PERAN PETANI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNA

PERAN PETANI DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERSPEKTIF BARU
DI INDONESIA (Studi Etnografi pada Gapoktan sebagai Kelompok Masyarakat
dalam Mendukung Program Pertanian Sekolah Lapang di Desa Sukorejo,
Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk)
Oleh: Nuriya Qurrotun A’yuny, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia.
Abstrak
Komunikasi pembangunan di desa tidak lagi menggunakan model top-down, karena
dibutuhkan keikutsertaan masyarakat petani. Perlu adanya bentuk-bentuk komunikasi yang
interaktif dalam proses pembangunan. Oleh karena itu model pembangunan perspektif
baru diterapkan di pedesaan, karena masyarakat saat ini sudah sepantasnya diposisikan
sebagai objek sekaligus subjek pembangunan.Jenis penelitian yang digunakan adalah
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian bertempat di Desa Sukorejo,
Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk dengan wilayah sebagai penghasil Bawang merah
terbesar di Jawa Timur. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dari
ketua Gapoktan, anggota Gapoktan dan petugas Sekolah Lapang. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah observasi partisipan dan wawancara mendalam. Dengan
menggunakan pendekatan etnografi mengantarkan peneliti pada kondisi masyarakat asli.
Teknik analisis data yang digunakan adalah model Miles Huberman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) Petani peserta SL dan non SL saling bertukar informasi melalui
getok tular dan klumpukan, serta diaplikasikan pada lahan mereka masing-masing; (2)

Hubungan antara petani dengan petugas SL berjalan dua arah, tidak hanya petugas
menyampaikan materi saja tetapi juga mendengarkan aspirasi dari para petani; (3) Program
Sekolah Lapang di Desa Sukorejo merupakan komunikasi pembangunan perspektif baru;
(4) Peran petani dalam program pembangunan ditunjukkan dengan partisipasi mereka
untuk mengikuti Sekolah Lapang.
Kata Kunci: Sekolah Lapang, Interaksi, Perubahan Sosial, Pembangunan, Partisipasi,
Perspektif Baru.

Abstract
Communication development in the village is no longer using the top-down model,
because it takes the participation of farming community. There are the needs of interactive
communication forms in the development process. Therefore, the new perspective of
developement model is applied in the village, because the society appropriate to
positioned as the object and subject of development. The type of this research is
descriptive research and it use qualitative approach. Location of the study took place in
Sukorejo, District Rejoso, Nganjuk with onion-producing regions as the largest in East
Java. Sources and types of data used is primary data by interview with head of Gapoktan,
members and officers Gapoktan Field School. Data collection techniques used are

1


participant observation and in-depth interviews. By using an ethnographic approach to
delivering research on the condition of the original community. The data analysis
technique used is the model of Miles Huberman. The results showed that: (1) Farmers
which SL participants and non-SL participants able to disseminate information with getok
tular or word of mouth activity and klumpukan, and applied to their own land; (2) The
relationship between farmers and officials of SL goes both ways, not just officers
presenting the material, but also listen to the aspirations of the farmers; (3) Sekolah
Lapang program in Sukorejo is a new perspective of development communication; (4) The
role of farmers in the development program are shown with their participation to follow
Sekolah Lapang.
Keywords: Sekolah Lapang, Interaction, Social Change, Development, Participation, New
Perspectives.

1. Pendahuluan
Kondisi suatu negara sebagai sebuah sistem selalu mengalami perubahan, perubahan
sosial sendiri adanya perubahan pada sistem sosial masyarakat yang memberikan
perbedaan dari waktu ke waktu terhadap sistem tersebut (Sztompka, 2010, h. 3).
Perubahan sosial yang terjadi diarahkan pada upaya untuk memberikan jaminan
kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik kepada masyarakat, maka diperlukan

adanya sebuah pembangunan. Jadi perubahan sosial berhubungan dengan perubahan
peran-peran dari individu yang terbentuk melalui pembangunan dengan adanya interaksi
dan komunikasi.
Komunikasi dalam pembangunan memiliki kontribusi untuk meningkatkan
keikutsertaan masyarakat guna mendukung pembangunan. Komunikasi sangat berperan
penting pada pembangunan yang bersifat partisipasi, hal ini sesuai dengan pendapat
Dagron bahwa konsep pembangunan partisipasi telah menyebabkan lebih besar tingkat
pemahaman peran komunikasi untuk pembangunan (Dagron, 2001, h. 10). Model
komunikasi pembangunan dengan perspektif baru yaitu kombinasi dari top-down dan
bottom-up, yang memberikan dukungan dalam peningkatan desentralisasi, seperti dalam
bidang kesehatan, lingkungan, dan pendidikan yang berlangsung pada negara berkembang
menjadikan pendekatan berbasis masyarakat sangat diperlukan, namun tidak dengan
meremehkan peran pemerintah (Waisbord, Media and Glocal Change, h. 79, nd).
Pembangunan pedesaan menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan
yang telah ditetapkan, mengingat pedesaan merupakan sumber utama dari jumlah
pengangguran. Pedesaan merupakan daerah dimana pusat perhatian dan kepentingan
adalah pada pertanian, kehidupan masyarakat desa umumnya tergantung dari usaha tani.
Penelitian yang telah dilaksanakan berhubungan erat dengan masyarakat pedesaan di Kota
Nganjuk yang notabene masyarakat di pedesaan lebih cenderung memiliki mata
pencaharian sebagai petani.

Kecamatan Rejoso, Kecamatan Tanjunganom, dan Ngronggot merupakan tiga
kecamatan dengan urutan teratas yang mempunyai jumlah rumah tangga usaha pertanian

2

terbanyak, yaitu masing-masing 18.360 rumah tangga, 13.862 rumah tangga, dan 12.455
rumah tangga (Sensus Pertanian, 2013). Salah satu desa di Kota Nganjuk dengan hasil
pertanian bawang merah adalah Desa Sukorejo, Kecamatan Rejoso. Dengan hasil
pertanian bawang merah yang melimpah, pemerintah Kota Nganjuk mengadakan program
pembangunan dari pra-penanaman hingga pasca panen bawang merah yang dinamakan
dengan SL (Sekolah Lapang). Dilaksanakannya program Sekolah Lapang di Desa
Sukorejo maka dibentuk sebuah kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa petani
bawang merah. Kelompok masyarakat tani ini kemudian bergabung bersama dalam satu
wadah yang disebut dengan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan kelompok ini
merupakan partisipasi dari masyarakat terhadap program yang telah dicanangkan oleh
pemerintah Daerah Kota Nganjuk.
Keikutsertaan petani pada program Sekolah Lapang merupakan wujud dari
partisipasi mereka terhadap dalam program pembangunan pedesaan. Pendekatan
partisipasi berkontribusi menempatkan pengambilan keputusan di tangan rakyat atau
disebut bottom-up. Peneliti menggunakan perspektif komunikasi pembangunan untuk

membantu mendeskripsikan peran Gapoktan dalam program pertanian yang telah
dilaksanakan oleh pemerintah. Program pembangunan berupa Sekolah Lapang bersifat
partisipatoris sehingga memberikan kesempatan pada masyarakat petani untuk
meningkatkan usaha tani mereka. Di lapangan pertanian sendiri, penerapan komunikasi
pembangunan sudah sejak lama dilaksanakan (Nasution, 2002, h. 174). Oleh karena itu
penelitian ini berusaha menganalisis pada komunikasi pembangunan dengan perspektif
baru, yang dijadikan sebagai tambahan wacana dan kajian tentang komunikasi
pembangunan dalam kelompok masyarakat pertanian.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Perubahan Sosial Sebagai Sebuah Proses dalam Masyarakat
Masyarakat dan perubahan sosial memiliki hubungan erat, karena masyarakat adalah
obyek sekaligus subyek dalam perubahan sosial. Soekanto (1990, h. 301) menjelaskan
struktur dan fungsi masyarakat mengalami suatu perubahan yang disebut dengan
perubahan sosial. Masyarakat sebagai suatu sistem yang terbuka, memiliki kecenderungan
untuk selalu berubah untuk mencari keseimbangan. Pernyataan tersebut sesuai dengan
pendapat Sztompka bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang sangat dinamis maka
cenderung mengalami perubahan, jadi masyarakat yang ada setiap saat dari masa lalu
menuju ke masa mendatang dan masyarakat pasti memiliki keterkaitan dengan masa
lalunya (Sztompka, 2010, h. 65).
2.2 Komunikasi dan Pembangunan di Pedesaan

Cara hidup masyarakat dari tradisional menuju cara hidup yang lebih kompleks
menunjukkan adanya suatu proses modernisasi atau pembangunan yang berteknologi maju
dan dinamis (Rogers, dalam Nasution, 2002, h. 37). Peran komunikasi sangat penting di
dalam aktivitas pembangunan saat ini. Menurut Hornik komunikasi memiliki beberapa
peran di dalam pembangunan di antaranya adalah sebagai penghubung antar kelembagaan,

3

penguat pesan, dan sekaligus sebagai akseletator dalam berinteraksi (dalam Bella, 1992).
Schramm (dalam Nasution, 2002, h. 101) merumuskan tugas pokok komunikasi dalam
suatu perubahan sosial guna melaksanakan pembangunan:
a) Menyampaikan kepada masyarakat, informasi tentang pembangunan, agar
mereka memusatkan perhatian pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan dan
cara menghadapi perubahan, sarana-sarana perubahan dan membangkitkan
aspirasi masyarakat.
b) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara
aktif dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog agar melibatkan
semua pihak yang akan membuat keputusan mengenai perubahan, memberi
kesempatan kepada para pemimpin masyarakat untuk memimpin dan
mendengarkan pendapat rakyat kecil, dan menciptakan arus informasi yang

berjalan lancar dari bawah ke atas.
c) Mendidik tenaga kerja yang diperlukan pembangunan, mulai anak-anak hingga
orang dewasa, mulai pelajaran baca tulis, hingga keterampilan yang dapat
mengubah hidup masyarakat.
2.3 Perspektif Baru dalam Komunikasi Pembangunan
Pendekatan top-down lebih sering digunakan dalam model difusi, dalam hal
membujuk individu untuk mengubah perilaku mereka, model ini umumnya kurang
partisipatif (Cooper dan Goodsmith, 2010, h. 5). Kemudian pendekatan bottom-up,
pendekatan yang bergerak dari bawah ke atas. Pendekatan ini bermula dari inisiatifinisiatif masyarakat, jadi masukan dan inspirasi dari masyarakat sangat berperan penting.
Pendekatan ini cenderung pada model partisipatif sehingga menumbuhkan proses
horizontal komunikasi, pertukaran, dan dialog di tingkat masyarakat (Morris dalam Cooper
dan Goodsmith, 2010, h. 5).
Dagron (2001, h. 35) menyatakan bahwa keduanya berperan penting dan memiliki
kontribusi masing-masing, yang mampu memberikan banyak harapan bagi masa depan
komunikasi, partisipasi dan perubahan sosial. Senada dengan pendapat Morris (dalam
Cooper dan Goodsmith, 2010, h. 5) yang menyatakan bahwa pada umumnya program
komunikasi pembangunan saat ini mengkombinasikan dua pendekatan yaitu model difusi
(untuk peningkatan isu) dan partisipatif (masyarakat dilibatkan).
2.4 Komunikasi Partisipatoris dalam Kelompok Masyarakat Pedesaan
Partisipasi dalam konteks pembangunan dapat diartikan sebagai kontribusi sukarela

dan keterlibatan demokratis oleh penduduk dalam usaha pembangunan, menikmati hasihasilnya serta kebersamaa dalam pembuatan keputusan yang berhubungan dengan
penentuan tujuan, penyusunan kebijakan dan perencanaan serta penetapan program
pembangunan ekonomi dan sosial (Midgley, dkk., 1986, h. l25). Terdapat tiga azas pokok
universal pembangunan masyarakat pedesaan menurut Hamijoyo (2005, h. 94), yaitu:
a) Dinamisasi (mendorong partisipasi aktif masyarakat)
b) Modernisasi (kemajuan ekonomi dan sosial)

4

c) Demokratisasi (melimpahkan kepercayaan sepenuhnya kepada masyarakat untuk
memegang inisiatif)
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah memulai adanya pengembangan otonomi
pemerintah desa dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
a) Pasal 95, mengenai pemerintah desa. Dari sini pemerintah telah membuka
peluang tumbuhnya partisipasi dalam kerangka pemberdayaan masyarakat.
b) Pasal 102, terlihat bahwa penduduk desa telah diletakkan pada porsi yang
sebebasnya sebagai titik sentral pemerintah desa, sebagai wujud pemerintahan
yang berpusat pada masyarakat, serta menghargai prakarsa masyarakat beserta
adat istiadatnya.
Terbentuknya kelompok masyarakat merupakan wujud dari sebuah partisipasi untuk

mendukung suatu pembangunan. Partisipasi sebagai penyertaan mental serta emosi pekerja
ke dalam situasi kelompok yang mendorong agar mereka mengembangkan kemampuannya
ke arah tujuan kelompok yang bersangkutan dan ikut bertanggung jawab akan kelompok
tersebut (Prihantanto, 2007, h. 21).

2.5 Budaya Lokal dan Perubahan Sosial
Budaya lokal yang ada di sini merupakan budaya Jawa, dimana dalam budaya Jawa
masih kental dengan unsur keagamaan dan tingkat toleransi antar masyarakat yang tinggi.
Masyarakat pedesaan cenderung lebih menghargai pemuka masyarakat yang ada di
sekelilingnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Geertz yang menjelaskan bahwa
penduduk desa tidak merasa derajadnya lebih tinggi dari yang lain, kecuali memiliki status
yang lebih tinggi secara formal maka diharuskan untuk melakukan suatu tata-cara
penghormatan yang halus (Geertz, 1983, h. 23).
Masinambouw dalam Chaer (1995, h. 217) menjelaskan bahwa kebudayaan dan
bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Kebudayaan tidak dapat
menutup diri dari pengaruh luar dan akan mengalami pergeseran budaya yang disebut
sebagai pergeseran sistem nilai-nilai budaya, begitu pula dengan kebudayaan Jawa (Tim
Pusat Studi Pariwisata UGM, 2004, h. 168).
2.6 Etnografi Sebagai Sebuah Pendekatan
Etnografi melihat dan mengamati masyarakat dengan kebudayaan asli mereka.

Dimana etnografi erat kaitannya dengan komuniasi, yang memiliki fokus kajian perilakuperilaku komunikatis suatu masyarakat yang pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh
aspek sosiokultural seperti kaidah interaksi dan kebudayaan (Kuswarno 2011, h. 36).
Dalam riset kualitatif, pendekatan etnografi digunakan untuk mempelajari aspek budaya,
sosial, dan perilaku (seseorang maupun kelompok masyarakat) dalam suatu setting natural
(Creswell, 1998).
3. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian dengan jenis
kualitatif deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi komunikasi karena

5

fokus perhatian etnografi komunikasi adalah pada perilaku komunikasi dalam tema
kebudayaan tertentu (Kuswarno, 2011, h. 35). Fokus dalam penelitian ini adalah peran
petani dalam mendukung program pertanian bawang merah Sekolah Lapang melalui
Gapoktan di desa Sukorejo, kecamatan Rejoso, kabupaten Nganjuk dengan kategori
sebagai berikut:
1. Interaksi yang terjadi antara petani (pemimpin dan anggota) yang tergabung
dalam Gapoktan di Desa Sukorejo.
2. Interaksi yang terjadi antara petani dalam kehidupan sehari-hari.
3. Interaksi yang terjadi antara petani dengan pemerintah daerah atau petugas,

dalam hal ini adalah Sekolah Lapang.
4. Pemahaman terhadap interaksi dari para petani dan pegiat Sekolah Lapang
lainnya.
5. Implementasi perilaku menanam bawang merah oleh petani pada lahanya dan
ke petani yang tidak ikut Sekolah Lapang.
Lokasi penelitian ini bertempat di Desa Sukorejo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten
Nganjuk dan berfokus pada petani bawang merah khususnya Gapoktan. Dipilihnya lokasi
ini sebagai lokasi penelitian tentunya didasari karena lokasi tersebut merupakan wilayah
dengan produktivitas bawang merah terbesar, dan sebagian besar masyarakatnya bekerja
dalam bidang pertanian. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer, yaitu data yang diperoleh langsung di lapangan dari narasumber yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini terdapat dua metode pengumpulan data, yaitu :
a) Observasi-Partisipan, , istilah observasi partisipan ini mengacu pada model
observasi yang dilakukan oleh peneliti setelah dia berhasil menjadi partisipan
dalam penelitian yang sedang dilakukan (Denzin dan Lincoln, 2009, h. 316).
b) Wawancara Mendalam, wawancara yang dilakukan dengan pertanyaanpertanyaan yang secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan bersifat
terbuka (opended) yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini
dari para partisipan. Wawancara tidak terstruktur digunakan untuk memahami
kompleksitas perilaku anggota masyarakat (Denzin dan Lincoln, 2009, h. 08).
Peneliti menggunakan teknik purposive sampling dalam menentukan informan.
Purposive sampling adalah teknik penentuan informan dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2008, h. 112). Peneliti memiliki kriteria tertentu untuk menentukan informan
kunci (key informant), yaitu:
a) Mereka yang berkecimpung di dalam kegiatan bertani bawang merah atau
petugas Sekolah Lapang.
b) Mereka yang berpengalaman dalam kegiatan para petani dari pra-penanaman
hingga pasca panen. Berpengalaman dalam hal ini adalah mereka yang sudah
lama mengikuti kegiatan Sekolah Lapang, seperti pemimpin atau anggota
Gapoktan lain.
c) Mereka yang berpartisipasi dalam kegiatan Sekolah Lapang.

6

Tabel 3.1 : daftar informan
Informan Kunci
Bapak Akat, selaku wakil ketua umum
asosiasi
perbenihan
bawang
merah
Indonesia sekaligus ketua Gapoktan di Desa
Sukorejo
Anggota Gapoktan di Desa Sukorejo
(Supriyadi, Suwito, Parmin, Endro,
Darmaji)

Informan Pendukung
Instansi terkait dari pemerintah, Dinas
Pertanian
Daerah
Kota
Nganjuk
(Gunawan, S.P., M.Si)
Masyarakat sekitar yang berhubungan
dengan pertanian bawang merah :
-Buruh Tani : Poni dan Solikin
-Petani bukan SL: Sulastri, Yasin
-Alumni SL : Kasidi

Pengurus GAPOKTAN (Imam Hambali
dan Malikin) dan Petugas pelaksana
Sekolah Lapang (Suroto, S.P. dan Yaminah,
S.P.)

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis Miles dan
Huberman (Pawito, 2007, h. 103)
Penyajian
data

Pengumpulan
data

Penarikan /
pengujian
kesimpulan

Reduksi
data

Gambar 3.1: Model analisis Miles dan Huberman
Sumber: Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial
Lainnya

Agar penelitian kualitatif memiliki tingkat credibility yang tinggi maka dapat
dilakukan metode sebagai berikut: a) Ketekunan / keajegan pengamatan, dengan
meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan
berkesinambungan; b) Perpanjangan keikutsertaan, hal ini dimaksudkan untuk
membangun kepercayaan para subjek terhadap peneliti; c) Triangulasi, adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.
4. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan isi UU no. 22 tahun 1999 pasal 95, petani Desa Sukorejo sudah
berkembang dalam hal keikutsertaan dalam berpartisipasi pada program pembangunan

7

pertanian Sekolah Lapang yang diadakan pemerintah. Partisipasi tersebut ditunjukkan
dengan adanya keikutsertaan petani pada program Sekolah Lapang di Desa Sukorejo.
Pemberdayaan petani dijalankan dengan tujuan peningkatan perekonomian dan
mensejahterakan masyarakat. Senada dengan pendapat Geertz (Prasetijo, 2008) yang
memfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman
maysarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan hidupnya. Dalam
kajian tersebut masyarakat Desa Sukorejo berpedoman pada hubungan yang terjalin di
antara mereka untuk melakukan interaksi antar individu dan kelompok.
Terdapat tiga azas pokok universal pembangunan masyarakat pedesaan menurut
Hamijoyo (2005, h. 94) yaitu dinamisasi, modernisasi, dan demokratisasi. Dalam konteks
penelitian ini dinamisasi hadir dalam bentuk Sekolah Lapang yang mampu mendorong
petani dalam berpartisipasi di Sekolah Lapang. Kemudian modernisasi muncul dalam
bentuk kemajuan cara bertani masyarakat Desa Sukorejo dalam merawat bawang merah.
Sedangkan demokratisasi yaitu petani diberikan kepercayaan penuh oleh Pemerintah
Daerah Kota Nganjuk untuk melaksanakan Sekolah Lapang.
Model pembangunan yang terjadi di Desa Sukorejo mengkombinasikan antara topdown dan bottom-up, menurut Dagron (2001, h. 5) kedua model ini berperan penting
untuk memberikan dampak partisipasi dan perubahan sosial dalam masyarakat. Proses
komunikasi dalam Sekolah Lapang berjalan secara dua arah, di mana petugas tidak
bersifat menggurui tetapi juga mendengarkan pendapat-pendapat dari petani.
Berdasarkan paradigma communication for development (Servaes, 2007), proses belajar
di Sekolah Lapang mendengarkan pendapat dari petani sebagai masukan dimana petani
telah diposisikan sebagai objek sekaligus subjek pembangunan. Dengan komunikasi
secara dua arah, mereka merasa lebih dihargai dalam pelaksanaan program tersebut.
Masyarakat Desa Sukorejo lebih percaya kepada teman mereka yang memiliki latar
belakang pekerjaan yang sama sebagai petani. Berkaitan dengan pendapat Geertz (1983,
h. 23) yang menyatakan penduduk desa tidak merasa derajatnya lebih tinggi dari yang
lain, khususnya petani yang tidak mengenal Sekolah Lapang lebih percaya pada sesama
petani daripada petugas SL. Masyarakat petani Desa Sukorejo telah mengalami
perubahan sosial karena adanya program Sekolah Lapang. Menurut Rogers (dalam
Wahyu, 2005, h. 2) perubahan sosial dikategorisasikan menjadi tiga hal yaitu penemuan
baru (invention), difusi dan akibat. Terjadi perubahan cara merawat tanaman oleh petani
dari sebelum mengikuti Sekolah Lapang dan setelah mengikuti Sekolah Lapang. Dengan
adanya inovasi bertani masyarakat menyebarkan inovasi tersebut melalui nilai lokal yang
berada di daerah mereka, yaitu melalui getok tular dan klumpukan. Hal tersebut senada
dengan pendapat Dagron (2001, h. 34) bahwa komunikasi partisipasi memberikan
kontribusi untuk kebanggaan budaya dan harga diri, ini dapat memperkuat jaringan sosial
melalui penguatan bentuk-bentuk lokal dan masyarakat adat organisasi serta melindungi
tradisi dan nilai-nilai budaya. Dalam penelitian ini bentuk penguatan nilai lokal ada pada
cara penyebaran informasi yang dilakukan oleh petani, yaitu melalui getok tular dan
klumpukan.

8

Proposisi
Maka proposisi yang ditawarkan adalah semakin kuat interaksi yang terjadi dari
partisipasi petani dalam program Sekolah Lapang, maka komunikasi pembangunan yang
diterapkan pemerintah dalam program peningkatan usaha tani semakin maksimal,
sehingga tujuan dari pembangunan dapat tercapai.
Hal ini terjadi karena Sekolah Lapang menggunakan model komunikasi campuran
antara top-down dan bottom-up untuk menyukseskan pembangunan pedesaan di Desa
Sukorejo. Dalam hal ini model pembangunan perspektif baru memberikan pengaruh yang
tinggi terhadap partisipasi petani dalam Sekolah Lapang. Sekolah Lapang di Desa
Sukorejo mengutamakan kepentingan dan partisipasi masyarakat. Pemerintah
menampung masukan dan aspirasi dari masyarakat sebagai pertimbangan pembentukan
program Sekolah Lapang.
5. Kesimpulan
a) Petani peserta SL dan non SL saling bertukar informasi melalui getok tular dan
klumpukan, serta diaplikasikan pada lahan mereka masing-masing. Melalui nilai
lokal tersebut masyarakat petani dapat menyebar luaskan ilmu dari program SL
pada petani lain yang tidak mengikuti SL.
b) Hubungan antara petani dengan petugas SL berjalan dua arah, tidak hanya petugas
menyampaikan materi saja tetapi juga mendengarkan aspirasi dari para petani.
Terutama pada kegiatan Sekolah Lapang, kegiatan belajar tidak bersifat menggurui
tetapi lebih mengarah pada kegiatan diskusi dan sharing.
c) Program Sekolah Lapang di Desa Sukorejo merupakan komunikasi pembangunan
perspektif baru. Pertama, menunjukkan adanya model top-down yaitu melalui
penggalian masalah pertanian khususnya bawang merah oleh Pemerintah Daerah
Kota Nganjuk menunjukkan adanya kepedulian terhadap kepentingan-kepentingan
masyarakat dan peningkatan isu terhadap program yang berkaitan dengan
Pengendali Hama Terpadu yang dibantu oleh ketua dan pengurus GAPOKTAN.
Kedua, menunjukkan model bottom-up yaitu masyarakat memiliki inisiatif
partisipasi dalam kegiatan Sekolah Lapang dan inspirasi petani yang menjadi
masukan bagi pemerintah.
d) Peran petani dalam program pembangunan ditunjukkan dengan partisipasi mereka
untuk mengikuti Sekolah Lapang. Terjadi perubahan pola prilaku pada petani Desa
Sukorejo dari sebelum mengikuti SL dan setelah mengikuti SL. Perubahan tersebut
ditunjukkan dengan adanya perubahan perawatan Bawang Merah dengan bijak dan
ramah lingkungan.
6. Saran
a) Seharusnya kegiatan klumpukan tidak hanya dilakukan setiap kelompok kecil
petani pada masing-masing dusun, tetapi dilakukan secara serentak oleh
GAPOKTAN. Karena yang mengikuti Sekolah Lapang adalah kelompok tani
Ngudi Luhur , maka melalui klumpukan GAPOKTAN dapat bertukar informasi
dengan POKTAN lainnya.

9

b) Melalui kegiatan klumpukan GAPOKTAN tersebut petani dari kelompok Ngudi
Luhur (yang mengikuti SL) diposisikan sebagai pemateri secara bergantian. Materi
yang disampaikan terlebih dahulu di list berdasarkan materi-materi di Sekolah
Lapang, namun tetap didampingi pengurus atau mengundang petugas Sekolah
Lapang. Dengan cara tersebut maka petani tidak akan menahan atau mengisolasi
pengetahuan untuk urusan pribadi.

Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. (2003). Penelitian kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.
Chaer, Abdul. (1995). Sosiolinguistik perkenalan awa l. Jakarta:Rineka Cipta.
Communication,participation, & social
change: a review of communication initiatives addressing gender-based violence,
gender norms, and harmful traditional practices in crisis-affected settings. New York:
Communication for Change.

Cooper ,Chelsea & Goodsmith, Lauren. (2010).

Creswell, John. (1998). Qualitative inquiry and research design, choosing among
five traditions. Thousand Oaks London: Sage Publication.
Dagron, Alfonso Gumucio. (2001). Making waves (stories of participatory for social
change). New York: The Rockefeller Foundation.
Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. (2009). Qualitative research. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford. (1983). Abangan, santri, priyai dalam masyarakat Jawa . Jakarta: Pustaka
Jaya.
Hamijoyo, Santoso S. (2005). Komunikasi partisipatoris: pemikiran dan implementasi
komunikasi dalam pengembangan masyarakat. Bandung: Humaniora.
Kuswarno, Engkus. (2011). Etnografi komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Midgley, James. (1986). Community participation, social development and the state.
London: Methuen.
Nasution, Zulkarimen. (2002). Komunikasi pembangunan pengenalan teori dan
penerapannya . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Prasetijo, Adi. (2008). Konsep kebudayaan menurut Geertz. Diakses pada 18 September
2014, dari http://etnobudaya.net/2008/04/01/konsep-kebudayaan-menurut-geertz/
Servaes, Jan dan Malikhao, Patchanee. (nd). Media and Glocal Change (Participatory
communication: the new paradigm, chapter 5).
Sztompka, Piotr. (2010). Sosiologi perubahan sosial. Jakarta: Prenada Media Grup.
Tim Studi Pariwisata UGM. (2004). Wawasan budaya untuk pembangunan: menoleh
kearifan lokal. Yogyakarta: Pilar Politika.

10

Wahyu. (2005). Perubahan sosial dan pembangunan. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama.
Waisbord, Silvio. (nd). Media and Glocal Change (Five key ideas: coincidences and
challenges in development communication, chapter 4).

11