HAK HAK ATAS TANAH MELAYANG DI INDONESIA

HAK-HAK ATAS TANAH “MELAYANG”
DI INDONESIA
Jamaluddin Mahasari
(Mahasiswa Semester IV Diploma IV Pertanahan
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional)

Kajian ilmiah yang bersifat teknis di Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional (STPN) telah mendapatkan adanya
Gambar Ukur “melayang” dalam kegiatan pendaftaran tanah.
Kajian yuridis yang dilakukan oleh penulis, ternyata juga
menemukan

persoalan

lain tetapi dapat menggunakan

peristilahan yang sama. Dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan beberapa hal mengenai Hak-Hak Atas Tanah
“melayang”.

Pendahuluan


Hak-hak atas tanah akan mulai dibicarakan orang ketika 2 hal besar
digabungkan, yaitu tanah atau wilayah (obyek) dan orang (subyek). Selama kedua
hal tersebut terpisah secara parsial, maka hak-hak atas tanah bukanlah menjadi
suatu hal yang penting atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali. Pentingnya
pengaturan hak-hak atas tanah di Indonesia makin dirasakan seiring pertambahan
penduduk dan meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.
Mengenai kewilayahan, Negara Indonesia adalah negara berbentuk
kepulauan. Pengakuan ini dimulai sejak lahirnya Deklarasi Djuanda 13 Desember
1957. Melalui konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional yang ke tiga
tahun 1982, pokok-pokok azas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam
UNCLOS (United Nation convntion on the Law of the Sea) 1982. Indonesia
kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 tahun 1985. Ratifikasi
ini berakibat bertambah luasnya Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Landas

1

Kontinen Indonesia. Singkatnya, sejarah di atas kemudian menghasilkan jumlah
pulau sebanyak 18.306 buah (data menurut LAPAN), sedangkan menurut
Pussurta ABRI (1987) jumlah pulau 17.508 pulau terdiri 5.707 yang bernama dan

11.801 yang tak bernama. Perbedaan jumlah antara LAPAN dan Pussurta ABRI
terletak

pada

cara

pendefinisian

pulau

dan

metode

penentuan

serta

penghitungannya. Jumlah Pulau tersebut menghasilkan luas wilayah Indonesia 7,9

juta km2 dimana seluas 1,9 juta km2 daratan ditambah 5,8 juta km2 lautan
termasuk ZEE. Apabila dibentangkan, maka bentangan wilayah Indonesia ke arah
Utara-Selatan sepanjang 11.949 km dan arah Timur-Barat sepanjang 5.140 km
yang setara dengan bentangan dari London sampai Istambul dan dari Pantai Barat
sampai Pantai Timur Amerika. Sedangkan mengenai kependudukan, sensus
penduduk Indonesia tahun 2000 menghasilkan data jumlah penduduk Indonesia
mencapai sekitar 201,092 juta jiwa yang terdiri dari 1.071 kelompok/sub
kelompok etnis. Berdasarkan data yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat kita
lihat bahwa semakin bertambahnya penduduk, maka tingkat kebutuhan akan tanah
semakin meningkat, sedangkan tanah relatif tidak bertambah luasnya.
Kebutuhan

akan

tanah

di

Indonesia


kemudian

melahirkan

pembentukan Hukum Tanah Nasional (HTN). Pembentukan HTN ini penting
dilakukan untuk melakukan unifikasi hukum tanah akibat adanya dualisme hukum
tanah sebelumnya, yaitu hukum tanah adat dan hukum tanah barat. Pembentukan
HTN diawali sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang lebih
dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Di dalam UUPA ini
melahirkan adanya lembaga-lembaga hak-hak atas tanah. Pembahasan lebih lanjut
akan membicarakan mengenai jenis-jenis hak-hak atas tanah, perkembangannya,
dan istilah ”melayang” yang disampaikan penulis dalam essay ini.

Jenis-jenis hak-hak atas tanah di Indonesia
Pembentukan HTN yang diawali lahirnya UUPA berusaha melakukan
unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum tanah yang bersifat
tunggal 1 . Tanah disini dimaknai secara filosofis 2 yang cenderung diartikan
1

Boedi Harsono, 10 Juli 2001, Menyempurnakan Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah

Nasional Memasuki Era Reformasi dan Globalisas, Seminar Nasional, Bagian Hukum
Administrasi Negara & Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta.

2

sebagai land dan bukan soil. Sehingga tanah dipandang dari multi dimensional 3
dan multi aspek.
Unifikasi hukum tanah dalam UUPA berupaya melembagakan hak-hak
atas tanah yang baru. Pembentukan HTN kemudian diikuti dengan dikeluarkannya
berbagai peraturan perundang-undangan baru. Hasilnya, hak-hak atas tanah yang
baru dapat dibuat dalam hierarki yang berjenjang sebagai berikut:
1. Hak Bangsa (Pasal 1);
2. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 ayat (1));
3. Hak Ulayat 4 (Pasal 2 ayat (4));
4. Hak-hak perorangan (Pasal 16); terdiri dari :
a. Hak Milik,
b. Hak Guna Usaha,
c. Hak Guna Bangunan,
d. Hak Pakai,
e. Hak Sewa,

f. Hak Membuka Tanah,
g. Hak Memungut Hasil Hutan,
h. Hak lain yang ditetapkan UU dan yang bersifat sementara sesuai
Pasal 53.
Sesuai dengan Pasal 10, maka pengertian perorangan adalah orang dan
badan hukum.
5. Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996);

2

Agum Gumelar, 2002, Kebijakan Agraria/Pertanahan dari Perspektif Pertahanan dan Keamanan
Dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam Reformasi Pertanahan:
Pemberdayaan Hak-hak Atas Tanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi,
Hankam, Teknis, Agama, dan Budaya, CV. Mandar Maju, Bandung.
3
Heru Nugroho, 2002, Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan Hak-Hak Atas
Tanah, dalam Reformasi Pertanahan: Pemberdayaan Hak-hak Atas Tanah ditinjau dari aspek
Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama, dan Budaya, CV. Mandar Maju,
Bandung.
4

Dalam Budi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Dijelaskan bahwa Hak Ulayat adalah
kewenangan mempunyai dan mengatur secara bersama-sama oleh warga masyarakat hukum adat
yang dilaksanakan oleh kepala persekutuannya atas sumber daya agrarian yang terdapat di wilayah
kekuasaan adatnya.

3

Konsekuensi pengakuan terhadap hak-hak atas tanah, maka negara wajib
memberikan jaminan kepastian hak atas tanah, sehingga lebih mudah bagi
seseorang mempertahankan haknya terhadap gangguan pihak lain 5 .

Perkembangan hak-hak atas tanah di Indonesia
Unifikasi hukum untuk melahirkan lembaga hukum baru hak-hak atas
tanah dalam UUPA ternyata tidak bisa menitikberatkan hukum adat 6 sebagai
ruhnya, tetapi pada akhirnya secara diam-diam para pembuat undang-undang tetap
mengadopsi prinsip-prinsip dan hak-hak modern yang didasari pada ide-ide barat
modern 7 . Hal-hal demikian menjadi awal pemicu terjadinya inkonsistensi 8 dalam
UUPA yang kemudian merambat kepada peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan setelah itu. Timbulnya kekacauan penataan hukum tanah nasional

berakibat secara langsung dalam substansi pokok lembaga hak-hak atas tanah.
Beberapa pergantian pemerintahan membawa ciri khusus dalam
pengembangan politik pertanahan. Pemerintahan orde lama mengutamakan
pembangunan bidang pertanian dengan berpihak kepada petani yang dapat dilihat
melalui Panca Program Agrarian Reform Indonesia. Pergantian pemerintahan
selanjutnya yang dikenal dengan sebutan orde baru9 mempunyai strategi lain yaitu
mengutamakan pembangunan melalui pembangunan industri pengolahan bahanbahan baku yang berasal dari impor 10 . Perkembangan politik tersebut melahirkan
berbagai peraturan perundang-undangan pertanahan sesuai semangat yang
diusung oleh masing-masing rezim yang berkuasa.

5

Maria SW Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan; Antara Regulasi dan Implementasi,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
6
Dalam Konsorsium Pembaharuan Agraria, 1998, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Dijelaskan bahwa Hukum Adat adalah sekumpulan
aturan yang tidak tertulis yang hidup dan berlaku serta ditaati oleh masyarakat hokum adapt.
7
Lihat pendapat Soedargo Gautama dalam Soetandyo Wignyosoebroto, 1994, Dari Hukum

Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik Perkembangan Hukum Di Indonesia,
Rajawali Press, Jakarta.
8
Lihat Badan Pertanahan Nasional, 2003, RUU Tentang Penyempuranaan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, Rapat Kerja, Bali.
9
Orde baru adalah sebuah rezim yang kuat. Lihat Arief Budiman, 1991, Negara dan
Pembangunan StudiTentang Indonesia dan Korea Selatan, Padi dan Kapas, hal 59.
10
Boedi Harsono, 2002, Reformasi Hukum yang Berpihak Kepada Rakyat, dalam Reformasi
Pertanahan: Pemberdayaan Hak-hak Atas Tanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial,Politik,
Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama, dan Budaya, CV. Mandar Maju, Bandung.

4

Lahirnya berbagai peraturan pertanahan baru pada tiap orde perlu
mendapat perhatian terutama tentang hak-hak atas tanah. Distorsi hak-hak atas
tanah pada masa orde lama terjadi pada tataran pembuatan konsep dasar peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan. Pada saat penguasa orde baru, distorsi
bertambah parah tidak hanya pada tataran konsep dasar peraturan perundangundangan, akan tetapi juga pada tataran implementasinya. Berbagai peraturan

dibuat hanya dalam kepentingan sektoral semata dan mengakibatkan terjadinya
benturan peraturan perundang-undangan. Misalnya, munculnya UU No. 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU Kehutanan (No. 5 Tahun
1967 dan UU No. 41 Tahun 1999) yang tidak mempunyai hubungan koordinasi
singkronisasi secara komprehensif dengan UUPA menyebabkan terjadinya
tumpang tindih antar peraturan perundangan-undangan tersebut ketika terjadi
konflik hak-hak atas tanah. Belum lagi dengan dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah mentorpedo 11 peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Dalam pembahasan berikutnya akan dipaparkan
contoh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah mentorpedo peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan berbagai distorsi peraturan perundangundangan pertanahan serta sebab-sebab lain yang menyebabkan munculnya hakhak atas tanah melayang di Indonesia.

Hak-hak atas tanah melayang di Indonesia
Sinyalemen munculnya hak-hak atas tanah “melayang” telah
diungkapkan secara eksplisit dengan bahasa lain dalam rapat kerja Badan
Pertanahan Nasional tahun 2003 12 yang lalu. Pengertian “melayang” yang
digunakan penulis adalah untuk menjelaskan bahwa hak atas tanah tersebut ada,
dan digunakan dalam praktek HTN tetapi tidak jelas statusnya dan tidak memiliki
pondasi yang kuat dalam kedudukannya secara yuridis. Sehingga berakibat
11


Istilah torpedo terdapat dalam Moh. Mahfud MD, Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
dan Perlindungan Hak-Hak Rakyat; Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan
Penguasaan Tanah, dalam Reformasi Pertanahan: Pemberdayaan Hak-hak Atas Tanah ditinjau
dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama, dan Budaya, CV. Mandar
Maju, Bandung.
12
Lihat 2003, RUU Tentang Penyempuranaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Rapat
Kerja Badan Pertanahan Nasional, Bali, hal 43. Disebutkan poin (b) ada “hak” yang tidak jelas
statusnya.

5

terhadap kekuatan dan kepastian hukum yang dimiliki pemegang hak terhadap
hak atas tanah yang dimilikinya.
Penyebab timbulnya hak atas tanah “melayang” dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Distorsi yang dimulai sejak pembentukan UUPA merupakan pemicu awal
dari munculnya hak-hak atas tanah “melayang” yang terjadi sekarang ini.
Sandaran hukum adat yang menjadi titik berat dalam UUPA tidak secara
konsisten

dijabarkan

dalam

pasal-pasalnya.

Terlihat

dari

masih

diadopsinya prinsip-prinsip hak atas tanah barat melalui konversi hak atas
tanah barat seperti Hak Opstal menajdi Hak Guna Bangunan (HGB) dan
Hak Erfpacht menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Dalam hukum adat yang
ada di Indonesia, pada dasarnya hanya dikenal 2 macam penyederhanaan
hak atas tanah 13 , yaitu hak milik dan hak Pakai.
2. Adanya kekosongan hukum akibat belum adanya peraturan perundangundangan. Contoh adalah status tanah di DIY. Dalam UUPA, Diktum
keempat huruf B disebutkan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan
ketentuan dalam huruf A di atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Sedangkan sampai sekarang peraturan pemerintah tersebut
belum dikeluarkan. Akibatnya, menurut Sarjita 14 , satus pemberian hak
atas tanah (HGB dan HP) diatas tanah Sultan Ground dan Paku Alaman
Ground di DIY tidak mempunyai konstruksi hukum yang kuat.
3. Lahirnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kemudian
mentorpedo peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Misalnya
tentang status tanah Eks Swapraja di Yogyakarta. Kasus torpedo peratutan
perundang-undangan di DIY ini dapat dilihat dengan keluarnya Peraturan
Daerah No. 3 Tahun 1984 yang menegaskan kewenangan otonom bidang
agraria menjadi kewenangan dekonsentrasi, hal ini memperkosa UU No. 5
UU No. 3 Tahun 1950 dan Tahun 1960 (UUPA). Penjelasan lebih

13

ibid, hal 44-45.
Sarjita, 2005, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah: Keppres
No. 34 Tahun 2003, Tugu Jogja Pustaka, Hal 139-143, Yogyakarta.
14

6

lengkap, baca kajian mengenai tanah di Propinsi DIY yang telah banyak
dikaji oleh Ni’matul Huda 15 dan Sarjita 16 .
4. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral semata
menyebabkan tidak adanya kejelasan UU mana yang lebih tinggi sebagai
rujukan. Akibatnya terjadi benturan antar UU. Misalnya dengan keluarnya
UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan,
Bachriadi 17 menyatakan ada kontradiksi antara UUPA dan UU ini.
Kontradiksi yaitu terkait dengan pemilik tanah yang tidak dapat berbuat
lain selain menyerahkan tanahnya apabila menjadi areal yang ditetapkan
sebagai areal tambang. Contoh lain adalah dengan keluarnya UU
Kehutanan (No. 5 Tahun 1967 dan UU No. 41 Tahun 1999) yang
mengeyampingkan dan berusaha tidak mengakui adanya hak ulayat
dalam bentuk hutan adat dalam penetapan kawasan hutan 18 .

Simpulan
Berdasarkan

uraian

di

atas

mengenai

hak-hak

atas

tanah,

perkembangan hak-hak atas tanah dan hak-hak atas tanah melayang, dapat diambil
kesimpulan sebagai barikut:
1. Perlu segera adanya revisi HTN terutama yang berkaitan dengan hak-hak
atas tanah di Indonesia. Penulis tidak menekankan revisi mengenai
perdebatan apakah akan menyederhanakan menjadi dua macam hak atas
tanah (hak milik dan hak pakai) atau tetap seperti sebelumnya dalam
UUPA dan juga terlepas dari revisi nama undang-undang. Penulis melihat
kedua opsi tersebut mempunyai sisi positif dan negatif tersendiri. Satu hal
yang terpenting adalah menjalankan secara tegas dan konsisten amanat
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketegasan langkah yang diambil
15

Ni’matul Huda, April 2000, Beberapa Kendala dalam penyelesaian Status Tanah Bekas
Swapraja di DIY, Jurnal Hukum, No. 13 Vol 7, hal 90-106, Fakultas Hukum UII, Hal 90-106,
Yogyakarta .
16
Sarjita, 2005, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah: Keppres
No. 34 Tahun 2003, Tugu Jogja Pustaka, Hal 113-150, Yogyakarta.
17
Dianto Bachriadi, 1998, Merana Di Tengah Kelimpahan, ELSAM, Jakarta, hal 106-108.
18
Baca Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni, 1998, dalam Petani: Konflik Agraria,
Akatiga, Bandung.

7

pemerintah dapat dilihat dari keberanian untuk mencabut peraturan
perundang-undangan pertanahan yang tidak sesuai, meliputi peraturan
perundang-undangan yang sejajar kedudukannya tetapi memiliki conflict
of interest dan peraturan perundang-undangan yang mentorpedo dan
memperkosa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsistensi
dapat dilihat dari pembentukan HTN yang komprehensif tanpa
meninggalkan celah secara substansial yang diikuti oleh pelaksanaannnya
agar tidak terjadi kekosongan hukum dan distorsi.
2. Pengaturan kelembagaan BPN dalam tata pemerintahan agar mempunyai
kedudukan yang kuat untuk melakukan upaya-upaya yang terkait dalam
permasalahan pertanahan.
3. Peningkatan kajian akademis melalui perguruan tinggi (Misalnya: STPN)
tentang

permasalahan

yang

berkembang

dalam

masyarakat

dan

pemerintahan, agar dapat memberikan sutu solusi untuk pemecahan
permasalahan bersama.
4. Peningkatan kesadaran hukum kepada masyarakat agar semakin kritis
menyikapi persoalan hukum sehingga apabila terdapat kebijakan
pemerintah dalam mengeluarkan produk hukum yang mempunyai sifat dan
fungsi mentorpedo dan memperkosa dapat melakukan upaya-upaya hukum
agar mendapatkan kapastian hukum yang kuat.

8

DAFTAR PUSTAKA
Agum Gumelar, 2002, Kebijakan Agraria/Pertanahan dari Perspektif Pertahanan
dan Keamanan Dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,
dalam Reformasi Pertanahan: Pemberdayaan Hak-hak Atas Tanah ditinjau
dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama, dan
Budaya, CV. Mandar Maju, Bandung.
Arief Budiman, 1991, Negara dan Pembangunan StudiTentang Indonesia dan
Korea Selatan, Padi dan Kapas, hal 59.
Badan Pertanahan Nasional, 2003, RUU Tentang Penyempuranaan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960, Rapat Kerja, Bali.
Boedi Harsono, 10 Juli 2001, Menyempurnakan Hak-Hak Atas Tanah Dalam
Hukum Tanah Nasional Memasuki Era Reformasi dan Globalisas,
Seminar Nasional, Bagian Hukum Administrasi Negara & Pusat Studi
Hukum Agraria Fakultas Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta.
---------------, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
---------------, 2002, Reformasi Hukum yang Berpihak Kepada Rakyat, Reformasi
Pertanahan: Pemberdayaan Hak-hak Atas Tanah ditinjau dari aspek
Hukum, Sosial,Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama, dan Budaya,
CV. Mandar Maju, Bandung.
Dianto Bachriadi, 1998, Merana Di Tengah Kelimpahan, ELSAM, Jakarta, hal
106-108
Heru Nugroho, 2002, Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan
Hak-Hak Atas Tanah, dalam Reformasi Pertanahan: Pemberdayaan Hakhak Atas Tanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi,
Hankam, Teknis, Agama, dan Budaya, CV. Mandar Maju, Bandung.
Konsorsium Pembaharuan Agraria, 1998, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Maria SW Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan; Antara Regulasi dan
Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

9

Moh. Mahfud MD, Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan
Perlindungan Hak-Hak Rakyat; Upaya Penataan dan Pengaturan
Kembali Pemilikan dan Penguasaan Tanah, Reformasi Pertanahan:
Pemberdayaan Hak-hak Atas Tanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial,
Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama, dan Budaya, CV. Mandar
Maju, Bandung.
Ni’matul Huda, April 2000, Beberapa Kendala dalam penyelesaian Status Tanah
Bekas Swapraja di DIY, Jurnal Hukum, No. 13 Vol 7, hal 90-106, Fakultas
Hukum UII, Hal 90-106, Yogyakarta .
Sarjita, 2005, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi
Daerah: Keppres No. 34 Tahun 2003, Tugu Jogja Pustaka, Hal 139-143,
Yogyakarta.
Soetandyo Wignyosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional:
Dinamika Sosial-Politik Perkembangan Hukum Di Indonesia, Rajawali
Press, Jakarta.
Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni, 1998, dalam Petani: Konfli
Agraria, Akatiga, Bandung.

10