DIMENSI EPISTEMOLOGI ILMU DALAM PERSPEKT (1)

DIMENSI EPISTEMOLOGI ILMU DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
Farida Deni Indriana
Faridadeniindriana59@gmail.com
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
PENDAHULUAN
Manusia hidup di dunia ini memerlukan informasi untuk mengetahui keadaan lingkungan sekitar
mereka. Dalam upaya untuk memperoleh informasi, manusia seringkali melakukan komuniksi
ataupun cara-cara lain yang bisa digunakan. Salah satu informasi yang didapat dari komunikasi
adalah pengetahuan. Pengetahuan sangat diperlukan bagi kehidupan manusia. Karena dapat
memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan, tak jarang manusia harus mempelajari
Epistemlogi. Epistemologi disebut juga sebagai teori pengetahuan karena mengkaji seluruh tolok
ukur ilmu manusia,termasuk ilmu logika.
Epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit karena
menekankan kepada kebenaran pengetahuan. Selain itu pengetahuan merupakan hal yang sangat
abstrak. Dalam hal ini Epistemologi yang berhubungan erat dengan filsafat dapat diibaratkan
seperti pohon dengan rantingnya. Pohon filsafat memiliki cabang-cabang berupa subdisiplin:
filsafat ilmu, etika, estetika, filsafat antropologi dan metafisika. Cabang disiplin filsafat ilmu
tersebut akhirnya memiliki ranting-ranting dan sub-sub disiplin yakni logika, ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Namun ruang lingkup filsafat ilmu dapat disederhanakan menjadi
tiga pertanyaan mendasar, yakni : apa yang ingin diketahui (ontologi), bagaimana cara

memperoleh pengetahuan-pengetahuan (epistemologi), dan apakah nilai pengetahuan tersebut
bagi manusia (aksiologi). Ketiganya saling berkaitan dan jika ingin membicarakan epistemologi
ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Epistomologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan cara
memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat dari apa yang
telah difikirkan
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata“Episteme” yang
berarti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, pikiran, ilmu. Epistemologi dapat diartikan
sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). Kata“episteme” dalam bahasa Yunani
berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka,
secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan

sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Selain kata “episteme” untuk kata pengetahuan dalam
bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah epistemology dalam sejarah pernah juga
disebut dengan gnoseologi yang artinya teori pengetahuan. Istilah epistemology Secara
terminologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang
pengetahuan.1
Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya
seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaanpertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia

mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk
menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan
masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam
epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan
antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciriciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya
diperoleh dan diuji kebenarannya? Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji
pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya
pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban secara rasional terhadap klaim
kebenaran dan objektivitasnya.2 Epistemologi tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan
tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi,tetapi perlu membuat penentuan mana
yang benar dan mana yang keliru.
Dalam epistemologi peroses terjadinya pengetahuan menjadi masalah yang paling mendasar,
sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatannya. Pandangan yang sederhana dalam
memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik apriori maupun
aposteriori. Pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui
pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin. Sedangkan aposteriori adalah
pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.
EPISTEMOLOGI FILSAFAT
Epistemelogi filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat yaitu segala sesuatu yang di

pikirkan, cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran pengetahan filsafat.3
1) Objek Filsafat

1 J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta : Kanisius,2002), hlm. 18.
2 Ibid.
3 Ahmad Tafsir, Filsafar Ilmu (Mengurai Ontologi,Epistemologi,dan Aksiologi Pengetahuan),
(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 27.

Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya,yang terdalam. Jika hasil
pemikiran itulah sistematika flsafat. Sistematika atau struktur filsafat dalam garis besar terdiri
dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Isi setiap cabang filsafat di temukan oleh objek apa
yang di teliti (pemikirannya),jika ia memikirkan pandidikan maka jadilah filsafat pendidikan,
jika yang di pikirkannya adalah hukum maka hasilnya tentulah filsafat hukum, dan begitu juga
seterusnya. Seberapa luas yang kemungkinaan dapat di pikirkan? luas sekali.yaitu semua yang
ada dan mungkin ada, inilah objek filsafat.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang
empiris (nyata),karena formula utama dalam pengetahuan sain ialah buktikan bahwa itu rasional
dan tunjukkan bukti empirisnya. Sedangkan filsafat meneliti objek-objek yang abstrak, yang ada
dan mungkin ada. Paradigmanya ialah paradigm rasional dan metodenya metode rasional. Ada
kalanya pengetahuan filsafat itu berada di level supra rasional,4 oleh karena itu objek abstrak

supra rasional itu dapat diketahui dengan menngunakan rasa, bukan panaca indera dan atau akal
rasional.
2) Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu
diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya
kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita. Pengetahuan yang ada
pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan
tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain :
A. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia
memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada Yunaninya,
pengalamn yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. 5 Orang sering merasa bahwa pengindraan
adalah alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Memang dalam hidup manusia
tampaknya pengindraan adalah satu-satunya alat untuk menyerap segala objek yang ada di luar
diri manusia. Bahkan dalam Al-qur’an ada beberapa ayat yang memerintahkan manusia agar
menggunakan pancaindranya dalam mencari kebenaran di alam semesta.
‫أأولم يروا إلى الرض كم أنبتنا فيها من كل زوج كريم‬
Dan apakah mereka tidak melihat ke bumi, beraakah banyaknya Kami telah tumbuhkan di
sana dari setiap pasang 9tumbuhan) yang tumbuh subur lagi bermanfaat. (QS. Al-Syuara :7)6
4 Ibid, hlm. 9

5 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004),hlm. 98

Manusia mempunyai 5 pengindraan,yaitu indra penglihatan-mata, pendengarantelinga,penciuman-hidung,peraba-kulit,perasa-lidah. Mata, misal fisiknya melainkan juga
warnanya. Selanjutnya gelombang cahaya yang masuk ke retina ternyata mampu diterjemahkan
oleh mata sebagai warna dan bentuk benda-benda.7
Meskipun demikian,dalam tilikan ilmuwan Muslim, kapasitas indra-indra kita mempunyai
banyak kelemahan sehingga membuat informasi mereka sering tidak bisa dipercaya,kelemahankelemahan itu antara lain8 :
a) Indera terbatas,benda yang jauh kelihatan kecil,apakah ia benar-benar kecil? Ternyata
tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu, dari sinin akan terbentuk
pengetahuan yang salah.
b) Indera menipu,pada orang yang sakit,gula rasanya pahit,udara akan terasa dingin. Ini
akan menimbulkan pengetahuan yang empiris yang salah juga.
c) Objek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak
sebagaimana ia ditangkap oleh indera, ia membohongi indera.
d) Berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (mata) tidak mampu
melihat seekor kerbau secara keseluruhan,dan kerbau itu juga tidak dapat
memeperlihatkn badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya adalah empirisme lemah
karena keterbatasan indera manusia.
B. Rasionalisme
Secara umum, rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio)

sebagai sumber utama pengetahuan. Ini berarti bahwa sumbangan akal lebih besar daripada
sumbangan indra, sehingga dapat diterima adanya struktur bawaan (ide, kategori). Oleh
rasionalisme bahwa mustahillah ilmu dibentuk hanya berdasarkan fakta dan data empiris
(pengamatan).
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat
dikoreksi seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam
memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan
memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Laporan indera menurut
rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas,bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan
oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk
pengetahuan yang benar. Jadi fungsi panca indera hanyalah untuk memperoleh data-data dari
alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan lainnya.

6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran,
(Jakarta : Lentera Hati.2002), hlm. 367.
7 Zaprulkhan, Filsafat Islam (Sebuah Kajian Tematik), (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2014),hlm. 213.
8 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.. 102

C. Intuisi

Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia melalui proses kejiwaan tanpa suatu
rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan berupa pengetahuan. Pengetahuan
yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena
pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu. Dengan demikian, peran intuisi
sebagai sumber pengetahuan adalah adanya kemampuan dalam diri manusia yang dapat
melahirkan pernyataan-pernyataan berupa pengetahuan.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan
secara teratur,intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai
hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang
dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan
kebenaran.
D. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para
nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya,tanpa bersusah payah,tanpa
memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan
semesta. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan,karena
pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya,karena
hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusiia tidak ada jalan kecuali menerima dan
membenarkan semua yang berasal dari Nabi.
Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang

disampaikan itu. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan
melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan,
karena kita mengenal sesuatu dengan melalui kepercayaan kita.
3) Ukuran Kebenaran Filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini menjelaskan
bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak
logis, salah. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan hanya logis. Bila logis dan
empiris,itu adalah pengetahuan sains.
Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya tersebut
akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu. Fungsi argumen dalam
filsafat sangatlah penting,sama dengan fungsi data pada pengetahuan sain, argument itu terjadi
kesatuan dengan konklusi,konklusi itulah yang di sebut ilmu filsafat. Bobot teori filsafat justru

terletak pada kekuatan argumen, bukan pada kehebatan konklusi. Karena argumen itu menjadi
kesatuan konklusi,maka boleh juga di terima pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu
argumen kebenaran konklusi di tentukan 100% oleh argumennya.9
Dalam dunia ilmu dikenal tiga pandangan mengenai pengujian kebenaran ilmiah sebagai berikut:
a) Teori Koresponden (Uji Persamaan dengan Fakta)
Menurut teori ini, suatu pernyataan pengetahuan (sepertinya yang dinyatakan dalam hipotesis)
bisa diterima kebenarannya secara ilmiah apabila ia dapat dibuktikan bersesuaian kebenarannya

dengan obyek empirik yang dinyatakannya.
b) Teori Koherensi (Uji Konsistensi)
Teori ini menyatakan suatu pernyataan pengetahuan dapat diterima kebenarannya secara ilmiah
apabila pernyataan pengetahuan tersebut menunjukkan koheren dengan teori-teori ilmiah yang
kebenarannya telah diterima sebelumnya.
c) Teori Pragmatik (Uji Kemanfaatan)
Teori ini menilai kebenaran suatu pernyataan pengetahuan secara ilmiah apabila pernyataan
pengetahuan tersebut memang potensial digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan
kehidupan secara berguna.
d) Agama sebagai teori kebenaran
Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia, baik tentang alam,manusia,maupun tentang Tuhan,dalam agama yang
dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. Menurut teori ini suatu hal dianggap
benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Oleh
karena itu,sangat wajar ketika Imam Al-Ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemuan
akalnya dalam mencari suatu kebenaran. Akhirnya Al-Ghazali sampai pada kebenaran yang
kemudian dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang panjang. Tasawuflah yang
menghilangkan keraguan-raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama ini lah yang
dianggap oleh kaum sufi sebagai kebenaran mutlak,yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat
diganggu gugat lagi.10

LANDASAN EPISTEMOLOGIS
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam
menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang
didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum
dalam metode ilmiah.
9 Ahmad Tafsir, Filsafar Ilmu (Mengurai Ontologi,Epistemologi,dan Aksiologi
Pengetahuan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 88.
10 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 122.

Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada
metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan,
yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal,
indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,diantaranya adalah:
1.

Metode induktif


Induksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David Hume (1711-1716),
pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar jumlahnya, secara logis tak
dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas.
2.

Metode Deduktif

Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Pendekatan
sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional dengan pengertian lain disebut
dengan metode deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh
Aristoteles. Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik
menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka harus ada
pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau dasar
berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan
premis minor yang merupakan bagian dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik
kesimpulan deduktif.
3.

Metode Positivisme

Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang
telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian atau persoalan di
luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara
positif adalah segala yang tampak dan segala gejala. Usaha mencapai pengenalan yang
mutlak,baik pengetahuan teologis maupun metafisis dipandang tak berguna,tidaklah berguna
melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam,melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang
penting adalah menemukan hukum-hukum alam dengan pengamatan dan penggunaan akal.
4.

Metode Kontemplatif

Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu
kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
5.

Metode Dialektis

Merupakan metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.
PERBANDINGAN EPISTEMOLOGI BARAT DAN PERSPEKTIF ISLAM
Secara sangat jelas epistemologi barat meletakkan pandangan bahwa pencapaian pengetahuan
ilmiah semata-mata merupakan fungsi dari bekerjanya indera dan akal manusia. Hal ini
ditunjukkan oleh filsafat rasionalisme dan empirisme secara sendiri-sendiri, maupun oleh
kritisisme secara bersama-sama. Pengetahuan filsafat barat hanya meletakkan pengetahuan
ilmiah (ilmu pengetahuan sains) secara sempit dalam wilayah keterjangkauan indera lahiriah
dan/atau kemampuan rasional manusia. Pandangan epistemologi Islam sebenarnya juga
meletakkan pandangan bahwa pengetahuan ilmiah dapat dicapai antara lain dengan indera dan
akal. Akan tetapi penggunaan indera dan akal tidak ditetapkan secara mutlak berlaku untuk
seluruh obyek pengetahuan, dan indera serta akal itu sendiri mempunyai pengertiannya yang
berbeda secara mendasar dengan pandangan epistemology barat.
Pertama mengenai indera. Dalam hal ini epistemologi Islam meletakkan pandangan adanya dua
kategori indra yaitu indera lahiriah dan indera batiniah (indera kalbu). Indera batiniah (fuad)
inilah yang tidak dikenal dalam epistemology barat. Padahal dalam rangka berpengatahuan,
peranan indera batiniah ini sangat jelas, yaitu untuk mempersepsi realitas non fisik.
Selanjutnya mengenai akal. Filsafat barat mengenai akal identik dengan otak pada manusia
dengan keseluruhan fungsi sistem sarafnya. Apa yang dipahami oleh filsfat barat sebagai yang
masuk akal atau rasional adalah hubungan-hubungan logis (dedukatif maupun induktif) yang
kemudian dikembangkan pemahamannya.
Dalam Konsep epistemologi Islami yang telah dikemukakan di atas, akal adalah sekedar sebuah
benda secara terminologis yang sesungguhnya menunjuk pada qalb (hati).

KESIMPULAN
Epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar. Epistomologi
atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan cara memperoleh
pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat dari apa yang telah difikirkan.
Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge).
Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan
sumber pengetahuan tersebut,antara lain adalah pengalaman indera,akal,intuisi dan juga wahyu
dari Tuhan. Dan pengetahuan filsafat tersebut dapat diukur kebenarannya dengan syarat bahwa
pengetahuan filsafat tersebut harus pengetahuan yang logis tidak empiris. Bila logis benar, bila
tidak logis, salah. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan hanya logis. Bila logis
dan empiris,itu adalah pengetahuan sains. Kebenaran teori filsafat ini ditentukan oleh logis

tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan
kesimpulan (teori) itu.
Dalam menyusun sebuah pengetahuan dan mencari kebenarannya kita perlu menggunakan
landasan epistemologi. Landasan epistemologi ini disebut metode ilmiah, yaitu cara yang
dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah yang harus disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Perbandingan epistemologi barat dan islam adalah terletak pada penggunaan sumber-sumber
pengetahuan. Epistemologi barat berpandangan bahwa pencapaian pengetahuan ilmiah sematamata merupakan fungsi dari bekerjanya indera dan akal manusia. Sedangkan epistemologi Islam
berpandangan bahwa pengetahuan ilmiah dapat dicapai antara lain dengan indera dan akal. Akan
tetapi penggunaan indera dan akal tidak ditetapkan secara mutlak berlaku untuk seluruh obyek
pengetahuan,melainkan berpedoman terhadap wahyu Tuhan juga sebagai kebenaran yang hakiki
dan mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, 2004, Filsafat Ilmu, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
J. Sudarminta, 2002, Epistemologi Dasar, Yogyakarta : Kanisius.
M. Amin Abdullah, 2008, Aspek Epitomologis Filsafat Islam, Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Syah Budi, Epistemologi Perspektif Islam dan Barat, e-jurnal.stain-sorong.ac.id/index.php/
Tasamuh/article/dowload/132/104. (diakses tgl 12 maret 2017.21.58)
Tafsir, Ahmad, 2004, Filsafar Ilmu (Mengurai Ontologi,Epistemologi,dan Aksiologi
Pengetahuan), Bandung : Remaja Rosdakarya.
Watloly, Aholiab, 2001, Tanggung Jawab Pengetahuan (Mempertimbangkan Epistemologi
secara Kultural), Yogyakarta : Kanisius.
Zaprulkhan, 2014, Filsafat Islam (Sebuah Kajian Tematik), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran. Jakarta :
Lentera Hati. 2002.