PENGARUH POSITIVISME DALAM PERKEMBANGAN docx

PENGARUH POSITIVISME DALAM PERKEMBANGAN HUKUM
DI INDONESIA

NAMA :

NIM :

-BETTY WIRANDINI

(166010100111052)

-MUHAMMAD YUSUF

(166010100111042)

-YOHANIS I. BENAFA

(166010100111028)

-BENIDIKTUS B. BEBU


(166010100111034)

-I PUTU SONIAROTAMA

(166010100111024)

-INDRA SUCAHYONO

(166010100111030)

-MUKTI STOFEL

(166010100111032)

KEMENTRIAN TEKHNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ilmu hukum merupakan hasil dari konstruksi manusia yang lahir sejak ratusan tahun
lalu sebagai produk intelektual. Hukum senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke
masa dimana Ilmu hukum merupakan bagian dari pranata untuk hidup secara tertib sosial,
oleh karena itu setiap manusia menghendaki dan membutuhkan hukum pada kehidupan
sosial yang jauh lebih luas.
Ilmu hukum yang umumnya dikenal dan dipelajari di dunia sudah dimulai
perjalanannya sejak abad pertengahan di Eropa di jaman kerajaan Romawi. Pada saat itu
orang sudah mempelajari hukum yang dibentuk oleh para kaisar. Sampai kemudian ambruk,
dengan runtuhnya kerajaan tersebut maka berhenti pula studi-studi hukum yang dilakukan,
baru sesudah empat abad kemudian studi hukum marak berjaya kembali dan orang memulai
berbicara masalah hukum Romawi. Disini hukum romawi dipelajari lagi secara teoritis,
sistematis, metodologis dengan mempelajari makna dari kata-kata kemudian Universitas
menjadi pusat fatwanya dari situlah hukum diterima sebagai produk hukum.
Sebelum ada aturan yang mengikat zaman dahulu orang dengan sederhana dapat
menduduki sebidang tanah dan kemudian mengolah tanah tidak dipersoalkan, sejak hukum
menjadi produk intelektual atau diilmiahkan serta merta menjadi persoalan yang tidak
sederhana lagi, orang tidak dapat hanya mengatakan bahwa ia telah mengolah tanah tersebut
dengan mengatakan bahwa menduduki dan tinggal puluhan tahun kemudian tidak ada

persoalan yang mengganggu, ketika tidak dapat menunjukan sertifikat kepemilikan yang
dibuat oleh negara, sertifikat salah satu simbol bahwa hukum sudah menjadi aturan yang
mengikat. Karena sudah menjadi konsep hukum tentang kepemilikan hak dan sebagainya,
hukum hanya dapat dibaca melalui kitab undang – undang.1
Positivisme hukum lahir di Negara Eropa Kontinental ketika semua orang
membutuhkan hukum dalam mengatur ketertiban masyarakat dan menganggap bahwa
kepastian hukum menjadi sangat penting untuk menciptakan produk hukum yang dapat
ditaati sehingga ada istilah dimana ada masyarakat disitu ada hukum.

1 Rahmat safaat.20016. Ilmu hukum ditengah arus perubahan.Surya Pena Gemilang, Malang.hlm 136

Dalam kajian sosiologi hukum memusatkan perhatian kepada wujud hukum sebagai
bagian dari pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat. Sosiologi hukum tidak membatasi
kajian pada kandungan normatif peraturan perundang-undangan dan doktrin yang
mendasarinya belaka. Sosiologi hukum mempelajari dan memberikan hidup sebagaimana
ada dan terwujudnya di tengah-tengah masyarakat serta tidak akan puas kalau hanya
mempelajari hukum sebagai aturan-aturan yang tertulis dalam keadaan yang abstrak di
dalam kitab undang-undang2.
Keinginan untuk menyingkirkan pemikiran abstrak menjadi kongkrit yang lahir dari
para pemikir seperti John Austin, Hans Kelsen yang kemudian juga dianut oleh Negara

Indonesia dengan dibentuknya Undang-undang Negara Republik Indonesia yang merupakan
turunan dari aturan jaman Belanda. Perbedaan pandangan tentang Positivisme itu sendiri
telah menimbulkan konflik diantara para ahli dan penegak hukum dalam menyelesaikan
persoalan hukum.
Dari latar belakang itulah maka dibutuhkan sebuah pemahaman yang komprehensif
tentang positivisme dan kritik terhadap aliran tersebut sehingga diperoleh pemahaman yang
utuh tentang positivisme dan pengaruhnya bagi perkembangan hukum di Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana sejarah Positivisme di Indonesia
12.2. Bagaimana kritik terhadap aliran Positivisme

2 Soetandio wignjosoebroto. 2002. Hukum paradigm, metode dan dinamika masalahnya,ELSAM hal 3

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Perkembangan Positivisme Di Indonesia
Positivisme hukum adalah suatu paham yang berpendapat bahwa setiap metodologi
untuk menemukan kebenaran harus memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis
sebagai suatu obyektif yang harus dipisahkan dari segala macam prakonsepsi metafisis yang
subjektif sifatnya.

Secara konsepsional dikenal dua sub aliran dalam positivieme hukum yaitu aliran
yang digagas oleh John Austin sebagai hukum yang analisis dan Aliran hukum murni milik
Hans Kelsen. Dalam konsep Positivisme hukum yang pada abad ke-19 dan di bagian
pertama abad ke-20 menguasai pemikiran hukum di Barat, dimana dalam implementasinya
terlihat jelas peranan aliran positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa hukum
bersumber dari penguasa sehingga muncul kritikan bahwa hukum diciptakan untuk
kepentingan penguasa bukan kepentingan hukum.
1) Auguste Comte (1798 – 1857)
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad
sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan
pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte,
diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s
Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi
pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad
sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya
Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.3
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery,
yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang
dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan
hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang

ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca

3 Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of Philosophy,
vol. VII, The Nineteeth Century, hlm. 141.

kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah
bacaan wajib.4
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada
1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang
diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca
oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into
the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan
pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum5.

2) Herbert Spencer (1820 – 1903)
Herbert Spencer dilahirkan di Derby Inggris, 27 April 1820. Ia tak belajar seni
Humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja
sebagai seorang insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang di pegangnya hingga tahun
1846.selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan
karya ilmiah dan politik.tahun 1848 spenser di tunjuk sebagai redaktur the economis dan

gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan karya besar pertamanya,
Social Statis (1850).
Dalam bukunya yang berjudul The Principle of Sosiologi (3 jilid,1877), Herbert
Spencer menguraikan materi sosiologi secara rinci dan sistematis. Spencer mengatakan
bahwa obyek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian diri, dan
industri. Sebagai tambahan disebutkannya sosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja,
pembagian kerja, lapisan social, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta
penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Buku tersebut menjadikan sosiologi menjadi
populer di masyarakat dan berkembang pesat pada abad 20, terutama di Perancis, Jerman, dan
Amerika.
Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan
perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk
yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa
institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan
sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat
bertahan. Dengan kata lain “Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan yang tak layak
akhirnya punah”. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan ini sering dikaitkan
4 Ibid.
5 Ibid., hlm. 141-3.


dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu teori
tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di
kalangan para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissezfaire dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali
fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas tanpa kontrol
eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta
kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski
pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus
hidup dalam tulisan-tulisan populer.
Implikasinya dalam kehidupan sehari-hari, Evolusi pada sosiologi mempunyai arti
optimis yaitu tumbuh menuju keadaan yang sempurna, kemajuan, perbaikan, kemudahan
untuk perbaikan hidupnya. Seperti kata-kata diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa,
evolusi bagi spencer adalah kemajuan dalam segala bidang yang mana menjadi motivator
bagi kita sendiri bagaimana caranya untuk bisa menjadi yang lebih baik dalam hidup kita
masing-masing.
Contohnya, Seseorang yang tidak lemah dan frustasi dalam menghadapi hidup karena
kegagalan secara terus menerus, bukan merupakan orang yang didalamnya terdapat evolusi
yaitu perubahan, setiap orang pasti akan mendapatkan sesuatu yang dia inginkan tetapi harus
melalui proses yang panjang dan berusaha serta berdoa, kalau kita ingin menjadi seseorang
yang maju, diberikan kemudahan pula.


3) Rudolf Von Jhering (1818 – 1892)
Teori Jhering merupakan gabungan antara teori bentham, Stuart Mill dan Positivisme
hukum dari John Austin. Jhering berpendapat mengenai sistem hukum suatu Negara bahwa
senantiasa terdapat asiminasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian halnya
kebudayaan antar bangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan.
Menurut Jhering tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Ia
mendefinikan kepentingan seperti halnya Bentham, yakni mengejar kesenangan dan
menghindari penderitaan, tapi kepentingan individu dijadikan sebagai tujuan social.
Kemudian dia juga menyebutkan :
a) Jhering menolak pandangan von Savigny yang berpendapat bahwa hukum
timbul dari jiwa bangsa secara spontan. Bagi Jhering, contohlah Hukum

Romawi yang dapat dikarakteristikkan sebagai suatu sistem egoism yang
berdisiplin. Di sini hukum digabung dengan egoism bangsa.
b) Karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara maka tentu saja
hukum itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan
rasional, sesuai dengan perkembangan kebutuhan.
c) Ternyata Hukum Romawi dalam perkembangannya sudah tidak menjadi
hukum nasional tetapi sudah menjadi hukum yang universal.


4) Hans Kelsen (1881 – 1973)
Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan
ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha
pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke
Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh
Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi
politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di
sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh
karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk
menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan
hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa.
Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui The Pure Theory of Law, tetapi
juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat hukum, sosiologi, teori politik dan kritik
ideologi. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam
hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya
tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional
termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi,

spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.
Kelsen menemukan bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu telah
terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi
karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain, dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh
karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk
menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai
kajian kepada hukum, sebagai satu objek yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi

prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham antireduksionisme ini bukan hanya merupakan metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen
meyakini bahwa jika hukum dipertimbangkan sebagai sebuah praktek normatif, maka
metodologi yang reduksionis semestinya harus dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak
hanya sebatas permasalahan metodologi saja.
Ajaran dari Hans Kelsen ini menimbulkan reaksi terhadap mazhab-mazhab hukum
lain yang telah memperluas batas-batas Ilmu Pengetahuan hukum. Ajarannya didasarkan pada
konsepsi Immanuel Kant, yang memisahkan secara tajam antara pengertian hukum sebagai
Sollen, dan pengertian hukum sebagai Sien. Oleh karena itu ajaran dari Hans Kelsen disebut
sebagai Neo Kantiaan.
Hans Kelsen ingin memurnikan hukum dari unsur-usnur pikiran yang filosofismetafisis, dan ingin memusatkan perhatianya pada teori hukum yang abstrak dengan maksud
untuk memperoleh Ilmu pengetahuan hukum yang murni. Ia tidak sependapat dengan definisi
hukum yang diartikan sebagai perintah. Karena itu ajarannya dianggap reaksi terhadap
mazhab-mazhab lain.
Menurut Kelsen, hukum tidak menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi
menentukan peraturan-peraturan tertentu yaitu meletakkan norma-norma bagi tindakan yang
harus dilakukan orang.
Objek ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatif yang diciptakan hukum yaitu :
sifat keharusan untuk melakukan suatu perbuatan sesuai dengan peraturan hukum. Jadi pokok
persoalan ilmu pengetahuan hukum adalah : Norma hukum yang terlepas dari pertimbanganpertimbangan semua isinya baik dari segi etika maupun sosiologis. Karena itu ajarannya
disebut dengan Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)
Dinyatakan oleh Kelsen bahwa Hukum adalah sama dengan negara. Suatu tertib
hukum menjadi suatu negara apabila tertib hukum itu sudah menyusun suatu badan-badan
atau lembaga-lembaga guna menciptakan dan mengundangkan serta melaksanakan hukum.
Dinamakan tertib hukum, apabila ditinjau dari sudut peraturan-peraturan yang abstrak.
Dinamakan negara, apabila objek diselidiki adalah badab-badan atau lembaga-lembaga yang
melaksanakan hukum, Setiap perbuatan hukum harus dapat dikembalikan pada suatu norma
yang memberi kekuatan hukum pada tindakan manusia tertentu itu.
Konstitusi menurut Kelsen kekuatan hukumnya berasal dari luar hukum. Yaitu dari
hypotese atau grundnorm yang pertama kali, maka kalau grondnorm itu telah diterima oleh
masyarakat harus ditaati. Jadi Ilmu Pengetahuan hukum menyelidiki :
1.

Tingkatan Norma-norma.

2.

Kekuatan berlakunya dari tiap norma yang bergantung dari hubungan yang

logis dengan norma yang lebih tinggi, sampai akhirnya pada suatu hypothese yang pertama.
Pandangan Kelsen tentang tata hukum sebagai suatu bangunan norma-norma yang
disusun secara hierachis disebut : Stufenbau theori. Menurut teori ini, karena ada ikatan asasasas hukum, hukum menjadi suatu sistem, ilmu hukum memenuhi syarat sebagai ilmu dengan
obyek yang bisa ditelaah secara empirik, dengan analisa yang logis rational. Yang menjadi
obyek studi adalah hukum positif.
Hans Kelsen (General Theory of Law and State), mengatakan bahwa grundnorm nya
adalah suatu sains, dan dia menyatakan dirinya sebagai positivist, padahal dengan cara dia
menerangkan tentang Grund Norm, menunjukkan bahwa dia telah berfilsafat. Kelsen
memulai teorinya dengan Grund Norm atau yang dikenal dengan hukum dasar, yang intinya
bersifat dasar-dasar hukum seperti keadilan, keseimbangan, perlindungan. Semua itu
merupakan konteks filsafat.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang
deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein)
dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan pemunculan
kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum,
yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi
alamiah. Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian
yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan
sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu.
Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya
merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan
pengandaian.
Hans Kelsen berpendapat, bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih
tinggi, dan norma yang lebih tinggi ini pun, dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan
demikian seterusnya sampai kita berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh
norma lagi, melainkan ditetapkan terlebih dahulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.
Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grund Norm atau Basic Norm
(Norma Dasar), dan Grund Norm pada dasarnya tidak berubah-rubah. Grund Norm disebut
juga sebagai “cita hukum”, seperti cita hukum bangsa Indonesia yaitu, Pancasila yang tersurat
dalam Pembukaan UUD 1945.

Untuk mengatakan bahwa hukum sebagai suatu sistem norma, maka Hans Kelsen
menghendaki agar obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis, sedangkan
sumber yang mengandung penilaian etis diletakkan di luar kajian hukum atau bersifat
tanceden terhadap hukum positif, dan oleh karenanya kajiannnya bersifat meta-yuridis.
Dengan adanya Grundnorm atau Basic Norm ini, maka Hans Kelsen mengatakan
bahwa Basic Norm`s as the source of validity and as the source of unity of legal system.
Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara
hirarkhis, dan dengan demikian ia juga merupakan suatu sistem. Grundnorm merupakan
sumber nilai bagi adanya sistem hukum, sehingga ia merupakan “bensin” yang
menggerakkan seluruh sistem hukum. Di samping itu Grundnorm, menyebabkan terjadinya
keterhubungan internal dari adanya sistem. Sedangkan terminologi “norma” itu sendiri, oleh
Hans Kelsen, diartikan sebagai the expression of the idea...that a individual ought to behave
in a certain way. Fungsi norma adalah commando, permissions, authorizations and
derogating norms.
Hukum positif hanyalah perwujudan dari adanya norma-norma dan dalam rangka
untuk menyampaikan norma-norma hukum. Hans Kelsen mengatakan...every law is norm....
Perwujudan norma nampak sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang mulai dari
norma positip tertinggi hingga perwujudan yang paling rendah yang disebut sebagai
individual norm. Teori Hans Kelsen ini, membentuk bangunan berjenjang tersebut disebut
juga stufen theory. Norma-norma yang terkandung dalam hukum positif harus dapat
ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grund Norm. Oleh karena itu,
dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum
yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi, agar keberadaan hukum sebagai
suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan
(efficaces) secara minimum Efficacy suatu norma ini dapat terwujud apabila :
I.

Ketaatan warga dipandang sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh
norma

II.

Perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh norma.

Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norma moral lain
dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will).
Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai
dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru
tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang
merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.

Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel
Kant. Kelsen juga tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah
kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat
optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka
ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada
dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus
melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan
sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.
Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif
agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan
aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana
norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada
instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.
Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya
bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu
secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma
Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali
ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu merubah
kandungan isi Norma Dasar.
Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan
skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya.
Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah
sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose atas
Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak akan
menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas bisa
benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.
Dengan demikian Kelsen mengemukakan bahwa hukum ada kaitannya bentuk
(formal), bukan isi (material). Pandangan ini mengesampingkan keadilan sebagai isi hukum
berada di luar hukum, maka hukum dapat saja tidak adil, tetapi tetaplah hukum karena di
keluarkan oleh penguasa6.
Inti dari ajaran Hans Kelsen adalah bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasiranasir yang tidak yuridis seperti etika, sosiologi, politik, sejarah, dan lain sebagainya.
6 Mukthie fadjar. 2013. teori hukum kontemporer. Setara pers, hal 11,12.

Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang menaati hukum karena merasa wajib untuk
menaatinya sebagai suatu kehendak Negara. Kenyataan yang ada dalam masyarakat bukan
menjadi wewenang ilmu hukum.
Dasar-dasar pokok teori teori kelsen:7 a) Teori hukum mempunyai tujuan untuk
mengurangi kekacauan dan meningkatkan persatuan. b) Teori hukum adalah ilmu, bukan
kehendak atau keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang seharusnya ada. c)
Ilmu hukum adalah normatif bukan alam. d) sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori
hukum tidak berurusan dengan pesoalan efektivitas norma-norma hukum. e) suatu teori
tenteng hukum adalah formal, suatu tentang cara pemgaturan dari isi yang berubah-ubah
menurut jalan atau pola spesifik. f) hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem
hukum positif tertentu adalah seper hukum yang munkin dan hukum yang ada.
Jika disandingkan dengan tersebut maka Indonesia telah menganut sistem hierarki
perundang-undangan yang Selanjutnya Hans Nawiasky sebut dengan norma tertinggi yang
oleh Kelsen sebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak
disebut

sebagai

staatsgrundnorm

melainkan

staatsfundamentalnorm

atau

norma

fundamental negara.
Prinsip positivisme hukum adalah undang-undang adalah sebagai perintah manusia
(law are commands of human being), tidak perlu ada hubungan antara hukum dan moral
atau hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada. Sistem hukum adalah sistem logis
tertutup, selalu mengedepankan cara-cara logis dari peraturan-peraturan dalam mengambil
keputusan tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijakan serta norma-norma sosial8.
Seiring dengan prinsip diatas, terdapat beberapa prinsip dasar positivisme hukum
adalah:
a. Suatu tatanan hukum Negara bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan
sosial (comte dan spencer), juga bukan karena bersumber pada jiwa bangsa (von
savigny) dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena
mendapat bentuk-bentuk positifnya oleh pemerintah yang berwenang.
b. Hukum semata-mata dipandang dalam bentuk formalnya dan lepas dari
isi/subtansinya.

7 ibid
8 Ronald H Chicote.2003. teori-teori perbandingan politik, PT Raja Grafindo Jakarta, hal 89

2.2.Kritik Terhadap Positivisme Hukum
Positivisme mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik, yang hanya
berbasis pada peraturan 9tertulis (rule bound) belaka, maka hukum tidak akan pernah mampu
untuk menangkap hakikat kebenaran, karena baik dari historis maupun filosofis yang
melahirkannya, tidak mau melihat atau mengakui hal itu, bagi paham yang mendominasi
akan tetap sempit cara berhukum nya dalam melihat fenomena hukum yang terjadi, banyak
kejadian atau pikiran yang dibuang, serta proses dan tindakan dalam hukum yang tidak
mampu dicakup dan dijelaskan demi mempertahankan teori positivistik normatif, maka
kenyataan yang tidak dapat dicakup itu menjadi data yang mereka anggap benar.
Sebagai konsep maupun doktrin apa yang selama ini diketengahkan oleh kaum legis
profesional dengan aliran positivisme nya itu bukannya bisa berlangsung begitu saja tanpa
tantangan, kiritikan terhadap ide kaum positivis-legalis ini muncul dari mulut kaum legal
yang menolak eksistensi hukum sebagai institusi yang berkerja atas dasar rasionalitas formal
kaum positivis yang pada hakikatnya cuma sebatas sebagai permainan logika sebab akibat
diranahnya yang formal semata.
Dalam paradigma filsafat secara umum positivism di jabarkan sebagai berikut :
A) Ontologi :
- Melihat hukum dalam Masyarakat sebagai Unit /entitas yang sistemik,
mekanis dan dapat diprediksi
- Filsafat Positisme hukum memandang hukum bersifat pasti
- Hukum dibangun bukan karena factor di luar hukum, melainkan
hukum itu sendiri
B) Epistimology :
- Adanya doktrin bahwa tidak ada hukum di luar hukum tertulis
- Positivisme hukum memandang setiap subjek hukum setara dan
karenanya setiap metode penyelesaian sengketa/peristiwa hukum
subjek hukum dijadikan setara.
C) Aksiology :
-

Positivisme dengan ciri khas nya bahwa tidak ada hukum di luar
Undang-undang maka jaminan kepastian hukum bagi subjek hukum
sangat di junjung tinggi. Melihat banyaknya kasus perebutan hak atas
tanah oleh Negara maka diperlukan sebuah bukti hukum otentik

9 Opcit
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013

berupa Sertifikat tanah agar apa yang menjadi haknya dapat diberikan
oleh Negara.
Berbeda hal nya dengan “Kasus nenek Minah” menurut aliran positivis adalah sebuah
perbuatan yang harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan
hukum terhadap nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena
menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum
tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan.
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan
buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara
nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif,
yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum
adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.10
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme
tersebut sebagai berikut:
I.
II.

Hukum adalah perintah
Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis,
histories dan penilaian kritis.

III.

Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang
sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial,
kebijaksanaan dan moralitas.

IV.

Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian atau pengujian

V.

Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan11.

Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran
yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber
hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.
Hukum Pidana di Indonesia masih

menganut aliran Positivisme, hal ini secara

eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana seseorang
10 Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita,
Jakarta, 2009, hlm. 6
11 Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika,
Jakarta, 1985, hlm. 111

sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas. Dari
pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undangundang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah
yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam
hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta
pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.
Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao, yang secara ekonomi
nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang
dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni
tindak pidana pencurian. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum

harus

ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus
dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang
obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan
kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan
lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat
keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna
menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun
normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.12
Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme,
mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang
disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan
yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan
kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Karena

melihat persoalan hukum ini melalui kacamata positivisme, maka harus

melihat kembali fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia dalam menjawab persoalan
ini, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran
positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir, sehingga
hukum Pidana terlepas dari Ins konsistensi hukum. Dengan kata lain, terlepas dari serba
12 Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya,
Elsam & Huma, Jakarta, 2002, hlm. 96

keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang
persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan, karena hal
tersebut bukan konsen dari hukum.
Kasus nenek Minah sontak menciderai rasa keadilan di tengah masyarakat, sebab
nenek Minah yang tak tau apa-apa tersebut harus berurusan dengan hukum dan dijatuhi
hukuman oleh hakim. Padahal apa yang diperbuat oleh nenek Minah sangat tidak berbanding
dengan sanksi yang diterimanya. Seharusnya perkara-perkara kecil seperti ini tidak sampai ke
pengadilan dan cukup diselesaikan bawah, tetapi hukum berkata lain. Substansi hukum tidak
lagi mencerminkan keadilan ditengah masyarakat, hukum sudah jauh dari nilai-nilai yang
hidup ditengah masyarakat.
Menurut Aliran Sosiologis yang dipelopori Hammaker, Eugen Ehrlich dan Max
Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah gejala
masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai
dengan

perkembangan

masyarakat.

Perkembangan

hukum

merupakan

kaca

dari

perkembangan masyarakat.
Oleh sebab itu, menurut aliran Sosiologis, hukum bukanlah norma-norma atau
peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib yang ada dalam
masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain, yang
menjelma dalam perbuatan atau perilakunya dimasyarakat. Hammaker, yang meletakkan
dasar sosiologi hukum di Negara Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan
norma-norma, bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan
menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk
‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang lain di masyarakat.
Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh oleh Eugen
Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidahkaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law). Sehingga hukum
yang positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah
terletak pada badan-badan legislated, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum,
tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri.13
13 Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999, hlm.36

Kasus nenek Minah merupakan contoh kecil masalah ketidakadilan ditengah-tengah
masyarakat. Banyak substansi hukum yang ada tidak berihak kepada kepentingan
masyarakat, hukum tidak lagi mencerminkan perkembangan masyarakat sehingga banyak
masalah-masalah hukum terkini ditengah-tengah masyarakat tidak bisa dijawab oleh hukum,
karena hukum yang berlaku sudah banyak yang usang seperti hukum warisan kolonial yang
masih bersifat positivis.
Secara idealnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum.
Dari kasus nenek Minah, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat
hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan aparat
penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam menegakkan hukum. Hukum
adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga
konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.14
Sosiologi hukum secara khusus mengkaji kaidah-kaidah posititif dalam fungsinya
yang diperlukan untuk menegakkan ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat dengan
segala keberhasilan dan kegagalannya. Kemudian Roscoe pound dalam teorinya the
sociological jurisprudence adalah suatu pemikiran dalam jurisprudence.” Sekalipun hukum
itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses proses yang dapat di
pertanggungjawabkan15.
Pemikiran sosiologi hukum lebih terfokus pada keberlakuan empirik atau factual dari
hukum. Hal ini memperlihatkan bahwa sosiologi hukum tidak secara langsung di arahkan
pada hukum sebagai sistem konseptual, melainkan pada kemasyarakatan yang didalamnya
hukum memainkan peranan. Objek sosiologi hukum pada tingkat pertama adalah kenyataan
kemasyarakatan dan pada tingkat kedua adalah kaidah hukum dengan salah satu cara
memainkan peranan dalam kenyataan kemasyarakatan itu16
Hukum merupakan suatu lembaga sosial karena merupakan perangkat norma dan
perilaku teratur yang memenuhi kebutuhan pokok manusia untuk kedamaian dalam
masyarakat. Tanpa hukum masyarakat tidak mungkin hidup teratur.
14 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan
Masyarakat,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 242
15 ibid
16 Ibid

Hukum responsif juga mengkritik bahwa hukum yang ada seringkali lepas dari realita
sosial dan cita-cita keadilan yang merupakan upaya untuk mengintegrasikan teori hukum,
filsafat politik, dan telaah sosial. Konsep ini memberikan suatu perspektif dan kriteria untuk
mendiaknosis dan menganalisis problema-problema hukum dan masyarakat dengan
penekanan khusus pada dilemma kelembagaan dan pilihan kebijakan yang kritis.
Menurut Nonet dan Selnick, ada suatu kebutuhan akan teori hukum dan teori sosial
yang mampu untuk (1) memperkuat nilai hukum dan (2) menunjukan alternatif bagi
pemaksaan dan penekanan hukum, sehingga tess hukum yang responsive memang ditujukan
untuk itu.17
Teori ini jelaslah tidak ingin memisahkan antara hukum dan realitas sosial karena
pada dasarnya hukum dan masyarakat akan saling mempengaruhi dalam rangka mencapai
tujuan hukum yang berkeadilan.
Pembelajaran hukum sekarang hendaknya dilakukan secara holistik yaitu tidak
berhenti pada peraturan yang hakekatnya hanya merupakan skema-skema mereduksi realitas
yang kaya dan kompleks itu, darah dan daging hukum seperti sosial, politik, kultur,
sejarah,ekonomi dan lain- lain perlu utuh , itulah hakekat hukum.18
Oleh karena itu kajian hukum secara normatif semestinya diarahkan pada dimensi –
dimensi normatif dalam aturan hukum, bukan hanya pada segi sah tidaknya aturan. Dengan
demikian mengarahkan pada segi normatif yang diatas kita saling bisa mengkaji sebuah
aturan dengan melihat aspek normatif yang terkait dengan nomos (keharusan alam)
kebijakan prinsip -prinsip keadilan (berikut varian-variannya) dengan agama / religi dengan
moral dengan etika dengan demokrasi pengembangan pribadi individu kepentingan
umum(rasionalisme wolff, realisme amerika dengan hak –hak dasar manusia (tradisi inggris)
dengan penciptaan tatanan masyarakat yang baik sehingga hak-hak dasar manusia terjamin.
Usaha menjamin keadilan, menjaga keamanan, tingkat evolusi kehidupan sosial ,jiwa
bangsa, hukum alam dan sebagainya.19
Menurut Lawrence friedman bahwa hukum adalah merupakan sebuah sub sistem yang
berisi tentang legal structure, legal substance, legal culture dimana terdapat saling

17 Philip Nonet dan Philip selzknick.2007”Hukum Responsif”Nusa Media Bandung.Hal 55
18 B.arif sidharta.2013 butir –butir pemikiran dalam hukum, penerbit PT. Refika Aditama, hlm 326.
19 Satjipto raharjo. teori hukum, Penerbit getta pubilsing yogyakarta.hlm.260.

keterkaitan antara satu dengan lainnya sehingga hukum tidak dapat dilepaskan dari budaya
hukum.
Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum yaitu aturan,
norma dan pola perilaku manusia meliputi perangkat perundang-undangan, memiliki
kekuatan mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum selanjutnya adalah
budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu
masyarakat. Budaya hukum juga menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia
(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.
Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan
dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh
orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan
berjalan secara efektif.
Dalam pandangan Prof.A.Mukhti Fajar, bahwa teori yang baik adalah perlu
menghargai hukum dalam artian bagian yang ia mainkan didalam masyarakat dan efeknya
pada fenomena sosial (yang untuk tujuan Undang-Undang yang di ciptakan) teori tersebut
menghargai dasar kelembagaan dari hukum dan media kelembagaan, serta akhirnya peranperan manusia untuk melaksanakannya. 20

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan dan saran
Perkembangan sistem hukum di Indonesia menganut paham positivism ini tercermin
dalam Kitab undang-undang Hukum Pidana di Pasal 1 ayat 1 bahwa tidak dapat di pidana
20 Mukti Fajar.2014.Teori -Teori Hukum Kontemporer. Setara Pres.Malang. Hal 22

seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas.
sehingga dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang
mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang
didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif,
maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban
hukumnya menurut hukum pidana.
Kritik terhadap aliran positivism ini adalah hukum hanya dipandang sebagai benda
mati yang tidak peka terhadap perkembangan jaman karena esensi dari aliran ini menjadikan
hukum terpisah dari norma yang hidup dalam masyarakat yang berisi peraturan sah
dikeluarkan oleh penguasa sehingga terjadi jurang lebar antara makna keadilan menurut
hukum dan keadilan menurut masyarakat.
Dalam teori positivistik bahwa hukum dibuat untuk memberikan kepastian hukum
dalam masyarakat tetapi mengabaikan nilai keadilan dan kemanfaatan sehingga hukum
seolah menjadi media profesi namun pada dasarnya dengan aliran ini masyarakat dapat
menjadikan hukum sebagai kerangka acuan dalam pranata sosial masyarakat.
3.2 Saran
Pada dasarnya hukum dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan
karena hukum haruslah bersumber dari norma yang hidup dari masyarakat sehingga tujuan
hukum untuk menciptakan ketertiban dan keadilan dapat terealisasikan.
Dalam rangka menghindari penyelewengan di pengadilan

maka penyelesaian

sengketa di luar pengadilan seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, dibutuhkan dalam rangka
menciptakan keselarasan hukum.

DAFTAR PUTAKA
BUKU-BUKU
-

B.arif sidharta.2013. Butir -Butir pemikiran dalam hukum, Penerbit PT. Refika
Aditama.

-

Khudsaifah Dimyanti.2004”Teorisasi Hukum Studi Tetang Perkembangan Pemikira
Hukum Di Indonesia”Muhamadyah Universiy Press. Surakarta.

-

Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita,
Jakarta, 2009

-

Mukthie fadjar.2013.Teori Hukum Kontemporer, setara pers 2013.

-

Philip Nonet dan Philip selzknick.2007”Hukum Responsif”Nusa Media Bandung.

-

Rahmat safaat.2016. Ilmu Hukum Ditengah Arus Perubahan.2016.Surya pena
gemilang.

-

Ronald H Chicote, Teori-Teori Perbandingan politik, PT Raja Grafindo Jakarta.

-

Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of
Philosophy, vol. VII, The Nineteeth Century

-

Soetandio wignjosoebroto.2002 Hukum Paradigma, Metode Dan Dinamika
Masalahnya,ELSAM

-

Sabian Usman.2009.Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum
dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

-

Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika,
Jakarta, 1985,
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999,

-

Satjipto raharjo, Teori Tukum, penerbit getta pubilsing yogyakarta.

JURNAL
-

Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013.