IMPLEMENTASI PENDIDIKAN ADIL GENDER DI PONDOK PESANTREN AL – MUAYYAD SURAKARTA | Zahara | SOSIALITAS; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant 10386 22102 1 SM
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN ADIL GENDER DI PONDOK
PESANTREN AL – MUAYYAD SURAKARTA
Vikri Zahara, Siany Indria Liestyasari, dan Nurhadi
Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
vikrizahara205@gmail.com
Abstrak
Implementasi pendidikan adil gender di pondok pesantren Al – Muayyad Surakarta
belum dilakukan secara optimal. Meskipun secara umum santri putra dan santri
putri diberikan hak pendidikan yang sama di bidang akademik dan non akademik
namun masih terjadi perbedaan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari proses
pendidikan. Belum optimalnya implementasi pendidikan adil gender di pondok
pesantren Al – Muayyad Surakarta dikarenakan kendala kultural yang
mengakibatkan adanya kebijakan kurang responsif gender. Kendala kultural yang
dimaksud yaitu sistem patriarki. Pada sistem patriarki laki-laki mengontrol kerja
perempuan. Implikasinya santri putra menempati otoritas utama di lingkungan
pesantren. Dalam analisa teori nature dan culture, perempuan dan fungsinya
diidentikkan dengan “kehidupan”, menempatkan dirinya dekat dengan alam.
Berbeda dengan laki-laki yang sepenuhnya bebas dengan proyek “budaya”.
Perempuan yang diidentifikasikan sebagai “alam”, dianggap sebagai orang yang
berkaitan erat dengan sektor domestik. Sedangkan laki-laki di tempatkan sebagai
kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Begitu juga di pesantren Al –
Muayyad masih memperlakukan santrinya dengan dikotomi peran tersebut.
Akibatnya santri putri mempunyai akses terbatas untuk mengikuti kegiatan di luar
pesantren. Selain itu santri putra juga masih mendominasi pengambilan keputusan
dalam rapat gabungan. Santri putri juga tidak bisa menempati posisi teratas dalam
struktur organisasi. Subordinasi pada santri putri juga terlihat dari minimnya
kesempatan untuk tampil di depan umum. Karena sesuatu yang massal dan
bergengsi dianggap sebagai wilayah laki – laki. Akhirnya pengalaman yang didapat
santri putra lebih banyak. Dampaknya bekal yang diterima santri putri untuk
persiapan terjun ditengah masyarakat tidak sebesar santri putra.
Kata Kunci : Pendidikan, Keadilan Gender, Pesantren
Abstrack
The result of this study is the gender equitably education in Al-Muayyad Islamic
Boarding School not yet optimally implemented. Although the male and female
students are given the equal rights in academic or non-academic education, but
there are some differences of access, participation, control, and benefit from the
education process. The not optimally implementation of the gender equitably
education in Al-Muayyad Islamic Boarding School Surakarta is because cultural
constraints that made the policy less responsive to gender. The cultural constraints
is the patriarchy system where put male to control over female job or activity. The
implication of this system is the male students take the main authority in the
boarding school environment. In the theory of nature and culture, female and her
function is identified as “living”, that place herself close to the nature. It is different
with the male that identified free with the cultural works. Female that identified as
“nature”, is considered a person who close to the domestic sector. Meanwhile,
male are placed as group that work on the public sector. The same conditions are
also happen in Al-Muayyad Islamic Boarding School that still treats their student
with the dichotomy. As the result, the female students only have limited access to
have an activity outside the school. Female students also unable to sit on the top of
organization hierarchy. In the other hand, the male students are still dominant in
decision making. The subordination to the female students also can be seen from
the small opportunity to appear in public, because something that prestigious is
considered as the male area. In the end, the experience that acquired by the male
students is richer than the female students and the female students will get less
prepared to live in the society.
Keyword: Education, Gender Equality, Islamic boarding school
Pendahuluan
Dalam rangka pembangunan
keterlaksanaannya
pada
nasional, pemerintah Indonesia telah
lembaga
melakukan upaya – upaya kongkrit
keharusan,
dalam
pesantren. Maka pesantren dituntut
mengatasi
gender
ketidakadilan
melalui
kebijakan
untuk
formal
semua
merupakan
termasuk
melakukan
pondok
re –
pengarusutamaan gender (PUG) yang
kurikulum
dikenal sebagai Inpres No. 9 Tahun
wacana pembelajaran “gender social
2000. Sejumlah undang – undang dan
inclusion”, yaitu pembelajaran yang
peraturan
mengakui dan mempertimbangkan
pemerintah
ditetapkan
pengajaran,
desaign
menjadi
sebagai instrumennya, tetapi lebih
perbedaan
dari itu adalah diperlukan dukungan
pengalaman, dan cara belajar peserta
riil dari masyarakat agar tujuan PUG
didik
dalam mewujudkan masyarakat yang
konstruksi sosial pada lingkungannya.
berkesetaraan dan berkeadilan gender
Kesetaraan
untuk mencapai kesejahteraan sosial
menghendaki agar laki – laki maupun
dapat tercapai (Mufidah, 2010 : v).
perempuan
Pengarusutamaan
gender
dalam pembangunan nasional salah
satunya dilakukan pada lembaga
pendidikan dimana hal ini merupakan
kebijakan
implementatif.
Melalui
peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor
15
tahun
2008
tentang
pedoman umum pengarusutamaan
gender di daerah dan peraturan
menteri pendidikan nasional nomor
84 tahun 2008 tentang pedoman
pelaksanaan pengarusutamaan gender
bidang
pendidikan,
maka
kebutuhan,
yang
disebabkan
dan
keadilan
memiliki
minat,
oleh
gender
akses
(kesempatan) dan partisipasi yang
sama
dalam
proses
pendidikan,
memiliki kontrol atau wewenang yag
seimbang atas sumber daya, dan
mendapatkan
pendidikan
manfaat
secara
hasil
merata.
Implementasi PUG dalam bidang
pendidikan tidak berdiri sendiri dan
terpisah dari keseluruhan program,
namun PUG diintegrasikan ke dalam
strategi pendidikan yang ada, terpadu
dan meresap kedalam empat fungsi
utama manajemen mutu pendidikan
yaitu : perencanaan, pelaksanaan,
pelajar (santri) putra dan putri, baik
pemantauan dan evaluasi (Suriani,
pada aspek pengambilan kebijakan,
2015: 40).
sistem
Terbitnya instruksi presiden
RI nomor 09 tahun 2000 tentang
pengarusutamaan
dalam
gender
pembangunan
(PUG)
nasional
menjadi salah satu kebijakan yang
sangat penting untuk mewujudkan
tujuan
pembangunan
tersebut.
Pondok pesantren merupakan Pusat
Pendidikan
Islam,
dakwah,
dan
pengabdian masyarakat tertua di
Indonesia.
Lembaga
ini
dikenal
memiliki sistem pendidikan dengan
ciri – ciri dan karakteristik yang khas.
Keberadaanya
sampai
sekarang
masih berdiri kokoh di tengah –
tengah
masyarakat,
manajerial,
pembelajaran,
bahan ajar, dan pemanfaatan fasilitas
yang tersedia. Akibatnya, output
santri putra memiliki potensi lebih
besar untuk memainkan peran publik
di tengah – tengah masyarakat.
Kesenjangan
tersebut
juga
berdampak pada kelangkaan ulama’
perempuan yang kontribusinya justru
sangat dibutuhkan, terutama dalam
upaya peningkatan pemberdayaan
perempuan
untuk
mencapai
Millenium Development Goals dan
untuk mengatasi isu – isu gender
khususnya di kalangan masyarakat
muslim (Mufidah, 2010: 2).
Dari data diatas menunjukkan
dengan
bahwa
pengarusutamman
gender
kemandirian, seiring dengan proses
wajib
diimplementasikan
dalam
Islamisasi
berbagai bidang salah satunya bidang
menampakkan
demikian,
di
kebhinekaan
Indonesia.
besarnya
dan
Meski
kontribusi
pendidikan
termasuk
pesantren.
pengembangan
Dimana pesantren identik dengan
ajaran Islam di Indonesia menyisakan
pemeliharaan ortodoksi agama yang
satu problem mendasar, yaitu terkait
kuat. Dengan adanya realita tersebut,
dengan isu kesetaraan dan gender.
peneliti melakukan sebuah penelitian
Hal
yang bertujuan untuk menjawab 1)
pesantren
ini
dalam
terlihat
pada
adanya
bentuk
–
kesenjangan akses, partisipasi, peran,
bagaimana
bentuk
dan tanggung jawab yang dimiliki
implementasi pendidikan adil gender
di pondok pesantren Al – Muayyad
Surakarta, 2) Apa saja kendala yang
fungsinya lebih cenderung dengan
–
“kehidupan”, menempatkan dirinya
dalam
dekat dengan alam, berbeda dengan
dihadapi
pihak
Muayyad
pesantren
Surakarta
Al
mengimplementasikan pendidikan.
laki-laki yang sepenuhnya bebas
dengan proyek budaya. Maksudnya,
Kajian Pustaka
perempuan
Konsep Gender
seperangkat peran yang seperti halnya
dan
topeng
di
teater,
menyampaikan kepada orang lain
bahwa kita adalah feminin atau
maskulin. Perangkat perilaku khusus
ini
yang
diidentikkan
dengan kehidupan. Ia memiliki rahim,
Menurut Mosse gender adalah
kostum
selalu
mencakup
penampilan,
pakaian, sikap, kepribadian, bekerja
di dalam dan luar rumah tangga,
seksualitas, tanggung jawab keluarga
dan sebagainya secara bersama - sama
memoles “peran gender” (Mosse,
di dalam rahim tersebutlah sebuah
kehidupan baru mulai terbentuk dan
tumbuh. Sherry B. Ortner juga
mengemukakan
bahwa
tubuh
perempuan yang lebih hebat dengan
fungsi alam sekitar reproduksi, ia
lebih dipandang sebagai bagian dari
alam daripada pria. “Because of
woman's greater bodily involvement
with
the
natural
functions
surrounding reproduction, she is seen
as more a part of nature than is man”
(Ortner, 1974: 76). Menurut Ortner
2007: 02)
(Ortner, 1974:79), karena laki-laki
Sherry
B
Ortner
dalam
tidak memiliki “natural” dasar untuk
(Woman, Culture and Society 1974:
orientasi keluarga, maka mereka
73) menyatakan bahwa : “woman’s
membuat “natural” milik laki-laki
body and its functions, more involved
yaitu agama, ritual, politik, dan lain-
more of the time with “species life”,
lain. Tidak hanya dengan “culture”,
seem to place her closer to nature, in
laki-laki
contrast to man’s physiology, which
dengan kreativitas sebagai lawan dari
frees him more completely to take up
“nature”.
the projects of culture”. Maksud hal
tersebut bahwa tubuh perempuan dan
juga
diidentifikasikan
Dari berbagai definisi diatas yang
menimbulkan berbagai ketidakadilan,
dikemukakan oleh ahli maka dapat
baik bagi kaum laki – laki dan
disimpulkan
utamanya terhadap kaum perempuan.
persamaan
bahwa
gender adalah suatu konstruksi atau
Secara
bentuk sosial yang sebenarnya bukan
perempuan
bawaan lahir sehingga dapat dibentuk
reproduksinya
atau diubah tergantung dari tempat,
melahirkan dan menyusui, kemudian
waktu/zaman,
muncul gender role (peran gender)
suku/ras/bangsa,
biologis
(kodrat)
kaum
dengan
organ
dapat
hamil,
budaya, status sosial, pemahaman
sebagai
agama, negara, ideologi, politik,
pendidik anak. Dengan demikian,
hukum,
gender
dan
ekonomi.
Oleh
perawat,
role
pengasuh,
dianggap
dan
tidak
karenanya, gender bukanlah kodrat
menimbulkan masalah dan tidak perlu
Tuhan melainkan buatan manusia
digugat.
yang
masalah dan perlu dipertanyakan
dapat
dipertukarkan
dan
Namun,
yang
menjadi
adalah struktur gender inequalities
memiliki sifat relatif.
yang ditimbulkan oleh gender role
Konsep ketidakadilan gender
dan gender differences (Nugroho,
Kondisi saat ini menunjukkan
bahwa perbedaan jenis kelamin dapat
menimbulkan
perbedaan
2008: 09). Ketidakadilan tersebut
dapat dilihat sebagai berikut :
gender
(gender differences) dimana kaum
perempuan
itu
tidak
rasional,
emosional,
dan
lemah
lembut,
1) Marginalisasi.
Menurut
Djunaedi
marginalisasi
(2008:17)
adalah
sedangkan laki – laki memiliki sifat
menempatkan seseorang karena
rasional, kuat atau perkasa. Gender
jenis kelaminnya sebagai pihak
differences
yang tidak dianggap penting dalam
(perbedaan
gender)
sebenarnya bukan suatu masalah
faktor
sepanjang tidak menimbulkan gender
perannya sangat krusial.
inequalities (ketidakadilan gender).
Namun,
yang
menjadi
masalah
ternyata gender difference ini telah
ekonomi,
sekalipun
2) Subordinasi
dilakukan terhadap jenis kelamin
Menurut Nugroho (2008: 11)
subordinasi timbul sebagai akibat
pandangan gender terhadap kaum
perempuan.
Sikap
yang
menempatkan perempuan pada
posisi yang tidak penting muncul
dari
adanya
anggapan
bahwa
perempuan itu emosional, atau
irasional
sehingga
perempuan
tidak bisa tampil memimpin.
Stereotipe merupakan pelabelan
atau penandaan negatif terhadap
atau
jenis
kelamin
tertentu.
Salah
satu
contoh
pelabelan
terhadap
adalah
pandangan
perempaun
bahwa
perempuan adalah makhluk yang
rawan sehingga harus dijaga dan
dibatasi,
umumnya
perempuan
sebagai akibat dari perbedaan
gender.
5) Beban Ganda
Menurut Fakih (1999: 21) adanya
anggapan bahwa kaum perempuan
memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk
menjadi kepala rumah tangga,
berakibat bahwa semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi
3) Stereotipe
kelompok
tertentu,
agar
tidak
terkena
gangguan sampai pada saatnya
menikah.
tanggung jawab kaum perempuan.
Terlebih – lebih jika si perempuan
tersebut harus bekerja, maka ia
memikul beban kerja ganda.
Konsep Adil Gender
Terwujudnya keadilan gender
ditandai
dengan
laki-laki,
dan
Nugroho
(2008:13)
Violence
atau
kekerasan
merupakan invasi atau serangan
terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang yang
dengan
demikian
mereka memiliki akses, kesempatan
pembangunan
Menurut
adanya
diskriminasi antara perempuan dan
berpartisipasi,
4) Violence
tidak
kontrol
dan
atas
memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari
pembangunan (Fakih, 1999: 29).
Adapun indikator keadilan gender
adalah sebagai berikut:
Pertama, akses yaitu peluang atau
menempatkan dirinya dekat dengan
kesempatan dalam memperoleh atau
alam, berbeda dengan laki-laki yang
menggunakan sumber daya tertentu.
sepenuhnya bebas dengan proyek
Mempertimbangkan
budaya.
bagaimana
Maksudnya,
perempuan
memperoleh akses yang adil dan
selalu
setara antara perempuan dan laki-laki,
kehidupan. Ia memiliki rahim, di
anak
dalam
perempuan
dan
laki-laki
diidentikkan
rahim
dengan
tersebutlah
sebuah
terhadap sumberdaya yang akan
kehidupan baru mulai terbentuk dan
dibuat.
yaitu
tumbuh. Setelah sembilan bulan lalu
partisipasi
janin tersebut keluar ke dunia. Bayi
Kedua,
keikutsertaan
partisipasi
atau
seseorang atau kelompok dalam
yang
kegiatan atau dalam pengambilan
mendapatkan ASI (Air Susu Ibu) agar
keputusan. Ketiga, kontrol yaitu
dapat bertahan hidup dengan baik.
penguasaan atau wewenang atau
Selain itu, perempuan juga memiliki
kekuatan
mengambil
periode menstruasi setiap bulannya.
keputusan. Keempat, manfaat yaitu
Semua hal tersebut secara alami
kegunaan yang dapat dinikmati secara
dimiliki oleh perempuan.“because of
optimal.
woman’s greater bodily involvement
untuk
sudah
keluar
dari
rahim
wih he natural functions surrounding
Teori Nature Culture
reproduction, she is seen as more a
“Woman’s
body
and
its
part of nature than is man” (Ortner,
functions, more involved more the
1974: 76) Bahwa tubuh perempuan
time with “species life”, seem to
yang lebih hebat dengan fungsi alam
place her close to nature, in contras
sekitar reproduksi, ia lebih dipandang
to man’s psycology, which frees him
sebagai bagian dari alam daripada
more completely to take up the project
pria.“Since men lack a “natural”
of culture” (Ortner, 1974: 73) Sherry
basis (nursing, generalized to child
B. Ortner dalam Woman, Culture and
care) for a familial orientation, their
Society menyatakan bahwa tubuh
sphere of activity is defined at level of
perempuan
dan
lebih
interfamilial relation. And hence, so
cenderung
dengan
“kehidupan”,
the cultural reasoning seems to go,
fungsinya
men are the “natural” proprietors of
Metodologi Penelitian
religion, ritual, politics, and other
realms of cultural thought and action
in which universalistic statement of
spiritual and social synthesis are
made” (Ortner, 1974: 79) Menurut
Ortner,
karena
memiliki
laki-laki
“natural”
dasar
tidak
untuk
orientasi keluarga, maka mereka
membuat “natural” milik laki-laki
yaitu agama, ritual, politik, dan lainlain. Tidak hanya dengan “culture”,
laki-laki
juga
diidentifikasikan
dengan kreativitas sebagai lawan dari
“nature”.
Dalam penelitian ini peneliti
akan melihat bagaimana bentuk –
bentuk implementasi pendidikan adil
gender
yang
dilakukan
pihak
pesantren Al Muayyad. Penelitian ini
menggunakan
metode
etnometodologi.
Tujuan
etnometodologi adalah pemaknaan
pada situasi yang bersifat lokal,
terorganisasi, memiliki stereotype
dan ideologi khusus dalam hal ini
gender. Dalam penelitian kualitatif,
etnometodologi
memusatkan
kajiannya pada realita yang memiliki
Implikasi
dari
perbedaan
penafsiran praktis. Sumber data dari
“nature” dan “nurture” tersebut
penelitian ini yaitu (1) informan,
adalah terjadinya pemisahan sektor
pengasuh, santri dan pengurus. (2)
kehidupan.
yang
peristiwa atau aktivitas, yaitu berupa
diidentifikasikan sebagai “nature”,
aktivitas pembelajaran berorganisasi.
dianggap
sebagai
Teknik
berkaitan
erat
Perempuan
orang
dengan
yang
sektor
pengumpulan
digunakan
dalam
data
yang
penelitian
ini
domestik. Sedangkan laki-laki di
adalah, (1) wawancara terstruktur dan
tempatkan sebagai kelompok yang
mendalam. (2) observasi. Teknik
berhak
publik.
analisis data yang diguankan dalam
Ideologi semacam ini telah disahkan
penelitian ini adalah analisis model
oleh berbagai pranata dan lembaga
interaktif yang memiliki tahapan
sosial, yang ini kemudian menjadi
pertama reduksi data, kedua sajian
fakta sosial tentang status-status dan
data, dan ketiga kesimpulan data.
mengisi
sektor
peran-peran yang dimainkan oleh
perempuan (Abdullah, 2006: 4).
Hasil penelitian dan pembahasan
Bentuk Implementasi Pendidikan
putri akan memudahkan mereka
saling
bertemu
dikhawatirkan
menimbulkan fitnah dan masalah
Adil Gender
yang
Secara umum, pembelajaran
tidak
diinginkan.
Dengan
demikian santri putri cukup belajar
pada asrama putra dan asrama putri di
sesuai
Al - Muayyad adalah sama, misalnya
pembelajaran
pengajian kitab kuning sesuai dengan
dibimbing oleh nyai dan ustadzah
tingkat usia dan kematangan berfikir
yang memiliki kapasitas keilmuan
para santri. Misalnya kitab Ta’lim al-
terbatas di bawah kualitas kyai dan
Muta’alim, Matanahwu suja’, Imriti,
ustadh – ustadh yang mengajar di
Riyad al-Shalihin, Wasoya, Arbain
asrama putra. Ustadh dihadirkan pada
Nawawi, dan berganti – ganti kitab
hari tertentu untuk membantu kyai
diseputar tasawuf dan fikih. namun
dan ustadzah mengajar asrama putri
masalah kesamaan akses, pesantren
jika dianggap perlu. Karena itu
Al - Muayyad masih memberlakukan
tidaklah
kebijakan
Misalnya
kesenjangan penguasaan kitab kuning
peraturan tentang boleh tidaknya
antara santri putra dan santri putri
santri putri mengaji di luar asrama.
akibat
bahwa akses untuk mendapatkan
pesantren. Berbeda dengan santri
tambahan
melalui
putra mereka memiliki akses yang
pengajian - pengajian kitab di luar
cukup longgar mengaji kitab kuning
asrama berbeda antara santri putra
kepada ustad - ustad yang berdomisili
dan santri putri. Dari keterangan UL
di luar asrama.
berbeda.
pengetahuan
dengan
jadwal
di
heran
dari
kegiatan
asrama
jika
sistem
yang
terjadi
kebijakan
diketahui yang menjadi pertimbangan
Dalam aspek kontrol sumber
berbedanya akses untuk mengikuti
daya, partisipasi santri putri juga
kegiatan di luar asrama adalah untuk
masih lebih sedikit dibanding santri
memelihara
pesantren,
putra. Hal ini dibuktikan dalam
menjaga kehormatan dan martabat
mengadakan kegiatan yang bernama
santri putri. Dibukanya akses yang
“bahtsul
sama antara santri putra dan santri
“bahtsul masail” yaitu forum yang
tradisi
masail”.
Maksud
dari
dibuat pesantren untuk membahas
Risalatul Mahid, suatu kitab yang
masalah - masalah yang muncul
membahas tentang menstruasi dan
dikalangan masyarakat yang belum
permasalahannya.
ada hukum dan dalilnya dalam
Perbedaan semakin tampak
agama. Peserta “Bahtsul Masa’il”
ketika santri putra mendapatkan
terdiri dari para santri, pak kyai
pelajaran juga tentang kitab ini dalam
sebagai
narasumber
dan
bentuk diklat, namun tidak demikian
sebagai
moderator.
Masalah
ustadz
-
bagi santri putri. Meskipun keduanya
masalah yang dibahas tidak hanya
diberikan akses yang sama untuk
masalah agama tetapi juga masalah
mengikuti organisasi ikatan pelajar
sosial yang aktual. Dalam forum
ma’had Al - Muayyad namun masih
bahtsul masail (musyawarah hukum)
terjadi kesenjangan dalam aspek
santri
tidak diikutsertakan.
kontrol sumber daya. Hal ini diakui
Mereka hanya menerima apa yang
sendiri oleh seorang santri putri
menjadi keputusan bahtsul masail
bernama SV, yang menerangkan
putra tanpa mengetahui bagaimana
kasus kontrol sumber daya ini. Dalam
proses jalannya kegiatan. Hal ini
rapat rapat gabungan (IPMA Putra
secara langsung atau tidak semakin
dan IPMA Putri) yang membicarakan
menegaskan minimnya kemampuan
agenda besar pesantren misalnya.
santri putri dalam kitab kuning
Santri putra memiliki kharisma yang
daripada santri putra. Selain itu
lebih tinggi dari santri putri. Ini
terdapat pula materi pelajaran yang
terlihat dari pendapat yang diajukan
tidak diberikan kepada santri putri
oleh kedua santri putra dan putri
namun diberikan kepada santri putra
tersebut ketika rapat. Pendapat santri
ataupun sebaliknya. Jika santri putra
putra lebih didengarkan dari pada
mendapatkan pelajaran Ilmu Falak,
santri putri. Forum gabungan ini
maka tidak demikian dengan santri
seakan menjadi diskusi yang terpusat
putri. Alasan yang dikemukakan
pada
adalah
putri
santri
putra.
keilmuan
yang
Meskipun sama - sama diberi akses
penting
untuk
untuk mengikuti organisasi “IPMA”
dipelajari bagi santri putri yaitu kitab
namun kesenjangan peran yang di
dianggap
adanya
pemikiran
lebih
dapatkan santri putra dan putri masih
peran
jelas terlihat. Hal ini diketahui
memisahkan
peneliti saat melakukan wawancara
mendapat peran - peran publik
dengan informan. Santri putri yang
sedangkan putri mendapat peran
bernama LU menyatakan bahwa di
domestik.
yang
berbeda
bahwa
ini
seolah
santri
putra
setiap akhir tahun ada agenda rutin
Meskipun keduanya diberikan
yang digelar pesantren seperti haul.
akses untuk mengikuti pelatihan
Haul
muhadoroh
merupakan
acara
untuk
di
pesantren
namun
mengenang hari wafatnya pendiri
manfaat yang mereka terima dalam
pondok pesantren Al - Muayyad yaitu
kegiatan ini masih berbeda antara
KH. Ahmad Umar Abdul Mannan.
santri
Acara ini mengundang instansi lain
Kebiasaan
dan juga kerabat pondok pesantren.
mengirimkan santri putra senior
Agenda
dengan
untuk mengisi pengajian di daerah
pembacaan doa, tahlil dan solawat
sekitar yang menjadi masalah. Santri
serta pengajian dan hiburan islami.
yang dikirim ke daerah tersebut
Setiap
dibentuk
umumnya didominasi oleh putra
kepanitiaan yang khusus mengurus
karena dirasa lebih aman daripada
acara haul ini. Namun nyatanya
mengirim santri putri, disamping
dalam pengambilan peran posisi
memang
santri putri masih berada dibawah
masyarakat yang memang meminta
santri putra. Santri putra mendapat
penceramah laki - laki, kecuali untuk
tugas sebagai koordinator, ketua, sie
pengajian khusus ibu-ibu atau anak-
publikasi
anak. Hal tersebut menunjukkan
haul
diwarnai
tahun
dan
Sedangkan
akan
juga
dan
santri
pengasuh
selama
ini
putri.
yang
banyak
-
tugas
yang
bahwa
dengan
tamu
akan
perempuan dalam kegiatan sosial
putri.
religius. Peran santri putri dianggap
Seperti penerima tamu, mengurusi
hanya berhubungan dengan aktivitas
konsumsi,
yang
berhubungan
diserahkan
dekorasi,
tugas
bendahara.
putra
kepada
santri
menyiapkan
serta
hiasan
membersihkan
lingkungan pesantren.
Pembagian
domestifikasi
lebih
sederhana,
peran
bersifat
domestik dan lebih mementingkan
unsur keperempuanan. Kegiatan yang
bersifat massal dan yang lebih
mengundang alumni santri putra
bergengsi dianggap sebagai wilayah
untuk mengisi pengajian. Jarang
laki-laki.
didapati
pesantren
mengundang
Setiap ada kegiatan seperti
alumni santri putri untuk mengisi
perpisahan dan haul yang ditampilkan
dalam pengajian rutin di Al -
untuk mengisi acara adalah kelompok
Muayyad.
hadroh dari santri putra. Sehingga
santri
putri
jarang
mendapat
Analisis culture nature
kesempatan untuk tampil dalam acara
Menurut
UL
menjaga
yang sama. Hadroh putra juga sering
perempuan lebih sulit daripada laki -
diikutsertakan dalam agenda karnaval
laki.
kota Surakarta. Pada acara pengajian
menyimpulkan
yang
rutin pengisi acara rata - rata diambil
pertimbangan
berbedanya
perannya oleh sosok laki –laki bahkan
untuk mengikuti kegiatan diluar
sosok perempuan sama sekali tidak
asrama adalah untuk memelihara
diberi porsi untuk turut meramaikan
tradisi
acara pengajian. Mulai dari pak kyai
kehormatan dan martabat santri putri.
sebagai pembuka acara, kemudian
Perempuan dianggap sebagai sosok
santri putra juga yang membaca
yang rawan dan lemah sehingga akses
tilawah Al quran bahkan pengisi
untuk keluar harus dibatasi sebagai
acara seni juga yang ditugaskan
upaya untuk melindungi perempuan
adalah kelompok hadroh santri putra.
itu sendiri. Hal tersebut seperti yang
Disisi lain santri putri pun juga
diungkapkan oleh Deaux dan Kite
memiliki kelompok hadroh, namun
dalam Partini (2013: 18) bahwa
kelompok santri putri tidak mendapat
gender
kesempatan
untuk
kepercayaan gender (gender belief
memeriahkan acara pengajian. Secara
system). Dalam bukunya Bias Gender
tidak langsung hal ini menyiratkan
dan
bahwa panggung adalah milik laki –
menyebutkan pendapat Deaux dan
laki. Kultur patriarkhi ini semakin
Kite, bahwa sistem kepercayaan
nampak ketika Al - Muayyad selalu
gender mencakup elemen diskriptif,
yang
sama
Pernyataan
tersebut
pesantren,
didukung
Birokrasi,
menjadi
akses
menjaga
oleh
Partini
sistem
juga
yaitu kepercayaan tentang bagaimana
terjadinya
keunggulan
laki-laki
“sebenarnya”
terhadap
perempuan
karena
laki-laki
perempuan,
serta
dan
bagaimana
dikonstruksi
oleh
budaya
yang
“seharusnya” laki laki dan perempuan
dipengaruhi oleh peluang laki-laki
bersikap.
yang lebih besar untuk berperan aktif
Pernyataan
menunjukkan
UL
sistem
terhadap
sudah
Abdullah (2006: 7) laki-laki yang
terbangun di pesantren Al Muayyad,
memiliki akses yang lebih besar
sebagai
sistem
terhadap sektor produktif kemudian
tersebut
dikonstruksikan untuk berperan sosial
kepercayaan
adanya
gender
wujud
kepercayaan
yang
dari
gender
dunia
luar.
Menurut
munculah aturan tentang bagaimana
di
santri putra dan santri putri harus
perempuan mempunyai tugas mulia 4
berperilaku dan bersikap. Santri putra
M
diberi kelonggaran untuk mengaji di
melahirkan,
luar
dikonstruksikan untuk berperan di
pesantren
karena
dianggap
sektor
publik,
(menstruasi,
sedangkan
mengandung,
dan
sebagai sosok yang kuat dan bisa
sektor
melindungi
menguasai rumah tangga, anak dan
sedangkan
dirinya
santri
sendiri,
putri
dianggap
“sosial
menyusui)
melayani
domestik”,
laki-laki
yaitu
(suami).
sebagai sosok yang lemah maka harus
Perempuan yang baik dipresentasikan
dijaga
sebagai ibu maupun istri yang terkait
oleh
Dampaknya
yang
santri
lebih
putri
kuat.
cukup
dengan
rumah,
anak,
masakan,
mengaji kitab dipondok pesantren
pakaian, kecantikan, kelembutan, dan
saja sesuai dengan jadwal yang sudah
keindahan.
ditentukan dari pihak pondok.
Dampaknya
Menurut
Achmad
dalam
pengalaman
Partini (2013: 17) ideologi gender
dunia luar pesantren yang didapat
merupakan ideologi yang mengkotak-
santri putra lebih banyak dibanding
kotakkan peran dan posisi ideal
santri putri. Dari penjelasan diatas
perempuan didalam rumah tangga
mengenai perbedaan akses yang
dan masyarakat. Peran ideal inilah
didapat oleh santri putra dan putri di
yang akhirnya menjadi sesuatu yang
Al - Muayyad menunjukkan bahwa
aku dan stereotip. Ideologi gender
seringkali menyudutkan perempuan
langsung
dalam
kefeminimannya,
bahwa kemampuan santri putri dalam
sehingga yang dilakukan perempuan
menguasai kitab kuning diragukan.
hanyalah untuk memantaskan diri
Sehingga persepsi yang terbangun
sebagaimana telah digariskan sesuai
bahwa ranah berpikir adalah ranah
dengan kodrat dan stereotip yang
yang pantas dipegang oleh laki – laki.
sudah menjadi hal yang baku didalam
Laki – laki dianggap sebagai pribadi
masyarakat. Stereotipe gender dapat
yang
dilihat dari adanya kegiatan yang
keputusan
disebut dengan ”Bahtsul Masail”.
pemikiran logis, sebaliknya sosok
Bahtsul masail merupakan forum
santri putri diibaratkan sebagai sosok
yang diadakan oleh pesantren untuk
yang kurang kompeten dalam ranah
membahas masalah – masalah yang
berfikir
muncul dikalangan masyarakat yang
diikutsertakan.
belum ada hukum dan dalilnya dalam
bahwa santri putri kurang logis
agama. Jadi bahtsul masail bisa
menyebabkan mereka hanya bisa
dikatakan
musyawarah
sebagai penikmat hasil dari adanya
hukum mengenai masalah sosial.
bahtsul masail. Semakin partisipasi
Namun dalam forum ini santri putri
perempuan rendah dalam kegiatan
tidak diikutsertakan. Mereka hanya
bahtsul masail ini, maka semakin
menerima
apa
mengukuhkan stereotipe perempuan
keputusan
bahtsul
konteks
sebagai
yang
menjadi
semakin
cocok
menandaskan
sebagai
karena
pengambil
mempunyai
sehingga
Stereotipe
tidak
negatif
yang
sebagai sosok penurut terhadap laki –
dilakukan santri putra bersama ustadz
laki. Adanya kebijakan santri putri
dan pak kyai sehingga santri putri
hanya menerima apa yang menjadi
tidak mengetahui bagaimana proses
keputusan
jalannya kegiatan. Santri putri bisa
(bahtsul masail) dari santri putra
mengetahui hasil dari bahtsul masail
semakin
yang dilakukan santri putra dan para
kontrol terhadap sumber daya di
ustdaz dan kyai ini lewat majalah
pesantren oleh santri putri.
masail
pondok pesantren yaitu serambi Al Muayyad. Hal
ini
secara tidak
musyawarah
menguatkan
hukum
lemahnya
Menurut Abdullah (2006: 84)
di dalam tatanan sosial yang dilandasi
pada
sistem
hubungan
yang
pada
sistem
patriarki,
laki-laki
patriarkis, segala kegiatan perempuan
mengontrol kerja perempuan, baik di
dan persepsi masyarakat terhadap
dalam rumah maupun di luar rumah.
status
Diakui sendiri oleh seorang santri
dan
dilingkupi
posisi
oleh
perempuan,
nilai-nilai
yang
putri bernama SV pada saat rapat -
memihak kepada pria. Nilai-nilai
rapat gabungan yang membicarakan
yang
agenda besar pesantren seperti acara
patriarkis
tersebut
diinternalisasikan dan dilanggengkan
khataman,
melalui
kemerdekaan.
berbagai
institusi
sosial
haul,
peringatan
Menurutnya
hari
dalam
seperti lembaga politik, pendidikan,
forum rapat gabungan santri putra
maupun
kepercayaan-kepercayaan,
memiliki kharisma yang lebih tinggi
sehingga subordinasi tersebut tidak
dibanding dengan santri putri. Forum
dirasakan sebagai suatu sistem yang
gabungan ini seolah - olah menjadi
secara langsung sangat menekan dan
diskusi yang terpusat pada pemikiran
memojokkan
Sama
santri putra. Akibatnya pengambilan
halnya dengan pernyataan LU yang
keputusan seringkali menggunakan
merasa bahwa pemberian materi
pemikiran santri putra yang dijadikan
berbeda
kewajaran
sebagai acuan. Seorang pengurus
karena LU sudah menginternalisasi
bernama DW juga menambahkan
kepercayaan - kepercayaan yaitu
bahwa meskipun pondok pesantren
mempelajari hal - hal yang berkaitan
Al – Muayyad memiliki kebijakan
dengan
(menstruasi)
pengurus putra dan putri untuk
adalah cukup. Sehingga santri putri
mengelola asrama dengan perwakilan
tidak
perempuan.
adalah
suatu
kodratnya
merasakan
penomorduaan
adanya
posisi
pengurus masing - masing namun
dibanding
santri
faktanya
keputusan
rapat
juga
putra. Meskipun keduanya diberikan
didominasi oeh pengurus dari pihak
akses yang sama untuk mengikuti
laki - laki. Dominasi pengambilan
organisasi ikatan pelajar namun juga
keputusan ini dampak dari sistem
masih terjadi kesenjangan dalam
negosiasi yang masih lemah. Setiap
aspek kontrol sumber daya. Menurut
keputusan yang dihasilkan dari rapat
Hartman dalam Partini (2013: 15)
pengurus
putri
biasanya
selalu
dikoordinasikan
dulu
dengan
alam daripada pria. Menurut Ortner,
pengurus asrama putra. Artinya santri
karena
laki - laki mengontrol apa yang
“natural”
menjadi keinginan dari santri putri.
keluarga, maka mereka membuat
Kaitannya dengan pengkotak
– kotakan peran laki – laki dan
perempuan
Ortner
(1974:
73)
menyatakan bahwa tubuh perempuan
dan
fungsinya
lebih
cenderung
dengan “kehidupan”, menempatkan
dengan
laki-laki
dasar
tidak
memiliki
untuk
orientasi
“natural” milik laki-laki yaitu agama,
ritual, politik, dan lain-lain. Tidak
hanya dengan “culture”, laki-laki
juga
diidentifikasikan
kreativitas
sebagai
dengan
lawan
dari
“nature”.
dirinya dekat dengan alam (nature),
berbeda
laki-laki
Abdullah
(2006:
4)
yang
menjelaskan bahwa implikasi dari
sepenuhnya bebas dengan proyek
perbedaan “nature” dan “culture”
“budaya”
(culture).
Maksudnya,
tersebut adalah terjadinya pemisahan
selalu
diidentikkan
sektor kehidupan. Perempuan yang
dengan kehidupan. Ia memiliki rahim,
diidentifikasikan sebagai “nature”,
di dalam rahim tersebutlah sebuah
dianggap
sebagai
kehidupan baru mulai terbentuk dan
berkaitan
erat
tumbuh. Setelah sembilan bulan lalu
domestik. Sedangkan laki-laki di
janin tersebut keluar ke dunia. Bayi
tempatkan sebagai kelompok yang
yang
berhak
perempuan
sudah
keluar
dari
rahim
mengisi
orang
dengan
sektor
yang
sektor
publik.
mendapatkan ASI (Air Susu Ibu) agar
Ideologi semacam ini telah disahkan
dapat bertahan hidup dengan baik.
oleh berbagai pranata dan lembaga
Selain itu, perempuan juga memiliki
sosial, yang kemudian menjadi fakta
periode menstruasi setiap bulannya.
sosial tentang status-status dan peran-
Semua hal tersebut secara alami
peran
dimiliki oleh perempuan. Ortner juga
perempuan. Meskipun sama - sama
mengemukakan
tubuh
diberikan akses untuk mengikuti
perempuan yang lebih hebat dengan
organisasi ikatan pelajar mahad Al -
fungsi alam sekitar reproduksi, ia
Muayyad namun kesenjangan peran
lebih dipandang sebagai bagian dari
yang didapatkan santri putra dan putri
bahwa
yang
dimainkan
oleh
juga masih terlihat. Santri putri yang
sedangkan santri putri mendapatkan
bernama LU menyebutkan bahwa di
peran domestik. Alison Scott (dalam
setiap akhir tahun ada agenda rutin
Saptari
yang digelar pesantren seperti haul.
menyebutkan bahwa ada 3 bentuk
Haul merupakan agenda rutin yang
marginalisasi, (1) sebagai proses
merupakan tradisi pondok, bertujuan
pengucilan (exlusion), (2) sebagai
mengenang hari wafatnya pendiri
proses pergeseran perempuan ke
pondok pesantren Al - Muayyad yaitu
pinggiran (margins), (3) sebagai
KH. Ahmad Umar Abdul Mannan.
proses feminisasi atau segregasi. Dari
Dalam acara ini pondok mengundang
3 bentuk itu, yang dialami oleh para
instansi lain yang hadir memeriahkan
santri putri adalah bentuk dari proses
haul. Agenda haul diwarnai dengan
feminisasi, dimana dalam bentuk ini
rangkaian acara doa, tahlil, sholawat
adanya
serta pengajian dan hiburan islami.
perempuan
Sehingga setiap tahunnya membentuk
pekerjaan tertentu, bisa dikatakan
kepanitiaan khusus untuk mengurus
bahwa jenis-jenis pekerjaan tersebut
acara ini. Dalam pengambilan peran
sudah
dan posisi santri putri masih berada
semata-mata oleh perempuan).
dibawah santri putra. Santri putra
mendapat tugas sebagai ketua dan
koordinator, sie publikasi dan juga
bendahara. Sedangkan tugas - tugas
yang berhubungan dengan tamu akan
diserahkan
kepada
santri
putri.
Seperti penerima tamu, mengurus
konsumsi,
dekorasi
menyiapakan
serta
hiasan
membersihkan
lingkungan pesantren.
Pembagian
peran
ini
yang
berbeda
seolah
menempatkan bahwa santri putra
pantas mendapat peran – peran publik
&
Holzner,
pemusatan
ke
tenaga
dalam
ter-“feminisasi”
Abdullah
1997:8)
kerja
jenis-jenis
(dilakukan
(2006:
3)
menyatakan keberadaan perempuan
selalu menjadi yang nomor dua dan di
bawah laki-laki. Peran dan status
perempuan
juga
tidak
terlalu
diperhitungkan. Terdapat dikotomi
nature dan culture yang digunakan
untuk menunjukkan pemisahan dan
stratifikasi di antara dua jenis kelamin
ini. Perempuan mewakili sifat “alam”
(nature) harus ditundukkan agar
mereka lebih berbudaya (culture).
Usaha membudayakan perempuan
tersebut
terjadinya
muji rosul). Santri yang dikirim ke
reproduksi
daerah umumnya didominasi oleh
ketimpangan hubungan antara laki-
putra karena dirasa lebih aman
laki dan perempuan. Ketimpangan
daripada
hubungan
memisahkan
disamping
hal
hal
banyak masyarakat yang meminta
domestik sedangkan laki – laki
penceramah laki laki, kecuali untuk
mewakili ranah publik juga terlihat
pengajian khusus ibu - ibu dan anak -
dalam
anak. Hal tersebut menunjukkan
proses
menyebabkan
produksi
dan
yang
perempuan
mewakili
kegiatan
non
-
akademik
mengirim
selama
santri
ini
putri,
memang
muhadoroh. Sekilas terlihat bahwa
bahwa
pondok memberikan akses bagi santri
perempuan dalam kegiatan sosial
putra dan putri untuk mnegikuti
religious masih ada.
kegiatan
muhadoroh.
merupakan
kegiatan
Muhadoroh
latihan
berdakwah yang diadakan rutin satu
minggu sekali. Latihan muhadoroh
ini
dimaksudkan
guna
mempersiapkan santri untuk terjun di
masyarakat.
Meskipun
keduanya
diberikan kesempatan untuk berlatih
muhadoroh namun manfaat yang
mereka terima dalam kegiatan ini
masih berbeda antara santri putra dan
santri putri. Kebiasaan pengasuh yang
mengirimkan santri putra senior
untuk mengisi pengajian di daerah
sekitar lah yang menjadi masalah.
Seringkali santri putra mendapat
undangan untuk mengisi pengajian
maulid nabi, dakwah tentang narkoba,
serta undangan dari jamuro (jamaah
domestifikasi
peran
Simpulan
Berdasarkan
penelitian
ini
mengenai implementasi pendidikan
adil gender di pondok pesantren Al
Muayyad
Surakarta
dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu :
1. Implementasi pendidikan adil
gender di pondok pesantren Al –
Muayyad Surakarta belum dilakukan
secara optimal. Meskipun secara
umum santri putra dan santri putri
diberikan hak pendidikan yang sama
di bidang akademik yang terfokus
pada kajian kitab kuning serta non
akademik
yang
terfokus
pada
kegiatan organisasi intra pesantren,
muhadoroh (dakwah) serta hadroh
(seni rebana), namun masih tejadi
perbedaan akses, partisipasi, kontrol
terhadap sumber daya serta manfaat
yang diperoleh dari proses pendidikan
di pesantren.
2. Belum optimalnya implementasi
pendidikan adil gender di pondok
pesantren Al – Muayyad Surakarta
dikarenakan kendala kultural yang
mengakibatkan
adanya
kebijakan
kurang responsif gender. Kendala
kultural yang dimaksud yaitu sistem
patriarki. Pada sistem patriarki lakilaki mengontrol kerja perempuan.
Kebudayaan yang dimotori oleh
budaya
patriarki
menafsirkan
perbedaan biologis menjadi indikator
kepantasan dalam berperilaku yang
akhirnya berujung pada pembatasan
hak, akses, partisipasi, kontrol dan
menikmati manfaat dari sumberdaya
dan informasi. Akhirnya tuntutan
peran,
tugas,
kedudukan
dan
kewajiban yang pantas dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan dan yang
tidak pantas dilakukan oleh laki-laki
atau perempuan sangat bervariasi.
Daftar Pustaka
Mufidah. (2010). Gender di Pesantren Salaf Why Not ?. Malang : UIN – Maliki
Press.
Saptari, Ratna. (1997). Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Abdullah, Irwan. (2006). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Partini. (2013). Bias Gender dalam Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Fakih, Mansour. (1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nugroho, Rian. (2008). Gender dan strategi pengarus-utamaannya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djunaedi, Wawan. (2008). Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah. Jakarta :
Pustaka STAINU.
Rosaldo, Louis. (1974). Woman, Culture and Society. California: Satndford
University Press.
Mosse, J.C. (2007). Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, agus. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara
Wacana yogya.
Sutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: dasar teori dan terapannya
dalam penelitian. Surakarta:UNS Press.
Gunawan, I. (2014). Metode Penelitian Kualitatif :Teori & Praktik. Jakarta: Bumi
Aksara.
PESANTREN AL – MUAYYAD SURAKARTA
Vikri Zahara, Siany Indria Liestyasari, dan Nurhadi
Pendidikan Sosiologi Antropologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
vikrizahara205@gmail.com
Abstrak
Implementasi pendidikan adil gender di pondok pesantren Al – Muayyad Surakarta
belum dilakukan secara optimal. Meskipun secara umum santri putra dan santri
putri diberikan hak pendidikan yang sama di bidang akademik dan non akademik
namun masih terjadi perbedaan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari proses
pendidikan. Belum optimalnya implementasi pendidikan adil gender di pondok
pesantren Al – Muayyad Surakarta dikarenakan kendala kultural yang
mengakibatkan adanya kebijakan kurang responsif gender. Kendala kultural yang
dimaksud yaitu sistem patriarki. Pada sistem patriarki laki-laki mengontrol kerja
perempuan. Implikasinya santri putra menempati otoritas utama di lingkungan
pesantren. Dalam analisa teori nature dan culture, perempuan dan fungsinya
diidentikkan dengan “kehidupan”, menempatkan dirinya dekat dengan alam.
Berbeda dengan laki-laki yang sepenuhnya bebas dengan proyek “budaya”.
Perempuan yang diidentifikasikan sebagai “alam”, dianggap sebagai orang yang
berkaitan erat dengan sektor domestik. Sedangkan laki-laki di tempatkan sebagai
kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Begitu juga di pesantren Al –
Muayyad masih memperlakukan santrinya dengan dikotomi peran tersebut.
Akibatnya santri putri mempunyai akses terbatas untuk mengikuti kegiatan di luar
pesantren. Selain itu santri putra juga masih mendominasi pengambilan keputusan
dalam rapat gabungan. Santri putri juga tidak bisa menempati posisi teratas dalam
struktur organisasi. Subordinasi pada santri putri juga terlihat dari minimnya
kesempatan untuk tampil di depan umum. Karena sesuatu yang massal dan
bergengsi dianggap sebagai wilayah laki – laki. Akhirnya pengalaman yang didapat
santri putra lebih banyak. Dampaknya bekal yang diterima santri putri untuk
persiapan terjun ditengah masyarakat tidak sebesar santri putra.
Kata Kunci : Pendidikan, Keadilan Gender, Pesantren
Abstrack
The result of this study is the gender equitably education in Al-Muayyad Islamic
Boarding School not yet optimally implemented. Although the male and female
students are given the equal rights in academic or non-academic education, but
there are some differences of access, participation, control, and benefit from the
education process. The not optimally implementation of the gender equitably
education in Al-Muayyad Islamic Boarding School Surakarta is because cultural
constraints that made the policy less responsive to gender. The cultural constraints
is the patriarchy system where put male to control over female job or activity. The
implication of this system is the male students take the main authority in the
boarding school environment. In the theory of nature and culture, female and her
function is identified as “living”, that place herself close to the nature. It is different
with the male that identified free with the cultural works. Female that identified as
“nature”, is considered a person who close to the domestic sector. Meanwhile,
male are placed as group that work on the public sector. The same conditions are
also happen in Al-Muayyad Islamic Boarding School that still treats their student
with the dichotomy. As the result, the female students only have limited access to
have an activity outside the school. Female students also unable to sit on the top of
organization hierarchy. In the other hand, the male students are still dominant in
decision making. The subordination to the female students also can be seen from
the small opportunity to appear in public, because something that prestigious is
considered as the male area. In the end, the experience that acquired by the male
students is richer than the female students and the female students will get less
prepared to live in the society.
Keyword: Education, Gender Equality, Islamic boarding school
Pendahuluan
Dalam rangka pembangunan
keterlaksanaannya
pada
nasional, pemerintah Indonesia telah
lembaga
melakukan upaya – upaya kongkrit
keharusan,
dalam
pesantren. Maka pesantren dituntut
mengatasi
gender
ketidakadilan
melalui
kebijakan
untuk
formal
semua
merupakan
termasuk
melakukan
pondok
re –
pengarusutamaan gender (PUG) yang
kurikulum
dikenal sebagai Inpres No. 9 Tahun
wacana pembelajaran “gender social
2000. Sejumlah undang – undang dan
inclusion”, yaitu pembelajaran yang
peraturan
mengakui dan mempertimbangkan
pemerintah
ditetapkan
pengajaran,
desaign
menjadi
sebagai instrumennya, tetapi lebih
perbedaan
dari itu adalah diperlukan dukungan
pengalaman, dan cara belajar peserta
riil dari masyarakat agar tujuan PUG
didik
dalam mewujudkan masyarakat yang
konstruksi sosial pada lingkungannya.
berkesetaraan dan berkeadilan gender
Kesetaraan
untuk mencapai kesejahteraan sosial
menghendaki agar laki – laki maupun
dapat tercapai (Mufidah, 2010 : v).
perempuan
Pengarusutamaan
gender
dalam pembangunan nasional salah
satunya dilakukan pada lembaga
pendidikan dimana hal ini merupakan
kebijakan
implementatif.
Melalui
peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor
15
tahun
2008
tentang
pedoman umum pengarusutamaan
gender di daerah dan peraturan
menteri pendidikan nasional nomor
84 tahun 2008 tentang pedoman
pelaksanaan pengarusutamaan gender
bidang
pendidikan,
maka
kebutuhan,
yang
disebabkan
dan
keadilan
memiliki
minat,
oleh
gender
akses
(kesempatan) dan partisipasi yang
sama
dalam
proses
pendidikan,
memiliki kontrol atau wewenang yag
seimbang atas sumber daya, dan
mendapatkan
pendidikan
manfaat
secara
hasil
merata.
Implementasi PUG dalam bidang
pendidikan tidak berdiri sendiri dan
terpisah dari keseluruhan program,
namun PUG diintegrasikan ke dalam
strategi pendidikan yang ada, terpadu
dan meresap kedalam empat fungsi
utama manajemen mutu pendidikan
yaitu : perencanaan, pelaksanaan,
pelajar (santri) putra dan putri, baik
pemantauan dan evaluasi (Suriani,
pada aspek pengambilan kebijakan,
2015: 40).
sistem
Terbitnya instruksi presiden
RI nomor 09 tahun 2000 tentang
pengarusutamaan
dalam
gender
pembangunan
(PUG)
nasional
menjadi salah satu kebijakan yang
sangat penting untuk mewujudkan
tujuan
pembangunan
tersebut.
Pondok pesantren merupakan Pusat
Pendidikan
Islam,
dakwah,
dan
pengabdian masyarakat tertua di
Indonesia.
Lembaga
ini
dikenal
memiliki sistem pendidikan dengan
ciri – ciri dan karakteristik yang khas.
Keberadaanya
sampai
sekarang
masih berdiri kokoh di tengah –
tengah
masyarakat,
manajerial,
pembelajaran,
bahan ajar, dan pemanfaatan fasilitas
yang tersedia. Akibatnya, output
santri putra memiliki potensi lebih
besar untuk memainkan peran publik
di tengah – tengah masyarakat.
Kesenjangan
tersebut
juga
berdampak pada kelangkaan ulama’
perempuan yang kontribusinya justru
sangat dibutuhkan, terutama dalam
upaya peningkatan pemberdayaan
perempuan
untuk
mencapai
Millenium Development Goals dan
untuk mengatasi isu – isu gender
khususnya di kalangan masyarakat
muslim (Mufidah, 2010: 2).
Dari data diatas menunjukkan
dengan
bahwa
pengarusutamman
gender
kemandirian, seiring dengan proses
wajib
diimplementasikan
dalam
Islamisasi
berbagai bidang salah satunya bidang
menampakkan
demikian,
di
kebhinekaan
Indonesia.
besarnya
dan
Meski
kontribusi
pendidikan
termasuk
pesantren.
pengembangan
Dimana pesantren identik dengan
ajaran Islam di Indonesia menyisakan
pemeliharaan ortodoksi agama yang
satu problem mendasar, yaitu terkait
kuat. Dengan adanya realita tersebut,
dengan isu kesetaraan dan gender.
peneliti melakukan sebuah penelitian
Hal
yang bertujuan untuk menjawab 1)
pesantren
ini
dalam
terlihat
pada
adanya
bentuk
–
kesenjangan akses, partisipasi, peran,
bagaimana
bentuk
dan tanggung jawab yang dimiliki
implementasi pendidikan adil gender
di pondok pesantren Al – Muayyad
Surakarta, 2) Apa saja kendala yang
fungsinya lebih cenderung dengan
–
“kehidupan”, menempatkan dirinya
dalam
dekat dengan alam, berbeda dengan
dihadapi
pihak
Muayyad
pesantren
Surakarta
Al
mengimplementasikan pendidikan.
laki-laki yang sepenuhnya bebas
dengan proyek budaya. Maksudnya,
Kajian Pustaka
perempuan
Konsep Gender
seperangkat peran yang seperti halnya
dan
topeng
di
teater,
menyampaikan kepada orang lain
bahwa kita adalah feminin atau
maskulin. Perangkat perilaku khusus
ini
yang
diidentikkan
dengan kehidupan. Ia memiliki rahim,
Menurut Mosse gender adalah
kostum
selalu
mencakup
penampilan,
pakaian, sikap, kepribadian, bekerja
di dalam dan luar rumah tangga,
seksualitas, tanggung jawab keluarga
dan sebagainya secara bersama - sama
memoles “peran gender” (Mosse,
di dalam rahim tersebutlah sebuah
kehidupan baru mulai terbentuk dan
tumbuh. Sherry B. Ortner juga
mengemukakan
bahwa
tubuh
perempuan yang lebih hebat dengan
fungsi alam sekitar reproduksi, ia
lebih dipandang sebagai bagian dari
alam daripada pria. “Because of
woman's greater bodily involvement
with
the
natural
functions
surrounding reproduction, she is seen
as more a part of nature than is man”
(Ortner, 1974: 76). Menurut Ortner
2007: 02)
(Ortner, 1974:79), karena laki-laki
Sherry
B
Ortner
dalam
tidak memiliki “natural” dasar untuk
(Woman, Culture and Society 1974:
orientasi keluarga, maka mereka
73) menyatakan bahwa : “woman’s
membuat “natural” milik laki-laki
body and its functions, more involved
yaitu agama, ritual, politik, dan lain-
more of the time with “species life”,
lain. Tidak hanya dengan “culture”,
seem to place her closer to nature, in
laki-laki
contrast to man’s physiology, which
dengan kreativitas sebagai lawan dari
frees him more completely to take up
“nature”.
the projects of culture”. Maksud hal
tersebut bahwa tubuh perempuan dan
juga
diidentifikasikan
Dari berbagai definisi diatas yang
menimbulkan berbagai ketidakadilan,
dikemukakan oleh ahli maka dapat
baik bagi kaum laki – laki dan
disimpulkan
utamanya terhadap kaum perempuan.
persamaan
bahwa
gender adalah suatu konstruksi atau
Secara
bentuk sosial yang sebenarnya bukan
perempuan
bawaan lahir sehingga dapat dibentuk
reproduksinya
atau diubah tergantung dari tempat,
melahirkan dan menyusui, kemudian
waktu/zaman,
muncul gender role (peran gender)
suku/ras/bangsa,
biologis
(kodrat)
kaum
dengan
organ
dapat
hamil,
budaya, status sosial, pemahaman
sebagai
agama, negara, ideologi, politik,
pendidik anak. Dengan demikian,
hukum,
gender
dan
ekonomi.
Oleh
perawat,
role
pengasuh,
dianggap
dan
tidak
karenanya, gender bukanlah kodrat
menimbulkan masalah dan tidak perlu
Tuhan melainkan buatan manusia
digugat.
yang
masalah dan perlu dipertanyakan
dapat
dipertukarkan
dan
Namun,
yang
menjadi
adalah struktur gender inequalities
memiliki sifat relatif.
yang ditimbulkan oleh gender role
Konsep ketidakadilan gender
dan gender differences (Nugroho,
Kondisi saat ini menunjukkan
bahwa perbedaan jenis kelamin dapat
menimbulkan
perbedaan
2008: 09). Ketidakadilan tersebut
dapat dilihat sebagai berikut :
gender
(gender differences) dimana kaum
perempuan
itu
tidak
rasional,
emosional,
dan
lemah
lembut,
1) Marginalisasi.
Menurut
Djunaedi
marginalisasi
(2008:17)
adalah
sedangkan laki – laki memiliki sifat
menempatkan seseorang karena
rasional, kuat atau perkasa. Gender
jenis kelaminnya sebagai pihak
differences
yang tidak dianggap penting dalam
(perbedaan
gender)
sebenarnya bukan suatu masalah
faktor
sepanjang tidak menimbulkan gender
perannya sangat krusial.
inequalities (ketidakadilan gender).
Namun,
yang
menjadi
masalah
ternyata gender difference ini telah
ekonomi,
sekalipun
2) Subordinasi
dilakukan terhadap jenis kelamin
Menurut Nugroho (2008: 11)
subordinasi timbul sebagai akibat
pandangan gender terhadap kaum
perempuan.
Sikap
yang
menempatkan perempuan pada
posisi yang tidak penting muncul
dari
adanya
anggapan
bahwa
perempuan itu emosional, atau
irasional
sehingga
perempuan
tidak bisa tampil memimpin.
Stereotipe merupakan pelabelan
atau penandaan negatif terhadap
atau
jenis
kelamin
tertentu.
Salah
satu
contoh
pelabelan
terhadap
adalah
pandangan
perempaun
bahwa
perempuan adalah makhluk yang
rawan sehingga harus dijaga dan
dibatasi,
umumnya
perempuan
sebagai akibat dari perbedaan
gender.
5) Beban Ganda
Menurut Fakih (1999: 21) adanya
anggapan bahwa kaum perempuan
memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk
menjadi kepala rumah tangga,
berakibat bahwa semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi
3) Stereotipe
kelompok
tertentu,
agar
tidak
terkena
gangguan sampai pada saatnya
menikah.
tanggung jawab kaum perempuan.
Terlebih – lebih jika si perempuan
tersebut harus bekerja, maka ia
memikul beban kerja ganda.
Konsep Adil Gender
Terwujudnya keadilan gender
ditandai
dengan
laki-laki,
dan
Nugroho
(2008:13)
Violence
atau
kekerasan
merupakan invasi atau serangan
terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang yang
dengan
demikian
mereka memiliki akses, kesempatan
pembangunan
Menurut
adanya
diskriminasi antara perempuan dan
berpartisipasi,
4) Violence
tidak
kontrol
dan
atas
memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari
pembangunan (Fakih, 1999: 29).
Adapun indikator keadilan gender
adalah sebagai berikut:
Pertama, akses yaitu peluang atau
menempatkan dirinya dekat dengan
kesempatan dalam memperoleh atau
alam, berbeda dengan laki-laki yang
menggunakan sumber daya tertentu.
sepenuhnya bebas dengan proyek
Mempertimbangkan
budaya.
bagaimana
Maksudnya,
perempuan
memperoleh akses yang adil dan
selalu
setara antara perempuan dan laki-laki,
kehidupan. Ia memiliki rahim, di
anak
dalam
perempuan
dan
laki-laki
diidentikkan
rahim
dengan
tersebutlah
sebuah
terhadap sumberdaya yang akan
kehidupan baru mulai terbentuk dan
dibuat.
yaitu
tumbuh. Setelah sembilan bulan lalu
partisipasi
janin tersebut keluar ke dunia. Bayi
Kedua,
keikutsertaan
partisipasi
atau
seseorang atau kelompok dalam
yang
kegiatan atau dalam pengambilan
mendapatkan ASI (Air Susu Ibu) agar
keputusan. Ketiga, kontrol yaitu
dapat bertahan hidup dengan baik.
penguasaan atau wewenang atau
Selain itu, perempuan juga memiliki
kekuatan
mengambil
periode menstruasi setiap bulannya.
keputusan. Keempat, manfaat yaitu
Semua hal tersebut secara alami
kegunaan yang dapat dinikmati secara
dimiliki oleh perempuan.“because of
optimal.
woman’s greater bodily involvement
untuk
sudah
keluar
dari
rahim
wih he natural functions surrounding
Teori Nature Culture
reproduction, she is seen as more a
“Woman’s
body
and
its
part of nature than is man” (Ortner,
functions, more involved more the
1974: 76) Bahwa tubuh perempuan
time with “species life”, seem to
yang lebih hebat dengan fungsi alam
place her close to nature, in contras
sekitar reproduksi, ia lebih dipandang
to man’s psycology, which frees him
sebagai bagian dari alam daripada
more completely to take up the project
pria.“Since men lack a “natural”
of culture” (Ortner, 1974: 73) Sherry
basis (nursing, generalized to child
B. Ortner dalam Woman, Culture and
care) for a familial orientation, their
Society menyatakan bahwa tubuh
sphere of activity is defined at level of
perempuan
dan
lebih
interfamilial relation. And hence, so
cenderung
dengan
“kehidupan”,
the cultural reasoning seems to go,
fungsinya
men are the “natural” proprietors of
Metodologi Penelitian
religion, ritual, politics, and other
realms of cultural thought and action
in which universalistic statement of
spiritual and social synthesis are
made” (Ortner, 1974: 79) Menurut
Ortner,
karena
memiliki
laki-laki
“natural”
dasar
tidak
untuk
orientasi keluarga, maka mereka
membuat “natural” milik laki-laki
yaitu agama, ritual, politik, dan lainlain. Tidak hanya dengan “culture”,
laki-laki
juga
diidentifikasikan
dengan kreativitas sebagai lawan dari
“nature”.
Dalam penelitian ini peneliti
akan melihat bagaimana bentuk –
bentuk implementasi pendidikan adil
gender
yang
dilakukan
pihak
pesantren Al Muayyad. Penelitian ini
menggunakan
metode
etnometodologi.
Tujuan
etnometodologi adalah pemaknaan
pada situasi yang bersifat lokal,
terorganisasi, memiliki stereotype
dan ideologi khusus dalam hal ini
gender. Dalam penelitian kualitatif,
etnometodologi
memusatkan
kajiannya pada realita yang memiliki
Implikasi
dari
perbedaan
penafsiran praktis. Sumber data dari
“nature” dan “nurture” tersebut
penelitian ini yaitu (1) informan,
adalah terjadinya pemisahan sektor
pengasuh, santri dan pengurus. (2)
kehidupan.
yang
peristiwa atau aktivitas, yaitu berupa
diidentifikasikan sebagai “nature”,
aktivitas pembelajaran berorganisasi.
dianggap
sebagai
Teknik
berkaitan
erat
Perempuan
orang
dengan
yang
sektor
pengumpulan
digunakan
dalam
data
yang
penelitian
ini
domestik. Sedangkan laki-laki di
adalah, (1) wawancara terstruktur dan
tempatkan sebagai kelompok yang
mendalam. (2) observasi. Teknik
berhak
publik.
analisis data yang diguankan dalam
Ideologi semacam ini telah disahkan
penelitian ini adalah analisis model
oleh berbagai pranata dan lembaga
interaktif yang memiliki tahapan
sosial, yang ini kemudian menjadi
pertama reduksi data, kedua sajian
fakta sosial tentang status-status dan
data, dan ketiga kesimpulan data.
mengisi
sektor
peran-peran yang dimainkan oleh
perempuan (Abdullah, 2006: 4).
Hasil penelitian dan pembahasan
Bentuk Implementasi Pendidikan
putri akan memudahkan mereka
saling
bertemu
dikhawatirkan
menimbulkan fitnah dan masalah
Adil Gender
yang
Secara umum, pembelajaran
tidak
diinginkan.
Dengan
demikian santri putri cukup belajar
pada asrama putra dan asrama putri di
sesuai
Al - Muayyad adalah sama, misalnya
pembelajaran
pengajian kitab kuning sesuai dengan
dibimbing oleh nyai dan ustadzah
tingkat usia dan kematangan berfikir
yang memiliki kapasitas keilmuan
para santri. Misalnya kitab Ta’lim al-
terbatas di bawah kualitas kyai dan
Muta’alim, Matanahwu suja’, Imriti,
ustadh – ustadh yang mengajar di
Riyad al-Shalihin, Wasoya, Arbain
asrama putra. Ustadh dihadirkan pada
Nawawi, dan berganti – ganti kitab
hari tertentu untuk membantu kyai
diseputar tasawuf dan fikih. namun
dan ustadzah mengajar asrama putri
masalah kesamaan akses, pesantren
jika dianggap perlu. Karena itu
Al - Muayyad masih memberlakukan
tidaklah
kebijakan
Misalnya
kesenjangan penguasaan kitab kuning
peraturan tentang boleh tidaknya
antara santri putra dan santri putri
santri putri mengaji di luar asrama.
akibat
bahwa akses untuk mendapatkan
pesantren. Berbeda dengan santri
tambahan
melalui
putra mereka memiliki akses yang
pengajian - pengajian kitab di luar
cukup longgar mengaji kitab kuning
asrama berbeda antara santri putra
kepada ustad - ustad yang berdomisili
dan santri putri. Dari keterangan UL
di luar asrama.
berbeda.
pengetahuan
dengan
jadwal
di
heran
dari
kegiatan
asrama
jika
sistem
yang
terjadi
kebijakan
diketahui yang menjadi pertimbangan
Dalam aspek kontrol sumber
berbedanya akses untuk mengikuti
daya, partisipasi santri putri juga
kegiatan di luar asrama adalah untuk
masih lebih sedikit dibanding santri
memelihara
pesantren,
putra. Hal ini dibuktikan dalam
menjaga kehormatan dan martabat
mengadakan kegiatan yang bernama
santri putri. Dibukanya akses yang
“bahtsul
sama antara santri putra dan santri
“bahtsul masail” yaitu forum yang
tradisi
masail”.
Maksud
dari
dibuat pesantren untuk membahas
Risalatul Mahid, suatu kitab yang
masalah - masalah yang muncul
membahas tentang menstruasi dan
dikalangan masyarakat yang belum
permasalahannya.
ada hukum dan dalilnya dalam
Perbedaan semakin tampak
agama. Peserta “Bahtsul Masa’il”
ketika santri putra mendapatkan
terdiri dari para santri, pak kyai
pelajaran juga tentang kitab ini dalam
sebagai
narasumber
dan
bentuk diklat, namun tidak demikian
sebagai
moderator.
Masalah
ustadz
-
bagi santri putri. Meskipun keduanya
masalah yang dibahas tidak hanya
diberikan akses yang sama untuk
masalah agama tetapi juga masalah
mengikuti organisasi ikatan pelajar
sosial yang aktual. Dalam forum
ma’had Al - Muayyad namun masih
bahtsul masail (musyawarah hukum)
terjadi kesenjangan dalam aspek
santri
tidak diikutsertakan.
kontrol sumber daya. Hal ini diakui
Mereka hanya menerima apa yang
sendiri oleh seorang santri putri
menjadi keputusan bahtsul masail
bernama SV, yang menerangkan
putra tanpa mengetahui bagaimana
kasus kontrol sumber daya ini. Dalam
proses jalannya kegiatan. Hal ini
rapat rapat gabungan (IPMA Putra
secara langsung atau tidak semakin
dan IPMA Putri) yang membicarakan
menegaskan minimnya kemampuan
agenda besar pesantren misalnya.
santri putri dalam kitab kuning
Santri putra memiliki kharisma yang
daripada santri putra. Selain itu
lebih tinggi dari santri putri. Ini
terdapat pula materi pelajaran yang
terlihat dari pendapat yang diajukan
tidak diberikan kepada santri putri
oleh kedua santri putra dan putri
namun diberikan kepada santri putra
tersebut ketika rapat. Pendapat santri
ataupun sebaliknya. Jika santri putra
putra lebih didengarkan dari pada
mendapatkan pelajaran Ilmu Falak,
santri putri. Forum gabungan ini
maka tidak demikian dengan santri
seakan menjadi diskusi yang terpusat
putri. Alasan yang dikemukakan
pada
adalah
putri
santri
putra.
keilmuan
yang
Meskipun sama - sama diberi akses
penting
untuk
untuk mengikuti organisasi “IPMA”
dipelajari bagi santri putri yaitu kitab
namun kesenjangan peran yang di
dianggap
adanya
pemikiran
lebih
dapatkan santri putra dan putri masih
peran
jelas terlihat. Hal ini diketahui
memisahkan
peneliti saat melakukan wawancara
mendapat peran - peran publik
dengan informan. Santri putri yang
sedangkan putri mendapat peran
bernama LU menyatakan bahwa di
domestik.
yang
berbeda
bahwa
ini
seolah
santri
putra
setiap akhir tahun ada agenda rutin
Meskipun keduanya diberikan
yang digelar pesantren seperti haul.
akses untuk mengikuti pelatihan
Haul
muhadoroh
merupakan
acara
untuk
di
pesantren
namun
mengenang hari wafatnya pendiri
manfaat yang mereka terima dalam
pondok pesantren Al - Muayyad yaitu
kegiatan ini masih berbeda antara
KH. Ahmad Umar Abdul Mannan.
santri
Acara ini mengundang instansi lain
Kebiasaan
dan juga kerabat pondok pesantren.
mengirimkan santri putra senior
Agenda
dengan
untuk mengisi pengajian di daerah
pembacaan doa, tahlil dan solawat
sekitar yang menjadi masalah. Santri
serta pengajian dan hiburan islami.
yang dikirim ke daerah tersebut
Setiap
dibentuk
umumnya didominasi oleh putra
kepanitiaan yang khusus mengurus
karena dirasa lebih aman daripada
acara haul ini. Namun nyatanya
mengirim santri putri, disamping
dalam pengambilan peran posisi
memang
santri putri masih berada dibawah
masyarakat yang memang meminta
santri putra. Santri putra mendapat
penceramah laki - laki, kecuali untuk
tugas sebagai koordinator, ketua, sie
pengajian khusus ibu-ibu atau anak-
publikasi
anak. Hal tersebut menunjukkan
haul
diwarnai
tahun
dan
Sedangkan
akan
juga
dan
santri
pengasuh
selama
ini
putri.
yang
banyak
-
tugas
yang
bahwa
dengan
tamu
akan
perempuan dalam kegiatan sosial
putri.
religius. Peran santri putri dianggap
Seperti penerima tamu, mengurusi
hanya berhubungan dengan aktivitas
konsumsi,
yang
berhubungan
diserahkan
dekorasi,
tugas
bendahara.
putra
kepada
santri
menyiapkan
serta
hiasan
membersihkan
lingkungan pesantren.
Pembagian
domestifikasi
lebih
sederhana,
peran
bersifat
domestik dan lebih mementingkan
unsur keperempuanan. Kegiatan yang
bersifat massal dan yang lebih
mengundang alumni santri putra
bergengsi dianggap sebagai wilayah
untuk mengisi pengajian. Jarang
laki-laki.
didapati
pesantren
mengundang
Setiap ada kegiatan seperti
alumni santri putri untuk mengisi
perpisahan dan haul yang ditampilkan
dalam pengajian rutin di Al -
untuk mengisi acara adalah kelompok
Muayyad.
hadroh dari santri putra. Sehingga
santri
putri
jarang
mendapat
Analisis culture nature
kesempatan untuk tampil dalam acara
Menurut
UL
menjaga
yang sama. Hadroh putra juga sering
perempuan lebih sulit daripada laki -
diikutsertakan dalam agenda karnaval
laki.
kota Surakarta. Pada acara pengajian
menyimpulkan
yang
rutin pengisi acara rata - rata diambil
pertimbangan
berbedanya
perannya oleh sosok laki –laki bahkan
untuk mengikuti kegiatan diluar
sosok perempuan sama sekali tidak
asrama adalah untuk memelihara
diberi porsi untuk turut meramaikan
tradisi
acara pengajian. Mulai dari pak kyai
kehormatan dan martabat santri putri.
sebagai pembuka acara, kemudian
Perempuan dianggap sebagai sosok
santri putra juga yang membaca
yang rawan dan lemah sehingga akses
tilawah Al quran bahkan pengisi
untuk keluar harus dibatasi sebagai
acara seni juga yang ditugaskan
upaya untuk melindungi perempuan
adalah kelompok hadroh santri putra.
itu sendiri. Hal tersebut seperti yang
Disisi lain santri putri pun juga
diungkapkan oleh Deaux dan Kite
memiliki kelompok hadroh, namun
dalam Partini (2013: 18) bahwa
kelompok santri putri tidak mendapat
gender
kesempatan
untuk
kepercayaan gender (gender belief
memeriahkan acara pengajian. Secara
system). Dalam bukunya Bias Gender
tidak langsung hal ini menyiratkan
dan
bahwa panggung adalah milik laki –
menyebutkan pendapat Deaux dan
laki. Kultur patriarkhi ini semakin
Kite, bahwa sistem kepercayaan
nampak ketika Al - Muayyad selalu
gender mencakup elemen diskriptif,
yang
sama
Pernyataan
tersebut
pesantren,
didukung
Birokrasi,
menjadi
akses
menjaga
oleh
Partini
sistem
juga
yaitu kepercayaan tentang bagaimana
terjadinya
keunggulan
laki-laki
“sebenarnya”
terhadap
perempuan
karena
laki-laki
perempuan,
serta
dan
bagaimana
dikonstruksi
oleh
budaya
yang
“seharusnya” laki laki dan perempuan
dipengaruhi oleh peluang laki-laki
bersikap.
yang lebih besar untuk berperan aktif
Pernyataan
menunjukkan
UL
sistem
terhadap
sudah
Abdullah (2006: 7) laki-laki yang
terbangun di pesantren Al Muayyad,
memiliki akses yang lebih besar
sebagai
sistem
terhadap sektor produktif kemudian
tersebut
dikonstruksikan untuk berperan sosial
kepercayaan
adanya
gender
wujud
kepercayaan
yang
dari
gender
dunia
luar.
Menurut
munculah aturan tentang bagaimana
di
santri putra dan santri putri harus
perempuan mempunyai tugas mulia 4
berperilaku dan bersikap. Santri putra
M
diberi kelonggaran untuk mengaji di
melahirkan,
luar
dikonstruksikan untuk berperan di
pesantren
karena
dianggap
sektor
publik,
(menstruasi,
sedangkan
mengandung,
dan
sebagai sosok yang kuat dan bisa
sektor
melindungi
menguasai rumah tangga, anak dan
sedangkan
dirinya
santri
sendiri,
putri
dianggap
“sosial
menyusui)
melayani
domestik”,
laki-laki
yaitu
(suami).
sebagai sosok yang lemah maka harus
Perempuan yang baik dipresentasikan
dijaga
sebagai ibu maupun istri yang terkait
oleh
Dampaknya
yang
santri
lebih
putri
kuat.
cukup
dengan
rumah,
anak,
masakan,
mengaji kitab dipondok pesantren
pakaian, kecantikan, kelembutan, dan
saja sesuai dengan jadwal yang sudah
keindahan.
ditentukan dari pihak pondok.
Dampaknya
Menurut
Achmad
dalam
pengalaman
Partini (2013: 17) ideologi gender
dunia luar pesantren yang didapat
merupakan ideologi yang mengkotak-
santri putra lebih banyak dibanding
kotakkan peran dan posisi ideal
santri putri. Dari penjelasan diatas
perempuan didalam rumah tangga
mengenai perbedaan akses yang
dan masyarakat. Peran ideal inilah
didapat oleh santri putra dan putri di
yang akhirnya menjadi sesuatu yang
Al - Muayyad menunjukkan bahwa
aku dan stereotip. Ideologi gender
seringkali menyudutkan perempuan
langsung
dalam
kefeminimannya,
bahwa kemampuan santri putri dalam
sehingga yang dilakukan perempuan
menguasai kitab kuning diragukan.
hanyalah untuk memantaskan diri
Sehingga persepsi yang terbangun
sebagaimana telah digariskan sesuai
bahwa ranah berpikir adalah ranah
dengan kodrat dan stereotip yang
yang pantas dipegang oleh laki – laki.
sudah menjadi hal yang baku didalam
Laki – laki dianggap sebagai pribadi
masyarakat. Stereotipe gender dapat
yang
dilihat dari adanya kegiatan yang
keputusan
disebut dengan ”Bahtsul Masail”.
pemikiran logis, sebaliknya sosok
Bahtsul masail merupakan forum
santri putri diibaratkan sebagai sosok
yang diadakan oleh pesantren untuk
yang kurang kompeten dalam ranah
membahas masalah – masalah yang
berfikir
muncul dikalangan masyarakat yang
diikutsertakan.
belum ada hukum dan dalilnya dalam
bahwa santri putri kurang logis
agama. Jadi bahtsul masail bisa
menyebabkan mereka hanya bisa
dikatakan
musyawarah
sebagai penikmat hasil dari adanya
hukum mengenai masalah sosial.
bahtsul masail. Semakin partisipasi
Namun dalam forum ini santri putri
perempuan rendah dalam kegiatan
tidak diikutsertakan. Mereka hanya
bahtsul masail ini, maka semakin
menerima
apa
mengukuhkan stereotipe perempuan
keputusan
bahtsul
konteks
sebagai
yang
menjadi
semakin
cocok
menandaskan
sebagai
karena
pengambil
mempunyai
sehingga
Stereotipe
tidak
negatif
yang
sebagai sosok penurut terhadap laki –
dilakukan santri putra bersama ustadz
laki. Adanya kebijakan santri putri
dan pak kyai sehingga santri putri
hanya menerima apa yang menjadi
tidak mengetahui bagaimana proses
keputusan
jalannya kegiatan. Santri putri bisa
(bahtsul masail) dari santri putra
mengetahui hasil dari bahtsul masail
semakin
yang dilakukan santri putra dan para
kontrol terhadap sumber daya di
ustdaz dan kyai ini lewat majalah
pesantren oleh santri putri.
masail
pondok pesantren yaitu serambi Al Muayyad. Hal
ini
secara tidak
musyawarah
menguatkan
hukum
lemahnya
Menurut Abdullah (2006: 84)
di dalam tatanan sosial yang dilandasi
pada
sistem
hubungan
yang
pada
sistem
patriarki,
laki-laki
patriarkis, segala kegiatan perempuan
mengontrol kerja perempuan, baik di
dan persepsi masyarakat terhadap
dalam rumah maupun di luar rumah.
status
Diakui sendiri oleh seorang santri
dan
dilingkupi
posisi
oleh
perempuan,
nilai-nilai
yang
putri bernama SV pada saat rapat -
memihak kepada pria. Nilai-nilai
rapat gabungan yang membicarakan
yang
agenda besar pesantren seperti acara
patriarkis
tersebut
diinternalisasikan dan dilanggengkan
khataman,
melalui
kemerdekaan.
berbagai
institusi
sosial
haul,
peringatan
Menurutnya
hari
dalam
seperti lembaga politik, pendidikan,
forum rapat gabungan santri putra
maupun
kepercayaan-kepercayaan,
memiliki kharisma yang lebih tinggi
sehingga subordinasi tersebut tidak
dibanding dengan santri putri. Forum
dirasakan sebagai suatu sistem yang
gabungan ini seolah - olah menjadi
secara langsung sangat menekan dan
diskusi yang terpusat pada pemikiran
memojokkan
Sama
santri putra. Akibatnya pengambilan
halnya dengan pernyataan LU yang
keputusan seringkali menggunakan
merasa bahwa pemberian materi
pemikiran santri putra yang dijadikan
berbeda
kewajaran
sebagai acuan. Seorang pengurus
karena LU sudah menginternalisasi
bernama DW juga menambahkan
kepercayaan - kepercayaan yaitu
bahwa meskipun pondok pesantren
mempelajari hal - hal yang berkaitan
Al – Muayyad memiliki kebijakan
dengan
(menstruasi)
pengurus putra dan putri untuk
adalah cukup. Sehingga santri putri
mengelola asrama dengan perwakilan
tidak
perempuan.
adalah
suatu
kodratnya
merasakan
penomorduaan
adanya
posisi
pengurus masing - masing namun
dibanding
santri
faktanya
keputusan
rapat
juga
putra. Meskipun keduanya diberikan
didominasi oeh pengurus dari pihak
akses yang sama untuk mengikuti
laki - laki. Dominasi pengambilan
organisasi ikatan pelajar namun juga
keputusan ini dampak dari sistem
masih terjadi kesenjangan dalam
negosiasi yang masih lemah. Setiap
aspek kontrol sumber daya. Menurut
keputusan yang dihasilkan dari rapat
Hartman dalam Partini (2013: 15)
pengurus
putri
biasanya
selalu
dikoordinasikan
dulu
dengan
alam daripada pria. Menurut Ortner,
pengurus asrama putra. Artinya santri
karena
laki - laki mengontrol apa yang
“natural”
menjadi keinginan dari santri putri.
keluarga, maka mereka membuat
Kaitannya dengan pengkotak
– kotakan peran laki – laki dan
perempuan
Ortner
(1974:
73)
menyatakan bahwa tubuh perempuan
dan
fungsinya
lebih
cenderung
dengan “kehidupan”, menempatkan
dengan
laki-laki
dasar
tidak
memiliki
untuk
orientasi
“natural” milik laki-laki yaitu agama,
ritual, politik, dan lain-lain. Tidak
hanya dengan “culture”, laki-laki
juga
diidentifikasikan
kreativitas
sebagai
dengan
lawan
dari
“nature”.
dirinya dekat dengan alam (nature),
berbeda
laki-laki
Abdullah
(2006:
4)
yang
menjelaskan bahwa implikasi dari
sepenuhnya bebas dengan proyek
perbedaan “nature” dan “culture”
“budaya”
(culture).
Maksudnya,
tersebut adalah terjadinya pemisahan
selalu
diidentikkan
sektor kehidupan. Perempuan yang
dengan kehidupan. Ia memiliki rahim,
diidentifikasikan sebagai “nature”,
di dalam rahim tersebutlah sebuah
dianggap
sebagai
kehidupan baru mulai terbentuk dan
berkaitan
erat
tumbuh. Setelah sembilan bulan lalu
domestik. Sedangkan laki-laki di
janin tersebut keluar ke dunia. Bayi
tempatkan sebagai kelompok yang
yang
berhak
perempuan
sudah
keluar
dari
rahim
mengisi
orang
dengan
sektor
yang
sektor
publik.
mendapatkan ASI (Air Susu Ibu) agar
Ideologi semacam ini telah disahkan
dapat bertahan hidup dengan baik.
oleh berbagai pranata dan lembaga
Selain itu, perempuan juga memiliki
sosial, yang kemudian menjadi fakta
periode menstruasi setiap bulannya.
sosial tentang status-status dan peran-
Semua hal tersebut secara alami
peran
dimiliki oleh perempuan. Ortner juga
perempuan. Meskipun sama - sama
mengemukakan
tubuh
diberikan akses untuk mengikuti
perempuan yang lebih hebat dengan
organisasi ikatan pelajar mahad Al -
fungsi alam sekitar reproduksi, ia
Muayyad namun kesenjangan peran
lebih dipandang sebagai bagian dari
yang didapatkan santri putra dan putri
bahwa
yang
dimainkan
oleh
juga masih terlihat. Santri putri yang
sedangkan santri putri mendapatkan
bernama LU menyebutkan bahwa di
peran domestik. Alison Scott (dalam
setiap akhir tahun ada agenda rutin
Saptari
yang digelar pesantren seperti haul.
menyebutkan bahwa ada 3 bentuk
Haul merupakan agenda rutin yang
marginalisasi, (1) sebagai proses
merupakan tradisi pondok, bertujuan
pengucilan (exlusion), (2) sebagai
mengenang hari wafatnya pendiri
proses pergeseran perempuan ke
pondok pesantren Al - Muayyad yaitu
pinggiran (margins), (3) sebagai
KH. Ahmad Umar Abdul Mannan.
proses feminisasi atau segregasi. Dari
Dalam acara ini pondok mengundang
3 bentuk itu, yang dialami oleh para
instansi lain yang hadir memeriahkan
santri putri adalah bentuk dari proses
haul. Agenda haul diwarnai dengan
feminisasi, dimana dalam bentuk ini
rangkaian acara doa, tahlil, sholawat
adanya
serta pengajian dan hiburan islami.
perempuan
Sehingga setiap tahunnya membentuk
pekerjaan tertentu, bisa dikatakan
kepanitiaan khusus untuk mengurus
bahwa jenis-jenis pekerjaan tersebut
acara ini. Dalam pengambilan peran
sudah
dan posisi santri putri masih berada
semata-mata oleh perempuan).
dibawah santri putra. Santri putra
mendapat tugas sebagai ketua dan
koordinator, sie publikasi dan juga
bendahara. Sedangkan tugas - tugas
yang berhubungan dengan tamu akan
diserahkan
kepada
santri
putri.
Seperti penerima tamu, mengurus
konsumsi,
dekorasi
menyiapakan
serta
hiasan
membersihkan
lingkungan pesantren.
Pembagian
peran
ini
yang
berbeda
seolah
menempatkan bahwa santri putra
pantas mendapat peran – peran publik
&
Holzner,
pemusatan
ke
tenaga
dalam
ter-“feminisasi”
Abdullah
1997:8)
kerja
jenis-jenis
(dilakukan
(2006:
3)
menyatakan keberadaan perempuan
selalu menjadi yang nomor dua dan di
bawah laki-laki. Peran dan status
perempuan
juga
tidak
terlalu
diperhitungkan. Terdapat dikotomi
nature dan culture yang digunakan
untuk menunjukkan pemisahan dan
stratifikasi di antara dua jenis kelamin
ini. Perempuan mewakili sifat “alam”
(nature) harus ditundukkan agar
mereka lebih berbudaya (culture).
Usaha membudayakan perempuan
tersebut
terjadinya
muji rosul). Santri yang dikirim ke
reproduksi
daerah umumnya didominasi oleh
ketimpangan hubungan antara laki-
putra karena dirasa lebih aman
laki dan perempuan. Ketimpangan
daripada
hubungan
memisahkan
disamping
hal
hal
banyak masyarakat yang meminta
domestik sedangkan laki – laki
penceramah laki laki, kecuali untuk
mewakili ranah publik juga terlihat
pengajian khusus ibu - ibu dan anak -
dalam
anak. Hal tersebut menunjukkan
proses
menyebabkan
produksi
dan
yang
perempuan
mewakili
kegiatan
non
-
akademik
mengirim
selama
santri
ini
putri,
memang
muhadoroh. Sekilas terlihat bahwa
bahwa
pondok memberikan akses bagi santri
perempuan dalam kegiatan sosial
putra dan putri untuk mnegikuti
religious masih ada.
kegiatan
muhadoroh.
merupakan
kegiatan
Muhadoroh
latihan
berdakwah yang diadakan rutin satu
minggu sekali. Latihan muhadoroh
ini
dimaksudkan
guna
mempersiapkan santri untuk terjun di
masyarakat.
Meskipun
keduanya
diberikan kesempatan untuk berlatih
muhadoroh namun manfaat yang
mereka terima dalam kegiatan ini
masih berbeda antara santri putra dan
santri putri. Kebiasaan pengasuh yang
mengirimkan santri putra senior
untuk mengisi pengajian di daerah
sekitar lah yang menjadi masalah.
Seringkali santri putra mendapat
undangan untuk mengisi pengajian
maulid nabi, dakwah tentang narkoba,
serta undangan dari jamuro (jamaah
domestifikasi
peran
Simpulan
Berdasarkan
penelitian
ini
mengenai implementasi pendidikan
adil gender di pondok pesantren Al
Muayyad
Surakarta
dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu :
1. Implementasi pendidikan adil
gender di pondok pesantren Al –
Muayyad Surakarta belum dilakukan
secara optimal. Meskipun secara
umum santri putra dan santri putri
diberikan hak pendidikan yang sama
di bidang akademik yang terfokus
pada kajian kitab kuning serta non
akademik
yang
terfokus
pada
kegiatan organisasi intra pesantren,
muhadoroh (dakwah) serta hadroh
(seni rebana), namun masih tejadi
perbedaan akses, partisipasi, kontrol
terhadap sumber daya serta manfaat
yang diperoleh dari proses pendidikan
di pesantren.
2. Belum optimalnya implementasi
pendidikan adil gender di pondok
pesantren Al – Muayyad Surakarta
dikarenakan kendala kultural yang
mengakibatkan
adanya
kebijakan
kurang responsif gender. Kendala
kultural yang dimaksud yaitu sistem
patriarki. Pada sistem patriarki lakilaki mengontrol kerja perempuan.
Kebudayaan yang dimotori oleh
budaya
patriarki
menafsirkan
perbedaan biologis menjadi indikator
kepantasan dalam berperilaku yang
akhirnya berujung pada pembatasan
hak, akses, partisipasi, kontrol dan
menikmati manfaat dari sumberdaya
dan informasi. Akhirnya tuntutan
peran,
tugas,
kedudukan
dan
kewajiban yang pantas dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan dan yang
tidak pantas dilakukan oleh laki-laki
atau perempuan sangat bervariasi.
Daftar Pustaka
Mufidah. (2010). Gender di Pesantren Salaf Why Not ?. Malang : UIN – Maliki
Press.
Saptari, Ratna. (1997). Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Abdullah, Irwan. (2006). Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Partini. (2013). Bias Gender dalam Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Fakih, Mansour. (1999). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nugroho, Rian. (2008). Gender dan strategi pengarus-utamaannya di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djunaedi, Wawan. (2008). Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah. Jakarta :
Pustaka STAINU.
Rosaldo, Louis. (1974). Woman, Culture and Society. California: Satndford
University Press.
Mosse, J.C. (2007). Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, agus. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara
Wacana yogya.
Sutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: dasar teori dan terapannya
dalam penelitian. Surakarta:UNS Press.
Gunawan, I. (2014). Metode Penelitian Kualitatif :Teori & Praktik. Jakarta: Bumi
Aksara.