TRADISI SLAMETAN KEMATIAN DI DESA PEPELEGI KECAMATAN WARU KABUPATEN SIDOARJO.

(1)

TRADISI SELAMATAN KEMATIAN

DESA PEPELEGI KECAMATAN WARU KABUPATEN SIDOARJO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Progam Strata Satu (S1)

Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam

Oleh :

ULFATI ULINNUHA A8.22.12.162

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul tentang tradisi selamatan kematian di desa Pepelegi, Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo. Permasalahan dalam skripsi ini yakni 1. Apa yang melatar belakangi pelaksanaan tradisi selamatan kematian di desa Pepelegi 2. Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi selamatan kematian di desa Pepelegi dan 3. Bagaimana respon masyarakat Pepelegi terhadap adanya tradisi selamatan kematian di desa Pepelegi.

Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang memberikan klarifikasi secara mendetail, yakni mengungkap gejala secara holistik dan kosntektualmelalui pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi secara langsung lengkap tentang tradisi kematian di desa Pepelegi dengan menggunakan pendekatan antropologi yakni memaparkan situasi dan kondisi masyarakat yang meliputi kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaannya. Menggunakan teori fungsional yakni hubungan dialekstis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual, dalam Teori Fungsional yakni pengaplikasiannya melihat dan meneliti peristiwa tradisi kematian di desa Pepelegi, serta menggunakan teori Challenge and respon yakni untuk memahami tantangan dan respon masyarakat dengan adanya tradisi selamatan kematian yakni respon masyarakat Pepelegi yang menerima dan tidak menerima.

Skripsi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa selamatan kematian atau tahlilan datang dari tradisi imay Islam yang turun-temurun dari sejak para wali songo 1. Dalam pelaksanaan tradisi selamatan kematian, masyarakat Pepelegi melaksanakan dengan dasar yang berbeda-beda, dan 2. Proses pelaksanaan tradisi selamatan kematian ini sama saja dengan tradisi selamatan kematian pada umumya namun dalam pembacaan doa tidak lupa dicantumkan doa khusus bagi yang mbaurekso desa Pepelegi yakni Mbah Jatisari dan Mbah kenongosari serta 3.Terdapat berbagai macam respon dari masyarakat Pepelegi ada yang pro dan kontra terutama masyarakat yang berpaham Nahdlatul Ulama atau NU, Muhammadiyah dan LDII.


(7)

ABSTRACT

This thesis titled traditions Pepelegi selamatan death in the village, District Waru Sidoarjo. Problems in this thesis namely 1. What is the background for the implementation of the death in the village of salvation tradition Pepelegi 2. How procedures of salvation tradition of death in the village Pepelegi and 3. How Pepelegi public response to their tradition in the village Pepelegi selamatan death. This research is using qualitative research methods are clarified in detail, that reveal symptoms holistically and kosntektualmelalui the collection of data through observation, interviews and documentation directly about the traditions of death in the village Pepelegi using anthropological techniques that expose the circumstances of society that includes social and cultural conditions and religious conditions. Using functional theory and the relationship dialekstis between religion and the function that is applied through a ritual, in the Theory of Functional namely its application to view and examine the events of the tradition of death in the village Pepelegi, and using the theory of Challenge and response that is to understand the challenges and the public response to their tradition of salvation death of the response Pepelegi people who accept and not accept.

This thesis can be concluded that the death or tahlilan salvation comes from the tradition of Islam imay hereditary since the trustees of Songo 1. In the implementation of the death selamatan tradition, society Pepelegi implement on the basis of different,2. The process of implementation of the tradition of salvation this death is tantamount to death selamatan tradition in general but in praying do not forget to be included special prayers for the village mbaurekso Pepelegi namely Mbah Mbah Jatisari and kenongosari and 3.Terdapat variety of responses from the public Pepelegi there are pros and cons, especially people who are sensible Nahdlatul Ulama or NU, Muhammadiyah and LDII.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... I PERNYATAAN KEASLIAN ... II

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... III

PERSETUJUAN PENGUJI ... IV

PEDOMAN TRANSLITERASI ... V

MOTTO ... VI

PERSEMBAHAN ... VII

KATA PENGANTAR ... VIII

ABSTRAK ... X

DAFTAR ISI... XII

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penilitian ... 7

D. Kegunaan Penilitian ... 7

E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 8

F. Penelitian Terdahulu ... 11

G. Metodologi Penilitian... 12


(9)

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENILITIAN

A. Letak Geografis Desa Pepelegi ... 17

1. Kabupaten Sidoarjo ... 18

2. Kecamatan Waru ... 18

3. Desa Pepelegi ... 19

B. Kondisi Sosial Desa Pepelegi ... 20

1. Keadaan Penduduk... 21

2. Bidang Ekonomi ... 21

3. Bidang Sosial Keagamaan ... 23

a. Keadaan Keagamaan Masyarakat ... 25

b. Sosial Kebudayaan Bersifat Keagamaan ... 25

4. Bidang Pendidikan ... 27

5. Bidang Sosial Kebudayaan ... 31

BAB III RUANG LINGKUP TRADISI SELAMATAN KEMATIAN DI DESA PEPELEGI KECAMATAN WARU KABUPATEN SIDOARJO A. Latar Belakang Pelaksanakan Tradisi Selamatan Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo ... 34

B. Tujuan Mengadakan Tradisi Selamatan Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo ... 41

C. Jenis - Jenis Tradisi Selamatan Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo ... 42

D. Waktu dan Tempat Melaksanakan Tradisi Selamatan Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo ... 47


(10)

E. Proses Pelaksanaan Tradisi Selamatan kematian di Desa Pepelegi

Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo ... 48

BAB IV RESPON MASYARAKAT TERHADAP TRADISI SELAMATAN DI DESA PEPELEGI KECAMATAN WARU KABUPATEN SIDOARJO

A.Masyarakat yang Menerima Dengan Adanya Tradisi Selamatan Kematian

di Desa Pepelegi Kecamatan Waru

Kabupaten Sidoarjo ... 57

B.Masyarakat yang Tidak Menerima Dengan Adanya Tradisi Selamatan

Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru

Kabupaten Sidoarjo ... 66 Bab V PENUTUP

A. Simpulan ... 70 B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama lain yang berdasarkan Al – Qur’an dan Al – Hadist. Islam memiliki nilai yang universal dan absolut sepanjang zaman, namun demikian Islam sebagai dogma tidak kaku dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika menghadapi masyarakat yang dijumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi.

Dalam sejarah, agama dan simbol memiliki pengaruh karena terdapat unsur nilai dan unsur simbol di dalamnya. Dalam hal ini kemudian berkembang suatu sistem-sistem kepercayaan, ritual yang kompleks namun penerapannya bisa lentur dalam batas tertentu sehingga cukup terjadinya proses adopsi, akulturasi dan adaptasi dengan budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam sama namun bisa saja berbeda sesuai konteks lokal dan sosial bagi pemeluknya dimanapun ia tinggal dan berada.

Sebelum masuknya Islam ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal paham animisme dan dinamisme, kemudian barulah mereka mengenal serta menganut Hindu dan Budha, sehingga ketika Islam


(12)

2

masuk ke Indonesia komunikasi antar penganut paham dan agama tersebut tidak dapat dihindarkan.

Para sejarawan mengatakan bahwa para pembawa Islam adalah pedagang dari Gujarat. Pedagang dari Gujarat menyebarkan Agama Islam melalui interaksi dan komunikasi dengan penduduk lokal yang saat itu masih beragama Hindu-Budha dan ini merupakan ajaran berbeda sehingga menciptakan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Islam yang

dibawa oleh pembawa ajaran Islam tersebut.1

Unsur budaya Islam tersebar di Jawa dengan seiring dengan masuknya Islam di Indonesia Secara kelompok masyarakat Jawa telah mengental unsur budaya Islam sejak mereka berhubungan dengan pedagang sekaligus mubaligh pada taraf penyiaran Islam pertama kali. Pada awal interaksi kebudayaan - kebudayaan ini saling mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hasil pemikiran, cipta dan karya manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat, pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh

manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi.2 Tradisi

merupakan proses situasi kemasyarakatan yang di dalamnya unsur-unsur dari

warisan kebudayaan dan dipindahkan dari generasi ke generasi.3

1Sri Suhandjati Sukri, Ijtihad Progresif Yasadipura II (Yogyakarta: Gama Media, 2004), 327. 2 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa ( Jakarta: Balai Pustaka, 1984 ), hlm. 322.


(13)

3

Dalam sejarahnya, perkembangan kebudayaan masyarakat Jawa mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini dikarenakan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda.

Kebudayaan sebagai cara merasa dan cara berpikir yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan kelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Salah satu unsur budaya Jawa

yang menonjol adalah adat istiadat atau tradisi kejawen.4

Di kalangan masyarakat Jawa terdapat kepercayaan adanya hubungan yang sangat baik antara manusia dan yang gaib. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai ritual sakral. Geertz menuturkan bahwa hubungan manusia

dengan yang gaib dalam dimensi kehidupan termasuk cabang kebudayaan.5

Dalam hal ini, terjadi karena adanya adat-istiadat dari berbagai suku bangsa yang berbeda-beda dan di dalamnya terdapat suatu tradisi yang ada. Salah satu tradisi yang terdapat pada suku bangsa di Indonesia yang berada di pulau

Jawa adalah Tradisi Selamatan.

4Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita 2001), 1. 5Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Terj.Aswab Mahasin (Jakarta. Pustaka Jawa, 1983), hlm. 8


(14)

4

Selametan atau yang biasanya dikatakan selamatan adalah suatu upacara

pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut agama Jawi khususnya. Biasanya masyarakat Jawa mengadakan upacara selamatan di rumah orang yang meninggal, kemudian mengundang tetangga terdekat maupun anggota keluarga atau orang-orang yang bertempat tinggal yang tidak jauh dari tempat tersebut.

Clifort Geertz, menjelaskan bahwa selametan tidak hanya berfungsi

memelihara rasa solidaritas antara para peserta upacara itu saja, tetapi juga dalam rangka memelihara hubungan baik dengan arwah nenek moyang.

Dalam tradisi Jawa, masyarakat Pepelegi juga ada terdapat berbagai keragaman tradisi lokalnya yang terkait dengan upacara-upacara lingkaran hidup sampai upacara keagamaan. Upacara tersebut diantaranya upacara adat kelahiran, upacara hari-hari Islam, upacara pindah rumah dan upacara adat kematian.

Salah satu diantara upacara tersebut yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini adalah upacara selamatan kematian. Dalam masyarakat Islam Indonesia sebagian umat menganggap bahwa roh orang yang telah meninggal masih mempunyai hubungan dengan manusia hidup, sehingga merasa perlu

mengadakan upacara selamatan kematian.6


(15)

5

Selamatan kematian atau tahlilan sering di jumpai di lingkungan masyarakat. Selamatan ini biasanya dilakukan oleh keluarga dari orang yang meninggal dunia yang mempunyai tujuan untuk mendo’akan orang yang meninggal dunia agar supaya segala dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT

dan dilapangkan kuburnya.7 Ritual tahlilan atau selamatan kematian ini sudah

dilakukan secara turun-temurun dan sudah mengakar dan menjadi budaya pada masyarakat Jawa yang sangat berpegang teguh pada adat istiadatnya.

Upacara tersebut pada awalnya merupakan budaya orang Hindu-Budha dalam pelaksanaanya disertai dengan pembakaran kemenyan dan

wangi-wangian,8 serta menyajikan makanan-makanan yang tujuannya mengirim

berkah kepada orang-orang yang sudah meninggal dianggap sebagai leluhur nenek moyang mereka.

Selamatan kematian adalah berdoa bersama-sama untuk mendoakan seseorang yang sudah meninggal . Contoh bila seorang muslim meninggal, maka keluarga terdekat atau masyarakat yang ditinggalkan mengadakan upacara keagamaan dalam selamatan kematian yang berlangsung selama, 1-7 hari, 40 hari,100 hari, 1 tahun, dan 2 tahun.

Seiring memperingati hari kematian di zaman modern ini ternyata masih berjalan dan berlangsung di kalangan masyarakat salah satunya di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo. Tradisi upacara slametan

7Nucholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 2005), 551. 8 Baddrudin Husbky,Bid’ah-bid’ah….., 63.


(16)

6

kematian di Desa Pepelegi ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan tradisi slametan kematian pada umumnya. Dari mulai geblag, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, hingga sampai seribu hari, Tradisi upacara selamatan kematian di Desa Pepelegi ini yang menjadi permasalahan menarik

dalam studi kasus ini yakni: 1) Pada saat tradisi selamatan kematian

dilaksanaan, jama’ah tahlilan biasanya mengikut sertakan doa khusus kepada

sesepuh desa Pepelegi (pendiri desa Pepelegi)9 dalam awalan kirim doa 2)

Masyarakat yang kondisi perekonomiannya rendah mempunyai anggapan

sudah kewajiban melaksanakan tradisi selamatan kematian di desa Pepelegi 3)

Bagi jama’ah yang tidak melaksanakan akan dianggap tidak menghargai leluhur, pelit, kikir dan tidak mempunyai jiwa sosial dan sang mayit dianggap

seperti kematian binatang.104) Berkaitan dengan adanya paham NU,

Muhammadiyah dan LDII yang ada di desa Pepelegi, ingin mengetahui bagaimana respon masyarakat dengan adanya tradisi selamatan kematian tersebut.

Berdasarkan penelitian, tradisi selamatan kematian di Desa Pepelegi tersebut adalah tradisi yang dilakukan oleh warga faham Nahdhatul Ulama’ tanpa membedakan agama islam kejawen maupun islam moderat, warga yang memiliki perekonomian rendah, menengah maupun kelas atas menganggap tradisi selamatan kematian ini sudah menjadi kearifan lokal bagi masyarakat Nahdliyyin pada umumnnya

9 Abdul Majid, Wawancara, Pepelegi, 22 Maret 2016 10 Fajar , Wawancara, Pepelegi,6 Maret 2016


(17)

7

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang pelaksanaan tradisi slametan kematian di Desa

Pepelegi?

2. Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi slametan kematian di Desa

Pepelegi?

3. Bagaimana respon masyarakat Pepelegi terhadap adanya tradisi kematian di

Desa Pepelegi? C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menjelaskan latar belakang dilakukannya tradisi selamatan kematian

di Desa Pepelegi.

2. Untuk mengetahui pelaksanakan tradisi selamatan kematian di Desa

Pepelegi.

3. Untuk menjelaskan respon masyarakat terhadap adanya tradisi selamatan

kematian di Desa Pepelegi. D. Kegunaan Penelitian

1. Untuk menjadi sumbangan penelitian yang bisa memperluas wawasan

keilmuan, terutama dalam hal budaya tepatnya masalah Selamatan Kematian.

2. Sebagai landasan untuk membangun peradaban manusia di masa yang akan

datang.

3. Untuk memperkaya khazanah kebudayaan Islam.


(18)

8

E. Pendekatan dan Kerangka teori

Kebudayaan cenderung diikuti oleh masyarakat pendukungnya secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, meskipun sering terjadi anggota masyarakat itu datang silih berganti disebabkan munculnya

bermacam-macam faktor, seperti kematian dan kelahiran.11 Kematian

menimbulkan dalam diri orang yang berduka-cita suatu tanggapan ganda cinta dan segan. Orang-orang yang berduka-cita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih sayang kepadanya, disentakkan belakang darinya oleh perubahan yang ditimbulkan oleh kematian. Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berduka-cita dari penghentian entah dorongan untuk lari terpukul panik dari keadaan itu atau

sebaliknya, dorongan untuk mengikuti almarhum ke kubur.12

Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis, yaitu pendekatan yang menggunakan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan

sebagainya.13

Dengan pendekatan ini, penulis mencoba memaparkan situasi dan kondisi masyarakat yang meliputi kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaannya. Antropologi memberi bahan prehistoris sebagai pangkal bagi tiap penulis sejarah. Kecuali itu, konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat dikembangkan oleh antropologi, akan memberi pengertian untuk mengisi latar

11 Soejono Soekanto, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Geramedia, 1969), 79. 12 Cliffor Geertz dalam Kebudayan dan Agama, hlm. 95-96.

13 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Pendekatan Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 4.


(19)

9

belakang dari peristiwa sejarah yang menjadi pokok penelitian.14Pendekatan

antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Sedangkan teori yang digunakan adalah Teori Fungsional yang

dikembangkan oleh B.Malinowski. B. Malinowski mengasumsikan adanya hubungan dialekstis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar ritual, fungsi dasar dan agama diarahkan

kepada sesuatu yang supranatural15. Partisipan yang terlibat dalam sebuah

ritual biasa melihat kemajuan agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritual dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.

Haloei Radam mengatakan bahwa religi mengandung makna keberagamaan dalam segala aktivitas dan tindakan manusia. Artinya, masalah religi bukanlah sekedar masalah bagaimana manusia mengkonsepsikan Tuhan dan jagad raya ini serta hidup sesudah mati, atau aktivitas manusia menghayati

adanya Tuhan dan kehidupan di dunia lain,16 tetapi juga berupa masalah

mengapa mereka mengkonsepsikan semua hal itu dan untuk apa semua itu bagi kehidupan seseorang atau orang seorang dan masyarakatnya. Haloei Radam berpandangan religi adalah konsepsi manusia tentang

14 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990),35-36. 15 T.O Ihromi (ed,), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Semesta, 1980) 59. 16 Haloei Radam, Noerid, Religi Orang Bukit (Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001.) 15.


(20)

10

aktivitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan

pribadi dan mengentalkan ikatan sosial.17

Memantapkan kehidupan pribadi maksudnya membina dan mengembangkan mengembangkan identitas individu dan rasa aman emosional, dan mengentalkan ikatan sosial berarti menjadikan kehidupan sekelompok orang lebih utuh serta menjadi tenaga pendorong dan pembenaran pencapaian tujuan bersama.

Suatu kebudayaan terjadi, karena tantangan dan respon antara manusia dengan alam sekitarnya. Dalam alam yang baik manusia berusaha untuk

mendirikan suatu kebudayaan. Arnold J. Toynbee18 memperkenalkan sejarah

dalam kaitan dengan teori challenge and response. Maksud dari teori tersebut adalah kebudayaan terjadi dan dilahirkan karena tantangan dan jawaban antara manusia dan alam sekitarnya. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan digerakkan oleh sebagian sebagian kecil dari pemilik kebudayaan.

Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan, bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Peradaban muncul sebagai suatu tanggapan atas tantangan walaupun bukan atas dasar murni hukum sebab akibat, melainkan hanya sekedar hubungan, dan hubungan

itu terjadi antara manusia dan manusia lainnya.19

17 Ibid hlm...16

18 Indonesiadalam sejarah.blogspot.com.Teori Sejarah-Menurut-Arnold-Toynbee. (Diakses 14 April 2016)


(21)

11

Malinowski berpandangan bahwa peribadatan-peribadatan yang berkaitan dengan kematian merupakan pelampiasan berbagai emosi yang bermanfaat dari orang-orang yang dicintainya, dan pada saat yang sama, merupakan ekspresi penyesuaian baru dengan berbagai status dan peranan dalam kelompok setelah meninggalnya salah satu seorang anggotanya. Dengan demikian agama mendiskripsikan dan membantu melestarikan tradisi dan berbagai peribadatan keagamaan senantiasa dilaksanakan oleh nama

kelompok.20

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang Selamtan Kematian yang sudah diteliti adalah

1. Skripsi oleh Ana Rahmi pada Fakultas Adab Jurusan Sejarah dan

Peradaban Islam, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Tahun 2007 dengan judul “Makna Simbolik dalam Hidangan Selametan Kematian di Desa Bayemtaman Kecamatan Kartoharjo Kabupaten Magetan”. Penelitian ini membahas tentang makna dan symbol hidangan dalam selamatan kematian.

2. Skripsi oleh Lindaniyah pada Fakultas Adab Jurusan Sejarah Peradaban

Islam, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Tahun 1994 dengan judul “Upacara Tahlilan Pada Petilasan Syekh Maulana Ishak di Dukuh Sentono Desa Kregenan Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo”.

20Betty R. Schraf, Kajian Sosiologi Agama, Ter. Machun Husein (Jogjakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995),80.


(22)

12

Skripsi ini membahas tentang tradisi upacara Tahlilan yang dilakukan pada petilasan Syekh Maulana Ishak oleh masyarakat Dukuh Sentono Desa Kragenan Kecamatan Kraksaan Kabupaten Probolinggo.

Sementara skripsi yang berjudul “Tradisi Selamatan Kematian Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo” ini mengungkapkan keberadaan Selamatan Kematian di Desa Pepelegi dan mengetahui bagaimana respon antara paham Nahdatul Ulama ( NU ), Muhammadiyah dan LDII yang ada di desa Pepelegi tersebut, sehingga nanti dicapai penelitian yang komprehensif.

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Pepelegi. Sedangkan subyek penelitian skripsi ini adalah masyarakat pepelegi dan kegiatan tradisi selamatan kematian yang ada di Desa Pepelegi.

2. Heuristik atau pengumpulan data dari sumbernya, yakni mengumpulkan

data-data yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi, berupa buku-buku kepustakaan yaitu sumber dan diperoleh dari buku-buku literatur yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan judul.


(23)

13

3. Verifikasi atau kritik sumber, yaitu tahap menguji keabsahan sumber

sumber yang telah terkumpul dan dievaluasi baik melalui kritik ekstern maupun intern.

4. Bahan dan Sumber

Untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan sumber-sumber diantaranya :

1) Sumber Kepustakaan (data literatur )

Sumber yang digunakan untuk mencari teori tentang masalah-masalah teoritis yang diteliti, yaitu mencari kepustakaan dan buku-buku serta tulisan-tulisan lainnya yang ada hubungannya dengan pembahasan dalam skripsi ini.

2) Sumber Lapangan ( data empiris )

Sumber data ini dari lokasi penelitian yaitu Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo.Yang dilakukan penulis melalui:

a. Informan adalah individu – individu yang memiliki beragam

posisi, sebagai mempunyai akses berbagai informasi yang dibutuhkan peneliti. Adapun informan dalam penelitian ini terdiri dari tokoh masyarakat, aparat desa dan masyarakat yang ada di Desa Pepelegi. Dalam hal ini tentunya dipilih informan kunci yang lebih memahami masalah pokok yang menjadi


(24)

14

obyek penelitian ini, dimana juga mampu memberikan informasinya secara akurat dan padat.

b. Peristiwa dan aktivitas, setiap rangkaian kegiatan yang

berkaitandengan penulisan skripsi ini. Dalam peristiwa dari proses kegiatan selamatan kematian yang dilakukan di Desa Peepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo.

5. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Untuk itu, pada tahap ini dilakukan cara-cara pengumpulan sumber sebagai berikut:

a. Metode observasi atau pengamatan dilakukan agar dapat memberikan

informasi atas suatu kejadian yang tidak dapat diungkapkan dan telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat. Di samping itu, metode observasi juga digunakan sebagai langkah awal yang baik untuk menjalin interaksi sosial dengan tokoh masyarakat dan siapa saja yang terlibat dalam penelitian ini.

b. Metode Interview atau wawancara dilakukan dengan bertatap muka

dan mendengarkan secara langsung informasi-informasi dan keterangan-keterangan. Penulis melakukan tanya jawab secara langsung kepada pelaku tradisi, orang yang mengetahui tentang tradisi selamatan kematian. Menurut prosedurnya penulis melakukan wawancara bebas terpimpin yaitu kombinasi antara wawancara bebas


(25)

15

dan terpimpin dengan menyusun pokok-pokok permasalahan,

selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi.21

c. Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yakni jenis data primer dan data sekunder. Jenis data adalah upacara serta tindakan

orang yang diwawancarai dan diamati22. Hal ini dapat dikatakan data primer

karena diperoleh dan dikumpulkan dari sumber pertama.

Data primer yang berasal dari wawancara mendalam berkaitan dengan informan kunci, yakni orang yang dianggap tahu dan orang sebagai pelaku tentang dilaksanakannya tradisi selamatan kematian. Selanjutnya data sekunder adalah dokumen, buku yang ada kaitannya dengan masalah ini, serta laporan hasil penelitian sebelumnya, bila ada.

d. Sistematika Pembahasan

Rangkaian pembahasan penelitian harus selalu sistematis dan saling berkaitan satu dengan yang lain agar menggambarkan dan menghasilkan hasil penelitian yang maksimal. Sistematika pembahasan ini adalah deskripsi urutan-urutan penelitian yang digambarkan secara sekilas dalam bentuk bab-bab.

21Cholid Narbuko Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), 85.


(26)

16

Garis besarnya, penelitian ini memuat tiga bagian yaitu pendahuluan pada bab pertama, isi atau hasil penelitian terdapat di dalam bab dua, bab tiga dan bab empat, sementara kesimpulan ada pada bab lima.

BAB I Pendahuluan, berisi tentang kajian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori, metodologi penelitian dan bahan dan sumber yang digunakan.

BAB II Penulis memaparkan pembahasan tentang gambaran umum masyarakat Pepelegi Kecamatan Waru yakni tentang kehidupan sosial keagamaan, perekonomian, kebudayaan serta letak Desa Pepelegi.

BAB III Berisi tentang ruang lingkup Selamatan Kematian Islam di Desa Pepelegi diantara yakni latar belakang, tujuan, jenis-jenis tradisi slametan kematian, tempat dan pelaksanakan tradisi selametan kematian.

BAB IV Berisi respon masyarakat dengan adanya tradisi slametan kematian, baik yang menerima maupun tidak menerima dengan adanya tradisi selamatan kematian tersebut.

BAB V yakni merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran.


(27)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENILITIAN

A. Letak Geografis

1. Kabupaten Sidoarjo

Kabupaten Sidoarjo adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah Sidoarjo. Sidoarjo merupakan salah satu penyangga utama Kota Surabaya, dan termasuk dalam kawasan Gerbang kertosusila. Luas kabupaten Sidoarjo adalah 719,63 KM2, dengan jumlah kecamatan 18 dan jumlah kelurahan sebanyak 353. Kabupaten Sidoarjo yakni berbatasan dengan :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan.

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Madura. d. Sebelah Barat berbatasan Kabupaten Mojokerto.

Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu penyangga Ibukota Provinsi Jawa Timur merupakan daerah yang mengalami perkembangan pesat. Keberhasilan ini dicapai karena berbagai potensi yang ada di wilayahnya seperti industri dan perdagangan, pariwisata, serta usaha kecil dan menengah dapat dikemas


(28)

18

dengan baik dan terarah21. Dengan adanya berbagai potensi daerah serta dukungan sumber daya manusia yang memadai, maka dalam perkembangannya Kabupaten Sidoarjo mampu menjadi salah satu daerah strategis bagi pengembangan perekonomian regional. Kabupaten Sidoarjo terletak antara 112o5’ dan 112o9’ Bujur Timur dan antara 7o3’ dan 7o5’ Lintang Selatan.

Kabupaten Sidoarjo terletak di antara dua aliran sungai yaitu Kali Surabaya dan Kali Porong yang merupakan cabang dari Kali Brantas yang berhulu di kabupaten Malang.22

2. Kecamatan Waru

Waru adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Luas kecamatan Waru adalah 3.032 Ha2 dan jumlah penduduknya 231.309 jiwa. Kecamatan ini berbatasan dengan Kota Surabaya, dan di kecamatan ini terdapat Terminal Purabaya, terminal bus terbesar di Indonesia. Di sisi utara kecamatan ini terdapat Bundaran Waru, yang merupakan pintu gerbang utama Kota Surabaya dari arah barat daya (Mojokerto atau Madiun atau Kediri) dan dari arah selatan (Malang atau Banyuwangi).

21 www.sidoarjokab.go.id


(29)

19

Waru merupakan salah satu kawasan industri utama di selatan Surabaya. Banyak sentra Industri di sini, mulai Logam, di desa Ngingas serta Sepatu atau Sandal yang terdapat di desa Wadung Asri, Berbek, Kepuh kiriman dan Wedoro. Desa Berbek yang secara administratif masuk kecamatan Waru juga jadi termassuk bagian dari kawasan Industri Rungkut (SIER) yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kawasan Industri Berbek. Waru juga dikenal sebagai pusat Industri penyangga dari Surabaya, dan banyak industri penting yang sebelumnya berpusat di kota kecamatan ini. Misalnya pabrik paku, pabrik susu Nestle, perusahaan biskuit UBM sampai pabrik soda (Persero).

Selain itu, Ispat Indo perusahaan baja terbesar di dunia asal India yang dimiliki oleh salah satu orang terkaya dunia, Laksmi Mittal juga berada di kota kecamatan ini. Secara geografis, Terminal Purabaya, sebagai terminal bus terbesar di Indonesia, ada dalam wilayah Bungurasih, Waru.

3. Desa Pepelegi

Pepelegi adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, dan berada disebelah barat desa Waru. Luas wilayah desa Pepelegi menurut penggunaan yakni diantaranya luas permukiman 88,60 Hektar, luas persawahan 15,25 Hektar, luas perkebunan 0,00 Hektar, luas kuburan 0,20 Hektar, luas pekarangan dan taman 0,00 Hektar dan 1,17 Hektar serta luas perkantoran dan taman 1,17 dan 0,13Hektar, luas prasana umum lainnya 20,60 Hektar jadi, total keseluruhan yakni 125,95 Hektar.


(30)

20

Di sebelah utara, desa Pepelegi berbatasan dengan Medaeng, di sebelah selatan berbatasan dengan Bangah, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Sawotratap dan sebelah barat berbatasan dengan Wage.

B. Keadaan Sosial Desa pepelegi

1. Keadaan Penduduk

Keadaan masyarakat Desa Pepelegi cukup baik dan bersih, karena sering adanya semangat persatuan dalam bergotong dan saling toleransi terhadap umat beragama maka jika ada warga Desa Pepelegi mengadakan bersih-bersih desa dan memeperbaiki saluran air untuk menjaga kemungkinan dari banjir.

Menurut data monografi tahun 2015 sampai 2016 bahwa Desa Pepelegi jumlahnya 4611 Kartu Keluarga yang terdiri dari 4580 KK laki-laki dan 31 KK perempuan dan mengalami perkembangan sekitar 0,88% dan 3,33%.

Tabel 1.2

Potensi Sumber Daya Manusia23

Jumlah laki-laki Jumlah perempuan

7958 Orang 8402 Orang 16360 Orang


(31)

21

Jumlah total

Jumlah Kepala Keluarga Kepadatan Penduduk

4611 KK 750,00 per KK

2. Keadaan Bidang Ekonomi Masyarakat Pepelegi

Mata pencaharian masyarakat Desa Pepelegi terdiri dari sektor pertanian, sektor industri kecil dan rumah tangga, sektor jasa, dan sektor industri menengah dan besar. Adapun tabelnya sebagai berikut :

Tabel 1.3

Sumber: Data monografi 2015-2016 Desa Pepelegi

Sektor Pertanian Petani 15 orang Buruh tani 60 orang

Pemilik usaha tani 15 orang Sektor Industri dan

KerajianRumah Tangga

Montir 5 orang Tukang batu 85 orang Tukang kayu 20 orang Tukang jahit 12 orang Tukang kue 6 orang


(32)

22

Sektor Jasa Pemilik usaha informasi dan komunikasi 5 orang

Kontraktor 2 orang

Pemilik usaha warung, rumah makan dan restoran 500 orang

Sektor Industri Menengah dan Besar

Karyawan perusahaan swasta 4100 orang

Karyawan perusahaan pemerintah 150 orang Pemilik perusahaan 2 orang.


(33)

23

3. Kondisi Sosial Keagamaan

a. Keadaan Keagamaan Masyarakat T a

b e l

Sumber data : Monograf Desa Pepelegi 2015-2016

Masyarakat Pepelegi mayoritas beragama Islam akan tetapi Islam disini mempunyai bermacam-macam paham diantara Nahdatul Ulama, Muhammadiyah dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia atau yang biasanya disebut LDII. Meskipun, dari perbedaan paham yang ada, akan tetapi toleransi di desa Pepelegi dalam kerukunan hidup bermasyarakat maupun beragama sangat rukun dan saling menghargai satu sama lain24, saling pengertian, saling

24Isyhar Ashari (Kepala Lurah Desa Pepelegi), Wawancara, Pepelegi, 23 Maret 2016.

Agama Laki-laki Perempuan

Islam 7463 orang 7857 orang

Kristen 300 orang 310 orang

Katholik 150 orang 160 orang

Hindu 25 orang 50 orang

Budha 20 orang 25 orang

Konghucu 0 orang 0 orang


(34)

24

menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat berupaya menyediakan sarana atau tempat beribadah untuk menampung jamaahnya dalam melaksanakan ibadah, sarana fisik yang dapat menunjang ibadah di desa ini yakni adalah

Tabel 1.5

Jumlah Masjid 9 buah

Jumlah Musholla 10 buah

Jumlah Gereja Kristen Protestan

1 buah

Jumlah Gereja Katholik 1 buah

Jumlah Wihara 0 buah

Jumlah Pura 0 buah

Jumlah Klenteng 0 buah


(35)

25

b. Sosial kebudayaan bersifat keagamaan

Sosial kebudayaan yang besrifat keagamaan ialah suatu gerak budaya yang teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat yang dimotifsir oleh unsur-unsur keagamaan.

Masyarakat Desa Pepelegi ini sangat aktif dalam kegiatan keislaman25, hal ini terbukti adanya kegiatan keagamaan secara rutin antara lain:

1. Perayaan Maulid Nabi,yakni kebudayaan yang terwujud dengan satu tujuan untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAWdan Biasanya diadakan pengajian akbar.

2. Perayaan Isra’ Mi’raj biasanya jatuh pada tanggal 27 Rajab. Perayaan Isra’ Mi’raj biasanya diisi dengan diba’an, dan pengajian akbar.

3. Setiap bulan tiap RT mengadakan kegiatan kirim doa (yasin tahlil) akan tetapi berbeda dalam pelaksanaannya baik tanggal maupun hari. Kegiatan ini dinamakan arisan RT namun diisi dengan kegiatan tahlilan dan dilakukan secara bergilir oleh setiap RT.

4. Setiap Senin diadakan pengajian rutinan di Masjid Islahun Nahdliyyin yang dipimpin oleh pemuka agama setempat yakni bapak Abdul Majid.


(36)

26

5. Setiap Senin sore diadakan belajar Qiroa’ah di Masjid Islahun Nahdliyyin biasanya diisi oleh remaja Masjid Islahun Nahdliyyin 6. Setiap Rabu diadakan kegiatan istighosah, yasin dan tahlil. Kegiatan ini dihadiri khususnya bapak-bapak dan bertempat di Masjid Islahun Nahdliyyin.

7. Setiap Jum’at ibu-ibu Muslimah NU mengadakan kirim doa atau tahilan dan bergilir dari rumah ke rumah.

8. Setiap Jum’at anak-anak remaja Masjid mengadakan jamiyyah di Masjid Islahun Nahdliyyin dan dan terkadang dilaksanakan bergilir dari rumah ke rumah.

9. Setiap Sabtu di adakan fatayat NU mengadakan kegiatan kirim doa (yasin tahlil) dan kegiatannya dilakukan secara bergilir dari rumah ke rumah. Biasanya dihadiri oleh kaum putri.

10.Setiap Minggu diadakan GP Anshor mengadakan kegiataan kirim doa yasin tahlil yang juga keliling dari rumah ke rumah. Biasanya dilaksanakan dan dihadiri kaum putra pada umumnya. 11.Setiap Malam Jum’at diadakan yasin tahlil di Desa Pepelegi dan

bergilir dari rumah kerumah.

12.Setiap Sabtu Malam Ahad di adakan pengajian rutin ba’da Magrib di Masjid Ar-Rahma Muhamadiyah di antaranya membahas tentang:26

a. Sabtu pertama membahas tentang kajian Hadist


(37)

27

b. Sabtu kedua membahas kajian Tafsir Al-Qur’an. c. Sabtu ketiga membahas kajian Tauhid.

d. Sabtu keempat membahas kajian Umum.

e. Sabtu kelima membahas kajian Fiqh yang menyangkut peribadatan sehari-hari.

13. Diadakan pengajian rutin membahas kajian Samrah Asmaul Husna pada hari Senin dan Kamis Ba’da Isya di Masjid At-Taqwa LDII.27 Samrah Asmaul Husna yakni penjabaran Asmaul Husna dari Ar-Rahman sampai akhir.28

4. Kondisi Pendidikan Masyarakat Pepelegi

Pendidikan merupakan hal terpenting bagi manusia. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh maju pendidikan di negara tersebut. Karena itulah untuk memajukan negaranya, bangsa Indonesia mencanangkan program wajib belajar 9 tahun di seluruh pelosok wilayah di kota-kota besar maupun kota wilayah terpencil.

Tidak ketinggalan di Desa Pepelegi ini aparat desa, guru dibantu masyarakat berupaya terus membebaskan masyarakat Pepelegi dari buta huruf. Meskipun hanya tamat SD,SMP, dan SMA, yang terpenting masyarakat tahu baca dan menulis. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :

27 Sutris, Wawancara, Pepelegi, 25 April 2016. 28 Khotib , Wawancara, Pepelegi, 25 April 2016.


(38)

28

Tabel 1.6

Tingkatan Pendidikan Penduduk Jumlah

Penduduk yang buta huruf dan aksara latin

Penduduk usia 3-6 tahun yang masuk TK dan kelompok bermain anak Penduduk dan anak cacat fisik dan mental

Penduduk sedang SD Penduduk tamat SD Penduduk tidak tamat SD Penduduk sedang SLTP Penduduk tidak tamat SLTP Penduduk sedang SMA Penduduk tidak tamat SMA Penduduk tamat D1

Penduduk tamat D2 Penduduk tamat D3 Penduduk tamat S1 Penduduk tamat S2 Penduduk tamat S3 Penduduk tamat SLB A

3 orang

308 orang

0 orang 1530 orang

164 orang 0 orang 1319 orang

204 orang 861 orang 329 orang 76 orang 40 orang 44 orang 909 orang 168 orang 440 orang 3 orang 2 orang


(39)

29

S S

Sumber Data: Monograf Desa Pepelegi 2015-2016

Sedangkan penduduk yang wajib belajar 9 tahun dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.7

Sumber Data : Monograf Desa Pepelegi 2015-2016

Upaya masyarakat di atas, dibarengi pula dengan jumlah usaha guru dan murid mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah dasar serta SMP maupun SMA. Secara rinci dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :

Penduduk tamat SLB B Penduduk tamat SLB C

1 orang 1 orang

NO Penduduk Jumlah

1 2

3

Penduduk usia 7-15 tahun Penduduk usia 7-15 tahun yang masih sekolah

Penduduk usia 7-15 tahun yang tidak sekolah

2849 orang 2849 orang


(40)

30

Tabel 1.8

NO Rasio Guru dan Murid Jumlah

1.

Kelompok bermain anak Jumlah Guru TK

Jumlah Siswa TK

85 orang 1916 orang

2. SD/ Sederajat Jumlah Guru Jumlah Siswa

150 orang 3240 orang

3. Jumlah SMP Jumlah Guru Jumlah Siswa

25 orang 378 orang 4. SMA

Jumlah Guru Jumlah Siswa

- Orang - Orang


(41)

31

5. SLB

Jumlah Guru Jumlah Siswa

- orang - orang Sumber Data : Monograf Desa Pepelegi 2015-2016

5. Bidang Sosial Kebudayaan

Kebudayaan yang bersifat kemasyarakatan adalah suatu gerak budaya yang teraktualisasi dalam kehidupan masyarakat yang motifisir oleh unsur-unsur kemasyarakatan misalnya Tradisi Ruwat Desa.

Tradisi Ruwat Desa29 di desa Pepelegi tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk mendoakan agar masyarakat setempat terbebas dari segala macam kesialan hidup dan nasib jelek, sekaligus mendapat kesejahteraan dengan hasil panen yang melimpah. Pelaksanaan tradisi ini biasanya berlangsung di tanah lapang.


(42)

BAB III

RUANG LINGKUP TRADISI SELAMATAN KEMATIAN DI DESA PEPELEGI KECAMATAN WARU KABUPATEN

SIDOARJO

Masyarakat Jawa secara kultural adalah orang-orang yang hidup dimana di kehidupan seharinya menggunakan bahasa Jawa yang dilakukan secara turun-temurun. Sebagai suku Jawa, mereka membanggakan keturunan dari dinasti yang pernah berkuasa di tanah Jawa yaitu, Mataram dan Majapahit. Dua kerajaan Mataram dan Majapahit telah menjadi kebanggaan, karena dengan segala ilmu dan kejayaannya telah mengalami pandangan hidup orang Jawa.30 Mereka juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan

orang-orang Jawa.

Meskipun dalam perkembangannya kehidupan orang Jawa telah mengalami pergeseran budaya, sejak zaman prasejarah, Hindhu-Budha, Islam dan Kolonialisme, sehingga sekarang peradaban yang bercorak Jawa masih mengental di kalangan orang Jawa. Meskipun kebudayaan Jawa bercampur dengan agama lain , tetapi figur, roh dan kenyataan ini masih terlihat jelas.

Orang Jawa pada sejak zaman prasejarah memiliki kepercayaan animisme, mereka menganggap semua yang bergerak dianggapnya hidup,


(43)

33

memiliki kekuatan ghaib dan roh serta meiliki watak yang baik dan jahat. Kepercayaan semacam itu hingga kini masih ada di kalangan orang Jawa.31

Setiap desa memiliki cerita dan sejarah sendiri sampai terbentuknya. Desa Pepelegi di Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, malah memiliki dua versi cerita asal mula namanya. Menurut pamong desa, Bapak To’im, Pepelegi berasal dari nama pasaran di kalender Jawa yakni Pepe yang dulu adalah Pon sedangkan Legi tetap Legi. Konon desa Pepelegi ini dulu ada yang mbaurekso

desa tersebut, yakni Mbah Jatisari dan Mbah Kenongosari. Pamong desa mengataka tidak tahu pasti sejarah singkat tentang yang mbaurekso desa tersebut.

Untuk memperingati tradisi selamatan kematian hari satu sampai seribu hari orang meninggal kini disertai dengan doa-doa yang Islami seperti yasinan

dan tahlilan. Walau sudah di Islamkan, tradisi selamatan kematian tersebut

masih disertai doa-doa khusus sebagai menghormati kepada pepundhen

(Eyang, Kyai dan Mbah) yang mbaurekso32 desa atau wilayah tersebut.33

Clifford Geertz mengungkapkan bahwa selametan merupakan agama orang Jawa. Seperti telah disebutkan orang Jawa sejak lahir hingga kematiannya, termasuk pindah rumah, ganti nama, mendapat pekerjaan, ketika orang Jawa mengalami musibah dan mendapatkan berkah perlu diadakan

31 Koentjraningrat, Sejarah Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1954), 103. 32Fajar, Wawancara, Pepelegi,14 Maret 2016.


(44)

34

tradisi selamatan.34 Inti sari bagi orang Jawa pentingnya mengadakan tradisi selamatan adalah mencari keselamatan.

Masyarakat Jawa mengadakan upacara selamatan dengan tujuan agar dirinya merasa tentram karena telah diselamatkan oleh Allah atau mengharapkan keselamatan dari Allah yang diyakininya. Berdasarkan keyakinan itu, selametan disebut agama, karena di dalam tata cara pelaksanaanya mengandung syariat atau kaidah tradisi, misalnya dari tata cara, dan pelaksanaan ritual dengan disertai do’a berasal Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sudah menjadi adat dan tradisi masyarakat Indonesia, bila ada saudara yang meninggal dunia, biasanya diadakan tradisi selamatan kematian atau yang biasanya disebut tahlilan. Pembacaan tahlil ini biasanya diadakan pada 1, 3,7 ,40,100 bahkan 1 tahun setelah kematiannya.35

Tradisi selamatan kematian atau yang biasanya disebut tahlilan merupakan tradisi Islam yang telah mengakar dan berkembang di tengah-tengah msyarakat khususnya Jawa.

A. Latar Belakang Tradisi Selamatan Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo.

Masyarakat Pepelegi memandang bahwa asal-usul atau dasar orang melaksanakan kematian tahlilan berasal dari budaya Islam. Dengan kata

34 Clifford Geertz, The Religion of Java, Terj. Aswab Mahasin, ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), 13. 35Muhammad Nasir MH, Katanya BID’AH Ternyata SUNNAH (Semarang: Syiar Media


(45)

35

lain masyarakat Pepelegi mayoritas membolehkan adanya selametan, meskipun dengan dasar yang berbeda-beda.

Menurut Pak Fajar “budaya selamatan kematian sendiri sudah merupakan kebiasaan manusia sejak dulu”.36 Dari berbagai macam ritual

Jawa, seperti nyadran, ziarah, khaul, slametan memperingati kematian seseorang mulai hari pertama sampai ke seribu, merupakan praktek kepercayaan tradisi pra-Islam diusahakan tidak diubah oleh para pendakwah, akan tetapi dibiarkan hidup.37

Para pendakwah dari kalangan Islam mistik yang diperankan wali songo mempunyai rasa toleran, yakni tidak menyembelih sapi. Cara walisongo ditempuh dengan tujuan agar tidak menyinggung umat Hindu yang menganggap binatang itu adalah suci (keramat). Aturan tradisi ini masih berlaku hingga sekarang di kota Kudus (Jawa Tengah) yang dikenal sebagai kota santri, sehingga jika mengadakan ritual korban tidak menyembelih sapi melainkan kambing dan kerbau.38

Sedangkan dasar yang dipakai oleh Bapak Abdul Majid, Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari,39 bahwasannya suatu

ketika nabi Muhamammad melewati dua kuburan muslim, lantas beliau Nabi bersabda:

36Fajar, Wawancara, Pepelegi,14 Maret 2016.

37http://arsipbudayanusantara.blogspot.com//slametan-dalam-kosmologi-jawa-proses/ “Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa” (diakses 23 April 2016) 38Anekdot di Kudus yang menceritakan Sunan Kudus ketika kembali dari medan pertempuran setelah bersama pasukannya hamper saja mati di tengah perjalanan diselamatkan oleh seekor sapi betina. Oleh karenanya, ia melarang masyarakat untuk binatang lembu. Lebih jauh lihat Marcel Bonneff. 1983, ‘’ Islam di Jawa, Dilihat dari Kudus”, dalam Citra Masyarakat Indonesia. Jakarta, tpp.234. dalam Dr. Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 27. 39Kitab Hadist Bukhari Online No. 1361. (diakses 27 Juni 2016)


(46)

36

َﺣ

ﱠﺪ

َﺛ َﻨ

َﻳ ﺎ

ْ َ

َﺣ

ﱠﺪ

َﺛ َﻨ

َ

أ ﺎ

ُﺑ ْ

ُﻣ

َﻌ

ِوﺎ

َ ًﺔ

َﻋ

ِﻦ

َ

َ

أ

ْﻋ

َﻤ

ِﺶ

َﻋ

ْﻦ

ُﻣ

َﺠ

ِ ﺎ

ٍﺪ

َﻋ

ْﻦ

َ

ُوﺎ

ٍس

َﻋ

ْﻦ

ْﺑا

ِﻦ

َﻋ

ﱠﺒ

ِس ﺎ

َر

ِ

َ

ُﷲ

َﻋ

ْ ُ

َﻤ

َﻋ ﺎ

ِﻦ

ﱠﻨﻟا

ِ ِّ

َﺻ

ُﷲ

َﻋ

َﻠ ْﻴ

ِﮫ

َو

َﺳ

ﱠﻠ

َﻢ

َا ﱠﻧ

ُﮫ

َﻣ

ﱠﺮ

ِﺑ

َﻘ ْ َ

ْﻳ

ِﻦ

ُ َﻌ

ﱠﺬ

َﺑ

َنﺎ

ِا ﱠ

ُ َﻤ

َ

ﻟ ﺎ

ُﻴ

َﻌ

ﱠﺬ

َﺑ

ِنﺎ

َو

َﻣ

ُﺎ

َﻌ

ﱠﺬ

َﺑ

ِنﺎ

ِ

َﻛ

ِ ٍ

َ

أ ﱠﻣ

َا ﺎ

َﺣ

ُﺪ

ُ َﻤ

َﻓ ﺎ

َن

َﻻ

َ

ْﺴ

َﺘ ِ

ُ

ِﻣ

ْﻦ

ْ

ﻟا

َﺒ

ْﻮ

ِل

َو َا

ﱠﻣﺎ

َ ْ

َﺧ

ُﺮ

َﻓ

َ

َنﺎ

َﻳ

ْﻤ

ِ

ِﺑ

ﻟاﺎ

ﱠﻨ

ِﻤ ْﻴ

َﻤ

ِﺔ

ُﺛ

ﱠﻢ

َ

أ

َﺧ

َﺬ

َﺟ

ِﺮ ْ

َﺬ

ًة

َر

ْ

َﺒ

َﺔ

َﻓ

َﺸ

ﱠﻘ

َ

ِﺑ ﺎ

ِﻨ

ْﺼ

َﻔ ْ

ِن

ُﺛ

ﱠﻢ

َﻏ

َﺮ

َز

َﻗ ﻞ

ْ َ

َو

ِﺣا

َﺪ

ًة

َﻓ

َﻘ

ُ

ﻟﺎ

ْﻮ َ

َر ﺎ

ُﺳ

ْﻮ

َل

ِﷲ

َو

َﺳ

ﱠﻠ

َﻢ

ِﻟ

َﻢ

َﺻ

َﻨ

ْﻌ

َﺖ

َ

َﺬ

َﻓا

َﻘ

َلﺎ

َ

َﻌ

ﱠﻠ

ُﮫ

َ

أ

ْن

ُﻳ

َﺨ

ﱠﻔ

َﻒ

َﻋ

ْ ُ

َﻤ

َﻣ ﺎ

َ

ﻟﺎ

ْﻢ

َﻳ ْﻠ

َ

َﺴ

“Telah menceritakan kepada kami Yahya telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dan Al- Amasy dan Mujahid dan

Thawus dari Ibnu ‘Abbas radhiallanhu ‘anhumma berkata, dari Nabi Shallallahu’alaihi wassallam bahwasannya Beliau berjalan melewati dua kuburan yang penghuninya sedang disiksa. Lalu Beliau bersabda“Keduanya sungguh disiksa dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan karena berbuat dosa besar. Yang satunya disiksa karena tidak bersuci setelah kencing sedang satunya lagi karena suka mengadu domba” Kemudian Beliau mengambil sebatang dahan kurma yang masih basah daunnya lalu membelahnya menjadi dua bagian kemudian menancapkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Mereka bertanya: “Kenapa anda melakukan ini? Nabi SAW menjawab “Semoga diringankan (siksanya) selama batang pohon ini masih basah”

Berdasarkan hadist shahih inilah umat islam maupun masyarakat Pepelegi melakukan ajaran nabi SAW :

َﻢﱠﻠ َﺳ َو ِﮫْﻴ

َﻠَﻋ ﱠ َﺻ ِﷲ َل ْﻮ ُﺳ َر ﱠنَا ﺎَﻤُْ َﻋ ُﷲ َ ِ َر ٍس ﺎَﺒَﻋ ِﻦْﺑا ِﻦَﻋ

َو

َل ﺎ َﻘَﻓ ِﻦْﻳ َ ْ

ٌﻘِﺑ ﱠﺮَﻣ

)

ﺎ َﻤُ َ ِا

ٍ ْ ِﺒ

َﻛ ِ ِنﺎَﺑﱠﺬَﻌُ

!

ِ ْﻤَﻳ َن ﺎ

َ َﻓ ﺎَﻤُ ُﺪَﺣَا ﺎﱠﻣَأ ٌ ْ ِﺒَﻛ ُﮫّﻧِإ َ َﺑ


(47)

37

Artinya : Dari Ibnu Abbas R.A bahwasannya Rasulullah pernah melewati dua kubur. Beliau bersabda : “ Sesungguhnya penghuni dua kubur itu sedang diadzab. Mereka diadzab bukan karena perkara yang besar, tetapi sesungguhnya perbuatan dosa besar. Adapun salah seorang dari keduanya suka mengadu domba sedangkan satunya lagi tidak biasa melindungi dirinya dari air kencingnya” (Muttafaq ‘alaih).40

Sebagian masyarakat Pepelegi berpandangan bahwa tradisi selamatan kematian berasal dari budaya Islam dan budaya lokal , mereka mengacu pada sejarah masuknya islam di Jawa yang tidak terlepas dari peran wali sembilan. Para wali sembilan menyebarkan agama Islam itu memiliki beberapa macam metode, yakni dengan cara memahami akulturasi agama Islam dengan budaya yang ada. Salah satunya tradisi selamatan kematian yang pada saat itu belum dilakukan masyarakat Jawa yang mana pada saat itu Jawa masih beragama Hindu dan Budha.

Islam yang berkembang di Indonesia pada awalnya adalah Islam Sufi, yang memiliki salah satu karakter modern dan akomodatif terhadap terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat serta Islam mewarnai mengisi ajaran-ajaran Islam dalam budaya lokal. Islamisasi di Jawa bersifat apa adanya dan tidak merubah kepercayaan dan praktek keagamaan lokal tersebut.41 Posisi

Islam mewarnai dengan mengisi ajaran-ajaran Islam dalam budaya lokal. Islamisasi di Jawa bersifat kontiyuitas dari apa adanya dan bukanlah merubah kepercayaan dan praktek lokal agama tersebut.42

40Syaikh Salim Bin ‘Ied Al- Hilali, Syarah Riyadush Shalihin Jilid V. (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i,2005), 73.

41Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan

XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 35.


(48)

38

Dalam perjalanannya selamatan ini mendapat pengaruh ajaran Hindu dan Budha. Akan tetapi, yang diganti itu hanyalah mantranya atau doanya. Prinsip dari selamatan itu sendiri masih tetap. Dan setelah Islam masuk, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Secara etimologi, kata tahlilan termasuk jenis kalimat isim Mutāṣārrif yang merupakan pecahan Mushtāq dari isim Māṣdār berwazantāf’ilān. Kata ini berasal hāl-lā-lā, fi’l māḍi tergolong pada bāb At-thulāthi āl Mājid dengan tambahan tāshdid pada ‘in fi’l mengandung arti membaca Lā illā Allāh.

Tahlilan adalah sebuah tradisi yang berupa kumpul-kumpul antar warga untuk membaca do’a, yang biasa dilakukan pada saat ada anggota warga yang kesusahan karena ada keluarganya yang meninggal, atau untuk memperingati meninggalnya seseorang.43

Dengan demikian, upacara tahlilan adalah upacara pembacaan dzikir dan do’a-do’a dari beberapa ayat dari beberapa ayat al-Qur’an yang didalamnya ada bacaan tahlil. Oleh orang Jawa kegiatan ini kemudian disebut dengan tahlilan.44

Dalam acara kumpul-kumpul ini diisi dengan membaca ayat-ayat al-Qur’an dan kalimah thayyibah, mulai dengan bacaan surat ikhlash,

43Muhyidin Abdusshomad, Tahlil dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah Kajian Kitab

Kuning, (Surabaya: PP.Nurul Islam, 2005), 25.

44 Ust. H.Shoilihin Hasan, M.HI, Amaliyah Nahdliyyah Tahlilan, Yasinan, dan Istighasah beserta


(49)

39

muawwidzatain, ayat kursi, bacaan shalawat, tahlil, tasbih, dan istighfar.

Urutan bacaan telah disusun sedemikian rupa sehingga sudah sedemikian mentradisi. Jika ada varian bacaan di sana sini, perbedaan tersebut tidak terlalu jauh.45

Selamatan kematian atau yang sering dikenal dengan istilah “TAHLILAN” dalam masyarakat Islam Indonesia sangat kental sekali. Terutama dikalangan masyarakat Islam tradisional, walaupun tidak jarang pula dilakukan oleh sebagian orang yang berintelek.

Selametan merupakan salah satu tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dan suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisional, acara selamatan dimulai dengan doa bersama, duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk46. Tradisi selamatan kematian ini sudah

dilaksanakan secara turun-temurun sejak dulu hingga saat ini.

Sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an “Manusia adalah ciptaan dan milik Allah, lahir di alam dunia untuk beribadah kepada-Nya dan akan kembali ke hadirat-Nya47. Manusia diciptakan dari tanah, akan dikembalikan

ke tanah dan kelak akan dibangkitkan dari tanah48. Kehidupan manusia

melalui siklus kehidupan yang panjang berpindah dari satu alam ke alam yang lain : dari alam arwah ke alam kandungan, lahir ke alam dunia, transit ke alam

45 Abdul Majid , Wawancara, Pepelegi,14 Maret 2016.

46Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984). 21.

47 Al-Qur’an,2 (Al-Baqarah ): 156, Al-Qur’an, 51 (Al-Dzarriyat): 56. 48 Al-Qur’an,20 (Thaha): 55.


(50)

40

barzah (alam kubur) dan akhirnya menetap selamanya di alam akhirat. Kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan perpindahan dari alam dunia ke alam penantian (barzah / kubur).49

Dalam perjalanannya selamatan ini mendapat pengaruh ajaran Hindu dan Budha. Akan tetapi, yang diganti itu hanyalah mantranya atau doanya. Prinsip dari selamatan itu sendiri masih tetap. Dan setelah Islam masuk, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Upacara selamatan kematian unsur Islam dapat dilihat dengan jelas dari segi bacaan-bacaan do’a yang dibacakan dalam selamatan.50 Hampir semua

do’a yang dibacakan dalam selamatan itu selalu diawali dengan surat

al-Fatihah, demikian pula pada akhir do’a. Kemudian bahasa do’a menggunakan

bahasa Arab, yang intinya berisi tentang permohonan untuk keselamatan. Do’a selamatan yang paling sering dibacakan modin pada setiap upacara selamatan adalah sebagai berikut:

َا ﱠﻟ

ُ ﻠ

َﻢ

ِا ﱠﻧ

َ ﺎ

ْﺴ

َ

ُ

َﻚ

َﺳ

َ

َﻣ

ًﺔ

ِ

ِ

ّ

ﻟا

ْﻳ ﺪ

ِﻦ

َو

َﻋ

ِﻓ ﺎ

َﻴ

ًﺔ

ِ

ْ

ا

َ

َﺴ

ِﺪ

َو

ِز

َﻳ

َد ﺎ

ًة

ِ

ْ

ﻟا

ِﻌ

ْﻠ ِﻢ

َو َ

َﺮ

َﻛ

ًﺔ

ِ

ِّﺮﻟا

ْز

ِق

َو َﺗ

ْﻮ

َﺑ

ًﺔ

َﻗ

ْﺒ

َﻞ

َ

ْ

ﳌا

ْﻮ

ِت

َو

َر

ْﺣ

َﻤ

ًﺔ

ِﻋ

ْﻨ

َﺪ

َ

ْ

ﳌا

ِتﻮ

َو

َﻣ

ْﻐ

ِﻔ َ

ﺮ ًة

َ ْﻌ

َﺪ

َ

ْ

ﳌا

ْﻮ

ِت

َا ﱠﻟ

ُ ﻠ

ﱠﻢ

َ

ِّﻮ

ْن

َﻋ

َﻠ ْﻴ

َﺎﻨ

ِ

َﺳ

َﻜ

َﺮ

ِتا

َ

ْ

ﳌا

ْﻮ

ِت

َ و

ﱠﻨﻟا

َﺠ

ِةﺎ

ِّﻣ

َﻦ

ﱠﻨﻟا

ْرﺎ

َو

ْ

ﻟا

َﻌ

ْﻔ

َﻮ

ِﻋ

ْﻨ

َﺪ

ْ

ا

ِ

َﺴ

ْبﺎ

َر ﱠ

َﻨﺎ

َ

ُﺗ ِﺰ

ْغ

ُﻗ ُﻠ

ْﻮ

َﺑ َﻨ

َ ﺎ

ْﻌ

َﺪ

ِا ْد

َ

َﺪ

ْﻳ َ

َﻨ

َو ﺎ

َ

ْﺐ

َ

ﻟ َﻨ

ِﻣ ﺎ

ْﻦ

49K.H Muhammad Nasir MH, Katanya BID’AH Ternyata SUNNAH (Semarang: Syiar Media Publishing Kelompok Penerbit RaSAIL, 2012). 145.


(51)

41

َ

ُﺪ

ْﻧ

َﻚ

َر

ْﺣ

َﻤ

ًﺔ

ِا ﱠﻧ

َﻚ

َا ْﻧ

َﺖ

ْ

ﻟا

َﻮ

َ

ْﺐ

َر

ﱠﺑا

َﻦ

َا ِﺗ

َﻨ

ِﺎ

ﱡﺪﻟا

ْﻧ َﻴ

َﺣ ﺎ

َﺴ

َﻨ

ْﺔ

َو ِ

َ ْ

ِﺧ

َﺮ ِة

َﺣ

َﺴ

َﻨ

ْﺔ

َو

ِﻗ َﻨ

َﻋ ﺎ

َﺬ

َب ا

ﱠﻨﻟا

ْرﺎ

َو

ْ

ا

َ ْﻤ

ُﺪ

ِ ِ

َر

ِّب

ا

ْ

َﻌ

َﻠ ِﻤ

ْ

ن

Ᾱllāhummā innās ālukā sālāāmātān fiddin wā’fiyātān fil jāsādi waziyādātān fil jāsādi wāziyādātān fi’lmi wābārākātān firrizqi wātāwbātān qāblāl māuti wārāhmātān ‘ndāl māutiwā māghfirātān bā’dāl māut. Ᾱllāhummā hāwwin ‘lāynā fii sākārātil māuti wānnājātiā minānnāāri wāl ‘fwā ‘ndāl ḥisāb. Rābbānā lāātuzigh qulubānāā bā’dā hādāitānāā, wāhāblānāā millādunkā rāhmātān innākā āntāl wāhāb. Rābbānā ātināā fiddun yāā ḥāsānāh wāfil ākhirāti ḥāsānāh wāqinā ‘dhābānnār. Wāllhāmduliilāhhirrābbil’lāmin.

B. Tujuan Melaksanaan Tradisi Selamatan Kematian di Dmdesa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo.

Secara umum masyarakat Pepelegi mengadakan tradisi selamatan kematian dengan dua tujuan yakni tujuan yang berorientasi sosiologis dan religius.

1. Tujuan yang berotientasi sosiologis

Salah satu tujuan yang dikemukakan oleh masyarakat Pepelegi yakni karena sudah merupakan kebiasaan. Jika salah seorang penduduk Desa Pepelegi tidak melaksanakan selamatan kematian51, ada kemungkinan akan menjadi bahan omongan

masyarakat. Karena alasan sosial inilah maka tujuan tersebut berorientasi sosiologis.


(52)

42

2. Tujuan yang berorientasi religius

Bapak Abdul Majid mengungkapkan52 “bahwa tujuan

mengadakan tahlilan atau selamatan kematian yaitu untuk mendoakan arwah keluarga supaya arwah diberi keselamatan dan diampuni dosannya. Dengan demikian tujuan yang orientasinya mengarah pada keagamaan itulah, maka tujuan tersebut disebut mampu berorientasi religius.

Diyakini bahwa pada hari pertama sampai 40 hari, sukma orang meninggal tersebut masih di rumah keluarga yang ditinggal sehingga sanak keluarga berupaya megirim do’a agar si mayit di alam arwahnya senantiasa mendapat rahmat dari Allah SWT.

C. Jenis-Jenis Tradisi Selamatan Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo.

Dalam keterkaitannya tradisi selamatan kematian bagi orang Jawa, terdapat suatu komponen ritus kematian. Pada saat pelaksanaan tradisi selamatan kematian tidak sembarangan dalam persoalan waktu.


(53)

43

Tradisi selamatan kematian atau yang biasanya disebut tahlil yang berkaitan dengan nilai angka dan kandungan makna tersendiri didalamnya. Di desa Pepelegi khususnya masyarakat Pepe terdapat melakukan selamatan kematian yang terdapat beberapa jenis diantaranya yakni hari pertama, ketujuh, ke empatpuluh, keseratus,

mendhak pisan dan mendhak pindho.

Menurut Bapak Abdul Majid53 jenis hari tersebut mempunyai arti

penting yang mendasari tradisi selamatan kematian atau yang biasa disebut tahlilan tersebut dilaksanakan. Jenis-jenis tersebut diantaranya yakni :

1. Ngesur tanah.

Pada hari pertama sesudah meninggalnya seseorang setelah melakukan penguburan, si pihak keluarga melakukan selamatan yang dinamakan ngesur tanah. Ngesur tanah diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti membuat lubang untuk penguburan mayat.

Setelah selesainya ngesur tanah biasanya diadakan tradisi selamatan kematian atau tahlilan di rumah orang yang meninggal pada malam hari pertama atau ba’da magrib. Acara tahlilan dipimpin oleh seorang mudin, setelah jama’ah tahlilan sudah


(54)

44

datang kemudian duduk berkeliling. Acara tahlilan dimulai, setelah selesai tahlilan jama’ah tahlilan di beri hidangan. Makanan yang dihidangkan pada saat tradisi selamatan kematian atau tahlilan tidak ada aturannya, banyak dan beraneka ragam tergantung dari keadaan perekonomian yang mengadakan.54

Do-doa yang biasa dilakukan Do-doa pada umumnya yakni Q.S yasin 1-83 ayat dan tahlil kemudian ditambah dengan doa selamat.

Orang yang telah meninggal di dalam kuburnya di hidupkan kembali seperti semula dan ditanya oleh malaikat adalah ruh dan jasanya. Setelah penguburan ruh yang berpisah kembali kejasadnya untuk dimintai pertanggung jawaban pada saat ia hidup di dunia. Menurut kepercayaan orang Jawa, mengadakan selamatan kematian di hari pertama dengan tujuan agar roh yang meninggal tidak menemukan kesukaran dalam ujian dan pemeriksaan oleh beberapa malaikat.55

2. Nelung dina atau selamatan setelah tiga hari kematian.

Selametan tiga hari disebut juga nelung dino. Pelaksanakan selamatan biasanya dilakukan malam hari menjelang hari dan pasaran ke tiga. Selamatan nelung dina bertujuan berpisahnya roh yang berpisah dengan badan berjalan dengan mulus.

54Capt.R.P Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa Roh, Ritual dan Benda Magis …..148 55Suyono, 147.


(55)

45

3. Mitung dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian.

Selametan tujuh hari kematian hari disebut juga mitung

dino. Selamatan mitung dina dimaksudkan untuk penghormatan

terhadap roh setelah tujuh hari roh mulai keluar dari rumah. Pada malam terakhir, pembacaan tahlil ditutup dan sekaligus selamatan mitung dina. Selamat kematian pada hari ketujuh jama’ah tahlilan biasanya diberi berkat yang berisi nasi dan lauk pauknya.

4. Matang puluh dina atau selamatan setelah 40 hari kematian.

Tradisi selamatan matang puluh dina dimaksudkan sebagai upaya untuk mempermudah perjalanan roh menuju ke alam kubur. Ahli waris membantu perjalanan itu dengan mengirim doa yaitu dengan bacaan tahlil dan selamatan.

5. Nyatus dina atau selamatan setelah 100 hari kematian.

Tradisi selamatan nyatus dina dimaksudkan untuk menyempumakan semua hal yang bersifat badan wadhag. Di alam kubur ini, roh masih sering kembali ke dalam keluarga sampai upacara selamatan tahun pertama atau mendhak pisan


(56)

46

6. Mendhak sepisan atau selamatan setelah satu tahun kematian.

Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun pertama. Tata cara pelaksanaan tradisi selamatan kematian pada mendhak

sepisan sama dengan tradisi selamatan kematian lainnya . Fungsi

selamatan ini adalah untuk untuk mengingat-ingat kembali akan jasa-jasa orang yang telah meninggal.

7) Mendhak pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian. Selamatan mendhak pindho dimaksudkan untuk menyempumakan semua kulit, darah dan semacamnya. Pada saat ini jenasah sudah hancur luluh, tinggal tulang saja. Pada saat ini juga dilakukan pengiriman doa dengan secara tahlil dan sajian selamatan.

8) Nyewu atau selamatan sete1ah seribu hari kematian

Nyewu boleh dikatakan sebagai puncak dari rangkaian

tradisi selamatan kematian. Pada saat ini orang Jawa meyakini bahwa roh manusia yang meninggal sudah tidak akan kembali ke tengah-tengah keluarganya lagi. Roh tersebut telah akan meninggalkan keluarga untuk menghadap Tuhan. Tradisi Selamatan kematian atau yang biasanya disebut tahlilan pada saat


(57)

47

dilaksanakan lebih besar dibanding selamatan sebelumnya, karena itu untuk pembacaan kalimat tayyibah (tahlil) pun peserta yang diundang juga jauh lebih banyak.56

D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tradisi Selamatan Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo.

Masyarakat Pepelegi pelaksanaan selamatan kematian merupakan suatu kewajiban perilaku yang sudah biasa terjadi ada orang meninggal. Pelaksanaan selamatan kematian atau tahlilan yang berlaku di masyarakat Pepelegi dilaksanakan setelah kegiatan memandikan sampai penguburan jenazah, yaitu pada hari pertama meninggalnya sampai hari ketujuh, keempat puluh,keseratus, haul dan sampai hari keseribu.

Waktu pelaksanaan sering diadakan pada saat ba’da Maghrib terkadang ba’da Isya’ yang jelas waktu pelaksanaan tahlilan tersebut bukan pada saat matahari terbit. Dilakukan secara bersama-sama, berkumpul sanak saudara, beserta masyarakat sekitarnya. Menurut Pak Abdul Majid57acara tahlilan biasanya dilaksanakan di rumah keluarga

orang yang sedang berduka dengan mengosongkan suatu ruangan yang cukup luas untuk menampung para jama’ah tahlilan. Namun, jika rumah tersebut tidak cukup, biasanya dilaksanakan Masjid.

56Abdul Majid, Wawancara, Pepelegi, 24 Maret 2016. 57 Abdul Majid, Wawancara, Pepelegi, 25 Maret 2016.


(58)

48

Selamatan kematian atau yang biasanya disebut tahlilan dihadiri oleh para anggota keluarga dari pihak keluarga yang meninggal atau saudara itu sendiri dengan beberapa tamu yang biasanya adalah tetangga-tetangga terdekat dan para pria.

E. Proses Pelaksanaan Tradisi Selamatan Kematian di Desa Pepelegi Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo.

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa acara tahlilan merupakan acara yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesaia, khususnya masyarakat di Desa Pepepelegi untuk memperingati hari kematian dan mendoakan orang yang meninggal. Pelaksanaan selamatan kematian tersebut tidak hanya pada saat orang meninggal saja, akan tetapi biasanya di adakan kirim doa setiap Kamis malam Jum’at di Masjid.58

Pelaksanaan selamatan kematian, menurut Sri” 59diawali oleh

pihak keluarga yang meninggal dengan mengundang tetangga dan saudara-saudara yang masih ada hubungan kekeluargaan dengan keluarga yang meninggal secara lisan dan terkadang memberi undangan ke tetangga untuk disebarkan untuk menghadiri tahlilan yang akan diselenggarakan di rumah duka. Terkadang pihak atau anggota keluarga yang akan mengadakan tradisi selamatan kematian menentukan hari pelaksanaan, kemudian mengundang saudara-saudara terdekat maupun

58Abdul Majid, Wawancara, Pepelegi, 23 Maret 2016. 59Sri, Wawancara, Pepelegi, 23 Maret 2016.


(59)

49

jauh dan masyarakat sekitar untuk menghadiri acara tahlilan untuk mendoakan orang yang meninggal. Selamatan kematian biasanya dipimpin oleh mudin, dan terkadang yang mudin dipilih secara bergantian.60

Apabila kematian telah terjadi dilingkungan kelurga, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memanggil mudin.Dan kedua menyampaikan berita di daerah sekitar bahwa sebuah kematian telah terjadi. Pemakaman orang Jawa dilaksanakan secepat mungkin sesudah kematian. Setelah mendengar berita kematian itu, para tetangga meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukan untuk pergi kerumah yang sedang berduka.61

Dalam masyarakat acara tahlilan ini biasanya ada dua versi dalam pelaksanaanya yaitu, pertama acara tahlilan yang diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan orang yang meninggal), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggaran kembali pada hari ke- 40, 100, setahun, dan 1000. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari meninggalnya seseorang, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnnya.

Tradisi selamatan kematian atau yang biasanya disebut tahlilan dimulai apabila para jama’ah tahlilan sudah banyak yang datang dan

60Fajar , Wawancara, Pepelegi, 15 Maret Maret 2016.

61Cliffort Geertz, Agama Jawa (ABANGAN, SANTRI, PRIAYI) Dalam Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2014), 90.


(1)

61

oleh para anggota keluarga itu sendiri dengan beberapa tamu yang biasanya adalah tetangga-tetangga terdekat, para pria.

2. Pada saat pelaksanaan tradisi selamatan kematian berlangsung masyarakat membaca tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan meninggal. Dan dalam pembacaan doa biasanya yang mbaurekso juga dicantumkan tujuan agar menghormati

leluhur. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang telah meninggal. Tahlilan dimulai dengan pembacaan Q.S Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a. Dan pada saat pembacaan do’a tidak lupa mengirim doa kepada yang mbaurekso desa Pepelegi tersebut yaitu Mbah jatisari

dan Mbah Kenongo Sari. Terkadang dalam pembacaan doa biasanya yang memimpin doa ada yang mencantumkan nama yang mbaurekso

desa tersebut juga yang tidak.

3. Berkaitan dengan adanya tradisi selamatan kematian yang ada di Desa Pepelegi, terdapat berbagai macam respon dari berbagai paham yakni paham NU, Muhammadiyah dan LDII. Di paham Muhammadiyah sebenarnya tidak ada pelaksanaan tradisi selamatan kematian , namun jika aa pelaksanaan tradisi selamatan kematian dari paham NU mereka


(2)

62

hadir jika diundang begitu juga di paham LDII. Dari hasil penelitian yang saya lakukan, dapat disimpulkan semua paham cenderung merespon positif adanya tradisi selamatan dan hanya sebagian kecil saja yang menolaknya.

B. Saran

Hasil dari akhir penelitian bisa dikatakan masih jauh dari kesempurnaan, banyak hal tertinggal dan terlupakan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut guna melengkapi data penelitian sebelumnya. Setelah mengadakan penelitian lebih lanjut maka akan memperoleh data yang lengkap, diharapkan dapat diterbitkan menjadi sebuah karya yang bermanfaat bagi mahasiswa pada umumnya tentang tradisi-tradisi islam terhadap budaya lokal. Jika kurang atau tidak sesuai dengan ajaran Islam maka dapat diluruskan agar tidak terjadinya penyelewengan dalam agama Islam tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Abdusshomad, Muhyidin . Tahlil dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunna Kajian Kitab Kuning. Surabaya: PP. Nurul Islam, 2005.

Abdul Fatah, H.Munawir. Tradisi Orang-Orang NU, Yogyakarta: PT.LKis Pelangi Aksara, 2006.

Ahmadi Abu, Cholid Narbuko. Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara,1999.

Amin, M Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000. Azra, Ayzumardi . Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara

Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994.

A Syahri. Implementasi Agama Islam Pada Masyarakat, Jakarta:Depag, 1985. Basyir, Abu Umar. Imam Syafii Menggungat Syafi’iyah, Surabaya: Shafa Republika,

2010.

Data Monografi Desa Pepelegi 2015-2016.

Geertz, Cliffort. Agama Jawa (ABANGAN, SANTRI, PRIAYI) Dalam Kebudayaan Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014.

Geertz, Clifford. The Religion of Java, Terj. Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981. Geertz, Clifford. Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa,

Terj.Aswab Mahasin, Jakarta. Pustaka Jawa, 1983.

Hasan , Shoilihi. Amaliyah Nahdliyyah Tahlilan, Yasinan, dan Istighasah beserta Dalil dan Teksnya, Surabaya: Fahdina Publisher, 2014.

Herusatoto, Budiono. Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita 2001.

Husbky, Baddrudin. Bid’ah-bid’ah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990. _____________. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1984 .


(4)

Kartodirjo,Soekanto. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Pendekatan Sejarah, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Muhaimin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos,2001.

Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 2005.

Muhammad, Hilmi. LDII Pasang Surut Relasi Agama dan Negara, Depok: Elsas, 2013 Moleong, Lexy. Metodolologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda

Karya, 1998.

Nurihson M Nuh. Aliran/faham keagamaan dan Sufisme Perkotaan, Jakarta: Puslitbang Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009.

Nasir MH ,Muhammad. Katanya BID’AH Ternyata SUNNAH Semarang: Syiar Media Publishing Kelompok Penerbit RaSAIL, 2012.

Nugroho, M. Yusuf Amin. Fiqh Al-Ikhtilaf NU-Muhammadiyah, Ebook,

Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Jakarta selatan: Penerbit TERAJU, 2003. Radam, Haloei. Noerid, Religi Orang Bukit, Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001. Salim, Syaikh Bin ‘Ied Al- Hilali, Syarah Riyadush Shalihin Jilid V. Jakarta: Pustaka

Imam Asy-Syafi’i, 2005.

Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Suyono, Capt.R.P . Dunia Mistik Orang Jawa Roh, Ritual dan Benda Magis, Yogyakarta: Lkis, 2007.

Soekanto,Soejono. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Gramedia, 1969.

Sukri, Sri Suhandjati. Ijtihad Progresif Yasadipura II, Yogyakarta: Gama Media, 2004.

T.O Ihromi (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1980.

Zahro, Ahmad. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il, Yogyakarta: LKis, 2004.


(5)

B.Al-Qur’an

Al-Qur’an,2 (Al-Baqarah ): 156, Al-Qur’an, 51 (Al-Dzarriyat): 56. Al-Qur’an,20 (Thaha): 55.

C.Sumber Informan

1. Nama : Abdul Majid (Tokoh Agama NU) Alamat : Dusun Pepe

2. Nama : Fajar (Tokoh Masyarakat NU) Alamat : Dusun Legi

3. Nama : Isyhar Ashari (Kepala Lurah Desa Pepelegi) Alamat : Dusun Legi

4. Nama : Wartono (Tokoh Masyarakat Muhamadiyah) Alamat : Dusun Legi

5. Nama : Sutris (Tokoh Agama LDII) Alamat : Dusun Legi.

6. Nama : Khotib (Tokoh Masyarakat LDII) Alamat : Dusun Legi

7. Nama : Efendi (Warga NU) Alamat : Dusun Legi

8. Nama : Jono (Warga Muhamadiyah) Alamat : Dusun Legi

9. Nama : Susilo (Tokoh Masyarakat NU) Alamat : Dusun Pepe

10. Nama : Sanusi (Tokoh Agama Muhamadiyah) Alamat : Dusun Legi

11. Nama : Zulaikha (Warga NU) Alamat : Dusun Pepe

12. Nama : Sri (Warga NU) Alamat : Dusun Pepe


(6)

13. Nama : Muzaiyanah (Warga NU) Alamat : Dusun Legi

14. Nama : Anas (Warga NU) Alamat : Dusun Legi

D.Internet

Kitab Hadist Bukhari Online NO. 1361. (diakses 27 Juni 2016) Kitab Hadist Nasa’i Online No. 3591. (diakses 27 Juni 2016) www.slametan.bolgspot.com (diakses 23 April 2016)

www.fafaisal.student.umm.ac.id (diakses 10 April 2016)

Indonesiadalam sejarah.blogspot.com.Teori Sejarah-Menurut-Arnold-Toynbee. (Diakses 14 April 2016)

Nashrooy.blogspot.com/2010/05/teori siklus Arnold Toynbee.html (diakses 26 April 2016)

http://raachmaa.blogspot.com//2014/04/pengertian-dan-jenis-jenis-data-metode.html (diakses 18 April 2016)

www.sidoarjokab.go.id. (diakses 17 Maret 2016)

www.pdmbontang.com/cetak.php?id=1576,http://pecintaquransunnah.blogspot.co .id/2009/12/meninggalkan-tahlilansiapa-takut.html (diakses 6 Mei 2016)