PELUANG DAN TANTANGAN PROGRAM PENDIDIKAN

PELUANG DAN TANTANGAN PROGRAM PENDIDIKAN
KESETARAAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN

Martiyas Anggari Pamungkas
martyas1ap@gmail.com

Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sebelas Maret
JL. Ir. Sutami Nomor 36A, Surakarta, 57126,
Telp. (0271) 646994, Fax (0271) 646655

Abstract
Non-formal Education Program as the first alternative used by the government to
meet the educational needs of society, especially the poor society. Non-formal Education
Program is seen to have a strategic role in improving the quality of Indonesian human
resources to improve their skills in creativity and productivity. It is then used in their
subsistence. This paper attempts to explore the factors that may be an opportunity or a
challenge in terms of Non-formal Education Program to alleviate poverty in Indonesia.
With sourced from various journals and previous studies that also has focused on Nonformal Education Program, the authors adopted several theories that fits the problem in
this paper. The results obtained showed that build motivation of learners is very
positively affect the effectiveness of the program. The regularity of the management of

the manager also gave great support to the program implementation. However, the
development of motivation in society stymied by the conservative mindset of the people,
especially in rural or suburban areas that the majority of people are low-educated. It was
also the cause of limited quality and quantity of teachers or tutor who meet the criteria.
On the other hand, the integration between institutions and programs that are not balanced
become another barrier in realization of regularity in the program management. This is
why they needed a hard effort to socialize and make new programs as a companion of
Non-formal Education Program to integrate it with the other poverty alleviation
programs.
Keywords: Non-formal Education Program, poverty, community empowerment

Pendahuluan:
Manusia membutuhkan suatu pendidikan untuk mengasah keterampilan
dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik dalam dunia usaha atau pun industri.
Di Indonesia kebutuhan akan memperoleh pendidikan ini menjadi salah satu hak
dasar (Hak Asasi Manusia) bagi setiap warga negara Indonesia. Hak memperoleh
pendidikan ini tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 (1) yang
menyebutkan bahwa: “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Selain

19


menjadi suatu hak, pendidikan juga merupakan kewajiban setiap warga negara
Indonesia, sebagaimana tercantum dalam pasal 31 (2): “Setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya ”.

Meskipun pendidikan begitu penting untuk dijalani oleh setiap warga negara
Indonesia, namun pada kenyataannya belum semua warga negara Indonesia
menikmati dan melaksanakan pendidikan sebagai hak dasar mereka. Hal inilah
yang menjadi dasar Pemerintah untuk membuat program pendidikan kesetaraan.
Program Pendidikan kesetaraan merupakan salah satu bentuk pendidikan
non formal, maksudnya tidak terikat oleh kurikulum dan jadwal yang berlaku
dalam pendidikan formal. Pelaksanaan Program Pendidikan Kesetaraan di
berbagai belahan dunia, selalu menjadi alternatif pertama sebagai sarana
pemenuhan kebutuhan pendidikan. Di Indonesia sendiri yang dimaksud dengan
program pendidikan kesetaraan adalah suatu program pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA
yang mencakup program Paket A, Paket B dan Paket C. Penyetaraan hasil belajar
pendidikan kesetaraan di Indonesia diatur oleh Undang-undang nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 26 ayat (6) disebutkan:
”Pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program

pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan”.
Pendidikan kesetaraan terutama ditujukan bagi peserta didik yang berasal
dari masyarakat yang tidak sekolah, putus sekolah, dan putus-lanjut, serta usia
produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidupnya, selain
itu juga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Seperti yang diungkapkan oleh Md. Islam dan Ahmadullah
Mia (2007) dalam jurnalnya yang berjudul The innovative elements in non-formal
education of Bangladesh: Perspective of income generating programmes for
poverty alleviation bahwa:

“Non-formal education operates alongside the formal education
system. It is flexible in terms of curriculum, organization and
Management, responsive to the needs of special groups of learners and is
inclusive of all who wish to learn. Continuing education combines under
non-formal education in a limited way literacy with life improvement skills
20

in consideration of practical needs of different population groups

(Pendidikan non-formal beroperasi bersama sistem pendidikan formal. Hal
ini fleksibel dalam hal kurikulum, organisasi dan manajemen, responsif
terhadap kebutuhan kelompok khusus pelajar dan termasuk semua yang
ingin belajar. Pendidikan berkelanjutan menggabungkan bawah
pendidikan non-formal dalam kemampuan membaca secara terbatas
dengan keterampilan perbaikan hidup pertimbangan kebutuhan praktis
kelompok populasi yang berbeda.)”
Dengan kata lain segala bentuk masyarakat yang tidak mampu

melanjutkan/menempuh pendidikan formal dapat menggantikan pendidikan
mereka melalui pendidikan kesetaraan ini. Untuk skala nasional, penyelenggaraan
program pendidikan kesetaraan dimaksudkan sebagai upaya untuk mendukung
dan mensukseskan program wajib belajar 9 tahun yang merupakan penjabaran
dari rencana strategis Departemen Pendidikan nasional yang meliputi perluasan
akses, pemerataan, dan peningkatan kualitas pendidikan.
Pendidikan kesetaraan sebagai salah satu alternatif meningkatkan kualitas
pendidikan penduduk Indonesia dipandang memiliki peran yang sangat strategis
dalam upaya mendorong tercapainya kualitas sumberdaya manusia Indonesia
yang semakin baik. Dalam Sedarmayanti (1995) disebutkan bahwa fungsi dari
pendidikan kesetaraan adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam kreativitas

dan produktivitas yang telah menyatu dan berkembang pada diri peserta didik
melalui pembelajarannya. Kemampuan dan ketrampilan inilah yang kemudian
digunakan dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Apabila kebutuhan
terpenuhi maka kemiskinan dapat teratasi, dan kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai.
Namun, beragam persoalan selalu mengikuti proses penyempurnaan
pembangunan di bidang pendidikan. Baik di bidang pendidikan formal, non
formal maupun informal. Semua bidang memiliki kendala sendiri-sendiri. Pada
jalur non formal (program pendidikan kesetaraan atau kejar paket A, B dan C)
misalnya, hingga kini masih banyak hambatan sosial dalam masyarakat. Menurut
Md. Islam dan Ahmadullah Mia, ada banyak hambatan untuk pendidikan nonformal dan pelatihan keterampilan mata pencaharian, sejauh tujuan pengentasan
kemiskinan yang bersangkutan. Hambatan berada di tingkat masyarakat miskin

21

buta huruf dan juga dalam sifat program pendidikan non-formal dan kualitas
manajemen (Islam, 2007).
Sebagian masyarakat menganggap, mengikuti program pendidikan
kesetaraan ini tidak memberikan perubahan yang berarti dalam hidup mereka.
Mereka merasa tidak puas dengan hanya mendapatkan ijazah dari pendidikan

kesetaraan ini. Perasaan seperti itu muncul karena sejumlah kalangan masyarakat
masih belum mengakui kesetaraan ijazah dari pendidikan nonformal dengan
pendidikan formal. Bahkan untuk mencari pekerjaan dengan bermodalkan ijazah
pendidikan kesetaraan ini juga sering kali terhambat. Menurut anggota BSNP,
Prof Mungin Eddy Wibowo dalam Harian Umum PELITA, selama ini kesetaraan
ijazah UNPK yang didapat dari pendidikan nonformal masih belum banyak diakui
oleh sejumlah kalangan masyarakat. Hal ini mengakibatkan para pemilik ijazah
UNPK sering mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam berbagai peluang
bekerja atau melanjutkan pendidikan. Perlakuan diskriminasi itu, bahkan lebih
banyak dilakukan dari kalangan lembaga pendidikan.
Akibat dari hal itu, banyak masyarakat kemudian enggan untuk mengikuti
pendidikan kesetaraan. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan dari Program
Pendidikan Kesetaraan yaitu sebagai alternatif pengentasan kemiskinan berasas
pemberdayaan. Maka seharusnya dengan mereka mengikuti pendidikan
kesetaraan ini, mereka akan memperoleh ketrampilan yang dapat digunakan untuk
mencari penghasilan dan meningkatkan pendapatan demi memenuhi kebutuhan
hidup mereka (Salim, 1984).
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan kesetaraan yang selama ini
berjalan, perlu dilakukan pengembangan sesuai dengan tuntutan perkembangan
kebutuhan masyarakat dan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia.

Program pendidikan kesetaraan harus benar-benar merealisasikan kualitas
lulusannya yang tidak hanya memiliki kompetensi akademik, tetapi juga
ketrampilan fungsional, sikap dan kepribadian profesional. Hal ini sesuai dengan
struktur kurikulum program Paket A, Paket B, dan Paket C yang memiliki ciri
khasnya yaitu: memiliki ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari (Paket A), memiliki ketrampilan untuk memenuhi tuntutan kerja (Paket B),

22

dan

memiliki

ketrampilan

berwirausaha

(Paket

C)


(https://pkbmggk.wordpress.com/2012/03/20/standar-isi-pendidikan-kesetaraan/).

Dengan demikian pendidikan kesetaraan ini merupakan suatu bentuk dari
tanggung jawab pemerintah untuk memberikan fasilitas dan memberikan
kesempatan kepada setiap warganya dalam memperoleh akses pendidikan,
terutama bagi mereka yang tidak mampu mengikuti pendidikan formal, serta salah
satu upaya pemerintah dalam memberdayakan masyarakatnya untuk mengatasi
kemiskinan demi meningkatkan kesejahteraan. Untuk itu, dalam karya tulis ini
penulis menganalisis tentang peluang Program Pendidikan Kesetaraan dalam
kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan. Selain itu, juga untuk
mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi pemerintah dalam mencapai tujuan
pendidikan kesetaraan tersebut. Kedepannya, pelaksanaan pendidikan kesetaraan
diharapkan dapat berjalan secara optimal dengan kontribusinya terhadap
pengentasan kemiskinan.

Kajian Pustaka
Tulisan ini

mengadopsi


beberapa teori dari penelitian-penelitian

sebelumnya untuk menganalisis peluang dan tantangan pendidikan kesetaraan
dalam mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Dengan adanya analisis ini,
maka akan lebih mudah untuk mengembangkan pendidikan kesetaraan di masa
depan. Beberapa penelitian terdahulu yang juga membahas pendidikan kesetaraan
atau pendidikan non-formal terutama yang berkaitan dengan kondisi masyarakat
yaitu kemiskinan, baik di Indonesia maupun manca negara adalah sebagai berikut:
Md. Islam dan Ahmadullah Mia (2007) mencoba mengeksplorasi unsur
inovatif pendidikan non-formal Bangladesh dalam hal kontribusinya terhadap
pengentasan kemiskinan melalui program peningkatan pendapatan. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar LSM memiliki program
untuk pembangunan sosial-ekonomi, tetapi sangat sedikit dari mereka memiliki
unsur yang inovatif dalam pendidikan terkait peningkatan pendapatan program
non-formal untuk pengentasan kemiskinan.

23

Simon Ibor Akpama, Obal Usang Esang, Love Joseph Asor, dan William
Otu Osang (2011) meneliti pengaruh program pendidikan non-formal dterhadap

pengurangan kemiskinan di kalangan orang dewasa muda di distrik senator
selatan dari Cross River State, Nigeria antara 2000-2005. Penelitian ini
menunjukkan bahwa perolehan keterampilan kejuruan menyebabkan penurunan
yang signifikan dari kemiskinan di kalangan dewasa muda, dan usia peserta
program akuisisi keterampilan secara signifikan, dipengaruhi pengurangan
kemiskinan. Selain itu, hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang signifikan dalam pengentasan kemiskinan antara pemuda pria dan
wanita.
Dr. Don Olcott, Jr. (2013), mengembangkan penelitian tentang bagaimana
Open Educational Resources (OERs) dapat digunakan dalam pengaturan
pendidikan non-formal yang didefinisikan dalam konteks mereka sebagai aplikasi
untuk mengajar dan belajar. Penulis meyakini bahwa OERs menyediakan sumber
daya pendidikan yang berharga untuk digunakan dalam pendidikan non-formal
yang perlu diperluas, diteliti dan disempurnakan. Dewasa ini, dalam hal perluasan
penggunaan Open Educational Resources (OERs) adalah menciptakan sinergi
potensial antara pendidikan non-formal dan OERs, untuk memperkuat
keberlanjutan proses pendidikan dan pelatihan bagi orang-orang yang tinggal di
daerah yang tak semestinya secara ekonomi.
Liliek Desmawati, Tri Suminar, dan Emmy Budiartati mengembangkan
penelitian tentang Penerapan Model Pendidikan Kecakapan Hidup Pada Program

Pendidikan Kesetaraan Di Kota Semarang. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan

penerapan

model

pendidikan

kecakapan

hidup

dalam

pembelajaran program pendidikan kesetaraan, kemudian menjelaskan keefektivan
model dan dampak model dalam pencapaian tujuan standar kompetensi peserta
didik. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penerapan model pendidikan
kecakapan hidup pada awalnya masih terpisah dengan mata pelajaran yang lebih
difokuskan pada aspek kecakapan vokasi.
Entoh Tohani (2011) langsung memfokuskan penelitiannya pada pengaruh
pendidikan nonformal terhadap pengurangan kemiskinan di pedesaan. Penelitian

24

tersebut

menemukan

bahwa pendidikan non-formal melalui

pendidikan

ketrampilan telah menunjukkan kontribusi positif terhadap penurunan angka
kemiskinan dalam pembangunan pedesaaan. Estimasi kebutuhan pendidikan
ketrampilan di dua kelompok target yang dilaksanakan dengan menggunakan ide
tentang life skill 4-H menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda, model life
skill 4-H dikembangkan dengan fokus pembelajaran berbasis pengalaman. Model
4-H yaitu head, hand, heart, and health atau otak, tangan, hati, dan sehat.
Berdasarkan beberapa referensi penelitian terdahulu yang membahas
tentang program pendidikan kesetaraan serta kaitannya dengan kemiskinan, maka
dalam karya tulis ini akan dibahas tentang peluang program pendidikan kesetaraan
ini dalam mengentas kemiskinan serta tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi
baik pemerintah maupun masyarakat dalam pelaksanaan program pendidikan
kesetaraan ini. Perbedaan artikel ini dengan riset-riset sebelumnya adalah dalam
artikel ini menganalisis tentang peluang dan tantangan yang ada di Indonesia
secara umum, baik itu terhadap Dinas Pendidikan, masyarakat, maupun satuan
pendidikan lain yang terkait. Penulis mengadopsi inovasi yang sudah diriset oleh
peneliti sebelumnya dan menganalisis kesesuaian yang ada di Indonesia.

Rendahnya Pendidikan Sebagai Suatu Penyebab Kemiskinan
Pada dasarnya, kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada
sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks, berwajah
banyak, dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa.
Dalam Teori Marjinal berasumsi bahwa kemiskinan terjadi dikarenakan adanya
kebudayaan kemiskinan yang tersosialisasi di kalangan masyarakat tertentu. Oscar
Lewis (1966) adalah tokoh dari aliran teori marjinal. Konsepnya yang terkenal
adalah Culture of Poverty. Menurut Lewis, masyarakat di dunia menjadi miskin
karena adanya budaya kemiskinan dengan karakter apatis, menyerah pada nasib,
sistem keluarga yang tidak mantap, kurang pendidikan, kurang ambisi
membangun masa depan, kejahatan dan kekerasan banyak terjadi. Ada dua
pendekatan perencanaan yang bersumber dari pandangan teori marjinal: prakarsa

25

harus datang dari luar komunitas; perencanaan harus berfokus pada perubahan
nilai, karena akar masalah ada pada nilai.
Korelasi antara pendidikan dan kemiskinan sudah lama menjadi isu sentral
di banyak Negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Pada dasarnya,
permasalahan mengenai pendidikan dan kemiskinan di negara berkembang
hampir serupa. Umumnya, negara-negara ini menghadapi dilema; apakah
pertumbuhan ekonomi yang lebih dahulu dipacu, ataukah mewujudkan
pendidikan yang lebih baik.
Keterkaitan

kemiskinan

dengan

pendidikan

sangat

besar

karena

pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu
dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya
martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai
masa depan. Hal tersebut seharusnya menjadi semangat untuk terus melakukan
upaya mencerdaskan bangsa. Suatu bangsa yang ingin mencapai kemajuan,
menganggap pendidikan sebagai salah satu dari berbagai kebutuhan vital dan itu
sama halnya dengan kebutuhan akan pangan, sandang dan papan. Hanushek
(2005) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi sangat penting bagi
negara-negara untuk dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Bahkan dalam bangsa yang kecil yaitu keluarga, pendidikan adalah kebutuhan
pokok. Dalam arti bahwa, mereka akan mampu mengurangi kualitas rumah dan
bahan makanannya dan mengupayakan pendidikan tinggi untuk anaknya.

Program Pemberantasan Kemiskinan
Krisis Ekonomi tahun 1998 memberikan hantaman yang besar terhadap
perekonomian nasional, termasuk meningkatnya angka kemiskinan masyarakat
yang naik menjadi 49,50 Juta atau sekitar 24,23 % dari jumlah penduduk
Indonesia, dari hanya 34,01 Juta (17,47 %) pada tahun 1996. Untuk mengurangi
angka kemiskinan akibat krisis ekonomi tersebut, pemerintah kemudian
menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu prioritas
pemerintah Indonesia.

26

Menurut Jeffrey Sachs di dalam bukunya The End of Proverty salah satu
mekanisme dalam penuntasan kemiskinan ialah pengembangan human capital
terutama pendidikan dan kesehatan (Sachs, 2005 dalam Ustama, 2009). Filosofis
Amartya Sen, paham libertarianisme Nosick dan Jeffrey Sachs mengemukakan
enam paket penuntasan kemiskinan, yaitu:
1) Kapital manusia (human capital) terutama dalam kesehatan, gizi, dan
ketrampilan yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
2) Kapital bisnis (business capital), sarana-sarana yang diperlukan di
dalam transportasi untuk pertanian, industri dan servis.
3) Infrastruktur: jalan, tenaga listrik, air minum, sanitasi, dsb.
4) Kapital

alamiah

(natural

capital)

berupa

tanah

pertanian,

biodipersitas.
5) Kapital lembaga-lembaga publik seperti hukum dagang, hukum
peradilan, pelayanan pemerintah.
6) Kapital ilmu pengetahuan (knowledge capital) berupa know-how ilmu
dan teknologi yang meningkatkan produktivitas

yang

dapat

meningkatkan natural capital.
Pemerintah Indonesia saat ini memiliki berbagai program penanggulangan
kemiskinan yang terintegrasi mulai dari program penanggulangan kemiskinan
berbasis bantuan sosial, program penanggulangan kemiskinan yang berbasis
pemberdayaan lingkungan melalui pengembangan usaha kecil dan peningkatan
fasilitas atau infrastruktur, serta program penanggulangan kemiskinan yang
berbasis pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan baik formal maupun
nonformal.

Program-program

tersebut

dijalankan

oleh

berbagai

elemen

Pemerintah baik pusat maupun daerah. Menurut Bappenas (2011) program
penanggulan kemiskinan dibagi atas beberapa klaster. Klaster I mencakup
beasiswa miskin, JAMKESMAS, RASKIN, PKH, BLT (bila diperlukan), dan
lain-lain. Klaster II mencakup PNPM (program-program pemberdayaan
masyarakat). Klaster III kredit usaha rakyat (KUR). Sedangkan klaster IV
mencakup program rumah sangat murah, program kendaraan angkutan murah,
program air bersih untuk rakyat, program listrik murah dan hemat, program

27

peningkatan kehidupan nelayan, program peningkatan masyarakat miskin
perkotaan.

Program Pendidikan Kesetaraan: Upaya Pemberdayaan Masyarakat
Pada

hakikatnya

pendidikan

adalah

usaha

sadar

dalam

rangka

mengembangkan kepribadian serta kemampuan peserta didik baik di dalam
maupun di luar sekolah dan bersifat seumur hidup. Pendidikan berfungsi sebagai
sarana pemberdayaan, baik pemberdayaan terhadap individu itu sendiri ataupun
terhadap masyarakat. Proses pemberdayaan masyarakat berarti mengembangkan
kemampuan seseorang untuk memahami dan mengendalikan keadaan social,
ekonomi dan kemampuan politiknya yang sangat diperlukan dalam upaya
memperbaiki kedudukannya dalam masyarakat. Dengan kata lain proses
pemberdayaan adalah setiap usaha pendidikan yang memiliki tujuan untuk
membangkitkan kesadaran atau pengertian dan kepekaan pada warga masyarakat
terhadap perkembangan social, ekonomi, dan atau politik sehingga pada akhirnya
warga masyarakat memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kedudukannya dalam masyarakat atau menjadi masyarakat yang berdaya. Oleh
sebab itu, pemberdayaan merupakan hakikat pendidikan itu sendiri.
Terlebih lagi pendidikan non formal pada penddikan kesetaraan, memiliki
fokus serta tujuan pencapaian yang berbeda dan menjadi ciri khas di setiap
tingkatannya. Dalam proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan
nonformal, sesungguhnya merupakan sebuah upaya yang memungkinkan
masyarakat dengan segala keberadaannya dapat memiliki kesempatan untuk
memberdayakan dirinya.
Tujuan terpenting dari pendidikan non formal adalah program-program
yang ditawarkan kepada masyarakat harus sejalan dan terintegrasi dengan
program-program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Sehingga melalui pendidikan non formal, masyarakat dapat lebih optimal
melaksanakan dan mencapai tujuan program yang telah direncanakan sebelumnya.

28

Analisis Peluang dan Tantangan Pendidikan Kesetaraan dalam Mengatasi
Masalah Kemiskinan di Indonesia
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan manusia yang mutlak diperlukan
sejak dari manusia itu lahir sampai meninggal. Pendidikan sangat penting bagi
setiap

manusia,

karena

dengan

mengenal

pendidikan

manusia

dapat

mengembangkan dirinya secara optimal. Meskipun pendidikan begitu penting
untuk dijalani oleh setiap warga negara Indonesia, namun pada kenyataannya
belum semua warga negara Indonesia menikmati dan melaksanakan pendidikan
sebagai hak dasar mereka. Hal inilah yang menjadi dasar Pemerintah untuk
membuat program pendidikan nonformal sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan
pendidikan masyarakat.
Program pendidikan Nonformal sebagaimana tercantum dalam pasal 26
ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional terdiri dari pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia diri,
pendidikan kepemudaaan, pendidikan pemberdayaan perempuan pendidikan
keaksaraan, pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik. Walaupun tuntutan standar kompetensi lulusan pendidikan jalur formal dan
non formal sama, namun pengelolaan pendidikan nonformal, utamanya
pendidikan kesetaraan lebih memberikan konsep-konsep terapan, tematik,
induktif, kontekstual dan melatih kecakapan hidup serta berorientasi pada kerja
atau berusaha mandiri.
Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani
menghadapi masalah-masalah hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa
cemas, tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan
solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya dalam rangka mewujudkan
kehidupan yang sejahtera. Untuk itu, pendidikan kesetaraan dalam kaitannya
dengan pengentasan kemiskinan terutama di pedesaan dianggap sebagai alternatif
yang sangat efektif untuk mengatasi masalah kemiskinan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional

nomor 3 tahun 2008 tentang Standar Proses

Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B dan Paket C, terdapat beberapa

29

prinsip dalam pelaksanaan pendidikan kesetaraan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut
antara lain:
1) Menyeluruh dan berkesinambungan. Dalam pelaksanaan pendidikan
kesetaraan, kurikulum yang diberikan haruslah secara menyeluruh
mengenai kecakapan hidup yang diperlukan. Penyampaian materi-materi
dilakukan secara berkesinambungan, sehingga perkembangan kemampuan
atau kecakapan hidup peserta didik dapat meningkat secara bertahap dan
permanen.
2) Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Sesuai dengan ciri khas dari tiaptiap tingkatan, maka materi pendidikan kesetaraan yang diberikan haruslah
relevan dengan kebutuhan kehidupan yaitu: memiliki ketrampilan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Paket A), memiliki ketrampilan
untuk memenuhi tuntutan kerja (Paket B), dan memiliki ketrampilan
berwirausaha (Paket C).
3) Tanggap terhadap perkemangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Meskipun bukan merupakan pendidikan formal yang didukung oleh
banyak modal, namun pendidikan kesetaraan harus tetap tanggap dengan
perkembangan

ilmu

pengetahuan,

teknologi

dan

seni.

Sehingga

perkembangan lifeskill peserta didik sesuai dengan zamannya.
4) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta
didik dan lingkungannya. Pendidikan kesetaraan tidak bisa menuntut
terlalu banyak pada peserta didik, penyampaian materi dan pelatihan
haruslah benar-benar dipertimbangkan oleh banyak aspek.
Berdasarkan analisis atas penelitian-penelitian yang telah dilakukan
tentang pendidikan kesetaraan dan kemiskinan, maka diketahui adanya peluang
dan tantangan bagi pendidikan kesetaraan untuk memenuhi prinsip pelaksanaan
utamanya dalam mengatasi masalah kemiskinan. Peluang dan tantangan tersebut
secara singkat dapat digambarkan dalam bagan berikut:

30

Tantangan:
 Pola pikir masyarakat
 Kualitas dan kuantitas
tenaga pendidik
 Integrasi instansi dan
program-program
Implementasi Prinsip Pendidikan
Kesetaraan (Permendiknas no 3 th
2008):
Kemudahan dalam
Pemberdayaan
Masyarakat:

Menyeluruh dan
berkesinambungan
Relevan dengan kebutuhan
kehidupan
Tanggap terhadap perkemangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni

 Maksimal Pelatihan
 Memperoleh
ketrampilan yang
fungsional
 Sosialisasi secara
teratur dan tertib
 Masyarakat lebih
partisipatif

Berpusat pada potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan
lingkungannya

Indikator Penurunan
Kemiskinan (World Bank:
2007):
 Peningkatan capaian
jenjang pendidikan,
khususnya di sekolah dasar
 Peningkatan jangkauan
pelayanan kesehatan dasar,
khususnya dalam hal
penanganan kelahiran dan
imunisasi
 Penurunan dramatis angka
kematian anak usia balita
 Peningkatan angka
peralihan dari SD ke SMP
 Penurunan angka
kekurangan gizi pada anak,
 Penurunan angka kematian
ibu hamil


Peluang:
 Motivasi
 Manajemen
Pengelola

Gambar 1. Hubungan antara Pendidikan Kesetaraan dengan
Penanggulangan Kemiskinan

Menurut Gambar. 1 dapat dilihat bahwa implementasi dari prinsip
pendidikan kesetaraan adalah untuk mencapai proses pemberdayaan masyarakat.
Proses tersebut dipengaruhi oleh dua faktor yaitu peluang dan tantangan. Peluang
merupakan faktor-faktor yang memudahkan pelaksanaan pendidikan kesetaraan,
sedangkan tantangan adalah hambatan atau kesulitan yang dihadapi dalam
pelaksanaan pendidikan kesetaraan tersebut. Faktor-faktor tersebut muncul dalam
kaitannya dengan pengentasan kemiskinan.

31

Pendidikan kesetaraan dapat membantu melihat potensi atau kemampuan
yang dimiliki masyarakat sehingga mereka dapat memberdayakan dirinya. Hal ini
dilakukan dengan memberikan motivasi baik secara langsung maupun dengan
rangsangan kepada peserta didik untuk terus mengembangkan potensi dalam diri
mereka. Motivasi yang dapat terbangun dalam masyarakat akan memudahkan
keberjalanan

program-program

yang

memerlukan

partisipasi

aktif

dari

masyarakat. Pembangunan motivasi dilakukan dapat melalui sosialisasi instansi
terkait maupun oleh tenaga pendidik yang melakukan kontak langsung dengan
peserta didik.
Motivasi di awal dapat berupa rangsangan yang bersifat memancing.
Seperti misalnya pemberian hadiah atau fasilitas tertentu kepada setiap orang yang
mau mengikuti program pendidikan kesetaraan. Kemudian, rangsangan atau
pancingan tersebut harus pintar-pintar dikelola sehingga dapat berkembang
menjadi suatu motivasi dalam memperbaiki kehidupan. Motivasi ini pula yang
memudahkan

proses

sosialisasi

pada

program-program

pemberantasan

kemiskinan lainnya.
Penanaman serta pemberian motivasi akan sangat tergantung dari
bagaimana instansi dan aktor-aktor di dalamnya dapat diintegrasikan dengan
program. Maka proses sosialisasi serta pemberian motivasi harus dilakukan oleh
instansi maupun pengelola yang terintegrasi dengan baik. Keteraturan dalam
manajemen pengelolaan harus dilakukan secara seksama, hal ini dapat menjadi
peluang lainnya karena di Indonesia diberlakukan otonomi daerah. Dikarenakan
proses sosialisasi yang pembangunan motivasi dilakukan oleh pemerintah daerah,
maka asumsinya pemerintah daerah sudah mengenal dan paham akan karakteristik
masyarakat di daerahnya dibanding pemerintah pusat. Serta keberjalanan program
akan menjadi semakin efisien, karena pendataan dan pengelolaan cukup sampai di
pemerintah daerah saja.
Meskipun pendidikan kesetaraan memiliki peluang yang cukup besar
dalam mengatasi masalah kemiskinan, namun banyak pula hambatan yang
mempengaruhi keberhasilannya. Menurut Md. Islam dan Ahmadullah Mia, ada
banyak hambatan untuk pendidikan non-formal dan pelatihan keterampilan mata

32

pencaharian, sejauh tujuan pengentasan kemiskinan yang bersangkutan.
Hambatan berada di tingkat masyarakat miskin buta huruf dan juga dalam sifat
program pendidikan non-formal dan kualitas manajemen (Islam, 2007).
Tidak jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi masyarakat di
Indonesia. Pola pikir masyarakat yang menjadi sasaran seringkali masih kolot dan
resistan terhadap perubahan. Apalagi masyarakat pedesaan yang mayoritas
penduduknya berpendidikan rendah. Hal ini akan sangat menghalangi berbagai
proses dalam pemberdayaan masyarakat, seperti sosialisasi, partisipasi, bahkan
perolehan ilmu yang dapat digunakan dalam pengembangan ketrampilan. Pola
pikir masyarakat yang kolot juga menjadi masalah yang signifikan apabila terjadi
pada instansi pengelolanya. Seharusnya pemerintah daerah beserta instansiinstansi pengelola dapat bersikap lebih responsif atas kondisi masyarakat. Sikap
resisten dari pemerintah daerah sendiri akan menghalangi pencarian tenaga
pendidik yang berkualitas. Akibatnya jumlah tenaga pendidik yang mau untuk
melakukan pengajaran di daerah tersebut sedikit.
Masalah mengenai kualitas maupun kuantitas tenaga pendidik dalam
pendidikan kesetaraan, dapat diatasi salah satunya dengan melibatkan tenaga
pendidik dalam pendidikan formal. Pemerintah harus memiliki suatu kebijakan
yang mengintegrasikan pendidikan formal dan pendidikan non formal. Hal ini
juga akan memberi keuntungan pada tujuan pemerataan dan penyetaraan
pendidikan di Indonesia. Dengan mengintegrasikan pendidikan formal dengan
pendidikan non formal sehingga pemberdayaan pendidikan di Indonesia dapat
merata secara kualitas maupun kuantitas.

Kesimpulan
Pendidikan kesetaraan merupakan suatu bentuk dari tanggung jawab
pemerintah untuk memberikan fasilitas dan memberikan kesempatan kepada
setiap warganya dalam memperoleh akses pendidikan, terutama bagi mereka yang
tidak mampu mengikuti pendidikan formal, serta salah satu upaya pemerintah
dalam memberdayakan masyarakatnya untuk mengatasi kemiskinan demi
meningkatkan kesejahteraan. Pendidikan kesetaraan sebagai salah satu alternatif
33

meningkatkan kualitas pendidikan penduduk Indonesia dipandang memiliki peran
yang sangat strategis dalam upaya mendorong tercapainya kualitas sumberdaya
manusia Indonesia yang semakin baik.
Dalam pelaksanaan pendidikan kesetaraan dan upayanya untuk mengatasi
masalah kemiskinan, terdapat berbagai faktor yang mendukung maupun
menghambat. Mudahnya membangun motivasi dari peserta didik sangat
mempengaruhi secara positif keefektivan dari program ini. Keteraturan dari
manajemen pengelola juga memberi dukungan yang besar pada keberjalanan
program. Namun, pembangunan motivasi dalam masyarakat terhalang oleh pola
pikir masyarakat yang kolot, terutama di daerah pedesaan atau daerah pinggiran
yang mayoritas masyarakatnya berpendidikan rendah. Hal itu juga yang menjadi
penyebab terbatasnya kualitas maupun kuantitas tenaga pendidik yang memenuhi
kriteria. Di sisi lain, integrasi antar instansi dan program-program yang tidak
seimbang menjadi penghalang terwujudnya keteraturan dalam manajemen
pengelolaan.

Saran
Untuk mengatasi persoalan dalam pelaksanaan program pendidikan
kesetaran tersebut, maka dibutuhkan model pengembangan pendidikan luar
sekolah

yang mencoba mengintegrasikan dari berbagai

program

yang

direncanakan oleh pemerintah tidak berjalan sendiri-sendiri, yang berakibat
hasilnya tidak optimal. Pengintegrasian dapat dilakukan antara program
pemberantasan buta aksara dengan program life skill, atau semua program yang
ditawarkan pemerintah harus diintegrasikan dengan program kecakapan hidup.
Dengan

demikian,

program

pendidikan

kesetaraan

dapat

dilaksanakan

berdampingan dengan program lain dalam hal pengentasan kemiskinan.

Daftar Pustaka
Akpama, Simon Ibor et.al. 2011. “Non-formal Education Programmes and
Poverty Reduction among Young Adults in Southern Senatorial District,
Cross River State, Nigeria”. Journal of Educational and Developmental
Psychology. Vol: 1. No: 1. Pgs: 9
34

Desmawati, Liliek et.al. Penerapan Model Pendidikan Kecakapan Hidup pada
Program Pendidikan Kesetaraan di Kota Semarang. Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Hanushek, Eric A. 2005. “Economic outcomes and school quality”. International
Institute for Educational Planning . ISBN 978-92-803-1279-9.
Hiryanto. 2008. Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendidikan Nonformal.
Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pendidikan Luar Sekolah
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul.
Islam, Md. and Ahmadullah Mia. 2007. “The innovative elements in non-formal
education of Bangladesh: Perspective of income generating programmes
for poverty alleviation”. International Journal of Education and
Development using Information and Communication Technology
(IJEDICT). Vol. 3 . Issue 3. pp. 89-104.

Laporan riset oleh UNICEF tahun 2012 dalam www.unicef.org/indonesia diakses
pada tanggal 1 April 2015
Manajemen Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah tahun 2012
dalam
PKBM
Guguak
yang
tercantum
dalam
https://pkbmggk.wordpress.com/2012/03/20/standar-isi-pendidikankesetaraan/ diakses pada tanggal Senin 30 April 2015
Olcott, Don. 2013. “New Pathways to Learning: Leveraging the Use of Open
Educational Resources (OERs) to Support Non-formal Education”. RUSC
VOL. 10 No 1 | ISSN 1698-580X | Universitat Oberta de Catalunya |
Barcelona. Pgs: 19
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 3 Tahun 2008
tentang Standar Proses Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Program
Paket B, dan Program Paket C
Salim, E. 1984. Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan.
Jakarta: Intiraya Press
Sedarmayanti. 1995. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung:
Ilham Jaya
Tohani, Entoh. 2011. Pendidikan Nonformal dan Pengurangan Kemiskinan di
Pedesaan. Wallsongo. Volume 19. Nomor 2. Halaman: 14.
Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Ustama, Dicky Djatnika. 2009. Peranan Pendidikan dalam Pengentasan
Kemiskinan. DIALOGUE: Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan
Publik Vol. 6 , No. 1, Halaman: 12
35

World Bank. 2007. Making the New Indonesia: Era Baru dalam Pengentasan
Kemiskinan di Indonesia . Jakarta: The World Bank Jakarta

36