Gambaran Peer Relationships Pada Remaja Etnis Minoritas

BAB I
PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG MASALAH

Peralihan dari masa kanak-kanak menjadi orang dewasa ditandai dengan
suatu periode yang dikenal dengan sebutan masa remaja. Masa remaja adalah
periode perkembangan dari transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang
melibatkan perubahan biologis, kognisi, dan perubahan sosioemosional (Papalia,
2007). Pada masa remaja, dibandingkan pada masa kanak-kanak terdapat
perubahan dramatik pada hubungan sosial. Perubahan dramatik tersebut yaitu
perubahan dari hubungan orangtua-anak menjadi hubungan romantis, dan
hubungan sesama gender menjadi hubungan mixed gender (Connolly, dkk dalam
Marcus, 2007). Menurut Papalia (2007), pada masa remaja, remaja mulai
mencapai puncak daya tarik, kekuatan, dan kesehatan fisik sehingga remaja
semakin bergerak menuju teman sebaya.
Selama masa remaja, lingkungan pergaulan remaja semakin luas, begitu
juga faktor yang mempengaruhi penyesuaian remaja. Transisi terjadi dimana
remaja memiliki pergaulan yang lebih luas. Remaja juga mulai menghabiskan

waktu yang semakin meningkat dengan teman sebaya mereka (Mounts &
Steinberg, 1995). Konsekuensinya, teman sebaya menjadi kelompok yang paling
penting dalam memberikan referensi bagi remaja (Engels, Knibbe, Drop & Haan,
1997). Jadi, walaupun dalam perkembangan anak, hubungan yang paling kuat dan

Universitas Sumatera Utara

dekat ditemukan dalam interaksi antara anak dan keluarganya (termasuk orang
tua), seiring dunia sosial anak berkembang, proses perkembangannya semakin
lebih dipengaruhi oleh interaksi dengan teman sebaya (Ary et al., 1999), dan
khususnya pada remaja, hubungan paling dekat yaitu teman-teman sebaya.
Crosnoe & McNeely (2008) menyatakan bahwa pada semua tahap
kehidupan, relasi sosial dan semua lapisannya secara umum memiliki
perkembangan yang signifikan, namun hubungan relasi teman sebaya lebih kuat
pada masa remaja dibandingkan pada masa kanak-kanak ataupun masa dewasa.
Crosnoe & McNeely juga menyatakan fenomena ini terjadi karena pemenuhan
satu dari kunci tugas perkembangan remaja (menjadi lebih independen dari orang
tua) sangat besar meningkatkan peer relationships (hubungan teman sebaya)
dibandingkan dengan hubungan keluarga. Remaja akhirnya memiliki pandangan
internal mengenai teman sebaya pada konsep diri mereka sendiri, dimana

mempertahankan hubungan sebaya mendapatkan priorotas yang yang tinggi, dan
remaja menjadi sensitif terhadap pengaruh teman sebaya mereka, bahkan
kebanyakan remaja cenderung meningkatkan tekanan-tekanan agar dapat diterima
oleh teman sebaya.
Hal tersebut menjadikan remaja cenderung menghabiskan waktu yang
lebih banyak bersama teman sebaya dibandingkan dengan keluarga, dimana
remaja menghabiskan waktu dua kali lipat lebih banyak dengan teman sebaya
dibandingkan dengan relasi lainnya (Papalia, 2007). Secara umum, remaja lebih
banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra
kurikuler dan bermain dengan teman sebayanya. Hubungan kelompok sebaya

Universitas Sumatera Utara

remaja juga lebih sedikit mendapat pendampingan dari orang dewasa bila
dibandingkan dengan kelompok sebaya anak-anak (Santrock, 2008). Melalui
penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa peer relationships merupakan salah satu
karakteristik yang menonjol pada masa remaja.
Menurut Santrock (2008), yang merupakan peers (teman sebaya) adalah
orang dengan tingkat umur dan tingkat kedewasaan yang kira-kira sama.
Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pengertian, pengarah

moral, tempat untuk membuat pengalaman, tempat untuk meraih kemandirian,
dan independensi dari orang tua (Papalia, 2003). Salah satu fungsi utama dari
teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi yang di dapat di luar
keluarga mengenai dunia.
Santrock (2008), menyatakan bahwa peer relationships memiliki tiga
aspek penting pada masa remaja yaitu, persahabatan, kelompok teman sebaya dan
hubungan romantis. Membangun, meningkatkan dan mempertahankan hubungan
yang sehat dengan teman sebaya akan menghasilkan perkembangan yang sehat
bagi individu. Setiap individu ingin diterima oleh orang lain, ingin terhubung
dengan orang lain, serta ingin dapat berbagi sikap, minat, atau hal-hal tertentu
yang sama dengan dirinya.
Peer relationships pada masa remaja dapat menjadi suatu relasi yang
berhasil ataupun gagal dilakukan. Di satu sisi remaja dapat mengembangkan peer
relationships yang tinggi dan di sisi yang lain dapat juga terjebak dalam peer
relationships yang rendah. Santrock (2003) mengatakan bahwa peer relationships
yang tinggi, penting untuk perkembangan sosial pada remaja, dan bila remaja

Universitas Sumatera Utara

berhasil melakukannya maka remaja akan mudah memasuki tahap perkembangan

sosial selanjutnya. Sedangkan Hops, dkk (dalam Santrock, 2003) mengatakan
bahwa ketika remaja memiliki peer relationships yang rendah dimana remaja
terisolasi secara sosial, atau remaja memiliki ketidakmampuan untuk bergabung
dalam suatu kelompok sosial bersama-sama temannya maka remaja akan rentan
dengan banyak masalah dan gangguan pada remaja, misalnya remaja merasa
kesepian dan depresi.
Davis (2007) menyatakan bahwa peer relationships remaja lebih
didasarkan pada kebersamaan, dikarenakan hubungan pada remaja didasarkan
oleh ikatan emosi, dan hal ini jugalah yang membuat remaja merasa dikhianati
ketika peer (teman sebaya) menolak mereka. Selama masa remaja, terdapat
dorongan yang kuat untuk memisahkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan
dengan masa kanak-kanak termasuk bergantung pada keluarga (Davis, 2007).
Ketika remaja tidak lagi mau bergantung pada keluarga, remaja menjadi lebih
mandiri dan menjadikan kelompok teman sebaya sebagai sumber referensi utama
dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup Papalia (2004).
Dikarenakan hal tersebut, remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan
diterima oleh teman-teman dan kelompok teman sebaya, dimana teman-teman
menjadi sumber informasi, misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang
menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya (Conger, 1991).
Perasaan ditinggalkan lebih kuat pada masa remaja dan memiliki dampak yang

lebih besar juga, dimana klik (kelompok kecil pada remaja) merupakan tempat
dimana remaja berusaha untuk menjalin ikatan (Davis, 2007). Hal inilah yang

Universitas Sumatera Utara

dapat mengakibatkan remaja yang tidak memiliki klik akan merasa sangat sedih,
dan fenomena ini sangat khas pada remaja.
Hubungan remaja dengan peer, apakah mereka mudah atau sulit untuk
dapat bergabung dengan peer mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut
Santrock (2003), peer relationships pada remaja dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor budaya dan status sosial ekonomi yang dimiliki remaja. Faktor budaya yang
dimiliki remaja dapat menjadi hambatan pada peer relationships remaja
khususnya dikarenakan latar belakang budaya yang dimiliki remaja tersebut.
Faktor budaya mempengaruhi peer relationships remaja yang dimaksud dalam hal
ini adalah ketika remaja menjadi anggota suatu etnis minoritas (Santrock, 2003).
Seperti yang juga diungkapkan oleh Hinde (dalam Chen, 2002) yang
mengatakan

bahwa


konteks

budaya

memainkan

peran

penting

pada

perkembangan sosial individu, karakteristik perilaku dan hubungan teman sebaya.
Spencer & Dornbusch (dalam Santrock, 2003) juga mengatakan bahwa remaja
yang merupakan golongan etnis minoritas, khususnya imigran lebih bergantung
pada teman sebaya mereka. Anak yang berasal dari golongan etnis minoritas
ketika beranjak remaja dan memasuki suatu sekolah dengan populasi sekolah
yang lebih heterogen, menjadikan mereka lebih peka terhadap status minoritas
mereka (Santrock, 2003).
Jones (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa etnis menentukan siapa,

seberapa besar derajatnya dan dalam cara-cara bagaimana seseorang akan
menikmati kewarganegaraan yang diistimewakan. Santrock (2008) mengatakan
bahwa latar belakang etnis seseorang menentukan apakah individu akan

Universitas Sumatera Utara

diasingkan, ditekan, atau dirugikan. Hambatan hubungan dengan teman sebaya
juga terjadi di berbagai belahan dunia pada anak dengan etnis minoritas. Kasus
etnis minoritas di Amerika misalnya, McLoyd (dalam Santrock, 2003)
mengatakan bahwa etnis minoritas Asia-Amerika dan Afrika-Amerika sering kali
mendapat kerugian seperti diskriminasi, prejudice, dan bias karena status etnis
minoritas mereka.
Sama halnya dengan remaja etnis minoritas di negara lain, remaja etnis
minoritas di Indonesia (khususnya di kota Medan) yang sering menjadi sorotan
karena adanya stereotype dan diskriminasi adalah etnis Tionghoa dan etnis Tamil.
Kota Medan memiliki beberapa kelompok etnis minoritas diantaranya etnis Arab,
Tamil dan Tionghoa dan etnis mayoritas adalah suku Jawa dan suku-suku dari
Tapanuli (Batak, Mandailing dan Karo). Berdasarkan data BPS (Badan Pusat
Statistik) Sumatera Utara, jumlah etnis Tionghoa di kota Medan hanya berjumlah
sekitar 10, 65 % saja, dan etnis India dan Arab berkisar 3,95 %.

Kota Medan seperti kota-kota lain di Indonesia memiliki ciri yaitu (Putra,
1999):
1.

Adanya stereotype etnik.

2.

Pasar sebagai pusat perekonomian

3.

Kebiasaan warga mengunjungi kedai tuak

4.

Judi sebagai kebiasaan yang tidak mudah dihilangkan

5.


Keberadaan preman di pusat-pusat keramaian

6.

Ruang-ruang bergaul yang tersebar di pojok-pojok kota.

Universitas Sumatera Utara

Bagi masyarakat kota Medan, etnis Tamil memiliki stereotype etnis
pemabuk dan penipu, sedangkan etnis Tionghoa memiliki stereotype yaitu sifat
spekulatif, menghalalkan semua cara, sombong, lekas curiga, eksklusif, orientasi
bisnis, hemat, ulet, egois, dan paternalis (Realita Pos, 2008). Setiap kelompok
etnis mengalami perlakuan rasisme dan diskriminasi dari yang halus hingga yang
kejam, baik secara individu atau secara kelompok minoritas.
Pengalaman tersebut memperjelas “status minoritas” dari orang-orang
yang memiliki warna kulit berbeda, yang sering mengakibatkan stress dalam
permusuhan, prejudice, dan hambatan mendapatkan informasi, hambatan
dukungan sosial, pengasingan, dan isolasi secara sosial. Pengalaman ini seringkali
berhubungan dengan meningkatnya disfungsi psikologis khususnya diantara
remaja etnis minoritas (Rosenbloom & Way dalam Yasui, 2006).


Disfungsi

psikologis yang dimaksud misalnya kesepian, dan depresi pada remaja
dikarenakan bagian dari kelompok minoritas, (Rice, 2008).
Remaja etnis minoritas dan anggota keluarga juga mengalami diskriminasi
etnis sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, dalam beragam konteks seperti
dengan peer di sekolah, tetangga dan komunitas. Beberapa remaja ada yang
merespon stereotype dan diskriminasi dengan mengarah pada dukungan sosial
teman sebaya sesama etnis khususnya ketika mereka secara jumlah merupakan
etnis minoritas di lingkungan sekolah (Rubin, K., dkk, 2009). Remaja etnis
minoritas dalam lingkungan sekolah, lebih cenderung mengalami drop out atau
absen dari sekolah sehubungan dengan status etnis minoritas mereka (Yasui,
2006). Ketika remaja minoritas mengalami gangguan pada persahabatan mereka

Universitas Sumatera Utara

juga akan mempengaruhi self esteem remaja dan penyesuaian dirinya di sekolah
(La Gracea, 2005).
Rosenbloom, dan Way (dalam Yasui, 2006) menemukan di sekolah

menengah atas, remaja Afrika Amerika dan remaja Latin dilaporkan mendapat
dikriminasi ras oleh guru, polisi, dan penjaga toko; sedangkan remaja Asia
Amerika mendapatkan diskriminasi, kekerasan fisik dan kekerasan verbal oleh
teman sebaya mereka. Broman, Mavaddat, & Hsu (2000) melaporkan bahwa 77%
remaja Afrika Amerika mengalami diskriminasi ras, dan remaja pria Afrika
Amerika mengalami paling banyak diskriminasi oleh polisi dan dalam hal mencari
pekerjaan (dalam Yasui, M. & Dishion , T. 2006).
Menurut Siburian (2005), dibandingkan dengan etnis lain seperti Tamil
dan Arab, etnis Tionghoa lebih banyak mendapatkan diskriminasi dan stereotype
dari masyarakat pribumi. Hal ini dapat dilihat dari fakta mengenai masih adanya
kesenjangan hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis pribumi di kota Medan.
Adanya istilah dikotomis yang sangat umum digunakan oleh masyarakat
Indonesia, yaitu etnis Pribumi dan etnis non-Pribumi. Etnis Pribumi adalah semua
etnis yang ada di Indonesia di luar etnis Tionghoa, sedangkan etnis non-Pribumi
biasanya diasosiasikan dengan etnis Tionghoa (Mendatu, 2007).
Selain itu, Suryadinata (2002) juga mengatakan bahwa etnis Tionghoa
juga mendapat stereotype memiliki sikap bermusuhan terhadap Indonesia dimana
selalu berpegang teguh kepada kebudayaan negeri leluhur mereka. Stereotype dan
diskriminasi yang didapatkan oleh etnis Tionghoa ini menghasilkan adanya
konflik antar-etnis yang selalu membawa korban pada etnis Tionghoa. Hal

Universitas Sumatera Utara

tersebut tentunya yang memberi indikasi bahwa hubungan antar-etnis khususnya
antara etnis Tionghoa dengan etnis "asli" Indonesia tidak harmonis (Siburian,
2005). Keterasingan etnis Tionghoa di mata pribumi adalah akibat kurang
bersosialisasinya etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi.
Sebagian besar warga pribumi mengenal orang Tionghoa hanya dipasar.
Siburian juga mengatakan bahwa interaksi yang terjadi antara warga pribumi dan
non-pribumi (etnis Tionghoa) itu adalah kaitannya dengan perdagangan saja.
Interaksi yang hanya berlangsung dalam arena pasar atau jual beli saja tidak akan
mampu untuk memahami satu sama lain secara mendalam (Siburian, 2005).
Menurut Suryadinata (2002) beberapa stereotype yang diberikan pada
etnis Tionghoa diantaranya adalah suka berkelompok-kelompok menjauhkan diri
dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri. Hal tersebut
senada dengan hasil penelitian Sentosa Tarigan, dkk (1992), yang mengatakan,
warga masyarakat Tionghoa Medan (studi kasus di Kelurahan Petisah Tengah,
kecamatan Medan Barat) masih bersikap eksklusif dan kurang mau bergaul
dengan masyarakat etnis lainnya.
Secara umum, etnis Tionghoa terbagi dalam dua golongan, yaitu Tionghoa
totok dan Tionghoa peranakan (Siburian, 2005). Oleh karena Tionghoa totok
masih asli keturunan Tionghoa, maka baik bahasa yang digunakan dan
kebudayaan yang diekspresikan masih bernuansa Tionghoa (Siburian, 2005).
Perbedaan inilah yang dimiliki etnis Tionghoa jika dibandingkan dengan etnis
minoritas imigrasi lainnya, seperti etnis Arab dan etnis Tamil, dimana etnis
Tionghoa tampak menonjol dalam menggunakan bahasa ibu mereka dalam

Universitas Sumatera Utara

aktivitas sehari-hari. Di kota Medan dan sekitarnya, etnis Tionghoa yang
mayoritas adalah Tionghoa totok, dimana mereka menggunakan bahasa Hokkien
dalam aktifitas sehari-hari, kecuali ketika berkomunikasi dengan masyarakat
pribumi.
Mungkin dikarenakan etnis Tionghoa terlihat eksklusif dan menjadi etnis
sorotan, dalam kalangan pribumi masih terdapat golongan yang tidak pernah
berhasil menganggap bahwa sesungguhnya warga Tionghoa itu sudah menjadi
warga negara Indonesia dan merupakan in-group-nya. Sebaliknya, secara umum
masyarakat Tionghoa di kota Medan masih belum mampu untuk menjadikan
orang Indonesia sebagai in-group-nya, dimana mereka belum dapat merasakan
bahwa sesungguhnya yang bernama bangsa Indonesia termasuk adalah diri
mereka sendiri (Sianturi, 2005).
Kesenjangan hubungan antaretnis tersebut juga dirasakan oleh remaja
pribumi yang berdomisili di kota Medan dan sekitarnya, berikut pernyataan
seorang remaja Pribumi mengenai etnis Tionghoa, Christy (15 tahun) :
“Mereka itu kan sok, kalo ada maunya baru baik sama kita. Aku kalo di
sekolah malas lah begaul sama orang itu kak, mending sama yang pribumi
aja. Di lingkungan rumah ini juga banyak Tionghoa kak, tapi aku gak ada
yang kenal.” (Komunikasi personal, Maret 2010).
Elka (16 tahun) :
“Menurut aku kak, orang Tionghoa itu pintar-pintar, politik dagangnya
bagus, tapi orang itu agak pendiam, trus dendam kak, maksudnya dendam
nyimpan masalah kalo ada yang gak disenangi” (Komunikasi Personal,
Agustus 2011).

Kesenjangan hubungan antara etnis Tionghoa-pribumi, tidak hanya
dirasakan oleh etnis pribumi, kesenjangan tersebut juga dirasakan oleh etnis

Universitas Sumatera Utara

Tionghoa. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari beberapa pendapat remaja etnis
Tionghoa mengenai perlakuan negatif yang pernah diterima dari etnis Pribumi
sebagai berikut yang dikutip dari artikel Rasisme yang Masih Menjalar di
Kehidupan Masyarakat Indonesia :
Remaja (P)
“pengalaman.. dulu waktu saya kecil ketika lagi di jalan.. ada anak lebih
tua dari saya manggil-manggil ngata-ngataiin cina gitu.. duh rasis banget
si.. trus dulu mungkin lagi mo maen dirumah temen gua.. temen gua di
hasut ma temen-temennya yang laen ga suruh nemenin gua.. kagak bolehin
gua masuk waduh parah mentang-mentang ni...(dikutip dari artikel
Rasisme yang Masih Menjalar di Kehidupan Masyarakat Indonesia).

Remaja (R)
“pernah juga dulu waktu pulang sekolah aku diludahin ma orang pribumi
tapi ya itu tadi aku ambil hikmahnya...orang-orang macam gini ini yang
menyebabkan bangsa kita sulit maju...”(dikutip dari artikel Rasisme yang
Masih Menjalar di Kehidupan Masyarakat Indonesia).
Remaja (A)
“gua sama temen-temen gua pernah ke kawasan para pemulung dan
membaur ikut kegiatan mereka buat bikin buku, pas masuk guwa
diteriakin ‘Cina.. cinaa... pulang lo dari sini" sama anak-anak umur 3-5
taonan rame-rame. Gua samperin mereka dan senyum dengan baik-baik
gua tanya "Maaf adek-adek, cina tuh apa ya?’ mereka jawab ‘Gatau, cuma
kata papa yang matanya sipit orang jahat dan panggilannya cina...’(dikutip
dari artikel Rasisme yang Masih Menjalar di Kehidupan Masyarakat
Indonesia).
Selain remaja etnis Tionghoa, etnis minoritas lainnya yang juga
mengalami masalah adalah etnis Tamil. Etnis Tamil, pada umumnya bekerja
sebagai pekerja kasar, dimana mereka biasanya bekerja sebagai kuli atau penjaja
makanan atau minuman di pinggir jalan (Luqman, 2011). Pemukiman mereka
tersebar di pinggir kota Medan yaitu daerah belakang Bandara Polonia Medan.
Orang-orang Arab dan Bombay (Sikh) bermukim di daerah Medan kota dan
pertokoan daerah Sudirman. Mereka biasanya bekerja sebagai pedagang kain,

Universitas Sumatera Utara

toko alat olahraga dan peternak. Pemukiman mereka mengelompok dan jauh dari
etnis yang lain. Etnis Tamil secara umum tidak meninggalkan adat istiadat dan
kebiasaan dari daerah asal. Bahkan ada sebagian dari Etnis Tamil yang berdagang
makanan yang merupakan makanan dari etnik mereka (Putra, 1999). Bagi etnis
Tamil, istilah Keling sering digunakan untuk menyebut orang-orang yang sering
berbuat onar seperti penjudi, penjahat dan pemabuk.
Hal tersebut senada dengan pernyataan Darma seorang remaja pria etnis
Tamil berikut:
“Orang India memang dicap penjahat kak, di kampung Keling itu kak,
polisi aja takut kesana kalo sendirian karena takut dikerjai sama orang
India... yah macam-macam lah kak, kampung keling tu katanya tempat
main judi, mabuk, banyak juga anak mudanya narkobaan di dekat polonia
itu” (Komunikasi persnonal, 19 Oktober 2011).
Menurut Moses (dalam Luqman, 2011) sebutan Keling adalah istilah yang
derogatif, diskriminatif, dan menghina, dan etnis Tamil bukanlah orang Keling,
tapi Tamil, di dunia ini tidak ada suku Keling. Penilaian etnis Pribumi masih
sedikit berubah terhadap etnis Tamil, bahkan masih jarang dijumpai etnis Pribumi
yang menggunakan kata Tamil untuk merujuk pada etnis India (Luqman, 2011).
Masih banyak masyarakat yang mengidentifikasikan warga Tamil dengan penipu
dan pemabuk, dimana adanya ungkapan “jika punya uang, orang Tamil tidur di
got, jika tidak punya uang baru tidur di rumah” seperti pendapat Moses Allegesan
berikut :
“Masalah mabuk, minum ‘kalau ada uang tidur di got, kalau tidak ada
tidur di rumah’ itu jelas penghinaan. Sampai sekarang tidak ada orang
Tamil yang menjual minuman keras. Kalau itu penghinaan bagi orang
Tamil yang minum dan mabok, saya setuju. Tapi apa orang Tamil saja
yang minum? Saya tidak pernah merokok dan minum minuman keras.

Universitas Sumatera Utara

Kalau ada satu makan nangka semua makan getahnya, saya juga satu
contoh yang baik, kenapa tidak saya yang disebut? Dari ribuan warga
Tamil, berapa yang mereka lihat tidur di parit? Satu dua orang? Apakah itu
cukup untuk menjadi representative label Tamil? (dikutip dari artikel India
Menolak Keling).
Pemuda keturunan Tamil, Parameshwara (dalam Luqman, 2011)
mengatakan dengan stempel dan label negatif yang di dapat etnis Tamil, warga
keturunan Tamil pun sulit mencari kerja. Stempel dan lebel negatif juga dirasakan
pada remaja etnis Tamil dalam pergaulannya dengan teman sebaya. Spencer &
Dornbusch mengatakan kepekaan remaja etnis minoritas terhadap penilaian
negatif, nilai-nilai yang bertentangan, dan kesempatan pekerjaan yang terbatas
dapat mempengaruhi pilahan dan rencana hidup di masa depan (dalam Santrock,
2003). Penilaian negatif tersebut terjadi seperti yang dinyatakan oleh Darma
seorang remaja etnis minoritas Tamil berikut ini :
“kalo ditanya pernah diejek, diganggu karena aku orang India, di sekolah
dulu pasti pernah lah kak, apalagi awal-awal masuk......” (Komunikasi
persnonal, 19 Oktober 2011).
Adakalanya remaja etnis Tamil merasa kurang nyaman jika dilihat
berkelompok dengan teman sesama etnisnya dikarenakan oleh stempel dan
penilaian negatif yang diterima mereka, seperti yang diungkapkan oleh Darma
seorang remaja pria dengan etnis Tamil berikut :
“janganlah ngumpul ma teman-teman sesama India, nanti nampak kali
bandalnya.... maksudnya kak, kalo berkumpul gitu, pasti dicap jahat... kan
orang India dibilang penjahat kak, tukang curi, pemabuk... makanya teman
aku banyakan orang jawa, ama karo.. kalo sesama India aku menghindari
lah.” (Komunikasi persnonal, 19 Oktober 2011).
Diskriminasi dan stereotype tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan
hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Pribumi (Sianturi, 2005) dan tentu saja

Universitas Sumatera Utara

kesenjangan yang dihasilkan oleh diskriminasi dan stereotype tidak hanya terjadi
pada etnis Tionghoa dan etnis Pribumi saja, melainkan pada etnis Tamil juga.
Dengan adanya diskriminasi dan stereotype yang dialami oleh etnis minoritas
tentunya akan mempengaruhi peer relationships yang dimiliki etnis tersebut.
Pada umumnya, remaja ingin bergabung dalam suatu kelompok sebaya
tertentu, dimana remaja yang tidak menjadi anggota kelompok manapun dapat
mengakibatkan stres, frustasi dan kesedihan (Santrock, 2003). Santrock juga
mengatakan bahwa peer relationships yang baik, penting untuk perkembangan
sosial pada remaja. Hops, dkk (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa ketika
remaja terisolasi secara sosial, atau ketidakmampuan untuk bergabung dalam
suatu kelompok sosial akan berhubungan dengan banyak masalah dan gangguan
pada remaja.
Menurut Scott (dalam Lee, 2008) penyesuaian psikologis dan hubungan
antar-kelompok diantara remaja minoritas semakin tidak baik di lingkungan
mayoritas karena remaja minoritas membatasi kontak sosial hanya dalam
kelompok yang kecil saja. Hal tersebut didukung oleh Cobb, (2007) yang
mengatakan ketika remaja menjadi etnis minoritas dalam suatu lingkungan,
misalnya etnis minoritas Afrika-Amerika dalam suatu sekolah, remaja tersebut
cenderung kurang memiliki kesempatan bergabung dalam kelompok teman
sebaya seperti klik dan kurang memiliki kesempatan memiliki teman dekat. Hal
tersebut didukung juga oleh Jill Hamm (dalam Cobb, 2007) yang meneliti pola
persahabatan diantara remaja dari sejumlah etnis yang berbeda pada sekolah
menengah di California dan Wisconsin. Hamm menemukan bahwa 80% remaja

Universitas Sumatera Utara

Eropa–Amerika memiliki sahabat dari latar belakang etnis yang sama dengan
dirinya dan 60% remaja etnis Asia-Amerika juga melakukan hal yang sama.
Seperti yang disebutkan di atas, selain faktor budaya atau latar belakang
etnis seseorang, faktor status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap peer
relationships pada remaja. Pada remaja etnis minoritas, khususnya latar belakang
status sosial ekonomi tinggi atau rendah memberikan dampak yang berbeda bagi
peer relationships remaja. Menurut Gibbs & Huang (dalam Santrock, 2003)
remaja berlatar belakang penghasilan rendah, beresiko tinggi untuk mengalami
masalah yaitu kesulitan dalam adaptasi sosial dan masalah psikologis seperti
depresi, rendah diri, konflik dengan teman sebaya dan kenakalan remaja lebih
banyak terjadi pada remaja miskin dibandingkan dengan remaja yang lebih
berada.
Santrock (2003) mengatakan remaja etnis minoritas kelas menengah masih
menghadapi masalah prasangka, diskriminasi dan bias yang berhubungan dengan
status sebagai anggota kelompok etnis minoritas. Diskriminasi dan marginalisasi
adalah tantangan bagi etnis minoritas yang juga berusaha untuk lepas dari
kemiskinan (Corcoran and Nichols, 2004). Menurut McLoyd, (1998) remaja yang
memiliki latar belakang status sosial ekonomi yang rendah memiliki tingkat
kenakalan remaja yang lebih tinggi.
Peer relationships pada remaja etnis minoritas juga di pandang berbeda
antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Cobb, (2007) mengatakan bahwa
remaja perempuan lebih memberikan perhatian khusus pada hubungan
pertemanan yang mereka jalin dibandingkan dengan laki-laki. Cobb juga

Universitas Sumatera Utara

mengatakan bagi remaja perempuan, kedekatan,dan ikatan emosi merupakan hal
yang paling sering dibagikan dan menjadi esensi dalam hubungan pertemanan.
Remaja perempuan sering menggunakan jalinan emosi dalam pertemanan,
seringkali persahabatan mereka lebih banyak menimbulkan stress dikarenakan
banyaknya konflik yang terjadi. Hal tersebut mengakibatkan hubugan pertemanan
pada remaja laki-laki lebih bertahan lama dibandingkan dengan pertemanan
remaja perempuan (Cobb, 2007).
Namun, remaja etnis minoritas juga berkesempatan memiliki peer
relationships yang tinggi. Santrock (2008) mengatakan bahwa remaja yang
berasal dari etnis minoritas memiliki persahabatan yang lebih erat dengan sesama
etnis mereka. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Cobb (2007), bahwa remaja
dari kelompok etnis minoritas kebanyakan bersahabat dengan teman sebaya dari
etnis dan latar belakang yang sama.
Pada aspek persahabatan dari hubungan teman sebaya, beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa kesamaan mendasari atraksi dan hal tersebut menurut
La Gracea dan Harisson (2005) adalah kunci dari persahabatan. Berdasarkan
penelitian House, (2007) diakatakan bahwa etnis minoritas juga dapat memiliki
peer relationships yang tinggi ketika remaja mendapatkan dukungan dari keluarga
yaitu kesatuan di dalam keluarga. Remaja etnis minoritas juga dapat memiliki
peer relationships yang tinggi bila remaja mendapat dukungan dari keluarga
khususnya bila remaja puas dengan hubungan orang tua-anak, Dekovic´ (2004).
Peer

relationships

yang

tinggi

pada

remaja

etnis

minoritas

menggambarkan remaja sudah mampu menjalin hubungan persahabatan, dimana

Universitas Sumatera Utara

remaja etnis minoritas sudah berbagi masalah dengan sahabatnya, menerima
sahabat apa adanya, memiliki rasa berharga, mampu mengungkapkan diri, dan
menerima dukungan emosi dari sahabat mereka. Menjalin hubungan dengan
kelompok teman sebaya, dimana remaja etnis minoritas memiliki rasa nyaman,
harga diri, memiliki identitas diri karena bersama teman kelompok mereka,
remaja juga memiliki wadah untuk menghabiskan waktu maupun tempat sumber
informasi. Pada aspek hubungan romantis, remaja etnis minoritas memiliki
keinginan memulai suatu hubungan romantis, maupun sudah menjalin suatu
hubungan romantis.
Di sisi lain, peer relationships yang rendah menggambarkan

jalinan

hubungan persahabatan, kelompok teman sebaya dan hubungan romantis yang
masih memiliki hambatan pada remaja. Remaja etnis minoritas kutrang berbagi
masalah dengan sahabatnya, kurang menerima sahabat apa adanya, tidak memiliki
rasa berharga, kurang mampu mengungkapkan diri, dan tidak menerima dukungan
emosi dari sahabat mereka. Hubungan dengan kelompok teman sebaya, tidak
membuat remaja etnis minoritas memiliki rasa nyaman, harga diri, dan tidak
memiliki identitas diri walaupun menghabiskan waktu dengan kelompok mereka
sehingga kurang mendapat sumber informasi. Pada aspek hubungan romantis,
remaja etnis minoritas belum memiliki keinginan memulai suatu hubungan
romantis.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa masa remaja adalah waktu
dimana terjadi perubahan utama pada biologis, psikologis dan konteks sosial,
yang dibarengi dengan jalinan peer relationships dimana beberapa remaja

Universitas Sumatera Utara

melewatinya dengan indah, sedangkan yang lain melewatinya dengan penuh
kesulitan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat adanya dinamika peer
relationships pada etnis minoritas khusunya pada remaja etnis Tionghoa dan
Tamil dikalangan etnis mayoritas Pribumi. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu
untuk meneliti : gambaran peer relationships pada remaja etnis minoritas.
Melalui penelitian ini akan diperoleh data tentang gambaran peer relatiosnhip
remaja etnis minoritas. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk mengetahui apakah
ada perbedaan peer relatiosnhip antara remaja etnis minoritas laki-laki dan remaja
etnis minoritas perempuan sehubungan dengan perbedaan psikologis yang
dimiliki oleh laki-laki dan perempuan menurut Hurlock (1999), juga perbedaan
yang ditinjau dari budaya remaja etnis minoritas, dan perbedaaan menurut status
sosial ekonomi. Ketiga hal ini akan menjadi hasil tambahan dalam peneitian ini.
B.

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan dalam

penelitian adalah sebagai berikut :
1. ”Bagaimanakah gambaran peer relationships pada remaja etnis
minoritas?”
2. “Bagaimanakah peer relationships pada remaja etnis minoritas bila
ditinjau dari jenis kelamin, etnis, dan status sosial ekonomi?”

Universitas Sumatera Utara

C.

TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Mengetahui gambaran peer relationships remaja dari etnis minoritas.
Melalui gambaran tersebut akan diketahui apakah remaja etnis minoritas
memiliki peer relationships yang tinggi, sedang atau rendah.
2. Mengetahui gambaran peer relationships remaja dari etnis minoritas
berdasarkan jenis kelamin, etnis, dan status sosial ekonomi.

D.

MANFAAT PENELITIAN
Dari penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis

maupun manfaat secara praktis.
1.

Manfaat teoritis
a.

Penelitian

ini

diharapkan

mempunyai

manfaat

untuk

pengembangan ilmu psikologi, khususnya dalam Psikologi Perkembangan
mengenai peer relationships pada remaja dari etnis minoritas.
b.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan acuan bagi

peneliti lain yang meneliti mengenai topik peer relationships pada remaja
etnis minoritas.
2.

Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peer

relationships pada remaja dari etnis minoritas kepada berbagai pihak yang
berhubungan, antara lain:

Universitas Sumatera Utara

a. Remaja etnis minoritas (remaja etnis Tionghoa dan remaja etnis etnis
Tamil).
Sebagai referensi bagi remaja etnis minoritas dalam mengetahui
tingkat peer relationships.
b. Pihak Sekolah
Pihak sekolah dapat mengetahui bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi peer relationships pada remaja etnis minoritas.
c. Orang tua
Orang tua dapat mengetahui bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi peer relationships pada remaja etnis minoritas.

E.

SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori mengenai peer
relationshhip, etnis minoritas dan remaja.

Universitas Sumatera Utara

Bab III : Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian,
identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian,
populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan,
prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisa data.
Bab IV : Analisis Data Dan Pembahasan
Terdiri dari analisis data dan pembahasan yang berisi tentang gambaran
subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.
Bab V : Kesimpulan Dan Saran
Merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.

Universitas Sumatera Utara