vol 166. p. 940

Pollard, T. D., Earnshaw, W. C., Schwartz, W. J. L. 2008. Cell Biology. 2nd ed. Philadelphia : Elsevier Inc. p.586

.

Porter, Sue. 2007. The Role Of Fibroblast In Wound Contraction And Healing. Wound uk. Vol. 3. No. 1


(5)

Pradnyani, I G. A. Sri. 2015. “Pemberian Tetrasiklin HCL Gel 0,4%, 0,7% dan

1% Ke Dalam Sulkus Gingiva Meningkatkan Jumlah Fibroblas Dan Sintesis Kolagen Ligamen Periodontal Tikus Yang Mengalami

Periodontitis.” (Unpublish)

Prayitno, S.W., Herman, M. J. 2006. Periodontologi Dari Masa Ke Masa. Cermin Dunia Kedokteran. No. 113.

Puspito R. H., Lastianny, S. P., Herawati, D. 2013. Pengaruh Penambahan Platelet

– Rich Plasma Pada Cangkok Tulang Terhaap Kadar Osteocalcin Cairan Sulkus Gingiva Pada Terapi Poket Infrboni. Jurnal PDGI. Vol.62. No. 3. Hal. 75-82.

Rangaraj, A., Harding, K., dan Leaper, D. 2011. Role of Colagen in Wound Management. WoundsUk ; 7(2).

Robbins, S. L., Kumar,V. K. 1992. Buku Ajar Patologi (terj.). edisi 4. EGC. h.59. Rowe, R. C. 2009. Excipients Handbook of Pharmaceutical. 6th ed. London :

Pharmaceutical Press

Shoulders, M. D., and Raines, R. T. 2009. Collagen Structure and Stability. Annual Review of Biochemistry. 78: 929 – 958.

Spector, W. G., Spector, T. D. 2006. Pengantar Patologi Umum (terj.). ed. 3. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. h. 148-149

Suryani. 2009. Validasi Metode Analisis Residu Antibiotik Tetrasiklin Dalam Daging Ayam Pedaging Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. (cited 2010 Jan. 9 ). Available from: URL: http:// repository. ipb.ac.id/ bitstream/handle/ 123456789/12576/G09dsu2_ abstract.pdf?sequence=1

Tan, H. T., Kirana, R. 2002. Obat-obat Penting (Khasiat , Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya). Ed.5. Cet.2. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Terranova V. P., Franzetti L. C., Di Florio, R. M., Lyall R. M., Wikesjo, U. M., Baker, P.J., Christersson, L.A., Genco, R.J. 2006. Tetracycline Treatment of Dentin Promotes Fibroblast Adhesion and Growth. J Periodont Res ; 21 : 330-337.

The American Academy of Periodontology. 2002. Gum disease information.

http://www.perio.org/consumer/2a.html.1-3. Accessed December 4th 2013

Triyono,B. 2005. Perbedaan Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi pada Tikus Wistar Yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain Dan Yang Tidak diberi Levobupivakain (tesis). Semarang : Universitas Diponegoro.


(6)

Wulandari, P. 2007. Tetrasiklin Periodontal Fiber sebagai Perawatan P enunjang pada Penyakit Periodontal. Sumatra Utara: Universitas Sumatra Utara. Wahyukundari, Melok Aris. 2009. Perbedaan Kadar Matrix Metalloproteinase-8

Setelah Skaling Dan Pemberian Tetrasiklin Pada P enderita P eriodontitis Kronis. Jurnal PDGI vol. 58. No.1

Williams, R. C. 2000. Medical Progress : Periodontal Disease. The New England Journal Of Medicine. 322.6. p. 372-382

Wood, N.H, S. J. Botha. 2003. Effect of Tetracycline on Proliferation and Collagen Production of Human Gingival Fibroblast. University of Pretoria. South Africa