UPAYA INTEGRASI DIKOTOMI SISTEM PENDIDIK
Jurnal At-Tajdid
UPAYA INTEGRASI DIKOTOMI
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
(Telaah Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan
dalam Transformasi IAIN Menuju UIN)
Umi Hanifah *
Abstract: his writing aims to examine the dichotomy phenomenon
of Islamic education system and perceptions in inding solution in reconstructing Islamic education system to be integral and holistic. And
ind new paradigm of Islamic education system which has guarantee
for better future and relevant with its character of islam. his study
conducted by reviewing intensively the essence of Islamic education
and the result of research relating with islamization of knowledge and
its operational form in facing the problem of the dichotomy of Islamic
education system. From the investigation formulated that concept like
paradigm of islamization of social knowledge has left over many complicated problem that can inhibit social knowledge establishment. One
of the problems is the quantity of teachers, especially in State Islamic
Institute (IAIN) who have enough knowledge about Islam. But their
knowledge of the discipline of applied science is totally less. Because
of that, islamization of knowledge through the transformation from
State Islamic institute (IAIN) to State Islamic University (UIN) considered as the efort to integrate the variety of knowledge and eliminate the dichotomy between general science and religious science also
to implement Islamic doctrine professionally in social life.
Keywords: Dichotomy, Islamic Education System, Islamization of
knowledge, Transformation from IAIN to UIN.
*
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
19
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
Pendahuluan
Ide tentang integrasi keilmuan Islam di kalangan para pemikir pendidikan Islam di Indonesia selama ini dipandang masih berserakan dan
belum dirumuskan dalam suatu tipologi pemikiran yang khas, terstruktur, dan sistematis. Itulah sebabnya berbagai gagasan integrasi keilmuan,
termasuk juga kristalisasinya dalam bentuk transformasi IAIN/STAIN
menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tipologi atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam, baik di Indonesia.
Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi
oleh adanya dualisme atau dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum
di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain. Dua sistem pendidikan
tersebut sangat dikotomik. Dikatakan demikian, karena kedua-duanya
mempunyai alur yang sangat berjauhan. Sistem yang pertama disebut
sistem pendidikan yang tradisional. Sistem ini cenderung melahirkan golongan Muslim tradisional. Sedangkan sistem yang kedua disebut sistem
pendidikan sekuler, yakni sistem pendidikan yang cenderung melahirkan golongan Muslim modern yang kebarat-baratan.1 Padahal hakekatnya, dalam ajaran agama Islam tidak mengenal dan mengakui adanya
dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama.2 Tentu saja
apabila iklim seperti ini dibiarkan, tidak akan mampu mendukung tata
kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami.
Jika kelemahan dalam bidang pendidikan tersebut dibiarkan terusmenerus, maka umat Islam akan senantiasa terbelakang dan menjadi
bangsa kedua. Masyarakat Muslim hanya menjadi perpanjangan tangan
dari kepentingan-kepentingan peradaban Barat.3 Padahal sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa, umat Islam pernah menciptakan budaya gemilang dan bahkan mecapai supremasi kejayaannya yang sering
diistilahkan dengan the golden age of science in Islam antara tahun 650
M-1250 M.4 Kemajuan teknologi yang dicapai oleh orang-orang Barat
sesungguhnya digali dari pengetahuan yang dibangun oleh orang-orang
Islam ketika umat Islam konsern dengan ajaran Islam yang tidak memisahkan antara sains agama dan sains rasional.5 Bila kita menengok sejarah kita, ternyata Islamlah sebagai agama yang menjadikan cikal bakal
20
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
ilmu pengetahuan modern. Pernyataan tersebut dapat dibenarkan karena Islam mempunyai kitab ilmiah, di dalamnya termuat fenomena-fenomena kemanusiaan dan kealaman yang terjadi di alam raya.6
Sedangkan dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikotomi institusi pendidikan -antara pendidikan umum dan pendidikan
agama- telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern7. Dikotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas
terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik
yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan,
kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi
umat pada umumnya.
Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan untuk melatih
anak didiknya dengan sedemikian rupa, sehingga dalam sikap hidup,
tindakan dan pendekatannya terhadap segala jenis pengetahuan banyak
dipengaruhi nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etik Islam.8
Mentalnya dilatih sehingga keinginan mendapatkan pengetahuan bukan
semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektualnya saja, atau
hanya untuk memperoleh keuntungan material semata. Melainkan untuk mengembangkan dirinya menjadi makhluk rasional yang berbudi
luhur serta melahirkan kesejahteraan spiritual, mental, isik bagi keluarga, bangsa, dan seluruh umat manusia.
Selain itu, Seseorang yang telah menempuh pendidikan Islam, akan
percaya bahwa manusia bukan hanya seorang makhluk ciptaan Tuhan
di bumi ini saja, melainkan juga sebagai sebagai makhluk spiritual yang
dikaruniai kekuatan untuk mengontrol dan mengatur alam raya ini atas
ijin Tuhan. Bakan dia juga sebagai makhluk yang kehidupannya berlangsung tidak hanya di dunia belaka, tetapi juga berlanjut hingga kehidupan akhirat.9 Sedangkan, jenis pendidikan yang dapat membuat manusia
seperti itu tentu saja tidak mungkin bila hanya bersifat keagamaan belaka, dan tidak mungkin bila hanya bersifat keduniaan saja.
Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan
pendidikan tersebut, di kalangan masyarakat Islam berkembang suatu
kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas dan
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
21
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam, terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu
yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Cara
pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu
secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang
sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam hanya
memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang
akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum”
dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati
yang diidolakan orang tua. Kontras dengan cara pandang di atas adalah
pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih
cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal dipoeroleh
setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam
cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh
karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin.
Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan
itu, kemudian berimplikasi kepada respon para pengambil kebijakan
pendidikan (baca: Pemerintah) yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama, yang
dalam implementasinya seringkali menimbulkan perlakukan diskriminatif. Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembagalembaga pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan
di sisi lain, adalah pada kebijakan dua kementrian/departeman, di mana
Departemen Pendidikan Nasional mengurusi lembaga-lembaga pendidikan umum dengan berbagai fasilitas dan dana yang relatif “melimpah”, sementara Departemen Agama mengelola lembaga-lembaga
pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang “amat terbatas”. Keterbatasan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang dimiliki
oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama10
22
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di
banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali menyebabkan
mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional.
Adapun dampak lain yang tidak kalah seriusnya dari dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-ilmu di
sisi lain adalah terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam. Kendati dikotomi keilmuan Islam telah terjadi semenjak beberapa abad yang lampau,
namun dampaknya terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam dirasakan semakin serius pada masa-masa kemudian11. Salah satu kerangka
keilmuan Islam yang kurang “lazim” bila dibandingkan dengan kerangka ilsafat keilmuan “sekuler” adalah berkembangnya pemikiran yang
mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara
ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah. Di kalangan umat Islam
berkembang pemikiran bahwa wahyu adalah sumber utama ilmu sembari mendiskriminasikan fungsi dan peran rasio sebagai sumber ilmu.
Di kalangan umat Islam juga berkembang suatu kesadaran untuk menjadikan ayat-ayat qauliyah sebagai objek kajian pokok, tetapi mengabaikan ayat-ayat kauniyah yang justru menyimpan begitu banyak misteri
dan mengandung khazanah keilmuan yang kaya.12
Menyadari bahwa dampak dualisme atau dikotomi keilmuan Islam
telah begitu besar, para pemikir Muslim mulai menggagas konsep integrasi keilmuan Islam, yang mencoba membangun suatu keterpaduan
kerangka keilmuan Islam, dan berusaha menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di pihak lain.
Dalam hal ini, sejumlah pemikir Islam berupaya untuk mengajukan
metode pengetahuan yang bertumpu pada ajaran Islam dengan mempelopori bangkitnya gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization
of Knowledge).13
Di antaranya adalah Isma’il Raji al-Faruqi, Sayyed Hossein Nasr dan
Syed Muhammad Naquib al-Attas. Gerakan yang dihembuskan oleh para
pemikir (pakar) Islam ini terus berkembang dan mendapat dukungan
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
23
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
dari para ilmuan Muslim yang memiliki keahlian sesuai dengan bidang
yang ditekuninya. Upaya ini dilatarbelangi oleh semangat mengembalikan ilmu pengetahuan dalam pangkuan Islam dan kaum Muslimin.
Al-Faruqi adalah salah satu penggagas dan pencetus ide Islamisasi
ilmu pengetahuan. Dia secara tegas telah mengartikulasikan idenya
tersebut dan memformulasikan secara sistematis dalam bukunya “he
Islamization of Knowledge”. Al-Faruqi dikenal sebagai sarjana yang mampu menggabungkan antara pemikiran dengan aksinya. Sehingga dia tidak
sekedar mengusulkan atau mencetuskan saja gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan, tetapi juga sekaligus mengajak dan menganjurkan kepada
umat untuk melakukan “gerakan” Islamisasi ilmu itu sendiri yang kini telah menyebar ke hampir seluruh dunia Islam.14 Dewasa ini bahkan telah
banyak universitas-universitas Islam maupun sekolah-sekolah yang kemunculannya diilhami oleh gerakan tersebut serta menjadikannya sebagai target yang ingin ditempuh.15 Bahkan dewasa ini pembentukan UIN
merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini
dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi
pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga
berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahkan.
Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN,
memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis
pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama
dan ilmu pengetahuan muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu
sosial di IAIN/UIN.
Demikianlah bebarapa latar belakang persoalan yang mendorong
penulis untuk mengangkat persoalan dikotomi sistem pendidikan, terutama di Indonesia yang sesungguhnya adalah persoalan klasik tetapi
masih aktual dan menajam hingga saat ini.
24
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
Pengertian dikotoMi SiSteM Pendidikan iSlaM
Secara etimologi, “dikotomi” berasal dari bahasa Inggris “dichoto
my” yang berarti pembagian dalam dua bagian, pembelahan dua, bercabang dalam dua bagian.16 Dalam bahasa Indonesia, “dikotomi” berarti
pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.17 Secara termi
nologi, “dikotomi” adalah pemisahan antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yang
lain, seperti dikotomi ulama-intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri manusia Muslim itu sendiri
(split personality).18 Sementara itu menurut al-Faruqi, “dikotomi” adalah
dualisme relegius dan kultural.19
Bermula dari pemahaman dikotomi menurut dua aspek di atas20,
maka dikotomi sistem pendidikan Islam adalah dualisme sistem
pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum yang
memisahkan kesadaran dien dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini bukan
hanya terjadi pada dataran pemilahan, melainkan masuk dalam wilayah
pemisahan. Kita kenal adanya sistem pendidikan tradisional dan sistem
pendidikan modern atau sistem pendidikan Islam yang tradisionaleks
klusif (parsial) atau sistem pendidikan yang sekularistik, rasionalistikem
piristik, intuitif dan materialistik. Kondisi seperti ini tidak mendukung
terciptanya kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami
atau menampilkan Islam secara kafah.
Sebenarnya, persoalan dikotomi ini adalah persoalan klasik, tetapi
selalu hangat untuk dipersoalkan dan masalahnya adalah pemisahan
antara ilmu dan agama.21
faktor-faktor Penyebab Munculnya dikotomi Sistem Pendidikan
islam
Secara umum dikotomi sistem pendidikan di dunia Muslim disebabkan oleh beberapa faktor yakni:
1.
Stagnasi pemikiran Islam
Stagnasi yang melanda kesarjanaan Muslim banyak terjadi sejak
abad XVI hingga abad XVII M. Masyarakat Muslim saat itu cenderung
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
25
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
hanya mendongak ke atas, melihat gemerlap kejayaan abad pertengahan,
sehingga lupa kenyataan yang tengah terjadi di lapangan. Maka sarjana
Barat mengatakan, rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangantantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan tersebut ditanggapi secara positif dan lebih arif, dunia Muslim
dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru itu, kemudian memberinya arah baru.22
2.
Penjajahan Barat atas dunia muslim
Mayoritas penjajahan Barat atas dunia muslim menurut para sejarawan, berlangsung sejak abad XVIII hingga abad XIX M.23 Pada saat itu
dunia muslim benar-benar tidak berdaya di bawah kekuasaan imperialisme Barat.
Dalam kondisi seperti itu tentu tidaklah mudah dunia muslim
menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat. Karenanya pendidikan
budaya Barat mendominasi budaya “tradisional” setempat yang dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat
telah menggantikan ilmu-ilmu aqliyah muslim dan derajat ilmu naqli
yah. Ilmu “pengganti” Barat itulah yang kemudian didominasikan dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah di
dunia muslim.
Dengan demikian, integrasi kedua ilmu pengetahuan tidak diupayakan apalagi dipertahankan. Ini sebagai dampak mengalirnya gaya
pemikiran sarjana Barat yang memang berusaha memisahkan antara
urusan ilmu dengan urusan agama. Bagi mereka, kajian keilmuan harus dipisahkan dari kajian keagamaan. Dan agaknya ini “meracuni” para
penggemar kajian para sarjana Barat. Sehingga di dunia muslim juga
berkembang hal yang sama, yakni kajian ilmu dan teknologi harus terpisah dari kajian agama. Pendekatan keilmuan seperti ini, tepatnya menjelang akhir abad XIX M mulai mempengaruhi cabang ilmu lain terutama
ilmu yang menyangkut masyarakat, seperti, ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan politik.24
26
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
3.
Faktor lain
Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya dikotomi
sistem pendidikan di dunia Muslim adalah diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya.25
Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut berkeyakinan, kemajuanlah yang penting bukan agama. Oleh karenanya, kajian agama dibatasi bidangnya, Agama hanya membicarakan hubungan individu dengan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama.
Pendidikan Barat modern yang nota-bene menempatkan tekanan yang berlebihan kepada akal rasional tentu saja menganggap sepele
nilai spiritual dan lebih besifat antroposentris ketimbang teosentris. Dan
ternyata kondisi seperti inilah yang banyak merembes ke dunia Islam
(negara muslim).26 Hal itu dikarenakan banyaknya para pemikir Muslim
yang dibesarkan, dididik, dicuci otaknya di dunia Barat. Ketika mereka
kembali ke negaranya, pemikiran dan idenya bertentangan dengan tradisi masyarakatnya.
Sebagai konsekuensi logis, pendidikan Islam di negeri-negeri muslim telah diungguli oleh sistem yang dipinjam dari Barat. Mengapa?
Karena ide-ide Barat dipinjam dan diterapkan begitu saja, tanpa ada
upaya mengadaptasi. Sehingga yang ada bukan harmonisasi, melainkan ekspansi. Pendidikan Islam yang mempunyai ciri khas ke-Islaman
lenyap, dan yang ada pendidikan Islam berciri khas Barat. Hal itu dapat
dilihat, buku-buku teks dan metode yang dikembangkan tidak berusaha
meneguhkan keimanan dan keIslaman para siswa, tetapi malah membuatnya ragu-ragu terhadap agamanya sendiri.
Menyikapi hal tersebut muncul dua kubu dikalang cerdik pandai.
Kubu pertama menerima gagasan dari Barat, karena dipandang penting
bagi kemajuan umat Islam. Sikap reseptif kelompok pertama ini agaknya
berlebihan, sehingga yang muncul bukan harmonisasi antara ide Islam
dan ide Barat. Melainkan ide Barat diterima untuk menggantikan ide
Islam. Sehingga sistem pendidikan Islam berubah wajah menjadi sekuler. Sementara kubu kedua hanya mau merespon konsep-konsep spiritual saja. Tantangan-tantangan agama yang berasal dari konsep-konsep
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
27
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
sekuler mereka tinggalkan. Kelompok ini memunculkan sistem pendidikan Islam yang sangat berbeda dengan kelompok pertama, yakni
sistem pendidikan Islam sentris.
uPaya-uPaya untuk Menghilangkan dikotoMi SiSteM Pendidikan iSlaM Melalui iSlaMiSaSi ilMu Pengetahuan dalaM
tranSforMaSi iain Menuju uin
Disadari atau tidak, persoalan dikotomi sistem pendidikan di dunia
muslim itu masih aktual dibicarakan. Hal itu bisa dilihat di kalangan pakar pendidikan muslim, persoalan tersebut sering menjadi bahan diskusi cukup serius. Mengapa? karena dualisme sistem pendidikan yang
seharusnya tidak boleh ada, malah seolah telah menjadi “trend” pendidikan bagi masyarakat kita. Masyarakat muslim sendiri seolah mengiyakan
dan menganggap bahwa model pendidikan dikotomi itulah yang sesuai
dengan jaman.
Secara operasionalnya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang
terjadi selama ini adalah merupakan Islamic education for the moeslems,
yaitu pendidikan Islam yang diberlakukan adalah pendidikan agama
Islam yang pelaksanaannya menyesuaikan dengan pendidikan modern,
dan bukan Islamic education for Islamic education, yaitu pendidikan Islam yang benar-benar dijiwai, dilandasi dan dikembangkan berdasarkan
nilai-nilai Islam.27
Kondisi tidak kondusif seperti ini akhirnya mengundang para pakar muslim dari berbagai penjuru dunia. Tujuannya untuk memecahkan dan mencari jalan terbaik guna membangun kembali kebudayaan
dan peradaban muslim yang pernah jaya di jaman klasik. Niat keras
para pakar muslim tersebut ternyata benar-benar diwujudkan. Hal tersebut, dibuktikan dengan diadakannya berbagai pertemuan tingkat internasional (termasuk diadakannya sebuah konferensi internasional
pendidikan muslim di Makkah pada tahun 1997 M).28 Dari pertemuan
itulah dihasilkan gagasan-gagasan baru, termasuk Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai upaya integrasi dikotomi sistem pendidikan yang masih
ditindak lanjuti oleh para pakar muslim hingga sekarang. Di antaranya
adalah, perubahan IAIN menuju UIN.
28
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
Perubahan IAIN menuju UIN merupakan tanda sebuah proses kesadaran yang lebih maju. Selama ini IAIN di anggap perguruan tinggi
yang memproduksi guru-guru agama baru, pengganti imam masjid,
takmir, dan pengisi acara pengajian bahkan modin. Hal ini dikarenakan banyaknya alumni IAIN yang tidak bisa berkembang karena ijazah
yang di hasilkan tidak memiliki standar yang diminta oleh pangsa pasar.
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri adalah keinginan di setiap kelulusan
agar mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan layak.
Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan
beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum
dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada
saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN
menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang
lama dan melelahkan dimulai dari adanya Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA) dari tahun 1957-1960.
Kemudian pada tahun 1960-1963 berubah menjadi salah satu bagian
dari fakultas di IAIN Yogyakarta. Akhirnya IAIN Syarif Hidayatullah
(yang dimulai tahun 1963) berubah menjadi UIN dengan adanya Keppres
No. 31 tahun 2002. Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan
perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi
umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif
paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN. Ilmu sosial yang selama ini
terlanjur dikembangkan dengan asumsi kuat terpisahnya wilayah agama
dan ilmu (diferensiasi), tentu tidak dapat menjawab kebutuhan kita atas
paradigma keilmuan yang integratif. Di sisi lain, gagasan semacam paradigma islamisasi ilmu sosial juga masih menyisakan banyak persoalan pelik yang justru dapat menghambat perkembangan ilmu sosial. Di antara
masalah tersebut adalah banyaknya tenaga pengajar terutama dari IAIN
yang mempunyai pengetahuan cukup tentang Islam, tetapi pengetahuan
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
29
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
mereka akan disiplin-disiplin ilmu terapan kurang sama sekali.29 Karena
itu kiranya dibutuhkan paradigma lain yang lebih menjanjikan untuk
mengatasi persoalan ini.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial yang begitu pesat, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
kesadaran manusia tetang fenomena agama. Agama untuk era sekarang
tidak lagi dapat didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata. Tetapi lebih dari itu. Pergeseran paradigma
pemahaman agama mengarah pada keterbukaan dan transparan dalam
pergaulan di dunia.
Dengan demikian, transformasi IAIN menuju UIN bisa dikatakan sebagai lambang perubahan dalam sejarah yang sangat dipengaruhi
oleh budaya, agama, nilai dan struktur sosial (Historis), untuk menjadikan ilmu agama sebagai media kritis dalam menpertanyakan hakikat
“agama” sekaligus menjawab tantangan zaman. Sehingga transformasi
IAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tipologi
atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam.
PenutuP
Islamisasi ilmu pengetahuan melalui transformasi IAIN menuju UIN
adalah sebuah evaluasi atas kekalahan kita terhadap Barat. Transformasi
ini merupakan bagian dari upaya mengintegrasikan dikotomi sistem
pendidikan Islam. Selanjutnya, pembentukan UIN diharapkan mampu
mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, dengan
mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam
kehidupan sosial. [ ]
endnoteS
1
2
30
Ikhrom, “Dikotomi Sistem Pendidikan Islam”, dalam Paradigma Pendidikan
Islam, ed. Ismail SM, et. al., (Semarang: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001), hlm. 81.
Karena pada hakekatnya dikotomi itu bertentangan dengan Islam yang fundamental visinya adalah tauhid, yang tidak mengenal adanya pemisahan antara
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
3
4
5
6
7
pendidikan agama dan pendidikan umum, keduanya merupakan kesatuan
(tauhid) pendidikan Islam, yaitu penguasaan ilmu dunia dan tujuan akhirat.
Lihat Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam ( Jakarta: Logos,
1999), hlm.89.
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains
Islam, ter. A.E. Priyono (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), hlm. vi.
Masa yang dikenal dengan the golden age of science in Islam dapat tercapai karena adanya penerapan konsep keterpaduan antara lapangan berpikir empirik
dengan lapangan idiil normatif. Lebih jelasnya lihat Hamid Hasan Bilgrami
dan Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam (Terj.), Alih Bahasa Mahnun
Husain, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1989), hlm. 5-58. Dalam konteks sejarah,
puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada era kejayaan masyarakat Muslim
terjadi pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah. Kemajuan itu secara nyata terimplementasikan dalam kehidupan riil masyarakat yang ditandai dengan
tingginya peradaban, tertatanya kehidupan sosial dan pesatnya arus perputaran ekonomi. Lihat R.M. Savory, Introduction to Islamic Civilization (New
York: Cambridge University Press, 1976), hlm. 20.
Dewasa ini dunia mengakui dan terus terang menyatakan berhutang budi kepada para ilmuwan Muslim masa lampau. Utang ilmu pengetahuan modern
kepada ilmu pengetahuan Islam (al-Quran) tidak pernah ditagih oleh ummat Islam, sehingga orang-orang pandai di Eropa sekarang malu dan mengakui bahwa kehidupan Eropa yang sebenarnya dibelit oleh ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam, sedangkan untuk melepaskan diri tidaklah mungkin
karena mereka sendiri telah mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sebagai miliknya sendiri. Di dalam keterlenaan mereka, orangorang non Muslim telah mengambil warisan-warisan dari ilmuwan-ilmuwan
Muslim, mengintegrasikannya dalam pandangan mereka (world view mereka),
memperkembangkan disiplin-disiplin tersebut, menambahi disiplin-disiplin
tersebut dengan sumbangan-sumbangan mereka sendiri, dan memanfaatkan
pengetahuan baru itu untuk kepentingan mereka. C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam, ter. Hasan Basari ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hlm. 26-33. LIhat C.A. Qadir, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya
( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 2-3. Lihat juga Omar Amin
Hoesin, Kultur Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 247. Bandingkan
dengan Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (Terj.), diterjemahkan
oleh Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 34.
Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern ( Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 375.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ( Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1960), hlm. 237.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
31
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
8
9
10
11
32
Ikhrom, “Dikotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Paradigma Pendidikan
Islam, hlm. 79.
Ibid, hlm. 80.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2004, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar
Rp. 21.585,1 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp.
6.690,5 milyar; berbanding 76,3% : 23,7%. Untuk Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) Tahun 2005, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 26.991,8 milyar, sedangkan
Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 7.017,0 milyar; berbanding 79,4% :
20,6%. Dan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun
2006, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI
sebesar Rp. 36.755,9 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar
Rp. 9.720,9 milyar; berbanding 79,1% : 21,9%. Lihat, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran 2006, Depkeu
RI, Jakarta, 2006, hlm. 8. Bila besaran anggaran dan prosentase tersebut dihubungkan dengan cakupan kerja kedua departemen tersebut, maka cakupan
kerja Departemen Agama jauh lebih luas, dan tidak hanya mencakup bidang
pendidikan, melainkan juga bidang-bidang agama yang lebih luas.
Imam Al-Ghazali, misalnya membagi ilmu menjadi dua, yaitu: Pertama, ilmu
pengetahuan yang berhubungan fardhu ‘ain. Menurut Imam Al-Ghazali:
“Ilmu tentang cara awal perbuatan yang wajib. Jika orang yang telah mengetahui ilmu yang wajib dan waktu yang wajibnya, maka sesungguhnya ia telah mengetahui ilmu fardhu ‘ain. Yang dimaksud: “Al-Amal” di sini meliputi
tiga amal perbuatan yaitu: I’tiqad, Al-Fi’li dan Al-Tark. Jadi ilmu pengetahuan
baik yang berupa i’tiqad, Al-Fi’li maupun Al-Tark yang diwajibkan menurut
syari’at bagi setiap individu muslim dan sesuai pula waktu diwajibkannya.Yang
termasuk ilmu yang di hukum fardhu ‘ain dalam mencarinya itu ialah segala
macam ilmu pengetahuan yang dengannya dapat digunakan untuk bertauhid
(pengabdian, peribadatan) kepada Allah secara benar, untuk mengetahui eksistensi Allah, status-Nya, serta sifat-sifat-Nya, juga ilmu pengetahuan yang
dengannya bagaimana mengetahui cara beribadah sebenar-benarnya lagi pula
apa-apa yang diharapkan bermuamalah (bermasyarakat) lagi pula apa-apa
yang dihalalkan. Kedua, ilmu pengetahuan fardhu kifâyah. Adapun ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah ialah setiap ilmu pengetahuan manakala
suatu masyarakat tidak ada orang lain yang mengembangkan ilmu-ilmu itu,
sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan dan kekacauan-kekacauan dalam
kehidupan Al-Ghazali menyebutkan: “....bidang-bidang ilmu pengetahuan
yang termasuk fardhu kifayah ialah, ilmu kedokteran, berhitung, pertanian,
pertenunan, perindustrian, keterampilan menjahit, politik dsb. Imam AlGhazali, Ihya’u Ulum al-Dien, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 19
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Quran, Cet. 2 (Bandung: Mizan,
1989), hlm. 78-82.
Gerakan ini dimaksudkan sebagai jawaban positif tehadap krisis pendidikan
yang sudah terlanjur dualistik, dengan menyelenggarakan seminar internasional he First International Conference of Islamic hought and Islamization of
Knowledge (1982) di Islamabad, yang dimotori oleh he International Institute
of Islamic hought (IIIT) yang dipimpin oleh Isma’il Raji al-Faruqi.
Al-Faruqi tidak hanya manusia pemikir (man of ideas), tetapi ia juga cendikiawan yang menuangkan langsung gagasannya dalam tindakan nyata (man of
action). Lihat lagi Ahmed, Discovering Islam, hlm. 207.
Yasein Mohamed, “Islamization: A Revivalist Response to Modernity”, dalam
Muslim Education Quarterly, Vol. XLIII, No. 1, hlm. 22.
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 180.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 205.
Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di
Indonesia”, dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita
dan Fakta, hlm. 104.
al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, hlm. 37.
Yakni dilihat dari makna Etimologi dan Terminologi.
Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah pendidikan Agama Islam di
Indonesia”, dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islam., hlm. 104.
Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran Islam (Terj.), diterjemahkan
Oleh Rifyal Ka’bah ( Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 50.
Namun, penjajahan atas bangsa Muslim Melayu (termasuk Indonesia) terjadi
sejak abad XVI sampai abad XX. (pen). Pada abad XVI, Belanda, Inggris,
Denmark dan Prancis datang ke Asia Tenggara. Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam ( Jakarta: Grafindo Persada, 1998), hlm. 174-177.
Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hlm. 33.
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Terj.), diterjemahkan oleh Rahma Astuti (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 75.
Parameter untuk menyebut negara Muslim adalah dilihat dari mayoritas penduduknya Muslim. Seperti, negara Mesir, sekalipun banyak penduduk yang
beragama selain Islam, namun mayoritas dari jumlah penduduknya adalah
Muslim. Oleh karenanya, negara Mesir termasuk negara Muslim. Ukuran
seperti ini berlaku bagi sebutan negara Muslim lainnya.
Noeng Muhajir, “Pendidikan Islami untuk Masa Depan Kemanusiaan”, dalam
Lektur Seri IV (Cirebon: IAIN SGD, 1996), hlm. 30.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
33
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
28
29
Tepatnya sejak tahun 1977 M telah empat kali dilaksanakan Konferensi
Pendidikan Muslim Sedunia. Inti pertemuan tersebut membahas persoalanpersoalan pendidikan di negara Muslim se-dunia dan Islamisasi ilmu Pengetahuan. Lihat Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hlm. 105.
Jurnalis Uddin, “Problems of Islamization of University Curriculum in Indonesia”, Muslim Education Quarterly, Vol.10. No. 3. hlm.6
daftar PuStaka
Abu Sulaiman, Abdul Hamid, Krisis Pemikiran Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Rifyal Ka’bah. Jakarta: Media Dakwah, 1994.
Al- Ghazali, Imam, Ihya` ‘Ulum adDien, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Islamisasi Pengetahuan (Terj.), diterjemahkan
oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1995.
Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam
(Terj.), diterjemahkan oleh Mahnun Husain, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989.
Bucaille, Maurice, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun
Anggaran 2006, Jakarta, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indo
nesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Echols, John M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut AlQuran, Cet. 2, Bandung:
Mizan,1989.
Hoesin, Omar Amin, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Ismail SM, et. al, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar
dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001.
Lektur Seri IV, Cirebon: IAIN SGD, 1996.
Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Muslim Education Quarterly, Vol. XLIII, No. 1 dan Vol. X, No. 3.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Hasan Basari, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
34
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
__________, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995.
Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual: Merumuskan ParameterParameter
Sains Islam (Terj.), diterjemahkan oleh A.E. Priyono, Surabaya:
Risalah Gusti, 1998.
Savory, R.M, Introduction to Islamic Civilization, New York: Cambridge
University Press, 1976.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Graindo Persada, 1998.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Muhammadiyah, 1960.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
35
UPAYA INTEGRASI DIKOTOMI
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
(Telaah Terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan
dalam Transformasi IAIN Menuju UIN)
Umi Hanifah *
Abstract: his writing aims to examine the dichotomy phenomenon
of Islamic education system and perceptions in inding solution in reconstructing Islamic education system to be integral and holistic. And
ind new paradigm of Islamic education system which has guarantee
for better future and relevant with its character of islam. his study
conducted by reviewing intensively the essence of Islamic education
and the result of research relating with islamization of knowledge and
its operational form in facing the problem of the dichotomy of Islamic
education system. From the investigation formulated that concept like
paradigm of islamization of social knowledge has left over many complicated problem that can inhibit social knowledge establishment. One
of the problems is the quantity of teachers, especially in State Islamic
Institute (IAIN) who have enough knowledge about Islam. But their
knowledge of the discipline of applied science is totally less. Because
of that, islamization of knowledge through the transformation from
State Islamic institute (IAIN) to State Islamic University (UIN) considered as the efort to integrate the variety of knowledge and eliminate the dichotomy between general science and religious science also
to implement Islamic doctrine professionally in social life.
Keywords: Dichotomy, Islamic Education System, Islamization of
knowledge, Transformation from IAIN to UIN.
*
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
19
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
Pendahuluan
Ide tentang integrasi keilmuan Islam di kalangan para pemikir pendidikan Islam di Indonesia selama ini dipandang masih berserakan dan
belum dirumuskan dalam suatu tipologi pemikiran yang khas, terstruktur, dan sistematis. Itulah sebabnya berbagai gagasan integrasi keilmuan,
termasuk juga kristalisasinya dalam bentuk transformasi IAIN/STAIN
menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tipologi atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam, baik di Indonesia.
Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi
oleh adanya dualisme atau dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum
di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain. Dua sistem pendidikan
tersebut sangat dikotomik. Dikatakan demikian, karena kedua-duanya
mempunyai alur yang sangat berjauhan. Sistem yang pertama disebut
sistem pendidikan yang tradisional. Sistem ini cenderung melahirkan golongan Muslim tradisional. Sedangkan sistem yang kedua disebut sistem
pendidikan sekuler, yakni sistem pendidikan yang cenderung melahirkan golongan Muslim modern yang kebarat-baratan.1 Padahal hakekatnya, dalam ajaran agama Islam tidak mengenal dan mengakui adanya
dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama.2 Tentu saja
apabila iklim seperti ini dibiarkan, tidak akan mampu mendukung tata
kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami.
Jika kelemahan dalam bidang pendidikan tersebut dibiarkan terusmenerus, maka umat Islam akan senantiasa terbelakang dan menjadi
bangsa kedua. Masyarakat Muslim hanya menjadi perpanjangan tangan
dari kepentingan-kepentingan peradaban Barat.3 Padahal sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa, umat Islam pernah menciptakan budaya gemilang dan bahkan mecapai supremasi kejayaannya yang sering
diistilahkan dengan the golden age of science in Islam antara tahun 650
M-1250 M.4 Kemajuan teknologi yang dicapai oleh orang-orang Barat
sesungguhnya digali dari pengetahuan yang dibangun oleh orang-orang
Islam ketika umat Islam konsern dengan ajaran Islam yang tidak memisahkan antara sains agama dan sains rasional.5 Bila kita menengok sejarah kita, ternyata Islamlah sebagai agama yang menjadikan cikal bakal
20
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
ilmu pengetahuan modern. Pernyataan tersebut dapat dibenarkan karena Islam mempunyai kitab ilmiah, di dalamnya termuat fenomena-fenomena kemanusiaan dan kealaman yang terjadi di alam raya.6
Sedangkan dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikotomi institusi pendidikan -antara pendidikan umum dan pendidikan
agama- telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern7. Dikotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas
terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik
yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan,
kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi
umat pada umumnya.
Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan untuk melatih
anak didiknya dengan sedemikian rupa, sehingga dalam sikap hidup,
tindakan dan pendekatannya terhadap segala jenis pengetahuan banyak
dipengaruhi nilai-nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etik Islam.8
Mentalnya dilatih sehingga keinginan mendapatkan pengetahuan bukan
semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektualnya saja, atau
hanya untuk memperoleh keuntungan material semata. Melainkan untuk mengembangkan dirinya menjadi makhluk rasional yang berbudi
luhur serta melahirkan kesejahteraan spiritual, mental, isik bagi keluarga, bangsa, dan seluruh umat manusia.
Selain itu, Seseorang yang telah menempuh pendidikan Islam, akan
percaya bahwa manusia bukan hanya seorang makhluk ciptaan Tuhan
di bumi ini saja, melainkan juga sebagai sebagai makhluk spiritual yang
dikaruniai kekuatan untuk mengontrol dan mengatur alam raya ini atas
ijin Tuhan. Bakan dia juga sebagai makhluk yang kehidupannya berlangsung tidak hanya di dunia belaka, tetapi juga berlanjut hingga kehidupan akhirat.9 Sedangkan, jenis pendidikan yang dapat membuat manusia
seperti itu tentu saja tidak mungkin bila hanya bersifat keagamaan belaka, dan tidak mungkin bila hanya bersifat keduniaan saja.
Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan
pendidikan tersebut, di kalangan masyarakat Islam berkembang suatu
kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas dan
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
21
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam, terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu
yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Cara
pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu
secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang
sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam hanya
memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang
akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum”
dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati
yang diidolakan orang tua. Kontras dengan cara pandang di atas adalah
pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih
cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal dipoeroleh
setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam
cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh
karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin.
Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan
itu, kemudian berimplikasi kepada respon para pengambil kebijakan
pendidikan (baca: Pemerintah) yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama, yang
dalam implementasinya seringkali menimbulkan perlakukan diskriminatif. Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembagalembaga pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan
di sisi lain, adalah pada kebijakan dua kementrian/departeman, di mana
Departemen Pendidikan Nasional mengurusi lembaga-lembaga pendidikan umum dengan berbagai fasilitas dan dana yang relatif “melimpah”, sementara Departemen Agama mengelola lembaga-lembaga
pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang “amat terbatas”. Keterbatasan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang dimiliki
oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama10
22
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di
banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali menyebabkan
mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional.
Adapun dampak lain yang tidak kalah seriusnya dari dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-ilmu di
sisi lain adalah terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam. Kendati dikotomi keilmuan Islam telah terjadi semenjak beberapa abad yang lampau,
namun dampaknya terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam dirasakan semakin serius pada masa-masa kemudian11. Salah satu kerangka
keilmuan Islam yang kurang “lazim” bila dibandingkan dengan kerangka ilsafat keilmuan “sekuler” adalah berkembangnya pemikiran yang
mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara
ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah. Di kalangan umat Islam
berkembang pemikiran bahwa wahyu adalah sumber utama ilmu sembari mendiskriminasikan fungsi dan peran rasio sebagai sumber ilmu.
Di kalangan umat Islam juga berkembang suatu kesadaran untuk menjadikan ayat-ayat qauliyah sebagai objek kajian pokok, tetapi mengabaikan ayat-ayat kauniyah yang justru menyimpan begitu banyak misteri
dan mengandung khazanah keilmuan yang kaya.12
Menyadari bahwa dampak dualisme atau dikotomi keilmuan Islam
telah begitu besar, para pemikir Muslim mulai menggagas konsep integrasi keilmuan Islam, yang mencoba membangun suatu keterpaduan
kerangka keilmuan Islam, dan berusaha menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di pihak lain.
Dalam hal ini, sejumlah pemikir Islam berupaya untuk mengajukan
metode pengetahuan yang bertumpu pada ajaran Islam dengan mempelopori bangkitnya gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization
of Knowledge).13
Di antaranya adalah Isma’il Raji al-Faruqi, Sayyed Hossein Nasr dan
Syed Muhammad Naquib al-Attas. Gerakan yang dihembuskan oleh para
pemikir (pakar) Islam ini terus berkembang dan mendapat dukungan
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
23
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
dari para ilmuan Muslim yang memiliki keahlian sesuai dengan bidang
yang ditekuninya. Upaya ini dilatarbelangi oleh semangat mengembalikan ilmu pengetahuan dalam pangkuan Islam dan kaum Muslimin.
Al-Faruqi adalah salah satu penggagas dan pencetus ide Islamisasi
ilmu pengetahuan. Dia secara tegas telah mengartikulasikan idenya
tersebut dan memformulasikan secara sistematis dalam bukunya “he
Islamization of Knowledge”. Al-Faruqi dikenal sebagai sarjana yang mampu menggabungkan antara pemikiran dengan aksinya. Sehingga dia tidak
sekedar mengusulkan atau mencetuskan saja gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan, tetapi juga sekaligus mengajak dan menganjurkan kepada
umat untuk melakukan “gerakan” Islamisasi ilmu itu sendiri yang kini telah menyebar ke hampir seluruh dunia Islam.14 Dewasa ini bahkan telah
banyak universitas-universitas Islam maupun sekolah-sekolah yang kemunculannya diilhami oleh gerakan tersebut serta menjadikannya sebagai target yang ingin ditempuh.15 Bahkan dewasa ini pembentukan UIN
merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini
dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi
pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga
berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahkan.
Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN,
memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis
pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama
dan ilmu pengetahuan muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu
sosial di IAIN/UIN.
Demikianlah bebarapa latar belakang persoalan yang mendorong
penulis untuk mengangkat persoalan dikotomi sistem pendidikan, terutama di Indonesia yang sesungguhnya adalah persoalan klasik tetapi
masih aktual dan menajam hingga saat ini.
24
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
Pengertian dikotoMi SiSteM Pendidikan iSlaM
Secara etimologi, “dikotomi” berasal dari bahasa Inggris “dichoto
my” yang berarti pembagian dalam dua bagian, pembelahan dua, bercabang dalam dua bagian.16 Dalam bahasa Indonesia, “dikotomi” berarti
pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan.17 Secara termi
nologi, “dikotomi” adalah pemisahan antara ilmu dan agama, yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yang
lain, seperti dikotomi ulama-intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri manusia Muslim itu sendiri
(split personality).18 Sementara itu menurut al-Faruqi, “dikotomi” adalah
dualisme relegius dan kultural.19
Bermula dari pemahaman dikotomi menurut dua aspek di atas20,
maka dikotomi sistem pendidikan Islam adalah dualisme sistem
pendidikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum yang
memisahkan kesadaran dien dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini bukan
hanya terjadi pada dataran pemilahan, melainkan masuk dalam wilayah
pemisahan. Kita kenal adanya sistem pendidikan tradisional dan sistem
pendidikan modern atau sistem pendidikan Islam yang tradisionaleks
klusif (parsial) atau sistem pendidikan yang sekularistik, rasionalistikem
piristik, intuitif dan materialistik. Kondisi seperti ini tidak mendukung
terciptanya kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islami
atau menampilkan Islam secara kafah.
Sebenarnya, persoalan dikotomi ini adalah persoalan klasik, tetapi
selalu hangat untuk dipersoalkan dan masalahnya adalah pemisahan
antara ilmu dan agama.21
faktor-faktor Penyebab Munculnya dikotomi Sistem Pendidikan
islam
Secara umum dikotomi sistem pendidikan di dunia Muslim disebabkan oleh beberapa faktor yakni:
1.
Stagnasi pemikiran Islam
Stagnasi yang melanda kesarjanaan Muslim banyak terjadi sejak
abad XVI hingga abad XVII M. Masyarakat Muslim saat itu cenderung
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
25
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
hanya mendongak ke atas, melihat gemerlap kejayaan abad pertengahan,
sehingga lupa kenyataan yang tengah terjadi di lapangan. Maka sarjana
Barat mengatakan, rasa kebanggaan dan keunggulan budaya masa lampau telah membuat para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangantantangan yang dilemparkan oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan tersebut ditanggapi secara positif dan lebih arif, dunia Muslim
dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru itu, kemudian memberinya arah baru.22
2.
Penjajahan Barat atas dunia muslim
Mayoritas penjajahan Barat atas dunia muslim menurut para sejarawan, berlangsung sejak abad XVIII hingga abad XIX M.23 Pada saat itu
dunia muslim benar-benar tidak berdaya di bawah kekuasaan imperialisme Barat.
Dalam kondisi seperti itu tentu tidaklah mudah dunia muslim
menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat. Karenanya pendidikan
budaya Barat mendominasi budaya “tradisional” setempat yang dibangun sejak lama. Bahkan bisa dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat
telah menggantikan ilmu-ilmu aqliyah muslim dan derajat ilmu naqli
yah. Ilmu “pengganti” Barat itulah yang kemudian didominasikan dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah di
dunia muslim.
Dengan demikian, integrasi kedua ilmu pengetahuan tidak diupayakan apalagi dipertahankan. Ini sebagai dampak mengalirnya gaya
pemikiran sarjana Barat yang memang berusaha memisahkan antara
urusan ilmu dengan urusan agama. Bagi mereka, kajian keilmuan harus dipisahkan dari kajian keagamaan. Dan agaknya ini “meracuni” para
penggemar kajian para sarjana Barat. Sehingga di dunia muslim juga
berkembang hal yang sama, yakni kajian ilmu dan teknologi harus terpisah dari kajian agama. Pendekatan keilmuan seperti ini, tepatnya menjelang akhir abad XIX M mulai mempengaruhi cabang ilmu lain terutama
ilmu yang menyangkut masyarakat, seperti, ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan politik.24
26
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
3.
Faktor lain
Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya dikotomi
sistem pendidikan di dunia Muslim adalah diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya.25
Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut berkeyakinan, kemajuanlah yang penting bukan agama. Oleh karenanya, kajian agama dibatasi bidangnya, Agama hanya membicarakan hubungan individu dengan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama.
Pendidikan Barat modern yang nota-bene menempatkan tekanan yang berlebihan kepada akal rasional tentu saja menganggap sepele
nilai spiritual dan lebih besifat antroposentris ketimbang teosentris. Dan
ternyata kondisi seperti inilah yang banyak merembes ke dunia Islam
(negara muslim).26 Hal itu dikarenakan banyaknya para pemikir Muslim
yang dibesarkan, dididik, dicuci otaknya di dunia Barat. Ketika mereka
kembali ke negaranya, pemikiran dan idenya bertentangan dengan tradisi masyarakatnya.
Sebagai konsekuensi logis, pendidikan Islam di negeri-negeri muslim telah diungguli oleh sistem yang dipinjam dari Barat. Mengapa?
Karena ide-ide Barat dipinjam dan diterapkan begitu saja, tanpa ada
upaya mengadaptasi. Sehingga yang ada bukan harmonisasi, melainkan ekspansi. Pendidikan Islam yang mempunyai ciri khas ke-Islaman
lenyap, dan yang ada pendidikan Islam berciri khas Barat. Hal itu dapat
dilihat, buku-buku teks dan metode yang dikembangkan tidak berusaha
meneguhkan keimanan dan keIslaman para siswa, tetapi malah membuatnya ragu-ragu terhadap agamanya sendiri.
Menyikapi hal tersebut muncul dua kubu dikalang cerdik pandai.
Kubu pertama menerima gagasan dari Barat, karena dipandang penting
bagi kemajuan umat Islam. Sikap reseptif kelompok pertama ini agaknya
berlebihan, sehingga yang muncul bukan harmonisasi antara ide Islam
dan ide Barat. Melainkan ide Barat diterima untuk menggantikan ide
Islam. Sehingga sistem pendidikan Islam berubah wajah menjadi sekuler. Sementara kubu kedua hanya mau merespon konsep-konsep spiritual saja. Tantangan-tantangan agama yang berasal dari konsep-konsep
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
27
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
sekuler mereka tinggalkan. Kelompok ini memunculkan sistem pendidikan Islam yang sangat berbeda dengan kelompok pertama, yakni
sistem pendidikan Islam sentris.
uPaya-uPaya untuk Menghilangkan dikotoMi SiSteM Pendidikan iSlaM Melalui iSlaMiSaSi ilMu Pengetahuan dalaM
tranSforMaSi iain Menuju uin
Disadari atau tidak, persoalan dikotomi sistem pendidikan di dunia
muslim itu masih aktual dibicarakan. Hal itu bisa dilihat di kalangan pakar pendidikan muslim, persoalan tersebut sering menjadi bahan diskusi cukup serius. Mengapa? karena dualisme sistem pendidikan yang
seharusnya tidak boleh ada, malah seolah telah menjadi “trend” pendidikan bagi masyarakat kita. Masyarakat muslim sendiri seolah mengiyakan
dan menganggap bahwa model pendidikan dikotomi itulah yang sesuai
dengan jaman.
Secara operasionalnya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang
terjadi selama ini adalah merupakan Islamic education for the moeslems,
yaitu pendidikan Islam yang diberlakukan adalah pendidikan agama
Islam yang pelaksanaannya menyesuaikan dengan pendidikan modern,
dan bukan Islamic education for Islamic education, yaitu pendidikan Islam yang benar-benar dijiwai, dilandasi dan dikembangkan berdasarkan
nilai-nilai Islam.27
Kondisi tidak kondusif seperti ini akhirnya mengundang para pakar muslim dari berbagai penjuru dunia. Tujuannya untuk memecahkan dan mencari jalan terbaik guna membangun kembali kebudayaan
dan peradaban muslim yang pernah jaya di jaman klasik. Niat keras
para pakar muslim tersebut ternyata benar-benar diwujudkan. Hal tersebut, dibuktikan dengan diadakannya berbagai pertemuan tingkat internasional (termasuk diadakannya sebuah konferensi internasional
pendidikan muslim di Makkah pada tahun 1997 M).28 Dari pertemuan
itulah dihasilkan gagasan-gagasan baru, termasuk Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai upaya integrasi dikotomi sistem pendidikan yang masih
ditindak lanjuti oleh para pakar muslim hingga sekarang. Di antaranya
adalah, perubahan IAIN menuju UIN.
28
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
Perubahan IAIN menuju UIN merupakan tanda sebuah proses kesadaran yang lebih maju. Selama ini IAIN di anggap perguruan tinggi
yang memproduksi guru-guru agama baru, pengganti imam masjid,
takmir, dan pengisi acara pengajian bahkan modin. Hal ini dikarenakan banyaknya alumni IAIN yang tidak bisa berkembang karena ijazah
yang di hasilkan tidak memiliki standar yang diminta oleh pangsa pasar.
Sesuatu yang tidak bisa dipungkiri adalah keinginan di setiap kelulusan
agar mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan layak.
Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan
beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum
dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada
saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN
menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang
lama dan melelahkan dimulai dari adanya Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA) dari tahun 1957-1960.
Kemudian pada tahun 1960-1963 berubah menjadi salah satu bagian
dari fakultas di IAIN Yogyakarta. Akhirnya IAIN Syarif Hidayatullah
(yang dimulai tahun 1963) berubah menjadi UIN dengan adanya Keppres
No. 31 tahun 2002. Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan
perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi
umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif
paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN. Ilmu sosial yang selama ini
terlanjur dikembangkan dengan asumsi kuat terpisahnya wilayah agama
dan ilmu (diferensiasi), tentu tidak dapat menjawab kebutuhan kita atas
paradigma keilmuan yang integratif. Di sisi lain, gagasan semacam paradigma islamisasi ilmu sosial juga masih menyisakan banyak persoalan pelik yang justru dapat menghambat perkembangan ilmu sosial. Di antara
masalah tersebut adalah banyaknya tenaga pengajar terutama dari IAIN
yang mempunyai pengetahuan cukup tentang Islam, tetapi pengetahuan
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
29
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
mereka akan disiplin-disiplin ilmu terapan kurang sama sekali.29 Karena
itu kiranya dibutuhkan paradigma lain yang lebih menjanjikan untuk
mengatasi persoalan ini.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial yang begitu pesat, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
kesadaran manusia tetang fenomena agama. Agama untuk era sekarang
tidak lagi dapat didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata. Tetapi lebih dari itu. Pergeseran paradigma
pemahaman agama mengarah pada keterbukaan dan transparan dalam
pergaulan di dunia.
Dengan demikian, transformasi IAIN menuju UIN bisa dikatakan sebagai lambang perubahan dalam sejarah yang sangat dipengaruhi
oleh budaya, agama, nilai dan struktur sosial (Historis), untuk menjadikan ilmu agama sebagai media kritis dalam menpertanyakan hakikat
“agama” sekaligus menjawab tantangan zaman. Sehingga transformasi
IAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tipologi
atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam.
PenutuP
Islamisasi ilmu pengetahuan melalui transformasi IAIN menuju UIN
adalah sebuah evaluasi atas kekalahan kita terhadap Barat. Transformasi
ini merupakan bagian dari upaya mengintegrasikan dikotomi sistem
pendidikan Islam. Selanjutnya, pembentukan UIN diharapkan mampu
mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, dengan
mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam
kehidupan sosial. [ ]
endnoteS
1
2
30
Ikhrom, “Dikotomi Sistem Pendidikan Islam”, dalam Paradigma Pendidikan
Islam, ed. Ismail SM, et. al., (Semarang: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001), hlm. 81.
Karena pada hakekatnya dikotomi itu bertentangan dengan Islam yang fundamental visinya adalah tauhid, yang tidak mengenal adanya pemisahan antara
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
3
4
5
6
7
pendidikan agama dan pendidikan umum, keduanya merupakan kesatuan
(tauhid) pendidikan Islam, yaitu penguasaan ilmu dunia dan tujuan akhirat.
Lihat Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam ( Jakarta: Logos,
1999), hlm.89.
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains
Islam, ter. A.E. Priyono (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), hlm. vi.
Masa yang dikenal dengan the golden age of science in Islam dapat tercapai karena adanya penerapan konsep keterpaduan antara lapangan berpikir empirik
dengan lapangan idiil normatif. Lebih jelasnya lihat Hamid Hasan Bilgrami
dan Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam (Terj.), Alih Bahasa Mahnun
Husain, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1989), hlm. 5-58. Dalam konteks sejarah,
puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada era kejayaan masyarakat Muslim
terjadi pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah. Kemajuan itu secara nyata terimplementasikan dalam kehidupan riil masyarakat yang ditandai dengan
tingginya peradaban, tertatanya kehidupan sosial dan pesatnya arus perputaran ekonomi. Lihat R.M. Savory, Introduction to Islamic Civilization (New
York: Cambridge University Press, 1976), hlm. 20.
Dewasa ini dunia mengakui dan terus terang menyatakan berhutang budi kepada para ilmuwan Muslim masa lampau. Utang ilmu pengetahuan modern
kepada ilmu pengetahuan Islam (al-Quran) tidak pernah ditagih oleh ummat Islam, sehingga orang-orang pandai di Eropa sekarang malu dan mengakui bahwa kehidupan Eropa yang sebenarnya dibelit oleh ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam, sedangkan untuk melepaskan diri tidaklah mungkin
karena mereka sendiri telah mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan kebudayaan itu sebagai miliknya sendiri. Di dalam keterlenaan mereka, orangorang non Muslim telah mengambil warisan-warisan dari ilmuwan-ilmuwan
Muslim, mengintegrasikannya dalam pandangan mereka (world view mereka),
memperkembangkan disiplin-disiplin tersebut, menambahi disiplin-disiplin
tersebut dengan sumbangan-sumbangan mereka sendiri, dan memanfaatkan
pengetahuan baru itu untuk kepentingan mereka. C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam, ter. Hasan Basari ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hlm. 26-33. LIhat C.A. Qadir, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya
( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 2-3. Lihat juga Omar Amin
Hoesin, Kultur Islam ( Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 247. Bandingkan
dengan Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan (Terj.), diterjemahkan
oleh Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 34.
Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern ( Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 375.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ( Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1960), hlm. 237.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
31
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
8
9
10
11
32
Ikhrom, “Dikotomi Sistem Pendidikan Islam” dalam Paradigma Pendidikan
Islam, hlm. 79.
Ibid, hlm. 80.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2004, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar
Rp. 21.585,1 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar Rp.
6.690,5 milyar; berbanding 76,3% : 23,7%. Untuk Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) Tahun 2005, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI sebesar Rp. 26.991,8 milyar, sedangkan
Departemen Agama RI hanya sebesar Rp. 7.017,0 milyar; berbanding 79,4% :
20,6%. Dan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun
2006, Belanja Pemerintah Pusat untuk Departemen Pendidikan Nasional RI
sebesar Rp. 36.755,9 milyar, sedangkan Departemen Agama RI hanya sebesar
Rp. 9.720,9 milyar; berbanding 79,1% : 21,9%. Lihat, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun Anggaran 2006, Depkeu
RI, Jakarta, 2006, hlm. 8. Bila besaran anggaran dan prosentase tersebut dihubungkan dengan cakupan kerja kedua departemen tersebut, maka cakupan
kerja Departemen Agama jauh lebih luas, dan tidak hanya mencakup bidang
pendidikan, melainkan juga bidang-bidang agama yang lebih luas.
Imam Al-Ghazali, misalnya membagi ilmu menjadi dua, yaitu: Pertama, ilmu
pengetahuan yang berhubungan fardhu ‘ain. Menurut Imam Al-Ghazali:
“Ilmu tentang cara awal perbuatan yang wajib. Jika orang yang telah mengetahui ilmu yang wajib dan waktu yang wajibnya, maka sesungguhnya ia telah mengetahui ilmu fardhu ‘ain. Yang dimaksud: “Al-Amal” di sini meliputi
tiga amal perbuatan yaitu: I’tiqad, Al-Fi’li dan Al-Tark. Jadi ilmu pengetahuan
baik yang berupa i’tiqad, Al-Fi’li maupun Al-Tark yang diwajibkan menurut
syari’at bagi setiap individu muslim dan sesuai pula waktu diwajibkannya.Yang
termasuk ilmu yang di hukum fardhu ‘ain dalam mencarinya itu ialah segala
macam ilmu pengetahuan yang dengannya dapat digunakan untuk bertauhid
(pengabdian, peribadatan) kepada Allah secara benar, untuk mengetahui eksistensi Allah, status-Nya, serta sifat-sifat-Nya, juga ilmu pengetahuan yang
dengannya bagaimana mengetahui cara beribadah sebenar-benarnya lagi pula
apa-apa yang diharapkan bermuamalah (bermasyarakat) lagi pula apa-apa
yang dihalalkan. Kedua, ilmu pengetahuan fardhu kifâyah. Adapun ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah ialah setiap ilmu pengetahuan manakala
suatu masyarakat tidak ada orang lain yang mengembangkan ilmu-ilmu itu,
sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan dan kekacauan-kekacauan dalam
kehidupan Al-Ghazali menyebutkan: “....bidang-bidang ilmu pengetahuan
yang termasuk fardhu kifayah ialah, ilmu kedokteran, berhitung, pertanian,
pertenunan, perindustrian, keterampilan menjahit, politik dsb. Imam AlGhazali, Ihya’u Ulum al-Dien, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 19
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Quran, Cet. 2 (Bandung: Mizan,
1989), hlm. 78-82.
Gerakan ini dimaksudkan sebagai jawaban positif tehadap krisis pendidikan
yang sudah terlanjur dualistik, dengan menyelenggarakan seminar internasional he First International Conference of Islamic hought and Islamization of
Knowledge (1982) di Islamabad, yang dimotori oleh he International Institute
of Islamic hought (IIIT) yang dipimpin oleh Isma’il Raji al-Faruqi.
Al-Faruqi tidak hanya manusia pemikir (man of ideas), tetapi ia juga cendikiawan yang menuangkan langsung gagasannya dalam tindakan nyata (man of
action). Lihat lagi Ahmed, Discovering Islam, hlm. 207.
Yasein Mohamed, “Islamization: A Revivalist Response to Modernity”, dalam
Muslim Education Quarterly, Vol. XLIII, No. 1, hlm. 22.
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 180.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 205.
Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di
Indonesia”, dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita
dan Fakta, hlm. 104.
al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan, hlm. 37.
Yakni dilihat dari makna Etimologi dan Terminologi.
Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah pendidikan Agama Islam di
Indonesia”, dalam Muslih Usa (Ed), Pendidikan Islam., hlm. 104.
Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran Islam (Terj.), diterjemahkan
Oleh Rifyal Ka’bah ( Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 50.
Namun, penjajahan atas bangsa Muslim Melayu (termasuk Indonesia) terjadi
sejak abad XVI sampai abad XX. (pen). Pada abad XVI, Belanda, Inggris,
Denmark dan Prancis datang ke Asia Tenggara. Lihat Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam ( Jakarta: Grafindo Persada, 1998), hlm. 174-177.
Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hlm. 33.
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Terj.), diterjemahkan oleh Rahma Astuti (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 75.
Parameter untuk menyebut negara Muslim adalah dilihat dari mayoritas penduduknya Muslim. Seperti, negara Mesir, sekalipun banyak penduduk yang
beragama selain Islam, namun mayoritas dari jumlah penduduknya adalah
Muslim. Oleh karenanya, negara Mesir termasuk negara Muslim. Ukuran
seperti ini berlaku bagi sebutan negara Muslim lainnya.
Noeng Muhajir, “Pendidikan Islami untuk Masa Depan Kemanusiaan”, dalam
Lektur Seri IV (Cirebon: IAIN SGD, 1996), hlm. 30.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
33
Upaya Integrasi Dikotomi Sistem Pendidikan Islam
28
29
Tepatnya sejak tahun 1977 M telah empat kali dilaksanakan Konferensi
Pendidikan Muslim Sedunia. Inti pertemuan tersebut membahas persoalanpersoalan pendidikan di negara Muslim se-dunia dan Islamisasi ilmu Pengetahuan. Lihat Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hlm. 105.
Jurnalis Uddin, “Problems of Islamization of University Curriculum in Indonesia”, Muslim Education Quarterly, Vol.10. No. 3. hlm.6
daftar PuStaka
Abu Sulaiman, Abdul Hamid, Krisis Pemikiran Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Rifyal Ka’bah. Jakarta: Media Dakwah, 1994.
Al- Ghazali, Imam, Ihya` ‘Ulum adDien, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Islamisasi Pengetahuan (Terj.), diterjemahkan
oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1995.
Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid ‘Ali Ashraf, Konsep Universitas Islam
(Terj.), diterjemahkan oleh Mahnun Husain, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989.
Bucaille, Maurice, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Data Pokok APBN Tahun
Anggaran 2006, Jakarta, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indo
nesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Echols, John M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut AlQuran, Cet. 2, Bandung:
Mizan,1989.
Hoesin, Omar Amin, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Ismail SM, et. al, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar
dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001.
Lektur Seri IV, Cirebon: IAIN SGD, 1996.
Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Muslim Education Quarterly, Vol. XLIII, No. 1 dan Vol. X, No. 3.
Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Terj.), diterjemahkan oleh Hasan Basari, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
34
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
Umi Hanifah
__________, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995.
Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual: Merumuskan ParameterParameter
Sains Islam (Terj.), diterjemahkan oleh A.E. Priyono, Surabaya:
Risalah Gusti, 1998.
Savory, R.M, Introduction to Islamic Civilization, New York: Cambridge
University Press, 1976.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Graindo Persada, 1998.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka
Muhammadiyah, 1960.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 1, Januari 2012
35