Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Di Bank Sumut (Studi Pada Bank Sumut)

BAB II
TIINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa Latin “Credere” yang artinya percaya
atau dalam bahasa Latin “Creditum” yang berarti keenaran akan kepercayaan,
maksudnya pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang
disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi penerima
kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk
membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya, oleh
karena itu, unuk meyakinkan bank bahwa nasabah benar-benar dapat dipercaya,
maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu mengadakan analisis kredit, dalam
pemberian kredit terdapat 2 (dua) pihak yang berkepentingan langsung, yaitu
pihak yang membutuhkan dana disebut penerima kredit atau debitur, sedangkan
yang memberi dana atau yang berlebihan dana disebut sebagai pemberi kredit atau
kreditur.

13

M. Jakile mengemukakan bahwa: “Kredit adalah suatu ukuran


kemampuan sesorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai
ganti darijanjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu”
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa dari definisi tersebut dapat disimpulkan
empat elemen yang penting, yaitu:
1. Tidak seperti hibah, transaksi kredit mensyaratkan debitur dan pemberi
kredit untuk saling tukar menukar sesuatu yang bernilai ekonomis.
13

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung, Citra Aditya Bakti
1991), Cet 2, hal. 23

Universitas Sumatera Utara

2. Tidak

seperti

pembelian

secara


kontan,

transaksi

kredit

mensyaratkandebitur untuk membayar kembali kewajibannya pada suatu
waktu dibelakang hari.
3. Tidak seperti hibah maupun pembelian secara tunai, transaksi kredit akan
terjadi sampai pemberi kredit bersedia mengambil risiko bahwa
pinjamannya mungkin tidak dibayar
4. Sebegitu jauh ia bersedia menanggung resiko, bila pemberi kredit
menaruh kepercayaan terhadap pinjaman. Resiko dapat dikurangidengan
meminta kepada peminjam untuk menjamin pinjaman yang diinginkan,
meskipun sama sekali tidak dapat dicegah semua resiko kredit.14
Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang No 10 tahun
1998 tentang perbankan: “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Pencantuman kata-kata persetujuan atau keseakatan pinjam-meminjam didalam
definisi atau pengertian kredit sebagaimana yang tercantumdidalam pasal 1 angka
11 tersebut diatas, dapat mempunyai beberapa maksud yaitu:
a. Bahwa

pembentuk

undang-undang

beraksud

menegaskan

bahwahubungan kredit ban adalah hubungan kontraktual antara bank dan
nasabah debitur yang berbentuk pinjam meminjam. Dengan demikian

14

Ibid, Hal.25


Universitas Sumatera Utara

mengenai hubungan kredit bank berlakulah ketentuan yan terdapat di
dalam buku ke III( tentang perikatan)
b. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan
hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. 15
Menurut Rachmadi Usman, Kredit adalah penyedia uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antar bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit
juga berarti meminjamkan uang atau pemindahan pembayaran, apabila orang
menyaakan membeli secara kredit maka hal ini berarti si pembeli tidak harus
membayarnya pada saat itu juga. 16 Dengan demikian setiap kredit yang telah
disetujui dan disepakati antara para pihak yakni kreditur dan debitur, maka wajib
dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis.
Semua UU Perbankan Indonesia tidak memberikan batasan arti tentang
perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit terdapat dalam Instruksi Presiden yang
ditunjukkan kepada masyarakat Bank. Diinstruksikan bahwa dalam memberikan
kredit dalam bentuk apapun bank wajib menggunakan “akad perjanjian kredit”
(Pedoman Kebijaksanaan di bidang Perkreditan (Instruksi Presidium Kabinet No.
15/EK/10) tanggal 13 Oktober 1996 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit


15

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi
para pihak badan perjanjian kredit bank di indonesia, (Jakarta, Institut Banker indonesia, 1991),
hal. 180 -181
16
H. Budi Untung., Kredit Perbankan Indonesia, (Yogyakarta, Andi, 2000), hal.1.

Universitas Sumatera Utara

I No. 2/539/UPK/Pem. Tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Indonesia
No. 2/643/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966).17
Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Undang-Undang Hukum
Perdata, didefinisikan sebagai “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Jika
diperhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dari
suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang
pihak kepada satu orang atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas

prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu
atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut
dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.
Perjanjian

kredit

Bank

merupakan

perjanjian

pendahuluan

(woorowereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian uang ini merupakan
hasilpermufakatan antara pemberi dan penerima jaminan mengenai hubunganhubungan hukum antara keduanya. Perjanjian kredit merupakan perikatan antara
dua belah pihak atau lebih dimana perjanjian kredit menggunakan uang sebagai
objek dari perjanjian. Jadi perjanjian kredit itu merupakan perjanjian pinjam
meminjam uang antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur,

dimana dalam perjanjian ini bank sebagai pemberi kredit percaya terhadap
nasabahnya dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang telah disepakati akan
dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan

17

Mariam Darus Badrulzaman, Cet 2, Op.Cit, hal. 19.

Universitas Sumatera Utara

kembali prestasi ini merupakan sesuatu yang abstrak, yang sulit diraba, karena
masa antara pemberian dan penerimaan prestasi dapat berjalan dalam beberapa
bulan, tetapi dapat pula berjalan selama beberapa tahun. 18Perjanjian kredit adalah
perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagaimana perjanjian kredit
adalah prejanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessornya. Ada atau
berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah
bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada
nasabah kreditur.19
Perjanjian kredit


merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de

contrahendo), sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-piutang
(perjanjian pinjam-pengganti). Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok
serta bersifat konsensuil (pactade contrahendo obligatoir) disertai adanya
pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum
antara keduanya. Pada saat penyerahan uang dilakukan, maka baru berlaku
ketentuan yang dituangkan dalam perjanjian kredit pada kedua belah pihak.
Perjanjian kredit sebagai perjanjian pendahuluan adalah perjanjian standar
(standard contract). Hal ini terlihat dalam praktek bahwa setiap bank telah
menyediakan blanko perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan lebih dahulu.
Formulir ini diberikan kepada setiap pemohon kredit, isinya tidak dirundingkan
dengan pemohon, kepada pemohon hanya diminta pendapat untuk menerima atau

18

Eugenia Liliawati Muljono, Tinjauan Yuridis Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya Denngan Pemberian Kredit Oleh Perbankan,
(Jakarta, Harvaindo, 2003), hal. 8.
19

Hermansyah, Edisi Revisi Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2009), hal. 71.

Universitas Sumatera Utara

tidak syarat-syarat dalam formulir.

20

Perjanjian kredit ini perlumemperoleh

perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah
sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting
dalam pemberian, pengelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan
dengan itu, menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsifungsi sebagai berikut :
1) Perjanjian kredit berfugsi sebagai perjanjian pokok.
2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur. 21
Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan
bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam

praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur
sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. 22
Dalam suatu perjanjian kredit, beberapa hal yang memberikan kepastian hukum
dan wajib dicantumkan antara lain adalah sebagai berikut :
a) Besarnya jumlah kredit/pinjaman yang diberikan oleh pihak penyedia
uang atau tagihan.
b) Besarnya bunga atau margin bagi hasil, provisi/commitment fee, denda
dan biaya-biaya lain.
c) Jangka waktu pemberian kredit/pembiayaan.
d) Tempat pembayaran kembali utang atau kredit tersebut.
20

Martha, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan
Hak Tanggungan, https://eprints.uns.ac.id/373/1/149631708201005401.pdf yang diakses pada
tanggal 15 April 2017
21
Hermansyah, Op.cit, hal 71
22
Ibid


Universitas Sumatera Utara

e) Agunan, sebagai suatu yang dapat memberikan keyakinan kepada
bank/lembaga

penyedia

kredit

untuk

memutuskan

pemberian

kredit/pembiayaan. 23
B. Jenis-Jenis Perjanjian
Beberapa jenis perjanjian akan diuraikan seperti berikut ini berdasarkan
kriteria masing-masing, yaitu :
1. Perjanjian Timbal Balik dan Sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah
pihak berprestasi secara timbal balik, seperti halnya pada perjanjian jualbeli, sewa-menyewa dan tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah
perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi
hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya yaitu
hibah (Pasal 1666 KUH Perdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal
1792 KUH Perdata).
2. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah memiliki nama sendiri,
yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya
terbatas,

misalnya

jual-beli,

sewa-menyewa,

tukar-menukar,

pertanggungan, pengangkutan. Sedang perjanjian tidak bernama adalah
perjanjian yang tidak mempunyai namadan tidak diatur dalam KUH
Perdata serta jumlahnya tidak terbatas. Jenis perjanjian ini banyak
ditemukan dalam masyarakat.
23

Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, Penjaminan Kredit Mengantar UKMK
Megakses Pembiayaan, (Bandung, Alumni, 2007), hal. 30

Universitas Sumatera Utara

3. Perjanjian Obligatoir dan Kebendaan
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak
milik.

Sedang

perjanjian

kebendaan

adalah

perjanjian

untuk

memindahkan hak milik dalam jual-beli, sewa-menyewa, dan tukarmenukar.
4. Perjanjian Konsensual dan Riil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul baru dalam taraf
melahirkan hak dan kewajiban saja bagi kedua belah pihak dimana tujuan
dari perjanjian tersebut baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak
dan kewajiban tersebut. Perjanjian riil adalah perjanjian yang terjadinya
sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
C. Perjanjian Baku
1) Pengertian Perjanjian Baku
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu
standard contract. Di Indonesia sendiri, perjanjian baku juga dikenal dengan
istilah “perjanjian standar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata standar
berarti suatu ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan, sedangkan kata baku
berarti tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan.
Selain itu, perjanjian baku dikenal dengan nama take it or leave it. Artinya

Universitas Sumatera Utara

konsumen mempunyai hak untuk melakukan pilihan yaitu menyetujui perjanjian
atau menolak perjanjian. 24
Dalam perjanjian baku, model, rumusan dan ukuran yang dijadikan
patokan atau pedoman telah dibakukan sehingga tidak dapat diganti atau diubah
lagi. Semuanya telah dicetak dalam bentuk formulir yang di dalamnya dimuat
syarat-syarat baku. Oleh karena perjanjian baku tersebut dibuat sepihak maka
hanyalah pihak penyusun perjanjian yang memahami isi perjanjian sedangkan
pihak lain yang hanya menerima perjanjian tidak tertutup kemungkinan dirugikan
sebab ia sulit dan tidak memahami isi perjanjian dalam waktu singkat. Terdapat
beberapa rumusan mengenai pengertian perjanjian baku yang dirumuskan oleh
para ahli hukum, yaitu :
a. Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut : “Perjanjian baku
adalah konsep-konsep atau janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan
isinya dan lazimnya, dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian
yang sifatnya tertentu”.
b. Sutan Remi Sjadeini merumuskan perjanjian baku sebagai berikut : “Perjanjian
baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh
pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang
untuk merundingkan atau meminta perubahan".
c. Mariam Darus Badrulzaman merumuskan perjanjian baku sebagai berikut:
“Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir”. 25
24

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006), Cet 1, hal. 145.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan rumusan perjanjian baku yang telah dirumuskan oleh para
ahli hukum, maka dapat dirumuskan perjanjian baku merupakan perjanjian tertulis
yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yang mengandung
syarat-syarat baku, yang dibuat oleh salah satu pihak kemudian disodorkan kepada
pihak lain untuk disetujui
2) Ciri-ciri Perjanjian Baku
Dalam perjanjian baku juga terdapat ciri-ciri atau karakteristik yang harus
disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan

masyarakat.

Perkembangan kebutuhan masyarakat kini menginginkan adanya efisiensi dan
efektivitas kerja. Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta
efektivitas kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang
khas yang tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain
perjanjian baku dibuat salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk
perundingan, isi perjanjian telah distandarisasi, klausula yang ada di dalamnya
biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku
secara terus menerus dalam waktu yang lama. 26
Selain itu, beberapa para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai
ciri-ciri atau karakteristik perjanjian baku. Sudaryatmo mengungkapkan
karakteristik perjanjian baku sebagai berikut:
a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat
dari konsumen;

25

Sukarmi, Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha (Cyber
Law Indonesia), (Bandung, Pustaka Sutra, 2008), hal. 45.
26
Celina Tri Siwi Kristiyanti, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian
Baku”, Jurnal Yustika Vol. 3, Jakarta, Desember 2000, hal. 176.

Universitas Sumatera Utara

b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian;
c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;
d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan. 27
3) Jenis-jenis Perjanjian Baku
Mariam Darus Badrulzaman membagi perjanjian baku menjadi empat
jenis yaitu :
a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak
yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah
pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan
pihak debitur.
b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh
kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak
majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya
terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya
ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya
perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.
d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris
atau advokat yang bersangkutan. 28

27

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013), hal.

93.
28

Salim HS, Cet 1, Op.Cit, hal.146.

Universitas Sumatera Utara

D. Asas-Asas Perjanjian Kredit
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas penting yang menjadi
dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Sama halnya dalam perjanjian kredit, asasasas ini merupakan pedoman dan dasar kehendak masing-masing pihak dalam
mencapai tujuannya. Terdapat lima asas dalam membuat perjanjian, yaitu :
1. Asas Pacta Sunt Servada
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata , yang menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib
mentaati dan melaksaakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana
mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt
servada adalah perjanjian tiak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari
pihak lain. Hal ini disebutkan dalam pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu
suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat dua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk
melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya suatusyarat-syarat
yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan bahwa
perjanjian tersebut telah dilahirkan pada saat telah tercapainya suatu
kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Dengan begitu, suatu perjanjian telah sah ketika syarat-syarat yang ada

Universitas Sumatera Utara

dalamPasal 1320 KUHPerdata tersebut telah dipenuhi dan lahir ketika para
pihak telah mengucapkan kata sepakat.
3. Asas Itikad Baik
Dalam KUHPerdata pada Pasal 1338 ayat (3) menyatakan bahwa :
“perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik”. Dengan kata
lain,setiap orang atau badan hukum (subjek hukum) yang ingin
mengadakan perjanjian harus mempunyai itikatbaik. Itikad baik di sini
merupakan suatu bentuk perlindungan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi salah satu pihak yang mempunyai itikad baik dalam perjanjian
baik dalam waktu pembuatan perjanjian maupun pada waktu pelaksanaan
perjanjian.
4. Asas Kepribadian
Asas ini berhubungan dengan subjek yang terikat dalam suatu perjanjian.
Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1340 ayat (1)
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
5. Asas Kebebasan Berkontrak
Hal ini menjelaskan bahwa, setiap subjek hukum mempunyai kebebasan
dalam mengadakan suatu bentuk perjanjian apa saja maupun perjanjian
yang telah diatur dalam undang-undang. Perbuatan ini mengasumsikan
bahwa adanya suatu kebebasan tertentu di dalam masyarakat untuk dapat
turut

serta

di

dalam

lalu

lintas

yuridis.

Dengan

kata

lain,

Universitas Sumatera Utara

kebebasanberkontrak adalah begitu esensial, baikbagi individu untuk
mengembangkan diri di dalam kehidupan pribadi dan didalam lalulintas
kemasyarakatan serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta
kekayaannya, maupun bagi masyarakatnya sebagai suatu kesatuan,
sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu
hak dasar. 29
Dari pemaparan asas di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam asas kebebasan
berkontrak para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sesuai
keinginan kedua belah pihak sepanjang dapat dipertanggung jawabkan secara
hukum. Selanjutnya asas konsensualisme lahir pada saat para pihak mencapai
puncak kesepakatannya yaitu dalam penandatanganan perjanjian. Kemudian
setelah dilakukan tanda tangan yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang
sah terhadap isi perjanjian, akibatnya perjanjian tersebut telah mengikat bagi
kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
E. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu
perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang sah). Keempat unsur
tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam: dua unsur pokok yang menyangkut
subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan dua unsur
pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur
objektif). Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari
para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian.
29

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, (Bandung, Refika Aditama, 2004), Hal. 99.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan, dan
objek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak
terpenuhinya salah satu unsur dari ke-empat unsur tersebut menyebabkan cacat
dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam
bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif),
maupun batal demi hukum (dalam hak tidak terpenuhinya unsur objektif).
1) Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah bahwa orang
bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun,
dengan bentuk dan isi apapun serta bebas untuk menentukan hukum mana yang
akan dipilih dalam menyelesaikan perjanjian tersebut. Asas ini merupakan salah
satu asas utama dan sangat penting dalam suatu perjanjian. Pada prinsipnya suatu
kontrak hanyalah urusan-urusan para pihak semata-mata sehingga campur tangan
pihak lain tidak diperlukan. Para pihak dalam suatu kontrak bebas mengatur
sendiri kontrak tersebut sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract) dengan syarat bahwa kebebasan berkontrak ini dibatasi dengan
pembatasan umum, yaitu yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata sepanjang
memenuhi ketentuan :
a. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;
b. Tidak dilarang oleh undang-undang;
c. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;
d. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Universitas Sumatera Utara

Dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak ini bersifat relatif sepanjang
kebebasan berkontrak tersebut dilakukan dengan bertanggung jawab, yaitu tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas kebebasan
berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan. 30
Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak ini para pihaklah yang
berhak menentukan dengan siapa dia melakukan ikatan perjanjian dan setiap
orang bebas menentukan ikatan perjanjiannya yaitu menyangkut isi perjanjian
yang dibuat. Di samping itu para pihak juga berhak menentukan hukum yang
hendak mereka pilih untuk mengatur perjanjian mereka, hukum yang berlaku
sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian sengketa apabila
timbul masalah dari perjanjian yang mereka buat.
2) Sepakat mengikatkan diri (Konsensualisme)
Menurut Nancy K. Kubasek dalam bukunya yang berjudul “Dynamic
Business Law” menyatakan bahwa “the first element of a contract is the
agreement”. Perjanjian lahir saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak
yang didasarkan atas adanya persetujuan kehendak, dikenal dengan asas
konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Persetujuan

30

Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia, cet. 1, (Yogyakarta, Penerbit Pustaka
Yustisia, 2009), hal. 44

Universitas Sumatera Utara

kehendak adalah persepakatan antara pihak-pihak mengenai pokok (esensi)
perjanjian. 31
Persetujuan kehendak itu bebas dari paksaan pihak mana pun dan tidak ada
kekhilafan maupun penipuan. Paksaan (dwang) adalah suatu perbuatan ancaman
yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menakutkan orang dan apabila
perbuatan ancaman tersebut menjadi kenyataan dapat menimbulkan kerugian
secara nyata dan terang kepada orang yang diancam. Kehilafan (dwaling) adalah
suatu penggambaran yang keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat
penting objek perjanjian, atau mengenai subjek perjanjian. Penipuan (bedrog)
merupakan suatu alasan pembatalan perjanjian yang dilakukan dengan
menggunakan tipu muslihat oleh salah satu pihak.
Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kata sepakat, salah satu
pihak akan menyampaikan penawaran. Penawaran merupakan suatu bentuk
pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala
macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan untuk disepakati oleh
parapihak. Adanya kesepakatan para pihak ditandai oleh penawaran dan
penerimaan yang dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan
simbol.
3) Kecakapan para pihak
Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk
31

R.Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan (Pedoman Pembuatan dan Aplikasi
Hukum),(Bandung, Alumni Bandung, 1999), hal. 12

Universitas Sumatera Utara

membuat

perjanjian

kecuali orang-orang

yang

menurut

undang-undang

dinyatakan tidak cakap. Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat
perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah
pengampuan dan perempuan yang telah kawin. Ketentuan KUH Perdata mengenai
tidak cakapnya perempuan yang telah kawin melakukan suatu perjanjian kini telah
dihapuskan, karena menyalahi hak asasi manusia. 32
4) Suatu Hal Tertentu
Menurut KUH Perdata hal tertentu adalah :
a. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus
suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit
ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata);
b. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata);Contohnya
seorang pedagang telur, pedagang ayam ternak harus jelas barang
tersebut ada didalam gudang, jual beli tanah harus jelas ukuran luas tanah
dan letak dimana tempatnya.

33

5) Suatu Sebab yang Halal
Meskipun siapa saja dapat membuat perjanjian apa saja, tetapi ada
pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang,

ketentuan

umum,

moral

dan

kesusilaan

(Pasal

1335

KUHPerdata). Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.
32
33

Ibid, hal.12
Ibid, hal.16

Universitas Sumatera Utara

6) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas dalam perjanjian yang
berhubungan dengan mengikatnya perjanjian. Yaitu bahwa semua perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, asalkan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, Pasal 1338 KUHPerdata. Jadi
asas pacta sunt servanda ini merupakan asas bahwa para pihak harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.
7) Asas Itikad Baik (good faith)
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, suatu kontrak haruslah
dilaksanakan dengan itikad baik (tegoeder trouw). Rumusan tersebut memberikan
arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh
para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati
sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian
ditutup.34Itikad baik tidak hanya mengacu kepada itikad baik para pihak, tetapi
harus pula mengacu pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat,
sebabitikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Itikad baik mencerminkan
standar keadilan atau kepatutan masyarakat. Hal lain yang mendasari keberadaan
Pasal 1338 KUHPerdata dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu
perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak penjanjian ditutup, perjanjian tersebut
34

Purwakhid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Sebagai Dasar Untuk Merevisi Isi
Perjanjian, (Jakarta , Elips Project, 1993), hal.3

Universitas Sumatera Utara

sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan para pihak maupun
pihak lain di luar perjanjian. Rumusan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya
suatu kontrak. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal pelaksanaan dari
suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik
dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dicakup oleh unsur kausa yang legal
dari Pasal 1320 KUHPerdata. 35
F. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Bank
Perjanjian kredit yang dibuat selama ini berpedoman pada hukum
perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Perjanjian kredit merupakan
landasan hukum dalam pemberian kredit bagi para pihak karena merupakan suatu
alat bukti tertulis sah yang diperlukan oleh para pihak.
Bentuk perjanjian kredit dikaitkan dengan teori kepastian hukum dalam
pemberian kredit sebaiknya dibuat dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak kreditur apabila terjadi
sesuatu dikemudian hari. Bentuk perjanjian kredit ada yang lisan dan ada yang
berbentuk tertulis. Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena
perjanjian kredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan.
Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah
diperjanjikan, dan ini merupakan bukti kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu

35

Ibid

Universitas Sumatera Utara

terhadap kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh
para pihak.

36

Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai
alat bukti. Dalam praktek bank bentuk perjanjian kredit dapat dibuat dengan dua
cara yaitu :
1. Perjanjian Kredit yang dibuat dibawah tangan.
Akta dibawah tangan berarti perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri
oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk
mempercepat kinerja bank, umumnya bank telah mempersiapkan
formulir perjanjian dalam bentuk standar (standard form) dimana isi,
syaratsyarat dan ketentuan disipakan terlebih dahulu secara lengkap. Saat
penandatatangan perjanian kredit yang mana isinya telah disiapkan
sebelumnya oleh bank kemudian diberikan kepada setiap calon debitur
agar

calon

debitur

dapat

mengetahui

mengenai

syarat-syarat

danketentuan-ketentuan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit.
Maka mau tidak mau calon debitur harus bisa menerima semua ketentuan
dan persyaratan yang telah tercantum dalam formulir perjanjian kredit.
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris yang
dinamakan akta otentik atau akta notariil.
Bentuk perjanjian ini dibuat oleh notaries, Sebenarnya semua syarat dan
ketentuan perjanjian disiapkan oleh bank terlebih dahulu setelah itu
barulah diserahkan kepada notaris untuk dirumuskan sebagai akta
36

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Dilahirkan Dari Perjanjian,
(Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 62

Universitas Sumatera Utara

notariil. Intinya yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada
nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris. 37
Perjanjian kredit notariil (autentik), yaitu perjanjian pemberian kredit oleh
bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris.Dari
pengertian perjanjian kredit notariil tersebut, dapat ditemukan beberapa hal, antara
lain :
a. Yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, terkecuali
wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain;
b. Akta otentik dibedakan dalam yang dibuat “oleh” dan yang dibuat “di
hadapan” pejabat umum;
c. Isi dari akta otentik adalah :
1) semua “perbuatan” yang oleh undang-undang diwajibkan dibuat
dalam akta otentik;
2) semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang dikehendaki oleh mereka
yang berkepentingan.
d. Akta otentik memberikan kepastian mengenai penanggalan daripada
aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta yang
bersangkutan, tahun, bulan dan tanggal pada waktu akta tersebut dibuat.
Mengenai akta perjanjian kredit notariil atau autentik ini, terdapat beberapa hal
yang perlu diketahui, yaitu :
1) Kekuatan Pembuktian, terdapat 3 (tiga) macam, yaitu :

37

M.Akbar,
Eksekusi
Hak
Tanggungan,
http://erepo.unud.
ac.id/11929/3/0b597cf1ee064470c75411a0d6a3981a. pdf yang diakses pada tanggal 16 Mei 2017

Universitas Sumatera Utara

a) Pertama, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang tertulis di dalam akta;
b) Kedua, membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang
disebutkan dalam akta sunguh-sungguh terjadi;
c) Ketiga, membuktikan tidak hanya antara para pihak tetapi pihak ketiga
juga telah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2) Grosse Akta Pengakuan Hutang Kelebihan dari akta perjanjian kredit
atau pengakuan hutang yang dibuat secara notariil (autentik) adalah dapat
dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang mempunyai kekuatan
eksekutorial, artinya disamakan dengan keputusan hakim yang oleh bank
diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses
gugatan yang biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya besar.
3) Ketergantungan terhadap Notaris Bahwa notaris sebagai pejabat umum
tetap juga sebagai seorang manusia biasa sehingga di dalam mengadakan
perjanjian kredit atau pengakuan hutang oleh atau di hadapan notaris,
tetap dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan
kelengkapan yang diperlukan. Kemungkinan terjadi kekeliruan atas suatu
perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang dibuat secara notariil
tetaplah ada. Dengan demikian Account Officer tidak boleh bergantung
pada notaris, melainkan notaris harus dianggap sebagai mitra atau
rekanan dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit. Dalam hubungan itu,
maka bank akan meminta notaris yang bersangkutan untuk berpedoman

Universitas Sumatera Utara

kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh bank. Di
samping itu, Account Officer tetap megharapkan legal opinion dari
notaris setiap akan mengadakan pelepasan kredit, sehingga notaris
berperan sebagai salah satu unsur filterisasi daripada legal asect suatu
pelepasan kredit.

G. Dasar Hukum Perjanjian Kredit Bank
Kredit berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan, sedangkan
istilah kredit diatur dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 11,
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
UU Perbankan no. 10 Tahun 1998 Pasal 8 menyebutkan bahwa “Dalam
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum
wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yangmendalam atas itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Dari pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa Kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengadung risiko, sehingga
dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko

Universitas Sumatera Utara

tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank
harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan
sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur
lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur
mengembalikan uangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak
tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya
didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik,
petuk, dan lainlain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan.
Bank tidak wajibmeminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan
langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan
tambahan. Disamping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau
beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.
H. Hapus dan Batalnya Perjanjian Kredit Bank
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan tidak memuat
ketentuan mengenai hapusnya perjanjian kredit. Sesuai dengan asas lex specialis
derogat lex generalis maka ketentuan mengenai hapusnya perjanjian kredit

Universitas Sumatera Utara

menggunakan ketentuan dalam buku III Bab IV KUHPerdata mengenai hapusnya
suatu perikatan. Pasal 1381 KUHPerdata memuat ketentuan tentang hapusnya
perikatan. Cara-cara mengenai hapusnya perikatan menurut pasal 1381
KUHPerdata yaitu karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan utang perjumpaan uang atau
kompensasi, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang
terutang,

kebatalan/pembatalan,

berlakunya

syarat

batal,

dan

lewatnya

waktu. 38 Pada dasarnya perjanjian bersifat konsensuil, namun demikian ada
perjanjian-perjanjian tertentu yang mewajibkan dilakukan sesuatu tindakan yang
lebih dari hanya sekedar kesepakatan, sebelum pada akhirnya perjanjian tersebut
dapat dianggap sah. Secara umum, ilmu hukum membedakan perjanjian ke dalam
perjanjian konsensuil, perjanjian riil, dan perjanjian formil. Perjanjian konsensuil
adalah bentuk perjanjian yang paling sederhana, karena hanya mensyaratkan
adanya kesepakatan antara mereka yang membuatnya.
Perjanjian konsensuil ini, adalah perjanjian sebagaimana ditentukan dalam
pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang harus memenuhi
persyaratan:
1. Terdapat kata sepakat di antara mereka yang berjanji;
2. Mereka yang berjanji tersebut haruslah cakap menurut hukum;
3. Terdapat objek yang diperjanjikan;
4. Objek yang diperjanjikan tersebut adalah sesuatu yang diperbolehkan
oleh hukum (merupakan causa yang halal).

38

H.Budi Untung, Kredit Perbankan Indonesia, (Yogyakarta, Andi, 2000), hal.23

Universitas Sumatera Utara

Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak harus dipenuhi
agar suatu perjanjian dapat dianggap sah. Disamping keempat syarat tersebut,
untuk

perjanjian-perjanjian

tertentu,

Undang-undang

mensyaratkan

pula

dipenuhinya suatu perbuatan tertentu agar perjanjian itu dapat membawa akibat
hukum (pada perjanjian riil); ataupun harus dipenuhinya suatu formalitas tertentu
agar perjanjian yang dibuat itu sah adanya (pada perjanjian formil). Ini berarti
perjanjian riil dan perjanjian formil adalah pengecualian dari berlakunya
perjanjian konsensuil. Seperti telah diuraikan di atas, keabsahan dari tiap
perjanjian ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang. Jika suatu perjanjian tidak sah maka berarti perjanjian itu
terancam batal. Hal ini mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk
diketahui oleh tiap pihak yang mengadakan perjanjian. 39
Oleh karena masing-masing perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya
sendiri-sendiri, maka nulitas atau kebatalan dari suatu perjanjian secara otomatis
juga memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, sampai
seberapa jauh suatu nulitas atau kebatalan dapat dianggap ada pada suatu
perjanjian hanya dapat ditentukan oleh sifat dari perjanjian itu sendiri.
Namun ini tidaklah berarti bahwa tidak dapat ditarik suatu garis umum
mengenai hal ini : 40
a. Macam-macam

Kebatalan

Dengan

berdasarkan

pada

alasan

kebatalannya, nulitas dibedakan dalam perjanjian yang dapat dibatalkan
dan perjanjian yang batal demi hukum, sedangkan berdasarkan sifat
39
40

Hermansyah, Op.Cit, hal.71.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Hukum Perjanjian, Cet 21, (Jakarta, Intermasa, 2005),

hal. 64.

Universitas Sumatera Utara

kebatalnnya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan
mutlak.
b. Perjanjian

yang

Dapat

Dibatalkan

Undang-undang

memberikan

kemungkinan bahwa suatu perjanjian dapat dibatalkan, jika perjanjian
tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan kepentingan individu
tertentu. Individu ini tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi
meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para
pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, pihak yang jika
dengan dilaksanakannya perjanjian tersebut (akan) menderita kerugian
dapat mengajukan
perjanjian

itu

pembatalan atas perjanjian tersebut baik sebelum

dilaksanakan

maupun

setelah

perjanjian

tersebut

dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, pasal 1451 dan pasal 1452
Kitab UndangUndang Hukum Perdata menentukan bahwa setiap
kebatalan membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orang
dipulihkan sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat.
c. Pembatalan Perjanjian oleh Salah Satu Pihak dalam Perjanjian Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memberikan alasan tertentu kepada
salah satu pihak dalam perjanjian untuk membatalkan perjanjian yang
telah dibuat olehnya. Alasan-alasan tersebut biasa dikenal dalam Ilmu
Hukum sebagai alasan subjektif. Disebut dengan subjektif, karena
berhubungan dengan diri dari subjek yang menerbitkan perikatan
tersebut. Pembatalan perjanjian tersebut dapat dimintakan jika:

Universitas Sumatera Utara

1) Telah terjadi kesepakatan secara palsu dalam suatu perjanjian; karena
telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak
dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat (pasal 1321 samapai
dengan pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
2) Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam
hukum (pasal 1330 sampai dengan pasal 1331 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) Dalam hal terjadi kesepakatan secara palsu, maka
pihak yang khilaf, dipaksa, atau ditipu tersebut, memiliki hak untuk
meminta pembatalan perjanjian pada saat ia mengetahui terjadinya
kekhilafan, paksaan, atau penipuan tersebut. Sedangkan untuk hal
yang kedua, pihak yang tidak cakap, dan atau wakilnya yang sah
berhak untuk memintakan pembatalan perjanjian (pasal 1446 sampai
dengan pasal 1450 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
d. Pembatalan perjanjian Oleh Pihak Ketiga di Luar Perjanjian Kitab
Undang-undang hukum perdata tidak memberikan rumusan yang umum
dalam suatu pasal untuk melakukan penuntutan pembatalan atas
perikatan atau perjanjian yang dibuat oleh suatu pihak tertentu,
melainkan tersebar pada masing-masing jenis perjanjian. Actio Pauliana,
yang diatur dalam pasal 1341 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum
Perdata, merupakan suatu contoh yang paling sering dikemukakan
sehubungan dengan ketentuan tersebut, yang memberikan hak (pada
kreditur) untuk meminta pembatalan atas setiap perbuatan atau perjanjian
yang dilakukan debitur yang tidak diwajibkan, yang sebagai akibat dari

Universitas Sumatera Utara

pelaksanaan pembuatan atau perjanjian tersebut. Actio Pauliana ini
sering kali juga dijadikan contoh dari “pengecualian” berlakunya asas
personalia dalam hukum Perjanjian, sebagaimana telah kita uraikan
dalam pembahasan di atas. Dikatakan sebagai pengecualian, oleh karena
pada dasarnya Actio Pauliana ini memberikan hak dan kewenangan pada
pihak ketiga di luar perjanjian untuk meminta pembatalan atas perjanjian
yang dilakukan kedua belah pihak dalam perjanjian, yang berarti suatu
“campur tangan” terhadap kebebasan berkontrak dari para pihak dalam
perjanjian. Actio Pauliana ini hanya dapat dilaksanakan oleh pihak
ketiga, jika memang ternyata bahwa perjanjian dan atau perbuatan
hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian atau perbuatan
hukum tersebut ternyata telah merugikan kepentingannya, khususnya
yang berhubungan dengan pemenuhan atau pelaksanaan kewajiban salah
satu pihak dalam perjanjian atau perbuatan hukum tersebut kepada
dirinya.
e. Perjanjian yang batal demi hukum Suatu perjanjian dikatakan batal demi
hukum, jika terjadi pelanggaran terhadap syarat objektif dari sahnya
suatu perikatan. Keharusan akan adanya objek dalam perjanjian,
dirumuskan dalam pasal 1332 sampai dengan 1334 Kitab UndangUndang Hukum Perdata; yang diikuti dengan pasal 1335 sampai dengan
pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur
mengenai rumusan causa yang halal, yaitu causa yang diperbolehkan
oleh hukum.

Universitas Sumatera Utara

f. Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak Disamping pembedaan tersebut
di atas, nulitas juga dapat dibedakan ke dalam nulitas atau kebatalan
relatif dan nulitas atau kebatalan mutlak. Suatu kebatalan disebut dengan
relatif, jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang
perorangan tertentu saja; dan disebut dengan mutlak jika kebatalan
tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa
kecuali. Disini perlu diperhatikan bahwa alasan pembatalan tidak
memiliki hubungan apapun dengan jenis kebatalan ini. Suatu perjanjian
yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atau mutlak, meskipun
tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.
g. Nulitas yang Pemberlakuanya Dikecualikan Disamping pemberlakuan
nulitas yang relatif dan mutlak, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
juga mengatur ketentuan mengenai pengecualian pemberlakuan nulitas,
seperti yang diatur dalam pasal 1341 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang melindungi hak-hak pihak ketiga yang telah
diperolehnya dengan itikad baik atas segala kebendaan yang menjadi
pokok perjanjian yang batal tersebut.
h. Otorisasi Perjanjian yang dibatalkan memberikan kemungkinan untuk
dikuatkan (diotorisasi) atas permintaan pihak yang terancam kebatalan.
Penguatan semacam ini tidak berarti membuat perjanjian yang tidak sah
menjadi sah, akan tetapi hanya menghilangkan kekurangan yang terdapat
dalam perjanjian tersebut. Sedangkan bagi perjanjian yang batal demi
hukum, pada azasnya tidak dikenal adanya penguatan sedemikian.

Universitas Sumatera Utara

i. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1266 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa syarat-syarat
batal dianggap selalu dimuat dalam setiap perjanjian. Selanjutnya dalam
ketentuan ayat (2)-nya menyebutkan bahwa meskipun demikian,
perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan begitu saja tanpa adanya
Keputusan Hakim yang menyatakan batalnya perjanjian tersebut.
Dengan menyimpang dari ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata, KUH
Perdata tidak melarang para pihak yang membuat perjanjian untuk membatalkan
kembali perjanjian yang telah mereka buat, namun demikian akibat hukum yang
diterbitkan oleh pembatalan yang sedemikian adalah sangat berbeda dari akibat
pembatalan perjanjian oleh Hakim seperti tersebut di atas. Pada perjanjian yang
dibatalkan kembali oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan atau
menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah terbit sehubungan dengan
perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut. Yang ditiadakan hanya akibatakibat yang dapat terjadi masa yang akan datang di antara para pihak. Sedangkan
bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim, pembatalan mengembalikan
kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada keadaannya semula, seolah-olah
perjanjian tersebut tidak tetap dipertahankan oleh Undang-Undang untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu. 41

41

Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta, Pusat Penerbitan UT, 2003), hal. 21.

Universitas Sumatera Utara