Pengembangan Program Pelatihan Berbasis Kompetensi yang Menggunakan Modul Pembelajaran IPA dengan Pendekatan Inkuiri (PBKMI) bagi Guru Sekolah Dasar.

(1)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… ... 1

B. Rumusan dan Pembatasan masalah ... 1. Rumusan Masalah ... 12

2. Pertanyaan Penelitian ... 12

3. Pembatasan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Sistematika Penelitian ... 17

BAB II PENINGKATAN KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU MELALUI PENGGUNAAN MODUL PEMBELAJARAN IPA DENGAN PENDEKATAN INKUIRI A. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar ... 19

B. Guru IPA di Sekolah Dasar ... 24

C. Penalaran Ilmiah, Penguasaan Konsep dan Keterampilan Proses IPA ... 29

1. Penalaran Ilmiah ... 29

a. Pengertian Penalaran ilmiah ... 29


(2)

xiii

2. Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA ... 33

3. Keterampilan Proses sains (KPS) ... 38

D. Pelatihan berbasis kompetensi ... 41

1. Pengertian Kompetensi ... 41

2. Pengertian pelatihan berbasis Kompetensi ... 44

3. Prinsip-prinsip Pelatihan berbasis kompetensi ... 48

4. Beberapa Keutamaan penggunaan PBK ... 50

5. Program Pelatihan berbasis kompetesi ... 51

E. Pendekatan Inkuiri dalam pembelajaran IPA ... 52

1. Pengertian Inkuiri ... 52

2. Pendekatan Pembelajaran inkuiri ... 54

3. Tingkatan Pembelajaran berbasis inkuiri ... 56

4. Manfaat Pembelajaran berbasis inkuiri ... 58

F. Pelatihan Pembelajaran IPA Berbasis Modul ... 60

1. Penggunaan modul dalam Pembelajaran ... 60

2. Modul Pembelajaran IPA berbasis Inkuiri ... 63

G. Penggunaan Modul Pembelajaran IPA dengan Pendekatan Inkuiri dalam Pelatihan Berbasis Kompetensi ... 65

H. Hasil-hasil Penelitian yang relevan ... 69

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Paradigma Penelitian ... 79

B. Metode Penelitian ... 82

C. Subjek Penelitian ... 84

D. Variabel Penelitian dan Definisi operasional ... 85

1. Variabel Penelitian ... 85

2. Definisi Operasional ... 85

E. Langkah-langkah penelitian ... 87

F. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 90

1. Tes Intelegensi (IQ) ... 91

2. Tes Kemampuan Berpikir Logis (TKBL) ... 91

3. Tes Penguasaan Konsep. (TPK) ... 92


(3)

xiv

b. Hasil Uji coba tes konsep magnet ... 94

c. Hasil Uji coba tes konsep listrik ... 95

4. Tes penguasaan Keterampilan Proses sains (KPS) ... 96

5. Lembar observasi Pembelajaran (LOP) ... 97

6. Pedoman Wawancara ... 98

G. Teknik analisis data ... 98

1. Tingkat Kecerdasan Peserta (IQ) ... 99

2. Kemampuan Penalaran ilmiah (berpikir logis) ... 99

3. Data tentang penguasaan keterampilan proses sains (KPS) ... 100

4. Penguasaan Konsep IPA ... 101

5. Hasil Observasi Pembelajaran dan Keterlibatan dalam pelatihan ... 102

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 103

1. Rancangan Program PBKMI ... 103

a. Rancangan Program Pelatihan ... 103

b. Karakteristik Program PBKMI ... 106

c. Validasi kualitatif Rancangan Program PBKMI ... 108

2. Implementasi Program PBKMI a. Uji coba Tahap I (Uji coba Terbatas) ... 108

b. Uji coba Tahap II (Uji Lapangan Utama) ... 109

3. Hasil uji coba Tahap II (Uji Lapangan) a. Kemampuan Melakukan Penalaran Ilmiah ... 109

1) Deskripsi data Kemampuan berpikir logis ... 109

2) Interpretasi Data Kemampuan Berpikir Logis ... 111

b. Penguasaan Konsep ... 113

1) Penguasaan Konsep Magnet ... 113

(a) Deskripsi ... 113

(b) Interpretasi ... 113

2) Penguasaan Konsep Listrik ... 114

(a) Deskripsi ... 114


(4)

xv

3) Penguasaan Konsep Air ... 115

(a) Deskripsi ... 115

(b) Interpretasi ... 115

c. Penguasaan Keterampilan Proses Sains (KPS) ... 116

1) Deskripsi data Penguasaan Keterampilan Proses Sains ... 116

2) Interpretasi Data ... 116

d. Tingkat Kecerdasan Peserta ... 118

e. Rangkuman Data Kemampuan Penalaran ilmiah, penguasaan konsep dan keterampilan proses sains ... 120

f. Data Hasil observasi Pelatihan ... 120

4. Hasil Analisis Statistik ... 122

a. Pengaruh pelatihan terhadap kemampuan penalaran ilmiah ... 124

b. Kemampuan berpikir logis dihubungkan dengan hasil pelatihan .. 124

1) Analisis data Hubungan antara Kemampuan berpikir logis dengan penguasaan Keterampilan Proses sains (KPS) ... 125

2) Analisis Hubungan antara Kemampuan berpikir logis dengan penguasaan Konsep IPA ... 126

c. Pengaruh Pelatihan terhadap Penguasaan konsep ... 126

d. Pengaruh Pelatihan terhadap penguasaan keterampilan proses sains 127 e. Hasil Pelatihan dihubungkan dengan tingkat kecerdasan (IQ) peserta 128 1) Tingkat kecerdasan dan kemampuan berpikir logis... 128

2) Tingkat Kecerdasan dan Penguasaan Keterampilan Proses ... 129

3) Tingkat Kecerdasan dan Penguasaan Konsep ... 130

B. Pembahasan ... 131

1. Pemilihan Program Pelatihan PBKMI ... 131

2. Karakteristik PBKMI ... 134

3. PBKMI dan Kemampuan melakukan Penalaran Ilmiah ... 136

a. Pengaruh PBKMI terhadap peningkatan kemampuan penalaran ilmiah ... 136

b. Kemampuan penalaran dihubungkan dengan hasil pelatihan .. 141

4. PBKMI dan penguasaan konsep ... 142


(5)

xvi

6. Tingkat Kecerdasasan (IQ) dan hasil program PBKMI ... 149

BAB V KESIMPULAN , KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 154

B. Keterbatasan ... 157

C. Rekomandasi ... 157

DAFTAR PUSTAKA ... 162


(6)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Era globalisasi yang saat ini tengah dialami oleh segenap umat manusia antara lain ditandai dengan cepatnya perubahan yang terjadi pada segala aspek kehidupan manusia, sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya teknologi informasi yang memang sangat cepat. Cepatnya perubahan pada berbagai aspek kehidupan selain menghasilkan berbagai peningkatan kualitas kehidupan bagi manusia juga dapat menyebabkan dampak negatif yang tidak diinginkan bagi yang tidak siap menghadapinya.

Sejalan dengan cepatnya perubahan yang terjadi, akan muncul pula berbagai permasalahan yang amat pelik yang harus dihadapi umat manusia, apabila tidak mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. Davut Piraz (2007) memberikan gambaran lebih gamblang bahwa agar manusia dapat beradaptasi dengan keadaan pada abad 21 ini, dibutuhkan sejumlah kemampuan. Kemampuan tersebut antara lain adalah memiliki tanggung jawab baik personal maupun sosial; mampu membuat perencanaan yang baik; mampu berpikir kritis; mampu bernalar dan mampu menghasilkan ide yang inspiratif/kreatif; mampu berkomunikasi dengan efektif; mampu hidup dengan budaya yang berragam; mampu mengambil keputusan yang efektif; melek teknologi dalam arti mengerti bagaimana dan kapan memanfaatkan teknologi.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, dengan wilayah yang sangat luas, dengan letak yang sangat strategis, tidak bisa menghindari berbagai hal yang terkait dengan globalisasi ini. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pengembangan sumber daya manusia yang intensif agar bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk


(7)

bersama bangsa lain mengambil manfaat dari globalisasi dan mengatasi dampak-dampak negatifnya.

Untuk dapat mengimbangi perubahan yang cepat dengan berbagai permasalahan yang menyertainya itu maka manusia Indonesia selayaknya memiliki kemampuan pemecahan masalah yang handal yang didasari oleh kemampuan berpikir kritis dan kreatif, memiliki keterampilan hidup (life skills) yang tinggi, dengan tidak mengabaikan integritas moral dan wawasan kebangsaan yang memadai agar bisa tetap eksis sebagai sebuah bangsa, setaraf dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dunia pendidikan di berbagai tingkatannya memiliki posisi strategis untuk menampilkan peranannya bagi kemajuan bangsa melalui berbagai kegiatan yang dilakukannya. Boediono (1995) mengungkapkan bahwa critical mass, yakni jumlah populasi terdidik pada tingkat pendidikan tertentu di suatu negara merupakan kunci kemajuan suatu bangsa dan merupakan cerminan dari tingkat kemajuan bangsa tersebut, atau dapat dikatakan bahwa jika rata-rata pendidikan rakyat di suatu negara rendah maka rendah pula tingkat kemajuan negara itu. Dengan kata lain kemajuan sebuah negara akan tergambarkan dari tingkat kemajuan pendidikannya.

Sebagai gambaran tentang posisi Indonesia dalam perkembangan kemajuannya dibandingkan dengan bangsa lain dapat ditelaah informasi berikut. Dari 128 negara di seluruh dunia, indeks Pembangunan pendidikan (education development index (EDI)) Indonesia menduduki peringkat ke-65 (tergolong sedang/skor EDI di atas 0,80), hal ini tercantum dalam laporan Education for all (EFA) yang dipublikasikan dalam General

Monitoring Report (GMR) 2010 yang dikeluarkan oleh UNESCO (Kompas, 22 Januari

2010). Penelitian Political & Economic Risk Consultancy (PERC) (2001) mengungkapkan bahwa mutu pendidikan Indonesia berada pada peringkat terakhir dari 12 negara Asia dalam hal mutu sistem pendidikannya (Supriyoko, 2002).


(8)

Rendahnya kualitas relatif pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara lain, antara lain disebabkan karena kelemahan-kelemahan yang ada pada hampir semua unsur dalam sistem pendidikan kita, dan semua jenjang pendidikan kita dari mulai sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Kelemahan-kelemahan itu antara lain terletak pada: kurikulum kita yang terlalu sarat muatan/beban (content based); kondisi rata-rata sarana dan pra sarana pendidikan kita yang masih memprihatinkan; dana pendidikan yang belum mencukupi kebutuhan disertai dengan penyimpangan penggunaan dana pendidikan yang masih tinggi juga kemampuan mengelola dana yang masih sangat memprihatinkan; pembelajaran di kelas masih lebih berfokus pada pengembangan ranah kognitif tingkat rendah; sistem evaluasi pendidikan yang tidak konsisten dan masih mengabaikan kaidah-kaidah pokok evaluasi pendidikan yang ideal. Dari kelemahan-kelemahan tersebut yang tampaknya amat menentukan adalah kualitas guru yang masih rendah.

Secara khusus berkaitan dengan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), sebenarnya pembelajaran IPA memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai wahana pengembangan berbagai kemampuan berpikir tingkat tinggi, kemampuan bekerja keras, berbagai keterampilan dasar, sikap jujur, berdisiplin dan sebagainya (Hinduan, 2003). Namun pada kenyataannya, seperti yang diungkapkan lebih jauh oleh Hinduan (2003) bahwa pembelajaran IPA saat ini belum berperan seperti di atas, Hinduan menggambarkan bahwa banyak tingkah laku anggota masyarakat kita yang menunjukkan seakan-akan mereka belum pernah belajar IPA. Dengan kata lain, pendidikan IPA di sekolah di Indonesia seakan akan tidak berdampak pada cara hidup dan cara berpikir sebahagian besar masyarakat Indonesia.

Laporan Programme for international student assessment (PISA) tahun 2006:


(9)

OECD (organization for economic cooperation and development) dan 27 negara lainnya, siswa Indonesia berada pada urutan ke 50 dari 57 negara. Pengetahuan dan pemahaman sains siswa Indonesia ternyata sangat terbatas sehingga sangat sedikit yang dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian (Kompas, 27 Desember 2007).

Selain hal di atas, prestasi pelajar kita dalam sains juga memprihatinkan bila dibandingkan dengan negara lain, misalnya dalam laporan TIMSS (Trends in

International Mathematic and Science Study) 2003, International Science report (2007),

diketahui bahwa prestasi sains pelajar Indonesia hanya menduduki peringkat 42 dari sekitar 50 negara yang menjadi peserta. Hal yang tidak kalah memprihatinkan juga adalah terjadinya penurunan prestasi sains siswa kita pada tahun 2003 yang ternyata lebih rendah daripada prestasinya pada tahun 1999.

Apabila kita telaah hal-hal di atas, kita melihat bahwa pembelajaran IPA di sekolah-sekolah kita belum memberikan hasil sebagaimana yang kita harapkan bersama. Proses pembelajaran IPA itu menghasilkan penguasaan konsep masih rendah, sikap positif terhadap sains belum terbentuk, bahkan minat terhadap sains dan profesi yang relevan juga masih rendah, bahkan lebih jauh cara hidup dan cara berpikir mereka seolah-olah belum pernah mendapat pembelajaran sains.

Sebenarnya secara formal kita memiliki standar pembelajaran yang seharusnya terselenggarakan dalam pendidikan kita. Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (pasal 19) menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.


(10)

Hinduan (2003) menyatakan bahwa agar pembelajaran IPA dapat ditingkatkan kualitasnya, maka perlu dipikirkan beberapa hal. Pertama, isi pelajaran harus ramping dan dipilih konsep-konsep yang essensial dan bermanfaat bagi siswa baik untuk melanjutkan studi maupun untuk hidup di masyarakatnya. Kedua, proses belajar mengajar harus diubah dari “memberi tahu” menjadi “membantu” peserta didik untuk belajar. Ketiga, cara pengujian harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran.

Keempat, sarana prasarana pendukung memadai dan konsisten dengan pencapaian

tujuan.

Dari banyak hal yang menyebabkan belum terwujudkannya proses pembelajaran IPA yang ideal seperti yang dikemukakan di atas. Tampaknya masalah yang terberat adalah pada masalah yang justru amat menentukan kualitas pembelajaran IPA, yaitu masalah guru pada berbagai aspeknya, khususnya berkaitan dengan kompetensinya sebagai tenaga pendidik.

Supriyoko (2002) menggambarkan bahwa ruang belajar bisa amat sederhana, peralatan praktik mungkin kurang lengkap, laboratorium dan perpustakaan mengenaskan, tetapi bila gurunya kreatif maka harapan masih ada. Sebaliknya, meski ruang belajar amat bagus, peralatan praktik sangat lengkap, laboratorium dan perpustakaan cukup memadai, tetapi bila tidak ada guru yang kreatif, maka jangan harap pendidikan bisa mencapai hasil optimal.

Pada dasa warsa 1970-an, untuk memenuhi kebutuhan guru pada sekolah dasar– sekolah dasar INPRES yang dibangunnya, pemerintah melakukan pengangkatan guru dengan jumlah cukup besar melalui program INPRES pula, walaupun tetap belum mampu memenuhi kebutuhan guru untuk jumlah sekolah yang demikian besar. Permasalahan pengadaan guru ini menjadi permasalahan yang rumit manakala tenaga yang tersedia dengan kualifikasi yang memadai amat terbatas, anggaran keuangan untuk


(11)

mengangkat guru juga sangat terbatas. Apa yang kemudian terjadi adalah bahwa sekolah-sekolah kita mengangkat guru yang bersedia mengajar dengan honorarium yang amat terbatas, adapun berkaitan dengan kualifikasi dan kompetensi guru yang direkrut menjadi suatu hal yang kemudian agak terabaikan.

Uraian di atas jelas menggambarkan keadaan guru SD yang masih jauh dari bermutu. Kualifikasi tidak memadai dan penguasaan kompetensi yang terbatas merupakan paduan kelemahan yang menghasilkan kualitas pendidikan yang rendah. Tidak sedikit guru yang sudah mengajar belasan tahun tetapi tidak pernah mendapatkan pengetahuan yang memadai mengenai perkembangan baru pada bidang yang digelutinya bahkan mungkin saja mereka sama sekali belum tersentuh program penyegaran ulang pengetahuan atau keterampilannya mengelola pembelajaran. Tidak mustahil jika banyak guru SD yang materi dan metode mengajarnya tidak pernah mengalami perkembangan secara signifikan sejak pertama kali dia mengajar.

Padahal sampai saat ini bahkan mungkin sampai untuk waktu yang masih panjang, guru khususnya guru pada sekolah dasar memiliki posisi yang sangat strategis dalam menentukan kualitas pembelajaran di kelas. Dengan kata lain keberhasilan pendidikan di SD sangat tergantung pada faktor guru. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gerhard (1971) bahwa pembaharuan apapun di bidang pendidikan, tanpa partisipasi guru tidak mungkin akan berhasil. Indonesia masih memiliki banyak masalah pada kualitas guru ini.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ki Supriyoko (2002) yang mengemukakan hasil analisisnya, yakni bahwa banyak faktor yang secara langsung menentukan kesuksesan belajar dan keberhasilan pendidikan. Faktor-faktor ini dapat diklasifikasi ke dalam tiga kelompok, yakni (1) perangkat keras (hardware) yang meliputi ruang belajar, peralatan praktik, laboratorium, dan perpustakaan; (2) perangkat


(12)

lunak (software) yang meliputi kurikulum, program pengajaran, manajemen sekolah dan sistem pembelajaran; serta (3) perangkat pikir (brainware) yang menyangkut guru, kepala sekolah, anak didik, dan orang-orang yang terkait di dalam proses pendidikan itu sendiri.

Apabila kita berbicara tentang kualitas guru maka paling tidak kita akan bicara tentang kualifikasi dan kompetensi guru. Dalam hal kualifikasi guru, dari 1.48 juta guru SD, hanya 24% sarjana (S1) atau diploma 4 D4, sementara 25% masih lulusan SMA/SPG/MA dan 48% masih berpendidikan D1 atau D2 (Kompas, 2010). Keadaan guru yang tergambarkan di atas, masih jauh dari harapan bangsa tentang keadaan guru yang diinginkan, seperti yang tertuang dalam UU Guru dan Dosen (UU No.14/2005) pasal 9 yang mewajibkan guru memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma 4 (D-4) dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) terakreditasi dan memiliki sertifikat profesi pendidik. Selain kualifikasinya yang rendah, temuan Depdiknas yang disampaikan dalam Rakernas 1997 menggambarkan kualitas kompetensinya juga rendah. Rendahnya kompetensi guru itu meliputi penguasaan materi pelajaran IPA, metode mengajar, dan pengetahuan tentang aspek-aspek kurikulum yakni terkait dengan merancang pembelajaran, kemampuan melakukan assesmen dan keterampilan mengajarnya (Hinduan, et al., 2002). Padahal sampai saat ini bahkan mungkin sampai untuk waktu yang masih panjang, guru khususnya guru SD memiliki posisi yang sangat strategis dalam menentukan kualitas pembelajaran di kelas. Dengan kata lain keberhasilan pendidikan di SD sangat tergantung pada faktor guru. Hubert Gijzen Direktur Unesco Jakarta (Kompas, 21-9-2010) menyatakan bahwa untuk mencapai pendidikan dasar yang berkualitas di suatu negara, guru memiliki peran penting. Kita butuh guru yang terlatih baik dan memiliki motivasi tinggi.


(13)

Disadari atau tidak, ketidakmampuan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat menyebabkan masa depan anak-anak bangsa ini suram dan pada gilirannya kelak juga dapat menyebabkan masa depan bangsa ini suram. Ini merupakan permasalahan yang sangat serius yang seharusnya dipecahkan bersama tanpa saling menyalahkan. Jika pembelajaran dikelola dengan cara yang salah bukan tidak mungkin justru menimbulkan efek negatif pada peserta didik yang tidak kita inginkan, misalnya perkembangan intelektual siswa terhambat, penguasaan berbagai pengetahuan dan berbagai keterampilan atau kecakapan hidup rendah. Bahkan Rustaman (2002) mengungkapkan bahwa persepsi negatif tentang belajar sains karena salah penyajian sangat boleh jadi menjadi penyebab tidak mampunya generasi muda kita belajar sains karena terbentuk mental block yang menjadi penghalang dalam mempelajari konsep sains yang lebih advanced.

Supriyoko (2007) menyarankan agar upaya perbaikan pendidikan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, lebih difokuskan untuk membermutukan guru SD, SLTP, SMA, dan SMK. Lebih jauh Supriyoko menyatakan bahwa bila guru sudah bermutu, urusan yang lain akan terbereskan. Supriyoko (2002) mensinyalir bahwa rendahnya kualitas guru antara lain juga disebabkan karena kurang keterlibatan guru pada kegiatan-kegiatan studi lanjut, penataran, seminar, lokakarya, latihan, dan simposium di bidang pendidikan atau dapat dikatakan bahwa mereka jarang dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung bisa meningkatkan profesionalisme mereka.

Kebutuhan akan guru yang profesional itu menjadi lebih kuat karena saat ini di Indonesia, tengah dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini memberikan keleluasaan kepada setiap satuan pendidikan untuk merancang sendiri kurikulum atas dasar kesesuaian dengan situasi dan kondisi setempat,


(14)

karena itu guru dituntut berkemampuan tinggi karena guru harus berperan sebagai perancang kurikulum selain juga orang yang harus mengimplementasikannya dalam pembelajaran di kelas. Guru memiliki posisi yang demikian strategis dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas, padahal mereka sendiri masih memiliki banyak masalah.

Dalam kaitan dengan pembelajaran IPA yang berkualitas, apabila IPA didefinisikan seperti pendapat Trowbridge & Bybee (1994) yang menyatakan bahwa:

“The nature of science is represented as a dynamic relationship among three factors the extent body of scientific knowledge, the values of science, and the methods and process of science”.

Sedangkan De Boer ; Zachos, et al. (Aulls & Shore, 2008) menyatakan bahwa:

”the broad goals of science education demand a balance in the teaching of process skills of inquiry and the acquisition of science –domain specific concepts: (a) the development of intellectual skills, (b) understanding and appreciation of the methods and value of science, and (c) mastery of facts, concepts, and principles”,

maka pembelajaran IPA yang berkualitas harus mencerminkan hakikat IPA dan hakikat pendidikan IPA (Rustaman, 2002).

Jika kita menghendaki pembelajaran IPA yang mencerminkan hakikat IPA dan hakikat pendidikan IPA, yakni pembelajaran IPA yang tidak sekedar menanamkan konsep IPA tapi juga menanamkan keterampilan proses sains (KPS) dan penalaran yang mendasarinya, bahkan penanaman nilai-nilai IPA, maka diperlukan guru yang dipersiapkan untuk itu. Sebagaimana pendapat Mc Dermott (1999) bahwa para guru cenderung mengajar dengan cara yang sama dengan cara ketika mereka belajar. Sebagai gambaran misalnya seorang guru akan dapat menanamkan keterampilan proses sains (KPS) jika dia sendiri pernah mengalami pembelajaran yang menekankan pada keterampilan proses sains. “Only when we as a teacher experience process we will


(15)

akan mengajar dengan metode ceramah, sekalipun mungkin metode itu sebenarnya tidak memadai atau tidak cocok dengan materi ajar atau tujuan pembelajarannya.

Besarnya jumlah guru yang tidak memiliki kualifikasi yang berkelayakan yang saat ini mengelola pembelajaran di SD (guru dalam jabatan) masih memerlukan waktu yang panjang untuk mengatasinya, sedangkan peningkatan penguasaan kompetensi guru, khususnya yang berkaitan dengan kompetensi profesional tampaknya tidak bisa menunggu waktu yang panjang, artinya harus dilakukan segera agar sedikit demi sedikit permasalahan pendidikan kita dapat dipecahkan. Peningkatan penguasaan kompetensi guru dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai kegiatan, misalnya lokakarya, pelatihan-pelatihan atau bentuk kegiatan lainnya, mengingat bahwa dari berbagai sisi peningkatan kompetensi guru dalam jabatan tampaknya lebih memungkinkan untuk ditangani segera daripada peningkatan kualifikasi guru menjadi sarjana (S1) atau mengangkat guru baru yang relatif mahal dan sulit. Untuk itu penelitian ini mencoba memunculkan upaya yang dilakukan untuk mencoba memperbaiki kompetensi guru, khususnya dalam mengelola pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) di SD melalui pelatihan. Agar memberikan hasil yang baik maka dipilih metode yang memberikan peluang lebih besar pada perolehan kompetensi-kompetensi yang diharapkan, yakni dipilih metode Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK) yang untuk meningkatkan hasilnya, pelatihan ini didukung oleh penggunaan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri yang dilakukan melalui pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung melalui berbagai eksperimen dan latihan pemecahan soal-soal. Jika persoalan kualifikasi pendidikan para guru masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk diatasi, maka persoalan kompetensi tampaknya dapat lebih cepat diatasi dengan berbagai pelatihan atau kursus-kursus jangka pendek (short course) yang bila dipandang perlu pelatihan dilakukan bekerja sama dengan LPTK, agar dapat diprogramkan sebagai


(16)

proses tabungan SKS (credit earning) bagi guru untuk mengurangi beban SKS yang harus ditempuhnya jika melanjutkan pendidikannya bagi yang belum berkualifikasi S1. Apalagi saat ini tengah dijalankan program pendidikan sarjana pendidikan (S1) bagi guru dalam jabatan yang memberikan peluang untuk hal tersebut melalui program PPKHB (permendiknas No.58/2008). Dengan cara seperti itu maka kompetensi guru dapat ditingkatkan, sementara kualifikasi guru pun makin dekat pada pencapaian standar yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Diharapkan melalui pelatihan itu dapat dilatihkan sebahagian kompetensi sebagai tahapan pencapaian standar kompetensi profesional guru IPA di SD seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 16/2007 tentang standar kualifikasi dan kompetensi guru. Kompetensi profesional yang harus dimiliki guru IPA di SD itu, meliputi kemampuan-kemampuan untuk: melakukan observasi gejala alam baik secara langsung maupun tidak langsung; memanfaatkan konsep-konsep dan hukum-hukum ilmu pengetahuan alam dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari; dan memahami struktur ilmu pengetahuan alam, termasuk hubungan fungsional antar konsep, yang berhubungan dengan mata pelajaran IPA.

Kesuksesan pendidikan dasar bukan sekedar menghadirkan anak-anak usia wajib belajar secara fisik di sekolah. Tantangan terberat justru memastikan anak-anak usia wajib belajar ini mendapat layanan pendidikan bermutu yang membuat mereka mampu mencapai tujuan belajar, menyelesaikan sekolah dan memiliki kemampuan menghadapi masa depan (Kompas, 21-9-2010).


(17)

B. Rumusan dan Pembatasan masalah

1. Rumusan Masalah

Sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam latar belakang masalah, maka secara umum masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

Bagaimanakah Program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul Pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) dapat meningkatkan kompetensi guru IPA sekolah dasar ?

2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan penelitian ini adalah: a. Bagaimana karakteristik program pelatihan PBKMI?

b. Bagaimanakah implementasi program pelatihan PBKMI dalam upaya meningkatkan kompetensi profesional guru SD?

c. Apakah program pelatihan PBKMI dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis (penalaran ilmiah), penguasaan konsep, dan keterampilan proses IPA guru sekolah dasar ?

Untuk lebih menyederhanakan permasalahan di atas, dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1 a) Apakah program pelatihan PBKMI dapat meningkatkan kemampuan peserta dalam hal berpikir logis (penalaran ilmiah)?

b) Apakah kemampuan penalaran ilmiah (berpikir logis) peserta turut berpengaruh terhadap hasil program pelatihan PBKMI?

2) Apakah program pelatihan PBKMI dapat meningkatkan penguasaan konsep IPA para peserta?


(18)

3) Apakah program pelatihan PBKMI dapat meningkatkan penguasaan keterampilan proses sains (KPS) para peserta ?

4) Adakah pengaruh tingkat kecerdasan (IQ) peserta terhadap terhadap hasil program pelatihan PBKMI?

3. Pembatasan Masalah

Dengan memperhatikan berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, juga mengingat luasnya permasalahan yang melingkupi topik penelitian ini, maka beberapa hal tampaknya patut dikemukakan sebagai pembatasan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni:

a. Untuk tes penguasaan konsep, terbatas pada konsep-konsep IPA sekolah dasar, yang meliputi pokok bahasan magnet, listrik dan air. Mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki, yakni masalah waktu, kesulitan teknis penyusunan modul dan juga dana, maka peneliti menyusun tiga buah modul, yakni modul pembelajaran IPA dengan materi tentang magnet, listrik dan air. Pemilihan materi modul ini antara lain didasari oleh kebutuhan pemanfaatan pengetahuan tentang magnet, listrik dan air dalam kehidupan sehari-hari yang sangat besar, ketersediaan pustaka pendukung, kemungkinan ketersediaan alat dan bahan praktikumnya, masalah waktu serta peluang untuk menanamkan kemampuan penalaran ilmiah, penguasaan konsep IPA dan keterampilan proses sains (KPS).

b. Kemampuan melakukan penalaran ilmiah (berpikir logis) yang diteliti pada peserta pelatihan adalah kemampuan melakukan penalaran formal berdasarkan klasifikasi Piaget, yang meliputi: penalaran proporsional, kemampuan untuk mengendalikan variabel, penalaran korelasional, penalaran probabilitas dan penalaran kombinatorial. c. Keterampilan proses sains (KPS) yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi


(19)

(interpretasi), mengkomunikasikan hasil temuan untuk menguji gagasan-gagasan dan memecahkan masalah (berkomunikasi), merencanakan penyelidikan, merumuskan hipotesis, menerapkan konsep dan mengajukan pertanyaan.

d. Program Pelatihan yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul Pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) bagi guru sekolah dasar dalam jabatan (in-service

training).

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan program pelatihan yang dapat meningkatkan profesionalitas guru, dalam hal ini dapat meningkatkan kemampuan melakukan penalaran ilmiah (kemampuan berpikir logis), penguasaan konsep-konsep IPA, dan keterampilan proses sains (KPS).

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang: 1. Karakteristik program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul

pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) bagi guru sekolah dasar (SD).

2. Implementasi program pelatihan berbasis kompetensi bagi guru sekolah dasar (SD) yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI). 3. Pengaruh program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul

pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) terhadap peningkatan kemampuan peserta dalam melakukan penalaran ilmiah.

4. Pengaruh kemampuan berpikir logis terhadap hasil pelatihan pembelajaran IPA berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI).


(20)

5. Pengaruh program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) terhadap peningkatan penguasaan konsep IPA.

6. Pengaruh program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) terhadap peningkatan keterampilan proses sains (KPS) guru SD di kota dan kabupaten Bandung

7. Pengaruh tingkat kecerdasan (IQ) peserta terhadap hasil dari program pelatihan pembelajaran IPA berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI).

D. Manfaat Penelitian

Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas pembelajaran IPA di sekolah dasar melalui peningkatan kualitas guru, yakni melalui peningkatan kompetensi guru IPA yang pada gilirannya kelak akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, dan lebih jauh lagi memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa ini. Adapun secara khusus manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu Pendidikan dalam hal pelatihan guru mata pelajaran IPA, yakni program pelatihan pembelajaran berbasis kompetensi bagi guru IPA di sekolah dasar.

b. Dari penelitian ini juga diharapkan muncul program pelatihan guru yang dapat menyiapkan guru yang memiliki kemampuan yang memadai dalam hal-hal yang secara terpadu merupakan kunci pemahaman terhadap fenomena alam melalui


(21)

kegiatan nyata (hands-on & minds-on activity / eksperimental) dan keperluan pengembanganan profesionalnya sebagai pendidik.

c. Temuan hasil penelitian inipun diharapkan dapat menjadi pendorong pengembangan penelitian serupa dengan lingkup yang lebih luas dan mungkin satuan waktu yang lebih panjang sehingga lebih kuat dan dapat lebih diandalkan untuk menemukan program pelatihan yang lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan kemampuan profesional guru

2. Manfaat Praktis

a. Program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) ini, diharapkan menjadi salah satu program alternatif yang dapat dipilih lembaga pelatihan atau LPTK untuk peningkatan kemampuan guru sekolah dasar dalam hal penguasaan konsep IPA, penguasaan penalaran ilmiah dan peningkatan penguasaan keterampilan proses sains (KPS).

b. Melalui program pelatihan ini juga diharapkan dapat dibangun komitmen guru untuk melakukan pengelolaan pembelajaran yang bukan hanya memberikan penekanan penanaman konsep semata melainkan juga pada pengembangan kemampuan melakukan penalaran ilmiah dan pengembangan keterampilan proses sains agar proses pembelajaran IPA benar-benar bermakna bagi para siswa.

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi para praktisi pelatihan atau lembaga pelatihan agar metode atau pendekatan pelatihan yang dipilih memberikan penekanan keterpaduan atau keserentakan antara pengembangan penguasaan materi pembelajaran beserta penalaran yang melatarbelakanginya dan penguasaan keterampilan proses sains (KPS).


(22)

E. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan disertasi ini disajikan dalam lima bab yang mengupas penelitian dalam rangka penulisan disertasi dari awal sampai akhir. Bab I membahas tentang pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, masalah penelitian yang memuat rumusan masalah, pertanyaan penelitian dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian.

Bab II mengungkap tentang tinjauan pustaka yang berisi pembahasan teoritis tentang pembelajaran IPA di sekolah dasar (SD), guru IPA di SD, uraian tentang penalaran ilmiah dan kemampuan operasional Piaget, penguasaan konsep IPA dan keterampilan proses sains (KPS), ungkapan tentang pelatihan berbasis kompetensi, paparan tentang inkuiri dalam pembelajaran IPA, kupasan tentang pelatihan pembelajaran IPA menggunakan modul dan penggunaan modul dalam pelatihan berbasis kompetensi serta ungkapan tentang hasil-hasil penelitian yang relevan.

Bab III mengungkap tentang metodologi penelitian, yang berisi tentang paradigma penelitian, metode penelitian, subjek penelitian, variabel penelitian dan definisi operasionalnya, langkah-langkah penelitian, instrumen penelitian dan teknik analisis data.

Bab IV berisi uraian tentang hasil penelitian dan pembahasannya yang berisi data atau temuan hasil penelitian yang berupa rancangan program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) bagi guru sekolah dasar, validasi ahli dan implementasi rancangan PBKMI melalui pengujian secara terbatas dan pengujian lebih luas (uji lapangan) serta analisis statistik data hasil penelitian yang dilengkapi dengan pembahasan hasil penelitian berdasarkan teori-teori yang yang relevan.


(23)

Bab V mengungkapkan tentang kesimpulan, keterbatasan dan rekomendasi penelitian yang dirumuskan atas dasar hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya.


(24)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Paradigma Penelitian

Berbagai studi yang dilakukan, baik yang dilakukan di Indonesia sendiri ataupun yang melibatkan banyak negara di dunia mengindikasikan bahwa ternyata kualitas pendidikan kita masih tergolong rendah. Belum dapat diwujudkannya pembelajaran yang berkualitas menjadi salah satu penyebab mengapa pendidikan kita masih belum mampu mewujudkan tujuan pendidikan yang kita rumuskan bersama atau bisa meningkat setaraf dengan bangsa-bangsa lain yang telah lebih dahulu maju. Dari banyak faktor yang dapat menjadi penyebab belum berkualitasnya pembelajaran di kelas-kelas, salah satu penyebabnya adalah kualitas guru yang masih rendah. Untuk guru sekolah dasar (SD) selain masih banyak yang belum memenuhi standar kualifikasi yang dipersyaratkan, mereka juga masih lemah dalam penguasaan kompetensi-kompetensi guru sesuai dengan tuntutan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kualitas guru, baik menyangkut kualifikasi maupun kompetensi guru, terutama bagi guru dalam jabatan, antara lain dapat ditingkatkan melalui latihan dalam jabatan

(in-service) yang dilakukan secara terprogram dan berkelanjutan. Penelitian ini

mencoba untuk memunculkan salah satu program pelatihan alternatif untuk meningkatkan kualitas guru itu, yakni melalui Pelatihan guru berbasis kompetensi, yang dilengkapi dengan penggunaan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PKBMI). Karakteristik program pelatihan ini merupakan cerminan dari diartikulasikannya pelatihan berbasis kompetensi, pembelajaran berbasis modul dan pembelajaran dengan pendekatan inkuiri. Program pelatihan ini memberikan penekanan terhadap penanaman konsep IPA yang diintegrasikan dengan penanaman kemampuan melakukan penalaran ilmiah (berpikir logis) disertai dengan penanaman keterampilan


(25)

proses sains melalui pengalaman langsung (hands-on and minds-on activity), yakni melalui eksperimen-eksperiman dan latihan-latihan sepanjang pelatihan berlangsung.

Peningkatan kualitas guru sekolah dasar diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPA di sekolah dasar yang pada gilirannya kelak akan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dalam upaya mencapai pendidikan nasional kita, juga diharapkan bangsa Indonesia memiliki sistem pendidikan yang maju setaraf dengan sistem pendidikan di negara-negara lain yang telah lebih dahulu maju.

Kamil (2010) menyatakan bahwa aktivitas pelatihan tidak berlangsung dalam ruang hampa, melainkan senantiasa terkait dengan keinginan-keinginan atau rencana-rencana individu, organisasi, atau masyarakat. Dalam kaitan ini, para ahli melihat pelatihan sebagai suatu sistem yang paling tidak mencakup tiga tahapan pokok, yaitu penilaian kebutuhan pelatihan, pelaksanaan pelatihan, dan evaluasi pelatihan.

Sebagai sebuah sistem, secara komprehensif pelatihan ini mengacu pada pendapat Sudjana (Kamil, 2010; Kartika, 2009) dianalisis dari komponen-komponen pelatihan sebagai berikut. Pertama, masukan sarana (instrumental input), mencakup keseluruhan sumber dan fasilitas yang menunjang kegiatan pelatihan ini. Dalam hal ini antara lain mencakup perumusan tujuan pelatihan, kurikulum pelatihan, sumber belajar, fasilitas pelatihan, anggaran pelatihan, dan pengelola pelatihan. Kedua, masukan mentah (raw input), yaitu peserta pelatihan, peserta pelatihan ini adalah 30 orang guru sekolah dasar dari Kota dan Kabupaten Bandung yang masih memerlukan peningkatan kualitas kompetensinya agar memenuhi tuntutan peraturan mendiknas nomor 16/2007 tentang standar kualifikasi dan kompetensi guru, khususnya terkait dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yang mengajar IPA di sekolah dasar. Ketiga, masukan sarana (instrumental input), yakni yang terkait dengan kurikulum pelatihan, metode,


(26)

media, sarana pra sarana, penyelenggara, dan sumber belajar/fasilitator. Keempat, Proses (process) dalam hal ini menyangkut intervensi profesional dalam upaya untuk meningkatkan kompetensi guru agar memenuhi tuntutan profesional guru yang secara formal diukur melalui pencapaian standar (permendiknas 16/2007) yakni melalui program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI). Kelima, keluaran (output), pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peserta dalam melakukan penalaran ilmiah, penguasaan konsep IPA sekolah dasar dengan pengayaannya, dan menguasai keterampilan proses sains (KPS). Keenam, masukan lain (other input), yakni menyangkut dukungan kelembagaan, dukungan pimpinan atau atasan dalam mengimplementasikan hasil-hasil pelatihan. Sehingga pembelajaran IPA yang berkualitas dapat diwujudkan. Ketujuh, Pengaruh (impact), pelatihan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kualitas pembelajaran IPA di sekolah dasar yang pada gilirannya nanti akan memberikan urunan terhadap peningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.


(27)

Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Penelitian dalam pengembangan Program PBKMI *) *) Diadaptasi dari Sudjana (Kartika, 2009)

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan program pelatihan guru yang dapat digunakan untuk meningkatkan penguasaan konsep beserta penalaran yang mendasarinya, menanamkan keterampilan proses sains (KPS) yang secara bersamaan juga memberikan pengetahuan dan keterampilan mengajar dengan pendekatan inkuiri

MASUKAN INSTRUMENTAL: Metode, kurikulum, media,

sarana dan pra sarana, penyelenggara dan nara

sumber/fasilitator

MASUKAN MENTAH:

Guru yang mengajarkan IPA

di SD, yang membutuhkan pelatihan untuk mencapai kompetensi sesuai ketentuan yang berlaku. MASUKAN LAIN: Dukungan pimpinan, dukungan rekan kerja dan

fasilitas kerja PROSES PEMBELAJARAN: Program Pelatihan Berbasis Kompetensi yang menggunakan modul Pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI) KELUARAN: Peningkatan kemampuan guru SD dalam hal: • Penalaran ilmiah • Penguasaan konsep • Keterampilan proses

sains (KPS)

MASUKAN LINGKUNGAN: Lingkungan keluarga, lingkungan kerja, masyarakat dan alam

DAMPAK: Peningkatan kinerja. Peningkatan kualitas pembelajaran IPA di sekolah dasar (SD). Peningkatan prestasi IPA siswa SD . Peningkatan kesejahteraan guru. MASUKAN LINGKUNGAN: UU sisdiknas, UUGD, PP 19/2005, Permendiknas 16/2007, kebutuhan pendidikan berkualitas.


(28)

melalui pengalaman langsung bagi guru-guru yang saat ini sedang menjalankan profesinya sebagai guru di sekolah dasar. Karena itu maka dalam penelitian ini dipilih metode penelitian research and development (R&D) yang biasa digunakan untuk mengembangkan dan menguji efektivitas produk pendidikan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan produk pendidikan itu adalah pengembangan program pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI).

Secara ringkas Borg & Gall (1989) mengemukakan langkah-langkah pelaksanaan penelitian R&D ke dalam suatu siklus yang dimulai dengan perencanaan dan pengembangan produk pendidikan yang baru, lalu dilakukan uji lapangan dan setelah itu dilakukan revisi atau perbaikan–perbaikan yang didasari oleh hasil penelitian lapangan tersebut.

Berdasarkan hal di atas, maka pada penelitian ini, secara garis besar dilakukan tahapan-tahapan pokok penelitian sebagai berikut, Tahap pertama, studi pendahuluan yang meliputi penggalian informasi awal dan observasi awal tentang hal-hal yang berkaitan dengan topik penelitian, merencanakan dan mengembangkan program awal pelatihan (prototype), dalam hal ini program yang dikembangkan adalah program pelatihan berbasis kompetensi dengan menggunakan modul pembelajaran IPA yang menggunakan pendekatan inkuiri (PBKMI), dan melakukan uji coba/validasi terbatas dan melakukan revisi program awal tersebut, Tahap kedua, melakukan tahapan uji coba lapangan dengan melakukan studi eksperimental terhadap rancangan program yang dikembangkan pada tahap pertama, Tahap ketiga, adalah melakukan revisi atau perbaikan-perbaikan yang diperlukan untuk mendapatkan produk akhir berupa program teruji dan diikuti dengan deseminasi produk akhir .


(29)

Uji coba lapangan pada tahapan kedua dilakukan dengan penelitian eksperimental dengan desain pra eksperimental atau dikenal juga sebagai program eksperimen satu kelompok dengan tes awal dan tes akhir atau dikenal sebagai one group

pretest posttest design.

Tabel 3.1. Desain Eksperimen

Subjek Tes awal Perlakuan Tes akhir

K O1 X O2

K : adalah kelompok sampel (subjek penelitian) O1 : adalah tes awal

X : adalah perlakuan yakni pelatihan berbasis kompetensi O2 : adalah tes akhir

Tes awal dilakukan untuk mengetahui kemampuan peserta sebelum pelatihan dilakukan, yakni meliputi tes intelegensi (IQ), tes penguasaan konsep, tes kemampuan melakukan penalaran ilmiah (tes kemampuan berpikir logis), dan tes penguasaan keterampilan proses sains (KPS). Sedangkan tes akhir, yakni tes yang dilakukan setelah perlakuan (treatment) meliputi tes penguasaan konsep, tes penalaran ilmiah (tes kemampuan berpikir logis) dan tes penguasaan keterampilan proses sains (KPS).

C. Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 30 orang guru sekolah dasar di kota dan Kabupaten Bandung yang dipilih secara purposif. Hasil telaahan terhadap biodata peserta dan hasil wawancara dengan peserta terungkap bahwa usia mereka berkisar antara 26 sampai dengan 57 tahun, 14 Orang berpendidikan sarjana, D2 PGSD 13 orang, 1 orang dari D3 non kependidikan.

Saat ini beberapa orang diantaranya sedang menempuh pendidikan S1 pada berbagai perguruan tinggi dengan berbagai pilihan program studi, tidak ada satu pun


(30)

yang berlatar belakang pendidikan IPA atau bidang studi dari rumpun IPA, 20 orang diantaranya adalah PNS, sementara sisanya adalah guru honorer.

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Variabel bebas dari penelitian ini adalah Pelatihan Pembelajaran IPA berbasis kompetensi yang menggunakan modul Pembelajaran IPA dengan pendekatan inkuiri (PBKMI). Variabel terikatnya adalah: Kemampuan melakukan penalaran ilmiah (berpikir logis), penguasaan konsep IPA dan penguasaan keterampilan proses sains (KPS).

Adapun data tentang tingkat kecerdasan (IQ) peserta dijadikan sebagai variabel moderator dengan pertimbangan bahwa berbagai hasil pembelajaran apapun bentuknya secara teoritik dipengaruhi oleh faktor internal (potensi diri) pelajar dalam hal ini data IQ akan digunakan untuk mengetahui pada tingkat kecerdasan yang mana program pelatihan ini dapat memperoleh hasil yang optimal atau bahkan maksimal. 2. Definisi Operasional

a. Pelatihan berbasis kompetensi (PBK) menurut Confederation of Australian Industry (CAI) (Brown, 1994) adalah pendekatan pelatihan yang memberikan penekanan utama pada pencapaian kemampuan yang secara nyata dapat dilakukan di kelas tempatnya bekerja sebagai hasil dari pelatihan (outcomes), dengan tidak terlalu mempedulikan bagaimana pelatihan dilakukan (input). PBK lebih memperhatikan standar kompetensi guru sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya: UU Guru dan Dosen 14/2005 atau Permendiknas 16/2007) daripada prestasi relatif seseorang dibandingkan anggota kelompoknya.

b. Pendekatan pembelajaran inkuiri adalah pendekatan pembelajaran yang memberikan penekanan pada penciptaan situasi yang di dalamnya para siswa dapat berperan


(31)

seperti ilmuwan, mereka berinisiatif untuk mengamati dan mempertanyakan berbagai gejala (fenomena), mencari penjelasan terhadap gejala yang teramati, merumuskan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh, merancang dan membangun program ilmiah, atau kombinasi dari hal-hal di atas.

c. Modul Pembelajaran berbasis inkuiri didefinisikan sebagai modul pembelajaran yang disusun khusus untuk mendukung pembelajaran berbasis inkuiri. Modul ini berisi teks penjelasan konsep, tapi selain itu modul ini juga disusun dengan pendekatan inkuiri yang memberikan nuansa investigasi, ditambah dengan langkah-langkah pembelajaran yang berbasis pengalaman langsung atau berupa aktivitas laboratorium (hands-on activity) untuk menanamkan keterampilan proses IPA dan melatihkan kemampuan melakukan penalaran ilmiah yang dibuat secara terintegrasi. Pembuatan Modul ini diilhami oleh pokok-pokok pikiran dari Physics Education Group,

Departement of Physics, University of Washington yang dimotori oleh Lilian C.

McDermott. Dalam proses pengembangannya juga mengambil manfaat dari kerja keras dan ide Hadiat et al. dalam buku Alam Sekitar kita, buku pelajaran IPA untuk SD, yang diterbitkan oleh Depdiknas. Modul ini divalidasi oleh 3 orang ahli dan 3 orang praktisi untuk melihat keterbacaan modul, kedalaman materi, termasuk validasi tes yang digunakan, baik tes awal maupun tes akhir. Modul dinilai antara lain berkaitan dengan unsur-unsur modul, keterbacaannya, kedalaman dan kesesuaian materi modul dengan kebutuhan pembelajaran di SD, dan validitas reliabilitas soal-soalnya.

d. Kemampuan Melakukan Penalaran ilmiah adalah kemampuan untuk melakukan proses berpikir dengan alur kerangka berpikir tertentu yang secara operasional kemudian lebih populer dikenal sebagai metode ilmiah. Dalam penelitian ini


(32)

kemampuan melakukan penalaran ilmiah direpresentasikan dengan kemampuan berpikir logis atau kemampuan berpikir formal Piaget yang pada intinya meliputi kemampuan melakukan penalaran proporsional, pengendalian variabel, penalaran korelasional, penalaran probabilitas dan penalaran kombinatorial. Kemampuan ini diukur dengan Tes Kemampuan Berpikir Logis yang merupakan terjemahan dari Test

Of Logical Thinking (TOLT) dari Tobin & Capie yang telah distandarkan untuk

digunakan di Indonesia.

e. Kemampuan penguasaan konsep adalah kemampuan untuk memahami atau menguasai materi pembelajaran ilmu pengetahuan alam tingkat sekolah dasar besrta pengayaannya. Kemampuan ini diukur dengan tes penguasaan konsep buatan sendiri yang diujicobakan untuk diuji validitas dan reliabilitasnya.

f. Keterampilan proses sains (KPS) adalah seperangkat keterampilan yang biasa digunakan oleh para ilmuwan dalam memecahkan masalah secara sistematis dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Keterampilan proses yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi keterampilan mengamati (observasi), menafsirkan data (interpretasi), mengkomunikasikan hasil temuan untuk menguji gagasan-gagasan dan memecahkan masalah (berkomunikasi), merencanakan penyelidikan, merumuskan hipotesis, menerapkan konsep dan mengajukan pertanyaan. Kemampuan ini diukur dengan tes keterampilan proses sains (KPS) terstandar yang dibuat oleh Rustaman et

al. (1992) yang dimodifikasi dan divalidasi khusus untuk penelitian ini. E. Langkah-langkah Penelitian

Secara garis besar rangkaian langkah penelitian dalam rangka penyusunan disertasi ini dilakukan melalui langkah-langkah yang didasari oleh pendapat yang dikemukakan oleh Borg & Gall (1989) sebagai berikut:


(33)

1. Pendahuluan yang meliputi pengumpulan informasi, analisis kebutuhan (penelaahan standar kompetensi yang ditetapkan oleh pemerintah secara nasional), telaahan literatur (jurnal, majalah, buku dan sumber-sumber lainnya), observasi pendahuluan, penyusunan proposal, seminar proposal.

2. Perancangan program Pelatihan Berbasis Kompetensi; Penyusunan perangkat modul pembelajaran IPA berbasis inkuiri meliputi penyiapan materi pembelajaran, prosedur atau langkah-langkah pembelajaran, dan alat evaluasinya; Penyiapan berbagai perangkat tes yang terdiri atas tes intelegensi (IQ), tes penguasaan konsep IPA, tes penalaran ilmiah (tes kemampuan berpikir logis) dan tes keterampilan proses IPA berikut validasinya, serta penyiapan perijinan dan penyiapan tempat (di Lab Kimia/Fisika Universitas Islam Nusantara), juga penyiapan alat dan bahan yang digunakan dalam pelatihan. Validasi rancangan program dilakukan dengan validasi ahli dan praktisi dalam hal teknik penulisan (redaksional), bentuk dan langkah-langkah program pelatihan, materi pelatihan, alat evaluasi, modul dan kelengkapannya.

3. Implementasi program:

a. Program PBKMI dirancang sebagai paket program seperti pada tabel 3.2. Tabel 3.2. Program Diklat PBKMI

Nomor Mata Sajian Alokasi

waktu

Keterangan

1 Pendahuluan:

Penjelasan tujuan pelatihan • Penjelasan proses pelatihan • Penjelasan khusus tentang

pembelajaran berbasis inkuiri.

3 JP

2 Tes awal:

• Tes kecerdasan (IQ),

• Tes awal Kemampuan berpikir logis (penalaran ilmiah) • Tes awal keterampilan proses

sains

3 JP Tes kecerdasan (IQ) dilakukan oleh Psikolog


(34)

Tabel 3.2. Program Diklat PBKMI (lanjutan)

Nomor Mata Sajian Alokasi

waktu

Keterangan

3 Pembelajaran I

• Tes awal konsep air

• Pembelajaran modul 1 Air • Tes akhir konsep air

4 JP Dilaksanakan di laboratorium Fisika Uninus 4 Pembelajaran II

• Tes awal konsep magnet • Pembelajaran modul 2 magnet • Tes Akhir konsep magnet

4 JP Dilaksanakan di laboratorium Fisika Uninus 5 Pembelajaran III

• Tes awal konsep listrik • Pembelajaran modul 3 listrik • Tes akhir konsep listrik

4 JP Dilaksanakan di laboratorium Fisika Uninus

6 Tes Akhir:

• Tes akhir kemampuan berpikir logis (penalaran ilmiah). • Tes akhir keterampilan proses

sains (KPS)

• Evaluasi akhir Program

3 JP

b. Uji coba tahap 1 (uji coba terbatas), yang melibatkan 16 orang guru SD, pada langkah ini antara lain dilakukan pelatihan lengkap dalam arti dilakukan pelatihan dari awal sampai akhir, dari mulai tes awal, pembelajaran, tes akhir lalu diikuti dengan pelaksanaan wawancara, pengisian lembar observasi dan kuesioner lalu dikumpulkan, diolah dan dianalisis.

c. Revisi program pelatihan menggunakan hasil uji coba terbatas. Revisi dilakukan untuk melihat alokasi waktu yang diperlukan untuk pelatihan dari awal hingga akhir program, revisi materi pelatihan, modul, tes dan perangkat pelatihan lainnya.

d. Uji Coba tahap 2 (uji lapangan utama), yakni melaksanakan proses pelatihan berbasis kompetensi yang menggunakan modul pembelajaran IPA berbasis inkuiri (PBKMI) dengan 30 orang guru SD, pada langkah ini dilakukan antara lain pengambilan data


(35)

tes awal dan tes akhir, data dikumpulkan, diolah dan dianalisis sebagaimana mestinya. Dari sini akan terlihat efektivitas program pelatihan ini.

e. Revisi program atas dasar data uji lapangan utama, untuk memperoleh program teruji.

f. Diseminasi program yang telah direvisi.

(langkah-langkah implementasi penelitian dapat dilihat pada gambar 3.2)

STUDI PENDAHULUAN

-.

RANCANGAN MODEL KONSEPTUAL: PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI YANG MENGGUNAKAN MODUL PEMBELAJARAN IPA DENGAN

PENDEKATAN INKUIRI BAGI GURU SD(PBKMI)

VALIDASI DAN REVISI MODEL AWAL, MODUL PEMBELAJARAN, INSTRUMEN

DAN PERANGKAT LAIN

Akademisi: Telaah pakar & workshop Praktisi: Terbatas & workshop

Uji coba Utama (uji coba Tahap II) IMPLEMENTASI MODEL -. Persiapan -. Pelaksanaan -. Evaluasi

Uji coba Terbatas (uji coba Tahap I)

REVISI AKHIR MODEL KONSEPTUAL SAMPAI MODEL TERUJI : PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI YANG MENGGUNAKAN MODUL PEMBELAJARAN IPA DENGAN PENDEKATAN INKUIRI (PBKMI) BAGI GURU SD

Tahap I

Tahap II

PUSTAKA

-. Standar Kompetensi guru IPA SD -. In-service Training(PBK) -.Teori belajar Tuntas -.Teori konstruktivisme -.Pendekatan. inkuiri -.Pembelajaran IPA dengan modul inkuiri

TELAAH FAKTA: -. EDI rendah

-. Kualitas pembelajaran rendah -. Pembelajaran tidak bermakna -. Hasil belajar rendah -. Hasil Ujian Nasional rendah -. Kualitas dan kualifikasi guru rendah

Tahap III

Gambar 3.2. Bagan Langkah-langkah Penelitian F. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Sesuai dengan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penelitian ini melibatkan dua jenis instrumen yaitu tes dan non-tes. Instrumen dalam bentuk tes yaitu tes IQ (Raven test), tes kemampuan berpikir Logis (TKBL), Tes Penguasaan Konsep (TKP), Tes keterampilan Proses Sains (TKPS). Sedangkan instrumen dalam bentuk non-tes terdiri atas lembar observasi Pembelajaran (LOP) berikut catatan-catatan lapangan selama pelaksanaan penelitian berlangsung,


(36)

kuesioner tentang jalannya Pelatihan dan pedoman wawancara. Masing-masing instrumen diuraikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Instrumen Penelitian No. Jenis Data Instrumen Keterangan 1 Tingkat Kecerdasan Tes IQ (Raven Test) Dilaksanakan oleh

Psikolog pada awal kegiatan

2 Kemampuan Berpikir Logis (Penalaran ilmiah)

Tes Kemapuan Berpikir Logis (terstandar)

Di awal dan di akhir kegiatan

3 Penguasaan Konsep Tes awal dan tes akhir Penguasaan konsep (air, magnet, listrik)

Di awal dan akhir

pertemuan tatap muka tiap modul (air, magnet,listrik) 4 Keterampilan Proses

Sains (KPS)

Tes awal dan tes akhir KPS terstandar yang dimodifikasi.

Dilaksanakan pada awal dan akhir kegiatan 5 Proses Pembelajaran Lembar observasi Dilaksanakan selama

proses & di akhir kegiatan 6 Respons peserta Kuesioner Keterlibatan peserta

& telaah modul & pedoman wawancara

Di akhir kegiatan

1. Tes Intelegensi (IQ)

Untuk mengukur IQ peserta pada penelitian ini digunakan tes SPM (Standard

Progressive matrices) yang disusun oleh Dr. John C. Raven. (Raven's Progressive Matrices). Tes ini ditujukan untuk mengukur kecerdasan intelektual yang sifatnya

non verbal. Tes ini memiliki keunggulan, yakni tidak terpengaruh latar belakang budaya dan pengetahuan peserta bahkan dapat digunakan untuk orang yang buta huruf. Pengolahan dan analisis hasil pengukurannya pun relatif mudah. Tes IQ dilaksanakan oleh Psikolog.

2. Tes Kemampuan Berpikir Logis (TKBL)

Untuk mengukur kemampuan melakukan penalaran ilmiah atau mengukur kemampuan berpikir logis digunakan tes berpikir logis atau Test of Logical

Thinking(TOLT) yang dikembangkan dan divalidasi oleh Keneth G. Tobin &

William Capie (1981). Tes ini mengukur 5 macam kemampuan penalaran yang dimiliki oleh orang yang telah memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran


(37)

formal dalam perkembangan intelektual Piaget, yakni mampu melakukan pengendalian variabel, penalaran proporsional, penalaran kombinatorial, penalaran probabilistik dan penalaran korelasional.

Tabel 3.4. Kisi-kisi tes Kemampuan Berpikir Logis No Jenis Penalaran Nomor

butir tes

Nama Butir tes

1 Penalaran Proporsional 1 Air Jeruk 2 Air Jeruk 2 Pen. Pengendalian variable 3 Pendulum

4 Pendulum 3 Penalaran Probabilitas 5 Biji-biji sayuran

6 Biji-biji bunga 4 Penalaran Korelasional 7 Tikus

8 Ikan

5 Penalaran Kombinatorial 9 Pengurus OSIS 10 Pusat Perbelanjaan

Hasil tes menghasilkan skor yang menggambarkan tentang kemampuan melakukan penalaran formal atau tingkat kemampuan berpikir logis menurut tingkat perkembangan intelektual dari Piaget dan diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi Tobin & Capie (Valanides, 1996) seperti pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Tingkat perkembangan intelektual dihubungkan dengan skor tes berpikir logis

No. Skor Berpikir Logis Tingkat Perkembangan Intelektual

1 0-1 Konkret

2 2-3 Transisi

3 4-10 Formal

3. Tes Penguasaan Konsep (TPK)

Tes penguasaan konsep ini terdiri atas tiga pasang tes yang diambil dari berbagai sumber yang disusun sendiri oleh peneliti, yakni tes awal dan tes akhir untuk materi pembelajaran tentang air, magnet, dan listrik. Tes Penguasaan Konsep dirancang dan dikembangkan dengan langkah sebagai berikut:


(38)

(1) Penyusunan tes penguasaan konsep ini, diawali dengan penyusunan kisi-kisinya. Setelah membuat kisi-kisi, dilanjutkan dengan penyusunan soal disertai kunci jawaban dan pedoman penskoran untuk tiap butir soal. Pemberian skor didasarkan kepada tingkat kesulitan (bobot) masing-masing butir soal.

(2) Sebelum digunakan dalam penelitian, rancangan tes divalidasi sebagaimana mestinya. Validasi dilakukan untuk menentukan daya pembeda, tingkat kesukaran, validitas dan reliabilitas tes melalui serangkaian langkah yang diawali dengan meminta pendapat ahli (telaah pakar dalam hal ini tiga orang pakar) dan praktisi (tiga orang guru SD) lalu diujicobakan kepada guru-guru SD. Uji coba dilakukan kepada 40 orang guru SD/MI yang sedang menempuh perkuliahan di Program Studi PGMI Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Nusantara pada tanggal 23 Nopember 2009. Tujuan uji coba ini adalah untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran tes, agar diketahui dipenuhi atau tidaknya kriteria instrumen tes yang baik.

a. Hasil Uji coba tes konsep air

Tes awal dan tes akhir untuk materi air disusun dengan kisi-kisi pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Kisi-kisi Tes Penguasaan Konsep Air (TPKA)

No. Sub materi Jml soal No. Butir

1 Wujud air dan perubahannya 2 1,2 2 Konsep terapung, tenggelam dan

melayang dalam air

3 4,5,6

3 Air sebagai pelarut universal 4 7,8,9,10 4 Manfaat air dengan sifatnya 1 3

Dari uji coba untuk tes awal penguasaan konsep air didapat bahwa tingkat kesukaran soal bervariasi antara mudah (2 butir soal, yaitu soal nomor 7 dan 10), sedang (7 butir soal, yaitu soal nomor 1, 2, 4, 5, 6, 8, 9), dan sukar (1


(39)

butir soal, yaitu soal nomor 3) sedangkan daya pembeda soal berkisar antara cukup baik (1 soal,yaitu soal nomor 10), baik (6 soal, yaitu soal nomor 1, 3, 6, 7, 8, 9) sampai sangat baik. (3 soal, yaitu soal nomor 1,4,5). Berkaitan dengan validitas tes diperoleh data validitas butir soal berkisar antara sedang (4 butir soal, yaitu soal nomor 1, 3, 6, 10) dan tinggi (6 butir soal yaitu soal nomor 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9), sedangkan validitas keseluruhan tes air tergolong sangat tinggi (0,80). Sementara untuk reliabilitas tes diperoleh hasil tinggi (r=0,674).

Dengan demikian maka tes awal penguasaan konsep air dapat dipergunakan dalam penelitian ini, sedangkan untuk tes akhir ekivalen/sepadan dengan tes awal.

b. Uji coba tes konsep magnet

Tes awal dan tes akhir penguasaan konsep magnet disusun sendiri dengan kisi-kisi seperti pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7. Kisi-kisi Tes Penguasaan Konsep Magnet (TPKM)

No. Sub materi Jml butir No. Butir

1 Pengertian Magnet 1 1

2 Mengidentifikasi benda yang ditarik magnet

1 2

3 Sifat kutub magnet 3 3,4,9

4 Kekuatan & daya tembus magnet 2 5,6

5 Pembuatan magnet 2 7,10

6 Manfaat magnet 1 5,8

Dari uji coba untuk tes awal magnet didapat bahwa tingkat kesukaran tes bervariasi antara mudah (2 soal, yaitu soal nomor 5 dan 6c), sedang (9 soal yaitu soal nomor 1, 2, 4, 6a, 6b, 7, 8, 9, 10), dan sukar (1 soal yaitu soal nomor 3) sedangkan daya pembeda soal berkisar antara cukup baik (3 soal yaitu soal nomor 3, 5, 6c), baik (5 soal yaitu soal nomor 2, 6a, 6b, 7, 9), sangat baik (4 soal yaitu soal nomor 1, 4, 8, 10).


(40)

Berkaitan dengan validitas tes diperoleh data validitas butir tes berkisar antara sedang (6 soal yaitu soal nomor 2, 3, 4, 5, 8, 10c) dan tinggi (6 soal yaitu soal nomor 1, 6, 7, 9, 10a, 10b), sedangkan validitas keseluruhan tes magnet tergolong sangat tinggi (0,802). Sementara untuk reliabilitas tes diperoleh hasil tinggi (r = 0,784).

Dengan demikian maka baterai tes untuk tes awal layak untuk dipergunakan dalam penelitian ini, sedangkan untuk soal-soal tes akhir ekivalen/sepadan dengan tes awal.

c. Hasil Uji coba tes konsep Listrik

Dari uji coba untuk tes awal listrik didapat bahwa tingkat kesukaran tes bervariasi antara mudah (2 butir soal yaitu soal nomor 5 dan 6), sedang (9 butir soal yaitu soal nomor 1, 2, 4, 7, 8, 9, 10b, 10c, 10d) dan sukar (2 butir soal yaitu soal nomor 3 dan 10a) sedangkan daya pembeda soal berkisar antara cukup baik (3 soal yaitu soal nomor 3,5,6), baik (7 soal yaitu soal nomor 1, 4, 8, 9, 10a,10b, 10d ), dan yang sangat baik (3 soal yaitu soal nomor 2, 7, 10c).

Tabel 3.8. Kisi-kisi Tes Penguasaan Konsep Listrik

No. Sub materi Jml butir Nomor butir

1 Baterai sebagai salah satu sumber listrik 1 1 2 Rangkaian terbuka dan rangkaian tertutup

(Membuat rangkaian listrik sederhana dengan berbagai variasi)

1 2

3 Konduktor dan isolator 2 3,6

4 Rangkaian listrik seri dan paralel 4 4, 5, 8, 10 5 Perubahan energi listrik menjadi bentuk

energi lain

1 7

6 Manfaat listrik 1 9

Berkaitan dengan validitas tes diperoleh data validitas butir tes berkisar antara rendah (1 soal yaitu soal nomor 3), sedang (4 soal yaitu soal nomor 5, 6, 10a, 10b), dan tinggi (8 soal yaitu soal nomor 1, 2, 4, 7, 8, 9, 10c, 10d), sedangkan


(41)

validitas keseluruhan tes listrik tergolong sangat tinggi (0,814). Sementara untuk reliabilitas tes diperoleh hasil tinggi (r = 0,83). Keseluruhan hasil ujicoba termuat pada lampiran.

Dengan demikian maka baterai tes untuk tes awal listrik layak untuk dipergunakan dalam penelitian ini, sedangkan untuk tes akhir ekivalen/sepadan dengan tes awal.

4. Tes penguasaan Keterampilan Proses Sains (KPS)

Tes Keterampilan Proses sainsini diambil atau diadaptasi dari hasil penelitian Rustaman, et al. (1992) dengan modifikasi dan validasi sebagaimana mestinya. Tes Penguasaan Keterampilan Proses Sains (KPS) dibuat dengan kisi-kisi seperti pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9. Kisi-kisi Tes Keterampilan proses Sains (TKP) No Keterampilan

Proses

No.soal TKP-1 TKP-2

1 Observasi 1 Kelereng Kancing

2 Nyala lilin Lakmus

2 Interpretasi 3 Kelompok Membuat magnet 4 Perahu Konsentrasi larutan

5 Derek Buah mangga

3 Berkomunikasi 6 Bunyi radio Ikan emas & mujair 7 Susu asam Air garam

4 Merencanakan penyelidikan

8 Minuman segar Kelarutan gula

Merencanakan penyelidikan

9 Ragi Telpon umum

5 Berhipotesis 10 Bandul Listrik rumah 11 Kopi Panas Berburu jarum 6 Menerapkan konsep 12 Balon Menyaring

13 Masak Kentang Telur dan air garam 7 Mengajukan

pertanyaan

14 Nyungkup Lilin Penerangan jalan umum 15 Lensa cembung Susu dan obat

Dari uji coba untuk tes awal Keterampilan Proses Sains (KPS) didapat bahwa tingkat kesukaran tes bervariasi antara mudah (4 soal yaitu soal nomor 4, 5, 11, 13) sedang (14 soal yaitu soal nomor 1, 2a, 3, 6, 7a, 7b, 8a, 8b, 9b, 9c, 10, 12a, 12b, 14) dan sukar (4 soal yaitu soal nomor 2b, 7c, 9a, 15) sedangkan daya pembeda soal


(42)

berkisar antara cukup baik (4 soal yaitu soal nomor 2b, 4, 5, 13), baik (12 soal yaitu soal nomor 1, 3, 7a, 7b, 7c, 8a, 9a, 9c, 10, 11, 12a, 15 ), sangat baik (6 soal yaitu soal nomor 2a, 6, 8b, 9b, 12b, 14).

Berkaitan dengan validitas tes diperoleh data validitas butir soal berkisar antara sedang (9 soal yaitu soal nomor 2b, 4, 5, 7c, 8a, 9a, 10, 13, 15), dan tinggi (13 soal yaitu soal nomor 1, 2a, 3, 6, 7a, 7b, 8b, 9b, 9c, 11, 12a, 12b, 14), sedangkan validitas keseluruhan tes keterampilan proses tergolong sangat tinggi (0,803). Sementara untuk reliabilitas tes diperoleh hasil tinggi (r = 0,894).

Dengan demikian maka tes awal keterampilan proses sain (KPS) memadai untuk dipergunakan dalam penelitian ini, sedangkan untuk tes akhir dianggap sepadan dengan tes awal. Sekalipun demikian validasi juga dilakukan terhadap hasil tes akhir.

5. Lembar observasi Pembelajaran (LOP)

Lembar observasi ini dibuat untuk dijadikan sebagai pedoman observasi selama proses pelatihan berlangsung dari awal hingga selesai, dengan lembar observasi ini akan dijaring berbagai hal yang berkaitan dengan pelatihan dalam bentuk catatan-catatan selama proses pelatihan berlangsung.

Untuk menjaga objektivitas observasi dan agar tidak terjadi pengabaian terhadap hal-hal yang semestinya diamati selama proses pembelajaran berlangsung, maka lembar observasi pembelajaran dibuat dengan format skala likert disertai ruang untuk menyampaikan pendapat atau catatan untuk penyempurnaan pembelajaran dan untuk observasi ini peserta pun diminta juga menjadi pengamat. Lembar observasi ini memuat keseluruhan langkah pembelajaran dari awal hingga akhir.


(43)

6. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk menjadi panduan bagi peneliti dalam melakukan wawancara dengan beberapa pihak antara lain dengan peserta, instruktur, kepala sekolah atau pengawas. Materi wawancara secara garis besar berkaitan dengan kesan akan pelatihan, materi pelatihan dan kedalamannya, metodologi pelatihan dan saran saran perbaikan untuk pelaksanaan pelatihan yang lebih bermakna bagi peserta pelatihan.

G. Teknik analisis data

Untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka data yang diperoleh, diolah dan dianalisis sebagai berikut : Data tes awal yakni data intelegensi peserta, data penguasaan konsep, data kemampuan penguasaan keterampilan proses sains (KPS), kemampuan melakukan penalaran ilmiah (kemampuan berpikir logis) diolah, dideskripsikan dan disajikan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan awal para peserta sebelum program pelatihan dilakukan. Data tes akhir maupun lembar observasi dan kuesioner diolah dan dianalisis untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan peserta setelah mendapatkan perlakuan. Selanjutnya data akhir dan data awal dijadikan bahan bagi analisis data secara statistik untuk menguji hipotesis-hipotesis serta untuk menjawab permasalahan penelitian.

Analisis data secara statistika dilakukan dengan memperhatikan berbagai asumsi statistika dan setelah uji asumsi dilanjutkan dengan uji korelasi maupun uji beda antar dua rata-rata (uji t) dan uji ANOVA satu jalur, yang dilanjutkan dengan uji perbandingan Post Hoc yang diakhiri dengan uji Tukey (Furqon,1997; Mc Milan & Schumacher, 2001). Pengolahan dan analisis statistik menggunakan program aplikasi komputer minitab 14, yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian hipotesis, pengambilan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini.


(1)

Dahar, R.W. (1989). Teori Belajar. Jakarta: Erlangga

--- (1985). Kesiapan guru mengajarkan sains di sekolah dasar ditinjau dari segi pengembangan keterampilan proses sains. Disertasi pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 16 tahun 2007 tentang Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pembinaan Pendidikan tenaga kependidikan dan Ketenagaan Dirjen Dikti, Depdiknas. (2004). Standar Kompetensi Guru Pemula Lulusan Program studi pendidikan kewarganegaraan Jenjang S1. Jakarta: Depdiknas

Fetters, M., Beller, C. & Hickman, P. (2003). When is Inquiry Problem Solving and When is Problem Solving Inquiry. [online] tersedia: Http://homepages.wmich.edu/~mfetters/inquiry_P.S._AZ-R (18-12-2002)

Finley, F., Lawrenz, F. & Heller, P. (1992). A Summary of research in science education – 1990. Science Education.76 (3): 239 – 254.

Foyster, J. (1994). Competency-based training programs Dalam Brown,M. et al. (1994) A Collection of Readings related to Competency-based Training. Geelong Victoria: Deakin university

Furqon. (1997). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Galib, L.M. (2001). Penerapan Model Konstruktif Pembelajaran Sains dan Teknologi dengan pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat dan strategi Pembelajaran Modul di Sekolah Dasar. Disertasi pada Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Gerhard, M. (1971). Effective Teaching Strategies With The Behavioral Outcome Approach. New York: Parker Publishing Co. Inc.

Gravitz, L.A. (2002). Teaching Science through inquiry-Based and Hands-On Practices. [online] tersedia: Http://www.teachnet.org/TNPI/research/ achieve/ gravitz.html. (18-12-2002)

Hadiat at al. (1998). Alam Sekitar Kita 4, IPA Untuk Seklah Dasar Kelas 6. Jakarta: Depdiknas & CV Keluarga Abadi

Harlen, W. (1983). Science, guides to assessment in education (1’st. Ed.) London: Macmillan Education

Haury, D.L. (2002). Teaching Science Through Inquiry. [online]. Tersedia: Http://www.ericse.org/digests/dse93-4.html (18-12-2002)

Haury, D.L. & Rillerro, P. (1994). Perspective of hands-on Science teaching. [online]. Tersedia: Http://www.ncrel/sdrs/areas/issues/content/cntareas/ science /eric/eric-1.htm (17-8-2003)


(2)

Hayat, B. & Yusuf, S. (2009). Benchmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara

Hebrank, M. (2000). What Do We Mean by Inquiry? [online]. Tersedia: Http://www.wresa.org/PbI/Inquiryhandout.htm (17-8-2003)

Heimler, C.H. (1983). Principles of Science. Toronto: Charles Merril Publishing Co. Hinduan, A.A. et al. (2001). The Development of Teaching and Learning Science

Models at Primary School and Primary School Teacher Education. Bandung: Graduate Program-Indonesian University of education. [online].Tersedia:

Http://www.pagesourfavorite.com/ppsupi/ achmadhinduan.html (5-3-2003) --- (2003). Meningkatkan kualitas SDM melaui pendidikan IPA. Makalah

disampaikan dalam Seminar Himpunan sarjana pendidikan IPA Indonesia. Bandung:UPI

--- .(2007). Pendidikan Fisika. dalam Ali, M., Ibrahin R., Sukmadinata, N.S.,Sudjana, D., dan Rosjidin, W. (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan:Handbook. Bandung: FIP UPI Press. Hal. 753-776.

Howe, R.W. (1990). Trends and Issues in Science Education: Curriculum and Instruction. Ohio State University Columbus: Eric.

Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E. (2009). Models of Teaching 8’th ed. Boston: Pearson Education Inc.

Kamil, M. (2010). Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta.

Kartika, I. (2009). Mengelola Pelatihan Partisipatif. Bandung: Nusantara Press.

Klausmeier, H.J. (1980). Learning and Teaching Concept, a Strategy for Applications of Theory. New York : Academic Press.

Kompas. (2010a). Ranking EDI Indonesia Naik. (22-1-2010)

--- (2010b). Guru SD Tertinggal, Pembelajaran Memberatkan Anak. (20-9-2010) --- (2010c). Mutu Pendidikan, Guru, kunci sukses Pendidikan Dasar. (22-9-2010) Lawson, A.E. (1995 ). Science Teaching and The Development of Thinking. Belmont,

California: Wadworth Publishing Company.

Lederman, N.G., Gess, N.J. & Zeidler, D.L. (1993). Summary of research in science education 1991. Science Education. 77(5): 465 – 559.

Ledbetter, C.E. (2003). Levels of Inquiry. [online]. Tersedia: Http://www.utdallas. edu/dept/sci_ed/torch/inquiry.html (17-8-2003).


(3)

Liem, T. (1992). Turning Kids on to Science in the Home, Book 1 Our Environment. California: Science Inquiry enterprises.

Liliasari (2007). Scientific concepts and generic science skills relationship in the 21’st century science education, makalah, disampaikan pada The First International Seminar of science education di UPI Bandung, 27 Oktober 2007

Loughran, J., Berry, A. & Mulhall, P. (2006). Understanding and Science Teachers Pedagogical content Knowledge. Profesional Learning vol.1. Rotterdam: Sense Publishers

Martin, M.O. et al. alih bahasa Suhendra Yusuf et al. (2007). Timmss 2003 International Science report, finding from IEA’s Trends in interntional Mathematics and Science study at the fourth and eight grades. Jakarta: Puspendik Depdiknas & IEA (International association for the evaluation of educational achievement)

McDermot, L.C. (Ed.). (1991). Physics By Inquiry: Properties Of Matter. Washington: Physics Education Group, Department of Physics, University of Washington. --- .(1990). A perspective on teacher preparation in physics

and other sciences: The need for special science courses for teachers. American Journal of physics. 58, 734-742

--- .(1996). Physics by inquiry. New York: John Willey & Sons, Inc. [online]. Tersedia: http://www.phys.washington.edu/groups/peg/ pbi.html (17-8-2003)

McDermot, L.C. & Shaffer, P.S. & Constantinou,C.P. (2000). Preparing teachers to teach physics and physical science by inquiry. Physics Education. 35(6).

Mc Millan, J.H. & Schumacher, S. (2001). Research in Education, A Conceptual introduction. New York: Addison Wesley Longman Inc.

Monk, M. & Osborne, J. (2000). Good Practice in Science Teaching, What Research has to say. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.

Muljatiningrum, A., Rustaman, N.Y. & Rahmat, A. (2008). “Pembelajaran inkuiri untuk mengembangkan kemampuan dasar bekerja ilmiah (KDBI) dan berpikir kreatif pada konsep Bioteknologi”. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, II, (3). 251. Novak, J.D. & Gowin, D.B. (1986). Learning How to Learn. Cambridge : Cambridge

University Press.

NSTA (2002). NSTA Position statement: Elementary School Science. [online]. Tersedia: Http://www.nsta.org/about/position/elementary/aspx. (11-2-2009)

NSTA (2002). NSTA Position statement: Science Teacher Preparation. [online]. Tersedia: Http://www.nsta.org/about/position/elementary/aspx. (11-2-2009)


(4)

Nur, M. (1991) Pengadaptasian test of logical thinking dalam setting Indonesia. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian IKIP Surabaya. Surabaya: tidak dipublikasikan.

Nyberg, L.M. (2002). Science Learning Plan Guidelines. [online] Tersedia: Http://www.learner.org/channel/workshops/inquiry/implementing2.html. (17-8-2003)

Olson, S. & Loucks-Horsley, S. (2000). Inquiry and National Science Education Standards A Guide for Teaching and learning. Washington: National Academy Press.

Piraz, D. (2007). “Project in education, Preparing scientific school science projects”. Makalah pada seminar pendidikan, Pasiad International bilingual boarding schools. Jakarta 12 Mei 2007.

Poedjiadi, A. (2007). Pendidikan Sains dan sains terpadu. Dalam Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata N.S., Sudjana D., Rasjidin W.,(Penyunting) .Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Handbook. Bandung: Fipupi Press. 743-752

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran SAINS Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2007). Naskah akademik, kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA. Jakarta: Puskur Balitbang Diknas.

Rezba, R.J., Sprague, C. & Fiel, R. (1995). Science Process Skills: Learning and Assessing. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Co.

Rianto, Y. (1998). Pengembangan Model Pembelajaran Modularized Applied Approach dalam Implementasi Kurikulum PSG di sekolah Menengah Kejuruan. Disertasi pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Rochintaniawati, D., Wulan, R. A. & Sriyati, S. (2008). Pengembangan model Pelatihan Berbasis Media yang sesuai dengan kebutuhan guru Sekolah Dasar untuk meningkatkan Kompetensi mengajar IPA. Abstrak Laporan Penelitian. Bandung : Sistem Informasi LPPM UPI

Rowe, M.B. (1978). Teaching Science as Continuous Inquiry: A Basic. New York : Mc Graw Hill Book co.

Rustaman, N.Y. (2007). “Basic Scientific inquiry in science education and its assesment” dalam: Proceeding of the first International Seminar on Science Education. Bandung: PPS IPA UPI.

--- .(1992). Pengembangan dan validasi alat ukur keterampilan sains pada pendidikan dasar 9 tahun sebagai persiapan pelaksanaan kurikulum 1994. Laporan hasil Penelitian. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung


(5)

--- (1991). Kemampuan berhipotesis mahasiswa tingkat akhir Program S1 FPMIPA IKIP Bandung dalam kaitan dengan pola berpikirnya. Laporan Hasil Penelitian. Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.

Rustaman, N.Y. (2002). “Pandangan Biologi terhadap proses berpikir dan implikasinya dalam pendidikan sains”. Pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam bidang ilmu pendidikan Biologi pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: UPI

Spady, W.G. (1994). Competency-based education: A bandwagon in search of definition dalam Brown, M. et al. (1994) A Collection of Readings related to Competency-based Training. Geelong Victoria: Deakin university

Sudjana, D. (2007). Sistem & Manajemen Pelatihan: Teori dan Aplikasi. Bandung: Falah Production.

Sukamto.(2005). Teaching improvement towards earning enhancement: New trend in science education. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan IPA II. Bandung: HISPIPAI & FPMIPA UPI

Sukmadinata, N.S. (2004). Kurikulum & Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Yayasan Kesuma Karya Bandung

Sulipan. (2009). Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) berbasis kompetensi. Bandung: TEDC. [online] tersedia: Http://www.Geocities.com/smkkorpri _duri/diklatberbasiskompetensi/htm (25/3/2009)

Supriyatman, Rusdiana, D. & Juanda, E.A. (2008). Model Pembelajaran inkuiri menggunakan simulasi computer interaktif untuk meningkatkan penguasaan konsep rangkaian listrik arus searah dan keterampilan proses sains. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, II (2).179-189.

Supriyoko, (2002). Pendidikan tanpa guru bermutu. Makalah. disampaikan pada seminar “Kajian Cerdas Berakhlak Mulia” yang diselenggarakan Pemkab Bantul, Propinsi D.I Yogyakarta.

Suriasumantri, J.S. (1985). Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Teriska. (2005). Peran LPMP Jawa Barat dalam Pemberdayaan guru Sains. Makalah. Disampaikan pada Seminar Pendidikan IPA masa depan yang kompetitif. Bandung: HISPIPAI & FPMIPA UPI.

Trowbridge, L.W. & Bybee, R.W. (1990). Becoming A Secondary School Science Teacher.( fifth Ed.). Columbus: Merril Publishing Co.

Usman, M.U. (1995). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya. Valanides, N. (1996). Formal reasoning and science teaching. Journal of School Science


(6)

VEETAC (Vocational education, Employment and Training Advisory Council) (1994). Aspects to the framework for the implementation of a competency-based vocational education and training system dalam Brown,Mike. Et.al.(1994) A Collection of Readings related to Competency-based Training. Geelong Victoria: Deakin university

Wahidin, D. (1993). Kemampuan melakukan penalaran ilmiah dan kemampuan melakukan elaborasi untuk memahami konsep-konsep lingkungan hidup. Tesis S2 PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Windschiltl, M. (2003). Inquiry projects in science teacher education: What can investigative experiences reveal about teacher thinking and eventual classroom practice ? Science Education. 87.(1).112-143.