PERBEZAAN PERJALANAN TRANSAKSI DALAM TAW
1
PERBEZAAN PERJALANAN TRANSAKSI DALAM TAWARRUQ
(TAWARRUQ HAQIQI, TAWARRUQ MUNADZOM DAN BAI’ AL INAH)
1. PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya perbankan syariah, mau tidak mau produk-produk perbankan
syariah pun harus dikembangkan. Pengelolaan Keuangan dan perbankan pada prinsipnya
untuk memenuhi keinginan 3 (tiga) pihak, yaitu pemegang saham,investor dan pendukung
Usaha (pengurus perusahaan) . Sistem keuangan dan perbankan Islam harus mencakup
sleuruh bidang keuangan dan perbankan modern.
Dalam makalah ini, pemakalah akan mengupas tentang Bi’ Al-Inah, Bai’ Tawarruq
dan Bai’ Al-Dayn. Dimana ketiga pembahasan ini merupakan salah satu aplikasi dalam
bentuk produk di dalam Perbankan yang berbasisi syariah.untuk lebih jelasnya akan
dibahas dalam isi makalah ini.
2. Pengertian Bai’ Tawarruq
Tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang
menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan
kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan
harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingg apembeli
pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[5]
Dalam Bahasa Arab, akar kata dari tawaruq adalah “wariq” (Ibn Faris, 1984). yang
artinya : simbol atau karakter dari perak (silver). Kata tawarruq ini di gunakan untuk
mengartikan, mencari perak, sama dengan kata Ta allum,yang arti nya mencari ilmu, yaitu
belajar atau sekolah. Kata Tawarruq dapat di arti kan dengan lebih luas yaitu mencari uang
tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin yang lain
nya. Secara literatur arti nya adalah berbagai cara yang di tempuh untuk mendapat kan uang
tunai atau likuditas. Istilah tawarruq ini di perkenal kan oleh Mazhab Hanbali. Mazhab
Shafi’i mengenal tawarruq dengan sebutan “zarnagah”, yang arti nya bertambah atau
berkembang.[6]
2
Dalam Hukum Islam, tawarruq arti nya adalah struktur yang dapat di lakukan oleh
seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuh kan likuditas. Transaksi
tawarruq adalah ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran
dengan cicilan) dan menjual nya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama
produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi
dari tawarruq:
a. Seseorang
yang
membutuhkan
likuditas
(uang
tunai)
membeli
produk/barang/komoditi dengan cara kredit dan menjual nya kepada pihak lain
dengan cara tunai, tanpa di ketahui oleh pihak pihak lain akan niat nya tersebut di
atas.
b. Seseorang (mutawarriq)yang membutuh kan uang tunai, memohon untuk di berikan
pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uang nya, tapi
penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barang nya dengan cara kredit dengan
harga tunai, lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada
orang lain dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi. Kedua formasi
transaksi tawarruq ini dapat di terima dan di Izin kan oleh para Ulama tanpa ada nya
perdebatan.
c. Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barang nya dengan
harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada Mutawarriq, sebagai akibat dari
pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Formasi ini masih di perdebat kan oleh
para pakar Hukum ekonomi syariah.
3.
Karakteristik Tawarruq
Tawarruq sendiri terbagi menjadi 2 tipe, yaitu :
3.1. Tawarruq Hakiki / Real Tawarruq
Tawarruq yang sama seperti disebutkan diatas, dimana jika seseorang membeli barang dari
seorang penjual dengan harga kredit lalu ia menjual barang tersebut secara kontan kepada
pihak ketiga selain dari penjual (tanpa diatur / diskenariokan terlebih dahulu ).
3
3.2. Tawarruq Munadzzam / Organized Tawarruq
Tawarruq dimana pihak ketiganya telah ditunjuk terlebih dahulu atau diskenariokan yang
biasanya dilakukan oleh pihak perbankan. Contohnya adalah ketika nasabah (pihak A)
membeli sebuah komoditas kepada pihak bank (Pihak B), biasanya kendaraan bermotor,
besi, barang elektronik, dll, lalu pihak bank memerintahkan seorang agen untuk menjualkan
barang tersebut yang kemudian uangnya diserahkan pada pihak A tadi.
Perbedaan mendasar dari Organized Tawarruq ini adalah pihak A (nasabah) tidak
menerima barang tersebut secara langsung, akan tetapi hanya dengan berdasarkan sebuah
surat kesepakatan yang kemudian pihak B akan langsung memerintahkan pihak C untuk
menjualkannya, sedangkan dalam Real Tawarruq pihak nasabah (pihak A) akan menerima
barang tersebut secara langsung dan memiliki opsi untuk memilikinya dan membawanya
untuk diri sendiri ataukah akan dijual ke pihak yang lain.
Akan tetapi, dalam perbankan pihak bank tetap akan memberikan opsi untuk memiliki
atau menjual barang pada si nasabah tadi , walaupun hal ini juga terlihat sebagai forrmalitas
saja. Hal ini dikarenakan memang pihak nasabah tadi membutuhkan uang tunai bukanlah
komoditas tersebut sehingga mau tidak mau ia akan lebih memilih untuk bank agar
menjualkannya melalui agennya.
3.3.
Skema Bay’ Tawarruq Haqiqi
4
Melalui skema diatas bahwasanya metawarriq membeli barang daripada penjual secara
kredit, kemudian mutawarriq menjual kembali barang tersebut kepada pihak ketiga secara
tunai.
3.4. Skema Bay’ Tawarruq Munazzam
Dealer
Penampung
Bank Islam
Mutawarriq
5
Melalui skema diatas bahwasanya :
a).Bank membeli barang daripada Dealer secara tunai.
b).Bank menjual barang kepada Mutawarriq secara murabahah dengan bayaran
bertangguh.
c).Mutawarriq memohon pihak Bank sebagai wakil untuk menjual semula barang kepada
Penampung yang telah dipilih oleh pihak Bank secara tunai.
d).Bank sebagai wakil pemohon menjual semula barang kepada penampung secara tunai.
e).Modal dari hasil penjualan tersebut diberikan oleh Bank kepada Mutawarriq secara tunai.
f).Mutawarriq menjelaskan pembayaran kepada Bank secara angsuran.
4.
Hukum Tawarruq
Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum At-Tawarruq ini :
a. Hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan pendapat Iyas bin
Mu’awiyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini yang dikuatkan oleh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (4/398), Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin dalam AsySyarh Al-Mumti’ (8/232) dan Al-Mudayanah, Syaikh Sholih Al-Fauzan dalam Al-Farq
6
Bainal Bai’i war Riba fii Asy-Syari’atul Islamiyah dan dalam Al-Muntaqo dan
keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam
(4/399-400).
Syarat diperbolehkannya Tawarruq adalah sebagai berikut :
Sebelum dijual ke nasabah, barang tersebut sudah benar-benar dimiliki oleh pihak
bank.
Sebelum nasabah menjualnya kembali, ia harus sudah menerima barang tersebut
secara legal.
Tidak boleh untuk menjualnya kembali kepada pihak bank, ataupun pihak lain yang
masih bagian dari pihak bank karena akan menjadi ba’I inah.
Tidak dilarang, apabila bank sebagai agen untuk menjualkan barang tersebut, akan
tetapi yang dilarang ialah ketika pihak yang akan membeli (pihak ketiga) sudah
memiliki kesepakatan terlebih dahulu baik dengan pihak nasabah ataupun bank, dan
pembuatan kontrak agensi untuk menjualkan ini harus berbeda atau dilakukan setelah
kontrak jual beli pertama antara bank dan nasabah telah terjadi.
b. Hukumnya adalah haram. Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad dan
pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qoyyim dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia yang disebutkan dalam
kitab 99 tanya-jawab dalam jual beli dan bentuk-bentuknya.
Alasan dilarangnya adalah sebagai berikut :
Karena dianggap ada unsur pemaksaan untuk menjualnya kembali, sebagaimana yang
dikatakan oleh sayyidina Ali : Rasulullah SAW melarang jual beli dengan terpaksa ,
gharar , dan menjual buah sebelum masaknya. Meskipun jika ditelusuri lebih lanjut ,
dalam hadits pelarangan jual beli dengan paksaan terdapat sanad yang tidak dikenal ,
dan ibnu Azmi mengatakan hadits tersebut adalah mursal yang artinya tidak dapat
dijadikan sebuah dasar hukum.
7
Tawarruq adalah bagian dari Riba, sebagaimana dikatakan Umar bin Abdul Aziz :
“Tawarruq adalah bagian dari Riba “.
Argumentasi dari para ulama yang kontra pada tawarruq Munazam yaitu : Jika si
penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada
mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Dengan begitu
artinya tawarruqmunazam adalah indikasi dari kerjasama antara Bank dan nasabahnya yang
bertujuan untuk menyediakan dana segar terhadap kewajiban kredit nasbahahnya atau
banknya. Sehingga prinsip objektifitas dari niat -tentang niat telah dijelaskan pada
pembahasan motif- dalam konteks ini sangatlah relevan. Kedua masalah hilah yang dipakai
menurut ulama yang kontra melihat adanya persamaan hilah atau rekayasa untuk
melakukan hal hal yang di larang, yang indikasi ke arah untuk mendapatkan riba yang
permanent sifatnya. Melalui beberapa proses, Bank Syariah hanya berperan sebagai
perantara yang tidak sungguh sungguh tertarik dengan jual beli komoditi atau memasuki
pasar komoditi international. Begitu juga nasabahnya, tidak berniat untuk memiliki
komoditi tersebut atau pada kasus kasus tertentu tidak tahu menahu tentang adanya proses
jual beli komoditi. Karena tujuan utamanya hanyalah untuk mendapatkan uang tunai segera
dari bank (nasabah jika berbentuk deposito-pen), dengan berhutang yang akan di bayar
dengan cicilan. Oleh karena itu, sebagian dari Ulama mengangap transaksi ini adalah
transaksi Ribawi
5. Pendapat Para Ulama Mengenai Tawarruq
Para Ulama yang merestui transaksi Tawarruq ini mempunyai dalil dari ayat ayat Al-Qur’an
yang di unversal kan dan mereka berpendapat bahwa semua transaksi jual beli itu halal (di
perboleh kan), kecuali ada bukti yang kuat untuk melarang nya. Secara universal memang
transaksi al-bay adalah halal/legal. Tawarruq adalah salah satu transaksi al-bay yang
termasuk dalam universal dari semua transaksi al –bay dan di anggap legal/halal walaupun
tidak ada satu ayat dari Al-qur’an dan satu kutipan Hadist, serta tidak ada satu pun
tindakan dari sahabat Nabi Muhammad SAW yang menyatakan Tawarruq tidak halal/di
larang.
8
Salah satu Hadist yang tercatat oleh al-Bukhari dan Muslim terbukti telah
mendukung transaksi ini. Ketika salah satu petani kurma dari Khaybardatang dan
membawa kan Kualitas Kurma yang tebaik kepada Nabi Muhammad SAW , Nabi bertanya
kepada petani tersebut apakah semua buah kurma dari Khaybar sangat baik mutu nya.
Petani ini menjawab tidak, saya menukar dua ukuran (kg) kualitas kurma yang rendah
untuk satu ukuran (kg)yang bagus, terkadang saya harus menukar 3 ukuran(kg) yang kulitas
rendah untuk satu ukuran (kg) yang kualitas nya bagus. Lalu Nabi Muhammad melarang
petani itu untuk melakukan transaksi itu dan malah menyarankan untuk menjual semua
kualitas rendah nya agar mendapat kan uang tunai (berupa koin perak pada jaman itu) dan
lalu menggunakan uang tersebut untuk membeli Kurma dengan kualitas yang bagus. Hadist
ini mengindikasikan di perkenankan nya suatu metode untuk meng hindari Riba. Semua
media jual beli dan syarat syarat serta kondisi dari transaksi jual beli sudah terpenuhi,
bebas dari faktor faktor yang di larang. Niat untuk mendapat kan kualitas Kurma yang lebih
bagus tidak membatal kan struktur nya. Dengan demikian, hal ini menunjukan legalitas dari
transaksi jual beli dimana maksud dan niat yang berlainan menggunakan suatu media dapat
di terima dan dilakukan dan bebas dari riba secara explicit dan implicit. Jadi untuk
mendapat kan likuiditas dengan media ini (tawarruq) sudah seharus nya di perkenan kan
apabila memang di perlukan.
Para Ulama dari Mazhab Hanbali, Ibn Taymiyyah, adalah salah satu yang
menentang tawarruq, dan beliau mengatakan bahwa tawarruq tidak jauh berbeda dengan
inah yang hanya bertujuan untuk mendapatkan dana segar/likuditas. Pemilik modal
(penyandand dana) menjual aset nya kepada seseorang, bukan memberi nya uang, untuk
mendapat kan ke untungan lebih nanti nya, ketika (pihak kedua) orang tersebut menjual
aset itu kembali kepada penjual nya (pihak pertama), itu adalah inah, kalau di jual kepada
orang lain (pihak ke tiga) itu adalah tawarruq. Aset yang di pindah kan ke pihak ke tiga,
sebagai perantara, pihak ketiga yang menjual nya kembali pada pihak pertama, pihak
ketiga menjadi muhallil, yaitu seseorang yang me legalitas kan riba untuk pihak pertama.
Ibn Qayim, murid nya Ibn Taymiyyah menolak untuk mengizin kan praktek dari tawarruq,
karena indikasi untuk mendapat kan riba ada dalam transaksi tawarruq. Ibn Taymiyyah
menyatakan bahwa sangat tidak mungkin untuk Syariah melegal kan kerusakan yang besar
9
sementara melarang kerusakan yang lebih kecil, yaitu riba. Beliau mengutip statement
yang di berikan oleh Umar ibn Abdul Aziz : tawarruq adalah saudara nya riba
6. Pengertian Bai’ Inah
Perkataan al-Bay secara literalnya bermaksud pertukaran sesuatu barangan dengan
sesuatu barangan yang lain. Ia merupakan perkataan yang berlawanan dengan
perkataan al-Syira atau pembelian. Walau bagaimanapun perkataan al-Bay turut
digunakan untuk membawa maksud al-Syira. Al-Bay dari segi syara dihuraikan
sebagai pertukaran harta dengan harta yang lain melalui prosedur tertentu atau
proses pertukaran sesuatu barangan yang disukai dengan sesuatu yang setimpal
dengan cara tertentu yang sempurna.
Bai al-Inah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli
dengan janji untuk dibeli kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah
adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan tangguh
(deferred payment sale / BBA).[1]
Bai’ al-inah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : seorang pedagang
menjual barang dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati.
Setelah itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga
yang lebih rendah dari harga jual pertama. Bai ‘Inah secara konsepnya berarti menjual
barang dan kemudian membeli kembali barang tersebut pada harga yang berbeda, dengan
harga tertangguh yang lebih tinggi dari harga tunai.
Definisi bai` inah menurut para ulama adalah seperti berikut:
1.
Imam Syafi'i: "Membeli sesuatu dari seseorang secara hutang, kemudian setelah barang
tersebut diterima olehnya (Qabdh), barang tersebut dijual kembali kepada pemilik asal atau
10
ke pihak ketiga baik dengan harga tunai yang lebih rendah atau lebih tinggi, atau secara
hutang atau dengan penukaran barang. "
2.
Al-Haskafi: "Menjual sesuatu secara ditangguhkan untuk mendapat keuntungan. Pihak
yang berhutang akan menjualnya kembali pada harga yang lebih rendah untuk menjelaskan
utangnya."
3.
Al-Zaila `i:" Menjual barang secara ditangguhkan, dan membelinya kembali dengan
harga yang lebih rendah secara tunai. "
4.
Al-Dardir: "Penjualan yang dilakukan oleh seseorang yang diminta darinya sesuatu yang
tidak dalam pemilikannya."
5.
Al-Rafi `i:" Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh. Barang tersebut
diserahkan kepada pembeli, dan sebelum menerima pembayaran penjualan (pertama), dia
membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah. "
6.
Ibnu Qudamah: "Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh, dan
membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah." [2]
7. Landasan Hukum
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu berjualbeli secara
‘inah
dan
'memegangi
ekor-ekor
sapi' [kinayah/kiasan
sibuk
dengan
urusan
peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah
akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali
kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:423 dan “Aunul Ma’bud IX:335
no:3445).
Pihak A
Bank
a).Pihak A membeli Barang kepada Bank dengan pembayaran tangguh.
b).Pihak A menjual kembali Barang tersebut kepada Bank secara tunai dengan harga lebih murah.
11
8. Perbedaan Pendapat diantara Para Ulama
Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu
cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa bai’ al-inah
diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga.
Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal bai’ al-inah maka jawabnya,
“Sesungguhnya Allah tidak pernah menipu (hamba_nya), (bai’ al-inah) termasuk hal-hal
yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Abbas pernah berkata, “Waspadalah kalian terhadap bai’ al-inah ini. Janganlah
menukar dirham dengan dirham yang lain yang diantara keduanya ada sutra.” Maliki dan
Hambali secara tegas menolak ba’ al-inah karena ia adalah suatu cara untuk memanipulasi
riba.
Sedangkan ulama yang membolehkan bai’ al-inah diantaranya adalah Syafi’i dan
Zahiri. Imam Syafi’i menurut satu riwayat membolehkan bai’ al-inah berdasarkan sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Abu Hurairah, “Tukarkanlah kurma
yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham itu hendaklah engkau
membeli kurma yang bagus.”
Dalam mencermati masalah bai’ al-inah ini, menarik untuk dicermati adalah
pendapat Ibnu Taimiyah tentang penjualan (sales). Ibnu Taimiyah membagi penjualan
menjadi 3 (tiga) kelompok : Pertama, seseorang membeli barang dengan tujuan untuk
dikonsumsi. Tentu saja dalam hal ini hukum Islam membolehkannya. Kedua, seseorang
membeli barang dalam rangka untuk dijual kembali. Dalam hal ini pun Islam tidak
12
melarangnya. Ketiga, seseorang membeli barang bukan untuk tujuan seperti kelompok
pertama dan kedua, namun untuk mendapatkan uang. Karena meminjam uang sangat sulit,
ia harus membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dan segera setelah itu dijual
kembali kepada pihak yang sama untuk mendapatkan uang kas.[3]
9. Syarat-syarat Bai’ Inah
1.
Pembiayaan bay‘ al-‘inah perlu mempunyai dua kontrak yang jelas yaitu kontrak
penjualan harta oleh penjual/pemilik kepada pembeli dan dan penjualan semula harta
tersebut kepada pemilik asal.
2.
Pembayaran harga dalam salah satu urusniaga atau kontrak harus dilakukan secara
tunai untuk mengelakkan penjualan/pembelian hutang dengan hutang.
3.
Barang yang digunakan dalam urusniaga jual dan beli kembali bukan barangan
ribawi.
4.
Kedua-dua urusniaga ini harus melibatkan penyerahan hakmilik yang sah dari sudut
syarak dan diterima pakai berdasarkan adat perniagaan semasa (‘uruf tijari).
5.
Pembiayaan bay‘ al-‘inah yang dijalankan ini harus memenuhi syarat-syarat bay‘
al-‘inah yang diterima oleh Mazhab Syafie.
6.
Penentuan harga dan harta yang terlibat dalam kontrak juga harus dengan sebenar
dan berdasarkan harga yang munasabah atau berdasarkan pasaran.
7.
Kontrak pertama harus diselesaikan terlebih dahulu (ditandatangani oleh kedua-dua
belah pihak) sebelum memasuki kontrak yang kedua.Ini bertujuan mengelakkan isu
penjualan harta yang belum dimiliki dalam kontrak kedua.[4]
10. Perbedaan Tawarruq dengan Inah
Perbedaan antara Tawarruq dan Inah adalah, pada atransaksi bay’ al-inah, seseorang
yang membutuh kan dana membeli barang dengan cara kredit, lalu menjual nya kembali
kepada si penjual/pemilik barang dalam bentuk tunai, yang harga nya lebih rendah dari
harga kredit nya. Akar kata dari inah adalah ayn (barang yang telah di beli) dapat
menemukan jalan nya kembali kepada pemilik asal nya. Menurut kebanyakan dari para
13
pakar Hukum Islam, Barang yang di gunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah,
yaitu rekayasa untuk menghindar dari hal hal yang di larang, seperti riba.
Tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuh kan dana segar/uang tunai
membeli barang dengan cara kredit lalu menjual nya kepada pihak ke 3 dengan cara tunai
dengan harga yang lebih rendah, struktur transaksi nya tidak meng indikasi kan hilah
(melegal kan cara untuk mendapat kan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada
pemilik asal nya. Dengan demikian para pakar Hukum Islam, berpendapat bahwa
Tawarruq adalah tersaksi yang sah dan dapat di terima.
11. Efek Negatif dari Akad Tawarruq
Menurut M. Nejatullah Sidqi bahwa konsep tawarruq ini lebih besar mafasdahnya
daripada maslahahanya jika dilhat dari segi kepentingan umum. Dibawah ini adalah
mafsadah yang telah dirangkum oleh Sidqi:
1)
Tawarruq menyebabkan pembentukan utang yang mana volumenya cenderung
mengalami peningkatan.
2)
Hasil pertukaran (exchange) uang sekarang dengan uang dikemudian hari adalah
tidak fairdari segi sudut pandang resiko dan termasuk ketidakpastian.
3)
Hal ini menyebabkan perkembangbiakan utang secara terus menerus, menuju arah
perjudian seperti transaksi spekulasi
4)
Hal ini menyebabkan keuangan berdasarkan utang (debt finance) yang terus menerus,
meningkatkan ketidak stabilan dalam ekonomy. Dalam debt-based economy, suplay uang
dihubungkan
kepada
utang
yang
mana tendency kedepannya
adalah
peningkatan
(expantion) lonjakan inflasi.
5)
Ini menghasilkan ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Dan
menghasilkan keuangan berdasarkan utang yang terus menerus, dalam ketidakefesienan
alokasi sumber daya.
6)
Dengan pengkonsolidasian pembiayaan berbasis utang (debt financing) berkontribusi
untuk meningkatkan tingkatan (level) kekhawatiran dan kerusakan (destruction) lingkungan
12. Kesimpulan
14
Akad Tawarruq ialah jika seseorang membeli barang dari seorang penjual dengan harga
kredit lalu ia menjual barang tersebut secara kontan kepada pihak ketiga selain dari penjual
Perbedaan mendasar Akad tawarruq dengan Bai’ al-inah adalah tawarruq tidak menjual
kembali ke pemilik asalnya.
Akad Tawarruq motif utamanya adalah karena kebutuhan akan likuiditas pada saat
tersebut , dan komoditas yang digunakan biasanya merupakan komoditas local ( seperti
beras , besi , kendaraan bermotor , peralatan elektronik , dll ) dan diperbankan produk yang
menggunakan akad tawarruq ini adalah commodity murabaha.
Terdapat ikhtilaf hingga saat ini diantara para ulama mengenai hokum dari Tawarruq ini
dan masing-masing memiliki landasan dan syarat tersendiri.
Untuk implementasi akad Tawarruq ini masih dilarang di Negara Indonesia , namun
sudah diperbolehkan di Negara Malaysia dan Negara-negara timur tengah.
Menurut M. Nejatullah Sidqi akad Tawarruq memiliki mafsadah yang lebih besar
disbanding dengan maslahah nya secara perekonomian. Dan menurut beliau juga , akad
Tawarruq diperboehkan oleh ulama terdahulu karena Pertama fuqaha pada masa itu berbeda
keadaannya dan alat analisis ekonomi makro yang dibutuhkan untuk menemukan mafsadah
dari efek tawrruq tidak ada pada waktu itu. Kedua Pengaruh mafsadah dari tawarruq pada
ekonomi secara keseluruhan pada saat sekarang ini tidak ditemui pada waktu itu. Seperti
halnya inflasi yang dikarenakan mata uang , karena memang mata uang saat ini saja sudah
berdasarkan utang sehingga gap antara sektor riil dan keuangan semakin besar.
15
D. TAWARRUG
1. Pengertian Tawarrug
Transaksi tawarrug dimulai jika seseorang membeli suatu barang atau komoditas dari
penjual (pertama) berdasarkan pembayaran tangguh atau tidak tunai, dengan pengertian
bahwa pembeli tersebut akan membayar harga yang telah disepakati secara angsuran, atau
dibayar secara penuh sekaligus di masa depan. Tawarrug terjadi, ketika barang itu telah
dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak ketiga tetapi bukan penjual
pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari harga beli semula [71].Tawarrug turun
dari kata warig, yang berarti perak; sesorang membeli barang dengan tujuan mendapatkan
uang tunai dari penjualan tersebut kepada pihak lain [72].Tawarrugmirip dengan bai al
inah, tetapi berbeda. Pada bai inah, penjualannya kembali dilakukan kepada penjual yang
sama, sedangkan pada tawarrug kepada pihak ketiga.
Terdapat
dua
macam tawarrug: Pertama, organized
tawarrug atau tawarrug
munazzam, dengan menunjuk pihak ketiga sebagai agen; pembeli tidak menerima barang
dagangannya dan tidak terkait dengan kegiatan penjualannya kembali, karena dilakukan
oleh seorang agen dan pembayaran diberikan kepada pembeli awal. Umar Azka merinci
karakteristik dari tawarrug ini: dilakukan oleh 4 pihak, ada perjanjian di muka untuk
membeli suatu komoditi, tidak ada perjanjian untuk membeli dari nasabah (mutawarriq),
melibatkan perjanjian bersama atu MoU yang harus sesuai prosedur, adanya penunjukkan
bank sebagai wakil dari nasabah untuk menjual komoditi kepada pihak lainnya, dan tidak
terjadi pemindahan fisik dari komoditi yang diperdagangkan dan hanya sebatas
penandatanganan akad jual beli [73].
Tawarrug munazam berlaku di pasar internasional. Bank syariah membeli komoditi di
pasar internasional dengan pembayaran tunai, dan menjual ke nasabahnya dengan
akad murabahah dengan harga yang lebih tinggi; lalu bank atas nama nasabahnya menjual
kembali komoditi itu ke pihak ketiga dengan harga yang lebih tinggi dan diangsur sesuai
dengan perjanjian di muka. Proses ini biasanya melibatkan pihak ke empat, yaitu
sebagai broker dengan memperoleh fee, di pasar komoditi internasional. Menurut ulama
yang membolehkan tawarrug ini, alasannya adalah seluruh transaksi berdasarkan prinsip
16
syariah, yaitu: (a). bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan secara konstruktif
memiliki komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam dokumen transaksi atas dasar
janji
untuk
membeli
dari
nasabah,
(b).
bank
menjual
komoditi
itu
dengan
prinsipmurabaha dan hak kepemilikan pindah kepada nasabah, (c). nasabah menunjuk bank
sebagai wakil untuk menjual kembali komoditi tersebut, (4). Bank kemudian menjual
kembali komoditi tersebut kepada pihak ketiga, (d). Bank memberikan dana hasil penjualan
kepada nasabah [74].
Kedua, dalam real tawarrug, yaitu tapa pengaturan terlebih dahulu, dan pembeli
memiliki dua opsi, yaitu menyimpan barang yang telah dibeli, atau menjualnya kembali,
dan karena barang iru sudah berada di tangannya, maka dia dapat melakukan apa saja
terhadap barangnya itu[75]. Menurut Umar Azka, karakteristik dari real tawarrug adalah:
dilakukan oleh 3 pihak, tidak ada perjanjian untuk membeli, hanya ada 2 dasar jual beli,
tidak ada MoU, nasabah menjual sendiri komoditinya, dan adanya pemindahan komoditi
secara phisik setiap kali terjadinya akad jual beli [76].
Tawarrug pada dasarnya menyangkut dua akad. Akad pertama adalah akad untuk
pembelian dengan pembayaran secara tunda. Akad kedua merupakan penjualan kepada
pihak
lain
dengan
pembayaran
rendah[77]. Transaksitawarrug itu
tunai
memberi
tetapi
peluang
atau
dengan
harga
berimplikasi
lebih
terhadap
kesempatan untuk meminjam uang dengan menggunakan akad syariah yang diijinkan.
Menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, dalam konteks keuangan, mekanisme yang
terjadi dapat diartikan sebagai pemberian pinjaman dengan zero coupon, dan tingkat bunga
pinjaman disamakan dengan tingkat bunga seperti yang ditentukan oleh penjual awal untuk
pembayaran tangguh [78].
Wahbah Al Zuhaili menegaskan karakteristik dari tawarrug, yaitu: tujuannya bukan
untuk memperoleh komoditi tetapi digunakan untuk menutupi niat memperoleh
likuiditas,tawarrug dan inah pada dasarnya sama sebagai praktik riba. Wahbah az-Zuhaili
mengatakan bahwa para ulama sepakat untuk melarang transaksi itu, jika terlihat tandatanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba; namun, mereka berbeda pendapat, jika
tidak ada tanda-tanda yang bermaksud untuk tujuan riba [79]. Ibn Taymiyyah berpendapat
bahwa illah yang ditemukan dalam tawarrug adalah bertambahnya biaya menjual dan
membeli suatu komoditas, dan kerugian yang terjadi dalam penjualan. Menurut beliau lebih
17
lanjut, hukum syara tidak mengijinkan kerugian yang kecil, ketika pada saat yang sama
menginjinkan kerugian yang lebih besar [80].
2. Pandangan Klasik Terhadap Tawarrug.
Menurut
Adiwarman
Karim,
hampir
semua
kitab
fiqih
mengijinkan
transaksitawarrug, dan yang melarangnya hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari
mazhab
Hanbali [81].
Ulama
yang
mengijinkan
dan
pihak
yang
menolak
transaki tawarrug ini, yaitu[82]:
a.
Kebanyakan ulama mengijinkan [83] dan di antaranya adalah Muhammad bin Utsmain
dari Hanbali tetapi dengan syarat tertentu [84], dan Iyas bin Mu’awiyah dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad, diperkuat oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan
Syaik Abdul Aziz bin Baz dalam Taudhihul Ahkam, dan seterusnya. Pendapat ini
berdasarkan kaidah umum bahwa jual beli adalah halal yang bersandar pada Surat Al
Baqarah (QS, 2 : 275), dan didukung dengan surat Al Maidah (QS, 5 : 1), Al Baqarah (QS,
2 : 280). Hadist Nabi Saw yang membolehkannya adalah seperti yang diriwayatkan oleh al
Bukhari dan Muslim. Intinya adalah bahwa Nabi Saw melarang seorang petani untuk
menukar kurma yang baik dari Khaybar sebanyak satu kilo dengan kualitas yang lebih
rendah sebanyak 3 kilo. Sebaliknya, Nabi Saw menyarankan untuk menjual kurma kualitas
rendah terlebih dahulu untuk mendapatkan uang tunai, dan menggunakan uang tersebut
untuk membeli kurma yang berkualitas lebih bagus. Berdasarkan hadis ini, para ulama
tersebut berpendapat bahwa media tawarrug dapat digunakan untuk memperoleh likuiditas
yang diperlukan [85]. Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan syarat, yaitu: bahwa orang yang
melakukan transaksi itu memiliki kebutuhan yang jelas, dia tidak dapat memperoleh
kebutuhannya melalui Al Qard, as Salam atau lainnya, dan barang yang terkait telah
dipegang dan dikuasai oleh penjual. Sebelum barang itu dijual kembali, ia sudah menerima
barang itu secara legal [86].
b.
Pendapat yang melarangnya adalah dari mazab Hanbali, Abu Hanifah, Asy Syafi’i[87],
dan Maliki [88], Umar bin Abdul Aziz dan didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dari mazab Hanbali, Ibn Qoyim, dan fatwa Al Lajnah Ad-Da-imah Saudi Arabia. Abdullah
bin Abdul Wahab dari Hanbali berpendapat bahwa tawarrughukumnya makruh, jika target
pembeli adalah uang tunai atau dirham melalui pembelian dengan harga seratus dengan
18
kredit, kemudian menjualnya tujuh puluh secara tunai. An Nasafi dalam Thalabah Ath
Thalabah menyatakan bahwa tawarrugtermasuk kategori bai al inah, karena mengalihkan
praktik utang ke penjualan barang. Ibnu Hajar Al Haitami dalam Tuffatul Muhtaj dari Asy
Syafi’i mengatakan bahwa kadang-kadang praktik jual beli bersifat makruh, yaitu seperti
pada bai ’al inah, dan semua bentuk jual beli dengan kehalalan yang masih diperselisihkan
karena sama seperti untuk menghindari praktik riba [89]. Ulama Maliki melarangnya,
dengan alasan bahwa tawarrug dapat
dipersamakan
dengan bai
al inah, karena
perbedaannya hanya pada keadaan barang yang kembali pada bai al inah, dan tidak
kembali pada tawarrug [90]. Ibn Qoyim, murid dari Ibn Taymiyya, mengatakan bahwa
gurunya tidak pernah mengijinkan tawarrug, karena substansi ekonomis yang pasti berupa
riba dikandung oleh akad tersebut, dan biaya transaksi bertambah ketika dibeli dan dijual
dengan kerugian; syariah tidak melarang kerugian kecil dan mengijinkan kerugian
besar [91].
Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa tawarrug adalah bagian dari riba. Tawarrug
munazam memberikan indikasi bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh dana segar dari
utang yang dibayar secara mengangsur, dan mengandung hilah atau rekayasa untuk
melakukan apa yang dilarang [92]. Hadist yang digunakan sebagai dasar untuk
melarangnya adalah sama seperti di atas, yaitu dari HR Abu Daud, karena Tawarrug tidak
jauh berbeda dengan inah [93]. Sebagian mazab Hanafi juga menyamakankan denganbai
al inah [94]. Perbedaanya sedikit sekali, yaitu terletak kepada siapa penjualan kembali
barang dilakukan. Pada bai al inah, barang dijual kepada penjual pertama, sedangkan
pada tawarrug kepada pihak ketiga
19
REFERENSI
[1] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.
189.
[2] http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00988.html
[3] http://ekisopini.blogspot.com/2009/11/malaysia-dan-bai-al-inah.html
[4] http://muhammadghazi.wordpress.com/2008/09/06/baiah-al-inah/
[5] Ascarya, Ibid., hlm. 143.
[6] Nibrahosen.multyply.com/journal/item/22/oktober/2012
[7] Ascarya, Ibid., hlm. 191.
[8] http://dausalhuriyah.blogspot.com/2008/12/bai-al-dayn.html,22/oktober/2012
[9] http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/12/kedudukan-mazhab-syafie-dalamproduk.html
Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
20
Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”. [http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html]
.
Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam, Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi Kedua. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Affandi, Nik Mohamed bin Nik Yusoff. 2002. Islam & Business. Selangor, Malaysia: Pelanduk
Publication (M) Sdn Bhd.
Ahmad Al Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad, antara teks, realitas, dan
kemaslahatan sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ahmad
Hafids,
dan
Muhammad
Najib
Asyrof.
“Akad
Dalam
Bursa
Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
.
Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat Hukum Islam, Al Ghazali, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Angie
Cyntia.
”Konsep
Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-
tawarrug.html] .
Bello, Petrus C.K.L. 2012. Hukum & Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta: Erlangga.
Cholis Nafis, M. 2011. Teori Hukum Ekonomi Islam.Jakarta: UI Press.
Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic Financial
Liquidity”. Dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic Finance,
The Regulatory Challenge. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Duscik
Ceolah.
“Hukum
Tawarrug
Berdasarkan
Kajian
Fiqih
Terpadu”.
[http://duscikceolah.wordpress.com/2009/08/03/hukum.tawarruq-berdasarkan-kajian-fiqihterpadu/] .
Eko
Suprayitno.
2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam danKonvensional,
Hak Cipta @ 2005 pada Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam.. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia. . Yogyakarta: Kanisius.
Graeber, David. 2011. Debt., The First 5000 Years. New York: Melville House.
21
Hamka.1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.
Hendy Herijanto.2013. “Perdagangan (Jual Beli) Vs Riba: Implikasinya
TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan Masyarakat”. Quality,
Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM,
Vol.II No. 11, Juli 2013.
Hendy Herijanto. 2013.”Prinsip dan Unsur-Unsur Pokok Ekonomi Islam”.
Quality, Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas
SDM, Vol. II No. 11, Juli 2013.
Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah. Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi.
Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory and
Practice. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan Tawarrug”.
Kautsar Azhari Noer. 1995. Ibn Al Arabi, Wahdat al- Wujud dalam Perdebtan.Jakarta:
Paramadina.
Mankiw, N. Gregory. 2003. Harvard University, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Mahmoud A. El-Gamal. 2009. Islamic Finance, Law, Economics and Practice. New York:
Cambridge University Press.
Moghul, Umar F. 2013. “Stepping Forward, Backward, or Just Standing Still? A Case Study in
Shifting
Islamic
Financial
Structures
Offshore”.
Dalam
Kren
Hunt-Ahmed
(Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Muhammad
Abduh
Tuasikal.
“Menjual
Barang
yang
Masih
Utangan”.
[http://pengusahamuslim.com/menjual-barang-yang masih-utangan] < 26/12/2010>.
Muhammad Al Amine, Muhammad Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic
Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations,
Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema
Insani.
Muhammad Khalid Masud. 1996. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
22
Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic
Research Institute.
Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam,
Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani.
Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.
Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya Al Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka.
Salam
Izhar.
“Tawarrug
in
Islamic
Banking
[http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html]
System”
Satria Effendi, dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup.
Sofyan S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam. Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.
Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of Financial
Engineering”. Dalam M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital
Markets, Products and Strategies. Chichester, West Sussex : John Wiley & Sons Ltd.
Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi.
Toutounchian, Iraj. 2009. Islamic Money & Banking, Integrating Money in Capital
Theory. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd.
Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akadtawarrug.html] .
Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah Business School. Jakarta: Ihwah.
Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug, Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarrug and Organized
Tawarrug”. [www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf] .
Widiyastini. 2008. Filsafat Islam. Yogyakarta: Kepel Press.
Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis.Bandung: Marja.
Yusuf Al Qaradhawi. 2005.Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam
Perekonomian
Modern”.
[istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-
kontemporer] .
Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Qardhawi. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press.
23
Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. 2008. Ringkasan Shahih Muslim. Bandung: Mizan
Media Utama.
PERBEZAAN PERJALANAN TRANSAKSI DALAM TAWARRUQ
(TAWARRUQ HAQIQI, TAWARRUQ MUNADZOM DAN BAI’ AL INAH)
1. PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya perbankan syariah, mau tidak mau produk-produk perbankan
syariah pun harus dikembangkan. Pengelolaan Keuangan dan perbankan pada prinsipnya
untuk memenuhi keinginan 3 (tiga) pihak, yaitu pemegang saham,investor dan pendukung
Usaha (pengurus perusahaan) . Sistem keuangan dan perbankan Islam harus mencakup
sleuruh bidang keuangan dan perbankan modern.
Dalam makalah ini, pemakalah akan mengupas tentang Bi’ Al-Inah, Bai’ Tawarruq
dan Bai’ Al-Dayn. Dimana ketiga pembahasan ini merupakan salah satu aplikasi dalam
bentuk produk di dalam Perbankan yang berbasisi syariah.untuk lebih jelasnya akan
dibahas dalam isi makalah ini.
2. Pengertian Bai’ Tawarruq
Tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang
menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan
kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan
harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingg apembeli
pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[5]
Dalam Bahasa Arab, akar kata dari tawaruq adalah “wariq” (Ibn Faris, 1984). yang
artinya : simbol atau karakter dari perak (silver). Kata tawarruq ini di gunakan untuk
mengartikan, mencari perak, sama dengan kata Ta allum,yang arti nya mencari ilmu, yaitu
belajar atau sekolah. Kata Tawarruq dapat di arti kan dengan lebih luas yaitu mencari uang
tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari perak, emas atau koin yang lain
nya. Secara literatur arti nya adalah berbagai cara yang di tempuh untuk mendapat kan uang
tunai atau likuditas. Istilah tawarruq ini di perkenal kan oleh Mazhab Hanbali. Mazhab
Shafi’i mengenal tawarruq dengan sebutan “zarnagah”, yang arti nya bertambah atau
berkembang.[6]
2
Dalam Hukum Islam, tawarruq arti nya adalah struktur yang dapat di lakukan oleh
seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuh kan likuditas. Transaksi
tawarruq adalah ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran
dengan cicilan) dan menjual nya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama
produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi
dari tawarruq:
a. Seseorang
yang
membutuhkan
likuditas
(uang
tunai)
membeli
produk/barang/komoditi dengan cara kredit dan menjual nya kepada pihak lain
dengan cara tunai, tanpa di ketahui oleh pihak pihak lain akan niat nya tersebut di
atas.
b. Seseorang (mutawarriq)yang membutuh kan uang tunai, memohon untuk di berikan
pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uang nya, tapi
penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barang nya dengan cara kredit dengan
harga tunai, lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada
orang lain dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi. Kedua formasi
transaksi tawarruq ini dapat di terima dan di Izin kan oleh para Ulama tanpa ada nya
perdebatan.
c. Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barang nya dengan
harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada Mutawarriq, sebagai akibat dari
pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Formasi ini masih di perdebat kan oleh
para pakar Hukum ekonomi syariah.
3.
Karakteristik Tawarruq
Tawarruq sendiri terbagi menjadi 2 tipe, yaitu :
3.1. Tawarruq Hakiki / Real Tawarruq
Tawarruq yang sama seperti disebutkan diatas, dimana jika seseorang membeli barang dari
seorang penjual dengan harga kredit lalu ia menjual barang tersebut secara kontan kepada
pihak ketiga selain dari penjual (tanpa diatur / diskenariokan terlebih dahulu ).
3
3.2. Tawarruq Munadzzam / Organized Tawarruq
Tawarruq dimana pihak ketiganya telah ditunjuk terlebih dahulu atau diskenariokan yang
biasanya dilakukan oleh pihak perbankan. Contohnya adalah ketika nasabah (pihak A)
membeli sebuah komoditas kepada pihak bank (Pihak B), biasanya kendaraan bermotor,
besi, barang elektronik, dll, lalu pihak bank memerintahkan seorang agen untuk menjualkan
barang tersebut yang kemudian uangnya diserahkan pada pihak A tadi.
Perbedaan mendasar dari Organized Tawarruq ini adalah pihak A (nasabah) tidak
menerima barang tersebut secara langsung, akan tetapi hanya dengan berdasarkan sebuah
surat kesepakatan yang kemudian pihak B akan langsung memerintahkan pihak C untuk
menjualkannya, sedangkan dalam Real Tawarruq pihak nasabah (pihak A) akan menerima
barang tersebut secara langsung dan memiliki opsi untuk memilikinya dan membawanya
untuk diri sendiri ataukah akan dijual ke pihak yang lain.
Akan tetapi, dalam perbankan pihak bank tetap akan memberikan opsi untuk memiliki
atau menjual barang pada si nasabah tadi , walaupun hal ini juga terlihat sebagai forrmalitas
saja. Hal ini dikarenakan memang pihak nasabah tadi membutuhkan uang tunai bukanlah
komoditas tersebut sehingga mau tidak mau ia akan lebih memilih untuk bank agar
menjualkannya melalui agennya.
3.3.
Skema Bay’ Tawarruq Haqiqi
4
Melalui skema diatas bahwasanya metawarriq membeli barang daripada penjual secara
kredit, kemudian mutawarriq menjual kembali barang tersebut kepada pihak ketiga secara
tunai.
3.4. Skema Bay’ Tawarruq Munazzam
Dealer
Penampung
Bank Islam
Mutawarriq
5
Melalui skema diatas bahwasanya :
a).Bank membeli barang daripada Dealer secara tunai.
b).Bank menjual barang kepada Mutawarriq secara murabahah dengan bayaran
bertangguh.
c).Mutawarriq memohon pihak Bank sebagai wakil untuk menjual semula barang kepada
Penampung yang telah dipilih oleh pihak Bank secara tunai.
d).Bank sebagai wakil pemohon menjual semula barang kepada penampung secara tunai.
e).Modal dari hasil penjualan tersebut diberikan oleh Bank kepada Mutawarriq secara tunai.
f).Mutawarriq menjelaskan pembayaran kepada Bank secara angsuran.
4.
Hukum Tawarruq
Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang hukum At-Tawarruq ini :
a. Hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan pendapat Iyas bin
Mu’awiyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini yang dikuatkan oleh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (4/398), Syaikh Sholih Al-‘Utsaimin dalam AsySyarh Al-Mumti’ (8/232) dan Al-Mudayanah, Syaikh Sholih Al-Fauzan dalam Al-Farq
6
Bainal Bai’i war Riba fii Asy-Syari’atul Islamiyah dan dalam Al-Muntaqo dan
keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam
(4/399-400).
Syarat diperbolehkannya Tawarruq adalah sebagai berikut :
Sebelum dijual ke nasabah, barang tersebut sudah benar-benar dimiliki oleh pihak
bank.
Sebelum nasabah menjualnya kembali, ia harus sudah menerima barang tersebut
secara legal.
Tidak boleh untuk menjualnya kembali kepada pihak bank, ataupun pihak lain yang
masih bagian dari pihak bank karena akan menjadi ba’I inah.
Tidak dilarang, apabila bank sebagai agen untuk menjualkan barang tersebut, akan
tetapi yang dilarang ialah ketika pihak yang akan membeli (pihak ketiga) sudah
memiliki kesepakatan terlebih dahulu baik dengan pihak nasabah ataupun bank, dan
pembuatan kontrak agensi untuk menjualkan ini harus berbeda atau dilakukan setelah
kontrak jual beli pertama antara bank dan nasabah telah terjadi.
b. Hukumnya adalah haram. Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad dan
pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qoyyim dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia yang disebutkan dalam
kitab 99 tanya-jawab dalam jual beli dan bentuk-bentuknya.
Alasan dilarangnya adalah sebagai berikut :
Karena dianggap ada unsur pemaksaan untuk menjualnya kembali, sebagaimana yang
dikatakan oleh sayyidina Ali : Rasulullah SAW melarang jual beli dengan terpaksa ,
gharar , dan menjual buah sebelum masaknya. Meskipun jika ditelusuri lebih lanjut ,
dalam hadits pelarangan jual beli dengan paksaan terdapat sanad yang tidak dikenal ,
dan ibnu Azmi mengatakan hadits tersebut adalah mursal yang artinya tidak dapat
dijadikan sebuah dasar hukum.
7
Tawarruq adalah bagian dari Riba, sebagaimana dikatakan Umar bin Abdul Aziz :
“Tawarruq adalah bagian dari Riba “.
Argumentasi dari para ulama yang kontra pada tawarruq Munazam yaitu : Jika si
penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada
mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda/dengan cicilan. Dengan begitu
artinya tawarruqmunazam adalah indikasi dari kerjasama antara Bank dan nasabahnya yang
bertujuan untuk menyediakan dana segar terhadap kewajiban kredit nasbahahnya atau
banknya. Sehingga prinsip objektifitas dari niat -tentang niat telah dijelaskan pada
pembahasan motif- dalam konteks ini sangatlah relevan. Kedua masalah hilah yang dipakai
menurut ulama yang kontra melihat adanya persamaan hilah atau rekayasa untuk
melakukan hal hal yang di larang, yang indikasi ke arah untuk mendapatkan riba yang
permanent sifatnya. Melalui beberapa proses, Bank Syariah hanya berperan sebagai
perantara yang tidak sungguh sungguh tertarik dengan jual beli komoditi atau memasuki
pasar komoditi international. Begitu juga nasabahnya, tidak berniat untuk memiliki
komoditi tersebut atau pada kasus kasus tertentu tidak tahu menahu tentang adanya proses
jual beli komoditi. Karena tujuan utamanya hanyalah untuk mendapatkan uang tunai segera
dari bank (nasabah jika berbentuk deposito-pen), dengan berhutang yang akan di bayar
dengan cicilan. Oleh karena itu, sebagian dari Ulama mengangap transaksi ini adalah
transaksi Ribawi
5. Pendapat Para Ulama Mengenai Tawarruq
Para Ulama yang merestui transaksi Tawarruq ini mempunyai dalil dari ayat ayat Al-Qur’an
yang di unversal kan dan mereka berpendapat bahwa semua transaksi jual beli itu halal (di
perboleh kan), kecuali ada bukti yang kuat untuk melarang nya. Secara universal memang
transaksi al-bay adalah halal/legal. Tawarruq adalah salah satu transaksi al-bay yang
termasuk dalam universal dari semua transaksi al –bay dan di anggap legal/halal walaupun
tidak ada satu ayat dari Al-qur’an dan satu kutipan Hadist, serta tidak ada satu pun
tindakan dari sahabat Nabi Muhammad SAW yang menyatakan Tawarruq tidak halal/di
larang.
8
Salah satu Hadist yang tercatat oleh al-Bukhari dan Muslim terbukti telah
mendukung transaksi ini. Ketika salah satu petani kurma dari Khaybardatang dan
membawa kan Kualitas Kurma yang tebaik kepada Nabi Muhammad SAW , Nabi bertanya
kepada petani tersebut apakah semua buah kurma dari Khaybar sangat baik mutu nya.
Petani ini menjawab tidak, saya menukar dua ukuran (kg) kualitas kurma yang rendah
untuk satu ukuran (kg)yang bagus, terkadang saya harus menukar 3 ukuran(kg) yang kulitas
rendah untuk satu ukuran (kg) yang kualitas nya bagus. Lalu Nabi Muhammad melarang
petani itu untuk melakukan transaksi itu dan malah menyarankan untuk menjual semua
kualitas rendah nya agar mendapat kan uang tunai (berupa koin perak pada jaman itu) dan
lalu menggunakan uang tersebut untuk membeli Kurma dengan kualitas yang bagus. Hadist
ini mengindikasikan di perkenankan nya suatu metode untuk meng hindari Riba. Semua
media jual beli dan syarat syarat serta kondisi dari transaksi jual beli sudah terpenuhi,
bebas dari faktor faktor yang di larang. Niat untuk mendapat kan kualitas Kurma yang lebih
bagus tidak membatal kan struktur nya. Dengan demikian, hal ini menunjukan legalitas dari
transaksi jual beli dimana maksud dan niat yang berlainan menggunakan suatu media dapat
di terima dan dilakukan dan bebas dari riba secara explicit dan implicit. Jadi untuk
mendapat kan likuiditas dengan media ini (tawarruq) sudah seharus nya di perkenan kan
apabila memang di perlukan.
Para Ulama dari Mazhab Hanbali, Ibn Taymiyyah, adalah salah satu yang
menentang tawarruq, dan beliau mengatakan bahwa tawarruq tidak jauh berbeda dengan
inah yang hanya bertujuan untuk mendapatkan dana segar/likuditas. Pemilik modal
(penyandand dana) menjual aset nya kepada seseorang, bukan memberi nya uang, untuk
mendapat kan ke untungan lebih nanti nya, ketika (pihak kedua) orang tersebut menjual
aset itu kembali kepada penjual nya (pihak pertama), itu adalah inah, kalau di jual kepada
orang lain (pihak ke tiga) itu adalah tawarruq. Aset yang di pindah kan ke pihak ke tiga,
sebagai perantara, pihak ketiga yang menjual nya kembali pada pihak pertama, pihak
ketiga menjadi muhallil, yaitu seseorang yang me legalitas kan riba untuk pihak pertama.
Ibn Qayim, murid nya Ibn Taymiyyah menolak untuk mengizin kan praktek dari tawarruq,
karena indikasi untuk mendapat kan riba ada dalam transaksi tawarruq. Ibn Taymiyyah
menyatakan bahwa sangat tidak mungkin untuk Syariah melegal kan kerusakan yang besar
9
sementara melarang kerusakan yang lebih kecil, yaitu riba. Beliau mengutip statement
yang di berikan oleh Umar ibn Abdul Aziz : tawarruq adalah saudara nya riba
6. Pengertian Bai’ Inah
Perkataan al-Bay secara literalnya bermaksud pertukaran sesuatu barangan dengan
sesuatu barangan yang lain. Ia merupakan perkataan yang berlawanan dengan
perkataan al-Syira atau pembelian. Walau bagaimanapun perkataan al-Bay turut
digunakan untuk membawa maksud al-Syira. Al-Bay dari segi syara dihuraikan
sebagai pertukaran harta dengan harta yang lain melalui prosedur tertentu atau
proses pertukaran sesuatu barangan yang disukai dengan sesuatu yang setimpal
dengan cara tertentu yang sempurna.
Bai al-Inah adalah akad jual beli ketika penjual menjual asetnya kepada pembeli
dengan janji untuk dibeli kembali (sale and buy back) dengan pihak yang sama. Bai al-Inah
adalah penjualan tunai (cash sale) dilanjutkan dengan pembelian kembali dengan tangguh
(deferred payment sale / BBA).[1]
Bai’ al-inah secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : seorang pedagang
menjual barang dagangannya dengan diangsur sampai batas waktu yang telah disepakati.
Setelah itu, ia membelinya kembali pada majlis yang sama secara kontan dengan harga
yang lebih rendah dari harga jual pertama. Bai ‘Inah secara konsepnya berarti menjual
barang dan kemudian membeli kembali barang tersebut pada harga yang berbeda, dengan
harga tertangguh yang lebih tinggi dari harga tunai.
Definisi bai` inah menurut para ulama adalah seperti berikut:
1.
Imam Syafi'i: "Membeli sesuatu dari seseorang secara hutang, kemudian setelah barang
tersebut diterima olehnya (Qabdh), barang tersebut dijual kembali kepada pemilik asal atau
10
ke pihak ketiga baik dengan harga tunai yang lebih rendah atau lebih tinggi, atau secara
hutang atau dengan penukaran barang. "
2.
Al-Haskafi: "Menjual sesuatu secara ditangguhkan untuk mendapat keuntungan. Pihak
yang berhutang akan menjualnya kembali pada harga yang lebih rendah untuk menjelaskan
utangnya."
3.
Al-Zaila `i:" Menjual barang secara ditangguhkan, dan membelinya kembali dengan
harga yang lebih rendah secara tunai. "
4.
Al-Dardir: "Penjualan yang dilakukan oleh seseorang yang diminta darinya sesuatu yang
tidak dalam pemilikannya."
5.
Al-Rafi `i:" Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh. Barang tersebut
diserahkan kepada pembeli, dan sebelum menerima pembayaran penjualan (pertama), dia
membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih rendah. "
6.
Ibnu Qudamah: "Menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tangguh, dan
membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah." [2]
7. Landasan Hukum
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu berjualbeli secara
‘inah
dan
'memegangi
ekor-ekor
sapi' [kinayah/kiasan
sibuk
dengan
urusan
peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian serta meninggalkan jihad, maka Allah
akan menguasakan atas kamu kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali
kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:423 dan “Aunul Ma’bud IX:335
no:3445).
Pihak A
Bank
a).Pihak A membeli Barang kepada Bank dengan pembayaran tangguh.
b).Pihak A menjual kembali Barang tersebut kepada Bank secara tunai dengan harga lebih murah.
11
8. Perbedaan Pendapat diantara Para Ulama
Mayoritas ulama menyatakan bahwa bai’ al-inah dilarang sebab ia mengandung suatu
cara (zari’ah) untuk melegitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa bai’ al-inah
diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga.
Diriwayatkan dari Anas bahwa ia pernah ditanya perihal bai’ al-inah maka jawabnya,
“Sesungguhnya Allah tidak pernah menipu (hamba_nya), (bai’ al-inah) termasuk hal-hal
yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Abbas pernah berkata, “Waspadalah kalian terhadap bai’ al-inah ini. Janganlah
menukar dirham dengan dirham yang lain yang diantara keduanya ada sutra.” Maliki dan
Hambali secara tegas menolak ba’ al-inah karena ia adalah suatu cara untuk memanipulasi
riba.
Sedangkan ulama yang membolehkan bai’ al-inah diantaranya adalah Syafi’i dan
Zahiri. Imam Syafi’i menurut satu riwayat membolehkan bai’ al-inah berdasarkan sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Abu Hurairah, “Tukarkanlah kurma
yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham itu hendaklah engkau
membeli kurma yang bagus.”
Dalam mencermati masalah bai’ al-inah ini, menarik untuk dicermati adalah
pendapat Ibnu Taimiyah tentang penjualan (sales). Ibnu Taimiyah membagi penjualan
menjadi 3 (tiga) kelompok : Pertama, seseorang membeli barang dengan tujuan untuk
dikonsumsi. Tentu saja dalam hal ini hukum Islam membolehkannya. Kedua, seseorang
membeli barang dalam rangka untuk dijual kembali. Dalam hal ini pun Islam tidak
12
melarangnya. Ketiga, seseorang membeli barang bukan untuk tujuan seperti kelompok
pertama dan kedua, namun untuk mendapatkan uang. Karena meminjam uang sangat sulit,
ia harus membeli barang dengan harga yang lebih tinggi dan segera setelah itu dijual
kembali kepada pihak yang sama untuk mendapatkan uang kas.[3]
9. Syarat-syarat Bai’ Inah
1.
Pembiayaan bay‘ al-‘inah perlu mempunyai dua kontrak yang jelas yaitu kontrak
penjualan harta oleh penjual/pemilik kepada pembeli dan dan penjualan semula harta
tersebut kepada pemilik asal.
2.
Pembayaran harga dalam salah satu urusniaga atau kontrak harus dilakukan secara
tunai untuk mengelakkan penjualan/pembelian hutang dengan hutang.
3.
Barang yang digunakan dalam urusniaga jual dan beli kembali bukan barangan
ribawi.
4.
Kedua-dua urusniaga ini harus melibatkan penyerahan hakmilik yang sah dari sudut
syarak dan diterima pakai berdasarkan adat perniagaan semasa (‘uruf tijari).
5.
Pembiayaan bay‘ al-‘inah yang dijalankan ini harus memenuhi syarat-syarat bay‘
al-‘inah yang diterima oleh Mazhab Syafie.
6.
Penentuan harga dan harta yang terlibat dalam kontrak juga harus dengan sebenar
dan berdasarkan harga yang munasabah atau berdasarkan pasaran.
7.
Kontrak pertama harus diselesaikan terlebih dahulu (ditandatangani oleh kedua-dua
belah pihak) sebelum memasuki kontrak yang kedua.Ini bertujuan mengelakkan isu
penjualan harta yang belum dimiliki dalam kontrak kedua.[4]
10. Perbedaan Tawarruq dengan Inah
Perbedaan antara Tawarruq dan Inah adalah, pada atransaksi bay’ al-inah, seseorang
yang membutuh kan dana membeli barang dengan cara kredit, lalu menjual nya kembali
kepada si penjual/pemilik barang dalam bentuk tunai, yang harga nya lebih rendah dari
harga kredit nya. Akar kata dari inah adalah ayn (barang yang telah di beli) dapat
menemukan jalan nya kembali kepada pemilik asal nya. Menurut kebanyakan dari para
13
pakar Hukum Islam, Barang yang di gunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah,
yaitu rekayasa untuk menghindar dari hal hal yang di larang, seperti riba.
Tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuh kan dana segar/uang tunai
membeli barang dengan cara kredit lalu menjual nya kepada pihak ke 3 dengan cara tunai
dengan harga yang lebih rendah, struktur transaksi nya tidak meng indikasi kan hilah
(melegal kan cara untuk mendapat kan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada
pemilik asal nya. Dengan demikian para pakar Hukum Islam, berpendapat bahwa
Tawarruq adalah tersaksi yang sah dan dapat di terima.
11. Efek Negatif dari Akad Tawarruq
Menurut M. Nejatullah Sidqi bahwa konsep tawarruq ini lebih besar mafasdahnya
daripada maslahahanya jika dilhat dari segi kepentingan umum. Dibawah ini adalah
mafsadah yang telah dirangkum oleh Sidqi:
1)
Tawarruq menyebabkan pembentukan utang yang mana volumenya cenderung
mengalami peningkatan.
2)
Hasil pertukaran (exchange) uang sekarang dengan uang dikemudian hari adalah
tidak fairdari segi sudut pandang resiko dan termasuk ketidakpastian.
3)
Hal ini menyebabkan perkembangbiakan utang secara terus menerus, menuju arah
perjudian seperti transaksi spekulasi
4)
Hal ini menyebabkan keuangan berdasarkan utang (debt finance) yang terus menerus,
meningkatkan ketidak stabilan dalam ekonomy. Dalam debt-based economy, suplay uang
dihubungkan
kepada
utang
yang
mana tendency kedepannya
adalah
peningkatan
(expantion) lonjakan inflasi.
5)
Ini menghasilkan ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Dan
menghasilkan keuangan berdasarkan utang yang terus menerus, dalam ketidakefesienan
alokasi sumber daya.
6)
Dengan pengkonsolidasian pembiayaan berbasis utang (debt financing) berkontribusi
untuk meningkatkan tingkatan (level) kekhawatiran dan kerusakan (destruction) lingkungan
12. Kesimpulan
14
Akad Tawarruq ialah jika seseorang membeli barang dari seorang penjual dengan harga
kredit lalu ia menjual barang tersebut secara kontan kepada pihak ketiga selain dari penjual
Perbedaan mendasar Akad tawarruq dengan Bai’ al-inah adalah tawarruq tidak menjual
kembali ke pemilik asalnya.
Akad Tawarruq motif utamanya adalah karena kebutuhan akan likuiditas pada saat
tersebut , dan komoditas yang digunakan biasanya merupakan komoditas local ( seperti
beras , besi , kendaraan bermotor , peralatan elektronik , dll ) dan diperbankan produk yang
menggunakan akad tawarruq ini adalah commodity murabaha.
Terdapat ikhtilaf hingga saat ini diantara para ulama mengenai hokum dari Tawarruq ini
dan masing-masing memiliki landasan dan syarat tersendiri.
Untuk implementasi akad Tawarruq ini masih dilarang di Negara Indonesia , namun
sudah diperbolehkan di Negara Malaysia dan Negara-negara timur tengah.
Menurut M. Nejatullah Sidqi akad Tawarruq memiliki mafsadah yang lebih besar
disbanding dengan maslahah nya secara perekonomian. Dan menurut beliau juga , akad
Tawarruq diperboehkan oleh ulama terdahulu karena Pertama fuqaha pada masa itu berbeda
keadaannya dan alat analisis ekonomi makro yang dibutuhkan untuk menemukan mafsadah
dari efek tawrruq tidak ada pada waktu itu. Kedua Pengaruh mafsadah dari tawarruq pada
ekonomi secara keseluruhan pada saat sekarang ini tidak ditemui pada waktu itu. Seperti
halnya inflasi yang dikarenakan mata uang , karena memang mata uang saat ini saja sudah
berdasarkan utang sehingga gap antara sektor riil dan keuangan semakin besar.
15
D. TAWARRUG
1. Pengertian Tawarrug
Transaksi tawarrug dimulai jika seseorang membeli suatu barang atau komoditas dari
penjual (pertama) berdasarkan pembayaran tangguh atau tidak tunai, dengan pengertian
bahwa pembeli tersebut akan membayar harga yang telah disepakati secara angsuran, atau
dibayar secara penuh sekaligus di masa depan. Tawarrug terjadi, ketika barang itu telah
dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak ketiga tetapi bukan penjual
pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari harga beli semula [71].Tawarrug turun
dari kata warig, yang berarti perak; sesorang membeli barang dengan tujuan mendapatkan
uang tunai dari penjualan tersebut kepada pihak lain [72].Tawarrugmirip dengan bai al
inah, tetapi berbeda. Pada bai inah, penjualannya kembali dilakukan kepada penjual yang
sama, sedangkan pada tawarrug kepada pihak ketiga.
Terdapat
dua
macam tawarrug: Pertama, organized
tawarrug atau tawarrug
munazzam, dengan menunjuk pihak ketiga sebagai agen; pembeli tidak menerima barang
dagangannya dan tidak terkait dengan kegiatan penjualannya kembali, karena dilakukan
oleh seorang agen dan pembayaran diberikan kepada pembeli awal. Umar Azka merinci
karakteristik dari tawarrug ini: dilakukan oleh 4 pihak, ada perjanjian di muka untuk
membeli suatu komoditi, tidak ada perjanjian untuk membeli dari nasabah (mutawarriq),
melibatkan perjanjian bersama atu MoU yang harus sesuai prosedur, adanya penunjukkan
bank sebagai wakil dari nasabah untuk menjual komoditi kepada pihak lainnya, dan tidak
terjadi pemindahan fisik dari komoditi yang diperdagangkan dan hanya sebatas
penandatanganan akad jual beli [73].
Tawarrug munazam berlaku di pasar internasional. Bank syariah membeli komoditi di
pasar internasional dengan pembayaran tunai, dan menjual ke nasabahnya dengan
akad murabahah dengan harga yang lebih tinggi; lalu bank atas nama nasabahnya menjual
kembali komoditi itu ke pihak ketiga dengan harga yang lebih tinggi dan diangsur sesuai
dengan perjanjian di muka. Proses ini biasanya melibatkan pihak ke empat, yaitu
sebagai broker dengan memperoleh fee, di pasar komoditi internasional. Menurut ulama
yang membolehkan tawarrug ini, alasannya adalah seluruh transaksi berdasarkan prinsip
16
syariah, yaitu: (a). bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan secara konstruktif
memiliki komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam dokumen transaksi atas dasar
janji
untuk
membeli
dari
nasabah,
(b).
bank
menjual
komoditi
itu
dengan
prinsipmurabaha dan hak kepemilikan pindah kepada nasabah, (c). nasabah menunjuk bank
sebagai wakil untuk menjual kembali komoditi tersebut, (4). Bank kemudian menjual
kembali komoditi tersebut kepada pihak ketiga, (d). Bank memberikan dana hasil penjualan
kepada nasabah [74].
Kedua, dalam real tawarrug, yaitu tapa pengaturan terlebih dahulu, dan pembeli
memiliki dua opsi, yaitu menyimpan barang yang telah dibeli, atau menjualnya kembali,
dan karena barang iru sudah berada di tangannya, maka dia dapat melakukan apa saja
terhadap barangnya itu[75]. Menurut Umar Azka, karakteristik dari real tawarrug adalah:
dilakukan oleh 3 pihak, tidak ada perjanjian untuk membeli, hanya ada 2 dasar jual beli,
tidak ada MoU, nasabah menjual sendiri komoditinya, dan adanya pemindahan komoditi
secara phisik setiap kali terjadinya akad jual beli [76].
Tawarrug pada dasarnya menyangkut dua akad. Akad pertama adalah akad untuk
pembelian dengan pembayaran secara tunda. Akad kedua merupakan penjualan kepada
pihak
lain
dengan
pembayaran
rendah[77]. Transaksitawarrug itu
tunai
memberi
tetapi
peluang
atau
dengan
harga
berimplikasi
lebih
terhadap
kesempatan untuk meminjam uang dengan menggunakan akad syariah yang diijinkan.
Menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, dalam konteks keuangan, mekanisme yang
terjadi dapat diartikan sebagai pemberian pinjaman dengan zero coupon, dan tingkat bunga
pinjaman disamakan dengan tingkat bunga seperti yang ditentukan oleh penjual awal untuk
pembayaran tangguh [78].
Wahbah Al Zuhaili menegaskan karakteristik dari tawarrug, yaitu: tujuannya bukan
untuk memperoleh komoditi tetapi digunakan untuk menutupi niat memperoleh
likuiditas,tawarrug dan inah pada dasarnya sama sebagai praktik riba. Wahbah az-Zuhaili
mengatakan bahwa para ulama sepakat untuk melarang transaksi itu, jika terlihat tandatanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba; namun, mereka berbeda pendapat, jika
tidak ada tanda-tanda yang bermaksud untuk tujuan riba [79]. Ibn Taymiyyah berpendapat
bahwa illah yang ditemukan dalam tawarrug adalah bertambahnya biaya menjual dan
membeli suatu komoditas, dan kerugian yang terjadi dalam penjualan. Menurut beliau lebih
17
lanjut, hukum syara tidak mengijinkan kerugian yang kecil, ketika pada saat yang sama
menginjinkan kerugian yang lebih besar [80].
2. Pandangan Klasik Terhadap Tawarrug.
Menurut
Adiwarman
Karim,
hampir
semua
kitab
fiqih
mengijinkan
transaksitawarrug, dan yang melarangnya hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari
mazhab
Hanbali [81].
Ulama
yang
mengijinkan
dan
pihak
yang
menolak
transaki tawarrug ini, yaitu[82]:
a.
Kebanyakan ulama mengijinkan [83] dan di antaranya adalah Muhammad bin Utsmain
dari Hanbali tetapi dengan syarat tertentu [84], dan Iyas bin Mu’awiyah dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad, diperkuat oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan
Syaik Abdul Aziz bin Baz dalam Taudhihul Ahkam, dan seterusnya. Pendapat ini
berdasarkan kaidah umum bahwa jual beli adalah halal yang bersandar pada Surat Al
Baqarah (QS, 2 : 275), dan didukung dengan surat Al Maidah (QS, 5 : 1), Al Baqarah (QS,
2 : 280). Hadist Nabi Saw yang membolehkannya adalah seperti yang diriwayatkan oleh al
Bukhari dan Muslim. Intinya adalah bahwa Nabi Saw melarang seorang petani untuk
menukar kurma yang baik dari Khaybar sebanyak satu kilo dengan kualitas yang lebih
rendah sebanyak 3 kilo. Sebaliknya, Nabi Saw menyarankan untuk menjual kurma kualitas
rendah terlebih dahulu untuk mendapatkan uang tunai, dan menggunakan uang tersebut
untuk membeli kurma yang berkualitas lebih bagus. Berdasarkan hadis ini, para ulama
tersebut berpendapat bahwa media tawarrug dapat digunakan untuk memperoleh likuiditas
yang diperlukan [85]. Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan syarat, yaitu: bahwa orang yang
melakukan transaksi itu memiliki kebutuhan yang jelas, dia tidak dapat memperoleh
kebutuhannya melalui Al Qard, as Salam atau lainnya, dan barang yang terkait telah
dipegang dan dikuasai oleh penjual. Sebelum barang itu dijual kembali, ia sudah menerima
barang itu secara legal [86].
b.
Pendapat yang melarangnya adalah dari mazab Hanbali, Abu Hanifah, Asy Syafi’i[87],
dan Maliki [88], Umar bin Abdul Aziz dan didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dari mazab Hanbali, Ibn Qoyim, dan fatwa Al Lajnah Ad-Da-imah Saudi Arabia. Abdullah
bin Abdul Wahab dari Hanbali berpendapat bahwa tawarrughukumnya makruh, jika target
pembeli adalah uang tunai atau dirham melalui pembelian dengan harga seratus dengan
18
kredit, kemudian menjualnya tujuh puluh secara tunai. An Nasafi dalam Thalabah Ath
Thalabah menyatakan bahwa tawarrugtermasuk kategori bai al inah, karena mengalihkan
praktik utang ke penjualan barang. Ibnu Hajar Al Haitami dalam Tuffatul Muhtaj dari Asy
Syafi’i mengatakan bahwa kadang-kadang praktik jual beli bersifat makruh, yaitu seperti
pada bai ’al inah, dan semua bentuk jual beli dengan kehalalan yang masih diperselisihkan
karena sama seperti untuk menghindari praktik riba [89]. Ulama Maliki melarangnya,
dengan alasan bahwa tawarrug dapat
dipersamakan
dengan bai
al inah, karena
perbedaannya hanya pada keadaan barang yang kembali pada bai al inah, dan tidak
kembali pada tawarrug [90]. Ibn Qoyim, murid dari Ibn Taymiyya, mengatakan bahwa
gurunya tidak pernah mengijinkan tawarrug, karena substansi ekonomis yang pasti berupa
riba dikandung oleh akad tersebut, dan biaya transaksi bertambah ketika dibeli dan dijual
dengan kerugian; syariah tidak melarang kerugian kecil dan mengijinkan kerugian
besar [91].
Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa tawarrug adalah bagian dari riba. Tawarrug
munazam memberikan indikasi bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh dana segar dari
utang yang dibayar secara mengangsur, dan mengandung hilah atau rekayasa untuk
melakukan apa yang dilarang [92]. Hadist yang digunakan sebagai dasar untuk
melarangnya adalah sama seperti di atas, yaitu dari HR Abu Daud, karena Tawarrug tidak
jauh berbeda dengan inah [93]. Sebagian mazab Hanafi juga menyamakankan denganbai
al inah [94]. Perbedaanya sedikit sekali, yaitu terletak kepada siapa penjualan kembali
barang dilakukan. Pada bai al inah, barang dijual kepada penjual pertama, sedangkan
pada tawarrug kepada pihak ketiga
19
REFERENSI
[1] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.
189.
[2] http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00988.html
[3] http://ekisopini.blogspot.com/2009/11/malaysia-dan-bai-al-inah.html
[4] http://muhammadghazi.wordpress.com/2008/09/06/baiah-al-inah/
[5] Ascarya, Ibid., hlm. 143.
[6] Nibrahosen.multyply.com/journal/item/22/oktober/2012
[7] Ascarya, Ibid., hlm. 191.
[8] http://dausalhuriyah.blogspot.com/2008/12/bai-al-dayn.html,22/oktober/2012
[9] http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/12/kedudukan-mazhab-syafie-dalamproduk.html
Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
20
Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”. [http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html]
.
Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam, Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi Kedua. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Affandi, Nik Mohamed bin Nik Yusoff. 2002. Islam & Business. Selangor, Malaysia: Pelanduk
Publication (M) Sdn Bhd.
Ahmad Al Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad, antara teks, realitas, dan
kemaslahatan sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ahmad
Hafids,
dan
Muhammad
Najib
Asyrof.
“Akad
Dalam
Bursa
Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
.
Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat Hukum Islam, Al Ghazali, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Angie
Cyntia.
”Konsep
Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-
tawarrug.html] .
Bello, Petrus C.K.L. 2012. Hukum & Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta: Erlangga.
Cholis Nafis, M. 2011. Teori Hukum Ekonomi Islam.Jakarta: UI Press.
Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic Financial
Liquidity”. Dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic Finance,
The Regulatory Challenge. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Duscik
Ceolah.
“Hukum
Tawarrug
Berdasarkan
Kajian
Fiqih
Terpadu”.
[http://duscikceolah.wordpress.com/2009/08/03/hukum.tawarruq-berdasarkan-kajian-fiqihterpadu/] .
Eko
Suprayitno.
2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam danKonvensional,
Hak Cipta @ 2005 pada Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam.. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia. . Yogyakarta: Kanisius.
Graeber, David. 2011. Debt., The First 5000 Years. New York: Melville House.
21
Hamka.1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.
Hendy Herijanto.2013. “Perdagangan (Jual Beli) Vs Riba: Implikasinya
TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan Masyarakat”. Quality,
Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM,
Vol.II No. 11, Juli 2013.
Hendy Herijanto. 2013.”Prinsip dan Unsur-Unsur Pokok Ekonomi Islam”.
Quality, Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas
SDM, Vol. II No. 11, Juli 2013.
Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah. Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi.
Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory and
Practice. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan Tawarrug”.
Kautsar Azhari Noer. 1995. Ibn Al Arabi, Wahdat al- Wujud dalam Perdebtan.Jakarta:
Paramadina.
Mankiw, N. Gregory. 2003. Harvard University, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Mahmoud A. El-Gamal. 2009. Islamic Finance, Law, Economics and Practice. New York:
Cambridge University Press.
Moghul, Umar F. 2013. “Stepping Forward, Backward, or Just Standing Still? A Case Study in
Shifting
Islamic
Financial
Structures
Offshore”.
Dalam
Kren
Hunt-Ahmed
(Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Muhammad
Abduh
Tuasikal.
“Menjual
Barang
yang
Masih
Utangan”.
[http://pengusahamuslim.com/menjual-barang-yang masih-utangan] < 26/12/2010>.
Muhammad Al Amine, Muhammad Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic
Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations,
Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema
Insani.
Muhammad Khalid Masud. 1996. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
22
Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic
Research Institute.
Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam,
Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani.
Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.
Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya Al Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka.
Salam
Izhar.
“Tawarrug
in
Islamic
Banking
[http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html]
System”
Satria Effendi, dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup.
Sofyan S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam. Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.
Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of Financial
Engineering”. Dalam M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital
Markets, Products and Strategies. Chichester, West Sussex : John Wiley & Sons Ltd.
Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi.
Toutounchian, Iraj. 2009. Islamic Money & Banking, Integrating Money in Capital
Theory. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd.
Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akadtawarrug.html] .
Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah Business School. Jakarta: Ihwah.
Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug, Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarrug and Organized
Tawarrug”. [www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf] .
Widiyastini. 2008. Filsafat Islam. Yogyakarta: Kepel Press.
Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis.Bandung: Marja.
Yusuf Al Qaradhawi. 2005.Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam
Perekonomian
Modern”.
[istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-
kontemporer] .
Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Qardhawi. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press.
23
Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. 2008. Ringkasan Shahih Muslim. Bandung: Mizan
Media Utama.