Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia < 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

(1)

FAKTOR RISIKO TERJADINYA SINDROMA KORONER AKUT PADA PENDERITA USIA < 45 TAHUN YANG BEROBAT DI RUMAH SAKIT

UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

TESIS

Oleh SURYATI 127032204/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

RISK FACTORS FOR ACUTE CORONARY SYNDROME IN PATIENTS AGED ≤ 45 YEARS WERE TREATED IN GENERAL HOSPITAL

dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

THESIS

By : SURYATI 127032204/IKM

MAGISTRATE IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULITY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

FAKTOR RISIKO TERJADINYA SINDROMA KORONER AKUT PADA PENDERITA USIA < 45 TAHUN YANG BEROBAT DI RUMAH SAKIT

UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh SURYATI 127032204/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : FAKTOR RISIKO TERJADINYA SINDROMA KORONER AKUT PADA PENDERITA USIA < 45 TAHUN YANG BEROBAT DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

Nama Mahasiswa : Suryati Nomor Induk Mahasiswa : 127032204

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H) (Drs. Jemadi, M.Kes

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 3 November 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. Drs. Jemadi, M.Kes

2. Dr. Rahayu Lubis, M.Kes. Ph.D 3. dr. Taufik Ashar, M.K.M


(6)

PERNYATAAN

FAKTOR RISIKO TERJADINYA SINDROMA KORONER AKUT PADA PENDERITA USIA < 45 TAHUN YANG BEROBAT DI RUMAH SAKIT

UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2014

Suryati 127032204/IKM


(7)

ABSTRAK

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Di Provinsi Aceh, prevalensi PJK adalah 12,6% melebihi prevalensi nasional yaitu 7,2%. Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah bagian dari PJK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan case control study. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien SKA yang berusia ≤ 45 tahun yang berobat ke rumah sakit umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada bulan Juni sampai dengan September 2014. Sampelnya adalah 62 kasus dan 62 kontrol. Dianalisa secara univariat, bivariat dengan chi square test, multivariat dengan metode regresi logistik ganda serta di lakukan analisis secara deskriptif di sajikan dalam bentuk narasi.

Hasil penelitian menunjukkan kebiasaan merokok (OR Adjusted : 5,11 ; 95% CI=2,03-12,86), kadar kolesterol darah (OR Adjusted : 3,42; 95% CI=1,41-8,31), obesitas (OR Adjusted : 3,01; 95 % CI= 1,28-7,06) dan diabetes meilitus (OR Adjusted : 2,82, 95 % CI=1,03-7,71) berpengaruh terhadap kejadian SKA karena nilai p < 0,05, sedangkan kadar HDL, LDL dan trigliserida darah, aktifitas fisik dan hipertensi tidak berpengaruh terhadap kejadian SKA pada pasien usia < 45 tahun yang berobat ke RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Disarankan bagi petugas kesehatan untuk melakukan upaya promotif dan preventif seperti penyuluhan dan penyediaan sarana informasi secara intensif kepada pasien yang berkunjung ke RSUD dr. Zainoel Abidin, dan bagi pasien dan masyarakat yang mempunyai risiko untuk terjadinya SKA agar merubah pola hidup sehat dan rutin melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium secara berkala, untuk mendeteksi secara dini agar tidak terkena penyakit jantung.


(8)

ABSTRACT

Coronary Artery Disease (CAD) is a main cause of death in Indonesia. In Aceh Province, prevalence of CAD 12,6% exceeded the number of national average 7,2%. Acute Coronary Syndrome (ACS) is part of Coronary Heart. The purpose of this study was to find out the risk factor of Acute Coronary Syndrome in the sufferers of ≤ 45 years old who came to dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh.

The method of this study is analytical observational with case control design The population of this study was all of the Acute Coronary Syndrome patients of ≤ 45 years old who came to dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh between June and September 2014. The samples for this study were 62 patients for case group and 62 patients for control. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Chi-square tests, and multivariate analysis using multiple logistic regression tests and then descriptively presented in a narrative form.

The result of this study showed that the level of smoking (OR Adjusted : 5,11 ; 95% CI=2,03-12,86), blood cholesterol (OR Adjusted : 3,42; 95% CI=1,41-8,31), obesity (OR Adjusted : 3,01; 95 % CI= 1,28-7,06) and diabetes mellitus (OR Adjusted : 2,82, 95 % CI=1,03-7,71), had influence on the incident of Acute Coronary Syndrome, while the levels of HDL, LDL and blood triglycerides, physical activity, and hypertension did have any influence on the incident of Acute Coronary Syndrome in the patients who came for treatment to dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh.

The health workers are suggested to do a promotive and preventive attempt such as extension and provision of information facility intensively to the patients visiting dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh. The patients and the community who are at risk of the incident of Acute CoronarySyndrome should turn into the healthy life pattern, and periodically have physical and laboratory examination to get early detection to prevent heart disease.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Faktor Risiko Terjadinya Sindroma Koroner Akut pada Penderita Usia < 45 Tahun yang Berobat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”.

Dalam proses penulisan tesis ini penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H, selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak membantu penulisan tesis ini dengan meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh kesabaran.

5. Drs. Jemadi, M.Kes, selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan dan dukungan dalam penulisan tesis ini.

6. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D, selaku penguji 1 yang telah banyak memberikan masukan, saran dan dukungan dalam penulisan tesis ini.


(10)

7. dr. Taufik Ashar, M.K.M, selaku penguji 2 yang banyak memberikan bantuan, masukan, dan informasi dalam penulisan tesis ini.

8. dr. Syahrul, Sp.S selaku Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang memberikan izin penelitian dan seluruh staf RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melaksanakan penelitian. 9. Seluruh staf dosen Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara, yang telah memberikan pembelajaran selama penulis mengikuti pendidikan.

10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan tesis ini.

11. Ayahanda tercinta Drs. H. Zainun Usman dan Mama tersayang Jamaliah serta keluarga besar, adik-adik tersayang dan semua keluarga yang selalu berdoa dan memberikan dukungan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.

12. Suami tercinta Dedi Gunawan atas pengertian, doa dan dukungan yang diberikan selama mengikuti pendidikan.


(11)

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari segi isi maupun penulisan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Desember 2014 Penulis

Suryati 127032204/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Suryati, lahir di Medan, 23 Oktober 1975 beragama Islam, penulis lahir dari orang tua Drs. H. Zainun Usman dan Jamaliah, penulis menikah dengan Dedi Gunawan.

Jenjang pendidikan formal penulis dimulai dari SD MIN Banda Aceh 1 (1988) MTsN 1 Banda Aceh (1991), MAN 1 Banda Aceh (1994), D-III Keperawatan Muhammadiyah Banda Aceh (1998), D-IV Keperawatan USU (2003), Penulis menempuh pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis pernah bekerja di AKBID Muhammadiyah sebagai Staff dan Pengajar pada tahun 1999 s/d 2005, bekerja di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh sejak tahun 2005 s/d sekarang dan juga Dosen tidak tetap AKPER Abulyatama Banda Aceh.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Hipotesis ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Definisi Sindroma Koroner Akut (SKA) ... 9

2.2. Angina Pektoris tidak Stabil ... 10

2.2.1. Patogenesis APTS ... 11

2.2.2. Gambaran Klinis APTS ... 13

2.3. Pemeriksaan Penunjang ... 14

2.3.1. Elektrokardiografi ... 14

2.3.2. Uji Latih ... 14

2.3.3. Pemeriksaan Laboratorium ... 14

2.4. Infark Miocard Akut ... 15

2.4.1. Definisi ... 15

2.4.2. Gambaran Klinis ... 16

2.4.3. Etiologi ... 16

2.4.4. Patofisiologi ... 17

2.4.5. Diagnosis ... 20

2.4.6. Infark Miocard Akut Non ST Elevasi ... 23

2.4.7. Evaluasi Klinis ... 24

2.5. Epidemiologi SKA ... 25

2.6. Faktor Risiko SKA ... 26

2.6.1. Faktor Keturunan ... 26

2.6.2. Merokok ... 27

2.6.3. Aktivitas Fisik ... 29


(14)

2.6.5. Kadar Trigliserida dalam Darah ... 32

2.6.6. Obesitas ... 32

2.6.7. Hipertensi ... 34

2.6.8. Diabetes Meilitus ... 35

2.7. Landasan Teori ... 38

2.8. Kerangka Konsep ... 40

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Jenis Penelitian ... 41

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.3. Populasi dan Sampel ... 42

3.4. Teknik Pengambilan Sampel... 44

3.5. Kriteria Inklusi dan Eklusi ... 45

3.6. Metode Pengumpulan Data ... 45

3.7. Variabel dan Definisi Operasional ... 46

3.7.1. Variabel ... 46

3.7.2. Definisi Operasional ... 46

3.8. Metode Pengumpulan Data ... 48

3.9. Metode Analisis Data ... 49

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 52

4.1. Gambaran Umum Provinsi Aceh ... 52

4.2. Gambaran Umum Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 53

4.2.1. Gambaran Umum Responden ... 54

4.3. Hasil Analisis Univariat ... 56

4.3.1. Kebiasaan Merokok, Hipertensi, Tekanan Darah, Kadar Gula Darah, Kadar Trigliserida, Kadar Kolektrol, Kadar HDL, Kadar LDL dan Aktivitas Fisik ... 56

4.4. Analisis Bivariat ... 58

4.4.1. Pengaruh Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh .... 58

4.4.2. Pengaruh Tekanan Darah dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh .... 60

4.4.3. Pengaruh Obesitas dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 61

4.4.4. Pengaruh Kadar Gula (Diabetes Meilitus) dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 61

4.4.5. Pengaruh Kadar Kolestrol dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh .... 62

4.4.6. Pengaruh Kadar Trigliserida dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh .... 62


(15)

4.4.7. Pengaruh Kadar HDL dengan Kejadian Sindroma Koroner

Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 63

4.4.8. Pengaruh Kadar LDL dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 63

4.4.9. Pengaruh Aktifitas Fisik dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh .... 64

4.5. Analisis Faktor Risiko yang Paling Berpengaruh terhadap Kejadian Sindroma Koroner Akut pada Usia < 45 Tahun di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 64

BAB 5. PEMBAHASAN ... 68

5.1. Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian SKA di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 68

5.2. Pengaruh Kadar Kolestrol terhadap Kejadian SKA di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 70

5.3. Pengaruh Diabetes Meilitus terhadap Kejadian SKA di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 71

5.4. Pengaruh Obesitas terhadap Kejadian SKA di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 72

5.5. Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Kejadian SKA di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 73

5.6. Pengaruh Tekanan Darah pada Kejadian SKA di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 74

5.7. Pengaruh Kadar LDL, HDL dan Trigliserida pada Kejadian SKA di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 75

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

6.1. Kesimpulan ... 77

6.2. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa

Berdasarkan IMT Menurut WHO ... 34

2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk yang Berumur 18 Tahun atau Lebih ... 35

2.3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL) ... 37

3.1. Nilai Odds Rasio Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor Risiko PJK ... 43

3.2. Definisi Operasional ... 46

4.1. Karakteristik Responden ... 55

4.2. Distribusi Frekuensi Menurut Kebiasaan Merokok, Hipertensi, Tekanan Darah, Kadar Gula Darah, Kadar Trigliserida, Kadar Kolestrol, Kadar HDL, Kadar LDL dan Aktivitas Fisik ... 56

4.3. Pengaruh Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 58

4.4. Pengaruh Kebiasaan Merokok Berat dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 59

4.5. Pengaruh Kebiasaan Merokok Sedang dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 59

4.6. Pengaruh Kebiasaan Merokok Ringan dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 60

4.7. Hubungan Tekanan Darah dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 60

4.8. Pengaruh Obesitas dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 61

4.9. Pengaruh Gula Darah dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 61


(17)

4.10. Pengaruh Kadar Kolestrol dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 62 4.11. Pengaruh Trigliserida dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di

RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 62 4.12. Pengaruh Kadar HDL dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di

RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 63 4.13. Pengaruh Kadar LDL dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di

RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 63 4.14. Pengaruh Aktivitas Fisik dengan Kejadian Sindroma Koroner Akut di

RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh ... 64 4.15. Hasil Analisis Multiple Logistic Regression dengan Memasukkan


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Spektrum dan Definisi SKA (PERKI, 2012) ... 9

2.2. Landasan Teori Penelitian ... 39

2.3. Kerangka Konsep Penelitian ... 40


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Permohonan Menjadi Responden ... 84

2. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 85

3. Kuesioner ... 86

4. Hasil Uji Statistik ... 92

5. Master Tabel... 110

6. Dokumentasi Penelitian ... 114

7. Surat Izin Penelitian ... 117


(20)

ABSTRAK

Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Di Provinsi Aceh, prevalensi PJK adalah 12,6% melebihi prevalensi nasional yaitu 7,2%. Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah bagian dari PJK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan case control study. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien SKA yang berusia ≤ 45 tahun yang berobat ke rumah sakit umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada bulan Juni sampai dengan September 2014. Sampelnya adalah 62 kasus dan 62 kontrol. Dianalisa secara univariat, bivariat dengan chi square test, multivariat dengan metode regresi logistik ganda serta di lakukan analisis secara deskriptif di sajikan dalam bentuk narasi.

Hasil penelitian menunjukkan kebiasaan merokok (OR Adjusted : 5,11 ; 95% CI=2,03-12,86), kadar kolesterol darah (OR Adjusted : 3,42; 95% CI=1,41-8,31), obesitas (OR Adjusted : 3,01; 95 % CI= 1,28-7,06) dan diabetes meilitus (OR Adjusted : 2,82, 95 % CI=1,03-7,71) berpengaruh terhadap kejadian SKA karena nilai p < 0,05, sedangkan kadar HDL, LDL dan trigliserida darah, aktifitas fisik dan hipertensi tidak berpengaruh terhadap kejadian SKA pada pasien usia < 45 tahun yang berobat ke RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Disarankan bagi petugas kesehatan untuk melakukan upaya promotif dan preventif seperti penyuluhan dan penyediaan sarana informasi secara intensif kepada pasien yang berkunjung ke RSUD dr. Zainoel Abidin, dan bagi pasien dan masyarakat yang mempunyai risiko untuk terjadinya SKA agar merubah pola hidup sehat dan rutin melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium secara berkala, untuk mendeteksi secara dini agar tidak terkena penyakit jantung.


(21)

ABSTRACT

Coronary Artery Disease (CAD) is a main cause of death in Indonesia. In Aceh Province, prevalence of CAD 12,6% exceeded the number of national average 7,2%. Acute Coronary Syndrome (ACS) is part of Coronary Heart. The purpose of this study was to find out the risk factor of Acute Coronary Syndrome in the sufferers of ≤ 45 years old who came to dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh.

The method of this study is analytical observational with case control design The population of this study was all of the Acute Coronary Syndrome patients of ≤ 45 years old who came to dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh between June and September 2014. The samples for this study were 62 patients for case group and 62 patients for control. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis using Chi-square tests, and multivariate analysis using multiple logistic regression tests and then descriptively presented in a narrative form.

The result of this study showed that the level of smoking (OR Adjusted : 5,11 ; 95% CI=2,03-12,86), blood cholesterol (OR Adjusted : 3,42; 95% CI=1,41-8,31), obesity (OR Adjusted : 3,01; 95 % CI= 1,28-7,06) and diabetes mellitus (OR Adjusted : 2,82, 95 % CI=1,03-7,71), had influence on the incident of Acute Coronary Syndrome, while the levels of HDL, LDL and blood triglycerides, physical activity, and hypertension did have any influence on the incident of Acute Coronary Syndrome in the patients who came for treatment to dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh.

The health workers are suggested to do a promotive and preventive attempt such as extension and provision of information facility intensively to the patients visiting dr. Zainoel Abidin General Hospital Banda Aceh. The patients and the community who are at risk of the incident of Acute CoronarySyndrome should turn into the healthy life pattern, and periodically have physical and laboratory examination to get early detection to prevent heart disease.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyakit yang menjadi masalah besar disetiap negara didunia ini, baik karena meningkatnya angka mortalitas maupun angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah dipecahkan dan hal tersebut masih belum sesuai dengan harapan.

Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah bagian dari PJK dan merupakan sindroma klinis yang terdiri dari infark miokard akut (IMA) dengan segmen ST elevasi (IMA STE) atau IMA tanpa segmen ST elevasi (IMA non STE) serta angina pektoris tidak stabil (APTS) (Tunstall dkk,1994; Antman dkk,2008; PERKI, 2012). Sindrom ini menurut defenisi WHO terdiri atas gejala dan kelainsan pemeriksaan penunjang berupa ; nyeri dada, kelainan EKG dan kelainan enzim CK (creatine kinase), CKMB (CK-Muscle-Brain) serta peninggian nilai troponin. SKA merupakan kejadian rupture atau fisur dari plak disertai dengan terbentuknya thrombus yang terdapat dipembuluh darah koroner penderita PJK dan mengakibatkan berbagai tingkatan baik thrombosis maupun penyumbatan distal dari tempat plak tersebut.

Di USA SKA didapatkan 37,3% dari 2.440.000 semua kematian pada tahun 2003 atau 1 dari setiap 2,7 kematian yang terjadi. Hipertensi, Kebiasaan Merokok, dislipidemia, obesitas dan diabetes mellitus merupakan factor risiko yang sering terjadi pada PJK. ( Ika prasetya wijaya, at.all, 2013). Di Amerika Serikat setiap tahun


(23)

1 juta pasien dirawat dirumah sakit karena APTS dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan jantung yang tak fatal atau meninggal dalam 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Perkiraan pasti menunjukkan bahwa 1,7 juta pasien dengan SKA datang ke rumah sakit di Amerika Serikat. Dari data ini, hanya 1/4 yang masuk dengan IMA STE pada gambaran elektrokardiografi (EKG), dan 3/4 lainnya atau kira-kira 1.4 juta pasien masuk dengan APTS atau IMA non STE. IMA STE disebabkan oleh karena oklusi trombosis total secara akut pada arteri koroner dan reperfusi segera merupakan terapi utama, sedangkan IMA non STE/APTS biasanya berhubungan dengan obstruksi koroner yang berat namun tidak terjadi oklusi total pada arteri koroner yang terlibat (Libby,1995)

APTS adalah: pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekwensi cukup sering, lebih dari 3 kali perhari, pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan factor presipitasi makin sering, pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat. (Aru W. Sudoyo, dkk, 2006)

Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton, 2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral (Irmalita, 1996).


(24)

Infark miocard biasanya disebabkan oleh trombus arteri koroner. Terjadinya trombus disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miocard infark tergantung pada arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral. (Lili Ismudiati Rilantono,dkk 1999)

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering dinegara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam dua dekade terakhir, sekitar satu diantara dua puluh lima pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA. (Aru W. Sudoyo, dkk, 2006)

Dewasa ini penyakit Jantung Koroner (PJK) telah menjadi masalah global dan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2020 PJK akan menjadi penyebab kematian utama di dunia sedangkan pada tahun 1999 PJK hanya menempati penyebab kematian ke 6. Menurut laporan dari The global Burden of disease study, dan laporan WHO tahun 1999, penyakit tidak menular (non comunicable disease) termasuk penyakit kardiovaskular memberikan konstribusi sebesar 59% terhadap angka kematian global (31,7 juta kematian) dan merupakan 43 % dari seluruh masalah kesehatan global. Sekitar 85% penyakit kardiovaskular terdapat dinegara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah termasuk Indonesia. (Ika prasetya. At.all,2013)


(25)

Di Indonesia PJK merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah penyakit infeksi. Suatu study tentang profil faktor risiko penyakit kardiovaskular di Jakarta terhadap orang dewasa yang berumur diatas 25 tahun menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi yakni hiperlipedimia (12,2% pada laki-laki dan 3,9% pada wanita), obesitas/overweight dan hipertensi (32,6% dan 48,8%). (Ika prasetia,at.all, 2013)

Akhir-akhir ini kasus kematian akibat serangan jatung semakin banyak ditemukan dan penyempitan pada pembuluh darah koroner jantung memiliki peranan utama penyebab kematian mendadak akibat serangan jatung. Penyempitan pembuluh darah tidak memandang usia seseorang. Kini ada sebanyak 20% kasus serangan jantung dibawah usia 40 tahun, 40% diantara usia 40 – 45 tahun dan 40% diatas usia 50 tahun. (www. Readers Digest.co.id). Oleh sebab itu meskipun masih berusia muda penyempitan pembuluh darah dapat saja terjadi apabila seseorang memiliki risiko sehingga ia menjadi lebih rentan mengalami serangan jantung.

Angka kematian akibat penyakit kardiovaskular masih cukup tinggi. Menurut data statistik WHO tahun 2008 penyakit jantung iskemik merupakan penyebab utama kematian dunia (12,8%) disusul oleh stroke dan penyakit serebrovaskular lainnya. (WHO, 2011).

Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab kematian pertama, dengan angka mortalitas 220.000 (14%) (WHO, 2008). Direktorat Jendral Yanmedik Indonesia meneliti, bahwa pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah panyakit jantung iskemik,


(26)

yaitu sekitar 110,183 kasus. Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%) (Depkes, 2009). Data yang diperoleh hasil riset Rikesdas tahun 2007, prevalensi penyakit Jantung didaerah Aceh yaitu 12,6% melebihi Prevalensi nasional penyakit jantung yaitu 7,2%.

Berdasarkan data awal yang diperoleh dari bagian rekam medik RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh periode januari sampai Desember 2013 diketahui bahwa pasien dengan SKA yang rawat inap di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh mencapai 285 orang, penderita SKA yang berusia < 45 tahun sebanyak 33 orang dan yang berusia 45-64 tahun sebanyak 186 orang dengan rata-rata rawatan 6-9 hari. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian SKA di RSUD dr. Zainoel Abidin masih tinggi.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi faktor risiko SKA pada usia ≤ 45 tahun di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui besarnya faktor risiko yang dapat diubah (pola hidup dan status kesehatan) pada SKA.


(27)

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisa pengaruh merokok terhadap risiko SKA pada usia ≤ 45 tahun b. Menganalisa pengaruh tekanan darah terhadap risiko SKA pada usia ≤ 45

tahun

c. Menganalisa pengaruh obesitas terhadap risiko SKA pada usia ≤ 45 tahun d. Menganalisa pengaruh kadar glukosa darah terhadap risiko SKA pada usia

≤ 45 tahun

e. Menganalisa pengaruh kadar kolesterol darah terhadap risiko SKA pada usia

≤ 45 tahun.

f. Menganalisa pengaruh kadar LDL darah terhadap risiko SKA pada usia ≤ 45 tahun.

g. Menganalisa pengaruh kadar HDL darah terhadap risiko SKA pada usia ≤ 45 tahun.

h. Menganalisa pengaruh kadar trigliserida darah terhadap risiko SKA pada usia

≤ 45 tahun

i. Menganalisa pengaruh aktivitas fisik terhadap risiko SKA pada usia ≤ 45 tahun.

1.4.Hipotesis

a. Ada pengaruh merokok terhadap risiko terjadinya SKA pada penderita usia

≤ 45 tahun


(28)

usia ≤ 45 tahun

c. Ada pengaruh Obesitas terhadap risiko terjadi SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun.

d. Ada pengaruh kadar glukosa darah terhadap risiko terjadi SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun.

e. Ada pengaruh kadar kolesterol darah terhadap risiko terjadi SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun.

f. Ada pengaruh kadar HDL darah terhadap risiko terjadi SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun.

g. Ada pengaruh kadar LDL darah terhadap risiko terjadi SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun.

h. Ada pengaruh kadar trigliserida darah terhadap risiko terjadi SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun.

i. Ada pengaruh aktivitas fisik terhadap risiko SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun.

1.5.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, antara lain :

1. Bidang Pelayanan Kesehatan :

a. Sebagai masukan untuk bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan terhadap upaya-upaya pencegahan dan pengendalian SKA


(29)

salah satu penyakit tidak menular.

b. Sebagai sumber informasi kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya SKA, selanjutnya masyarakat dapat melakukan pencegahan dan pengendalian secara mandiri.

2. Ilmu Pengetahuan

a. Menambah perbendaharaan ilmu mengenai faktor-faktor risiko SKA b. Sebagai bahan kajian pustaka terutama karena pertimbangan tertentu ingin


(30)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS 2.1.Definisi Sindroma Koroner Akut (SKA)

Sindroma Koroner Akut (SKA) terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS) (Braunwald,1989; Christopher PC, 2005). Walaupun presentasi klinisnya berbeda tetapi memiliki kesamaan patofisiologi (Libby, 1995). Jika troponin T atau I positif tetapi tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan jika troponin negatif disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. (Hamm dkk,2004; PERKI,2012)


(31)

2.2.Angina Pektoris tidak Stabil

Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat di rumah sakit karena angina pektoris tak stabil, dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tak stabil, dimana setiap 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang tidak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis ditegakkan. Yang dimaksudkan dengan angina pektoris tidak stabil yaitu:

a. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari tiga kali sehari.

b. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan.

c. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.

Pada tahun 1989 Braunwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina :

a. Kelas 1, angina yang berat untuk pertama kali atau makin bertambah berat nyeri dada.

b. Kelas II, angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak adaserangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.

c. Kelas III, adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.


(32)

Klasifikasi berdasarkan keadaan klinis :

a. Kelas A, angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain, atau febris.

b. Kelas B, angina yang tak stabil primer, tak ada faktor ekstra yang kardiak. c. Kelas C, angina yang timbul setelah serangan infark jantung.

Menurut pedoman American of Cardiology (ACC) dan American heart association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST(NSTEMI=non stemi elevatioan myiocardialinfraction) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga dapat merusakkan miokardium, sehingga adanya pertanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemia, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim bisaanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bisa dibedakan dengan NSTEMI.

2.2.1. Patogenesis APTS

2.2.1.1. Pembentukan Ruptur Plak

Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan minimal. Dua pertiga dari pembuluh darah yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%.


(33)

Plak aterosklorotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang bedekatan dengan intima yang normal atau pada bahu timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada plak yang paling lemah karena adanya enzim protase yang dihasilkan mikrofag dan secara enziminatik melemahkan dinding plak.

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesidan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST. Sedangkan bila thrombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

2.2.1.2. Trombosis dan Agregasi Trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam thrombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinterkasi dengan faktor VII a untuk memulai kaskade reaksi enziminatik yang menghasilkan pembentukkan thrombin dan fibrin.

Sebagai reakasi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih


(34)

luas,vasokonstriksi dan pembentukan trimbus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostae dan koalgulasi dan berperan dalam memulai thrombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.

2.2.1.3. Vasospasme

Terjadinya Fasokonstriksi juga mempunyai peran penting dalam angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus dalam pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang tekoalisir seperti pada angina printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan thrombus.

2.2.1.4. Erosi pada Plak tanpa Ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya profilerasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel, adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.

2.2.2. Gambaran Klinis APTS

Keluhan pasien bisaanya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang betambah dari bias nyeri dada seperti pada angina bisa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkain timbul pada waktu istirahat atau timbul karena aktivitas yang minimal nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang sampai disertai dengan keringat dingin pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.


(35)

2.3. Pemeriksaan Penunjang 2.3.1. Elektrokardiografi

Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien angina tak stabil adanya Deprsi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut Gelombang T negatif juga saah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,55 mm dan gelombang T negatif kurang dari 0,2 mm, tidak efektif untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal, dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal.

2.3.2. Uji Latih

Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat treadmill. Bila hasinya negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam , dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi (PCI atau CBAG) karena risiko terjadinya komplikasi radiovaskular dalam waktu mendatang cukup besar.

2.3.3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan troponim T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai pertanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European society of cardiology dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponim T atau Ipositif dalam


(36)

24 jam. Troponim tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikkan troponim.

CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi berguna untutk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam. Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperti amioid A, interleukin -6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA.

2.4. Infark Miocard Akut

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30 % dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA.

2.4.1. Definisi

Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005). IMA terjadi ketika iskemia miokard, yang biasanya timbul sebagai akibat penyakit aterosklerotik arteri koroner, cukup menghasilkan nekrosis ireversibel otot jantung. (Gray. H. H, 202)


(37)

2.4.2. Gambaran Klinis

Pasien akan mengeluh adanya nyeri dada seperti diremuk yang lama ( 30 - 45 menit) dan serupa dengan nyeri angina tetapi tidak mereda dengan pemberian pemberian nitrogliserin; disamping itu, pasien infark miokard akan mengeluh adanya rasa mual/nausea, vomitus, berkeringat dingin, sesak nafas dan rasa lemah. Ada dua corak kelainan miokardium ; nontransmural dan transmural.

Infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI); non-ST elevation myocardial infarct), juga dikenal sebagai infark miokard non Q wave. Keadaan ini merupakan infark miokard yang terbatas pada separuh atau sepertiga bagian dalam dinding ventrikel kiri. Atreosklerosis arteri koronaria mengakibatkan penurunan aliran darah koroner dan gangguan perfusi darah pada dinding ventrikel tersebut. Depresi segmen ST terlihat pada hasil EKG.

Infark miokard dengan elevasi ST (STEMI; ST elevation myocardial infarct): Bentuk infark ini terjadi setelah ruptur plak aterosklerosis dan trombosis yang menyebabkan oklusi total pembuluh darah (tidak ada aliran darah). Terlihat nekrosis diseluruh dinding miokardium. EKG ditandai oleh gelombang Q dan elevasi segmen ST. TAO. L, Kendall K, 2013)

2.4.3. Etiologi

Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain:

a. Infark Miokard Tipe 1


(38)

plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.

b. Infark Miokard Tipe 2

Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.

c. Infark Miokard Tipe 3

Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.

d. Infark Miokard Tipe 4a

Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.

e. Infark Miokard Tipe 4b

Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis. f. Infark Miokard Tipe 5

Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

2.4.4. Patofisiologi

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis


(39)

ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama- kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Ramrakha, 2006).

Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel (Ramrakha, 2006).

Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Selwyn, 2005).

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi


(40)

total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Selwyn, 2005).

Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard (Selwyn, 2005).

Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Antman, 2005).

Oklusi koroner inkomplet atau temporer, atau adanya arteri koroner kolateral yang dapat mempertahankan suplai darah keregio yang terkena, dapat menyebabkan iskemia miokard dan nekrosis dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan pelepasan tanda nekrosis. Pasien yang ditemukan memiliki kadar


(41)

penanda ini, namun tidak memiliki elevasi segmen ST, diperkirakan mengalami NSTEMI. (I Philip Aaronson, 2008)

Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda (Selwyn, 2005).

2.4.5. Diagnosis

Menurut Irmalita (1996), diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu :

a. Adanya Nyeri Dada

Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.

b. Perubahan Elektrokardiografi (EKG)

Pemriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera setelah 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan ini merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasisegmen ST dapat mengindentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap sistomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG


(42)

serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontiniu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI (Cannon, 2005). Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, bisanya tidak ditemukan elevasi ST. Pasien tersebut bisaanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI. Pada sebagaian pasien dengan elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran potologis EKG dengan lokasi infark


(43)

(mural/transmural) sehingga terminologo IMA gelombang Q dan non Q mengantikan IMA mural/transmural

c. Petanda (BIOMARKER) Kerusakan Jantung

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiacspecific troponin (cTn) atau cTn 1 dan dilakukan secara serial cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pemeriksaan enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard). CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Opersi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningktakan CKMB cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Emnzim ini menungkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai punsak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari,sedangkan cTn 1 setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu :

a. Myoglobin : dapat dideteksi setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.

b. Creatinine kinase(CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila da infark miokard dan mencapaipuncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.


(44)

c. Lactis dehydrogenase (LDH); meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari. Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik (Patel, 1999). Oleh sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT) (Samsu, 2007). Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard (Nigam, 2007).

2.4.6. Infark Miocard Akut Non ST Elevasi

NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunya inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan


(45)

sitokin proinflamsi seperti TNF dan IL -6 selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran CRP di hati.

2.4.7. Evaluasi Klinis

Nyeri dada dengan lokasi substermal atau kadang kala di episgastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat/tak terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki nyeri pada waktu istirahat. Walaupun gejala khas tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

a. EKG

Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menetukan risiko pada pasien. Pada trombolisis in myocardial (TIMI) registry. Adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan predikator outcome yang buruk (kaut et al) menunjukkan peningkata risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmnen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponim T keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan STEMI.


(46)

b. Biomarker Kerusakan Miokard

Troponim T atau troponim I merupakan pertanda neokrosis yang lebih disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponim pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.

2.5. Epidemiologi SKA

Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama di dunia (WHO, 2008). Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. Penyakit ini adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa di mana-mana (Garas, 2010). Infark miokard akut adalah penyebab kematian nomor dua pada negara berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas 2.470.000 (9,4%) (WHO, 2008). Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab kematian pertama, dengan angka mortalitas 220.000 (14%) (WHO, 2008). Direktorat Jendral Yanmedik Indonesia meneliti, bahwa pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah panyakit jantung iskemik, yaitu sekitar 110,183 kasus. Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%) (Depkes, 2009).


(47)

2.6. Faktor Risiko SKA

Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable factors) dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors), Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu; merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, hipertensi, DM, dan obesitas, sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Bender et al, 2011).

2.6.1. Faktor Keturunan

Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam pathogenesis penyakit jantung koroner (PJK) serta pertimbangannya penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahannya. Banyak jenis penelitian epidemiologi telah memperlihatkan bahwa PJK mempunyai etiologi multifactor dan mungkin kelainan heterogen akibat berbagai deraan lingkungan yang berinteraksi dengan subtrat genetika kompleks. Walaupun tidak ada mekanisme genetika spesifik yang ditemukan bagi kebanyakan kejadian PJK, namun analisis pola famili PJK dan factor risikonya sering dapat menjadikan petunjuk bagi diagnosis dini, motivasi untuk ketaatan kepada terapi dan penemuan individu asimtomatik yang mungkin beresiko tinggi.

Perbandingan frekuensi kejadian PJK pada keluarga tingkat pertama kasus PJK dan diantara keluarga control telah dilakukan banyak peneliti. Penelitian prospektif yang dilakukan oleh lew 1957, sholtz dkk, 1975, Gillum dan paffenberger 1978, menghasilkan bahwa umumnya angka PJK cenderung tertinggi pada subjek


(48)

yang orang tuanya meninggal karena PJK yang relatif dini dan PJK cenderung terjadi relative dini pada subjek yang orangtuanya telah menderita PJK dini. Bila orang tua menderita PJK pada usia muda maka anaknya mempunyai risiko lebih tinggi bagi berkembangnya PJK dari pada subjek yang tidak mempunyai riwayat keluarga PJK. (Kaplan. MN., 1994)

Studi statistik menunjukkan bahwa ras/etnis memiliki peran penting terhadap kejadian PJK. Pada orang Afrika, Meksiko, India, Hawaii asli dan beberapa orang Asia memiliki risiko lebih tinggi untuk PJK dari pada pada orang Kaukasia (Inggris) dan Jepang (Asia Timur). Hal ini terjadi karena orang kulit hitam (terutama Afrika) memiliki faktor risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi, DM dan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling serius bagi PJK. (Micheal CA, 1995)

2.6.2. Merokok

Merokok adalah suatu faktor risiko penting dalam penyakit kardiovaskuler menurut suatu penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1965 dan penelitian ini di dukung oleh penemuan Framigham. (Hanns P.Wolf,2007)

Dari tahun ke tahun prevalensi kebiasaan merokok pada masyarakat Indonesia semakin meningkat, hal ini tampak pada hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1980 adalah 46,4% pada pria dan 2,4% pada wanita; angka tersebut menjadi 52,9% dan 3,6% pada SKRT 1986. Hasil SKRT pada tahun 1995 menunjukan bahwa


(49)

prevalensi perokok laki-laki 68,8% dan pada wanita 2,6%. (Jurnal Kedokteran YARSI 14 )

Data Riset Riskesdas tahu 2007 juga memperlihatkan tingginya prevalensi penduduk yang merokok. Jumlah perokok aktif umur > 15 tahun adalah 35,4% (65,3% laki-laki dan 5,6% perempuan), berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 % perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan. Merokok dapat merubah metabolisme khususnya dengan meningkatnya kadar kolersterol darah, di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya penyakit jantung koroner (Arief, 2011).

Peran rokok dalam pathogenesis SKA merupakan hal yang kompleks, diantaranya adalah :

a. Timbulnya atreosklerosis

b. Peningkatan trombogenesis dan vasokontriksi (termasuk spasme arteri koroner) c. Peningkatan tekanan darah (TD) dan denyut jantung.

d. Provokasi aritmia jantung

e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard (Gray H. H ,dkk, 2002)

Jumlah rokok yang dihisap adalah banyaknya rokok yang dihisap penderita perhari dapat dikelompokan menjadi:


(50)

a. Perokok Ringan

Perokok ringan bila merokok kurang dari 10 batang sehari. b. Perokok Sedang

Perokok sedang bila menghisap rokok 10 – 20 batang sehari. c. Perokok Berat

Perokok berat jika menghisap rokok lebih 20 batang sehari. (M.N.Bustan,1997:124).

2.6.3. Aktivitas Fisik

Latihan olahraga merupakan suatu aktivitas aerobik, yang bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan daya tahan jantung, paru, peredaran darah, otot-otot, dan sendi-sendi. Suatu latihan olahraga yang dilakukan secara teratur akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tubuh kita. Latihan fisik dengan pembebanan tertentu akan mengubah faal tubuh yang selanjutnya akan mengubah tingkat kesegaran jasmani. Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko PJK meskipun hanya 11% laki-laki dan 4% perempuan. (Gray, H.H,dkk, 2002)

Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Namun hampir separuh penduduk (47,6%) kurang melakukan aktivitas fisik (Riskesdas, 2007).


(51)

Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur sangat penting selain untuk menghindari kegemukan, juga dapat menolong juga dapat mencegah terjadinya penyakit akibat pola hidup seperti diabetes, serangan jantung dan stroke (Johnson, 1998).

WHO merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama 30 menit perhari dalam satu minggu atau 20 menit perhari selama 5 hari dalam satu minggu dengan intensitas berat tuntuk mendapatkan hasil yang optimal dari aktivitas fisik atau olahraga.

Hasil data Rikesdas tahun 2007 menyebutkan bahwa 48,2 % penduduk Indonesia kurang melakukan aktivitas fisik (< 5 hari dan < 150 menit perhari). Kurang aktivitas fisik tertinggi terdapat pada kelompok umur 75 tahun keatas (76,0%) dan umur 10-14 tahun (66,9%), dilihat adari jenis kelamin, kurang aktivitas lebih tinggi pada perempuan (54,5%) disbanding laki-laki (41,4%) (Balibangkes, 2008). Sebelumnya menurut SKRT tahun 2004 mendapatkan aktivitas tidak cukup gerak pada penduduk usia 15 tahun 68,7% dengan aktivitas tidak cukup gerak tinggi di semua propinsi.

Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006), Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan yaitu: terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain, berat badan terkendali, otot lebih lentur dan tulang lebih kuat, bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional, lebih percaya diri, Lebih bertenaga dan bugar.


(52)

2.6.4. Kadar Kolesterol dalam Darah

Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi PJK, Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung maka akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak akan mengalami aterosklerosis (Fuster et al, 2010).

Pada awalnya di negara-negara Barat, PJK berhubungan dengan kolesterol yang tinggi, sedangkan di negara-negara Asia, kolesterol total (TC) umumnya lebih rendah dan kejadian PJK juga rendah. Namun dengan adanya industrialisasi dan urbanisasi tumbuh di Asia, maka kadar kolesterol total pada negara-negara Asia mengalami peningkatan selama 50 tahun terakhir. Studi Hisayama di Jepang melaporkan bahwa prevalensi hiperkolesterolemia total kolesterol (TC) 5,7 mmol/L) meningkat dari 2,8% menjadi 25,8% pada pria dan dari 6,6% menjadi 41,6% pada wanita selama tahun 1961-2002. Peningkatan kolesterol di negara-negara Asia dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam asupan makanan yang berlemak. Banyak penelitian epidemiologi di Asia telah memberikan informasi tentang hubungan kolesterol dengan risiko PJPD. Studi kohort yang dilakukan oleh Korean National Health selama 11 tahunyang terdiri dari 787.442 pria dan wanita Korea berusia 30-64 tahun, untuk hubungan antara kolesterol dengan peningkatan kejadian stroke iskemik, MI, stroke hemoragik.


(53)

2.6.5. Kadar Trigliserida dalam Darah

Peningkatan kadar trigliserida merupakan salah satu factor risiko penyakit kardiovaskular yang umum dijumpai, walaupun dengan kadar kolesterol low density lipoprotein (LDL) yang sesuai target, pasien hipertrigliseridemia tetap berada pada risiko tinggi penyakit kardiovaskular.

Di Amerika Serikat, prevalensi hipertrigliseridemia diantara factor risiko penyakit kardiovaskular pada dewasa adalah 31%. Pada mereka dengan sindrom metabolic, prevalensi peningkatan kadar trigliserida > 150 mg/dl adalah sebesar dua kali lipat disbanding individu normal. Studi di Copenhagen terhadap populasi umum menunjukkan bahwa sekitar 45% pria dan 30% wanita yang terlibat dalam studi memiliki peningkatan kadar trigliserida > 150 mg/dl, pasien infark miokard memiliki peningkatan kadar trigliserida 12% lebih tinggi. (Ika Prasetia, 2013)

Penelitian epidemiologi menunjukkan trigliserida diduga berperan sebagai factor risiko penyakit kardiovaskular. Data dari penelitian Framingham, menunjukkan kadar trigliserida plasma yang tinggi merupakan factor risiko PJK. Temuan terbaru melaporkan bahwa trigliserida non puasa dapat memprediksikan risiko PJK sebaik hipertrigliseridemia puasa. Namun demikian peran trigliserida sebagai factor penyakit jantung koroner masih kontroversial. (Gray. H.H, 2002)

2.6.6. Obesitas

Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >25


(54)

30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2

Berdasarkan data dari WHO (2008), prevalensi obesitas pada usia dewasa di Indonesia sebesar 9,4% dengan pembagian pada laki-laki mencapai 2,5% dan pada perempuan 6,9%. Survey sebelumnya pada tahun 2000, persentase penduduk Indonesia yang obesitas hanya 4,7% ( ± 9,8 juta jiwa).Ternyata hanya dalam 8 tahun, prevalensi obesitas di Indonesia telah meningkat dua kali lipat, Sehingga kita perlu mewaspadai peningkatan yang lebih pesat dikarenakan gaya hidup sekarang yang semakin sedentary (santai dan bermalas-malasan) sebagai akibat dari kemudahan teknologi.

. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II (Ramrakha, 2006).

Data dari Framingham (2008), menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25% dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5%. Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia (Malau, 2011).

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks masa tubuh (IMT) untuk menentukan berat badan berlebih pada orang dewasa. IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa. Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT


(55)

atau indeks Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m

2

Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa Berdasarkan IMT Menurut WHO

) (Aru W. Sudoyo, 2006).

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Berat Badan Kurang Kisaran Normal

Berat Badan Lebih > 25

Pra Obes 25,0 – 29,9

Obes tingkat I 30,0 – 34,9

Obes tingkat II 35,0 – 39,9

Obes tingkat III > 40

Sumber : WHO Tehnical Series, 2000 2.6.7. Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberikan gejala yang akan berlanjut untuk suatu organ seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung) dan left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung), hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa kematian yang tinggi (M.N Bustan,1997)

Klasifikasi Hipertensi menurut The sixth report of the joint National Committee On the prevention, Detection, evaluation and Treatment of high blood pressure (1997) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih atau sedang dalam pengobatan antihipertensi.


(56)

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah untuk yang Berumur 18 Tahun atau Lebih

KATEGORI SISTOLIK (mmHg) DIASTOLIK (mmHg)

Normal < 120 < 80

Optimal < 130 < 85

Normal-Tinggi 130 – 139 85 – 89

Hipertensi

Derajat 1 140 - 159 90 – 99

Derajat 2 160 - 179 100 - 109

Derajat 3 ≥ 180 ≥ 190

Peninggian tekanan sistolik tanpa diikuti oleh peninggian tekanan diastolik disebut hipertensi sistolik atau hipertensi terisolasi (isolated systolic hypertension). Hipertensi terisolasi umumnya dijumpai pada usia lanjut. Jika keadaan ini dijumpai pada masa adolesen atau dewasa muda lebih banyak dihubungkan dengan sirkulasi hiperkinetik.

Dikatakan hipertensi jika pengukuran dilakukan dua kali atau lebih kunjungan yang berbeda waktu didapatkan tekanan darah rata-rata dari dua atau lebih kunjungan setiap kunjungan, diastolik 90 mmHg atau lebih atau sistolik 140 mmHg atau lebih. Pengukuran yang pertama kali belum dapat memastikan adanya hipertensi akan tetapi dapat merupakan petunjuk untuk dilakukan observasi lebih lanjut (Slamet Suyono, 2001).

2.6.8. Diabetes Meilitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, DM adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan


(57)

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin atau kedua-duanya. Lebih dari 90 persen dari semua populasi diabetes adalah diabetes mellitus tipe 2 yang ditandai dengan penurunan sekresi insulin karena berkurangnya fungsi sel beta pankreas secara progresif yang disebabkan oleh retensi insulin. ( PERKENI, 2011).

Secara umum, penyakit jantung koroner terjadi pada usia lebih muda pada penderita diabetes dibandingkan pada penderita nondiabetik. Pada diabetes tergantung insulin (IDDM), penyakit koroner dini dapat dideteksi pada studi populasi sejak decade keempat dan pada usia 55 tahun hingga sepertiga pasien meninggal karena komplikasi PJK. (Gray. H.H, 2002)

Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah (Malau, 2011). Penelitian Anwar (2004) menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50% lebih tinggi dari pada orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian Waspadji (2003) menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan kejadian PJK (Arif, 2011).

Penyebab mortalitas dan morbiditas utama pada pasien DM tipe 2 adalah penyakit jantung koroner (PJK). Menurut American Heart Association pada mei 2012, paling kurang 65% penderita DM meninggal akibat penyakit jantung atau Stroke. Selain itu, orang dewasa yang menderita DM beresiko dua sampai empat kali lebih besar terkena penyakit jantung dari pada orang yang tidak menderita DM. (AHA, 2013).


(58)

Berdasarkan konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia tahun 2011, ditetapkan kriteria diagnosis DM dan pradiabetes sebagai berikut.

Tabel 2.3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)

Pemeriksaan Bukan DM Pra

DM

DM Kadar glukosa darah sewaktu:

- Plasma vena - Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa:

- Plasma vena - Darah kapiler

< 100 < 90 < 100 < 90

100 – 125 90 – 125 100 – 125 90 – 199

≥ 200 ≥ 200 ≥ 126 ≥ 100 Sumber : PERKENI (2011)

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa puasa terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan apabila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL.

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL (PERKENI, 2011).


(59)

2.7. Landasan Teori

Menurut The Web of Causation Model, terjadinya suatu penyakit tidak tergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab akibat. Pada penelitian ini terjadinya S K A di sebabkan oleh paparan faktor risiko yang tidak dapat di ubah (jenis kelamin dan bertambahnya umur) maupun faktor risiko yang dapat di ubah meliputi: kelebihan berat badan (IMT), kadar gula darah, tekanan darah, kadar trigliserida, kadar kolesterol, kadar HDL, kadar LDL, obesitas dan kebiasaan merokok. Seperti tertera pada skema berikut ini.


(60)

Gambar 2.2. Landasan Teori Penelitian

Tunstall dkk (1994) : Definisi WHO dalam Menegakkan

Diagnosis SKA adalah Dijumpai 2 dari 3

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

IMA non STE IMA STE

Faktor Risiko SKA : Faktor Risiko yang tidak Dapat Diubah ; Jenis Kelamin, Ras dan Riwayat Keluarga Faktor Risiko yang Dapat Diubah ;

Abnormalitas Kadar Serum Lipid, Hipertensi, Merokok, Kadar Gula Darah, Obesitas, Faktor Psikososial, Konsumsi Buah-buahan, Diet Alkohol dan Aktivitas Fisik

Faktor Risiko SKA

NYERI DADA

TIPIKAL EKG JANTUNG ENZIM

SINDROMA KORONER AKUT


(61)

2.8. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas, maka peneliti akan memfokuskan untuk mengkaji variabel faktor risiko Sindroma Koroner Akut pada usia dibawah 45 tahun terhadap kejadian Infark Miocard Akut, hal ini dapat di lihat pada gambar kerangka konsep di bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Kejadian Sindroma Koroner Akut pada Usia

≤ 45 Tahun Faktor Risiko SKA :

Faktor Risiko yang dapat Diubah : - Kebiasaan Merokok

- Hipertensi - Obesitas

- Kadar Gula Darah (Diabetes Melitus) - Kadar Kolesterol Darah - Kadar LDL Darah - Kadar HDL Darah - Kadar Trigliserida Darah


(62)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi analitik observasional, yaitu studi kasus kontrol. Desain kasus-kontrol dapat dipergunakan untuk menilai berapa besarkah peran faktor risiko dalam kejadian penyakit (Sastroasmoro, Sofyan Ismael, 2011).

Rancangan penelitian ini merupakan studi epidemiologi untuk menilai pengaruh paparan faktor risiko terhadap terjadinya SKA pada penderita usia ≤ 45 tahun. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif atau dilakukan penelusuran kebelakang faktor- faktor risiko terjadinya SKA pada kelompok kasus di bandingkan kelompok kontrol berdasarkan status paparan faktor risikonya.

Rancangan penelitian Case Control yang diajukan sebagai berikut:

Gambar 3.1. Desain Case Control Faktor risiko (+)

Faktor risiko (-)

Faktor risiko (+)

Faktor risiko (-)

Retrospektif

Retrospektif

Kasus: Responden yang

SKA usia ≤ 45 tahun

Kontrol: Responden yang tidak SKA


(63)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitan

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Zainoel Abidin Banda Aceh.

Waktu penelitian dilakukan Juni 2014 sampai September 2014. Tahapan dilaksanakan mulai pra survei, pembuatan proposal penelitian, konsultasi dosen pembimbing, penelitian lapangan dan membuat laporan akhir.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi adalah semua pasien yang berusia 25 - ≤ 45 tahun berobat ke Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

3.3.1 Populasi Kasus

Seluruh pasien yang berusia ≤45 tahun yang menderita SKA. 3.3.2 Populasi Kontrol

Seluruh pasien yang berusia ≤ 45 tahun yang tidak menderita SKA. 3.3.3 Sampel

3.3.3.1Sampel Kasus

Sampel kasus adalah seluruh pasien usia 25 – <45 tahun dengan diagnosa SKA yang berobat ke poli jantung, dirawat di ruang ICCU, diruang Geulima II (jantung), ruang rawat bedah jantung di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.


(64)

3.3.3.2Sampel Kontrol

Sampel kontrol adalah seluruh penderita usia 25 – ≤ 45 tahun dengan diagnosa bukan SKA yang berobat ke poli bedah dan pasien pre operasi di ruang rawat bedah (Ruang Jeumpa I, II dan III) Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Penentuan besarnya sampel penelitian dengan memperhatikan Odds Ratio (OR) hasil beberapa penelitian terdahulu tentang beberapa faktor risiko SKA sebagai berikut:

Tabel 3.1. Nilai Odds Rasio Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor Risiko PJK

No. Variabel Peneliti OR 95% CI n

1 Hipertensi Yusnidar 2,7 1,4-5,3 53

2 Diabetes Mellitus Mutiara Margaretha 3,76 1,41-10,38 24 3 Kebiasaan Merokok Pitsavos 2,83 2,07-3,31 23 4 Dislipedimia M.Supriyono 2,7 1,4 – 5,5 80

Untuk memenuhi jumlah sampel minimal maka, dengan menggunakan OR terkecil dari penelitian tersebut yaitu hipertensi OR = 2, dilakukan penghitungan besar sampel dengan rumus sebagai berikut (Lameshow et.al. 1997):

� ={Z1−α/2�[2�2(1−�2)]+�1−��[�1 (1−�1)+�2 (1−�2)]}2

(P1−P2)² P1 = (��)P2

(��)�2+(1−�2)

P1 = (2,8)0,4

(2,8)0,4 + (1−0,0,4)= 0,65

�= {1,96�[2�0,4�0,6]+0,842�[0,65�0,35+0,4�0,6]}2

(0,65−0,4)²


(65)

Keterangan:

OR = Odds ratio

P1 = Perkiraan proporsi faktor risiko pada kasus (0,65) P2 = Perkiraan proporsi faktor risiko pada kontrol (0,40) n = Jumlah sampel

Z1-α/2 = 1.96 (untuk α = 0,05) Z1-β = 0,842 (untuk β = 80%)

3.4. Tehnik Pengambilan Sampel

Sampel diperoleh dengan teknik nonprobability sampling secara purposive sampling (Murti, 2003). Sampel dalam penelitian ini adalah usia 25 – ≤ 45 tahun yang berobat ke rumah sakit umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Sampel kasus adalah pasien yang didiagnosa SKA di poli jantung, yang pernah dirawat atau sedang dirawat diruang Pelayanan Jantung Terpadu (PJT), yang dirawat diruang ICCU dan yang dirawat diruang Geulima II jantung pada saat penelitian. Untuk pasien yang pernah dirawat dilakukan kunjungan rumah. Pasien yang bukan diagnosa SKA dan pasien pre operasi di ruang poli bedah dan ruang Jeumpa I, II dan III (ruang rawat bedah) dijadikan sebagai sampel kontrol.

Banyaknya perbandingan sampel kasus dan sampel kontrol adalah 1:1 dengan matching jenis kelamin dan umur.


(66)

3.5.Kriteria Inklusi dan Eklusi a. Kriteria Inklusi Kasus

a.1 Responden yang menderita S K A baik pada penderita rawat inap maupun penderita rawat jalan.

a.2 Subyek penelitian bersedia mengisi inform consent b. Kriteria inklusi kontrol

b.1 Penderita yang tidak menderita SKA baik pada penderita rawat inap maupun rawat jalan.

b.2 Subyek penelitian bersedia mengisi inform consent c. Kriteria eksklusi kasus dan kontrol

c.1 Subyek penelitian menderita SKA dengan kondisi tidak stabil

3.6. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari: a. Data Primer

Data primer diperoleh secara langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun pada pasien yang rawat inap ataupun rawat jalan. Kunjungan rumah dilakukan kepada beberapa responden yang telah pulang. b. Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini adalah dengan melihat dokumen pasien yang ada di rekam medik atau status pasien, buku register dan laboratorium serta data kunjungan pasien yang dilihat di instalasi medical record.


(67)

3.7. Variabel dan Definisi Operasional 3.7.1. Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen dan dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah :

a. Variabel dependen : SKA b. Variabel Independen

Variabel yang dapat di ubah : kebiasaan merokok, hipertensi, obesitas, kadar guladarah (diabetes meilitus), kadar kolesterol, HDL, LDL dan trigliserida darah, aktivitas fisik

3.7.2. Definisi Operasional

a. Variabel dan Metode Pengukuran Variabel

Tabel 3.2. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Skala Katagori 1. Sindroma

Koroner Akut

Penderita yang didiagnosis SKA terdiri dari infark miokard akut (IMA) disertai elevasi segmen ST (IMA STE), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) dan angina pektoris tak stabil (APTS)

Hasil diagnosis dokter pada rekam medik

Ordinal 1. SKA

2. Bukan SKA

2. Obesitas Berat Badan responden berdasarkan IMT

(BB/TB2) yang dikur pada saat penelitian Kuesioner dari hasil pemeriksaan tekanan darah pada rekam medik

Ordinal 1. Obesitas: IMT ≥ 25.00 kg/m 2. Tidak


(68)

Tabel 3.2. (Lanjutan) Variabel Definisi Operasional Cara

Pengukuran Skala

Katagori 3. Aktifitas

Fisik

Intensitas kegiatan jasmani yang dilakukan sehari-hari, meliputi bidang kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan, perjalanan dan aktifitas diwaktu senggang yang dihitung berdasarkan lama waktu yang digunakan untuk melakukan jenis aktifitas.

Kuesioner Ordinal 1. Cukup > 150 menit/ minggu 2. Kurang <

150 menit / minggu

3. Tekanan darah

Hasil pemeriksaan tekanan darah responden Kuesioner dari hasil pemeriksaan tekanan darah pada rekam medik

Ordinal 1. Hipertensi (TD sistolik > 140 mmHg) dan atau TD diastolik > 90 mmHg) 2. Tidak (TD

sistolik < 140 mmHg) dan atau TD diastolik < 90 mmHg) 4. Merokok 1. Perokok berat (lebih 20

batang perhari.

2. Perokok sedang (10 – 20 batang perhari)

3. Perokok Ringan < 10 batang perhari

4. Bukan perokok (tidak memiliki kebiasaan merokok.

Kuesioner Ordinal 1. Berat 2. Sedang 3. Ringan 4. Bukan


(69)

Tabel 3.2. (Lanjutan) Variabel Definisi Operasional Cara

Pengukuran Skala Katagori 5. Kadar

Gula Darah

Kadar gula darah puasa terakhir responden yang dilihat pada rekam medic saat penelitian

Hasil

pemeriksaan laboratorium thd gula darah puasa

Ordinal 1. Diabetes Meilitus ≥ 126 mg/dl 2. Bukan Diabetes Meilitus ≤ 126 mg/dl 6. Kadar

kolesterol

Kadar kolesterol responden terakhir yang dilihat pada rekam medic saat penelitian

Hasil

pemeriksaan Laboratorium thd Kadar kolesterol

Ordinal 1. >200 mg/dl 2. ≤200 mg/dl

7. Kadar trigliseri-da

Kadar trigliserida responden terakhir yang dilihat pada rekam medic saat penelitian

Hasil

pemeriksaan laboratorium terhadap kadar trigliserida

Ordinal 1. >150mg/dl 2. ≤150 mg/dl

8. Kadar HDL

Kadar HDL responden yang terakhir dilihat pada rekam medic saat penelitian

Hasil

pemeriksaan laboratorium

Ordinal 1. > 55 mg/dl 2. ≤ 55 mg/dl 9. Kadar

LDL

Kadar LDL responden yang terakhir dilihat pada rekam medik saat penelitian

Hasil

pemeriksaan laboratorium terhadap kadar LDL

Ordinal 1. ≤150 mg/dl 2. > 150 mg/dl

3.8.Tehnik Pengolahan Data

Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data skunder yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut :


(70)

1. Editing (Pemeriksaan Data)

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, apabila terdapat jawaban yang belum lengkap atau terdapat kesalahan dalam mengisi maka harus dilengkapi dengan cara wawancara kembali terhadap responden.

2. Coding (Pemberian Kode)

Data yang sudah dikumpulkan dan dikoreksi kebenaranya dan kelengkapanya untuk diberi kode oleh peneliti secara manual diolah dengan memakai perangkat software komputer.

3. Entry (Pemasukan Data ke Komputer)

Data yang sudah dibersihkan kemudian dimasukan ke program komputer untuk diolah.

3. Cleaning Data Entry

Pemeriksaan semua data yang telah dimasukan kedalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pemasukan data.

3.9.Metode Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan akan dilakukan analisa statistik dengan menggunakan:

a. Analisa univariat, yaitu analisa yang menggambarkan secara tunggal variabel-variabel independen dan dependen dalam bentuk distribusi frekuensi.


(1)

(2)

(3)

(4)

Lampiran 6.

DOKUMENASI PENELITIAN


(5)

(6)