PENGUATAN PERAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKT

1

PENGUATAN PERAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF FUNGSI HUKUM
UNTUK KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
(Sebuah Catatan bagi Kaukus Perempuan Parlemen) 1

A. Pengantar
Peran perempuan dalam segala lini kehidupan manusia memang tidak
dapat diragukan lagi keberadaannya, mulai dari peran dalam wilayah privat
seperti rumah tangga sampai dengan wilayah publik seperti karirnya dalam
bidang ekonomi, politik, sosial budaya, maupun hukum. Adanya peran ganda
dalam kedua wilayah ini dapat membuktikan bahwa perempuan juga mampu
terlibat dan mampu pula memainkan perannya dengan baik. Disisi lain, dalam
wilayah privat maupun publik tersebut tidak dapat dipungkiri terdapat pula
kenyataan bahwa hidupnya peran laki-laki dan dalam perkembangannya
mendominasi dalam segala aspek kehidupan, sehingga tidak jarang menggeser
kesempatan perempuan berkiprah dalam bidang yang sama yang setara dengan
laki-laki.
Baik perempuan maupun laki-laki dalam kerangka sebagai penduduk dan
warga negara Indonesia, dalam segi kesetaraan hak telah diakomodir dan dijamin
perlindungannya dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J UUD 1945, bahkan Undangundang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum terdapat enam Pasal yang

mengatur mengenai 30 persen keterwakilan perempuan dalam Pemilu.2Dalam
Pembukaan Piagam PBB menyatakan bahwa adanya kesetaraan ini merupakan
hak asasi yang paling fundamental, dari martabatnya dan kepatutan sebagai
1

Makalah, disampaikan Oleh Dr. Inge Dwisvimiar, S.H., M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, dalam acara Pelantikan Kaukus Perempuan Parlemen DPRD Provinsi Banten,
Serang, Kamis, Tanggal 29 Oktober 2015.
2
6 Pasal tersebut yaitu : Pasal 8, Pasal 15, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 58, dan Pasal 59. Walaupun keenam
pasal dalam UU No. 8 tahun 2012 tersebut telah menyebutkan mengenai syarat sekurang-kurangnya 30%
keterwakilan perempuan dalam pemilu, namun dapat terlihat bahwa keterwakilan perempuan 30% yang
dijamin hanya pada tahap penyusunan daftar bakal calon dan tidak ada jaminan dalam daftar calon
sementara maupun daftar calon tetap. Oleh karena itu, undang-undang pemilu ini menyalahi prinsip
persamaan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk dipilih dalam pemilu, karena perempuan harus
ada di dalam Daftar Calon Tetap (DCT) untuk dapat dipilih dalam pemilu, dalam Dian Kartikasari,
makalah, Semiloka Strategi Pemenangan dalam Pemilu 2014, http:www.koalisiperempuan.or.id, diakses
pada tanggal 27 Oktober 2015 jam 22.05 WIB.

2


seorang manusia dalam hak yang sama bagi perempuan maupun laki-laki. Piagam
internasional tentang Hak Asasi Manusia memperkuat dan memperluas
penekanan pada hak-hak asasi perempuan. Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia menyatakan adanya persamaan dihadapan hukum dan untuk menikmati
hak asasi manusia dan kebebasan dasar tanpa pembedaan apapun.3 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, yang dikombinasikan dengan perjanjian hak asasi
manusia terkait, sehingga meletakkan seperangkat hak yang semua orang,
termasuk perempuan juga berhak. Namun, fakta kemanusiaan perempuan terbukti
tidak cukup untuk menjamin mereka menikmati hak mereka yang disepakati
secara internasional. Sejak berdirinya, Komisi Status Perempuan (CSW) telah
berusaha untuk mendefinisikan dan menguraikan jaminan umum nondiskriminasi dalam instrumen ini dari perspektif gender. Karya CSW telah
menghasilkan sejumlah deklarasi penting dan konvensi yang melindungi dan
mempromosikan hak-hak asasi perempuan.4Lebih lanjut di negara Indonesia
kemudian di ratifikasi dengan Undang-undang 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (Lembaran Negara RI Tahun 1984 Nomor 29; Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 3277);
Sehubungan dengan thema penulisan makalah ini, istilah penguatan atau
strengthening mengacu pada nomina atau kata benda, dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan menguati atau menguatkan.5
Adapun peran diartikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh
orang yang berkedudukan dalam masyarakat6; kemudian istilah gender adalah
konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan
3

UN Women, “Short History of CEDAW Convention”, http://www.un.org, diakses pada tanggal 27
Oktober 2015, Jam 23.09.
4
Ibid, CSW yang berdiri pada 1946 sebagai komisi Hak asasi manusia dengan cepat diberikan status
komisi penuh sebagai akibat dari tekanan yang diberikan oleh aktivis perempuan. Antara tahun 1949 dan
1959, Komisi mengelaborasi konvensi dan hak politik bagi perempuan. Dengan dilatarbelakangi oleh
adanya kesadaran baru dari pola diskriminasi terhadap perempuan dan peningkatan jumlah organisasi yang
berkomitmen untuk memerangi efek dari diskriminasi tersebut pada tahun 1960-an, maka selama tahun
1976 dan pembahasan dari tahun 1977 ke 1979 kemudian pada tahun 1979, Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun 1979 pada tanggal 17
Juli 1980, 64 Negara menandatangani Konvensi dan dua Negara disampaikan instrumen ratifikasi. Pada 3
September 1981, 30 hari setelah Negara anggota kedua puluh telah meratifikasinya, Konvensi mulai
berlaku - lebih cepat daripada konvensi HAM sebelumnya telah dilakukan - sehingga membawa ke
klimaks upaya PBB untuk menyusun secara komprehensif standar hukum internasional bagi perempuan.

5
Http://www.kbbi.web.id
6
Ibid.

3

yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya
masyarakat7, lebih lanjut kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi yang
adil dan setara dalam hubungan kerjasama antara perempuan dan laki-laki8. Adapun
fungsi hukum dimaksud yaitu baik secara konservatif melalui kontrol sosial maupun
secara modern melalui perubahan sosial atau social engineering.
B. Perspektif Fungsi Hukum dalam Kesetaraan dan Keadilan Gender
Hukum yang dicirikan dengan norma atau kaedah menekankan pada
aturan-aturan bersifat imperatif berupa perintah dan larangan. Hukum itu
bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang menjamin terlaksananya kepastian
dan prediktabilitas di dalam masyarakat. Kepatuhannya tidak diserahkan
sepenuhnya kepada kemauan bebas tiap warga masyarakat, melainkan dapat
dipaksakan oleh masyarakat secara terorganisasi sesuai dengan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur penegakan hukum. Pada masa kini, bagian terbanyak dari

kaidah-kaidah hukum itu ditetapkan oleh kekuasaan yang berwenang (otoritas
publik, pemerintah negara), yang dilaksanakan dan ditegakkan oleh pemerintah,
kalau perlu dengan menggunakan alat kekuasaan negara sesuai dengan aturan
prosedural yang berlaku yang dirumuskan dalam bentuk kaidah hukum juga.9
Sekalipun sifat imperatif hukum melekat, dikarenakan ciri dari hukum sendiri,
maka tetap harus memperhatikan aspek tujuan hukum sebagaimana diuraikan di
atas sehingga harapannya agar hukum tersebut menjadi hukum yang responsif
dan populis bagi masyarakat.
Dalam dinamikanya, hukum itu dibentuk dan ikut membentuk
masyarakat, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sifat masyarakat itu
sendiri. Jadi hukum itu dikondisi dan mengkondisi masyarakat, diwarnai dan
mewarnai masyarakat. Karena bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan
keadilan secara konkret dalam masyarakat, maka hukum di satu pihak
memperlihatkan kecenderungan konservatif sebagai sarana kontrol sosial
(berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai), namun di
7

Pasal 1 butit (1) Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah, diundangkan di Jakarta pada
tanggal 29 Desember 2003.

8
Pasal 1 butir (3), Ibid.
9
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Jakarta, hlm. 7.

4

lain pihak juga memperlihatkan kecenderungan modernisme sebagai fasilitator
perubahan sosial (berupaya secara tertib terkendali mendorong, mengkanalisasi
dan mengarahkan perubahan masyarakat.10 Hal-hal seperti hukum sebagai kontrol
sosial maupun hukum sebagai sarana perubahan sosial merupakan fungsi dari
hukum. Dengan mengutip istilah dalam ilmu teknik, menurut Rahardjo,
penggunaan hukum secara sadar untuk mengubah masyarakat itu disebut sebagai
social engineering atau lengkapnya social engineering by law.11Langkah yang
diambil dalam social engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi
problem sampai kepada jalan pemecahannya.12
Oleh karena latar belakang bahwa dalam kehidupan masyarakat sarat
dengan berbagai kepentingan dan berpotensi memicu konflik tidak terlepas dari
peranan dan fungsi hukum itu sendiri seperti diuraikan di atas sehingga dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya fungsi hukum tidak datang setelah bahkan ketika

konfik itu terjadi, anggapan demikian adalah keliru. Bahwa fungsi hukum adalah
berfungsi sebelum suatu konflik terjadi adalah benar adanya. Jadi, sehubungan
dengan hal tersebut konsep perubahan masyarakat harus didasarkan pada adanya
perencanaan. Perencanaan membuat pilihan-pilihan yang dilakukan secara sadar
tentang jalan mana dan cara yang bagaimana yang akan ditempuh oleh
masyarakat untuk mencapat tujuan-tujuannya. Apabila pilihan telah ditentukan ,
maka pilihan inilah yang akan diwujudkan melalui hukum.13
Kesetaraan dan Keadilan Gender merupakan pilihan yang diwujudkan
dengan perencanaan melalui hukum. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya
sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan
nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan
tersebut.Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan
ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan
gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
10

Ibid, hlm. 13.

Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 208.
12
Ibid.
13
Ibid, hlm 211.
11

5

subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka
memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta
memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, penguatan peran perempuan
sebagai suatu cara atau proses menguatkan dengan membentuk Kaukus
Perempuan Parlemen patut direspons baik sebagai salah satu upaya perencanaan
yang diwujudkan dalam pilihan wadah sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan
yang diharapkan seperti dalam fungsi hukum itu sendiri. Proses perubahan untuk
menjadi kuat dengan pengawalan yang dilakukan oleh hukum itu sendiri. Hukum

tetap bisa dipakai sebagai instrument yang secara sadar untuk mencapai tujuantujuan. Kaukus Perempuan Parlemen dalam fungsi hukum ini dapat dikatakan
sebagai faktor penggerak mula, yaitu yang memberikan dorongan pertama secara
sistematik dalam sistem parlemen Indonesia, tentu saja tidak melupakan peran
perempuan lain dalam kerangka wadah hukum yang berbeda.Asal satu tujuan
memperoleh kesetaraan dan keadilan bagi gender. Why Not ?
C. Daftar Pustaka
Dian Kartikasari, makalah, Semiloka Strategi Pemenangan dalam Pemilu 2014,
http:www.koalisiperempuan.or.id,
UN Women, “Short History of CEDAW Convention”, http://www.un.org
Http://www.kbbi.web.id
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Pnelitian Hukum, RajaGrafindo
Perdada, Jakarta, 2006
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Jakarta

Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 132 Tahun 2003 tentang Pedoman
Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di
Daerah, diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2003.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

UUD 1945