Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

(1)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1.Definisi Sindroma Koroner Akut (SKA)

Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC, 2005). Walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby, 1995). Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan jika troponin negatif disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. (Hamm dkk,2004; PERKI,2012)


(2)

2.2.Angina Pektoris tidak Stabil

Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat di rumah sakit karena angina pektoris tak stabil, dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tak stabil, dimana setiap 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tidak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan. Yang dimaksudkan dengan angina pektoris tidak stabil yaitu:

a. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari tiga kali sehari.

b. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan.

c. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.

Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina :

a. Kelas 1, angina yang berat untuk pertama kali atau makin bertambah berat nyeri dada.

b. Kelas II, angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak adaserangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.

c. Kelas III, adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.


(3)

Klasifikasi berdasarkan keadaan klinis :

a. Kelas A, angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain, atau febris.

b. Kelas B, angina yang tak stabil primer, tak ada faktor ekstra yang kardiak. c. Kelas C, angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

Menurut pedoman American of Cardiology (ACC) dan American heart association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST(NSTEMI=non stemi elevatioan myiocardialinfraction) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat merusakkan miokardium, sehingga adanya pertanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim bisaanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa dibedakan dengan NSTEMI.

2.2.1. Patogenesis APTS

2.2.1.1. Pembentukan Ruptur Plak

Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan minimal. Dua pertiga dari pembuluh darah yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%.


(4)

Plak aterosklorotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang bedekatan dengan intima yang normal atau pada bahu timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada plak yang paling lemah karena adanya enzim protase yang dihasilkan mikrofag dan secara enziminatik melemahkan dinding plak.

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesidan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST. Sedangkan bila thrombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

2.2.1.2. Trombosis dan Agregasi Trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam thrombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinterkasi dengan faktor VII a untuk memulai kaskade reaksi enziminatik yang menghasilkan pembentukkan thrombin dan fibrin.

Sebagai reakasi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih


(5)

luas,vasokonstriksi dan pembentukan trimbus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostae dan koalgulasi dan berperan dalam memulai thrombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.

2.2.1.3. Vasospasme

Terjadinya Fasokonstriksi juga mempunyai peran penting dalam angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus dalam pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang tekoalisir seperti pada angina printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan thrombus.

2.2.1.4. Erosi pada Plak tanpa Ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya profilerasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel, adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.

2.2.2. Gambaran Klinis APTS

Keluhan pasien bisaanya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang betambah dari bias nyeri dada seperti pada angina bisa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkain timbul pada waktu istirahat atau timbul karena aktivitas yang minimal nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang sampai disertai dengan keringat dingin pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.


(6)

2.3. Pemeriksaan Penunjang 2.3.1. Elektrokardiografi

Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil adanya Deprsi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut Gelombang T negatif juga saah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,55 mm dan gelombang T negatif kurang dari 0,2 mm, tidak efektif untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal.

2.3.2. Uji Latih

Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasinya negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam , dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi (PCI atau CBAG) karena risiko terjadinya komplikasi radiovaskular dalam waktu mendatang cukup besar.

2.3.3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan troponim T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai pertanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European society of cardiology dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponim T atau Ipositif dalam


(7)

24 jam. Troponim tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikkan troponim.

CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi berguna untutk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam. Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperti amioid A, interleukin -6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA.

2.4. Infark Miocard Akut

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30 % dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.

2.4.1. Definisi

Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005). IMA terjadi ketika iskemia miokard, yang biasanya timbul sebagai akibat penyakit aterosklerotik arteri koroner, cukup menghasilkan nekrosis ireversibel otot jantung. (Gray. H. H, 202)


(8)

2.4.2. Gambaran Klinis

Pasien akan mengeluh adanya nyeri dada seperti diremuk yang lama ( 30 - 45 menit) dan serupa dengan nyeri angina tetapi tidak mereda dengan pemberian pemberian nitrogliserin; disamping itu, pasien infark miokard akan mengeluh adanya rasa mual/nausea, vomitus, berkeringat dingin, sesak nafas dan rasa lemah. Ada dua corak kelainan miokardium ; nontransmural dan transmural.

Infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI); non-ST elevation myocardial infarct), juga dikenal sebagai infark miokard non Q wave. Keadaan ini merupakan infark miokard yang terbatas pada separuh atau sepertiga bagian dalam dinding ventrikel kiri. Atreosklerosis arteri koronaria mengakibatkan penurunan aliran darah koroner dan gangguan perfusi darah pada dinding ventrikel tersebut. Depresi segmen ST terlihat pada hasil EKG.

Infark miokard dengan elevasi ST (STEMI; ST elevation myocardial infarct): Bentuk infark ini terjadi setelah ruptur plak aterosklerosis dan trombosis yang menyebabkan oklusi total pembuluh darah (tidak ada aliran darah). Terlihat nekrosis diseluruh dinding miokardium. EKG ditandai oleh gelombang Q dan elevasi segmen ST. TAO. L, Kendall K, 2013)

2.4.3. Etiologi

Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:

a. Infark Miokard Tipe 1


(9)

plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.

b. Infark Miokard Tipe 2

Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.

c. Infark Miokard Tipe 3

Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.

d. Infark Miokard Tipe 4a

Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.

e. Infark Miokard Tipe 4b

Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis. f. Infark Miokard Tipe 5

Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

2.4.4. Patofisiologi

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis


(10)

ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama- kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006).

Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).

Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Selwyn, 2005).

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi


(11)

total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005).

Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard (Selwyn, 2005).

Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Antman, 2005).

Oklusi koroner inkomplet atau temporer, atau adanya arteri koroner kolateral yang dapat mempertahankan suplai darah keregio yang terkena, dapat menyebabkan iskemia miokard dan nekrosis dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan pelepasan tanda nekrosis. Pasien yang ditemukan memiliki kadar


(12)

penanda ini, namun tidak memiliki elevasi segmen ST, diperkirakan mengalami NSTEMI. (I Philip Aaronson, 2008)

Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005).

2.4.5. Diagnosis

Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu :

a. Adanya Nyeri Dada

Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.

b. Perubahan Elektrokardiografi (EKG)

Pemriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera setelah 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan ini merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasisegmen ST dapat mengindentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap sistomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG


(13)

serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontiniu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI (Cannon, 2005). Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, bisanya tidak ditemukan elevasi ST. Pasien tersebut bisaanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI. Pada sebagaian pasien dengan elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran potologis EKG dengan lokasi infark


(14)

(mural/transmural) sehingga terminologo IMA gelombang Q dan non Q mengantikan IMA mural/transmural

c. Petanda (BIOMARKER) Kerusakan Jantung

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiacspecific troponin (cTn) atau cTn 1 dan dilakukan secara serial cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pemeriksaan enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard). CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Opersi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningktakan CKMB cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Emnzim ini menungkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai punsak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari,sedangkan cTn 1 setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :

a. Myoglobin : dapat dideteksi setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.

b. Creatinine kinase(CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila da infark miokard dan mencapaipuncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.


(15)

c. Lactis dehydrogenase (LDH); meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari. Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999). Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).

2.4.6. Infark Miocard Akut Non ST Elevasi

NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunya inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan


(16)

sitokin proinflamsi seperti TNF dan IL -6 selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran CRP di hati.

2.4.7. Evaluasi Klinis

Nyeri dada dengan lokasi substermal atau kadang kala di episgastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat/tak terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

a. EKG

Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menetukan risiko pada pasien. Pada trombolisis in myocardial (TIMI) registry. Adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan predikator outcome yang buruk (kaut et al) menunjukkan peningkata risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmnen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponim T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan STEMI.


(17)

b. Biomarker Kerusakan Miokard

Troponim T atau troponim I merupakan pertanda neokrosis yang lebih disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponim pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.

2.5. Epidemiologi SKA

Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama di dunia (WHO, 2008). Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. Penyakit ini adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa di mana-mana (Garas, 2010). Infark miokard akut adalah penyebab kematian nomor dua pada negara berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas 2.470.000 (9,4%) (WHO, 2008). Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab kematian pertama, dengan angka mortalitas 220.000 (14%) (WHO, 2008). Direktorat Jendral Yanmedik Indonesia meneliti, bahwa pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah panyakit jantung iskemik, yaitu sekitar 110,183 kasus. Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%) (Depkes, 2009).


(18)

2.6. Faktor Risiko SKA

Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable factors) dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors), Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu; merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, hipertensi, DM, dan obesitas, sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Bender et al, 2011).

2.6.1. Faktor Keturunan

Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam pathogenesis penyakit jantung koroner (PJK) serta pertimbangannya penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahannya. Banyak jenis penelitian epidemiologi telah memperlihatkan bahwa PJK mempunyai etiologi multifactor dan mungkin kelainan heterogen akibat berbagai deraan lingkungan yang berinteraksi dengan subtrat genetika kompleks. Walaupun tidak ada mekanisme genetika spesifik yang ditemukan bagi kebanyakan kejadian PJK, namun analisis pola famili PJK dan factor risikonya sering dapat menjadikan petunjuk bagi diagnosis dini, motivasi untuk ketaatan kepada terapi dan penemuan individu asimtomatik yang mungkin beresiko tinggi.

Perbandingan frekuensi kejadian PJK pada keluarga tingkat pertama kasus PJK dan diantara keluarga control telah dilakukan banyak peneliti. Penelitian prospektif yang dilakukan oleh lew 1957, sholtz dkk, 1975, Gillum dan paffenberger 1978, menghasilkan bahwa umumnya angka PJK cenderung tertinggi pada subjek


(19)

yang orang tuanya meninggal karena PJK yang relatif dini dan PJK cenderung terjadi relative dini pada subjek yang orangtuanya telah menderita PJK dini. Bila orang tua menderita PJK pada usia muda maka anaknya mempunyai risiko lebih tinggi bagi berkembangnya PJK dari pada subjek yang tidak mempunyai riwayat keluarga PJK. (Kaplan. MN., 1994)

Studi statistik menunjukkan bahwa ras/etnis memiliki peran penting terhadap kejadian PJK. Pada orang Afrika, Meksiko, India, Hawaii asli dan beberapa orang Asia memiliki risiko lebih tinggi untuk PJK dari pada pada orang Kaukasia (Inggris) dan Jepang (Asia Timur). Hal ini terjadi karena orang kulit hitam (terutama Afrika) memiliki faktor risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi, DM dan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling serius bagi PJK. (Micheal CA, 1995)

2.6.2. Merokok

Merokok adalah suatu faktor risiko penting dalam penyakit kardiovaskuler menurut suatu penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1965 dan penelitian ini di dukung oleh penemuan Framigham. (Hanns P.Wolf,2007)

Dari tahun ke tahun prevalensi kebiasaan merokok pada masyarakat Indonesia semakin meningkat, hal ini tampak pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1980 adalah 46,4% pada pria dan 2,4% pada wanita; angka tersebut menjadi 52,9% dan 3,6% pada SKRT 1986. Hasil SKRT pada tahun 1995 menunjukan bahwa


(20)

prevalensi perokok laki-laki 68,8% dan pada wanita 2,6%. (Jurnal Kedokteran YARSI 14 )

Data Riset Riskesdas tahu 2007 juga memperlihatkan tingginya prevalensi penduduk yang merokok. Jumlah perokok aktif umur > 15 tahun adalah 35,4% (65,3% laki-laki dan 5,6% perempuan), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan. Merokok dapat merubah metabolisme khususnya dengan meningkatnya kadar kolersterol darah, di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya penyakit jantung koroner (Arief, 2011).

Peran rokok dalam pathogenesis SKA merupakan hal yang kompleks, diantaranya adalah :

a. Timbulnya atreosklerosis

b. Peningkatan trombogenesis dan vasokontriksi (termasuk spasme arteri koroner) c. Peningkatan tekanan darah (TD) dan denyut jantung.

d. Provokasi aritmia jantung

e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard (Gray H. H ,dkk, 2002)

Jumlah rokok yang dihisap adalah banyaknya rokok yang dihisap penderita perhari dapat dikelompokan menjadi:


(21)

a. Perokok Ringan

Perokok ringan bila merokok kurang dari 10 batang sehari. b. Perokok Sedang

Perokok sedang bila menghisap rokok 10 – 20 batang sehari. c. Perokok Berat

Perokok berat jika menghisap rokok lebih 20 batang sehari. (M.N.Bustan,1997:124).

2.6.3. Aktivitas Fisik

Latihan olahraga merupakan suatu aktivitas aerobik, yang bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan daya tahan jantung, paru, peredaran darah, otot-otot, dan sendi-sendi. Suatu latihan olahraga yang dilakukan secara teratur akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tubuh kita. Latihan fisik dengan pembebanan tertentu akan mengubah faal tubuh yang selanjutnya akan mengubah tingkat kesegaran jasmani. Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko PJK meskipun hanya 11% laki-laki dan 4% perempuan. (Gray, H.H,dkk, 2002)

Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Namun hampir separuh penduduk (47,6%) kurang melakukan aktivitas fisik (Riskesdas, 2007).


(22)

Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur sangat penting selain untuk menghindari kegemukan, juga dapat menolong juga dapat mencegah terjadinya penyakit akibat pola hidup seperti diabetes, serangan jantung dan stroke (Johnson, 1998).

WHO merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama 30 menit perhari dalam satu minggu atau 20 menit perhari selama 5 hari dalam satu minggu dengan intensitas berat tuntuk mendapatkan hasil yang optimal dari aktivitas fisik atau olahraga.

Hasil data Rikesdas tahun 2007 menyebutkan bahwa 48,2 % penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik (< 5 hari dan < 150 menit perhari). Kurang aktivitas fisik tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun keatas (76,0%) dan umur 10-14 tahun (66,9%), dilihat adari jenis kelamin, kurang aktivitas lebih tinggi pada perempuan (54,5%) disbanding laki-laki (41,4%) (Balibangkes, 2008). Sebelumnya menurut SKRT tahun 2004 mendapatkan aktivitas tidak cukup gerak pada penduduk usia 15 tahun 68,7% dengan aktivitas tidak cukup gerak tinggi di semua propinsi.

Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006), Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan yaitu: terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain, berat badan terkendali, otot lebih lentur dan tulang lebih kuat, bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional, lebih percaya diri, Lebih bertenaga dan bugar.


(23)

2.6.4. Kadar Kolesterol dalam Darah

Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi PJK, Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung maka akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan mengalami aterosklerosis (Fuster et al, 2010).

Pada awalnya di negara-negara Barat, PJK berhubungan dengan kolesterol yang tinggi, sedangkan di negara-negara Asia, kolesterol total (TC) umumnya lebih rendah dan kejadian PJK juga rendah. Namun dengan adanya industrialisasi dan urbanisasi tumbuh di Asia, maka kadar kolesterol total pada negara-negara Asia mengalami peningkatan selama 50 tahun terakhir. Studi Hisayama di Jepang melaporkan bahwa prevalensi hiperkolesterolemia total kolesterol (TC) 5,7 mmol/L) meningkat dari 2,8% menjadi 25,8% pada pria dan dari 6,6% menjadi 41,6% pada wanita selama tahun 1961-2002. Peningkatan kolesterol di negara-negara Asia dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam asupan makanan yang berlemak. Banyak penelitian epidemiologi di Asia telah memberikan informasi tentang hubungan kolesterol dengan risiko PJPD. Studi kohort yang dilakukan oleh Korean National Health selama 11 tahunyang terdiri dari 787.442 pria dan wanita Korea berusia 30-64 tahun, untuk hubungan antara kolesterol dengan peningkatan kejadian stroke iskemik, MI, stroke hemoragik.


(24)

2.6.5. Kadar Trigliserida dalam Darah

Peningkatan kadar trigliserida merupakan salah satu factor risiko penyakit kardiovaskular yang umum dijumpai, walaupun dengan kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL) yang sesuai target, pasien hipertrigliseridemia tetap berada pada risiko tinggi penyakit kardiovaskular.

Di Amerika Serikat, prevalensi hipertrigliseridemia diantara factor risiko penyakit kardiovaskular pada dewasa adalah 31%. Pada mereka dengan sindrom metabolic, prevalensi peningkatan kadar trigliserida > 150 mg/dl adalah sebesar dua kali lipat disbanding individu normal. Studi di Copenhagen terhadap populasi umum menunjukkan bahwa sekitar 45% pria dan 30% wanita yang terlibat dalam studi memiliki peningkatan kadar trigliserida > 150 mg/dl, pasien infark miokard memiliki peningkatan kadar trigliserida 12% lebih tinggi. (Ika Prasetia, 2013)

Penelitian epidemiologi menunjukkan trigliserida diduga berperan sebagai factor risiko penyakit kardiovaskular. Data dari penelitian Framingham, menunjukkan kadar trigliserida plasma yang tinggi merupakan factor risiko PJK. Temuan terbaru melaporkan bahwa trigliserida non puasa dapat memprediksikan risiko PJK sebaik hipertrigliseridemia puasa. Namun demikian peran trigliserida sebagai factor penyakit jantung koroner masih kontroversial. (Gray. H.H, 2002)

2.6.6. Obesitas

Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >25


(25)

30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2

Berdasarkan data dari WHO (2008), prevalensi obesitas pada usia dewasa di Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada laki-laki mencapai 2,5% dan pada perempuan 6,9%. Survey sebelumnya pada tahun 2000, persentase penduduk Indonesia yang obesitas hanya 4,7% ( ± 9,8 juta jiwa).Ternyata hanya dalam 8 tahun, prevalensi obesitas di Indonesia telah meningkat dua kali lipat, Sehingga kita perlu mewaspadai peningkatan yang lebih pesat dikarenakan gaya hidup sekarang yang semakin sedentary (santai dan bermalas-malasan) sebagai akibat dari kemudahan teknologi.

. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).

Data dari Framingham (2008), menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25% dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5%. Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia (Malau, 2011).

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks masa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan berlebih pada orang dewasa. IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT


(26)

atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m

2

Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO

) (Aru W. Sudoyo, 2006).

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Berat Badan Kurang Kisaran Normal

Berat Badan Lebih > 25

Pra Obes 25,0 – 29,9

Obes tingkat I 30,0 – 34,9

Obes tingkat II 35,0 – 39,9

Obes tingkat III > 40

Sumber : WHO Tehnical Series, 2000 2.6.7. Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberikan gejala yang akan berlanjut untuk suatu organ seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung) dan left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung), hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa kematian yang tinggi (M.N Bustan,1997)

Klasifikasi Hipertensi menurut The sixth report of the joint National Committee On the prevention, Detection, evaluation and Treatment of high blood pressure (1997) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih atau sedang dalam pengobatan antihipertensi.


(27)

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk yang Berumur 18 Tahun atau Lebih

KATEGORI SISTOLIK (mmHg) DIASTOLIK (mmHg)

Normal < 120 < 80

Optimal < 130 < 85

Normal-Tinggi 130 – 139 85 – 89

Hipertensi

Derajat 1 140 - 159 90 – 99

Derajat 2 160 - 179 100 - 109

Derajat 3 ≥ 180 ≥ 190

Peninggian tekanan sistolik tanpa diikuti oleh peninggian tekanan diastolik disebut hipertensi sistolik atau hipertensi terisolasi (isolated systolic hypertension). Hipertensi terisolasi umumnya dijumpai pada usia lanjut. Jika keadaan ini dijumpai pada masa adolesen atau dewasa muda lebih banyak dihubungkan dengan sirkulasi hiperkinetik.

Dikatakan hipertensi jika pengukuran dilakukan dua kali atau lebih kunjungan yang berbeda waktu didapatkan tekanan darah rata-rata dari dua atau lebih kunjungan setiap kunjungan, diastolik 90 mmHg atau lebih atau sistolik 140 mmHg atau lebih. Pengukuran yang pertama kali belum dapat memastikan adanya hipertensi akan tetapi dapat merupakan petunjuk untuk dilakukan observasi lebih lanjut (Slamet Suyono, 2001).

2.6.8. Diabetes Meilitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, DM adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan


(28)

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin atau kedua-duanya. Lebih dari 90 persen dari semua populasi diabetes adalah diabetes mellitus tipe 2 yang ditandai dengan penurunan sekresi insulin karena berkurangnya fungsi sel beta pankreas secara progresif yang disebabkan oleh retensi insulin. ( PERKENI, 2011).

Secara umum, penyakit jantung koroner terjadi pada usia lebih muda pada penderita diabetes dibandingkan pada penderita nondiabetik. Pada diabetes tergantung insulin (IDDM), penyakit koroner dini dapat dideteksi pada studi populasi sejak decade keempat dan pada usia 55 tahun hingga sepertiga pasien meninggal karena komplikasi PJK. (Gray. H.H, 2002)

Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah (Malau, 2011). Penelitian Anwar (2004) menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50% lebih tinggi dari pada orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian Waspadji (2003) menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan kejadian PJK (Arif, 2011).

Penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada pasien DM tipe 2 adalah penyakit jantung koroner (PJK). Menurut American Heart Association pada mei 2012, paling kurang 65% penderita DM meninggal akibat penyakit jantung atau Stroke. Selain itu, orang dewasa yang menderita DM beresiko dua sampai empat kali lebih besar terkena penyakit jantung dari pada orang yang tidak menderita DM. (AHA, 2013).


(29)

Berdasarkan konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia tahun 2011, ditetapkan kriteria diagnosis DM dan pradiabetes sebagai berikut.

Tabel 2.3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)

Pemeriksaan Bukan DM Pra

DM

DM Kadar glukosa darah sewaktu:

- Plasma vena - Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa:

- Plasma vena - Darah kapiler

< 100 < 90 < 100 < 90

100 – 125 90 – 125 100 – 125 90 – 199

≥ 200 ≥ 200 ≥ 126 ≥ 100

Sumber : PERKENI (2011)

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa puasa terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan apabila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL.

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL (PERKENI, 2011).


(30)

2.7. Landasan Teori

Menurut The Web of Causation Model, terjadinya suatu penyakit tidak tergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab akibat. Pada penelitian ini terjadinya S K A di sebabkan oleh paparan faktor risiko yang tidak dapat di ubah (jenis kelamin dan bertambahnya umur) maupun faktor risiko yang dapat di ubah meliputi: kelebihan berat badan (IMT), kadar gula darah, tekanan darah, kadar trigliserida, kadar kolesterol, kadar HDL, kadar LDL, obesitas dan kebiasaan merokok. Seperti tertera pada skema berikut ini.


(31)

Gambar 2.2. Landasan Teori Penelitian

Tunstall dkk (1994) : Definisi WHO dalam Menegakkan

Diagnosis SKA adalah Dijumpai 2 dari 3

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

IMA non STE IMA STE

Faktor Risiko SKA : Faktor Risiko yang tidak Dapat Diubah ; Jenis Kelamin, Ras dan Riwayat Keluarga Faktor Risiko yang Dapat Diubah ;

Abnormalitas Kadar Serum Lipid, Hipertensi, Merokok, Kadar Gula Darah, Obesitas, Faktor Psikososial, Konsumsi Buah-buahan, Diet Alkohol dan Aktivitas Fisik

Faktor Risiko SKA

NYERI DADA

TIPIKAL EKG JANTUNG ENZIM

SINDROMA KORONER AKUT


(32)

2.8. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas, maka peneliti akan memfokuskan untuk mengkaji variabel faktor risiko Sindroma Koroner Akut pada usia dibawah 45 tahun terhadap kejadian Infark Miocard Akut, hal ini dapat di lihat pada gambar kerangka konsep di bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Kejadian Sindroma Koroner Akut pada Usia

≤ 45 Tahun Faktor Risiko SKA :

Faktor Risiko yang dapat Diubah : - Kebiasaan Merokok

- Hipertensi - Obesitas

- Kadar Gula Darah (Diabetes Melitus) - Kadar Kolesterol Darah - Kadar LDL Darah - Kadar HDL Darah - Kadar Trigliserida Darah


(1)

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk yang Berumur 18 Tahun atau Lebih

KATEGORI SISTOLIK (mmHg) DIASTOLIK (mmHg)

Normal < 120 < 80

Optimal < 130 < 85

Normal-Tinggi 130 – 139 85 – 89

Hipertensi

Derajat 1 140 - 159 90 – 99

Derajat 2 160 - 179 100 - 109

Derajat 3 ≥ 180 ≥ 190

Peninggian tekanan sistolik tanpa diikuti oleh peninggian tekanan diastolik disebut hipertensi sistolik atau hipertensi terisolasi (isolated systolic hypertension). Hipertensi terisolasi umumnya dijumpai pada usia lanjut. Jika keadaan ini dijumpai pada masa adolesen atau dewasa muda lebih banyak dihubungkan dengan sirkulasi hiperkinetik.

Dikatakan hipertensi jika pengukuran dilakukan dua kali atau lebih kunjungan yang berbeda waktu didapatkan tekanan darah rata-rata dari dua atau lebih kunjungan setiap kunjungan, diastolik 90 mmHg atau lebih atau sistolik 140 mmHg atau lebih. Pengukuran yang pertama kali belum dapat memastikan adanya hipertensi akan tetapi dapat merupakan petunjuk untuk dilakukan observasi lebih lanjut (Slamet Suyono, 2001).

2.6.8. Diabetes Meilitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, DM adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan


(2)

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin atau kedua-duanya. Lebih dari 90 persen dari semua populasi diabetes adalah diabetes mellitus tipe 2 yang ditandai dengan penurunan sekresi insulin karena berkurangnya fungsi sel beta pankreas secara progresif yang disebabkan oleh retensi insulin. ( PERKENI, 2011).

Secara umum, penyakit jantung koroner terjadi pada usia lebih muda pada penderita diabetes dibandingkan pada penderita nondiabetik. Pada diabetes tergantung insulin (IDDM), penyakit koroner dini dapat dideteksi pada studi populasi sejak decade keempat dan pada usia 55 tahun hingga sepertiga pasien meninggal karena komplikasi PJK. (Gray. H.H, 2002)

Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah (Malau, 2011). Penelitian Anwar (2004) menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50% lebih tinggi dari pada orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian Waspadji (2003) menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan kejadian PJK (Arif, 2011).

Penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada pasien DM tipe 2 adalah penyakit jantung koroner (PJK). Menurut American Heart Association pada mei 2012, paling kurang 65% penderita DM meninggal akibat penyakit jantung atau Stroke. Selain itu, orang dewasa yang menderita DM beresiko dua sampai empat kali


(3)

Berdasarkan konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia tahun 2011, ditetapkan kriteria diagnosis DM dan pradiabetes sebagai berikut.

Tabel 2.3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)

Pemeriksaan Bukan DM Pra

DM

DM Kadar glukosa darah sewaktu:

- Plasma vena - Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa:

- Plasma vena - Darah kapiler

< 100 < 90 < 100 < 90

100 – 125 90 – 125 100 – 125 90 – 199

≥ 200 ≥ 200 ≥ 126 ≥ 100

Sumber : PERKENI (2011)

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa puasa terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan apabila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL.

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL (PERKENI, 2011).


(4)

2.7. Landasan Teori

Menurut The Web of Causation Model, terjadinya suatu penyakit tidak tergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab akibat. Pada penelitian ini terjadinya S K A di sebabkan oleh paparan faktor risiko yang tidak dapat di ubah (jenis kelamin dan bertambahnya umur) maupun faktor risiko yang dapat di ubah meliputi: kelebihan berat badan (IMT), kadar gula darah, tekanan darah, kadar trigliserida, kadar kolesterol, kadar HDL, kadar LDL, obesitas dan kebiasaan merokok. Seperti tertera pada skema berikut ini.


(5)

Gambar 2.2. Landasan Teori Penelitian

Tunstall dkk (1994) : Definisi WHO dalam Menegakkan

Diagnosis SKA adalah Dijumpai 2 dari 3

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

IMA non STE IMA STE

Faktor Risiko SKA : Faktor Risiko yang tidak Dapat Diubah ; Jenis Kelamin, Ras dan Riwayat Keluarga Faktor Risiko yang Dapat Diubah ;

Abnormalitas Kadar Serum Lipid, Hipertensi, Merokok, Kadar Gula Darah, Obesitas, Faktor Psikososial, Konsumsi Buah-buahan, Diet Alkohol dan Aktivitas Fisik

Faktor Risiko SKA

NYERI DADA

TIPIKAL EKG JANTUNG ENZIM

SINDROMA KORONER AKUT


(6)

2.8. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas, maka peneliti akan memfokuskan untuk mengkaji variabel faktor risiko Sindroma Koroner Akut pada usia dibawah 45 tahun terhadap kejadian Infark Miocard Akut, hal ini dapat di lihat pada gambar kerangka konsep di bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Kejadian Sindroma Koroner Akut pada Usia

≤ 45 Tahun Faktor Risiko SKA :

Faktor Risiko yang dapat Diubah : - Kebiasaan Merokok

- Hipertensi - Obesitas

- Kadar Gula Darah (Diabetes Melitus) - Kadar Kolesterol Darah - Kadar LDL Darah - Kadar HDL Darah - Kadar Trigliserida Darah


Dokumen yang terkait

Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia &lt; 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

4 47 137

Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

0 0 19

Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

0 0 2

Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

0 0 8

Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

0 0 5

Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

0 0 33

Faktor Risiko Terjadinya Pre-Eklamsi pada Ibu Hamil yang Dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014

0 0 16

Faktor Risiko Terjadinya Pre-Eklamsi pada Ibu Hamil yang Dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014

0 0 2

Faktor Risiko Terjadinya Pre-Eklamsi pada Ibu Hamil yang Dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014

0 0 7

Faktor Risiko Terjadinya Pre-Eklamsi pada Ibu Hamil yang Dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014

0 0 22