Buku Panduan Pelatihan Geodas, Perpetaan & Perhitungan Cadangan

(1)

PTP - B1

BUKU PANDUAN PELATIHAN

GEOLOGI DASAR, PEMETAAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN

OLEH : SUJOKO DAN SIGIT PRABOWO

PANGKAL PINANG, NOVEMBER 2009

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memperkenankan sehingga penyusunan Buku Panduan Pelatihan Geologi Dasar, Pemetaan dan Perhitungan Cadangan ini dapat diselesaikan penyusunannya.

Buku panduan ini disusun guna memenuhi materi pelatihan pengerukan yang diadakan oleh Bidang Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PT Timah


(2)

(Persero) Tbk, yang merupakan pelatihan tingkat pimpinan. Pada pelatihan ini peserta yang mengikuti pelatihan adalah karyawan minimal level 5.

Secara umum tujuan dari pemberian materi ini adalah supaya peserta pelatihan memahami arti pentingnya pemahaman geologi keterkaitannya dengan kegiatan eksplorasi dan penambangan terutama pada kegiatan penambangan timah. Sedangkan tujuan khusus dari pemberian materi ini antara lain :

- Peserta memahami secara mendalam keterkaitan antara data geologi dengan aktivitas penambangan.

- Peserta menguasai dan mahir dalam pembacaan data dan pemplotan lokasi penggalian. - Peserta menguasai dan mahir dalam pembacaan peta rencana kerja dan profil pemboran

(kolom stratigrafi) yang ada.

- Peserta menguasai cara-cara perhitungan cadangan dan penyusunan forcase produksi harian, mingguan atau bulanan.

- Peserta mampu menggunakan data eksplorasi yang ada guna mengevaluasi penyimpangan produksi hasil penggalian terhadap data yang ada.

Akhir kata penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga buku panduan pelatihan ini bisa terwujud. Kritik dan saran demi perbaikan senantiasa diharapkan guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

Pangkalpinang, November 2009

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... 2

DAFTAR ISI... 3

DAFTAR GAMBAR... 5

PENDAHULUAN... 7

BAB 1 PENGENALAN GEOLOGI DASAR... 8

1.1. Proses Usaha PT Timah (Persero) Tbk... 8

1.2. Arti dan Ruang Lingkup Geologi... 8

1.3. Eksplorasi... 9


(3)

1.3.3. Tujuan Eksplorasi... 10

1.3.4. Metoda Eksplorasi... 10

1.3.5. Eksplorasi sebagai Usaha Beresiko Tinggi... 10

1.3.6. Tahapan Eksplorasi... 11

1.4. Eksplorasi Timah... 13

1.5. Batuan dan Mineral... 17

1.5.1. Batuan Beku... 17

1.5.2. Batuan Sedimen... 18

1.5.3. Batuan Metamorf... 19

1.6. Endapan Alluvial... 19

1.7. Keterdapatan Endapan Timah... 21

1.8. Mineral Kasiterit (Timah)... 22

1.9. Penyajian Data Eksplorasi... 23

1.10. Istilah-istilah Dalam Penambangan Timah... 25

1.11. Kekayaan dan Grid (Jaringan) Lubang Bor... 27

BAB 2 SURVEI PEMETAAN DAN SURVEI GPS... 31

2.1. Survei Pemetaan... 31

2.1.1. Definisi Survei Pemetaan... 31

2.1.2. Peta... 36

2.1.3. Skala Peta... 39

2.1.4. Sistem Koordinat Peta... 40

2.1.5. Proyeksi Peta... 43

2.1.6. Transformasi Koordinat... 47

2.1.7. Plotting Peta... 48

2.2. Survei GPS (Global Positioning System)... 49

2.2.1. Definisi survei GPS... 49

2.2.2. Metoda Survei GPS... 54

2.2.3. Penggunaan GPS... 56

2.2.4. Istilah-istilah GPS (GPS Terminology)... 57

BAB 3 PERHITUNGAN CADANGAN TIMAH... 62

3.1. Pengertian Umum Sumber Daya dan Cadangan... 62

3.2. Langkah dan Prosedur Perhitungan Cadangan... 62

3.3. Klasifikasi Sumber Daya dan Cadangan... 63

3.4. Pengumpulan Data dan Interpretasi Geologi... 64

3.5. Perhitungan Volume dan Cadangan... 65

3.5.1. Rata-rata Kadar... 65

3.5.2. Metoda Perhitungan Cadangan... 67

3.6. Perhitungan Cadangan Timah... 78


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. : Alur proses bisnis PT Timah (Persero) Tbk... 1

Gambar 1.2. : Grafik hubungan antara resiko dan biaya eksplorasi... 12

Gambar 1.3. : Peta Pulau Bangka (Valentyn 1724)... 14

Gambar 1.4. : Steek Boor (Bor Tusuk)... 14

Gambar 1.5. : Rekaman data geofisika (geolistrik dan seismik)... 14

Gambar 1.6. : Kegiatan pemetaan geologi... 16

Gambar 1.7. : Pembuatan parit uji... 16

Gambar 1.8. : Kegiatan pendulangan... 16

Gambar 1.9. : Kegiatan pengukuran... 16

Gambar 1.10. : Pemboran dengan Bor Bangka... 16

Gambar 1.11. : Pemboran dengan Bor CPP... 16

Gambar 1.12. : Pemboran dengan Bourne Drill... 16

Gambar 1.13. : Pemboran dengan Bor Koken... 16

Gambar 1.14. : PB Kontiki dan Tahiti... 17

Gambar 1.15. : KB Bintang... 17

Gambar 1.16. : KB Survei Geotin 1... 17

Gambar 1.17. : Singkapan batubara dan batu pasir... 18

Gambar 1.18. : Batuan metamorf schistose... 19

Gambar 1.19. : Penampang klasifikasi endapan alluvial (Smirnov 1976)... 20

Gambar 1.20. : Jalur timah Asia Tenggara... 21


(5)

Gambar 1.23. : Peta kontur ketinggian kong (bed rock)... 24

Gambar 1.24. : Peta isograde kadar timah (TDH)... 24

Gambar 1.25. : Peta RK Kapal Keruk dan Penampang Melintang Data Bor... 25

Gambar 2.1. : Contoh peta dengan skala berbeda... 40

Gambar 2.2. : Sistem koordinat geografis... 41

Gambar 2.3. : Sistem koordinat grid (kartesian)... 42

Gambar 2.4. : Sistem Proyeksi Peta... 45

Gambar 2.5. : Pembagian grid UTM... 46

Gambar 2.6. : Zona Bujur UTM... 46

Gambar 2.7. : Zona Lintang UTM... 47

Gambar 2.8. : Proses Transformasi Koordinat... 47

Gambar 2.9. : Sistem Pengukuran GPS... 51

Gambar 2.10. : Sistem Angkasa... 51

Gambar 2.11. : Konstelasi Satelit GPS... 53 Gambar 3.1. : Contoh Perbedaan Interpretasi Geologi Pada Data Bor yang Sama 64


(6)

PENDAHULUAN

Buku panduan ini merupakan materi pendukung teknis di dalam kurikulum pelatihan pengerukan atau penambangan yang diselenggarakan oleh PT Timah (persero) Tbk. Dalam buku panduan ini terdiri dari tiga pokok bahasan yaitu pengenalan geologi dasar, dasar-dasar pengukuran dan pemetaan serta sistem perhitungan cadangan.

Dalam bab pengenalan geologi dasar berisi mengenai pemahaman tentang dasar-dasar ilmu geologi dan eksplorasi dikaitkan dengan kegiatan dunia usaha pertambangan khususnya pertambangan timah dan sekilas mengenai perkembangan eksplorasi timah.

Bab berikutnya membahas mengenai dasar-dasar pengukuran dan pemetaan, sistem koordinat peta serta pemanfaatan peralatan GPS (global positioning system) dalam kegiatan survei dan pemetaan.

Pembahasan berikutnya adalah pembahasan mengenai dasar-dasar perhitungan cadangan secara umum, penjelasan perihal perhitungan cadangan di PT Timah (Persero) Tbk serta contoh-contoh perhitungan cadangan timah serta kaitannya dengan aplikasi di lapangan pada kegiatan penambangan.

Selain hal-hal tersebut di atas di dalam buku panduan ini juga dibahas mengenai kegiatan evaluasi penambangan yang biasa dilakukan di PT Timah (Persero) Tbk guna meningkatkan efektivitas atau optimalisasi penggalian berdasarkan data eksplorasi yang ada.

Diharapkan dengan tersusunnya buku panduan ini bisa menambah pemahaman bagi para peserta pelatihan sehingga betul-betul bisa diaplikasikan di dalam kegiatan atau tugas sehari-hari.


(7)

BAB 1

PENGENALAN GEOLOGI DASAR 1.1. Proses Usaha PT Timah (Persero) Tbk

Di dalam usaha penambangan timah PT Timah (Persero) Tbk melakukan usaha terintegrasi dimulai dari kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pemurnian, pengangkutan dan penjualan. Antara satu tahapan kegiatan dengan yang lainnya mempunyai hubungan saling keterkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi. Adapun alur kegiatan yang ada di PT Timah (Persero) Tbk dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :


(8)

1.2. Arti dan Ruang Lingkup Geologi

Geologi berasal dari Bahasa Latin yaitu Geo yang berati bumi dan Logos yang berarti ilmu, sehingga Geologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerian dan pemahaman tentang bumi (material penyusun kerak bumi, proses yang berlangsung selama dan setelah pembentukannya serta makhluk hidup yang pernah ada di dalamnya).

Cabang-cabang ilmu geologi yang bersifat spesifik antara lain : Mineralogi, Petrologi, Paleontologi, Mikropaleontologi, Geologi Struktur, Geomorfologi, Vulkanologi, Stratigrafi, Sedimentologi, dll. Sedangkan ilmu geologi terapan yang berhubungan dengan bidang keahlian tertentu antara lain : Geologi Pertambangan, Geologi Batubara, Geologi Minyak Bumi, Geohidrologi, Geofisika, Geothermal, Geologi Teknik, dll.

Ilmu geologi mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kegiatan eksplorasi bahan galian (seperti mineral, batubara, migas, air tanah, dll). Bahkan bisa dikatakan bahwa ilmu geologi merupakan kunci awal dari pada kegiatan eksplorasi. Ilmu geologi juga sangat dibutuhkan di dalam perencanaan serta evaluasi penambangan.

Sedangkan kegiatan eksplorasi merupakan awal atau cikal bakal dari kegiatan usaha penambangan. Tanpa adanya kegiatan dan data eksplorasi maka kegiatan penambangan tidak akan berjalan dengan sempurna. Dengan demikian kelangsungan hidup sebuah perusahaan tambang sangatlah tergantung pada tingkat keberhasilan kegiatan eksplorasinya atau dengan kata lain apabila pada sebuah perusahaan tambang tidak ada kegiatan eksplorasinya maka umur peusahaan tersebut tinggal tergantung dari cadangan yang sudah ada (menunggu waktu untuk tutup).

1.3. Eksplorasi

1.3.1. Ruang Lingkup Eksplorasi

Eksplorasi di dalam ilmu geologi adalah suatu aktivitas untuk mencari tahu keberadaan suatu objek geologi yang pada umumnya berupa cebakan mineral atau bahan galian. Namun objek geologi itu tidak terbatas pada cebakan mineral, batubara maupun akumulasi minyak dan gas bumi, tetapi juga gejala geologi yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia maupun mempunyai dampak negatif terhadap kesejahteraan manusia, seperti adanya sesar, subduksi (tumbukan lempeng), kestabilan lereng, jenis batuan tertentu yang keberadaannya perlu diketahui secara mendetail untuk penempatan bangunan konstruksi seperti suatu bendungan, terowongan dan sebagainya.


(9)

Konsep eksplorasi adalah merupakan gambaran dari model (bentuk) dari cebakan atau gejala geologi yang dicari, model dari daerah dimana kemungkinan cebakan atau gejala geologi tersebut dapat ditemui serta model (cara) yang akan digunakan untuk pencarian cebakan tersebut atau gejala geologi yang dicari.

1.3.3. Tujuan Eksplorasi

Tujuan eksplorasi adalah menemukan serta mendapatkan sejumlah maksimum dari cebakan mineral ekonomis baru dengan biaya seminimal mungkin dalam waktu sesingkat mungkin.

1.3.4. Metoda Eksplorasi

Metoda eksplorasi adalah cara untuk menentukan keberadaan adanya suatu gejala geologi yang dapat berupa tubuh suatu endapan mineral, satu atau lebih petunjuk geologi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Metoda eksplorasi terdiri dari dua jenis yaitu metoda langsung dan metoda tidak langsung. Metoda yang langsung yang biasa disebut dengan metoda geologi yaitu dengan melakukan pengamatan langsung gejala-gejala geologi yang ada. Sedangkan metoda tidak langsung menghasilkan suatu anomali yang dapat ditafsirkan sebagai gejala geologi yang dilacak, misalnya metoda geofisika atau metoda geokimia.

1.3.5. Eksplorasi sebagai usaha ekonomi beresiko tinggi

Berbeda dengan usaha ekonomi lainnya, eksplorasi adalah suatu aktivitas usaha yang beresiko tinggi sehingga memerlukan perencanaan yang seksama untuk meminimalkan resiko dan memaksimalkan manfaat-biaya. Resiko dalam eksplorasi berupa resiko geologi, resiko teknologi, resiko ekonomi (pasaran) dan resiko politik. Semua resiko ini harus diperhitungkan sebelum diputuskan untuk melaksanakan suatu proyek eksplorasi. Resiko geologi adalah resiko yang paling besar karena merupakan faktor dalam membuat keputusan. Disebabkan kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan usaha dengan resiko tinggi maka diperlukan berbagai strategi di dalam perencanaan dan pelaksanaannya, hal tersebut dilakukan dengan tujuan supaya :

1. Efisien yaitu mencapai sasaran dengan biaya dan waktu seminimal mungkin.

2. Efektif yaitu upaya untuk menghasilkan data seakurat dan semaksimal mungkin dengan cara menggunakan metoda atau teknologi secara efektif, sesuai dengan tipe/jenis cebakan atau petunjuk geologi yang dicari, juga sesuai dengan tahapan eksplorasi yang sedang


(10)

dikerjakan. Dengan demikian suatu gejala geologi yang menjadi petunjuk dapat saja dieksplorasi dengan suatu metoda tertentu secara akurat, tetapi biayanya sangat mahal, sehingga mungkin saja dipilih metoda yang kurang akurat tetapi cukup baik dengan biaya yang lebih murah.

3. Memperkecil dengan cara memberikan kesempatan untuk mengambil keputusan-keputusan setiap saat apakah usaha ini dilanjutkan atau tidak atau mengambil alternatif-alternatif lainnya sebelum suatu kerugian besar terjadi berdasarkan evaluasi rutin yang dilakukan.

Guna mengoptimalkan hasil dari kegiatan eksplorasi maka perlu dilakukan beberapa langkah/strategi yang harus dijalankan antara lain :

1. Penciutan daerah

Prinsip penciutan daerah adalah :

 Penciutan dimulai dari daerah yang luas yang telah dipilih mempunyai peluang lebih besar untuk diketemukan cebakan atau bahan galian yang dicari.

 Penciutan dilakukan secara progresif dengan memperkecil luas daerah yang diselidiki menjadi satu atau beberapa daerah yang terpisah-pisah yang mempunyai peluang lebih besar lagi daripada daerah eksplorasi secara keseluruhan, biasa disebut sebagai daerah prospektif atau daerah sasaran.

 Penciutan berakhir dengan ditentukannya titik-titik yang sangat berpeluang untuk ditemukannya cebakan mineral dengan melakukan sampling pada singkapan, dengan sumuran/paritan atau dengan pemboran, pada daerah yang dianggap paling prospek. 2. Pemilihan metoda eksplorasi

 Metoda harus efektif sesuai dengan jenis cebakan yang dicari.

 Metoda harus dipilih sesuai dengan luas daerah atau tahapannya.

 Metoda harus dipilih dengan mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan. 3. Pengambilan keputusan pada evaluasi setiap tahap

Pada setiap saat harus dilakukan evaluasi apakah metoda yang digunakan sudah sesuai sehingga bisa berjalan efektif dan efisien, serta bagaimana prospek yang dihasilkan dari setiap tahapan eksplorasi yang telah dilakukan. Dengan demikian dapat segera diambil kesimpulan apakah kegiatan eksplorasi tersebut layak dilanjutkan atau harus segera dihentikan.


(11)

menekan resiko sekecil mungkin pada umumnya dilakukan sesuai dengan jenjang (tahapan) yang sesuai. Tahapan-tahapan eksplorasi dimulai dari studi pendahuluan sampai dengan eksplorasi detail dimana semakin tinggi tahapannya maka biaya yang dikeluarkan semakin besar namun tingkat resiko kegagalannya akan semakin kecil, hal tersebut digambarkan dalam diagram berikut :

Gambar 1.2. Grafik Hubungan antara Resiko dan Biaya Eksplorasi

Adapun tahapan-tahapan eksplorasi tersebut adalah sebagai berikut : 1.Studi Pendahuluan dan Rancangan Eksplorasi

Studi Pendahuluan berupa review literatur, laporan-laporan terdahulu, interpretasi geologi regional, studi citra landsat, interpretasi foto udara, sintesa-sintesa geologi dan rancangan model eksplorasi guna penentuan strategi, tahapan dan metoda yang akan digunakan.

2. Survei Tinjau

Survei tinjau merupakan kegiatan peninjauan guna penilaian daerah berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan. Survei tinjau bisa dilakukan melaui udara dan atau darat. Survei udara biasanya berupa survei dan analisa foto udara atau survei dan analisa aeromagnetik, sedangkan survei darat biasanya berupa tinjauan langsung dengan beberapa


(12)

lintasan guna mengetahui kondisi geologi secara umum, serta rona awal lainnya (topografi, morfologi, akses, penduduk, budaya, keanekaragaman hayati, dll). Pada tahapan ini biasa digunakan peta dengan skala 1:50.000 – 1:250.000. Dari hasil ini diharapkan bisa didapatkan daerah prospek guna eksplorasi tahapan selanjutnya. Pada tahapan ini biasa dilakukan sampling permukaan di beberapa posisi/titik guna mengetahui gambaran daerah prospek secara umum.

3. Penyelidikan Umum/Pendahuluan

Pada tahapan ini dilakukan survei secara bersistem menggunakan peta dengan skala 1:25.000 – 1:50.000. Adapun kegiatan yang dilakukan bisa berupa : pemetaan geologi, sampling secara sistematis dengan jarak yang jarang (tidak ber grid) antara lain : rock sampling, float sampling, pendulangan (stream sedimen sampling), parit uji, sumur uji dan pemboran dangkal jarak jauh. Pada tahapan ini bisa juga dilakukan survei geokimia umum atau geofisika umum (magnetik, gravity, seismik, dll), sesuai yang dibutuhkan.

4. Eksplorasi Semi Detail

Pada tahapan ini biasanya dilakukan pemetaan geologi semi detail dengan peta berskala 1:1.000 – 1:5.000, dengan detail pengukuran, sampling yang sistematis dengan grid yang relatif jarang. Pekerjaan sampling antara lain dengan metoda paritan dan sumur uji, survei geofisika rinci dengan kisi (grid), survei geokimia rinci (soil sampling) dengan kisi (grid), dan pemboran (biasa dengan pemboran ekplorasi). Hasil dari tahapan ini diharapkan bisa mendeliniasi daerah yang prospek untuk dikembangkan selanjutnya. Pada tahapan ini diharapkan sudah mendapatkan blok sumber daya terunjuk - terukur.

5. Eksplorasi Detail

Pada tahapan ini dilakukan survei (pemetaan) geologi, geokimia maupun geofisika secara detail yang dituangkan dalam peta dengan skala 1:500 - 1:2.000. Pada tahap ini dilakukan sampling (pemboran) dengan terperinci dan sistematis pada jarak yang rapat guna perhitungan cadangan terukur yang siap untuk ditambang.

1.4. Eksplorasi Timah

Sutejdo Sujitno di dalam bukunya “Sejarah Penambangan Timah di Indonesia Abad 18 – Abad 20” menyebutkan bahwa penggunaan timah di dunia sudah ada sejak 3.700 SM, ditemukan di daerah Mesir. M.F.H Pareler (1880) menyebutkan penduduk pribumi Bangka telah menerapkan peleburan timah pada awal abad ke 10. Pada awal abad dikenalnya timah di pulau ini, Dr. Osberger (1958). Sementara Ir. Horvic (1863) menyebutkan bahwa penggalian


(13)

Bangka. Pada awalnya timah ditemukan secara tidak sengaja, dan pada abad ke 18 dimulailah kegiatan eksplorasi timah di Indonesia, hal ini dibuktikan bahwa pada tahun 1724 Valentyn telah menyelesaikan peta Pulau Bangka. Pada awalnya eksplorasi timah dilakukan dengan cara dan metoda yang sangat sederhana, namun seiring dengan kemajuan zaman maka kegiatan eksplorasi timah berkembang baik dalam segi peralatan metoda maupun paradigma yang ada.

Awal kegiatan eksplorasi dan eksploitasi timah adalah timah alluvial darat kemudian berkembang ke arah timah alluvial laut yang lebih dalam dan juga ke arah timah primer. Perkembangan kegiatan eksplorasi ditandai dengan makin majunya jenis peralatan terutama peralatan sampling yang digunakan.

Gambar 1.3. Peta Pulau Bangka (Valentyn 1724)

Kegiatan eksplorasi timah di darat pada tahun 1724 banyak dijumpai menggunakan alat bor cina “Tsiam” atau “Cam” disebut juga “Chinese Stick” atau “Steek Boor” atau “Bor Tusuk”, (gambar 1.4). Dengan keinginan untuk mendapatkan hasil timah yang maksimal maka pada tahun 1872 Dr. Arkeringa berhasil menciptakan “Bor Bangka” atau disebut juga sebagai “Arkeringa Bor” yang mudah dipindahkan dan sampel yang lebih teliti.

Perkembangan selanjutnya untuk mendapatkan data eksplorasi pada daerah alluvial dalam, maka berkembanglah Bor Bangka yang dimekanisasi (semi mekanik), salah satunya adalah tipe CPP (Conrad Power Pionee) dan untuk mengeksplorasi daerah alluvial dalam PT Timah (Persero) Tbk menggunakan bor mekanik yaitu Bourne Drill. Sedangkan kegiatan pada eksplorasi timah primer menggunakan peralatan-peralatan bor mekanik yang bisa melakukan coring, antara lain : Winky, YBM, Kokken, dll.

Gambar 1.4. Bor Meka Bangka

Kegiatan eksplorasi

berkembang dari daratan ke

Gambar 1.5. Rekaman data Geofisika (geolistrik dan seismik)


(14)

arah laut. Untuk eksplorasi pendahuluan di laut biasanya digunakan metoda tidak langsung yaitu dengan survei seismik (geofisika), hal ini disebabkan tidak bisa dilakukan pemetaan geologi secara langsung. Pekerjaan survei eksplorasi lepas pantai dengan metoda geofisika dimulai pada tahun 1955 dengan sonic survei di perairan Belitung.

Pada tahun 1965 dilakukan eksplorasi di laut dengan seismic SONIA menggunakan metoda Sparker dengan kapal survei PEGASUS. Kegiatan penambangan laut sebenarnya sudah ada sejak awal abad 20 dimana pada tahun 1916 penambangan di Teluk Klabat telah menjorok 500 m dari garis pantai sebagai pengembangan dari kegiatan eksploitasi di darat.

Perkembangan teknologi eksplorasi di laut dapat digambarkan sebagai berikut : pemboran eksplorasi sebelum tahun 1950 menggunakan alat bor bangka yang dioperasikan di atas ponton/drum. Pada tahun 1954 atau 1955 ditemukan bor semi mekanik yang disebut Bor Mesin Semprot (BMS) dengan metoda direct flush dengan ponton tipe Kontiki dan Tahiti (Katamaran). Mulai tahun 1972 kita mengenal dimulainya penggunaan ponton bor mekanik dengan metoda direct flush. Selanjutnya berkembang menjadi kapal bor survei dimana yang sekarang dimiliki oleh PT Timah (Persero) Tbk adalah kapal bor Geotin 1 dan Geotin 2 (dalam proses pembangunan). Kapal bor survei ini selain peralatan pemboran juga dilengkapi dengan peralatan survei geofisika.

Perkembangan kegiatan eksplorasi tidak hanya ditunjukkan dengan adanya perkembangan di bidang peralatan eksplorasi namun juga diikuti oleh perkembangan paradigma di dalam eksplorasi itu sendiri. Perkembangan paradigma eksplorasi timah dimulai dengan pemahaman tentang teori kaksa kemudian berkembang ke arah teori mother rock hunting, teori valey hunting dan gabungan diantara keduanya. Hal ini akan berkembang terus seiring dengan kemajuan teknologi eksplorasi dan eksploitasi serta semakin sulitnya mencari daerah prospek.

Kegiatan utama eksplorasi saat ini adalah guna mendapatkan cadangan baru minimal sejumlah cadangan yang ditambang pada waktu yang sama (sebagai pengganti), sehingga diharapkan umur perusahaan akan bertambah panjang.

Pada dasarnya kegiatan eksplorasi yang dilakukan di dalam KP timah saat ini antara lain :

- Survei dan pemetaan : pemetaan geologi, pemetaan geofisika - Pengukuran dan pemboran


(15)

Gambar 1.6. Kegiatan pemetaan geologi Gambar 1.7. Pembuatan parit uji

Gambar 1.8. Kegiatan pendulangan Gambar 1.9. Kegiatan pengukuran

Gambar 1.10. Pemboran, Bor Bangka Gambar 1.11. Pemboran, Bor CPP


(16)

Gambar 1.14. PB Kontiki danTahiti Gambar 1.15. Kapal Bor Bintang

Gambar 1.16. Kapal Bor Survei Geotin 1

1.5. Batuan dan Mineral

Batuan (rock) adalah material penyusun kerak bumi yang terdiri dari satu jenis mineral atau lebih. Sedangkan mineral adalah zat padat anorganik yang terbentuk di alam yang mempunyai komposisi kimia tertentu dan susunan atom yang teratur. (The Penguin Dictionary of Geology).

Berdasarkan proses kejadiannya (genesanya) secara umum dibagi menjadi tiga golongan yaitu :

- Batuan beku (igneous rock)

- Batuan sedimen (sedimentary rock) - Batuan metamorf (metamorfic rock) 1.5.1. Batuan Beku

Batuan beku adalah batuan yang terbentuk langsung dari pembekuan magma (cairan silikat alam yang bersifat mobil dengan suhu 1.500 - 2.500oc). Berdasarkan kandungan silikanya, batuan beku dibagi menjadi tiga golongan yaitu : 1. batuan beku asam, 2. batuan beku intermediate, 3. batuan beku basa dan batuan beku ultra basa.

ASAM INTERMEDIATE BASA ULTRA


(17)

Halus Ryolit Andesit Basalt Dunit

Silika > 65 % 65 -52 % 52 - 45 % < 45 %

Mineral mafic

< 25 % 25 – 55 % 55 – 85 % >85 %

Mineral Kuarsa > 10% Kuarsa < 10% Kuarsa 0% Piroksen, Olivin

Timah Emas, Perak Nikel

1.5.2. Batuan Sedimen

Batuan sedimen merupakan batuan hasil dari

rombakan batuan sebelumnya yang mengalami proses pelapukan (weathering), erosi, transportasi, pengendapan (sedimentasi) dan pembatuan (litifikasi). Sumber batuan sebelumnya bisa berjenis batuan beku, batuan metamorf maupun batuan sedimen. Proses pelapukan bisa terjadi secara kimia maupun fisika, sedangkan proses pengangkutan bisa melalui media air, angin, gletser atau aliran gravitasi.

Adapun batuan sedimen mempunyai sifat-sifat utama antara lain : - Adanya bidang perlapisan

- Bersifat klastik/berbutir

- Terdapat jejak/bekas kehidupan

Gambar 1.17. Singkapan batubara dan batu pasir


(18)

Batuan sedimen terdiri dari batuan sedimen karbonatan dan non karbonatan, dengan klasifikasinya sebagai berikut :

1.5.3. Batuan Metamorf

Batuan metamorf (biasa disebut batuan malihan) merupakan batuan yang telah mengalami ubahan (perubahan mineral dan kimiawi) akibat pengaruh tekanan dan suhu, asal batuan ini bisa berupa batuan beku atau batuan sedimen.

Berdasarkan pengaruh pembentukannya batuan metamorf dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

- Metamorfik kontak/termal : akibat pengaruh suhu yang tinggi - Metamorfik dinamik : akibat pengaruh tekanan yang tinggi

- Metamorfik regional : akibat pengaruh tekanan dan suhu yang tinggi

Sedangkan berdasarkan teksturnya maka batuan metamorf dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

- Tekstur foliasi : slaty, phylitic, schistose, dan gneistose

- Tekstur non foliasi : granulose, hornfelsic, milonitic dan breksi katasklastik 1.6. Endapan Alluvial

Selain ketiga jenis batuan tersebut kita mengenal adanya kelompok Alluvial. Alluvial adalah hasil rombakan dari batuan induk (berupa batuan beku, sedimen atau metamorf) yang mengalami pelapukan, transportasi dan sedimentasi tetapi belum mengalami pembatuan (litifikasi). Smirnov (1976) membagi alluvial ke dalam beberapa kelompok yaitu : elluvial, colluvial, alluvial fan, dan fluvial. (lihat penampang melintang gambar 1.19.).

Pembahasan perihal endapan alluvial menjadi sangat penting di dalam dunia pertambangan timah, hal ini disebabkan awal mula ditemukannya timah adalah timah pada alluvial dan sampai saat ini produksi terbesar PT Tambang Timah adalah hasil penambangan

BERDASARKAN BENTUK DAN BESAR BUTIR

BERDASARKAN KANDUNGAN KARBONAT

Batu lempung Lempung

Lanau Napal

Batu pasir Napal gampingan

Breksi Gamping napalan

Konglomerat Batu gamping

Batubara, minyak bumi, gas

Gambar 1.18. Batuan metamorf schistose


(19)

dengan timah sekunder.

Gambar 1.19. Penampang Klasifikasi Endapan Alluvial (Smirnov 1976)

Endapan alluvial merupakan endapan yang relatif berumur muda (kuarter) yang berada di atas batuan dasar yang jauh lebih tua (tersier atau pra tersier). Demikian pentingnya pembahasan endapan alluvial sehingga timbullah disiplin ilmu tersendiri yaitu geologi kuarter. Keterdapatan timah di dalam endapan alluvial inilah yang menjadikan paradigma eksplorasi timah berkembang dimulai dari teori kaksa, teori mother rock hunting dan teori valey hunting.

Teori tersebut berkembang karena untuk mendapatkan endapan alluvial yang kaya akan potensi mineral (dalam hal ini timah) maka harus ada sumber yang menghasilkan mineral tersebut (timah) selanjutnya harus ada proses pelapukan, erosi dan transportasi serta yang terpenting adalah adanya tempat terjadinya akumulasi (perangkap). Dengan demikian tidak semua endapan alluvial kaya akan kandungan timah, dengan kata lain tidak semua lembah menjadi perangkap timah yang ekonomis. Dengan kata lain bahwa kita akan mendapatkan timah alluvial jika terpenuhi tiga kriteria yaitu adanya batuan sumber pembawa timah, media transportasi dan tempat akumulasi (perangkap).

1.7. Keterdapatan Endapan Timah

Masyarakat mengenal timah terdiri dari dua macam yaitu timah hitam (timbal) dan timah putih. Timah putih dalam bentuk logamnya disebut Stanium (Sn), sedangkan


(20)

mineralnya adalah kasiterit (SnO2). Sumber batuan yang membawa timah adalah batuan beku asam (granitik). Sampai saat ini kita mengenal bahwa batuan yang membawa timah cukup kaya adalah batuan granit yang berumur kapur sampai trias yang berjenis S tipe. Keterdapatan endapan timah yang terkenal di dunia ada pada daerah yang disebut dengan sabuk timah (tin belt) yang membentang dari daratan Birma, Thailand, Malaysia berlanjut sampai Indonesia yaitu di kepulauan Karimun, Kundur, Singkep, Bangka Belitung, Karimata dan berakhir di Kalimantan Barat.

Kepulauan timah di Indonesia (The Indonesian Tin Island) merupakan ujung selatan jalur timah Asia Tenggara (The South East Asia Tin Belt). Jalur timah di Indonesia dua per tiga bagiannya berada di dasar laut.

Jenis cebakan timah dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu timah primer dan timah sekunder (placer). Endapan timah primer pada umumnya berada pada batuan induk (granit) yaitu pada bagian penutup (copula).

Selain itu juga terdapat pada batuan samping baik berupa skarn maupun dalam bentuk vein (urat), biasa dikenal masyarakat sebagai timah kulit.

Endapan timah sekunder merupakan endapan hasil dari rombakan (pelapukan) dari batuan induk pembawa timah kemudian mengalami transportasi dan sedimentasi (pengendapan).

Keterdapatan dua jenis cebakan timah ini (primer dan placer) mengharuskan perlakuan di dalam eksplorasi dan eksploitasinya berbeda. Pada timah primer pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasinya jauh lebih rumit dan lebih mahal dibandingkan dengan eksplorasi dan eksploitasi pada timah alluvial. Penambangan timah alluvial relatif mudah dilakukan mulai dengan menggunakan teknologi yang sangat sederhana dengan biaya yang relatif murah terutama pada daerah yang relatif dangkal. Hal inilah yang mengakibatkan maraknya tambang-tambang rakyat/tambang ilegal saat ini.

Timah primer banyak kita jumpai di daerah Belitung antara lain di daerah Selumar, Batu Besi, Tikus, Garumedang dan Air Antu, sedangkan di Bangka bisa kita jumpai di daerah Air Jangkang, Sambung Giri, Pemali dan Lumut.

Gambar 1.20. Jalur Timah Asia Tenggara


(21)

1.8. Mineral Kasiterit (Timah)

Pasir timah yang kita kenal merupakan mineral yang bernama kasiterit dengan rumus kimia SnO2, sedangkan logam timah adalah logam stanium (Sn). Mineral kasiterit secara umum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

Warna : coklat, hitam, kuning, kemerahan

Sistem kristal : tetragonal Gores : putih, kecoklatan Kilap : adamantin, greasy Transparansi : translucent - opaq Kekerasan : 7 (mohs)

Berat jenis : 6,6 - 7,1 Belahan : imperfect

Keterdapatan mineral kasiterit biasanya bersamaan dengan mineral assesoris atau biasa disebut sebagai mineral ikutan.

Mineral ikutan kasiterit ada yang berasal dari batuan induk dan juga mineral yang terbentuk pada saat pengendapan (disebabkan lingkungan pengendapan tertentu) pada endapan timah sekunder. Mineral ikutan kasiterit diantaranya yaitu : ilmenit, zircon, tourmalin, wolframit, pirit, kalkopirit, monazit, magnetit, hematit, limonit, dan siderit. Siderit adalah salah satu contoh mineral ikutan yang terbentuk akibat lingkungan pengendapan.

1.9. Penyajian Data Eksplorasi

Hasil dari kegiatan eksplorasi biasanya disajikan dalam bentuk laporan yang berisikan data-data antara lain kondisi geologi, morfologi, data hasil sampling, data analisa laboratorium dan hasil analisa interpretasi geologi berupa daerah prospek, akumulasi

Gambar 1.21. Mineral Kasiterit (di bawah mikroskop)


(22)

cadangan dan lain sebagainya. Selain itu juga dilengkapi dengan berbagai peta yang digunakan dan yang dihasilkan dari kegiatan eksplorasi tersebut.

Dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi timah kita mengenal beberapa jenis peta dan data-data yang biasa digunakan antara lain :

- Peta Topografi

o Peta kontur/topografi permukaan, topografi dasar laut o Peta kontur/topografi bed rock (kong)

- Peta Geologi

- Peta Pemboran, (peta RK Penggalian) - Peta Isograde, (peta Kontur TDH)

- Peta Penampang Melintang (profil data bor)

Gambar 1.22. Peta Geologi Pulau Bangka


(23)

(24)

Gambar 1.25. Peta RK Kapal Keruk dan Penampang Melintang Data Bor

1.10. Istilah-Istilah Dalam Penambangan Timah

Di dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi timah dikenal beberapa istilah baik yang biasa kita jumpai di dalam dunia eksplorasi dan penambangan secara umum maupun yang khusus kita kenal di lingkungan PT Timah (Persero) Tbk, adapun istilah-istilah tersebut antara lain :

- Bed rock/Kong : adalah batuan dasar (batuan yang menjadi dasar atau alas dari endapan alluvial), di lingkungan PT Timah (Persero) Tbk biasa disebut dengan sebutan “Kong”. Bed rock/kong di daerah operasional PT Timah (Persero) Tbk saat ini pada umumnya terdiri dari batuan beku granit, batuan metasedimen (batu pasir, batu lempung) dan batuan metamorf (sabak/filit, skis dan gneiss). Kondisi kong (bed rock) biasanya lapuk sampai dengan fress.

- Ore body : adalah bentuk tiga dimensi lapisan yang mengandung mineral ekonomis (dalam hal ini timah). Di lingkungan PT Timah (Persero) Tbk jenis ore body (lapisan bertimah) pada timah alluvial dikenal terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu kaksa dan miencan. o Kaksa : lapisan yang kaya dengan kandungan timah yang berada persis di atas

batuan dasar (kong).

o Miencan : lapisan bertimah yang tidak langsung berada di atas batuan dasar (kong), di atas kaksa.

- Overburden (Tanah atas) : yaitu lapisan yang tidak mengandung timah yang harus dikupas dan dibuang sebelum penggalian miencan atau kaksa.

- Interburden : lapisan tidak bertimah diantara dua lapisan miencan atau diantara lapisan miencan dan kaksa.

- Klaikap dan teksikoi : lapisan pasir halus yang relatif keras karena tersementasi berwarna putih sampai coklat kehitaman, apabila tersementasikan oleh oksida besi maka biasa disebut sebagai lapisan teksikoi. Pada umumnya setelah terkena udara bebas (oksidasi) maka lapisan akan menjadi rapuh.

- Kaks : lapisan lempung liat yang keras dan kering, biasanya merupakan lapisan kaolin/feldspar yang cukup tebal. Lapisan ini yang biasa menjadi kong palsu (dianggap sebagai kong padahal masih alluvial).

- WP (werk put) : adalah talud pada permulaan front kerja kapal keruk yang dibuat supaya tepat pada kong line dengan tujuan ladder bisa menggali lapisan bertimah sampai kong. WP pada umumnya dibuat dengan panjang 3 kali dari tebal lapisan. (maju trap 3 m dan tekan 1 m).


(25)

penggalian bisa bersih dan tidak longsor.

- Slope : adalah derajat kemiringan lereng di sisi kolong kerja supaya tidak terjadi kelongsoran, besar kemiringan lereng tergantung dari jenis litologi yang digali.

- LDH (Luas Dihitung) : adalah hasil perhitungan luas daerah rencana kerja penambangan/ penggalian.

- DDH (Dalam Dihitung) : adalah hasil perhitungan ketebalan lapisan yang akan ditambang/digali berdasarkan data bor yang ada.

- IDH (Isi Dihitung) : adalah hasil perhitungan jumlah volume (isi) rencana penggalian (LDH x DDH).

- TDH (Timah Dihitung) : adalah hasil perhitungan kekayaan timah (grade) berdasarkan data eksplorasi pada blok rencana kerja.

- PDH (Produksi Dihitung) : adalah jumlah produksi hasil perhitungan berdasarkan data eksplorasi (IDH x TDH).

- DSB (Dalam Sebenarnya) : adalah dalam rata-rata realisasi penggalian berdasarkan hasil pengukuran.

- ISB (Isi Sebenarnya) : adalah volume realisasi penggalian sampai dengan bed rock. - IJ (Isi Jumlah) : jumlah volume realisasi penggalian termasuk talud (ISB + isi talud). - TSB (Timah Sebenarnya) : Kadar Sn hasil realisasi penggalian (PSB/ISB).

- PSB (Produksi Sebenarnya) : adalah realisasi produksi hasil penggalian.

- KH (Koefisien Hasil) : adalah perbandingan antara Produksi Sebenarnya dengan Produksi Dihitung, atau setara dengan perbandingan antara Timah Sebenarnya dengan Timah Dihitung (PSB/PDH setara dengan TSB/TDH).

CODE

TERMINOLOGI ENGLISH

PKPHTB

Pasir Kasar Pasir Halus Tanah Bekas

Coarse sand dominant with fine sand (Tailing)

PKPHLP

Pasir Kasar Pasir Halus Lempung

Coarse sand dominant with fine sand and clay

PHPKLP Pasir Halus Pasir Kasar Lempung

Fine sand dominant with coarse sand and clay

PHTB Pasir Halus Tanah Bekas

Fine sand (Tailing)

PHPKTB Pasir halus Pasir Kasar Tanah Bekas


(26)

LPPHPK Lempung Pasir Halus Pasir Kasar

Clay dominat with fine sand and coarse sand

PHPKKI Pasir Halus Pasir Kasar Kerikil

Fine sand dominant with coarse sand and gravel

PKPH Pasir Kasar Pasir Halus

Coarse sand dominant with fine sand

PHPKLPT B

Pasir Halus Pasir

Kasar Lempung

Tanah Bekas

Fine sand dominant with coarse sand and clay (Insitu soil)

1.11. Kekayaan dan Grid (Jaringan) Lubang Bor

Sistem perhitungan kekayaan lubang bor guna menghitung cadangan di Belitung tercatat mulai ada pada tahun 1851 dengan pikul timah/1.000 m3, sedangkan di Bangka pada tahun 1899 yang dinyatakan dalam pikul timah/300 m3, dimana 15 pikul = 1.000 kg (short ton) 16,8 pikul = 1 long ton (2.240 lb). Sekitar tahun 1927 dirubah menjadi kg/m3 dan sesudah perang dunia ke II dirubah kembali menjadi kuintal/1.000 m3, dan terakhir berubah kembali pada tahun 1990 dikonversikan kembali menjadi kg/m3. Data pemboran biasa ditampilkan dalam bentuk tanda lubang bor dan keterangannya, baik berupa no lubang bor, ketinggian topografi permukaan (TLR) lubang bor, ketebalan lapisan pemboran, ketinggian topografi bed rock, dan kekayaan lubang bor, klasifikasi data bor, dll.

Jarak atau spasi pemboran disusun pada awal abad ke 20 berdasarkan hitungan kapasitas penggalian bulanan pada masing-masing daerah penambangan dibandingkan dengan kedalaman rata-rata cadangan dan monitoring kemajuan penggalian sehingga bisa digambarkan dan diikuti dengan jelas. Untuk di daratan Bangka rata-rata laju penggalian 12.500 m3/bulan dengan kedalaman rata-rata 8 m sehingga supaya jarak grid lubang bor serasi grid ditentukan dengan perhitungan : √1500/8 = 39,53 m, dibulatkan menjadi 40 m, sehingga peta (net blad) untuk Bangka diputuskan berskala 1:2.000, dengan pertimbangan jarak antar lubang bor 40 m dapat tergambar dengan jarak 2 cm di dalam peta. Grid pemboran di Belitung dengan rata-rata laju penggalian 12.500 m3/bulan dan kedalaman rata-rata 5 m maka grid pemboran di Belitung adalah 50 m x 50 m, dengan peta berskala 1 : 2.500, sehingga jarak antar lubang bor juga dapat digambarkan 2 cm di dalam peta.

Sementara itu untuk grid pemboran di laut didasarkan pada kemampuan gali kapal keruk 7 s.d. 9 cuft di Dabo pada tahun 1910 dimana laju pemindahan tanah per bulan antara


(27)

pemboran yang praktis adalah 100 m x 100 m. Namun untuk saat ini dan masa depan ketentuan tersebut tidak mutlak bisa diikuti, hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain, kemampuan dan teknologi penggalian yang ada sudah jauh berbeda, baik dalam kapasitas laju pemindahan tanah maupun kedalaman penggalian. Hal yang lebih penting adalah karakter dari pada cadangan tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya terutama di dalam sistem penyebaran kadar timah yang sangat dipengaruhi oleh kontrol geologi yang ada. Dengan demikian di dalam penentuan grid pemboran akan lebih tepat jika didasarkan pada karakter cadangan yang ada berdasarkan hasil analisa kontrol geologi yang mempengaruhinya.

Data-data lubang bor serta kekayaannya biasanya digambarkan dalam bentuk simbol khusus yang hanya berlaku di lingkungan PT Tambang Timah, contoh sebagai berikut :

 125/13/06 (no lubang bor, tahun pemboran 2006)

 -12,5 (tinggi permukaan tanah)

 15,5 (ketebalan lapisan)

 -28,0 (tinggi permukaan bed rock/kong)

 1,25 (kekayaan lubang bor : 1,25 kg/m3)

Di dalam mengklasifikasikan range kekayaan (kadar timah) per lubang bor yang biasa ditampilkan pada peta-peta pemboran PT Timah (Persero) Tbk menggunakan tanda-tanda khusus yang tidak biasa digunakan di perusahaan lain. Pada saat ini kita mengenal klasifikasi (range) kekayaan lubang bor yang terbagi di dalam 11 kelas yang menggambarkan range kekayaan dihitung dalam kg/m3, sedangkan pada awalnya hanya terdiri dari 10 kelas dengan kekayaan dihitung dalam pikol/1.000m3. Selain itu juga ada tanda-tanda khusus yang menggambarkan apakah lapisan yang dibor insitu atau tailing, sebagian insitu sebagian tailing, pemboran tidak sampai kong (TSK), (tanda khusus diberikan jika pemboran tidak sampai kong (TSK) karena adanya batu keras atau kayu). Adanya kekayaan timah yang terkandung di dalam lapisan kaksa dengan kekayaan melebihi 0,6 kg/m3 diberikan tanda khusus yang biasa disebut dengan tanda bendera kaksa. Tanda-tanda ini digunakan untuk mempermudah pembacaan peta terutama untuk melihat gambaran sebaran kekayaan secara umum, sedangkan untuk perhitungan cadangan guna perencanaan penambangan harus dihitung dengan detail. Adapun tanda kekayaan lubang bor yang biasa dipergunakan di PT Timah (Persero) Tbk adalah sebagai berikut :


(28)

NO SIMBOL LAMA KETERANGAN (Pikol/1.000m3)

BARU (Kg/m3)

1 - 0,000 – 0,050

2

1 0,051 – 0,100

3 2 0,101 – 0,200

4 3 0,201 – 0,250

5 4 0,251 – 0,300

6 5 0,301 – 0,350

7 6 -7 0,351 – 0,450

8 8 - 15 0,451 – 0,900

9 16 - 24 0,901 – 1,500

10 24 1,501 – 2,500

11  2,501

12 Tailing

13

Tailing di lapisan atas Lapisan bawah insitu

14 TSK

15 TSK Batu

16 TSK Kayu

17

Bendera Kaksa

(TDH kaksa > 0,6 kg/m3)


(29)

BAB 2

SURVEI PEMETAAN DAN SURVEI GPS

2.1.Survei Pemetaan

2.1.1. Definisi Survei Pemetaan

Survei pemetaan atau pemetaan (mapping) adalah kegiatan pengukuran dalam pemetaan bumi. Pemetaan bumi merupakan kegiatan pengukuran, perhitungan, pendataan, dan penggambaran bumi, khususnya permukaan bumi.

Survei pemetaan adalah suatu kegiatan yang mendeskripsikan bentuk fisik bumi ke bidang datar (Umaryono Purwohardjo, 1986).

Tahapan pekerjaan dalam pembuatan peta adalah :

1. Melakukan pengukuran-pengukuran pada dan diantara titik-titik di muka bumi (surveying).

2. Menghimpun, menghitung dan memindahkan hasil ukuran pada bidang datar peta. 3. Menampilkan topografi permukaan bumi dalam bentuk simbolisasi. Misalnya : sungai,

saluran irigasi, bangunan, jalan, dll.

Pengukuran-pengukuran dilakukan untuk menentukan posisi (koordinat dan ketinggian) titik-titik di muka bumi. Titik-titik di muka bumi yang diukur, dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu titik-titik kerangka dasar dan titik-titik detail.

Titik-titik kerangka dasar adalah sejumlah titik-titik (ditandai dengan patok terbuat dari kayu atau beton) yang dibuat dengan kerapatan tertentu yang akan digunakan untuk menentukan koordinat dan ketinggian titik-titik detail. Titik-titik detail adalah titik-titik yang


(30)

telah ada di lapangan yaitu titik-titik sepanjang pinggiran sungai, jalan, pojok-pojok bangunan, dll.

Titik-titik kerangka dasar yang digunakan dalam keperluan pemetaan disebut titik kerangka dasar pemetaan. Geodesi mengenal dua macam titik-titik kerangka dasar yaitu titik kerangka dasar horizontal atau biasa disebut kerangka kontrol horizontal (KKH) dan titik kerangka dasar vertikal atau biasa disebut kerangka kontrol vertikal (KKV).

A. Kerangka Kontrol Horizontal (KKH)

Kerangka kontrol horizontal adalah kerangka dasar pemetaan yang memperlihatkan posisi titik satu terhadap yang lain di atas permukaan bumi pada bidang datar secara horizontal.

Azimuth adalah sudut yang diukur searah jarum jam dan sembarang dari sembarang meridian acuan. Azimuth biasanya diukur dari utara, tetapi para ahli astronomi, militer, dan National Geodetic Survey memakai selatan sebagai arah acuan. Azimuth sebuah garis adalah jurusan horizontal yang diukur searah jarum jam dari sebuah jurusan nol yang menunjukkan utara dari stasiun yang ditempati.

Metode yang digunakan dalam penentuan KKH antara lain dengan metode poligon, perpotongan kemuka, perpotongan kebelakang, triangulasi, trilaterasi, dan triangulaterasi yang akan dijelaskan sebagai berikut :

- Perpotongan Kemuka

Pada metode perpotongan kemuka koordinat suatu titik dicari dua buah titik tetap yang sudah diketahui, kemudian diukur sudut dan jarak dari titik tetap ke arah titik yang akan dicari koordinatnya.


(31)

- Perpotongan Kebelakang

Metode perpotongan kebelakang membutuhkan minimum tiga buah titik tetap, alat ukur sudut diletakkan pada titik yang akan dicari koordinatnya. Titik tersebut diukur masing-masing sudut dan jarak antar titik dari data tersebut koordinat titik akan didapatkan.

- Triangulasi

Penentuan posisi horizontal dari suatu titik dengan metode triangulasi, semua sudut dalam segitiga harus diukur dan satu basis/sisi segitiga harus diketahui.


(32)

- Trilaterasi

Pada metode trilaterasi semua sisi dari segitiga harus diukur jaraknya untuk mendapatkan posisi horizontal dari suatu titik.

- Triangulaterasi

Pada metode triangulaterasi semua sisi dan jarak dari segitiga harus diukur untuk mendapatkan posisi horizontal dari suatu titik.


(33)

B. Kerangka Kontrol Vertikal (KKV)

Kerangka kontrol vertikal adalah kerangka dasar pemetaan yang memperlihatkan ketinggian satu titik terhadap yang lainnya di atas permukaan bumi pada bidang datar secara vertikal. Pengukuran KKV bertujuan untuk menentukan selisih tinggi atau beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi, dimana titik tersebut dinyatakan di atas suatu bidang persamaan atau bidang referensi.

Adapun jenis-jenis survei pemetaan adalah sebagai berikut : a. Jenis survei pemetaan berdasarkan ukurannya :

- Plan surveying (pemetaan topografi) : Bumi dianggap datar. Faktor kelengkungan bumi tidak diperhitungkan. Jarak area yang dipetakan kurang dari 55 km.

- Geodetic surveying (survei geodetik) : Penggambaran bumi berdasarkan georeferensi. Faktor kelengkungan bumi harus diperhitungkan. Jarak area yang dipetakan lebih dari 55 km.

b. Jenis survei pemetaan berdasarkan posisinya : - Pemetaan horizontal

- Pemetaan vertikal

c. Jenis survei pemetaan berdasarkan areanya : - Terrestrial (darat dan laut)

- Ekstraterrestrial (dari dan ke udara atau angkasa) d. Jenis survei pemetaan berdasarkan ruang lingkupnya :

- Survei pemetaan tanah atau Surta atau Surveying (darat dan laut) - Survei hidrografi

- Survei fotogrametri

- Survei gravimetri

- Survei satelit geodetik

Pengukuran detail situasi atau yang biasa disebut survei topografi merupakan suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda (features) buatan manusia maupun alamiah di


(34)

atas permukaan tanah (Wirshing, 1995). Pengukuran ini dilakukan untuk memperoleh data-data koordinat planimetris (x,y) dan koordinat tinggi (z).

Maksud pengukuran dan pemetaan detail situasi adalah untuk membuat peta yang memuat informasi tentang kedudukan (posisi) titik-titik di permukaan bumi secara menyeluruh.

Sedangkan tujuan pembuatan peta situasi yaitu :

1. Membuat peta teknis, yaitu peta yang mempunyai skala besar (1:500–1:2.500) dan digunakan untuk keperluan pekerjaan perencanaan/pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan teknik sipil, arsitektur, teknik lingkungan, dan lainnya.

2. Membuat peta tematis, yaitu peta yang mempunyai skala relatif agak kecil (1:5.000– 1:10.000) dan digunakan untuk keperluan dengan tema/topik tertentu.

Pengukuran titik-titik detail dapat dilakukan dengan salah satu cara atau kombinasi cara-cara berikut ini :

a. Metode Offset (Chain Surveying)

Merupakan cara pengukuran titik-titik detail dengan mengukur jaraknya dari titik-titik yang terletak pada garis lurus yang menghubungkan dua titik kerangka dasar dan alat utama yang digunakan adalah pita ukur/rantai ukur. Pengukuran dengan metode ini digunakan untuk pemetaan daerah kecil dan relatif datar, misalnya persil di dalam kota.

b. Metode Grafis

Adalah cara dimana titik-titik detail diukur dan diplot di lapangan dengan menggunakan alat ukur yang dinamakan meja ukur atau meja lapangan.

c. Metode Tachimetri

Metode ini merupakan cara yang paling banyak digunakan dalam praktik pengukuran detail situasi, terutama untuk pemetaan daerah yang luas dan untuk detail-detail yang bentuknya tidak beraturan. Metode ini dapat memudahkan proses pemetaan permukaan tanah.

2.1.2. Peta

Peta adalah gambaran permukaan bumi dalam bidang datar dengan skala tertentu pada sistem koordinat tertentu. Peta merupakan media untuk menyimpan dan menyajikan informasi tentang rupa bumi dengan penyajian pada skala tertentu.

Kalau Anda bertanya kapan peta mulai ada dan digunakan manusia? Jawabannya adalah peta mulai ada dan digunakan manusia, sejak manusia melakukan penjelajahan dan


(35)

mengenai lokasi suatu tempat. Ilmu yang mempelajari pembuatan peta disebut kartografi. Adapun syarat-syarat peta adalah :

1. Peta harus rapi dan bersih

2. Peta tidak boleh membingungkan 3. Peta harus mudah dipahami

4. Peta harus memberikan gambaran yang sebenarnya Fungsi utama dari suatu peta adalah :

1. Menunjukkan posisi atau lokasi suatu tempat di permukaan bumi.

2. Memperlihatkan ukuran (luas, jarak) dan arah suatu tempat di permukaan bumi.

3. Menggambarkan bentuk-bentuk di permukaan bumi, seperti benua, negara, gunung, sungai dan bentuk-bentuk lainnya.

4. Membantu peneliti sebelum melakukan survei untuk mengetahui kondisi daerah yang akan diteliti.

5. Menyajikan data tentang potensi suatu wilayah. 6. Alat analisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan. 7. Alat untuk menjelaskan rencana-rencana yang diajukan.

8. Alat untuk mempelajari hubungan timbal-balik antara fenomena-fenomena (gejala) geografi di permukaan bumi.

Jenis peta berdasarkan isinya

Berdasarkan isinya, peta dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu : peta umum dan peta khusus (tematik).

A. Peta Umum

Peta umum adalah peta yang menggambarkan permukaan bumi secara umum. Peta umum ini memuat semua penampakan yang terdapat di suatu daerah, baik kenampakan fisis (alam) maupun kenampakan sosial budaya. Kenampakan fisis misalnya sungai, gunung, laut, danau dan lainnya. Kenampakan sosial budaya misalnya jalan raya, jalan kereta api, pemukiman kota dan lainnya.

Peta umum ada 2 jenis yaitu : peta topografi dan peta chorografi a. Peta Topografi

Peta topografi yaitu peta yang menggambarkan bentuk relief (tinggi rendahnya) permukaan bumi. Dalam peta topografi digunakan garis kontur (countur line) yaitu garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai ketinggian sama.


(36)

Kelebihan peta topografi :

• Untuk mengetahui ketinggian suatu tempat.

• Untuk memperkirakan tingkat kecuraman atau kemiringan lereng.

Pernahkah Anda menggunakan dan melihat peta topografi ? Ciri utama peta topografi adalah menggunakan garis kontur.

Beberapa ketentuan pada peta topografi :

1) Makin rapat jarak kontur yang satu dengan yang lainnya menunjukkan daerah tersebut semakin curam. Sebaliknya semakin jarang jarak antar kontur menunjukkan daerah tersebut semakin landai.

2) Garis kontur yang diberi tanda bergerigi menunjukkan depresi (lubang/cekungan) di puncak, misalnya puncak gunung yang berkawah.

3) Peta topografi menggunakan skala besar antara 1:50.000 sampai 1:100.000. b. Peta Chorografi

Peta chorografi adalah peta yang menggambarkan seluruh atau sebagian permukaan bumi dengan skala yang lebih kecil antara 1:250.000 sampai 1:1.000.000 atau lebih. Peta chorografi menggambarkan daerah yang luas, misalnya provinsi, negara, benua bahkan dunia. Dalam peta chorografi digambarkan semua kenampakan yang ada pada suatu wilayah diantaranya pegunungan, gunung, sungai, danau, jalan raya, jalan kereta api, batas wilayah, kota, garis pantai, rawa dan lain-lain. Atlas adalah kumpulan dari peta chorografi yang dibuat dalam berbagai tata warna.

B. Peta Khusus (Tematik)

Peta khusus adalah peta yang menggambarkan kenampakan-kenampakan (fenomena geosfer) tertentu, baik kondisi fisik maupun sosial budaya. Contoh peta khusus/tertentu : peta curah hujan, peta kepadatan penduduk, peta penyebaran hasil pertanian, peta penyebaran hasil tambang, chart (peta jalur penerbangan atau pelayaran).

Jenis peta berdasarkan tujuannya

Peta dibuat orang dengan berbagai tujuan. Macam-macam peta berdasarkan tujuannya : 1. Peta Pendidikan (Educational Map)

Contohnya : peta lokasi sekolah SLTP/SMU 2. Peta Ilmu Pengetahuan

Contohnya : peta arah angin, peta penduduk 3. Peta Informasi Umum (General Information Map)


(37)

Contohnya : peta museum, peta rute bus 5. Peta Navigasi

Contohnya : peta penerbangan, peta pelayaran 6. Peta Aplikasi (Technical Application Map)

Contohnya : peta penggunaan tanah, peta curah hujan 7. Peta Perencanaan (Planning Map).

Contohnya : peta jalur hijau, peta perumahan, peta pertambangan Komponen atau Kelengkapan Peta, yaitu sebagai berikut :

1. Judul Peta 2. Skala Peta 3. Proyeksi Peta 4. Insert Peta

5. Legenda (Keterangan Peta) 6. Simbol dan Warna Peta 7. Petunjuk Arah (Orientasi)

8. Garis Tepi dan Garis Sistem Proyeksi 9. Sumber dan Tahun Pembuatan Peta

2.1.3. Skala Peta

Skala peta merupakan komponen peta yang sangat penting karena dengan skala peta kita dapat mengetahui jarak antara dua tempat. Skala peta adalah perbandingan antara jarak di peta dengan jarak sebenarnya di permukaan bumi.

Misalnya jarak antara kota A ke kota B di peta adalah 10 cm sedangkan jarak sesungguhnya di lapangan adalah 200 meter (20.000 cm), maka skala peta yang digunakan adalah :

S = 10 / 20,0000

S = 1 / 2.000 (Skala 1 : 2.000)

Setiap peta hendaknya mencantumkan skalanya agar pembaca dapat menghitung dan memperkirakan perbesaran pada keadaan yang sebenarnya.


(38)

Macam-macam skala : 1. Skala Angka / Numerik

Adalah skala yang ditampilkan dengan simbol angka. Contoh : Skala 1:2.000

2. Skala Grafik / Batang

Adalah skala yang ditampilkan dalam bentuk grafik/gambar yang menyatakan perbandingan panjang ukuran di peta dengan ukuran sebenarnya di lapangan.

Contoh :

Berdasarkan skalanya peta dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu :

1. Peta kadaster/teknik adalah peta yang mempunyai skala antara 1:100 sampai 1:5.000. 2. Peta skala besar adalah peta yang mempunyai skala 1:5.000 sampai 1:250.000.

3. Peta skala sedang adalah peta yang mempunyai skala antara 1:250.000 sampai 1:500.000.

4. Peta skala kecil adalah peta yang mempunyai skala 1:500.000 sampai 1:1.000.000 atau lebih.

Sampai di sini apakah Anda dapat memahami ? Selanjutnya, dalam pembahasan skala peta yang harus Anda ingat adalah semakin besar skalanya, maka akan semakin kecil kenampakan wilayah yang digambarkan. Sebaliknya semakin kecil skalanya semakin luas areal kenampakan permukaan bumi yang tergambar dalam peta. Untuk memahami skala termasuk besar atau kecil dapat dicontohkan sebagai berikut:

- Skala 1 : 50.000 lebih besar dari 1 : 100.000 - Skala 1 : 200.000 lebih besar dari 1 : 2.000.000 - Skala 1 : 250.000 lebih kecil dari 1 : 50.000


(39)

2.1.4. Sistem Koordinat Peta

Koordinat adalah pernyataan besaran geometrik yang menentukan posisi satu titik dengan mengukur besar vektor terhadap satu posisi acuan yang telah didefinisikan. Posisi acuan dapat ditetapkan dengan asumsi atau ditetapkan dengan suatu kesepakatan matematis yang diakui secara universal dan baku. Jika penetapan titik acuan tersebut secara asumsi, maka sistem koordinat tersebut bersifat Lokal atau disebut Koordinat Lokal dan jika ditetapkan sebagai kesepakatan berdasar matematis maka koordinat itu disebut koordinat yang mempunyai sistem kesepakatan dasar matematisnya.

Sistem koordinat adalah kesepakatan tentang sistem penentuan posisi suatu obyek di muka bumi sehingga bisa ditampilkan ke dalam suatu peta. Dengan adanya sistem koordinat, maka dapat memudahkan untuk mengetahui dan memahami posisi di muka bumi. Selain itu juga akan mempermudah untuk melakukan pekerjaan pemetaan.

Pada dasarnya sistem koordinat terdiri dari dua macam yaitu sistem koordinat geografis dan sistem koordinat grid (kartesian).

A. Sistem Koordinat Geografis

Sistem koordinat geografis digunakan untuk menunjukkan suatu titik di bumi berdasarkan garis lintang dan garis bujur.

Garis lintang yaitu garis vertikal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan garis

k h atulistiwa. Titik di utara garis khatulistiwa dinamakan Lintang Utara sedangkan titik di selatan khatulistiwa dinamakan Lintang Selatan.


(40)

Garis bujur yaitu garis horizontal yang mengukur sudut antara suatu titik dengan titik nol di bumi yaitu Greenwich di London Britania Raya yang merupakan titik bujur 0° atau 360° yang diterima secara internasional. Titik di barat bujur 0° dinamakan Bujur Barat

sedangkan titik di timur 0° dinamakan Bujur Timur.

Gambar 2.2. Sistem koordinat geografis

Ciri – ciri sistem koordinat geografis :

■ Posisi titik dianggap berada pada suatu bidang bola bumi yang berbentuk elips ■ Menggunakan satuan derajat, menit, detik (⁰, ‘, “)

■ Format Latitude (arah utara selatan) dan Longitude (arah timur barat) ■ Contoh koordinat geografis : (105⁰ 05’ 13“ E ; 01⁰ 05’ 46” N)

B. Sistem Koordinat Grid (Kartesian)

Sistem koordinat kartesius dalam dua dimensi umumnya didefinisikan dengan dua sumbu yang saling bertegak lurus antara satu dengan yang lainnya, yang keduanya terletak pada satu bidang (bidang xy). Sumbu horizontal diberi label x, dan sumbu vertikal diberi label y. Pada sistem koordinat tiga dimensi, ditambahkan sumbu yang lain yang sering diberi label z. Sumbu-sumbu tersebut orthogonal antara satu dengan yang lainnya. (Satu sumbu dengan sumbu lain bertegak lurus).

Titik pertemuan antara kedua sumbu, titik asal, umumnya diberi label 0. Setiap sumbu juga mempunyai besaran panjang unit, dan setiap panjang tersebut diberi tanda dan ini


(41)

koordinat dua dimensi, nilai x ditulis (absis), lalu diikuti dengan nilai y (ordinat). Dengan demikian, format yang dipakai selalu (x,y) dan urutannya tidak dibalik-balik.

Gambar 2.3. Sistem koordinat grid (kartesian)

Ciri – ciri sistem koordinat grid (kartesian) :

■ Posisi titik dianggap berada pada suatu bidang datar ■ Menggunakan satuan ukuran meter (m)

■ Format XY (X searah timur barat dan Y searah utara selatan) ■ Contoh koordinat grid : (547683,21 E ; 9678450,42 S)

2.1.5. Proyeksi Peta

Apabila Anda ingin menggambarkan perubahan benda yang berukuran tiga dimensi ke benda yang berukuran dua dimensi, benda itu harus diproyeksikan ke bidang datar.

Teknik proyeksi ini juga berlaku untuk memindahkan letak titik-titik pada permukaan bumi ke bidang datar yang dinamakan Proyeksi Peta.

Secara khusus pengertian dari proyeksi peta adalah cara memindahkan sistem paralel (garis lintang) dan meridian (garis bujur) berbentuk bola (globe) ke bidang datar (peta). Hasil pemindahan dari globe ke bidang datar ini akan menjadi peta. Pemindahan dari globe ke bidang datar harus diusahakan akurat. Agar kesalahan diperkecil sampai tidak ada kesalahan maka proses pemindahan harus memperhatikan syarat-syarat di bawah ini :

Y

X ( X,


(42)

1. Bentuk-bentuk di permukaan bumi tidak mengalami perubahan (harus tetap), persis seperti pada gambar peta di globe bumi.

2. Luas permukaan yang diubah harus tetap.

3. Jarak antara satu titik dengan titik lain di atas permukaan bumi yang diubah harus tetap. Di dalam proses pembuatan peta untuk dapat memenuhi ketiga syarat di atas sekaligus adalah suatu hal yang tidak mungkin. Bahkan untuk dapat memenuhi satu syarat saja untuk seluruh bola dunia juga merupakan hal yang tidak mungkin, yang bisa dipenuhi hanyalah satu saja dari syarat-syarat di atas dan ini hanya untuk sebagian kecil dari muka bumi.

Anda paham penjelasan di atas ? Belum ? Baiklah ! Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam membuat peta kita hanya dapat menggambar beberapa bagian permukaan bumi. Untuk dapat membuat peta yang meliputi wilayah yang lebih luas atau bahkan seluruh permukaan bumi kita harus mengadakan kompromi antara ketiga syarat di atas. Sebagian dampak kompromi tersebut, keluarlah bermacam-macam jenis proyeksi peta. Masing-masing proyeksi mempunyai kelebihan dan kelemahan sesuai dengan tujuan peta dan bagian muka bumi yang digambarkan.

Bila diminta untuk memetakan seluruh permukaan bumi, maka Anda dituntut harus tepat dalam memilih proyeksi yang digunakan. Pemilihan proyeksi tergantung pada :

- Bentuk, luas, dan letak daerah yang dipetakan - Ciri-ciri tertentu/ciri asli yang akan dipertahankan

Salah satu sistem koordinat grid yang dipakai untuk seluruh dunia dan pada peta-peta umum di Indonesia yang merupakan hasil dari suatu proyeksi peta adalah sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator).

UTM menggunakan silinder yang membungkus elipsoid dengan kedudukan sumbu silindernya tegak lurus sumbu tegak elipsoid (sumbu perputaran bumi) sehingga garis singgung elipsoid dan silinder merupakan garis yang berhimpit dengan garis bujur pada elipsoid. Pada sistem proyeksi UTM didefinisikan posisi horizontal dua dimensi (x,y) menggunakan proyeksi silinder, transversal, dan conform yang memotong bumi pada dua meridian standar.


(43)

Gambar 2.4. Sistem Proyeksi UTM

Pada sistem koordinat UTM, seluruh permukaan bumi dibagi atas 60 bagian yang disebut dengan UTM zone. Setiap zone dibatasi oleh dua meridian sebesar 6° dan memiliki meridian tengah sendiri. Sebagai contoh, zone 1 dimulai dari 180° BB hingga 174° BB, zone 2 dimulai dari 174° BB hingga 168° BB, terus ke arah timur hingga zone 60 yang dimulai dari 174° BT sampai 180° BT. Batas lintang dalam sistem koordinat ini adalah 80° LS hingga 84° LU. Setiap bagian derajat memiliki lebar 8 yang pembagiannya dimulai dari 80° LS ke arah utara. Bagian derajat dari bawah (LS) dinotasikan dimulai dari C,D,E,F, hingga X (huruf I dan O tidak digunakan). Jadi bagian derajat 80° LS hingga 72° LS diberi notasi C, 72° LS hingga 64° LS diberi notasi D, 64° LS hingga 56° LS diberi notasi E, dan seterusnya.


(44)

Gambar 2.5. Pembagian Grid UTM

Setiap zone UTM memiliki sistem koordinat sendiri dengan titik nol pada perpotongan antara meridian sentralnya dengan ekuator. Untuk menghindari koordinat negatif, meridian tengah diberi nilai awal absis (x) 500.000 meter. Untuk zone yang terletak di bagian selatan ekuator (LS), juga untuk menghindari koordinat negatif ekuator diberi nilai awal ordinat (y) 10.000.000 meter. Sedangkan untuk zone yang terletak di bagian utara ekuator, ekuator tetap memiliki nilai ordinat 0.

Gambar 2.6. Zona Bujur UTM

Sumbu Utama 500,000 mT Zona 49 Zona 48 4 0 0 ,0 0

0 mT

3

0

0

,0

0

0 mT 6

0 0 ,0 0 0 m T 7 0 0 ,0 0 0 m T


(45)

Gambar 2.7. Zona Lintang UTM

Untuk wilayah Indonesia terbagi atas sembilan zone UTM, dimulai dari meridian 90° BT sampai dengan 144° BT dengan batas pararel (lintang) 11° LS hingga 6° LU. Dengan demikian wilayah Indonesia dimulai dari zone 46 (meridian sentral 93° BT) hingga zone 54 (meridian sentral 141° BT).

2.1.6. Transformasi Koordinat

Seringkali pada pekerjaan pemetaan kita dihadapkan atau mendapat kendala sistem koordinat yang digunakan berbeda. Hal ini tentulah akan menimbulkan kesulitan dalam proses pemasukan posisi objek yang akan dipetakan ke dalam peta yang mempunyai sistem koordinat yang berbeda. Misalnya koordinat lokasi A adalah koordinat geografis sedangkan peta yang digunakan adalah peta dalam sistem koordinat UTM.

Untuk kasus demikian, maka agar proses plotting peta dapat dilakukan harus dilakukan proses “transformasi koordinat”. Transformasi koordinat merupakan proses perubahan koordinat dari sistem koordinat yang satu menjadi sistem koordinat yang lain.

Gambar 2.8. Proses Transformasi Koordinat

Zona

48 Zona49

Garis

Khatulistiwa 0m

10,000,000 mS mU 9,000,000 mS mU 10,000 mU

100,000 mU


(46)

2.1.7. Plotting Peta

Bila kita diminta untuk menentukan posisi suatu objek di dalam suatu peta, maka kita harus memposisikan objek tersebut ke dalam peta. Proses tersebut yang biasa sering dikenal dengan istilah plotting peta. Plotting peta adalah proses pemindahan/penempatan posisi suatu titik (koordinat) dari pengukuran di lapangan atau sumber informasi lain ke dalam peta.

Hal yang harus diingat untuk proses plotting peta adalah bahwa kita harus mempunyai sistem koordinat yang sama antara koordinat posisi objek yang diplot dengan sistem koordinat yang digunakan pada peta. Proses plotting peta dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan penggaris skala atau dengan bantuan busur jangka.

Pada dasarnya tahapan plotting peta yang biasa dilakukan bila menggunakan sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) adalah dengan rincian sebagai berikut : 1) Lihat bacaan koordinat yang akan diplot untuk menentukan acuan garis grid yang akan

dipakai baik koordinat X maupun koordinat Y.

2) Hitung selisih antara bacaan koordinat yang akan diplot terhadap bacaan grid.

3) Dengan skala yang ada, hitung selisih bacaan koordinat tersebut ke dalam satuan jarak di peta (cm).

4) Plot koordinat tersebut terhadap sumbu X (arah barat timur) dan terhadap sumbu Y (arah utara selatan).

Contoh cara plotting peta adalah kasus berikut ini.

■ Bila diketahui posisi Kapal Isap Produksi dalam sistem koordinat UTM adalah (545010 ; 9760020) dan diminta untuk diketahui posisi tersebut pada peta Rencana Kerja skala 1:2.000 (seperti di bawah ini), maka urutan tahapan plotting yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

5 4 4 9 2 0 5 4 5 0 0 0 5 4 5 0 8 0 5 4 5 1 6 0 9760000 9760080 9760160 (545010 ; 9760020) 0,5 c m 1 c m


(47)

2. Lihat posisi koordinat tersebut terhadap grid terdekat.

► Untuk koordinat X (545010) terletak antara bacaan grid 545000 (sebelah kanan) dan bacaan grid 545080 (sebelah kiri). Untuk acuan grid kita gunakan grid 545000.

► Untuk koordinat Y (9760020) terletak antara bacaan grid 9760000 (sebelah atas) dan bacaan grid 9760080 (sebelah bawah). Untuk acuan grid, kita gunakan grid 9760000 3. Hitung selisih bacaan koordinat dengan bacaan grid acuan.

► Untuk koordinat X → selisih = 545010 – 545000 = 10 meter

► Untuk koordinat Y → selisih = 9760020 – 9760000 = 20 meter

Bila skala yang digunakan adalah skala 1:2.000, maka selisih tersebut di dalam peta adalah sebagai berikut :

► Selisih bacaan X = 10 meter = 10 x 100 (cm) = 1.000 cm

Sehingga selisih bacaan tersebut di dalam peta = skala x 1000 = (1 : 2.000 ) x 1000

= 0,5 cm ► Selisih bacaan Y = 20 meter = 20 x 100 (cm)

= 2.000 cm

Sehingga selisih bacaan tersebut di dalam peta = skala x selisih Y = (1 : 2.000) x 2.000 = 1 cm

4. Plotting koordinat tersebut sesuai dengan arah sumbunya. Untuk koordinat X searah timur barat (kanan kiri) sedangkan koordinat Y searah utara selatan (atas bawah).

2.2. SURVEI GPS (GLOBAL POSITIONING SYSTEM) 2.2.1. Definisi Survei GPS

Awalnya ide ini berasal dari seseorang di masa lampau yang berpikir, bagaimana keberadaan kita saat ini, lokasinya dimana, dan akan pergi ke suatu tempat yang tentunya memerlukan kejelasan lokasi tempat yang tepat. Terkadang, hanya menyebutkan alamat suatu tempat, belum tentu kita menemukan posisi yang dimaksud oleh alamat tadi. Ataupun ada


(48)

kesamaan alamat bisa terjadi pula. Hal inilah tentunya salah satu yang mendasari munculnya GPS.

Sistem navigasi dan posisi merupakan hal yang penting dalam berbagai aktivitas dan prosesnya sampai saat ini masih dianggap suatu hal yang rumit. Selama bertahun-tahun perkembangan teknologi berusaha menyederhanakan urutan suatu aplikasi teknologi, tetapi penyederhanaan prosespun terkadang merugikan kita juga.

Akhirnya, Departemen Pertahanan Amerika Serikat memutuskan bahwa militer mereka harus mempunyai suatu bentuk teknologi yang sangat teliti mengenai suatu posisi yang tepat dari suatu lokasi apapun yang ada di permukaan bumi ini. Kebetulan waktu itu mereka mempunyai dana segar senilai 12 juta dollar, dan tentunya hal ini dijadikan modal untuk membangun suatu teknologi mutakhir yang baik.

Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang berfungsi dengan baik. Sistem ini menggunakan 24 satelit yang mengirimkan sinyal

gelombang mikro ke Bumi. Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk menentukan posisi, kecepatan, arah, dan waktu. Sistem yang serupa dengan GPS antara lain GLONASSRusia, GalileoUni Eropa, dan IRNSSIndia.

Konsep pengukuran dengan GPS adalah sebagai berikut :

1. Satelit GPS bergerak mengelilingi bumi dalam orbitalnya yaitu 2 x sehari.

2. Masing-masing satelit GPS mentransmisikan sinyal data ke bumi dan sinyal-sinyal data tersebut digunakan untuk menghitung posisi suatu titik di bumi.

3. Untuk menghitung posisi tersebut, GPS mentransmisikan perbedaan waktu dimana waktu tersebut dihitung sebagai jarak dari beberapa satelit GPS ke permukaan bumi atau ke receiver GPS yang ada di bumi.

4. Untuk bisa menghitung posisi diperlukan minimal 3 sinyal satelit GPS yang tertangkap oleh receiver GPS kita di bumi. Dengan mendapatkan sinyal dari 3 satelit GPS kita bisa menghitung posisi secara 2 dimensi yaitu x dan y.

5. Bila receiver GPS bisa menangkap sinyal satelit minimal 4 satelit maka kita bisa menghitung suatu posisi secara 3 dimensi (x, y, z = ketinggian).

Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS adalah perpotongan ke belakang dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS. Untuk dapat melaksanakan prinsip penentuan posisi di atas, GPS dikelola dalam suatu sistem GPS yang terdiri dari 3 sistem utama yaitu sistem angkasa, sistem pengontrol dan sistem pemakai.


(49)

Gambar 2.9. Sistem Pengukuran GPS

1. Sistem Angkasa

Terdiri dari satelit-satelit GPS yang mengorbit mengelilingi bumi, jumlah satelit GPS ada 24 buah. Satelit GPS mengorbit mengelilingi bumi dalam 6 bidang orbit dengan tinggi rata-rata setiap satelit ± 20.200 km dari permukaan bumi.

Gambar 2.10. Sistem Angkasa

Setiap satelit GPS secara kontinyu memancarkan sinyal-sinyal gelombang pada 2 frekuensi L-band (dinamakan L1 dan L2). Dengan mengamati sinyal-sinyal dari satelit dalam jumlah dan waktu yang cukup, kemudian data yang diterima tersebut dapat dihitung untuk mendapatkan informasi posisi, kecepatan maupun waktu.


(50)

Adalah stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol satelit yang berfungsi untuk memonitor dan mengontrol kegunaan satelit-satelit GPS. Stasiun kontrol ini tersebar di seluruh dunia, yaitu di pulau Ascension, Diego Garcia, Kwajalein, Hawaii dan Colorado Springs. Disamping memonitor dan mengontrol fungsi seluruh satelit, juga berfungsi menentukan orbit dari seluruh satelit GPS.

3. Sistem Pengguna

Adalah peralatan (Receiver GPS) yang dipakai pengguna satelit GPS, baik di darat, laut, udara maupun di angkasa. Alat penerima sinyal GPS (Receiver GPS) diperlukan untuk menerima dan memproses sinyal-sinyal dari satelit GPS untuk digunakan dalam penentuan posisi, kecepatan, maupun waktu.

Ketelitian GPS yang dihasilkan :

1. Banyak faktor yang mempengaruhi akurasi posisi salah satu diantaranya adalah faktor atmosfer.

2. Sebagai system tracking GPS pada aplikasi penerbangan dapat dicapai ketelitian kurang lebih 15 meter.

3. Untuk lebih meningkatkan akurasi posisi bisa digunakan fasilitas WAAS (wide area augmentation system) dimana dapat akurasi ± 3-8 meter. Untuk fasilitas WAAS tidak diperlukan alat khusus untuk mendapatkan sinyal WAAS, sepanjang di negara tersebut dimana kita melakukan atau menggunakan receiver GPS terdapat atau terpasang WAAS Ground (untuk koreksi satelit).

4. Untuk lebih meningkatkan ketelitian digunakan DGPS dimana dapat meningkatkan ketelitian ± 3-5 meter.

Satelit GPS :

1. Satelit GPS pertama kali diluncurkan tahun 1978, perkembangannya sampai tahun 1994 terdapat 24 satelit GPS. Sekarang satelit GPS yang beroperasi sudah lebih dari 30 buah. 2. Usia satelit GPS rata-rata 10 tahun, sehingga apabila sudah melewati umur tersebut harus

dilakukan perawatan rutin ataupun diganti.

3. Berat satelit GPS rata-rata ± 2.000 pounds (± 1 ton), lebar solar panelnya ± 17 feet / ± 5 meter, power transmisi < 50 watt.

4. Posisi orbitalnya ± 12.000 mil di atas permukaan bumi dengan kecepatan jelajah 7.000 mph.


(51)

cadangan berupa backup baterai untuk menghindari pada saat terjadinya gerhana matahari total. Sedangkan untuk menstabilkan satelit GPS berada tetap pada orbitalnya maka dilengkapi beberapa roket kecil.

Gambar 2.11. Konstelasi Satelit GPS

Sinyal GPS :

1. Sinyal GPS dapat menembus awan, kaca dan plastik, yang banyak menghambat transmisinya adalah objek padat seperti gedung, pohon, gunung, bukit dan benda-benda padat lainnya.

2. Dalam sinyal GPS terdapat 3 data informasi yaitu pseudorandom code, ephemeris data, dan almanac data.

3. Almanac data intinya adalah informasi tentang lokasi satelit sebenarnya, di dalam tampilan receiver GPS kita ditunjukkan pada halaman GPS satelit status.

4. Ephemeris data berupa data kekuatan sinyal dan informasi waktu.

5. Pseudorandom code berupa informasi yang dikirimkan ke receiver GPS menerangkan bahwa receiver GPS kita menerima sinyal satelit. Dalam receiver GPS kita biasanya ditunjukkan berupa diagram batang sinyal.

Sumber Kesalahan pada GPS :

1. Kesalahan akibat keterlambatan sinyal setelah melewati lapisan ionosphere dan troposphere.

2. Pantulan sinyal GPS, terjadi pada saat kita menerima sinyal suatu satelit GPS dan ternyata sinyal tersebut merupakan sinyal pantulan GPS melalui objek bangunan, gedung, gunung dll. Sehingga sinyal tersebut bukan merupakan sinyal langsung.


(52)

3. Kesalahan waktu, dimana ketidaktepatan waktu/jam dari receiver GPS kita dibandingkan dengan jam/waktu yang ada pada satelit GPS.

4. Sedikitnya jumlah sinyal satelit yang diterima, semakin banyak sinyal satelit yang diterima maka semakin teliti.

5. Adanya objek yang menghalangi jalannya sinyal satelit seperti gedung, gunung, dll.

6. Posisi relatif satelit atau geometri satelit. Terjadi pada saat kita melakukan pengambilan data, tetapi masing-masing sinyal satelit yang tertangkap berasal dari satelit-satelit yang posisinya berhimpitan ataupun mempunyai jarak cukup lebar antara satelit yang satu dengan satelit yang lain.

7. Adanya selective availability (SA), yaitu penurunan kualitas akurasi yang bisa dilakukan oleh Departemen Pertahanan Amerika. Walaupun saat ini kebijakan SA sudah dihapus oleh Amerika, akan tetapi bila sewaktu-waktu mereka menginginkan maka error yang terjadi bisa sangat besar.

8. Orbital errors atau ephemeris errors yaitu terjadi bila ada pergeseran orbit.

2.2.2.Metode Survei GPS

Metode survei GPS berhubungan dengan jenis peralatan dan ketelitian yang akan didapat dari pengukuran GPS. Pada dasarnya, metode survei GPS terdiri dari 2 macam yaitu Metode Absolute dan Metode Relatif.

A. Metode Absolute (metode stand alone)

Adalah metode penentuan posisi hanya berdasarkan 1 (satu) receiver saja tanpa ketergantungan dengan receiver yang lain. Posisi ditentukan berdasarkan datum WGS 84.

Ketelitian yang dihasilkan sangat rendah dan tergantung pada geometri satelit. Sehingga biasanya hanya digunakan untuk keperluan navigasi atau survei posisi awal.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik penentuan posisi dengan cara absolut ini adalah sebagai berikut :

a. Posisi ditentukan dalam sistem WGS 84 (terhadap pusat bumi).

b. Prinsip penentuan posisi adalah perpotongan ke belakang dengan jarak ke beberapa satelit sekaligus.

c. Hanya memerlukan satu receiver GPS.

d. Titik yang ditentukan posisinya bisa diam (statik) atau bergerak (kinematik). e. Ketelitian posisi berkisar antara 5 sampai dengan 10 meter.


(1)

Berdasarkan data bor dan peta rencana kerja di atas akan dihitung jumlah produksi (PDH) pada bulan Januari.

a. Perhitungan dengan reduksi Langkah-langkah perhitungan :

- Buat zona daerah pengaruh pada masing-masing lubang bor

- Buat kolom untuk menghitung luas (reduksi) pada kertas kalkir, luas masing-masing

kotak disesuaikan dengan skala peta dengan luas sebenarnya per kotak 100 m2

- Tempelkan kalkir pada peta rencana kerja, hitung reduksi pada blok RK bulan Januari

Perhitungan reduksi produksi (PDH) bulan Januari adalah sebagai berikut :

SATUAN REDUKSI : 100 x 100 Nomor Reduksi Dalam Lubang Bor (Gr Sn) Lubang Sn Direduksi

Lubang Bor Isi Logam Sn KETERANGAN

A B C D E = B x C F = B x D

435/93 6/100 32,40 27,9 1,94 1,67

443/93 6/100 31,60 101,3 1,90 6,08

442/93 33/100 31,40 60,6 10,36 20,00

441/93 20/100 30,70 81,1 6,14 16,21

434/93 13/100 32,80 56,7 4,26 7,38

JUMLAH 78/100 24,61 51,33

PERHITUNGAN CADANGAN BIJIH

Luas (Ldh) 7.800 m2 Jumlah B x 10.000

Dlm rata-rata (Ddh) 31,55 m (Jml E/Jml B) x 100

Isi (Idh) 246.100 m3 LDH x TDH

Tdh 0,209 kg/m3 Jml F/(Jml E x 10)

Produksi (Pdh) 51,43 ton (TDH x IDH)/1.000

b. Perhitungan tanpa reduksi

- Lubang bor 435/93 :

- Luas daerah pengaruh (LDH) : 600 m2 - Tebal lapisan (DDH) : 32,4 m

- Kekayaan lubang bor (TDH) : 0,086 kg/m3

- Produksi dihitung (PDH) : 600 x 32,4 x 0,086 = 1.671,84 kg - Lubang bor 443/93 :


(2)

- Lubang bor 442/93 :

- Luas daerah pengaruh (LDH) : 3.300 m2 - Tebal lapisan (DDH) : 31,4 m

- Kekayaan lubang bor (TDH) : 0,193 kg/m3

- Produksi dihitung (PDH) : 3.300 x 31,4 x 0,193 = 19.998,66 kg - Lubang bor 441/93 :

- Luas daerah pengaruh (LDH) : 2.000 m2 - Tebal lapisan (DDH) : 30,7 m

- Kekayaan lubang bor (TDH) : 0,264 kg/m3

- Produksi dihitung (PDH) : 2000 x 30,7 x 0,264 = 16.209,6 kg - Lubang bor 434/93 :

- Luas daerah pengaruh (LDH) : 1.300 m2 - Tebal lapisan (DDH) : 32,8 m

- Kekayaan lubang bor (TDH) : 0,173 kg/m3

- Produksi dihitung (PDH) : 1.300 x 32,8 x 0,173 = 7.376,72 kg

Jumlah total produksi dihitung : 1.671,84 + 6.351,6 + 19.998,66 + 16.209,6 + 7.376,72 = 51.608, 42 kg = 51,6 ton

Contoh 2.

Pada blok rencana penggalian Kapal Keruk seperti di bawah ini, guna evaluasi awal maka hitung produksi yang harus dihasilkan pada trap 1 kolong ABC dan kolong GHI.


(3)

a. Perhitungan produksi (PDH) untuk menghitung for case pada kolong ABC trap 1 a. Lubang bor yang berpengaruh lubang bor no 143/99

b. Ketebalan lubang bor (DDH) : 6,2 m c. Kekayaan (TDH) : 0,760 kg/m3

d. Lebar snee : 10 m, lebar kolong ABC 30 m e. Kemajuan trap 4 m

f. Luas dihitung (LDH) : 30 x 4 = 120 m2

g. Volume penggalian (IDH) : 120 x 6,2 = 744 m3

h. Produksi (PDH) : 744 x 0,760 = 565 kg = 0,565 ton i. Asumsi kadar Sn/drum = 0,1 ton/drum

j. For case produksi pada kolong ABC = 0,565 : 0,1 = 5,7 drum

b. Perhitungan produksi (PDH) untuk menghitung for case pada kolong GHI trap 1 a. Lubang bor yang berpengaruh lubang bor no 1.130/99


(4)

f. Luas dihitung (LDH) : 30 x 4 = 120 m2

g. Volume penggalian (IDH) : 120 x 4,9 = 588 m3

h. Produksi (PDH) : 588 x 0,246 = 145 kg = 0,145 ton i. Asumsi kadar Sn/drum = 0,1 ton/ drum

j. For case produksi pada kolong GHI = 0,145 : 0,1 = 1,5 drum

3.7. Evaluasi Penambangan

Kegiatan evaluasi penambangan atau evaluasi penggalian terutama ditujukan guna mengevaluasi sejauh mana tingkat kepercayaan data eksplorasi atau dengan kata lain seberapa besar penyimpangan data dibandingkan dengan realisasi (hasil) setelah dilakukan penambangan. Pada umumnya di dunia pertambangan perbandingan antara realisasi hasil penambangan dan hasil perhitungan biasa kita kenal sebagai recovery penambangan, dimana menunjukkan seberapa besar kehilangan cadangan (losses) akibat penambangan. Dengan demikian recovery penambangan selalu kurang dari 100% atau hasil produksi realisasi pasti akan lebih kecil daripada produksi dihitung. Namun di dalam penambangan timah alluvial kita tidak menggunakan istilah recovery penambangan tetapi kita menggunakan terminologi Koefisien Hasil (KH) dimana hasil realisasi produksi tidak selalu lebih kecil dari produksi dihitung.

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga KH bisa lebih atupun kurang dari satu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi nilai KH dari penambangan timah antara lain :

A. KH lebih dari 1

a. Kondisi geologi yang diakibatkan oleh penyebaran mineral kasiterit tidak merata dimana pada daerah diantara lubang bor mempunyai kekayaan yang lebih tinggi, hal ini biasa dipengaruhi kondisi lingkungan pengendapan yang tidak seragam dan jarak pemboran yang kurang rapat.

b. Data pemboran yang under estimate dibandingkan realisasi yang ada, hal ini biasa diakibatkan sistem pengambilan sampel pada waktu pemboran yang tidak tepat, baik yang disebabkan oleh kurang telitinya personil pemboran maupun keterbatasan peralatan terhadap kondisi alam yang ada. Kondisi ini biasa terjadi pada


(5)

daerah-daerah yang relatif dangkal dengan butiran kasiterit relatif kasar dan daerah-daerah yang sangat dalam dengan butiran kasiterit relatif halus.

c. Dihasilkannya mineral kasiterit/timah pada waktu penggalian WP ataupun talut. B. KH Kurang dari 1

a. Losses pada waktu penggalian (kehilangan akibat penggalian tidak bersih, kehilangan pada waktu transportasi di mangkok).

b. Losses/kehilangan di save all (pada Kapal Keruk).

c. Losses/kehilangan di saring putar (pada Kapal Keruk dan KIP) d. Losses/kehilangan instalasi pencucian jig (primer, sekunder, tersier). e. Losses/kehilangan pada waktu pengangkutan ke PPBT.

f. Losses/kehilangan pada waktu pencucian di PPBT. g. Dll.

Sasaran dari evaluasi penggalian/penambangan adalah untuk mengetahui sedini mungkin apabila terjadi penyimpangan terutama penyimpangan negatif sehingga bisa segera mungkin diketahui penyebab-penyebabnya guna mendapatkan solusi yang tepat dan cepat. Dengan demikian kerugian atupun kehilangan kesempatan bisa diminimalisir.

Ada tiga faktor utama yang sangat mempengaruhi dalam kinerja penambangan yaitu faktor alam, faktor alat, dan faktor manusia. Faktor alam adalah faktor yang harus kita terima apa adanya tidak bisa dirubah tetapi bisa kita siasati untuk mengolahnya dengan teknik dan teknologi yang tepat. Faktor peralatan adalah faktor kedua yang harus disesuaikan dengan kondisi alam yang ada baik dalan jumlah, kondisi, kapasitas dan kemampuannya. Faktor ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor manusia baik dalam jumlahnya maupun kemampuaannya dalam pekerjaan tersebut. Ketiga faktor tersebut akan menjadi penentu berhasil atau tidaknya di dalam kegiatan penambangan.

Kegiatan atau pekerjaan yang biasa dilakukan dalam evaluasi penambangan antara lain sebagai berikut :

- Pengukuran posisi penggalian

- Pengukuran luas, dalam, dan volume penggalian - Pengukuran volume talut

- Sampling

- Analisa conto hasil sampling - Pemetaan kolong penggalian

- Evaluasi data sampling dan data penggalian

Kegiatan-kegiatan tersebut biasa dilakukan secara rutin per sepuluh hari, namun bisa juga dilakukan secara temporal sesuai dengan kebutuhan. Hasil laporan dari evaluasi penggalian inilah yang akan digunakan untuk perhitungan perayaan dan neraca cadangan, serta dijadikan sebagai salah satu acuan dalam perencanaan penambangan pada daerah dengan karakter yang sejenis.


(6)