PERKEMBANGAN HUKUM KEHUTANAN DAN FAKTOR

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Seiring perkembangan kemajuan peradaban yang semakin pesat, tanpa kita
sadari maka kebutuhan akan sumber daya alam juga semakin meningkat. Ditambah
lagi dengan populasi manusia yang semakin hari semakin bertambah, maka
kebutuhan manusia untuk dipenuhi semakin banyak dan perindustrian semakin gencar
berusaha memenuhi kebutuhan manusia tersebut, dan juga manusia tersebut
menginginkan

kemudahan untuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhannnya

meskipun harus rela merogoh kocek pribadi dalam-dalam.
Lalu selanjutnya berlakulah prinsip ekonomi dimana adanya masyarakat yang
membutuhkan, bertemu dengan pasokan barang yang dibutuhkan akan menghasilkan
untung dan rugi. Jika kebutuhan lebih banyak dari ketersediaan barang maka akan
diperoleh keuntungan tinggi. Masyarakat tidak segan-segan membeli kebutuhannya
tersebut dengan nilai yang tinggi. Dan kebalikannya yang terjadi jika masyarakat
yang menginginkan barang kebutuhan tersebut ternyata sedikit bahkan tidak ada

maka kerugian akan didapat dari produsen kebutuhan tersebut, karena harga akan
terus merosot bahkan jauh dibawah biaya produksi.
Lalu industry apa yang menghasilkan barang yang dibutuhkan oleh orang
banyak, dari segala kalangan, dan hamper mengisi

segala aspek kehidupan?.

Jawabannya ialah industry produk dari kayu. Hasil dari industry kayu mengisi seluruh
aspek kehidupan masyarakat di dunia ini. Sebut saja kebutuhan untuk bahan baku
perumahan, proyek pembangunan perumahan apa yang 100% tidak menggunakan
kayu sebagai bahan baku, maupun bahan pendamping dalam prosesnya. Industry
meuble dan furniture yang mana sudah pasti rumah-rumah kita memiliki furniture
dari kayu, dimulai kayu jenis umum dijumpai sampai dengan jenis merbau yang
sudah jarang ditemui. Sebagai contoh terakhir ialah kertas, di rumah, di kantor ,
disekolah, diwarung, Koran yang kit abaca setiap hari, bungkus makanan atau belanja
kita semua menggunakan kertas yang pastinya terbuat dari bubur kayu yang dicetak

2

dan dikeringkan. Lalu siapa yang dapat menyagkal bahwa industry kayu merupakan

industry yang menjadi idaman bagi semua negara.
Dengan demikian maka Indonesia yang merupakan negara dengan status paruparu dunia menjadi primadona bagi para industrialis kayu di seluruh dunia. Menurut
Kementrian Kehutanan , hutan Indonesia memiliki luas sebesar 99,6 juta hektar atau
52,3% luas wilayah Indonesia tetapi kerusakan hutan atau deforesttasi yang terjadi di
Indonesia amat menyedihkan dan mengkhawatirkan. Luas hutan di Indonesia kian
hari kian menyusut akibat pemanfaatan hutan tak terkendali. Laju deforestasi hutan
Indonesia mencapai 610.375,92 Ha per tahun (2011) dan tercatat sebagai tiga terbesar
di dunia.
Dengan luas hutan hujan tropist yang amat luas tentunya membuat Indonesia
menjadi seakan-akan, gadis perawan yang cantik dan seksi bagi para industrialis.
Namun rasa penasaran dan ketertarikan mereka terhadap hutan hujan tropis Indonesia
tidak dilakukan dengan melamar dengan baik kepada pemerintah Indonesia dan
mengikuti peraturan yang berlaku. Dengan alasan rumitnya birokrasi dan besarnya
biaya birokrasi tersebut mereka mencoba mencuri-curi kesempatan dengan
melakukkan perambahan hutan secara illegal, atau yang lazim disebut dengan illegal
logging.
Illegal logging didalam UU no 18 tahun 2013 di sebutkan di dalam Pasal 1 ,
butir ke-4 dengan sebutan pembalakan liar. Yang dimaksud dengan pembalakan liar
dalam UU terebut ialah “Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan
hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi”. Pembalakan liar bukanlah

masalah yang hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara pemilik hutan yang
menghasilkan kayu yang lain juga mengalami permasalahan yang sama terutama
Brasil yang terkenal dengan hutan hujan tropisnya amazon.
Namun yang berbeda dengan yang lain ialah Indonesia mengalami deforestasi
yang amat cepat dibandingkan negara lain yang sama-sama menjadi negara penghasil
kayu lainnya. Sedangkan secara kasat mata Indonesia tidak mengalami kemajuan
ekonomi yang mumpuni dan signifikan dengan kehilangan kayu sedemikian
banyaknya tersebut.
Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi , lalu kemana larinya kayu- kayu
hasil dari perambahan dan pembalakan liar di bumi pertiwi kita ini?. Sebuah yayasan

3

mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat sebuah film documenter
yang amat mengejutkan sekaligus membuat hati kita menjadi sedih dan miris ketika
menontonnya. Yayasan tersebut bernama Telapak, yayasan ini melalui sebuah video
yang ditayangkan diyoutube yang berjudul “The Last Frontier” meakukan sebuah
investigasi mngenai apa yang terjadi sebenarnya.
Yayasan ini melakukan pelacakan kayu merbau yang berasal dari Papua Barat
hingga ke negeri China. Kayu-kayu merbau tersebut berasal dari hutan belantara

tanah Papua. Diperoleh dengan cara yang tak halal, yaitu dengan pembalakan liar.
Para penjual kayu yang disebut “cukong” di documenter ini, melakukan segala
macam upaya untuk mendapatkan kayu dengan kualitas terbaik dari belantara Papua.
Ada dengan cara yang sah, namun kebanyakan dilakukan dengan cara yang illegal.
Cara yang sah mereka anggap membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan
biaya yang cukuup banyak berbeda dengan cara illegal cukup dengan mengerahkan
masyarakat yang kelaparan , dan menyogok sana-sini oknum aparat yang
membutuhkan uang untuk biaya hidup mereka dan itupun tidak seberapa jika
dibandingkan dengan biaya pengurusan birokrasi.
Kayu-kayu tersebut lalu diangkut menggunakan tongkang yang cukup besar,
melintasi dan membelah hutan belantara Papua dengan membawa ratusan kubik kayu
merbau, menuju kapal cargo yang jauh lebih besar berada ditengah laut. Kapal cargo
tersebut memiliki kapasitas lebih hebat lagi, mungkin puluhan ribu kubik bisa
diangkutnya dalm sekali jalan menuju pelabuhan Zingjiang di China. Disana ratusan
Kapal kargo bermuatan kayu seharga ratusan ribu dolar melintas dan berlabuh setiap
harinya, dan siap untuk diperdagangkan. Namun ada yang menarik karena kayu-kayu
merbau

dari Papua tersebut ternyata tidaklah terdaftar berasal dari Indonsia


melainkan , terdaftar berasal dari Malaysia. Hebatnya lagi semua kayu tersebut turut
dilengkapi dengan surat dan administrasi dari Malaysia. Sehingga secara tertulis
maka kayu tersebut berasal dari Malaysia, dan sedihnya lagi itu diakui oleh seluruh
dunia.
Terlepas dari masalah status asal dari kayu itu sendiri, di dalam negeri memiliki
permasalahn tersendiri yang haru segera dibenahi dan diperbaiki. Pembalakan liar
yang terjadi di Indonesia terjadi semakin luas dan massive. Lalu muncul pertanyaan

4

apa yang sebenarnya menjadi masalah dari upaya pemberantasan pembalakan liar itu
sendiri?. Apkah permasalahan itu desbabkan oleh Undang-undang yang terlalu lemah,
atau dikarenakan oknum aparat penegak hokum yang sudah “masuk angin” dengan
uang yang tidak seberapa nilainya dibandingkan dengan besarnya dampak dari
pengrusakan hutan itu sendiri.
Oleh karena itu tulisan ini saya buat untuk meluapkan ketertarikan saya akan
permasalahan hokum pembalakan liar yang terjadi di negeri kita tercinta ini dan juga
sebagai salah satu penilaian dalam mata kuliah hokum lingkungan.

1.2. Rumusan Permasalahan

Permasalahan pembalakan liar itu sendiri sejatinya menyimpan banyak masalah
yang belum terpecahkan dan terjelaskan, namun tentunya hal tersebut tak akan
mampu kita bahas dalam makalah yang ditulis dengan singkat ini . untuk itu maka
penulis mempersempit permasalahan yang terjadi kedalam dua permasalahan yang
diharapkan dapat mewakili permasalahan yang terdapat di dalam maraknya
pembalakan liar yang terjadi di Indonesia dipandang dari sisi penegakkan hokum dan
sosiolog hokum yang berlaku di negara dan masyarakat.
Untuk membahas bagaimana penegakkan hokum dan upaya hokum yang telah
dilakukan oleh aparat penegak hokum dan pemerintah tentunya kita harus melihatnya
melalui satuan waktu yang berjenjang. Itu berarti kita harus melihat Undang-undang
yang diterapkan dan digantikan dari waktu kewaktu sehingga kita dapat
membandingkan dan menemukan upaya perbaikan dari Undang-undang apa yang
dilakukan dari waktu untuk melindungi hutan kita dari pembalakkan liar.
Selain itu kita juga harus mampu mengidentifikasi faktor penghambat dan
pendukung. Dengan demikian diharapkan akan menemukan solusi dari permasalahan
yang ditemukan. Oleh karena itu maka permasalahan yang akan penulis angkat ialah
sebagai berikut:

5


1. Bagaimana perkembangan hokum kehutanan di Indonesia dalam upayanya
mengantisipasi pembalakkan liar dari waktu ke waktu?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pembalakkan liar semakin marak
dan massive di Indonesia dari sisi hokum dan undang-undang yang berlaku?
1.3. Ruang Lingkup
Penulisan ini dibuat dengan bahasan yang dibatasi kedalam ruang lingkup
permasalahan hokum dalam upaya penegakkan hokum dalam mengantisipasi
pembalakkan liar, serta faktor –faktor yang mendukung pembalakkan liar tesebut
sehingga menjadi semakin massive dan parah.
1.4. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk memahami bagaimana
perkembangan hokum kehutanan dari waktu-kewaktu dalam rangka mengatasi
pembalakan liar dan mengetahui faktor- faktor apa saja yang menghambat upaya
pemberantasan pembalakan liar, serta sebagai persyaratan penilaian mata kuliah
Hukum Lingkungan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.


Sejarah Perkembangan Hukum Kehutanan Indonesia
Hukum kehutanan di Indonesia sejatinya telah ada sejak zaman kerajaan

terdahulu. Dan seiring waktu maka hokum tersebut berubah kedalam bentuk undang-

6

undang sebagaimana yang kita ketahui saat ini. Untuk memahami bagaimana
perkembangan hokum kehutanan berkembang berikut urutan perkembangan hokum
kehutanan. Berikut sejarah hokum kehutanan dimulai dari zaman sebelum
penjajahan:
1.

Sebelum Penjajahan
Sebelum kedatangan penjajah ke Indonesia , nusantara kita terpecah
belah dengan kerajaan-kerajaan yang memiliki wilayah dan hokum yang
berbeda satu sama lain. Kondisi hokum pada saat itu, hokum bisa berasal
dari perkataan raja, ataupun berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Namun
dalam kehidupan sehari-hari kearifan local yang berdasarkan adat istiadatlah
yang berlaku di kalangan masyarakat. Sehingga hokum adat pada saat itu

menjadi hokum yang mengatur tentang hak penggunaan tanah dan sumber
daya lainnya, termasuk hutan. Menurut Von Savigny

bahwa hukum

mengikuti jiwa/semangat rakyat (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum
itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka
hukum masing-masing masyarakat juga berlainan. Hukum adat sendiri
menurut Iman Sudiyat, merupakan hukum yang terutama mengatur tingkah
laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa
keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup
dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggotaanggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan
yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam
keputusan-keputusan para penguasa adat.
Pada zaman tersebut adat juga bisa berasal dari orang yag dituakan,
dan orang yang dituakan tersebut biasanyalah para pemangku adat dan ketua
adat. Para pemangku adat ini identic dengan hal-hal yang gaib dan pada saat
itu suatu fenomena alam hanya dijelaskan dengan penjelasan spiritual.
Segala hal dijelaskan dengan berhubungan terhadap hal-hal gaib dari mulai


7

sakit bahkan bermimpi sekalipun. Dan orang yang dianggap paling mampu
dan kompeten atas permasalahan itu ialah para pemangku adat. Sehingga
para pemangku adat dianggap sebagai orng yang lebih tahu bahkan sebagai
orang yang serba tahu, dan yang paling penting mereka dianggap sebagai
orang yang sakti. Oleh karena itu maka perkataan dari para pemangku adat
terkadang dijadikan hokum dan tidak ada yang berani menentang bahkan
terkadang raja sekalipun masih terpengaruh dengan perkataan dari para
pemangku adat yang tergabung didalam kelompok penasehat kerajaan.
Selain adat istiadat hokum kehutanan pada saat itu juga dipengaruhi
oleh agama. Bagi kerajaanyang mnganut agama hindu, sebagai contoh
Kerajaan Toulodong (mataram), penguasaan hutan dilakukan oleh raja yang
mana letak dan luasnya ditentukan sendiri oleh raja. Hanya saja raja tetap
tidak boleh mnguasai tanah pertanian milik rakyat jika raja ingin
memperluasnya maka raja harus membeli tanah pertanian tersebut dengan
harga yang pantas. Mengapa keputusan luas dan letak terletak pada raja, itu
karena system kekastaan yang dimiliki umat hindu pada saat tersebut
membuat raja memiliki kedudukan yang tinggi dan juga kekuasaan terhadap
rakyat jelata termasuk kelas pekerja.

Berbeda dengan yang terjadi di Aceh . kerajaan Samudera Pasai yang
telah menganut agama Islam, menganggap semua isi dan kekayaan alam di
bumi ini ialah hak milik Allah Yang Maha Esa. Maka manusia yang
dijadikan sebagai Khalifah atau pemimpin dimuka bumi ini sebagaimana
yang tecantum didalam suat Al-Baqarah ayat 30 ,berhak menguasainya.
Yang dimaksud manusia ialah semua orang yang hidup didunia ini, boleh
menikmati, menggunakan hasil kekayaan alam termasuk hutan dan mineral
didalamnya dan digunakan sebaik-baiknya untuk kebermanfaatan dan
kemakmuran manusia tersebut. Hanya saja penggunaan yang dimkasud ialah
penggunaan yang sewajarnya untuk kepentingan pribadi semata, sedangkan
penggunaan yang digunakan dalam jumlah yang besar dan demi kepentingan

8

komersial maka aka nada kewajiban pajak bagi yang mengambilnya , dan
hasil pajak tersebut digunakan untuk menjalankan pemerintahan dan
kemakmuran rakyat lainnya. Dan menurut penulis tujuan luhur inilah yang
menjadi pedoman dan urat nadi dari Undang-Undang No 5 tahun 1960
tentang Pokok Agraria .
2. Masa Penjajahan
Saat pertama kali penjajah menginjakkan kaki di nusantara mereka
tidaklah dating dan bertindak sebagai penjajah yang ingin mengambil dan
menguasai sumber daya alam nusantara. Melainkan mereka dating sebagai
rombongan pedagang yang berniat untuk membeli barang dagangan, berupa
rempah-rempah yang berasal dari para petani di nusanatara.
Namun apa yang terjadi seiring dengan perjalanan

waktu,

merekamelihat sesuatu yang lebih seksi di dalam hutan belantara nasional
yang lebih menggiurkan yaitu bermacam mineral yang bisa ditambang
bahkan hanya dengan tangan kosong. Sehingga moto 3G sebenarnya
memiliki arti yang benar-benar nyata yaitu: Gold, Glory dan Gospel, yang
berarti Gold ialah emas sabagaimana kata yang sebenarnya, Glory ialah
kejayaan dan Gospel menyebarkan agama nasrani. Jadi jika pemahaman
kita Gold yang dimaksud berarti uang hasil dari penjualan rempah-rempah
ialah salah, karena di nusantara mineral emas amatlah banyak dan
masyarakat kita belum mampu menambangnya.
Didalam masa penjajahan terdapat 3 (tiga) masa antara lain:
a.

Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)
Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini,
terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde
Oost Indische Compagnie(VOC), yang lebih populer dengan sebutan
kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan
komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempahrempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga

9

menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.Pada masa sebelum
VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan
dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya.
Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk
membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus
diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana
kepada

penduduk

berfungsi

sebagai

sumber

pendapatan

dan

sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan. Pada waktu VOC mulai
terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timberm extraction), para
pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai
ketrampilan yang tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan
memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk meningkatkan
intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh
VOC.
Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar sudah
ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan
orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah
kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa
sumber daya alam (hutan dan semua lahannya), baik yang
diperolehnya karena penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi
kepemilikannya. Suatu keputusan yang dicantumkan dalam Plakat
tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai
pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon msampai ke pojok
Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus
dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak
istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang pun,
terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada
kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan

10

kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan
dijatuhi hukuman badan.
Maka dengan demikian maka hak rakyat nusantara terutama
rakyat jelata terhadap tanah dan hutan sudah tidak ada, bahkan para
raja akhirnya tunduk dan tidak berdaya terhadap kehendak penjajah
saat itu. Namun pada massa tersebut telah

ada peraturan dan

penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat yang dibuat oleh VOC.
Tetapi pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih
diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan
mengeksplorasi sumber daya alam. Pada waktu itu ada anggapan,
bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok
orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang
dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada
awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu
untuk kepentingan kompeni.
Dengan demikian juga maka hak ulayat (wewengkon) atas
penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama
penjajahan VOC secara tidak langsung hilang dan musnah tidak
berlaku lagi. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang
atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari
desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin
kepada demang atau VOC.
b.

Masa Penjajahan Hindia Belanda (1850 – 1942)
Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang

kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih
meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di
Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865,
yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan

11

(Boschreglement)

1865. Ditengah

maraknya

pengrusakan

dan

pembalakan liar dihutan nusantara oleh VOC, disisi lain mereka
menyadari untuk perlunya melakukan pencegahan pengrusakan yang
lebih parah lagi.
Reglemen tentang hutan (boschreglement) menjadi peraturan
pertama yang meimikirkan keberangsungan keragaman hayati di hutan
nusantara.

Meskipun

pada

pelaksanaannya

reglement

tersebut

diingkari sendiri oleh hindia belanda demi mengejar keuntungan.
Pada tahun 1927

pihak Hindia Belanda mngeluarkan

Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai
peraturan pelaksanaannya, sebagai aturan yang memperjelas tentang
pengelolaan hutan dan sumber daya alam didalamnya.
c.

Masa penjajahan Jepang (1942-1945)
Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan

kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad
lamanya,

Pemerintah

Militer

Jepang

membagi

daerah

yang

didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu: (1) Jawa dan
Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur.
Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang
mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1
yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Undang-undang ini merupakan
peraturan darurat militer Jepang untuk Indonesia. Undang-undang ini
menyatakan bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan
semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap
dinyatakan berlaku. Kecuali jika isi dan pelaksanaan dari peraturan dan
badan pemerintahan tersebut bertentangan dengan peratutan dan
undang-undang Militer Jepang.

12

Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan
undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia
Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai
penjajah

berikutnya.

Sehubungan

dengan

pemberlakuan Osamu

Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hokum
kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial
Belanda, yaitu Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta
dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932)
3. Masa setelah kemerdekaan
Meskipun hokum di Indonesia dipengaruhi dan bahkan beberapa
undang-undang Indonesia merupakan warisan dari Belanda, sejatinya hokum
Indonesia yang sebenarnya dimulai setelah zaman kemerdekaan. Setelah
dikumandangkannya kemerdekaan, pemerintah langsung membentuk badan
legislative sebagai langkah awal menetapkan konstitusi nasional, termasuk
hokum kehutanan.
Hokum kehutanan yang sekarang telah beberapa kali mengalami
perubahan, diakibatkan suasana politik dan perekonomian saat itu. Secara
hokum kehutanan terbagi dalam 3 masa.Dalam masa , yaitu :

a)

Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)
Berakhirnya kekuasaan Jepang setelah Presiden Soekarno

memproklamirkan

kemerdekaan

tidak

serta

merta

membuat

penderitaan rakyat Indonesia berhenti dari bayang-bayang penjajahan
kembali. Kerajaan Belanda melakukan klaim terhadap negara
Indonesia sebagai penguasa tunggal, dan diakui dunia,hal ini
dikarenakan Kerajaan Belanda berkaca atas apa yang terjadi antara
Inggris terhadap Malaysia. Mereka menganggap Indonesia tidak sah

13

memproklamirkan diri sebagai sebuah negara karena Indonesia
mereka anggap sebagai Hindia-Belanda yang mereka tinggalkan
sementara.
Namun hal tersebut segera diselesaikan melalui konfrensi meja
bundar, bahkan saat itu Irian Jaya disahkan menjadi bagian
Indonesia.Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang
telah menamakan dirinya Indonesia. hukum warisan kolonial Hindia
Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya,
tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun.Produk
perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi
berlaku.
b)

Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)
Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei

1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK
produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan
nasional,

dan

sekaligus

pula

mengakhiri

keberlakuanBoschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40
tahun lamanya
c)

Masa Pemerintahan Reformasi dan demokrasi (1998 – sekarang)
Rezim Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan

bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, reformasi
legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi
legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde
Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah
satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan

14

diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (UUK).
Seiring perjalanannya UU no 41 Tahun 1999 di berikan sedikit
perubahan pada pasal 83 yang dijadikan bab penutup yaitu,
menambahkan point “A” dan “B”, berisikan sebagai berikut:
"Pasal 83A
Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan
yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau
perjanjian dimaksud."
“Pasal 83B
Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83A
ditetapkan dengan Keputusan Presiden."
Dengan hadirnya UU no 41 tahun 1999 tidak serta merta
membuat , pembalakan berhenti begitu saja. Bahkan sakan membuat
sebuah blunder , pemerintah daerah diberikan hak dan kuasa untuk
memberikan izin perambahan hutan. Dan jadilah zaman baru
permasalahan

kehutanan,

yang

sebelumnya

penuh

dengan

pembalakan liar menjadi pembalakan sah yang tidak terkendali
dengan atas izin pemerintah daerah.
Melihat semakin maraknya pembalakan liar

yang semakin

tidak terkendali, pemerintah pun segera membuat langkah cepat
dengan mengeluarkan UU no 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang ini diharapkan
dapat mampu menjadi tameng dan pemicu pemberantasan perusakan
hutan yang semakin massive terjadi di tanah air.
Undang-undang ini bermaterikan bermacam pelanggaran
hokum

yang berkaitan dengan pengrusakan hutan. Di dalam

15

Undang-undang ini tidak hanya permasalahan pembalakan dan
perambahan hutan saja , namun juga diatur sanksi terkait dengan
pertambangan yang berlangsung di kawasan hutan, yang diatur di
dalam UU tersebut. Didalam UU no 18 tahun 2013 ini berbeda dari
Undang-undang

sebelumnya

didalam

Undang-undang

ini

dicantumkan korporasi sebagai subyek pelanggar hokum yang
memungkinkan tidak hanya pesuruh dan perorang saja yang di tindak
tetapi juga termasuk perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut
juga dapat disanksi akan perbuatan melanggar hokum yang
dilakukannya.
2.2 Faktor

Penghambat Pemberantasan Pembalakan Liar Dari Sisi Hukum dan

Undang-Undang yang berlaku.
Undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan
sejatinya menjadi tonggak tegaknya pelestarian dan perlindungan sumberdaya
hutan, dan semestinya berjalan seiring dengan UU terkait dengan domain yang
hamper sama yaitu UU no 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria yang
kebermanfaatannya ditujukan demi kemakmuran rakyat Indonesia. Namun apa
yang terjadi kemakmuran yang dimaksud tidak tercapai bagi rakyat Indonesia.
Miris melihat yang dimaksud kemakmuran bagi rakyat Indonesia , karena
yang makmur ialah sebagian elit dan parahnya lagi orang asinglah yang menjadi
makmur. Hasil investigasi dari Yayasan Telapak mengungkapkan bahwa yang
menjadi cukong dari pembalakan liar justru orang asing . kumpulan orang asing
ini bersatu bahu membahu membentuk sindikat yang menjajaki oknum penegak
hokum , dan pejabat berwenang untuk dapat membantu mereka dengan imingiming mendapatkan imbalan materil dari sang cukong. Berharap pembalakan liar
dan pegrusakan hutan berkurang, justru mendapatkan penghancuran hutan yang
semakin parah. Lalu apa yang menjadi faktor penghambat bagi penegak hokum
memberantas pembalakan liar dan pengrusakan hutan dari sisi undang-undang
dan hokum yang berlaku.

16

Berikut faktor-faktor penghambat pemberantasan pembalakan liar dan
pengrusakan hutan dari sisi undang-undang dan hokum yang berlaku:
1. Pada UU no 5 tahun 1967 dan UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19
Tahun 2004 , yang menjadi subyek pelanggar hanyalah perorangan ,
maka keuntunganlah bagi koorporasi yang melakukan pelanggaran
maka yang selalu menjadi tersangka ialah para pelaku langsung tetapi
2.

actor intelektualnya tidak pernah terjerat.
Pada UU no 5 tahun 1967 yang bernuansa pembangunan diseluruh lini
dinilai terlalu membuka lebar-lebar pintu bagi pengusaha local dan asing
untuk beramai-ramai

melakukan perambahan hutan dengan tujuan

kemakmuran rakyat Indonesia, tetapi yang terjadi ialah perambahan dan
hutan menjadi tidak terbatas dan kita sulit membedakan mana
pembalakan yang illegal dan mana pembalakan yang sah, karena tidak
diatur jelas di dalam Undang-undang tersebut, melainkan melalui
3.

peraturan pemerintah yang cenderung terlambat keluar.
Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 tidak mengatur
secara jelas apa dan dimana hutan kawasan yang dapat diambil hasil
hutannya dengan yang dilarang untuk diambil. Ditambah lagi tidak

4.

adanya transparansi dalam penentuannya.
Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 yang
bersemangatkan dengan semangat reformasi, menyebabkan pembagian
wewenang kepada daerah untuk memberikan izin perambahan hutan.
Namun yang menjadi masalah ialah timbulnya ledakan izin perambahan
hutan. Belum lagi permasalahan izin yang diberikan tidak diikuti dengan
survey yang mumpuni, sehingga terkadang hutan kawasan negara yang
dilindungi seperti cagar alam pun terkadang menjadi korban illegal

5.

logging.
Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 lebih
mengutamakan sanksi administrative dan keperdataan , sedangkan
pidana dan denda menjadi seakan-akan solusi kedua.

17

6.

Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 tidak diaturnya
tentang kerugian ekologi yang disebabkan dan tata cara pengembalian

7.

kondisi ekologi yag telah dirusak oleh pelaku pembalakan liar.
Pada UU no 41 tahun 1999 Jo UU no 19 tahun 2004 tidak dijelaskan
sanksi bagi penegak hokum dan pejabat yang berwenang yang turut

8.

melanggar dan melindungi aksi pembalakan liar.
Belum adanya sanksi bagi warga asing yang melakukan pembalakan
liar, walaupun pelaku tersebut menjadi actor intelektual dari balik meja
mereka di negara mereka masing-masing.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Dalam perkembangannya Undang-undang

tentang kehutanan semakin

membaik dan disempurnakan. Dimulai dari UU no 5 tahun 1967 hingga UU no 18
tahun 2013 terus menerus mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Hanya
saja terkadang memang tetap ada celah yang tidak terakomodir lengkap
kedalamnya. Seperti tidak adanya partisipasi masyarakat, dan terlalu membuka diri
terhadap perambahan hutan didalam UU no 5 tahun 1967 yang mana saat itu
terpengaruh dalam semangat pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintahan

18

orde baru. Belum tercantumnya korporasi sebagai subyek hokum dalam UU no 41
tahun 1999 juga menjadi polemic, selain memberikan wewenang kepada
pemerintah daerah untuk memberikan izin pengelolaan hasil hutan, yang
menyebabkan melonjaknya perizinanan yang terkesan dinilai mengenyampingkan
prinsip kehati-hatian. Karena dengan banyaknya izin maka akan ada kelalaian dan
bahkan pembiaran penggunaan hutan kawasan yang dilindungi negara.
Namun harapan kembali muncul bagi kelestarian dan keberlangsungan hutan
nasional. UU no 18 tahun 2013

Tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan memiliki hamper semua yang tidak dimiliki oleh UU
sebelumnya. Dimana korporasi dijadikan sebagai subyek hokum dan ancaman
pidana dan denda yang lebih berat. Sesuai dengan judulnya UU ini memang dibuat
dengan harapan menjadi instrument yuridis yang kuat dan membuat jera bagi
pelanggar hokum tersebut. Sehingga apa yang diupayakan oleh penegak hokum
terhadap pelanggar dan pembalak liar tidaklah sia-sia. Para tersangka dapat
dihukum dengan maksimal.
Namun ada hal yang jangan dilupakan sebaiknya UU apapun tentang
kehutanan sebaiknya tidak terlepas dari nilai luhur yang tercantum didalam UU no
5 tahun 1960 tentang ketentuan Pokok- Pokok Agraria. Karena bagaimanapun juga
sesuai amanat yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 , seharusnya UU
kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Bukannya kemakmuran para elit
dan cukong pelaku pembalakan liar, sehingga perlunya penyamaan semangat
antara UU Pokok Agraria dengan UU Pokok Kehutanan.
3.2 Saran
Hukum kehutanan yang berlaku saat ini tentunya tidak terlepas dari
kekurangan. Tidak dapat dipungkiri hamper setiap undang-undang yang dibuat
kental dengan sarana politik , dan kebijakan pemerintah yang berkuasa saat UU
tersebut dibuat. Sehingga kekurangan yang ada tersebut

memang terkesan

19

sengajadi abaikan. Untuk menutupi kekurangan tersebut maka, perlu adanya saran
untuk UU selanjutnya agar lebih baik dalam mencegah pembalakan liar:
Berikut saran yang dimaksud:
1. Hendaknya perlunya penyelarasan nilai dan tujuan antara UU kehutanan
dengan UU Pokok Agraria, sehingga kemakmuran masyarakat tercapai.
2. Perlunya memperketat dan memperjelas aturan dalam pengurusan izin
pengelolaan hasil hutan, serta transparansi administrasi bagi pemilik izin,
sehingga penegak hokum dapat membedakan mana pelaku usaha yang sah
dan mana yang illegal.
3. Perlunya sarana teknologi yang memadai guna melacak pelaku
pembalakan liar dan hasil dari pembalakan liar tersebut.
4. Perlunya kerjasama dengan negara tujuan penjualan kayu hasil
pembalakan liar, agar para pelaku pembalakan liar kehilangan pasar
5.

mereka
Perlunya meningkatkan kesadaran bagi seluruh rakyat Indonesia dan
Dunia tentang pentingnya kelestarian hutan Indonesia demi kelangsungan
hidup manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muis Yusuf, Hukum Kehutanan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
2011.
Buku Statistik Kehutanan Indonesia Kemenhut 2011 yang dipublikasi pada
bulan Juli 2012
Salim, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003
SEJARAH

HUKUM PENGELOLAAN HUTAN

DI

INDONESIA ,eprints.ums.ac.id/347/1/3._NYOMAN_NURJAYA.pdf Diakses pada
tanggal 27 Februari 2015 pukul 14.00 wib

20

https://www.youtube.com/watch?v=dGTn70qRkJ8. Diakses pada tanggal 25
februari 2015.
https://hukumkehutanan.blogspot.com. Diakses tanggal 26 februari 2015

21

http://www.wwf.or.id/