KOMIK DI INDONESIA SEBUAH STUDI PERBANDI (1)

KOMIK DI INDONESIA:
SEBUAH STUDI PERBANDINGAN ANTARA KOMIK LOKAL DENGAN
KOMIK ASING
Oleh:
Genardi Atmadiredja
Puslitbang Kebudayaan
Email: gerlongger@yahoo.com
Abstract
Nowadays, Indonesian comics do not get an efficient place when it compared to
foreign comics. Foreign comics has been excisting in Indonesia with its variety of
drawing styles and themes. Therefore, Indonesian comics need to show its
existence as good as themselves in 1960-1980 era. That is why a review of
aesthetic comics comic predecessors by comparing today’s foreign comics should
be conducted as a learning to the development for better Indonesian comic. These
results indicate that the aesthetics of Indonesian comics predecessor is not
inferior to the recent foreign comics. The good skills of drawing and story telling
also the themes choosing which was fitted to the spirit of the era.
Key words: aesthetics, comics, Indonesian comics,
Abstrak
Komik di Indonesia sekarang ini belum mendapatkan tempat yang layak bila
dibandingkan dengan komik import.Banyaknya komik import yang beredar di

Indonesia dengan berbagai macam gaya gambar dan tema menjadikan komik
Indonesia perlu menunjukkan kembali eksistensinya seperti pada era 1960-1980,
kualitas komik Indonesia pada era tersebut sangat baik, maka dirasa perlu
melakukan peninjauan estetis terhadap komik-komik pendahulu dan
membandingkannya dengan komik import masa kini sebagai pembelajaran untuk
perkembangan komik Indonesia yang lebih baik. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa Estetika komik Indonesia terdahulu tidak kalah dengan komik import masa
kini, karena keterampilan menggambar,bertutur kata yang baik dan pengambilan
tema yang sesuai dengan semangat zaman.
Kata Kunci: estetika, komik, komik Indonesia

A. PENDAHULUAN
Komik merupakan sebuah media visual/ gambar yang akrab dengan
masyarakat, dalam berbagai media terbitan seperti koran, majalah, dan pada
halaman web, komik menempatkan dirinya. Dengan kondisi seperti ini, komik
berada pada titik kedewasaannya dan diduga belum akan menghilang hingga
beberapa dekade kedepan, komik pada dasarnya merupakan sebuah media yang
1

mapan dengan segala elemen visualnya, dan sudah mengakar pada segmensegmen masyarakat mulai dari usia dini hingga usia dewasa. Hal tersebut

dikarenakan sifat dari gambar sebagai bahasa yang sangat universal, sehingga
semua kalangan dan usia dapat mengerti dan memahami komik, sebut saja komik
‘Doraemon’ karya Fujiko F. Fujio yang diarahkan pada aspek komedi-fantasi,
hingga komik ‘300’ karya Frank Miller atau ‘Persepolis’ karya Marjane Satrapi
hingga ‘Maus’ karya Art Spiegelman yang kental dengan aspek politishistorisnya. Tema-tema yang diangkat melalui karya-karya komik semakin
variatif dan luas. Luasnya tema-tema/ genre pada karya komik sekarang ini setara
dengan luasnya tema-tema pada karya film/ sinema dan karya sastra, meskipun
berbeda pada kemulusan perkembangannya.
Jika kita perhatikan film-film yang beredar sekarang inibanyak
mengangkat cerita-cerita dari komik menjadi sebuah film layar lebar, dan
mendapat respon yang sangat baik. SepertiSpiderman, Batman, Superman, XMen, 300, dan masih banyak lagi. Begitu besarnya potensi komik seperti
mengingatkan kita pada masa kejayaan karya-karya sastra, khususnya karya sastra
dari Shakespeare, seperti Romeo and Juliet, dan Hamlet, dan beberapa judul film
yang terinspirasi dari karya-karya Shakespeare antara lainA Double Life (1947)
Othello, A Thousand Acres (1997) King Lear, All Night Long (1962) Othello,
Catch My Soul (1974) Othello, Forbidden Planet, (1956) The Tempest, King of
Texas, (2002) King Lear, Kiss Me Kate, (1948) The Taming of the Shrew, Let the
Devil Wear Black, (1999) Men of Respect, (1991) Macbeth, My Own Private.
Sementara itu karya sastra di Indonesia yang difilmkan juga sudah banyak,
seperti Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, 5 cm, Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta

Bertasbih dan sebagainya. Tidak jauh berbeda dengan komik, yang diangkat
menjadi sebuah film sejak beberapa dekade sebelumnya, di Indonesia gejala
tersebut sudah ada, seperti film laga “Man” yang dibintangi oleh Barry Prima
(aktor laga pada era 70an), dan Si Buta dari Goa hantukarya Ganesh TH, Ganesh
TH adalah komikus Indonesia yang sebagian karya komiknya diangkat menjadi
film.

2

Bila kita membandingkan komik Indonesia dengan komik asing, sekarang
ini, komik asing masih menjadi mendominasi dan memenuhi elemen utama rak di
toko-toko buku di Indonesia. Angka penjualannya pun jauh melampaui komik
lokal, dengan demikian posisi komik Indonesia sedang mengalami kemunduran
yang cukup signifikan bila kita membandingkan dengan era tahun 60-70-80yakni
masa keemasan komik Indonesia. Masa keemasan komik di Indonesia ditandai
dengan banyaknya komikus yang berproduksi dan didukung dengan percetakan
yang kala itu banyak menerbitkan komik. Salah satu puncak keemasan komik
adalahmunculnya tema-tema kebudayaan nasional dan menampilkan nilai-nilai
kedaerahan. Di sisi lain ada juga komikus yang komikus mengangkat
perwayangan sebagai medium penyampaian nilai, komik-komik wayang tersebut

banyak dikerjakan oleh RA Kosasih (Bogor, Jawa Barat, 1919 – 24 Juli 2012),
yang hingga sekarang disebut-sebut sebagai bapak komik Indonesia. Selain RA
Kosasih masih banyak nama-nama komikus yang menjadi pelopor kebangkitan
komik Indonesia yang hingga kini masih menjadi panutan bagi beberapa generasi,
seperti: Jan Mintaraga, Ganesh Th, Hans Djaladara, Teguh Santosa dan lain
sebagainya.
Melihat begitu luasnya perkembangan komik sebagai sebuah media
penyimpan dan penyampai nilai, dapat dikatakan kurang lebih sama dengan hasil
budaya rupa seperti lukisan, patung, dan grafis.Adanya kecenderungan
masyarakat yang masih menganggap enteng sebuah komik sebagai bacaan anakanak yang dapat merusak moral dan sebagainya, maka dirasa perlu melakukan
pendekatan dan pengkajian komik pada perbendaharaan yang terdapat pada komik
baik lokal maupun impor.
Karena belum mendapat penilaian yang baik dari masyarakat, komik
Indonesia saat ini masih belum mendapat tempat yang baik, terutama jika
dibandingkan dengan komik-komik luar. Dominasi komik Amerika dan komik
Jepang masih menjadi kompetitor utama, selain komik Cina dan Korea. Sekalipun
terdapat beragam gaya tutur dan tema yang ada pada dunia komik, sayang komik
Indonesia belum menemukan ‘gaya’ komik yang sesuai dengan selera pasar saat

3


ini. Meskipun ada beberapa genre yang relatif sama dengan komik-komik luar,
namun para konsumen/ pembaca lebih cenderung memilih komik luar. Melihat
kecenderungan tersebut, maka perhatian penulis tertuju pada sebuah gaya ungkap/
cara tutur dan aspek keindahan visual yang ada pada komik Indonesia dan yang
terdapat pada komik import. Namun tidak melupakan beberapa permasalahan
yang penulis rasa perlu untuk diperhatikan.
Maka perumusan pertanyaan penelitian adalah bagaimana perkembangan
komik Indonesia masa lalu dilihat dari aspek estetika dan gaya penuturan,
kemudian dibandingkan dengan komik Jepang dan Amerika. Tulisan ini
bermaksud mendeskripsikan komik Indonesia masa lalu dan komik import dari
segi tema, gaya visual dan keberhasilannya mendapatkan apresiasi baik dari
masyarakat.

Metode Penelitian
Komik sebagai bagian dari budaya rupa dapat dikaji melalui kajian estetis.
Menurut Sachari (2005) dalam buku Pengantar Metodologi Penelitian Budaya
Rupa, pengamatan kajian estetis dapat dilakukan melalui pendekatan dari dua sisi,
yaitu:
1. Pendekatan melalui filsafat seni, dalam kajian filsafat seni, objek desain dapat

diamati sebagai sesuatu yang mengandung makna simbolik, makna sosial,
makna budaya, dan makna keindahan.
2. Pendekatan melalui kritik seni, dalam kajian kritik seni, sebuah objek dianggap
memilliki dimensi kritis, seperti dinamika gaya, teknik pengungkapan, tema
berkarya, ideologi estetik, pengaruh terhadap gaya hidup, hubungan dengan
perilaku, dan berbagai hal yang sementara ini memiliki dampak terhadap
lingkungannya.
Untuk mengamati karya-karya budaya rupa, kajian filsafat keindahan dapat
didekati dari dua sisi:

4

a. Sisi Manusia Membangun dunia yang Indah
Semua yang diciptakan manusia, selalu mempertimbangkan aspek-aspek
keindahan. Segala sesuatu yang dirasakan kurang indah kemudian dikemas
dalam kulit

yang lebih indah, sehingga memiliki kepatutan untuk

berdampingan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Sisi Karya Budaya yang Memancarkan Keindahan
Karya dibuat sedemikian rupa sehingga memancarkan nilai-nilai keindahan
yang memperkaya kehidupan. Nilai-nilai keindahan tersebut tidaklah sekedar
pelengkap, melainkan memiliki nilai simbolis yang luas. Banyak diantaranya
berkaitan dengan nilai-nilai yang lebih universal seperti nilai spiritual, nilai
moral, dan juga nilai-nilai budaya.
Estetika berasal dari bahasa Yunani, Aesthetikos, berarti segala sesuatu yang
dapat dicerap oleh indra, atau berkaitan dengan penginderaan, pemahaman dan
perasaan, namun dalam pemahaman dan pencerapan oleh indera itu, manusia
memiliki pengalaman dan nilai yang berbeda-beda, maka pemaknaan manusia
pada objek cenderung berbeda (Sachari, 2005).
Penelitian tentang Estetika Komik dan Perkembangannya dilakukan
dengan kajian terhadap aspek visual dan gaya bertutur yang ada pada komik baik
komik lokal maupun import dengan mengambil sample komik Indonesia
Mahabharata karya R.A. Kosasih, kemudian Si Buta dari Goa Hantu, karya
Ganesh TH.Untuk komik import, Vagabond, karya Takehiko Inoue, dan 300
karya Frank Miller, kemudian mendeskripsikan masing-masing komik tersebut
dan membandingkannya.
Estetika adalah fisafat yang membahas esensi dari totalitas kehidupan
estetik dan artistik yang sejalan dengan zaman (Agus Sachari, Estetika Terapan,

1989). Estetika disini menerangkan akan keindahan grafis, kematangan bentuk,
komposisi dan proporsi, sedangkan yang dimaksud gaya bertutur adalah
penggabungan dua elemen tersebut, antara gambar dengan teks yang saling
menguatkan dan mengalirkan alur cerita dengan baik menggunakan 5 (lima) aspek

5

penting dalam menyampaikan pesan melalui komik. Seperti dikatakan Scott
Mccloud, alur cerita tersebut meliputi pemilihan waktu/ momen, pemilihan frame,
pemilihan image/ gambar, pemilihan kata, pemilihan alur baca.
Alasan pemilihan komik-komik tersebut adalah, Komik Mahabharata, dan
Si Buta dari Gua Hantu, selain masih menjadi salah satu acuan kejayaan komik
Indonesia, komikus tersebut menjadi

besar berkat judul komik

yang

diciptakannya. Sedangkan pemilihan komik Vagabond, dan 300, kedua komik
tersebut memiliki cerita yang hampir sama/ tema serupa dengan 2 (dua) komik

lokal diatas, memiliki kualitas gambar yang baikmenggunakan gaya gambar dan
tema yang relatif sama.

B. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sekelumit Komik Indonesia
a. Definisi Komik
Menurut Scott Mccloud (1993), Komik adalah sebuah gambar-gambar dan
simbol-simbol (lambang) yang terjukstaposisi (berdampingan) dengan turutan
tertentu. Komik merupakan sebuah seni bercerita yang terdiri dari panel-panel
gambar

yang berturutan dan terkadang dikuatkan dengan teks

untuk

menyampaikan suatu pesan nilai dan makna. Dalam penyampaian suatu
cerita/nilai, seorang komikus perlu memperhatikan lima aspek yang penting
sebagaimana disampaikan oleh Scott Mccloud (2006), antara lain 1)
waktu/momen, 2) pemilihan frame, 3) pemilihan image/gambar, 4) pemilihan
kata, dan 5) pemilihan alur baca.

Menurut The Visual Dictionary of Illustration (2009), ‘Comic’ berasal dari
kata Yunani kuno komikos dan diasosiasikan dengan komedi. Berdasarkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia, komik adalah cerita bergambar (di majalah, surat kabar,
atau berbentuk buku) yang umumnya mudah dicerna dan lucu. Pada abad 20,
merupakan era awal dari perkembangan komik dalam bentuk sebuah buku, kira-

6

kira pada tahun 1934 sebelumnya komik terbit pada majalah dan koran, dan pada
masa itu banyak komik strip yang terbit dalam koran harian dan majalah-majalah
(Will Eisner, 1985). Kemudian seiring perkembangannya, komik semakin
menemukan bentuknya hingga seperti sekarang ini. Jenis komik yang berkembang
sekarang ini antara lain: 1) buku dan majalah komik, 2) komik koran, dan 3)
komik online/digital.
Rand (2001) membagi Seni ke dalam empat kelompok yaitu Seni
Pertunjukan (Performing Arts), Seni Media (Media Arts), Seni Gambar (Visual
Arts) dan Seni Sastra (Literary Arts). Bila menggunakan pandangan di atas, maka
komik sebagai sebuah karya seni termasuk dalam dua kelompok, yaitu seni
gambar dan seni sastra. Dengan demikian komik dikategorikan sebagai medium
seni dan mengandung unsur estetika sastra dan estetika visual.

Pemahamam Estetika biasa dipahamai sebagai pemaknaan tentang
keindahan yang dapat terlihat apabila terdapat (a) kesatuan (unity), (b)
keseimbangan (balance), (c) keserasian/harmoni, (d) irama (rhytm), (e)
proporsi/kesebandingan, (f) fokus perhatian (centre of interest). Keindahan dalam
komik dapat tercapai dengan kesempurnaan struktur dan pemilihan waktu,
pemilihan frame, pemilihan gambar, pemilihan kata, dan pemilihan alur baca
secara tepat sehingga mampu menyampaikan pesan sejelas-jelasnya kepada
pembaca. Dalam menyampaikan pesan, sebuah komik dapat menonjolkan aspek
bentuk dan keindahan visual, atau dapat juga dari kekuatan sisi penuturan atau
tema.
Bila

kita

menyimak

bahwa

semua

gambar

berturutan

dan

membentuk/menciptakan cerita adalah komik, maka relief-relief pada bangunan
bersejarah dapat dikategorikan sebagai perintis komik. Relief pada hiasan dinding
Piramid sampai relief pada Candi Borobudur, adalah contoh gambar yang
berturutan dan menceritakan sebuah cerita dengan alur yang jelas. Pembuatan
karya-karya di atas merupakan bukti sebuah kesadaran untuk bercerita secara
runtun, meskipun tanpa teks, karya-karya tersebut tetap bisa di baca. Dengan

7

mengedepankan unsur visual (simbolik), karya-karya tersebut dimungkinkan
dapat dibaca meskipun oleh orang yang berasal dari luar wilayahnya.

b. Perkembangan Komik di Indonesia
Merujuk kepada Marcel Bonnef (1998), peneliti sejarah dan perkembangan
komik Indonesia, bahwa pertumbuhan Komik Indonesia berada pada awal perang
dunia pertama, yaitu pada saat dipublikasikannya cerita bergambar dengan gaya
gambar realis di Harian Ratoe Timoer, Solo, pada tahun 1939, karya Nasroen A.
S. yang berjudul Mentjari Poetri Hijaoe. Kemudian pada periode pendudukan
Jepang (1942), kelahiran komik-komik Indonesia dilanjutkan oleh komikuskomikus lain seperti: B. Margono (Roro Mendut), dan dipublikasikan di harian
Sinar Matahari Jogjakarta, kemudian fase berikutnya dilanjutkan pada era setelah
kemerdekaan. Tanggal 19 Desember 1948, Harian Kedaulatan Rakyat, Jogjakarta
memuat komik Kisah Kependudukan Jogja, karya Abdulsalam, kemudian karya
Abdulsalam ini diterbitkan kembali menjadi sebuah buku pada tahun 1952, ini
berarti menjadi sebuah temuan baru pembukuan sebuah komik, sekaligus
mengoreksi tulisan Marcel Bonnef yang mengatakan bahwa komik Indonesia
yang pertama dibukukan adalah Sri Asih, karya R.A. Kosasih yang beredar pada
sekitar tahun 1953 atau 1954 (http://tnol.co.id/rekomendasi/8950-perjalanankomik-indonesia.html).
Kini Perkembangan komik Indonesia menjadi sulit untuk terlihat, dengan
dominasi dan serbuan komik impor, komik Indonesia hanya mendapatkan porsi
kecil dari penikmat komik. Minimnya karya komik yang terbit dalam bentuk buku
(dibukukan), dan sedikitnya jumlah komikus yang konsisten berproduksi komik,
mengakibatkan komik Indonesia jarang terlihat di pasaran. Komik Indonesia
sekarang ini lebih banyak bergerak independen (indie) dan dalam bentuk komik
strip pada koran dan majalah. Cukup jarang yang terbit dari penerbit besar.
Sulitnya

menembus industri komik di Indonesia dan minimnya honor yang

didapatkan komikus menjadi salah satu faktor tantangan perkembangan komikus
8

lokal. Komik strip dan kumpulan komik strip lokal banyak beredar sekarang ini,
seperti kumpulan komik Sepakbolaria, Benny and Mice, dan Om Pasikom. Komik
strip ini biasa tampil pada kolom-kolom koran dan cenderung karikatural.
Anggapan komik dapat membuat malas anak-anak untuk belajar pun belum bisa
dilepaskan dari sebuah karya komik.
Tabel 1. Perbedaan Kartun, Komik dan Karkatur

Aspek

Kartun

Komik

Karikatur

Definisi

Ilustrasi yang
menekankan pada
satu momen yang
didominasi oleh
humor dan berfungsi
sebagai hiburan

Ilustrasi yang
berbentuk cerita
bergambar dengan
narasi yang
cenderung panjang
bahkan sampai
bersambung dan
berfungsi sebagai
hiburan

Ilustrasi yang
digunakan sebagai
media untuk
mengungkapkan
ketidaksenangan pada
sesuatu dan berfungsi
sebagai media
sindiran

Format

Illustrasi dalam satu
momen atau lebih,
dapat berupa gambar
tanpa kata maupu
dengan balon kata
atau keterangan
dibawah panel

Ilustrasi dengan panel
yang berurutan yang
dilengkapi dengan
balon kata-kata dan
keterangan diatas
gambar

Ilustrasi dalam
bentuk gambar tanpa
teks maupun dengan
teks yang dalam
penggambarannya
mengalami eksagerasi
dan deformasi bentuk
asli dari sebuah objek

Penerbitan

Bersama dengan
media massa atau
mandiri

Umumnya diterbitkan
secara mandiri

Bersama dengan
media massa

Klasifikasi

Kartun humor dan
editorial

Komik kartunal dan
ilustratif

Karikatur satir-satir
dan penyadaran

Tingkat aktualisasi
terhadap ruang dan
waktu

Kurang diperhatikan

Kurang diperhatikan

Sangat diperhatikan

Stereotip yang
berkembang dalam
masyarakat

Dianggap sebagai
humor murahan

Buku yang membuat
anak-anak menjadi
malas belajar

Humor yang penuh
hujatan

Sumber: Roikan.....

9

c. Penerbitan dan Publikasi Komik di Indonesia
Komik sebagai sebuah produk tulisan/ bacaan, memerlukan sebuah media
pemasaran dan publikasi yang mampu mengiklankan karya-karya tersebut.
Mengikuti era perkembangan informasi sekarang ini, di Indonesia karya komik
juga dipublikasikan melalui beberapa media baik cetak maupun digital. Sekitar
tahun 2006 terbit Majalah komik Indonesia yang berjudul Sequen, majalah ini
sempat terbit hingga 4 edisi, namun sayang majalah sequen tidak dapat
melanjutkan menerbitkan majalah komik dikarenakan beberapa faktor, antara lain:
1. Biaya produksi majalah
2. Bahan dan konten majalah
3. Apresian dan konsumen majalah
Majalah komik Sequen berisikan kumpulan komik dan artikel-artikel yang
berhubungan dengan dunia perkomikan, format yang ditampilkan tidak jauh
berbeda dengan majalah komik Amerika, Wizard yang khusus membahas
perkomikan Amerika. Pada majalah Sequen juga diterbitkan serial komik
Indonesia, baik oleh komikus senior, maupun komikus muda dan berita seputar
perkomikan.
Salah satu permasalahan komikus lokal sekarang ini adalah masalah
konsistensi dan kontinuitas, sangat jarang komikus yang rutin menggarap satu
cerita panjang seperti komikus-komikus pendahulu.Pada tahun 2007, komik
Indonesia yang cukup menyita perhatian adalah Knight of Apocalypse karya
komikus muda Is Yuniarto, sebuah karya komik yang terbagi menjadi tiga volume
dengan kualitas gambar yang baik. Komik ini cukup sering menjadi pembicaraan
pada forum-forum komik, dikarenakan jarangnya komik yang memiliki cerita
cukup panjang, di sisi lain cerita dan penuturannya juga baik dan mampu
membuat pembaca membaca dari awal hingga akhir. Selain karya Knight of
Apocalypse, Is yuniarto juga menciptakan beberapa karya yang berjudul
Garudayana, dan Wind Rider. Selain Is Yuniarto, terdapat beberapa komikus

10

yang masih aktif berkomik sekarang ini seperti Nunk dengan karya Sepakbolaria
yang rutin terbit pada tabloid BOLA dan pernah beberapa kali terbit (hingga
sepakbolaria 5) dalam bentuk buku kumpulan komik stripnya. Lalu Benny
Rachmadi dan Muhammad "Mice" Misraddengan Benny & Mice, Lagak Jakarta,
dan sebagainya. Kemudian masih ada beberapa nama besar lain seperti Teguh
Santosa, Beng Rahardian, Tony Masdiono, Seno Gumira, dan masih banyak
komikus lokal yang terus berkarya hingga sekarang ini yang tidak terlepas dari
permasalahan dunia komik pada umumnya.
d. Komik Digital (online) Indonesia
Pemasaran dan publikasi komik di Indonesia sekarang ini dilakukan
melalui media online, website khusus komik Indonesia antara lain: Makko.co dan
Ngomik.com. Melalui media ini, banyak komikus muda mempromosikan
komiknya, mereka dijadwalkan terbit berseri dan pembaca cukup hanya
mendaftarkan diri sebagai anggota forum tersebut untuk melihat komik-komik
Indonesia yang ada di web tersebut secara utuh. Keuntungan berpromosi melalui
web adalah keluasan cakupan akses, kemudahanan, dan efisiensi biaya yang
dikeluarkan. Banyak komikus muda yang aktif menulis komik secara
kesinambungan.
2. Perbandingan Komik Indonesia dan Asing
a. Mahabharata, Karya R.A. Kosasih
Komik karya R.A. Kosasih masih banyak diminati hingga sekarang,
kemampuan komikus ini dalam menuturkan cerita epos Mahabharata dalam
bentuk komik menjadi salah satu penegasan komik Indonesia dalam mendukung
kepribadian nasional melalui kebudayaan Jawa dan mematahkan anggapan buruk
tentang komik.

11

Gambar 1 Adegan pada komik Mahabharata/Bharathayuda
Komik karya R.A. Kosasih memiliki kualitas gambar figur yang baik,
proporsi tubuh figur yang tergambarkan pada tiap-tiap frame merupakan proporsi
masyarakat Indonesia, dengan mengangkat gaya gambar realis, komikus
menyampaikan semua nilai-nilai dan pesan moral yang terkandung dalam
Mahabharata.
Meskipun penggunaan frame yang cenderung monoton, namun tidak
mengurangi kemampuan komikus dalam memilih adegan yang mampu
membangun suasana dan menyampaikan secara jelas alur cerita yang dibangun.
Penyusunan panel pada komik ini masih menggunakan gaya konvensional,
dengan panel sejajar dan objek gambar seolah tabu untuk keluar dari bidang panel
tersebut. Penggunaan teks pada komik ini cenderung berlimpah, hal ini
dikarenakan komikus perlu menampilkan pesan-pesan moral seakurat mungkin
dari epos tersebut.
Komik Mahabharata ini menjadi bacaan yang dapat di apresiasi oleh semua
umur, hal ini menjadi sebuah nilai tambah dimana kebiasaan membaca dapat
dimulai melalui komik Mahabharata ini, cara penyampaian nilai-nilai yang
terkandung dalam komik ini pun secara sederhana dapat ditangkap dan di
apresiasi oleh anak-anak hal ini merupakan sifat dari gambar yang dapat

12

mengarahkan imajinasi dari apresiatornya. Bila melihat penerbitaannya, komik
Mahabharata karya RA Kosasih ini diterbitkan ulang oleh beberapa penerbit yang
berbeda, pada awalnya penerbit Melodi di Bandung, kemudian penerbit
Maranatha, dan pada dasawarsa terakhir ini diterbitkan ulang beberapa kali oleh
penerbit Elex Media Komputindo. Dari riwayat penerbitannya, dapat terlihat
kualitas dan animo masyarakat terhadap komik ini. Komik Mahabharata karya
RA Kosasih ini menjadi komik yang mampu melintasi zaman, dan masih ditunggu
hasil cetakan-cetakan ulang berikutnya.
Popularitas komik Mahabharata ini dikarenakan kedekatan tema dan setting
yang ditampilkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia (Jawa khususnya),
dimana nilai-nilai yang terdapat dalam kesusastraan Hindu ini masih tetap melekat
sebagai pembentuk kebudayaan Nusantara. Hal ini sesuai dengan pernyataan :
dalam bergaul dengan orang sebangsa, semakin mematuhi aturan masyarakat
maka akan semakin populer (Lewis, 2004 : 22).

b. Si Buta dari Goa Hantu, Karya Ganesh TH

Gambar 2Adegan dalam komik Si Buta dari Goa Hantu karya Ganesh TH

13

Komik Si Buta dari Goa Hantu, merupakan komik karya Ganesh TH, sebuah
komik yang populer pada era 80an, komik ini menggunakan gaya gambar realis,
dengan detail yang baik, proporsi tubuh manusia pada komik ini digambarkan
dengan proporsi manusia lokal (Indonesia), meskipun masih terasa gaya gambar
ala komiksuperhero Amerika, terutama pada figur tokoh utama.
Dalam pemilihan frame, komikus menggiring pembaca atas apa yang ingin
sang komikus sampaikan, komikus menunjukan kedinamisan sudut pandang
dalam setiap panelnya sehingga dalam adegan aksiselalu menempatkan fokus
perhatian yang menarik pembaca.Komposisi bayangan dalam komik ini
menciptakan suasana yang mencekam dan menampilkan efek yang dramatis. Pada
gambar 2 terlihat objek melampaui bidang panel, disini kedinamisan Ganes TH
terlihat dalam memanfaatkan bidang gambar, seolah-olah objek terlempar keluar
dari gambar.

Gambar 3Pemilihan frame pada Komik Si Buta dari Gua Hantu, karya
Ganesh TH
Tema yang diangkat pada komik silat ini adalah tema kepahlawanan, yang
disampaikan melalui petualangan Si Buta dari Goa Hantu yang berkelana untuk

14

membalaskan dendam sang Ayah/gurunya, dalam cerita ini, tokoh utama harus
rela kehilangan penglihatannya untuk dapat menyempurnakan ilmu ‘membedakan
suara’, kemudian dalam keadaan butadi sebuah goa, tokoh utama dapat
menyempurnakan ilmu tersebut. Dengan kesempurnaan ilmu yang dia miliki dia
berkelana mencari pembunuh ayahnya, dalam perjalanannya rasa keadilan tokoh
utama muncul, ia tidak suka dengan kejahatan, dan tidak dapat membiarkan ada
penindasan, maka selama masa pencarian itu ia dikenal dengan sebutan Si Buta
dari Goa Hantu, dengan ditemani lutung peliharaannya, Kliwon.
Petualangan Si Buta dari Goa Hantu ini mengambil latar kehidupan
masyarakat pedesaan yang pada masanya terdapat kesenjangan antara ‘si kuat’
dengan ‘si lemah’.Dalam penuturan pada komik ini, komikus cukup banyak
menggunakan teks sebagai pemandu narasi dibandingkan dengan balon kata,
penggunaan teks pada komik ini mampu membangun dan mendukung suasana
yang sejalan dengan gambar. Keseimbangan teks dengan gambar dipadukan
dengan baik pada komik ini. Pengangkatan tema petualangan kepahlawanan jago
silat ini, merupakan sebuah penanda zaman kala itu (1968),yaitu semangat
menampilkan kebudayaan nasional dan semangat pemersatu setelah kemerdekaan
dengan mengangkat tema anti penindasan, dan perjuangan kepahlawanan
membela yang tertindas. Dari posisi yang tersiksa, teraniaya, menjadi pembela
yang tersiksa dan teraniaya.
Kedinamisan gaya gambar yang dianut oleh Ganesh TH, menjadikan komik
Si Buta dari Goa Hantu ini diangkat menjadi sebuah film seri, film seri ini sempat
populer pada era tahun 90an, pada tahap ini, sebuah komik dapat menjadi sebuah
landasan pembuatan film, karena komik adalah perpaduan antara gambar dengan
teks dan komik dapat berfungsi sebagai storyboard yang tentu saja dapat lebih
memudahkan proses pengambilan gambar dalam tahap pembuatan film.
Kecenderungan sebuah komik menjadi sebuah film baik seri maupun layar lebar
sudah dimulai sejak era 70an.

c. Vagabond, Karya Takehiko Inoue

15

Vagabond merupakan komik karya Komikus Jepang, Takehiko Inoue.
Komik ini menceritakan tentang perjalanan hidup Musashi, seorang pengembara
yang bertekad untuk hidup di jalan pedang (Bushido). Pertama kali melihat komik
ini pembaca akan disuguhi dengan visual yang memukau, gaya gambar yang
realis dan terkadang ekspresif ini membawa pembaca seolah sedang melihat
kumpulan gambar yang mendekati realita. Komikus menggunakan teknik arsir
untuk menciptakan ruang dan kedalaman sehingga menghasilkan rupa yang
realistis (kebanyakan komikus menggunakan toner ataupun digital). Pembaca
digiring dalam frame-demi frame, sehingga alur cerita tervisualkan dengan baik
dan pesan yang ingin disampaikan komikus secara jelas dapat tersampaikan.

Gambar 4. Adegan dalam komik Vagabond, karya Takehiko Inoue
Pemilihan gaya gambar yang realis ini dikarenakan komikus mengambil satu
tokoh spesifik dalam cerita sejarah Jepang, dan diharapkan pembaca dapat
mengambil pesan dan nilai-nilai keteguhan, ketekunan dan mental baja yang
terbangun sepanjang cerita yang sarat akan nilai historis Jepang. Dalam komik ini
diceritakan tentang petualangan seorang pemuda bernama Shinmen Takezo yang
pada awalnya seorang prajurit rendah pada perang di daratan Sekigahara (1600
M), kemudian karena menjadi buronan di desa kelahirannya, Shinmen Takezo
merubah namanya menjadi Musashi Miyamoto, seorang samurai tak bertuan yang

16

berkelana untuk menjadi samurai terhebat di kolong langit. Tema petualangan
samurai yang dibawa oleh komik ini mampu menyebarluaskan tekad pantang
menyerah di jalan pedang (Bushido) yang mengakar dalam tradisi Jepang. Disini
komik berfungsi sebagai media penyebaran nilai budaya, sekaligus sebagai media
yang mampu membawa dan menyampaikan semangat Bushido melintasi ruang
dan waktu.

Gambar 5 Penggunaan Teks dalam Komik Vagabond, merupakan
penguatan gambar
Bila kita perhatikan gambar 5, terlihat seorang anak remaja mengayunkan
pedang, dalam sebuah panel yang miring, memiringkan panel ini dilakukan
komikus secara sadar untuk memberikan efek dramatis, dan melibatkan pembaca
untuk mengikuti arah diagonal ayunan pedang.
Dalam penuturannya, komik Vagabond ini cenderung kuat pada aspek
visual, penggunaan kata yang se-efektif mungkin, seperti efek suara dan
percakapan saja (yang juga minim), namun secara keseluruhan, gambar pada

17

komik ini sudah banyak memberikan informasi yang dibutuhkan pembaca. Teks
digunakan sebagai sebuah penekanan pada adegan yang tergambar pada frame.
Komik Vagabond ini memang mengambil segmentasi pembaca dewasa, bila
melihat riwayat komikusnya, sang komikus telah membuat debut komik dari
tahun 1988, dan telah menciptakan beberapa karya yang bertema olah raga basket
(Slam Dunk dan Real adalah komik karya Takehiko Inoue), banyak dari anakanak Jepang meminati basket sebagai efek dari membaca karya sang komikus.
Besarnya efek dari komik sebagai stimulus dan mampu mempopulerkan serta
menanamkan nilai pada pembacanya melalui komik, kemudian sejak tahun 1998
komikus beralih mengangkat tema Samurai dalam serial komik Vagabond, dalam
jalan hidup samurai terdapat nilai yang biasa disebut Bushido, dalam Bushido,
dilambangkan dengan 7 (tujuh) kebajikan yaitu: kejujuran, keberanian, kebajikan,
menghormati, kejujuran, kehormatan, dan loyalitas. Kedekatan tema dengan nilainilai yang dianut oleh masyarakat Jepang inilah yang menjadikan komik
Vagabond memenangi beberapa penghargaan diantaranya Kodansha Manga
Award pada tahun 2000 dan Osamu Tezuka Culture Award pada 2002.
d. 300, Karya Frank Miller
Komik yang diangkat dari novel dengan judul yang sama, menceritakan
tentang mitos kepahlawanan 300 (tiga ratus) prajurit Sparta menahan serangan
ribuan pasukan Persia. Figur dalam komik ini digambarkan dengan sangat
dramatis, dengan komposisi gelap terang yang membangun kontras sehingga
suasana kelam dan mencekam melatari seluruh komik ini, pemilihan frame pada
komik ini juga mendukung dramatisasi yang dilakukan oleh komikus, pemilihan
objek dan waktu yang dihadirkan pada frame juga menggiring pembaca untuk
terlibat didalamnya, pengambilan focus point yang dinamis juga menjadi
keistimewaan dari komikus ini.

18

Gambar 6300, kedinamisan panel komik 300 pada karya Frank Miller
Penggunaan teks pada komik berfungsi sebagai narasi yang ditempatkan
pada bagian awal cerita atau pada pembukaan adegan. Secara konvensional,
komik biasanya terdiri dari panel-panel berturutan yang monoton, namun bila kita
perhatikan gambar 6, komposisi panel komik diletakkan dengan tidak biasa,
namun kita tetap tergiring dalam alur penuturan yang diciptakan oleh komikus.
Dapat terlihat lagi pada gambar 6, penggunaan panel pada bidang gambar sudah
tidak digunakan, dan bidang kertas komik terpenuhi oleh gambar, visual seperti
ini seolah mengajak pembaca terlibat didalamnya.
Tema yang diangkat adalah kepahlawanan dan rasa cinta tanah air yang
tinggi serta pembelaan terhadap tanah kelahiran, dalam alur komik ini,
tergambarkan nilai kebanggaan sebagai suatu bangsa, kerelaan berkorban, dan
sikap pantang menyerah meski terdesak. Karya ini diproduksi secara bertahap
dimulai dari teks (novel), teks dan gambar (komik), kemudian dalam bentuk
audio-visual (tayangan layar lebar). Potensi yang ada pada karya ini ialah dari
aspek tema yang universal (cinta tanah air, rela berkorban, dan loyalitas) sehingga
mampu diterima secara luas.

19

C. KESIMPULAN
Dari keempat sampel komik di atas, terdapat beberapa perbedaan dalam
penggunaan dan penempatan frame, dalam komik 300 frame sudah diterobos
hingga sudut bidang buku menjadi frame komik, sehingga penempatan frame
tambahan menjadi sesuatu yang harus diperhatikan, dan menjadi fokus perhatian
pembaca pada objek dan adegan yang terdapat pada frame tambahan tersebut.
Estetika pada tiap-tiap komik ini berbeda, namun dalam pemahamam penulis,
komik R.A. Kosasih, Si Buta dari Goa hantu, 300, dan Vagabond memiliki nilai
keindahan pada tiap-tiap pemilihan momen, pemilihan frame, pemilihan objek,
pemilihan kata, dan alur baca. Pada tiap pemilihan tersebut, komikus sangat
menyadari apa yang ingin disampaikan, dan dengan cara apa menyampaikannya.
Secara visual, komik Mahabharata, Si Buta dari Gua Hantu, 300, dan
Vagabond memiliki keindahan pada aspek visualnya, apabila kita merujuk pada
pemahaman estetika keindahan pada hakikat alam, atau dalam arti lain
menyerupai keagungan dan keindahan alam, maka empat komik di atas mampu
menampilkan gambar/visual yang dekat dengan keindahan alam (realis). Objek
manusia digambarkan sebagaimana terlihat, begitu juga latar tempat tokoh komik
tersebut berada.
Usaha untuk menyampaikan informasi sejelas-jelasnya sangat terlihat pada
komik

Mahabharata,

dengan

berlimpahnya

teks,

komikus

berupaya

memaksimalkan kekuatan teks dalam menyampaikan pesan, berbeda dengan
komik Vagabond dan 300 komik impor ini mengutamakan kekuatan visual dalam
menyampaikan pesan. Penggunaan teks baik dalam balon kata, kotak narasi,
ataupun efek suara cenderung sebagai penguatan dari gambar. Pada komik Si Buta
dari Gua Hantu, penggunaan teks dan gambar keduanya menyampaikan pesan
yang sama-sama penting.
Dengan mendeskripsikan komik-komik di atas, penulis mengambil
kesimpulan, bahwa komikus Indonesia pada masa lalu mampu menciptakan
komik lebih baik dari pada komikus masa sekarang, penggunaan teks dan gambar
pada komikus masa lalu cenderung lebih kuat, dan tema yang diangkat lebih dekat
dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat lokalnya serta kesesuaian dengan
20

semangat zamannya. RA Kosasih, dan Ganesh TH mengangkat kebudayaan
nasional melalui komik, dan komik pada masa itu menjadi salah satu penyebaran
bahasa nasional dan penguatan karakter bangsa.
Estetika komik terletak pada kejelasan menyampaikan pesan/informasi
dengan media gambar dan teks, kejelasan dan informatifnya suatu pesan dapat
dicapai dengan memilih momen, frame, objek, kata, dan alur baca. Hal tersebut
dapat dicapai dengan penguasaan gambar bentuk yang baik, pengambilan sudut
pandang yang lebih menarik dan mampu mendramatisir, dan teknik menggambar
figur dengan gestur yang tidak canggung sehingga mampu menyampaikan pesan
dengan baik. Juga mampu membawa pembaca pada suasana yang dibangun dan
mampu melibatkan pembaca.
Dengan melihat pada komikus pendahulu diharapkan komikus muda dapat
meningkatkan keterampilan komikus dalam menggambar dan menuturkan cerita
serta pemilihan tema yang diangkat menjadi faktor terpenting dalam keberhasilan
komik untuk diapresiasi masyarakat luas.

Daftar Pustaka
Abdinagaro, Sri Bramantoro, “Pengaruh Flow terhadap Kepuasan: Anteseden dan
Outcomes”, dalam http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=187
Bonnef, Marcel. 1998. Komik Indonesia. Jakarta: KPG
Eisner, Will. 1985. Comics and Sequential Art. Florida: Poorhouse Press
Lewis, Richard D. 2004. Komunikasi Bisnis Lintas Budaya. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Mccloud, Scott. 1993. Understanding Comics: The Invisible Art. New York:
HarperCollins Publisher
--------------------. 2006. Making Comics. New York: HarperCollins Publisher
Roikan, “Studi Etnografi Semiotika: Angkutan Umum Sebagai Gaya Hidup
Metropolitan dalam Kartun Benny Rachmadi”, dalam Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Th XXI No. 3, Juli-September 2008, 250-256

21

Sachari, Agus, 2005, Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Jakarta:
Erlangga.
The Visual Dictionary of Illustration. 2009.United Kingdom: AVA Publishing
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ed. III –cet.3.– Jakarta: Balai Pustaka,
2005.
“Perjalanan Komik Indonesia”, http://tnol.co.id/rekomendasi/8950-perjalanankomik-indonesia.html

Komik
1. Ganesh TH, Si Buta dari Gua Hantu
2. RA Kosasih, Mahabharata
3. Takehiko Inoue, Vagabond
4. Frank Miller, 300

22