SEJARAH PERKEMBANGAN SUBJEK SUMBER DAN T

1

SEJARAH PERKEMBANGAN, SUBJEK, SUMBER, DAN TEORI
HUKUM INTERNASIONAL
OLEH
PRISCA OKTAVIANI SAMOSIR

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini terlihat bahwa negara-negara modern telah mengakui hukum
internasional sebagai bagian dari hukum nasional. Pandangan ini dinamakan
“doctrine of incorporation” yang pada mulanya berasal dari negara-negara Anglo
Saxon. Ajaran bahwa hukum internasional dipandang sebagai hukum nasional
terlihat di dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat di dalam kasus The
Paquette Habana-The Loba.1
Namun hukum internasional berlainan dengan hukum nasional, hukum
internasional tidaklah diciptakan oleh suatu badan tertentu seperti terlihat dalam
hukum nasional, dan tidak pula terdapat penguasa tertentu yang dapat
memaksakan dilaksanakannya aturan-aturan hukum internasional. Masyarakat

internasional tidak mengenal suatu kekuasaan eksekutip pusat yang kuat seperti
dalam negara-negara nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah hukum
internasional betul-betul merupakan hukum dalam artian yang sebenarnya. 2
Apabila iya, maka terdapat beberapa teori yang mendukung bahwa hukum
internasional merupakan hukum.
Hukum internasional, sendiri merupakan keseluruhan kaidah-kaidah dan
azas-azas hukum yang sangat diperlukan untuk mengatur hubungan-hubungan
atau persoalan yang melintasi batas-batas negara –negara antara Negara dengan
Negara, Negara dengan subjek hukum bukan Negara, dan subjek hukum bukan
Negara satu sama lainnya.3
Tanpa adanya kaidah-kaidah ini tidak mungkin bagi negara-negara
melakukan hubungan-hubungan tetap dan terus menerus. Sesungguhnya hukum
internasional merupakan persoalan dengan keperluan hubungan timbal balik antar
1 Chairul Anwar, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Jakarta: Djambatan,
1989, hlm.
2 Idem, hlm. 4
3 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Binacipta, 1981, hlm. 3

2


negara-negara. Dalam hal tidak adanya suatu sistem hukum internasional, maka
masyarakat internasional negara-negara tidak dapat menikmati keuntungankeuntungan perdagangan dan komersial, saling pertukaran gagasan dan
komunikasi rutin yang sewajarnya.4 Hukum internasional mempunyai subjek
subjek hukum internasional, serta terdapat sumber-sumber dari hukum
internasionl itu sendiri.
Dilihat dari rangka proses perkembangan hukum internasional, baik hukum
internasional regional maupun hukum internasional khusus (special) merupakan
gejala-gejala yang wajar kearah terwujudnya suatu hukum internasional yang
benar-benar bersifat universal dan berlaku bagi seluruh anggota masyarakat
internasional, maupun sistem politik ekonomi, kebangsaan atau kebudayaannya.
Namun bagaimana sejarah perkembangan dari hukum internasional sendiri?
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka penulis
merumuskan masalahnya, yaitu:
1. Terdiri dari apasajakah subjek-subjek hukum internasional itu dan apa
pengertian dari masing-masing subjek hukum internasional ?
2. Bagaimanakah sejarah perkembangan hukum internasional itu ?
3. Apasajakah sumber-sumber dari hukum internasional itu ?
4. Apa sajakah teori-teori yang terdapat dalam hukum internasional yang
mendukung bahwa hukum internasional merupakan hukum serta memiliki

kekuatan mengikat ?

BAB II
4 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, Jakarta: Sinar Grafika, 1992, Hlm. 16-17

3

PEMBAHASAN

A. Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum Internasional dapat diartikan sebagai pemegang hak-hak dan
kewajiban menurut hukum internasional, namun lebih dari itu, subjek hukum
internasional juga memiliki arti berupa pemegang hak istimewa procedural untuk
mengajukan tuntutan dimuka pengadilan internasional, dan Pemilik kepentingankepentingan yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum internasional.
1)
2)
3)
4)
5)
6)

7)

Sebagaimana diketahui bahwa subyek hukum internasional meliputi: 5
Negara;
Organisasi Internasional;
Palang Merah Internasional;
Tahta Suci atau Vatikan;
Perusahaan sebagai badan hukum internasional otorita;
Pihak Berperang;
Individu.

Subjek hukum internasional yang paling pokok adalah Negara, setelah itu
baru ada subjek-subjek lainnya seperti organisasi internasional, palang merah
internasional, tahta suci/vatikan, perusahaan sebagai badan hukm internasional
otorita, pihak berperang dan individu.6
1. Negara
Hukum internasional baik ditinjau secara historis maupun secara faktual.
Secara historis, yang pertama-tama merupakan subyek hukum internasional pada
awal mula lahir dan pertumbuhan hukum internasional adalah negara.Peranan
negara sebagai subyek hukum internasional lama kelamaan juga semakin dominan

oleh karena bagian terbesar dari hubungan-hubungan internasional yang dapat
melahirkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum internasional dilakukan
oleh negara-negara. Unsur tradisional suatu Negara terdapat dalam Pasal 1
Montevidio (Pan American) Convention on Rights And Duties of State of 1933. 7
Pasal Tersebut Berbunyi sebagai berikut :
“The State as person of international law should posses the following
qualification :
a. A permanent population
5 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 59.
6 Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Universitas Indonesia, “Kedudukan hukum
internasional dalam sistem hukum nasional”, Jurnal hukum internasional, Volume 5 Nomor 3,
Hlm. 506, 2008
7 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 1991,
hlm. 2

4

b. A defined territory
c. A government; and
d. A capacity to enter into relations with other State.”

Di antara unsur-unsur negara tersebut sebenarnya unsur kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan negsara-negara lain kurang penting, karena negara
mungkin dapat berdiri tanpa adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan
dengan negara-negara lain, sehingga disebut juga dengan unsur non phisik.
Mengenai kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain ini ada
kaitannya dengan pengakuan baik hukum nasional maupun internasional
mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut.8
Unsur atau persyaratan seperti yang disebut diatas adalah hal yang paling
penting dari segi hukum internasional. Ciri-ciri diatas juga membedakan negara
dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau
protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan
tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional
yang mandiri. Bahkan hukum itu sendiri boleh dikatakan bagian terbesar terdiri
atas hubungan hukum antara negara dengan negara.9
2.Organisasi Internasional
Organisasi internasional dalam arti yang luas pada hakikatnya meliputi
tidak saja organisasi internasional public (Public International Organization)
tetapi juga organisasi privat (Privat International Organization). Organisasi
semacam itu meliputi juga organisasi regional dan organisasi sub-regional. Ada
pula organisasi yang bersifat universal (organization of universal character).

Dilihat dari pembentukannya, organisasi internasional mempunyai tiga
aspek yaitu administrasi, aspek filosofis, dan aspek hukum:
1). Aspek administrasi
Menyangkut perlunya dibentuk suatu sekretariat tetap (permanent
secretariat) yang lokasinya berada di wilayah salah satu negara anggotanya yang
ditetapkan melalui persetujuan antara organisasi internasional tersebut dengan
negara tuan rumah (Head quarters Agreement). Di samping itu juga diperlukan
adanya staf personalia (International civil servant)10.
Dari aspek administrasi ini organisasi juga membutuhkan anggaran belanja
yang akan ditanggung bersama oleh semua anggota. Pasal 17 piagam PBB
misalnya menyebut bahwa pembiayaan PBB akan di tanggung oleh anggotanya
sesuai dengan skala penilaian (Scale of Assessment) yang akan ditetapkan oleh
Majelis Umum PBB yang menurut pasal 18 melalui 2/3 suara.11
8

Oppenheim-Lauterpacht, International Law: A Treatise vol 1 : Peace, edisi ke-8, (Longmans,
1976), hlm. 118; dikutip dari Huala Adolf, Ibid, hlm. 7
9 J.G. Starke, Hukum Internasional 1 ( Jakarta: Sinar Grafika, 2001) h. ???
10 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 41
11 Ibid.


5

2). Aspek filosofi
Pembentukan organisasi internasional akan dipengaruhi oleh filsafah
kehidupan bangsa-bangsa di sesuatu kawasan dimana organisasi tersebut akan
didirikan. Misalnya dalam pembentukan Organisasi Persatuan Afrika juga telah
melihat sejarah bangsa afrika yang berasal dari penjajahan, karena itu tema yang
diambil adalah kerjasama untuk membebaskan belenggu penjajahan, masalah
penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan nasional maupun dasar falsafah
organisasi tersebut.12
3). Aspek hukum
Organisasi internasional dibentuk melalui suatu perjanjian dari tiga negara
atau lebih sebagai pihak. Suatu organisasi hakekatnya merupakan suatu kesatuan
yang menurut hukum dipisahkan dari setiap organisasi lainnya dan akan terdiri
dari satu badan atau lebih. Badan-badan tersebut merupakan suatu kumpulan
berbagai wewenang yang dikelompokkan di bawah satu nama. Misalnya: Majelis
Umum, Dewan Perwakilan, Mahkamah Internasional dan sekretariat merupakan
badan-badan utama yang mempunyai wewenang sendiri tetapi semuanya
dikelompokkan dalam suatu organisasi yang disebut PBB.13

Agar dapat diakui statusnya di dalam hukum internasional, organisasi
internasional harus memenuhi tiga syarat, yaitu :14
a) Adanya persetujuan internasional seperti instrument pokok itu akan membuat
prinsip-prinsip dan tujuan, struktur maupun cara organisasi itu bekerja.
b) Organisasi internasional haruslah mempunyai paling tidak satu badan.
c) Organisasi internasional haruslah dibentuk dibawah hukum internasional.
Berkaitan dengan implikasi hukum keterlibatan Indonesia dalam organisasi
perdagangan internasional sehingga kebijakan pemerintah tentunya selain mampu
menyentuh kepentingan masyarakat luas, diharapkan dapat menjamin rasa aman,
dan keadilan dalam dunia perdagangan lintas Negara.15
3. Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional berkendudukan di Jenewa (austria) memiliki
tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Bahkan dapat dikatakan
bahwa Palang Merah Internasional sebagi subjek hukum (dalam arti terbatas) lahir
karena sejarah; walaupun pada akhirnya badan ini keberadaannya dan statusnya
dikukuhkan dengan suatu perjanjian Internasional (konvensi), yang sekarang
adalah konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang.
Berdasarkan pada konvensi-konvensi Jenewa 1949 ini Palang Merah Internasioanl
12 Idem, hlm. 42
13 Idem, hlm. 43

14 Ibid.
15 Universitas Warmadewa Fakultas Hukum, “Implikasi yuridis keterlibatan Indonesia dalam
organisasi perdagangan internasional”, Kertha wicaksana : majalah ilmu hukum Volume 18
Nomor 1, Hlm.30, 2012. E-Journal Online,

6

memiliki kedudukan sebgai subjek hukum internasional, sekalipun dengan ruang
lingkup terbatas.16
4. Tahta Suci atau Vatikan
Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum
internasional yang telah ada disamping negara. Hal ini merupakan
peninggalan/kelanjutan sejarah sejak jaman dahulu, ketika Paus bukan hanya
bertindak sebagai kepala gereja Roma tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi.
Walaupun hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan (katolik), Tahta Suci
merupakan subjek hukum dalam arti penuh dan kedudukan sejajar dengan negara.
Hal ini terjadi terutama setelah dibuatnya perjanjian antar Italia dan Tahta Suci
pada di Roma kepada Tahta Suci yang selanjutnya dengan perjanjian ini dibentuk
negara Vatikan, sekaligus di akui oleh Italia. Hingga sekarang Tahta Suci memiliki
perwakilan diplomatic yang kedudukannya sejajar dengan perwakilan diplomatic

suatu negara di berbagai negara penting didunia, termasuk di Indonesia.17
5. Perusahaan Sebagai Badan Hukum Internasional Otorita
Pada hakikatnya perusahaan multinasional itu merupakan badan
hukum(nasional) byang terdaftar disuatu negara, maka sebenarnya perusahaan
multinasional hanya merupakan subyek hukum nasional, dan bukan subyek
hukum internasional.18
Lain halnya dengan perusahaan yang merupakan badan hukum
internasional Otorita, menurut penulis ia merupakan subyek hukum internasional
(dalam arti terbatas). Adapun landasan hukumnya diatur dalam pasal 170
konvensi PBB tentang Hukum Laut (KHL 1982), yang menentukan sebgai berikut
:
a. Perusahaan adalah badan otorita yang harus melaksanakan kegiatan-kegiatan di
kawasan secara langsung, sesuai dengan pasal 153 ayat 2 a , maupun
pengangkutan, pengolahan dan pemasaran mineral-mineral yang dihasilkan
dari kawasan.
b. Perusahaan dalam rangka bertindak sebagai badan hukum internasional
Otorita, memiliki kewenangan hukum sebagaimana ditetapkan dalam statuta
seperti diatur dalam lampiran IV. Perusahaan bertindak sesuai dengan konvensi
ini dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur Otorita maupun
kebijaksanaan-kiebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Majelis dan tunduk
pada pengarahan dan pengawasan dewan. Perusahaan ini memiliki kantor pusat
yang berada ditempat kedudukan Otorita.
Sebagai badan hukum Internasional Otorita dan sesuai dengan Anggaran
Dasar perusahaan yang merupakan Lampiran IV KHL 1982, ia memiliki status
hukum, hak-hak istimewa, dan kekebalan. Dalam kaitan ini pasal 13 anggaran
Dasar Perusahaan menentukan ;
16 Idem, hlm 72
17 Mochtar Kusumaatdja, Op.cit, hlm. 71-72
18 Abdul Muthalib Tahar, Hukum Internasional, Lampung: Percetakan Unila, 2010, hlm.32

7

a. Agar perusahaan dapat melaksanakan fungsinya, status, hak-hak istimewa dan
kekebalan-kekebalan yang ditetapkan dalam pasal ini harus diberikan kepada
perusahaan dalam wilayah-wilayah negara negara peserta dimana perlu dapat
mengadakan perjanjian-perjanjian khusus.
b. Perusahaan memiliki kapasitas hukum yang diperlukan untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya, dan untuk mencapai tujuan-tujuannya ia memiliki kapasitas;
1). Mengadakan kontrak-kontrak, pengaturan-pengaturan bersama atau
pengaturan-pengaturan lainnya, termasukperjanjian-perjanjian dengan
negara-negara dan organisasi-organisasi internasional.
2). Mendapatkan, menyewa, mengusai dan menjual kekayan baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak.
3). Menjadi pihak dalam proses hukum.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka tidak ada keraguan lagi bahwa
perusahaan sebagai badan hukum internasional Otorita merupakan subjek hukum
internasional. Sebab ia memiliki status hukum (pribadi hukum Internasional),
memiliki hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan didalam wilayah negaranegara peserta otorita, memiliki kapasitas membuat kontrak-kontrak dan
perjanjian-perjanjian
dengan
negara-negara
dan
organisasi-organisasi
internasional, serta ia dapat menjadi pihak dalam proses hukum.
6. Pihak Berperang
Berperang tidak semata-semata karena pernyataan suatu pihak untuk
melakukan perang, namun lebih identik dengan suatu “pemberontakan” terhadap
Negara tertentu. Dalam lingkung hukum Internasional kata “pemberontakan”
dalam bahasa Inggris terdapat tiga istilah, yaitu insurrection,rebellion dan
revolution. Schuman memberikan definisi mengenai ketiga istilah sebagai
berikut ;
In general an Uprising directed toward a radical modification of the
existing political or social order throughout the whole teritority of a state
is reffered to as a revolution, while the word rebellion is more frequently
confined to efforts on the part of portion of a state to throw off the
authority of the remainder. Insurrection usually refers to movements
smaller in scope and purpose than those described by the other terms.19
Secara umum dapat diterjemahkan, revolusi bertujuan untuk merombak secara
radikal suatu susunan politik atau sosial diseluruh wilayah negara, rebeli adalah
perjuangan sebagian wilayah negara untuk menggulingkan kekuasaan di wilayah
lainnya dan insurreksi adalah kegiatan-kegiatan yang luas dan tujuannya lebih
sempit dari revolusi dan rebellion.
Berdasarkan uraian Schuman tersebut diatas, dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa timbulnya suatu pihak berperang (belligerent) dalam suatu
negara didahului dengan adanya insurrection (pemberontakan dengan scoup yang
19 S.Tasrif, Pengakuan Internasional dalam Teori dan Praktek, Cetakan I, Jakarta:Media Raya,
1966, hlm. 87

8

kecil) , yang kemudian meluas menjadi rebellion (rebelli) selanjutnya rebelli ini
untuk dapat berubah statusnya menjadi pihak berperang harus memenuhi syaratsyarat (obyektif).20
Apabila para pemberontak itu belum dapat memenuhi syarat-syarat obyektif
di atas, maka para pemberontak baru berada pada taraf rebelli (rebellion). Apabila
pada taraf ini ada negara ketiga yang memberikan dukungan atau pengakuan,
maka tindakan tersebut dianggap tergesa-gesa dan dapat dipandang sebagai
mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Sebab dalam keadaan demikian,
pemerintah yang memulihkan keadaan dan keamanan di wilayah seperti semula.
Sebaliknya apabila para pemberontak berdasarkan penilaian objektif telah
memeuhi syarat-syarat sebagai pihak berperang, maka negara ketiga berdasarkan
pertimbangan subjektif (biasanya bersifat politis) akan memberikan pengakuan
terhadap kelompok rebelli, yang selanjutnya dengan tindakan pengakuan in rebelli
tersebut berubah statusnya menjadi belligerent.21
Pemberian pengakuan bellegerensi kepada rebelli membawa akibat hukum bagi
rebelli maupun negara yang memberikan pengakuan, yaitu :
1. Kapal-kapal belligerent diijinkan untuk memasuki pelabuhan negara-negara
yang memberikan pengakuan.
2. Belligerent dapat meminjam dana (keuangan) kepada negara-negara yang
memberikan pengakuan, yang akan dikembalikan apabila tujuan belligerent
tercapai (terbentuk negara baru).
3. Belligerent memiliki hak untuk melakukan penggeledahan diatas kapal-kapal
di lautan, menyita barang-barang kontrabande dan untuk melakukan
blackade.22
Dalam belligerent, terdapat contoh suatu konlfik non internasional yang
kemudian dianggap sebagai suatu konlifk internasional seperti “Internationalized
internal armed conflict” yang merupakan suatu konflik non international armed
conflict yang dianggap telah diinternasionalkan karena Negara yang diberontak
mengakui pemberontakan sebagai belligerent.23
7. Individu
Individu Sebagai Subyek Hukum Internasional Individu sebagai subyek
hukum internasional dikenal sejak terjadinya Perang Dunia I atas dasar perjanjian
perdamaian, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Chairul Anwar sebagai
berikut:

20 Abdul Muthalib, Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung:Percetakan
Unila, 2012, hlm. 44-45
21 Ibid, hlm. 45
22Charles G. Fenwick, Internasional Law, 3rd edition, New york: Appleton Century Croofts Inc,
1962, hlm. 146
23 Bandung, “Konflik bersenjata dalam hukum humaniter internasional”, Santina : jurnal ilmiah,
Volume 2 Nomor 3, Hlm. 294, 2005. E-Journal Online,

9

Individu biasanya tersangkut secara tidak langsung dalam hukum
internasional. Hubungan individu dengan hukum internasional biasanya
dilakukan melalui negara di mana individu tersebut menjadi warga negara.
Individu diberikan hak untuk mengajukan tuntutantuntutan yang timbul dari
Perjanjian Perdamaian Perang Dunia I, pada berbagai pengadilan yang
didirikan atas dasar perjanjian perdamaian tersebut.24
Apabila memperhatikan uraian Chairul Anwar di atas menunjukkan bahwa
individu sebagai subyek hukum internasional merupakan pengembangan dari
negara sebagai subyek hukum internasional. Hal ini nampak dari kalimat
“hubungan individu dangan hukum internasional biasanya dilakukan melalui
negara di mana individu tersebut menjadi warga negara”. Sebagai individu
mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan-tuntutan yang timbul akibat dari
perjanjian perdamaian pada pengadilan-pengadilan yang didirikan atas dasar
perjanjian internasional. Kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional
merupakan suatu perkembangan lebih lanjut dari negara sebagai subyek hukum
internasional.

B. Perkembangan Hukum Internasional
1. Hukum Internasional Klasik
a). India Kuno
Dalam kebudayaaan India kuno terdapat kaidah dan lembaga hukum yang
mengatur hubungan antara kasta, suku bangsa dan raja-raja. Menurut Bannerjce,
adat kebiasaan yang mengatur hubungan antar raja, yang disebut Desa Dharma.
Gautama Sutera dan undang-undang Manu memuat tentang hukum kerajaan.
Hukum yang mengatur hubungan antar raja-raja pada masa itu tidak dapat
dikatakan sebagai hukum internasional, karena belum ada pemisahan dengan
agama, soal-soal kemasyarakatan dan negara. Namun tulisan-tulisan pada waktu
itu sudah ada menunjukkan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara
raja atau kerajaan, seperti ketentuan yang mengatur kedudukan utusan raja dan
hak istimewa utusan raja, perjanjian dengan kerajaan lain, serta ketentuan perang
dan cara berperang.25
b). Cina Kuno
Cina memperkenalkan nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk
kelompok-kelompok berkuasa. Pembentukan sistim kekuasaan negara yang
bersifat regional tributary state. Pembentukan perserikatan negara-negara
Tiongkok yang dicanangkan oleh Kong Hu Cu.26
24 Chairul Anwar, Op.cit, hlm. 29
25 Mochtar Kusumaatmaja, dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Alumni, 2003, hlm.26
26 Ibid.

10

c). Yunani Kuno
Menurut Vinoggradoff, pada masa itu telah ada hukum intermunicipal,
yaitu kaidah-kaidah kebiasaan yang berlaku dalam hubungan antar negara-negara
kota, seperti ketentuan mengenai utusan, pernyataan perang, perbudakan tawanan
perang. Kaidah-kaidah intermunicipal juga diterapkan bagi masyarakat tetangga
dari negara kota. Namun kaidah intermunicipal sangat dipengrauhi oleh pengaruh
agama, sehingga tidak ada pemisahan yang tegas antara hukum. Moral, keadilan,
dan agama.27
Pembedaan golongan penduduk Yunani menjadi 2 (dua) yaitu : orang
Yunani dan orang bukan Yunani (Barbar). Pada masa itu juga, telah dikenal
ketentuan perwasitan dan wakil-wakil dagang (konsul). Sumbangan yang
terpenting bagi hukum internasional adalah konsep hukum alam, konsep ini
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh orang-orang Romawi.28
d). Romawi Kuno
Pada masa Romawi kuno, hukum yang mengatur hubungan antar kerajaan
tidak mengalami perkembangan karena masyarakat bangsa-bangsa adalah satu
imperium, yaitu Imperium Romawi. Sumbangan utama bangsa Romawi bagi
perkembangan hukum pada umumnya dan sedikit sekali bagi perkembangan
hukum internasional. Pada masa Romawi ini diadakan pembedaan antara Ius
Naturale dan Ius Gentium. Ius Gentium (hukum masyarakat) menunjukkan hukum
yang merupakan sub dari hukum alam (Ius Naturale). Pengertian Ius Gentium
hanya dapat di kaitkan dengan dunia manusia sedangkan Ius naturale (hukum
alam) meliputi seluruh penomena alam. Sumbangan bangsa Romawi terhadap
hukum pada umumnya yaitu dengan adanya the Corpus Juris Civilis, pada masa
Kaisar Justinianus. Konsep-konsep dan asas-asas hukum perdata yang kemudian
diterima dalam hukum internasional seperti occupation, servitut, bona fides, pacta
sunt servanda.

Pada masa kekuasaan Romawi, hukum internasional tidak mengalami
perkembangan Hal ini disebabkan karena adanya Imperium Romawi Suci (Holly
Roman Empire), yang tidak memungkinkan timbulnya suatu bangsa merdeka
yang berdiri sendiri, serta adanya struktur masyarakat eropa barat yang bersifat
feodal, yang melekat pada hierarki otoritas yang menghambat munculnya negaranegara merdeka, oleh karenanya tidak diperlukan hukum yang mengatur
hubungan antar bangsa-bangsa.29
2. Hukum Internasional Pada Abad ke 15 dan 16
Pada masa abad pertengahan atau biasa disebut sebagai the Dark Age (masa
27 J.G Starke, Op. cit, hlm. 9
28 Idem, hlm. 27
29 Idem, hlm. 8-9

11

kegelapan), hukum alam mengalami kemajuan kembali melalui transformasi di
bawah gereja. Peran keagamaan mendominasi sektor-sektor sekuler. Sistim
kemasyarakatan di Eropa pada waktu itu terdiri dari beberapa negara yang
berdaulat yang bersifat feodal dan Tahta Suci.
Pada masa itu muncullah konsep perang adil sesuai dengan ajaran kristen,
yang bertujuan untuk melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran
gereja. Selain itu, beberapa hasil karya ahli hukum memuat mengenai persoalan
peperangan, seperti Bartolo yang menulis tentang tindakan balas yang seimbang
(reprisal), Honore de Bonet menghasilkan karya The Tree of Battles tahun 1380.30
Meskipun pada abad pertengahan hukum internasional tidak mengalami
perkembangan yang berarti, sebagai akibat besarnya pengaruh ajaran gereja,
tetapi negara-negara yang berada di luar jangkuan gereja seperti di Inggris,
Perancis, Venesia, Swedia, Portugal, benih-benih perkembangan hukum
internasional mulai bermunculan. Traktat-traktat yang dibuat oleh negara lebih
bersifat mengatur peperangan, perdamaian, gencatan senjata dan persekutuanpersekutuan.
Melemahnya kekuasaan gereja yang ditandai dengan upaya sekulerisasi,
seperti yang dilakukan oleh Martin Luther sebagai tokoh reformis gereja, dan
seiring dengan mulai terbentuknya negara-negara moderen. Misalnya, Jean Bodin
dalam Buku Six Livers De la Republique 1576, mengemukakan bahwa
kedaulatan atau kekuasaan bagi pembentukan hukum merupakan hak mutlak
bagi lahirnya entitas suatu negara.
Pada abad ke l5 dan 16, telah terjadi penemuan dunia baru, masa
pencerahan ilmu dan reformasi yang merupakan revolusi keagamaan yang telah
memporakporandakan belenggu kesatuan politik dan rohani di Eropa dan
menguncangkan fundamen-fundamen umat Kristen pada abad pertengahan.

3. Hukum Internasional Moderen
a). Pada abad ke-17 dan ke-18
Hukum bangsa-bangsa mempunyai nama baru sebagai hukum
internasional.31 Pengertian baru ini berpengaruh pada isi hukum internasional itu
sendiri, yaitu adanya pemisahan antara persoalan domestik dengan internasional.
Pembedaan ini sebagai akibat munculnya konsep kedaulatan dari perjanjian the
30 Tontowi Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung :Refika
Aditama, 2006, hlm. 34
31 Idem, hlm. 34

12

Peace of Westphalia yang ditujukan untuk mengakhiri perang antar kelompok
antar agama yang berlangsung lebih dari 30 tahun di Eropa.32
Ada kecendrungan dari para ahli hukum untuk lebih mengemukakan
kaidah-kaidah hukum internasional terutama dalam bentuk traktat dan kebiasaan
dan mengurangi sedikit mungkin hukum alam sebagai sumber dari prinsip-prinsip
tersebut.33 Para penulis terkemuka pada abad ke 17 dan 18 antara lain : Cornelis
Van Bynkershoek (1673-1743), yang mengemukakan pentingnya actual practice
dari negara-negara dari pada hukum alam. Sumbangan pemikiran lainnya teori
tentang hak dan kewajiban dari negara netral. Christian Wolf (1632-1694),
mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang sebagai negara dunia
meliputi negara-negara dunia. Von Martens (1714-1767), dalam Receuil des
Traites yaitu suatu kumpulan perjanjian yang masih merupakan suatu kumpulan
berharga hingga sekarang. Emmerich De Vattel (1714-1767) memperkenalkan
prinsip persamaan antar negara-negara.
b). Pada abad ke-19
Hukum internasional berkembang lebih jauh lagi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi perkembangan ini adalah adanya kebangkitan negara-negara baru,
baik di dalam maupun di luar benua Eropa, Moderenisasi sarana angkutan dunia,
penemuan-penemuan baru, terutama di bidang persenjataan militer untuk
perang. Kesemuanya itu menimbulkan kebutuhan akan adanya sistem hukum
internasional yang
bersifat tegas untuk mengatur hubungan-hubungan
internasional tersebut. Pada abad ini juga mengalami perkembangan kaidahkaidah tentang perang dan netralitas, serta meningkatnya penyelesaian perkaraperkara internasional melalui lembaga Arbitrase internasional. Praktek negaranegara juga mulai terbiasa dengan pembuatan traktat-traktat untuk mengatur
hubungan-hubungan antar negara. Hasil karya para ahli hukum, lebih
memusatkan perhatian pada praktek yang berlaku dan menyampingkan konsep
hukum alam, meskipun tidak meninggalkan pada reason dan justice, terutama
apabila sesuatu hal tidak diatur oleh traktat atau kebiasaan.34

c). Abad ke-20 dan Dewasa ini
Hukum internasional mengalami perkembangan yang cukup penting Pada
abad ini mulai dibentuk Permanent of Court Arbitration pada Konferensi Hague
1899 dan 1907. Pembentukan Permanent Court of International Justice sebagai
pengadilan yudisial internasional pada tahun 1921, pengadilan ini kemudian
digantikan oleh International Court of Justice tahun 1948 hingga sekarang.
Terbentuk juga organisasi internasional yang fungsinya menyerupai pemerintahan
32 Idem, hlm. 40
33 J.G Starke, Op. cit, hlm.13
34 Idem, hlm. 8

13

dunia untuk tujuan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia, seperti Liga
Bangsa Bangsa, yang kemudian digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Adanya perluasan ruang lingkup traktat multiulateral tidak saja dibidang sosial
ekonomi tetapi juga mencakup perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebesasan
fundamental individu. Para ahli hukum internasional lebih memusatkan perhatian
pada praktek-praktek dan putusan-putusan pengadilan.35
Beberapa persoalan hukum internasional yang kerap kali timbul dalam
hubungan internasional antara lain adalah klaim ganti kerugian yang menimpa
warga negara suatu negara di negara lain, penerimaan dan pengusiran warga asing
oleh suatu negara, persoalan nasionalitas, pemberlakuan extrateritorial beberapa
perundangan nasional, penafsiran perjanjian internasional, serta pemberlakuan
suatu perjanjian yang rumit diberlakukan sebagian besar negara di bidang
perdagangan, keuangan, pengangkutan, penerbangan, energi nuklir. Pelanggran
hukum internasional yang berakibat perang, perlucutan senjata dan perdagangan
senjata ilegal. (Ibid: 18). Berbagai persoalan di atas menunjukkan bahwa hukum
internasional tetap diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi
dalam hubungan internasional Hukum iunternasional diharapkan dapat mengatur
dan memberikan penyelesaian hukum yang tepat dan adil sehingga dapat diakui
dan diterima oleh negara-negara atau pihak-pihak yang bertikai, tidak
bertentangan dengan perundangan nasional suatu negara, dalam suatu tatanan
sistim hukum internasional yang bersifat global.

C. Sumber Hukum Internasional
Sumber-sumber hukum intenasional berupa sumber hukum formal dan
material. Sumber hukum formal menetapkan apa yang merupakan hukum
sedangkan sumber material hanya menunjukan di mana hukum itu dapat
ditemukan.36
1. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional.
Perjanjian internasional memegang peranan penting dalam mengatur pergaulan
internasional antara subjek-subjek hukum internasional pada umumnya.
Dibandingkan dengan sumber-sumber hukum internasional lainnya, perjanjian
internasional lebih memberikan jaminan kepastian hukum kepada pada pihak yang
terikat di dalamnya. Sebab dengan bentuknya yang tertulis dimana hak-hak dan
kewajiban para pihak secara jelas dirumuskan, akan lebih memudahkan dalam
pelaksanaannya.37 Dapat dikatakan bahwa di dalam tubuh hukum internasional
35 Ibid, hlm. 14-15
36 Rebecca M. M Wallace, Hukum Internasional, Semarang: Sweet & Maxwell, 1986), hlm. 9
37 Jakarta Asosiasi Peneliti Hukum Indonesia, “Praktek pengesahan perjanjian internasional
kedalam hukum nasional: suatu analisis terhadap penggunaan doktrin monisme dan dualisme”
Jurnal penelitian hukum APHI: De Jure, Volume 10 Nomor 3, Hlm.308, 2010. E-Journal Online,


14

terdapat perjanjian internasional. Perjanjian Internasional adalah perjanjan yang
diadakan antara anggota masyarakat bangsa–bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Hukum Perjanjian Internasional
yang diadakan di Vienna di tahun 1968 menyatakan bahwa konvensi ini hanya
mengatur perjanjian–perjanjian antara negara . Maksutnya bukan untuk
mengatakan bahwa hanya negaralah yang dapat menjadi peserta dalam perjanjan–
perjanjian internasional, melainkan konpereni menganggap perlu untuk mengatur
perjanjian–perjanjian yang diadakan oleh organisasi – organisasi atau badan
internasional secara tersendiri .38
Dalam setiap perjanjian termasuk perjanjian internasional terdapat asasasas yang dijadikan sebagai landasan dalam pelaksanaannya. Adapun asas yang
paling fundamental adalah asas pacta sunt servanda, yaitu bahwa janji mengikat
sebagaimana undang-undang bagi yang membuatnya.39
Dalam praktik Indonesia, sekalipun suatu perjanjian internasional telah
diratifikasi dengan UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk
mengimplementasikannya pada domain hukum nasional, misalnya UNCLOS
1982 yang diratifikasi oleh UU No. 171985 tetap membutuhkan adanya UU
No.6/1996 tentang perairan. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional
yang diratifikasi namun langsung dijadikan dasar hukum untuk implementasi,
seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang
diratifikasi dengan UU No.1/1982.40
Status perjanjian internasional di Indonesia adalah non-self-executing
karena perjanjian internasional yang telah diratifikasi tidak dapat
diimplementasikan secara langsung di pengadilan nasional sebelum adanya
implementing legislation.41
2. Kebiasaan Internasional
Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan Internasional itu merupakan sumber
hukum perlu terdapat unsur – unsur sebagai berikut :
a. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum ,
b. Kebiasaan itu harus diterima seabagi hukum .
Agar kebiasaan Internasional itu merupakan sumber Internasional harus
dipenuhi dua unsur , yang msing – masing dapat dinamakan unsur materiil dan
38 Konperensi Vienna tahun 1969 ini menghasilkan Konvensi Vienna mengenai Hukum
Perjanjian, tahun 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties , 1969)
39 Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum , “Keberadaan Asas Sunt Servanda dalam
Perjanjian Internasional”, Mimbar Hukum: Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM, Volume 21
Nomor 1 Februari 2009, Hlm. 157, 2009. E-Journal Online,
40 Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Universitas Indonesia, “Status hukum perjanjian
internasional dalam hukum nasional RI: tinjauan dari perspektif praktik Indonesia” Jurnal hukum
internasional, Volume 5 Nomor 3 Hlm.492, 2008
41 Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, “Status hukum internasional dalam sistem hukum
di Indonesia”, Mimbar hukum : jurnal berkala Fakultas Hukum UGM, Volume 21 Nomor 2, Hlm.
339, 2009. E-Journal Online,

15

unsur psychologis, yaitu kenyataan adanya kebiaaan yang bersifat umum dan
diterimanya kebiasaan Internasional itu sebagai hukum.
3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Asas-asas hukum umum adalah azas-azas hukum yang mendasari sisitem
hukum modern . Yang dimaksudkan dengan sistem hukum modern adalah sistim
hukum positif yang didasarkan atas azas-azas dan lembaga-lembaga hukum
negara Barat yang untuk sebagian besar didasrkan atas azas-azas dan lembaga
-lembaga hukum Romawi.
4. Sumber Hukum Tambahan : Keputusan Pengadilan Dan Pendapat Para Sarjana
Yang Terkemuka Dari Bangsa -Bangsa Di Dunia.
Keputusan-keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana merupakan
sumber subsidier atau sumber tambahan. Artinya keputusan-keputusan pengadilan
dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaedah
hukum internasional mengenai sesuatu persoalan yang didasarkan atas sumber
-sumber primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan azas-azas hukum
umum . Keputusan-keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri
tidak mengikat artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaedah hukum. Dalam
sistem peradilan menurut piagam Mahkamah Internasional tidak dikenal azas
keputusan pengadilan yang mengikat (rule of binding precedent) . Walaupun
keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat , namun keputusan –
keputusan pengadilan internasional, terutama Mahkamah Internasional Permanen
(Permanent Court of International Justice), Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) dan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent
Court of Arbitration) mempunyai pengaruh besar di dalam perkembangan hukum
internasional.
Mengenai sumber hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran-ajaran sarjana
hukum terkemuka dapat dikatakan bahwa penelitian dan tulisan-tulisan yang
dilakukan oleh para sarjana terkemuka sering dapat dipakai sebagai pegangan atau
pedoman untuk menemukan apa yang menjadi hukum internasional, walaupun
ajaran – ajaran para sarjana itu sendiri tidak menimbulkan hukum. Contohnya
adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang menjadi anggota Panitia
Hukum Internasional (International Law Commission) Perserikatan Bangsa
Bangsa.
5. Keputusan-Keputusan Badan- Badan Perlengkapan (Organs) Dari Organisasi
Dan Lembaga-Lembaga Internasional
Munculnya berbagai organisasi internasional antar pemerintah baik yang bersifat
universal maupun regional memiliki pengaruh besar dalam perkembangan hukum
internasional . Hal ini disebabkan organisasi-organisasi ini melalui badan-badan
perlengkapannya baik badan legislative, eksekutif , maupun yudikatif memliki
kewenangan untuk mengeluarkan berbagai keputusan – keputusan , yang berlaku
bagi organisasi itu sendiri , maupun yang berlaku terhadap anggota – anggotanya ,

16

walaupun putusan organisasi tersebut belum dapat dikatakan sebagai sumber
hukum internasional.

D. Teori Hukum Internasional
1. Teori hukum alam
Teori Hukum alam ( natural law ) merupakan teori tertua . Ajaran ini
memiliki pengaruh yang sangat besarr atas hukum internasional sejak
pertumbuhannya . Menurut penganut ajaran hukum alam , hukum internasional itu
mengikat karena :
a) Hukum internasional itu tidak lain daripada “hukum alam” yang diterapkan
pada kehidupan bangsa – bangsa , atau dengan perkataan lain ,
b) Negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan
antara mereka satu sama lain , karena hukum internasional itu merupakan
bagian dari hukum yang tertinggi yaitu hukum alam.42
2. Teori Positivisme
Aliran ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional atas
kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional . Menurut
penganut positivis , “pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber segala
hukum , dan hukum internasional ini mengikat karena negara itu atas kemauan
sendiri mau tunduk pada hukum internasional”. Teori kehendak / kemauan negara
ini juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu :
a) Mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya
hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara itu dapat
mengikat negara – negara ;
b) Bagaimana apabila suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya
untuk mau terikat pada hukum tersebut ?
c) Teori ini tidak dapat menjawab pertanyaan , mngapa suatu negara yang
baru merdeka dan berdiri di tengah – tengah masyarakat internasional
sudah terikat oleh hukum internasional , terlepas dari mau atau tidaknya
tunduk pada hukum tersebut ?
d) Teori ini juga tidak dapat menerangkan adanya hukum kebiasaan yang
mengikat negara – negara .
Kelemahan dan keberatan terhadap ajaran di atas dicoba untuk diatasi oleh Triepel
dalam bukunya “ Volkerrecht un Landesrecht “ (1899) , yang menyandarkan
kekuatan mengikatnya hukum internasional pada kemauan bersama negara –
negara . Teori – teori yang mendasarkan kekuatan mengikat / berlakunya hukum
internasional atas kehendak / persetujuan negara , pada dasarnya memandang
42 Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia Dan Perkembangan Hukum Laut Dewasa Ini Jakarta:
Departemen Luar Negeri, Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri, 1977,
hlm. 33

17

hukum internasional itu sebagai hukum perjanjian antar negara – negara . Adapun
yang dianggap sebagai kaidah dasar adalah asas ” pacta sunt servanda “ sebagai
kaidah dasar hukum internasional , khususnya hukum perjanjian internasional .
3. Teori Kenyataan Sosial (feit social)
Teori lain yang berusaha menerangkan kekuatan mengikatnya hukum
internasional terhadap negara–negara adalah teori yang menghubungkannya
dengan “kenyataan hidup manusia” , yang disebutnya dengan mazhab Perancis .
Pemuka mashab ini antara lain Fauchile , Scelle , dan Duguit yang mendasarkan
kekuatan mengikat hukum intenasional (juga hukum pada umumnya) pada “
factor biologis , sosial , dan sejarah kehidupan manusia “ yang dinamakan fakta
kemasyarakatn (fait social) . Dasar kekuatan mengikat hukum (internasional)
terdapat dalam kenyataan sosial , bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu
untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup
bermasyarakat.43

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat penulis simpulkan bahwa:
1. Subyek hukum internasional terdiri dari Negara, Tahta Suci, Palang
Merah Internasional, Organisasi Internasional, Pihak Berperang
(Belligerent), Organisasi pembebasan atau bangsa-bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan, Individu, Perusahaan yang merupakan
badan hukum inyernasional Otorita. Namun diantara semua subjek
hukum internasional tersebut yang paling utama adalah Negara.
43 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Op.cit, hlm.38

18

2. Perkembangan hukum internasional terdiri dimulai dari hukum
internasional klasik yang dibagi kedalam tiga masa yaitu India kuno,
Cina kuno , Romawi kuno, dan Yunani kuno, Kemduian hukum
internasional pada abad ke-15 dan 16, serta Hukum Internasional Modern
3. .Sumber hukum internasional teridiri dari perjanjian internasional,
kebiasaan internasional, Prinsip-prinsip hukum umum dan juga terdapat
sumber hukum tambahan yaitu Keputusan Pengadilan dan pendapat para
sarjana yang terkemuka dari bangsa -bangsa di dunia.
4. Terdapat beberapa teori yaitu teori hukum alam, teori positivisme, dan
teori kenyataan social yang mendukung bahwa hukum internasional
merupakan hukum serta memiliki kekuatan mengikat.
B. SARAN
Sebagai akhir dari penulisan makalah ini, maka penulis merekomendasikan
yaitu Pertama, Hukum internasional yang merupakan hokum yang bersumber dari
perjanian internsional, kebiasaan internasional, prinsip hukum umum yang diakui
oleh bangsa-bangsa yang beradab, keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana
yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan
kaidah hokum sebaiknya ditaati oleh subyek-subyek hokum internasional itu
sendiri.
Kedua, Sebagai suatu hukum yang mengatur hubungan hukum yang
melintasi batas-batas antara Negara dengan Negara, Negara dengan subjek hukum
bukan Negara, dan subjek hukum bukan Negara satu sama lain maka diharapkan
hukum internasional dapat mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Anwar, Chairul. Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Jakarta:
Djambatan, 1988.

19

Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: Rajawali
Pers, 1991.
G. Fenwick, Charles. Internasional Law, 3rd edition. New york: Appleton Century
Croofts Inc, 1962.
G Starke, J. Pengantar Hukum Internasional Jilid I. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:
Binacipta, 1997.
Jawahir, Tontowi dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontempore.
Bandung :Refika Aditama, 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar. Indonesia Dan Perkembangan Hukum Laut Dewasa
Ini. Jakarta: Departemen Luar Negeri, Badan Penelitian dan Pengembangan
Masalah Luar Negeri, 1977.
Kusumaatmaja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional.
Bandung: Alumni, 2003.
Muthalib, Abdul. Hukum Internasional
Lampung:Percetakan Unila, 2012

dan

Perkembangannya,

Bandar

Muthalib Tahar, Abdul. Hukum Internasional. Lampung: Percetakan Unila,
2010.
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Organisasi Internasional. Bandung: Alumni,
1997.
Tasrif, S, Pengakuan Internasional dalam Teori dan Praktek. Jakarta:Media Raya,
1966.
Wayan, I Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju,
1990.

JURNAL

Bandung, “Konflik bersenjata dalam hukum humaniter internasional”, Santina :
jurnal ilmiah, Volume 2 Nomor 3, Hlm. 294. 2005. E-Journal Online,

Jakarta Asosiasi Peneliti Hukum Indonesia, “Praktek pengesahan perjanjian
internasional kedalam hukum nasional: suatu analisis terhadap

20

penggunaan doktrin monisme dan dualisme” Jurnal penelitian hukum
APHI: De Jure, Volume 10 Nomor 3, Hlm.308, 2010. E-Journal Online,
< http://isjd.pdii.lipi.go.id/>
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Lampung, “Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Organisasi
Internasional”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4 Juli 2006,
Hlm. 497, 2006.
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Universitas Indonesia, “Kedudukan
hukum internasional dalam sistem hukum nasional”, Jurnal hukum
internasional, Volume 5 Nomor 3, Hlm. 506, 2008.
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Universitas Indonesia, “Status hukum
perjanjian internasional dalam hukum nasional RI: tinjauan dari perspektif
praktik Indonesia” Jurnal hukum internasional, Volume 5 Nomor 3
Hlm.492, 2008
Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum , “Keberadaan Asas Sunt Servanda
dalam Perjanjian Internasional”, Mimbar Hukum: Jurnal Berkala Fakultas
Hukum UGM, Volume 21 Nomor 1 Februari 2009, Hlm. 157, 2009. EJournal Online,
Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, “Status hukum internasional dalam
sistem hukum di Indonesia”, Mimbar hukum : jurnal berkala Fakultas
Hukum UGM, Volume 21 Nomor 2, Hlm.339, 2009. E-Journal Online,

Universitas Warmadewa Fakultas Hukum, “Implikasi yuridis keterlibatan
Indonesia dalam organisasi perdagangan internasional”, Kertha wicaksana
: majalah ilmu hokum, Volume 18 Nomor 1, Hlm.30, 2012. E-Journal
Online,