PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN MASA DEPA

PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN MASA DEPAN
I.

Pendahuluan
Sepanjang sejarah perjalanan perkembangan pendidikan di dunia Islam, peradaban
Islam pernah mencapai puncaknya ketika masa kekhalifahan Abbasyah yang dikenal dengan
the golden age of Islam. Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling
penting dalam mengembangkan peradaban. Pendidikan Islam tidak akan sempurna meresap
dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang baik pada seluruh generasi.
Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang
berpedoman pada syariat Allah1[1]. Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge"
ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas
pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan
Tuhan2[2].

Pendidikan

Islam

suatu


kegiatan

yang

mengarahkan

dengan

sengaja

perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Secara umum,
pendidikan Islam adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh
berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu
pengetahuan, dan keterampilan hidup (life-skill).
Akan tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam,
namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Al-Qur’an
dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber otentik pengembangan pemikiran teoritis atau
pun praktis bagi tujuan merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia. Lebih-lebih ketika
dihadapkan pada arus deras globalisasi yang meskipun terbuka peluang namun sarat dengan
berbagai tantangan yang memerlukan upaya dan konsentrasi maksimal untuk mampun

menciptakan pendidikan bersaing di ruang global.
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu
dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain
mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain mengikuti irama
1 [1] Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa
Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj.
Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, (Gema Insani
Press, Jakarta, 1995), hal. 26
2 [2] Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi , (Jurnal
Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalija, Yogyakarta, 1991), hal. 50

perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu
sendiri. Siklus perubahan pendidikan pada diagram di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut;
Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, pendidikan didisain relevan dengan irama
perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut.
Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didisain
mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan
seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan

akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan
harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik
pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia
modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan
masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma
baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut
Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma
lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan"3[3].
Berikut adalah analisa Sa’id Ismail Ali dalam buku Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah
dalam pasal ke Tujuh: Musykilat al-Hadlir wa Thumuhat al-Mustaqbal.
II. Analisis Konten
Perhelatan pendapat dalam bidang peradaban Islam mulai terjadi semenjak perdaban
Islam terkontaminasi oleh pengaruh peradaban Barat, hal itu terjadi ketika terjadi perang
Perancis di tahun 1798.
Pengaruh yang terjadi adalah bahwa fokus perhatian ilmu saat itu tertuju pada studi
humaniora dan ilmu sosial, serta sangat mengabaikan ilmu-ilmu praktis, bahkan muncul
stigma saat itu bahwa untuk mempelajari ilmu-ilmu praktis cukup dengan mengucurkan dana
untuk sebagian orang. Beruntung dua orang tokoh yaitu Rifaat Attohtowi dan Ali Mubarok
dapat memberi gagasan segar pada dunia pendidikan dan gagasan ini menjadi model dan

pionir bagi dunia pendidikan. Namun sayang pemikiran tentang pendidikan yang digagas
oleh dua tokoh ini tidak tertulis pada lembaran-lembaran buku karena dianggap bahwa
pendidikan adalah seni semata yang bisa berubah sesuai dengan perkembahan zaman.Fakta
3 [3] H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Cet. I, (Tera Indonesia: Magelang, 1998), hal. 245

ini terlhat pada institusi Dar ulum ketika didirikan di Mesir pada tahun 1872 oleh Tohtowi
dan Ali Mubarak.
Setelah delapan tahun berdirinya Dar Ulum yaitu pada tahun 1880 didirikan institusi
khusus keguruan namun instutusi ini mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat dan melupakan
konsep pendidikan Islam yang digagas oleh Tohtowi dan Ali Mubarak.
Pengaruh pemikiran Barat pada pada konsep pendidikan Islam disebabkan oleh
faktor-faktor berikut :
1. Kedatangan para diplomat asing yang membawa pemikiran-pemikiran Barat
2. Pemikir-pemikir Islam dari kalangan Ikhwanul muslimin banyak dipenjara
3. Banyak bangsa Arab yang mempraktekkan ketentuan hukum Barat
Selain faktor-faktor di atas, penyebab lain dari kurangnya konsep pendidikan Islam
dikarenakan:
1. Banyak konseptor pendidikan yang menjadikan aqidah sebagai landasan pendidikan, namun
2.


mereke awan akan dasar-dasar pendidikan.
terdapat banyak buku yang menjadikann aqidah sebagai dasar-dasar pendidikan, namun
pengarang buku tersebut awam akan peradaban Islam dan ilmu bahasa Arab, seperti

tergambarkan dalam kondisi:
a. Tidak bisa membedakan definisi-definisi yang ada pada nomenklatur pendidikan, seperti:
Pendidikan Islam, pendidikan agama, pengajaran Islam, pengajaran muslim, pengajaran
menurut orang Islam, pengajaran keagamaan, dll.
b. Ketidaktepatan menentukan definisi di atas, maka ada yang menganggap umpanya
pendidikan menurut ibnu Kholdun sebagai pendidikan Islam, padahal pendidikan Islam
c.

rujukannya adalah Al-Qur’an dan Hadits bukan pemikiran Ibnu Kholdun.
Karena banyak pelaku pendidikan yang tidak dapat membedakan definisi-definisi yang ada
pada nomenklatur pendidikan Islam maka, merka menganggap bahwa sejarah Islam sebagai
landasan pendidikan Islam, atau filsafat pendidikan Islam sebagai landasan pendidikan Islam
padahal hanya dua sumber dari pendidikan Islam yaitu Al-Qur’an dan hadits.Namun
mayoritas praktisi banyak pendidikan menjadikan dua landasan yaitu landasan sejarah dan
filosis, bukan Al-Qur’an dan hadits.


A. Tantangan Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan fitrah yaitu dengan potensi bawaan seperti potensi ilahiyah, potensi untuk memikul
amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Dengan potensi ini manusia
mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan
orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim mampu menjadi
khalifah dan Abdullah.

Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global bukan persoalan mudah,
karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk
melestarikan, menamkan nilai-nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk
menanamkan karakter berbasis lokal. Upaya untuk membangun pendidikan Islam yang
berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis
dengan menangkap peluang dan bersiaga mengahadapi tantangan masa depan.
Tantangan yang akan dihadapi oleh pendidikan Islam pada masa yang akan datang,
menurut Sa’id Ismail Ali, bahwa umat Islam:
1.

Kurang mampu menyeleksi informasi dan teori-teori mana yang maslahat untuk diaplikasi


2.

dan mana pula yang tidak.
Gaya hidup hedonis, konsumtif dan fantatif akibat pengaruh era globaliosasi dan era

3.

informasi.
Berkiblat dan berbarometer kepada Negara maju secara fisikly padahal terbelakang pada
aspek peradaban dan akhlak.
Disamping ketiga tantangan tersebut, terdapat tujuh tantangan lainnya4[4], yaitu:

1.

Mengurangi kesenjangan dalam pemerataan pendidikan, kemiskinan, marginalisasi dan

eksklusivitas pendidikan.
2. Mengukuhkan hubungan yang lebih baik antara pendidikan dan ekonomi setempat (lokal),
dan antara pendidikan dengan dunia kerja yang mengglobal.

3. Mencegah berkembangnya peran dari riset dan pendidikan yang dikendali-kan oleh pasar dan
melebarnya kesenjangan teknologi dan ilmu pengeta-huan di antara Negara industry dan
Negara berkembang.
4. Menjamin bahwa persyaratan riset Negara berkembang menerima perhatian dan ditunjukkan
oleh ilmuwan dan sarjananya.
5. Mengurangi dampak negatif dari brain drain dari Negara miskin ke Negara kaya, dan dari
wilayah tertinggal ke wilayah maju, sebagai pasar untuk siswa yang juga mengglobal.
6. Mengarahkan dampak dari prinsip-prinsip pemasaran dan perubahan peran dari Negara
terhadap pendidikan dan membantu perencanaan dan manajemen pendidikan.
Menggunakan sistem pendidikan tidak hanya untuk memindahkan batang tubuh keilmuan

7.

secara umum, tetapi melestarikan berbagai nwarisan budaya dunia, bahasa seni, gaya hidup di
dunia yang semakin menjadi homogen.
Tantangan-tantangan tersebut bila disadari merupakan signal peluang yang menuntut
para praktisi pendidikan untuk membuat formula, design, konsep, dan strategi pendidikan
menjadi bersaing dalam ruang global yang meliputi tiga dimensi, yaitu ekonomi, politik, dan
budaya. Ekonomi, terkait dengan produksi, pertukaran distribusi, dan konsumsi barang dan
4 [4] Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan , (Remaja Rosjdakarya:

Bandung, 2012), hal. 142

jasa; politik, terkait dengan distribusi, kekuasaan, pusat kbijakan pengembangan dan lembaga
kekuasaan berikut pengawasannya; budaya, terkait dengan social produksi, pertukaran, dan
ungkapan bahasa isyarat dan simbol, arti, kepercayaan dan kesukaan, rasa dan nilai5[5].
Semua persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern, menjadi
pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup
diselesaikan

dengan

cara

empirik

rasional,

tetapi

perlu


jawaban

yang

bersifat

transendental6[6]. Melihat persoalam ini, maka ada peluang bagi pendidikan Islam yang
memiliki kandungan spritual keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut.
Fritjop Capra dalam buku The Turning Point, yang dikutip A.Malik Padjar7[7], "mengajak
untuk

meninggalkan

paradigma

keilmuan

yang


terlalu

materialistik

dengan

mengenyampingkan aspek spritual keagamaan. Demikianlah, agama pada akhirnya
dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara mendasar
terhadap persoalan kemanusian yang sedang dihadapi oleh masyarakat modern".
Mencermati fenomena peradaban modern yang dikemukakan di atas, harus bersikap
arif dalam merespons fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban
modern dari sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-unsur posetifnya
yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, yang perlu
diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai memperbudah manusia atau manusia
menghambakan produk tersebut, tetapi manusia harus menjadi tuan, mengatur, dan
memanfaatkan produk perabadaban modern tersebut secara maksimal.
B. Barometer Keabsahan Pendidikan Islam
Banyak seminar yang mendiskusikan masalah pendidikan Islam, namun yang
dijadikan feferensi dalam seminar-seminar itu adalah teori-teori atau filsafat-filsafat para ahli
pendidikan seperti Al-kindi, Alfarobi, Ibnu Sina.Dalam teori mereka dinyatakan bahwa
kurikulum pendidikan yang baik adalah pendidikan yang begini dan begitu, metode
pendidikan yang baik adalah yang begini dan begitu, subjek materi yang baik adalah yang
begini dan begitu, sekolah yang baik adalah sekolah yang begini dan begitu, tanpa disadari
oleh peserta seminar bahwa teori dan filsafat yang mereka kemukakan tadi banyak
5 [5] Ibid., 143
6 [6] A. Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern terhadap
Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya: “Pengembangan
Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21”, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d
1 September 1995, hal. 4
7 [7] Ibid.

terpengaruh oleh pemikiran Yunani yang kadang bersebrangan dengan dasar utama
pendidikan Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Semestinya mereka mempunyai prinsip bahwa, “seseorang itu dianggap ada karena
kebenarannya, dan bukan karena seseorang kebenaran itu ada”, dan barometer kebenaran
yang hakiki itu adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Al-Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber otentik pengembangan
pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan merumuskan panduan/petunjuk kehidupan
dunia. Kematian al-Qur’an dan Sunnah yang hanya menjadi sebuah narasi wahyu yang beku
tersebut mempunyai implikasi yang luar biasa dalam dunia pendidikan yang di kalangan
pemeluknya dikenal dengan “Pendidikan Islam”. Hingga hari ini, dunia pendidikan dan
gerakan-gerakan Islam dalam berbagai ragam konsentrasi dan aliran pemahaman sulit
menumbuhkan tradisi intelektual kritis sebagai etika dasar penafsiran terhadap kedua sumber
teks utama Islam yang seharusnya terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui
bagaimana pemecahan problem-problem pendidikan Islam tersebut, maka usaha-usaha
pembaharuan pendidikan Islam lewat pemikiran yang mendalam perlu dilakukan dan menjadi
sangat penting.
C. Pendidikan Islam dan Pendidikan Prespektif Muslim
1. Pendidikan Islam adalah entitas dari berbagai pemikiran, nilai, metode, tujuan dan orientasi
yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan semua aspek
kehidupan manusia.
2. Pendidikan Islam Prespektif Muslim, di bagi menjadi dua cabang:
a. Pendidikan Muslim
Pendidikan muslim adalah sejumlah pembinaan karakter yang diorientasikan untuk orangorang Islam.Dari konsep ini maka konsep sifat pembinaan itu akan bersifat relative sesuai
dengan lokos dan tempusnya.
b. Pemikiran Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam adalah sejumlah pendapat, pemikiran, teori ahli fikih, filsafat,
intelektual muslim yang berkaitan langsung dengan masalah-maslah

dan problematika

pendidikan.
Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi, pendidikan Islam terjadi sejak Nabi
Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah di Mekkah dan beliau sendiri sebagai gurunya.
Pendidikan masa ini merupakan proto type yang terus menerus dikembangkan oleh umat
Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan
Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru kepada Allah,

sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Mudatstsir (74) ayat 1-7. Menyeru berarti
mengajak, dan mengajak berarti mendidik8[8].
Di dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah
berbahasa arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ulama dalam memberikan
pengertian tentang “pendidikan Islam” dan sekaligus diterapkan dalm konteks yang berbedabeda9[9]. Pendiidikan Islam menurut Langgulung, setidak-tidaknya tercakup dalam delapan
pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran
agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamy (pengajaran
keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al- islam
(pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di kalangan orangorang Islam), dan al-tarbiyah al-Islamiyah (pendidikan Islami)10[10].
Bagi An-Nahlawi11[11], Istilah tarbiyah lebih cocok untuk pendidikan Islam. Berbeda
halnya dengan Jalal, yang dari hasil kajiannya berkesimpulan bahwa istilah ta’lim lebih luas
jangkaunnya dan lebih umum sifatnya daripada tarbiyah. Di kalangan penulis Indonesia,
istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau
kepribadian, atau lebih mengarah pada afektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada
penguasaan ilmu pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor. Kajian
lainnya berusaha membandingkan dua istilah di atas dengan istilah ta’dib, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas, dari hasil kajiannya ditemukan bahwa istilah ta’dib
lebih tepat untuk digunakan dalam konteks pendidikan Islam. dan kurang setuju terhadap
penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim.
Secara garis besar, dapat disimpulkan pendapat beberapa tokoh Muslim tentang
pengertian pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain sering kali beliau mengatakan kepribadian
uatama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yakni kepribadian yang memiliki nilai-

8 [8] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. (Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1999), hal. 12
9 [9] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan
Agama Islam Di sekolah. (PT Rosdakarya: Bandung, 2001), hal. 36
10[10] Ibid. 36
11[11] Ibid. 37

Pendidikan

nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan
bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
2. Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan
masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik
dalam kehidupan individu maupun kolektif.
3. Menurut Burlian Shomad, pendidikan Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk
individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan sisi
pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci beliau
mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri
khas yaitu:
a. Tujuan untuk membentuk individu yang bercorak diri tertinggi menurut al-Qur’an.
b. Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam al-Qur’an,
dan pelaksanaannya di dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan
oleh Muhammad Saw.
4. Menurut Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan Islam ialah menanamkan akhlak yang mulia di
dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan
nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya
kemudian buahnya berwujud keutamaan kebaikan, dan cinta bekerja untuk kemanfaatan
tanah air12[12].
D. Acceptabilitas Pendidikan Islam Bagi Agama, Sosial dan Kepentingan Pendidikan itu
Sendiri.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
1. Bahwa pendidikan Islam tidak diperlukan, pendapat ini terungkap karena mereka memang anti
Islam (hal ini tidak akan dibahas)
2. Bahwa harus dibedakan mana yang betul-betul pendidikan Islam yang bersifat mutlak, dan
mana pula pendidikan menurut orang Islam yang bersifat relatif.
Pendidikan Islam sumbernya adalah al-Qur’an dan hadits, nilainya absolut, selalu up
to date pada setiap zaman, tempat dan komunitas, sehingga agama mewajibkan untuk
menuntutnya, selain juga akan menjadi ranah kebutuhan sosial dan lapangan pendidikan itu
sendiri. Sedangkan pendidikan menurut orang Islam akan bernilai relative dari sisi tempat,
waktu dan komunitasnya.
12[12] Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam. (CV Pustaka Setia:
Bandung, 2001), hlm: 15-16

Dalam kondisi kepanikan spiritual itu, strategi pendidikan Islam yang dikembangkan
diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis. Akibatnya munculah golongan yang
menolak segala apa yang berbau Barat, bahkan adapula yang mengharamkan pengambil
alihan ilmu dan teknologinya.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat
menyebabkan kemunduran umat Islam13[13].
Menurut Rahman, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, tujuan
pendidikan Islam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan
akhirat tersebut harus segera diubah.Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada
kehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur’an. Menurutnya,
bahwa: “Tujuan pendidikan dalam pandangan AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan
kemampuan inti manusia dengan cara yang sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan yang
diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya”.
Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera
dihilangkan.Untuk

menghilangkan

beban

psikologis

umat

Islam

tersebut,Rahman

menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis
mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi,hukum,etika,hadis ilmuilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an sebagai penilai.Sebab disiplin
ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas
kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini
diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat.
Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah.
Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah
penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum
mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi
hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik) atau menggunakannya
buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini pembuatan bom atom
masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis kemudian
dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu14[14].
E. Kontribusi Islam Terhadap Kemajuan Pendidikan

13[13] Fazlur Rahman, Islam and Modernity ; Transformation An Intellectual
Tradition, (University of Chicago Press: Chicago, 1982), hal. 161
14[14] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, TemaTema Pokok al-Qur’an, (Pustaka: Bandung, 1983), hlm: 67

Islam tidak hanya memerintahkan ummat manusia untuk belajar dan mengembangkan
dirinya, akan tetapi juga memberikan banyak kontribusi, diantaranya :
1. Merupakan petunjuk menuju jalan yang lurus.
Faktor ini mencakup segala media yang berhubungan langsung dengan segala macam
petunjuk-petunjuk, diantaranya :
a. Teladan yang baik, yang menjadi model dalam melaksanakan pendidikan yang paripurna.
b. Pemikiran-pemikiran yang memuaskan, hal ini akan menjadi referensi bagi semua ahlai
dalam menyusun, teori-teori tentang kehidupan.
2. Janji dan motivasi
Faktor ini akan member dorongan bagi semua orang untuk terus berkiprah dan
berprestasi dalam hidup
3. Ancaman
Faktor ini akan menjadi kendali bagi semua orang agar tidak menyimpang dari jalan
yang sebenarnya.
Said Ismail Ali berpendapat bahwa dasar ideal pendidkan islam ada 6 macam, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Al-qur’an
Sunnah Nabi SAW.
Kata-kata Sahabat
Kemasyarakatan Umat (Sosial)
Nilai-nilai dan adat kebiasaan masyarakat
Hasil pemikiran para pemikir Islam
a). Al-Quran
Al-Qur’an merupakan dasar pokok bagi pijakan filsafat pendidikan islam, karena di
dalamnya memuat konsep-konsep hakekat manusia, hakekat alam, hakekat Tuhan, hakekat
pengetahuan, hakekat nilai serta hakekat-hakekat yang berkaitan dengan alam raya. Isi AlQur’an memuat berbagai problem kefilsafatan misalnya filsafat pendidikan yang diajarkan
oleh Nabi Adam kepada anak-anaknya (Q.S. 2:31), filsafat kemanusiaan yang dicontohkan
oleh Nabi Nuh dengan konsep-konsep pembebasannya dari penyimpangan tugas
kemanusiaan sebagai khalifatullah (Q.S. 37:38), filsafat sain dan teknologi oleh Nabi Daud
dan Nabi Nuh, disusul filsafat budaya yang dirintis oleh Nabi Ibrahim dimana budaya itu
tidak hanya bernilai manusiawi juga memiliki nilai Ilahi dengan bangunan ka’bahnya, Nabi
Yusuf sebagai tokoh pembebasan penjajahan dan kemiskinan (Q.S. 12:25), Nabi Sulaiman
sebagai peletak batu pertama filsafat sain dan komunikasi tidak hanya pada alam transenden
(Q.S. 21:30), Nabi Isa sebagai cikal bakal pengobatan atau medis (Q.S. 27:16-18), Lukman
Hakim ketarbiyahan dan Nabi Muhammad sebagai tokoh utama pemikir Muslim sejati.

b). Sunnah Nabi SAW
Al-Sunnah merupakan pedoman operasional bagi pelaksanaan Al-Qur’an, karena
dapat dikatakan Nabi Muhammad SAW. merupakan tokoh utama pendidikan Islam dimana
ajaran-ajarannya mencakup totalitas masyarakat sehingga kehadirannya dianggap sebagai
rahmatal lilalamin (Q.S. 21:107), segala yang diberikan Nabi Muhammad merupakan
kebenaran mutlak (Q.S. 2:119), karena itu beliau merupakan figur utama dalam pendidikan
(Q.S. 33:21).
c). Kata-kata Sahabat
Kata-kata sahabat sebagai generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. mempunyai
kelebihan-kelebihan sendiri dalam ketarbiyahan. Abu Bakar berhasil dan berjasa
menghimpun Al-Qur’an sebagai dasar utama falsafah pendidikan Islam, dan Umar bin
Khattab sebagai bapak reaktor yang menginginkan perombakan tata nilai yang kurang
relevan dengan dunia nyata, disusul Utsman bin Affan sebagai pencetus sistematika karya
ilmiyah sebagai pijakan dalam sistematika karya ilmiyah di bidang pendidikan, kemudian Ali
bin Abi Tholib yang memberikan konsep-konsep kependidikan.
d). Kemasyarakatan Umat
Kemaslahatan masyarakat merupakan tujuan syariah Islam dan tidak akan keliru jika
falsafah pendidikan Islam mengacu pada nilai-nilai yang dikandungnya.
e). Nilai-nilai Adat Masyarakat
Dasar-dasar adat kebiasaan yang memunculkan nilai-nilai insane, memberi khas suatu
masyarakat yang memiliki kedudukan yang multi komplek dan dealektis yang merupakan
pengejawatan dari nilai-nilai universal manusia. Sesorang akan kehilangan martabatnya
apabila ia meninggalkan tradisi sekitarnya, karena itu nilai tidak diterima secara pasif namun
merupakan proses untuk memperoleh hakekat kemanusiaannya.
f). Hasil Pemikiran Para Pemikir Muslim
Hasil pemikiran pemikir muslim sangatlah berharga. Mereka mengembangkan
pengetahuan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan semangat menuntut ilmu.
F. Tantangan Pendidikan Islam Abad ke 21
Diantara tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh pendidikan Islam di abad 21
adalah:
1. Perang ideologi, antara ideologi orientalis, oxidentalis, kaum fundamentalis dan lainnya.
2. Perbedaan model yang mesti dihadapi, yaitu model pendidikan Islam dan model pendidikan
Barat (Sekuler).

3.

Interes pribadi, golongan, dan bahkan negara yang sangat berpengaruh terhadap tatanan
kehidupan.

4. Adanya dikhotomi ilmu yang masih akan mewarnai dunia pendidikan.
5. Perbedaan pendapat tentang epestemologi ilmu.
6.

Bahaya factor-faktor internal, diantaranya masik banyak praktisi pendidikan yang enggan
menggali teori-teori pendidikan langsung dari sumber aslinya, dengan alasan banyak syarat
dan alat yang terlebih dahulu dimiliki, ketimbang teori-teori yang dipaparkan oleh ahli-ahli
pendidikan Barat.

7. Broblematika dasar-dasar keilmuan yang akan menjadi referensi, yang banyak berbeda antara
satu institusi dengan institusi keilmuan yang lain.
8.

Tidak adanya barometer tertentu yang dapat memastikan bahwa seseorang itu ahli dalam
bidang pendidikan atau tidak, sebab setiap tokoh mempunyai latar belakang tersendiri dalam
mengekspresikan pendapatnya, juga mempunyai latar belakang waktu dan tempat yang
berbeda.

9.

Adanya dialog-dialog yang terjadi antara orang yang tidak berkapasitas dalam pendidikan
Islam, sehingga kesimpulan dialog itu tidak menghasilkan pendidikan yang islami.

10. Perbedaan zaman para ahli pendidikan, sehingga teori-teori yang dihasilkan pada zaman
terdahulu masih diperaktekkan pada zaman sekarang meskipun sudah tidak lagi up to date.
11. Motivasi yang melandasi para ahli pendidikan, ada yang semata-mata berorientasi untuk
mencapai kemajuan pendidikan Islam, tapi ada juga yang duniawi benefit oriented.
Dua tokoh modernis yang menyuarakan islamisasi ilmu dalam rangka menjawab
fenomena abad 21, yaitu Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas. Dari dua konsep yang
disampaikan dua tokoh tersebut tergambar adanya keinginan memberi warna atau nilai
agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah
menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan
gagasan dasar dan kontroversial yang memerlukan waktu lama untuk mencapai apa yang
dikehendaki dengan “sains yang Islami”15[15].
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih
berat dari masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi
dan idealisme umat manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda dengan
tuntutan hidup yang multi komplek pula. Ditambah lagi dengan beban psikologis umat Islam
dalam menghadapi Barat bekas saingan jika bukanya musuh sepanjang sejarah. Kesulitan ini
semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain, yang timbul sebagai komplek pihak
15[15] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hal. 144

yang kalah, berbeda dengan kedudakan umat islam klasik pada waktu itu umat islam adalah
pihak yang menang dan berkuasa.
Oleh karena itu, guna menghadapi himpitan-himpitan modernisasi tersebut,
pendidikan Islam membutuhkan perubahan yang signifikan. Perumusan visi dan misi
pendidikan yang baru untuk membangun serta meningkatkan mutu dan kualitas manusia dan
masyarakat muslim. Apabila tidak melakukan perubahan, pendidikan Islam akan tetap
“terbelakang” dan tidak mampu bersaing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
III. Simpulan
Dalam catatan sejarah, Islam berkontribusi besar terhadap dunia pendidikan, dengan
pencapaian gemilang perdaban yang terbangun di masa khilafah Abbasyah, yang dikenal
dengan the golden age of Islam. Namun setelah itu Islam menjadi tertinggal baik karena
faktor internal maupun faktor eksternal.
Menurut Sa’id Ismail Ali, ketertinggalan umat Islam dalam pendidikan secara internal
disebabkan oleh kegagalan terhadap pemahaman dan realisasi konsep-kensep pendidikan
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, disamping secara eksternal adanya pengaruh para pemikir
Barat.
Dalam kondisi tertinggal secara bersamaan dihadapkan pada tantangan globalisasi,
yang meliputi tiga dimensi besar: ekonomi, pilitik dan budaya, pendidikan Islam memerlukan
pembaruan yang serius dan maksimal berdasar pada falsafah al-Qur’an, sunnah nabi saw.,
kata-kata sahabat, kemasyarakatan umat (sosial), nilai-nilai dan adat kebiasaan masyarakat,
dan hasil pemikiran para pemikir Islam.