GENDER DAN PENDIDIKAN id. docx
GENDER DAN PENDIDIKAN
Laila kanti safitri
Sekolah Tinggi Agama Islam Negri Jurai Siwo Metro
E-mail : [email protected]
Abstrak
Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Di sebagian besar belahan dunia,
termasuk di negara-negara Muslim, perempuan secara umum mengalami keterasingan. Di banyak
Negara tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik,
ekonomi, dan hukum. Tapi Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan dari posisi yang
kurang beruntung pada zaman jahiliyah. Di dalam al-Qur’an, persoalan kesetaraan laki-laki dan
perempuan ditegaskan secara eksplisit. Meskipun demikian, masyarakat muslim secara umum tidak
memandang laki-laki dan perempuan sebagai setara. Selain itu, perempuan dianggap sebagai
makhluk yang kurang akalnya sehingga harus selalu berada dalam bimbingan laki-laki. Kenyataan
ini tentu sangat memprihatinkan, karena Islam pada prinsipnya menjunjung tinggi kesetaraan dan
tidak membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin. Oleh karena itu, doktrin maupun pandangan
yang mengatasnamakan agama yang sarat dengan praktik diskriminatif sudah selayaknya dikaji
ulang, jika ingin Islâm tetap menjadi rahmat bagi seluruh alam
Kata kunci : Islam, gender, pendidikan dan al-Qur’an.
Abstract
Gender comes from English, which means sex. In most parts of the world, including Muslim
countries, women are generally experiencing alienation. In many countries there is no guarantee
equality between women and men in social, political, economic, and legal. But Islam to raise the
dignity of women from disadvantaged position at the time of ignorance. In the Qur'an, the issue of
equality between men and women is explicitly stated. Nevertheless, the Muslim community in
general do not view men and women as equals. In addition, women are considered as being the
fools that should always be in the guidance of men. This fact is certainly very worrying, because
Islam is in principle committed to equality and does not discriminate people on the basis of sex.
Therefore, doctrine and views of religion are loaded with discriminatory practices are
appropriately reviewed, if it wants Islam completely eradicated remain a mercy to all the worlds
Keywords: Islam, gender, education and Koran.
1
A.Pendahuluan
Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia terpilih menjadi dua jenis yaitu perempuan dan
laki-laki. Dan pastinya ada perbedaan biologis ini mempunyai kesesuaian di samping bahwa
perempuan mempunyai rahim, menyusui, sel telur, dan vagina, sedangkan laki-laki mempunyai
sperma dan penis, dan juga perbedaan tersebut bersifat given dan kodrati sehingga melahirkan peran
yang sifatnya kodrati pula1.
Perbedaan jenis kelamin digunakan sebagai dasar pemberian peran sosial yang tidak sekedar
menjadi pembeda dalam pembagian kerja, namun lebih dari itu juga menjadi instrumen pengakuan
dan pengingkaran sosial, ekonomi, politik, serta penilaian peran dan hak-hak dasar laki-laki dan
perempuan, yang berimplikasi pada akses dan partisipasi keduanya termasuk dalam bidang
pendidik.
Sementara itu, gender merujuk pada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan
berdasarkan konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat status, posisi, dan perannya
dalam masyarakat2 serta terjadinya perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial-kultural. Di
samping itu, masyarakat mempunyai berbagai naskah yang diikuti oleh anggotanya seperti mereka
belajar memainkan peran maskulin dan feminin.3
Di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, perempuan secara
umum mengalami keterasingan. Di banyak Negara tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan
dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis. Bahkan dalam melakukan
perjalanan pun, perempuan harus mendapat persetujuan suami.
Di banyak kawasan Afrika, sebagian besar perempuan memperoleh hak atas tanah melalui
suami mereka atas dasar perkawinan, dimana hak-hak itu seringkali hilang saat terjadi perceraian
atau kematian sang suami. Di Asia Selatan yang mayoritas Muslim, rata-rata jumlah jam yang
digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Jumlah anak
perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah di Asia Selatan juga hanya 2/3 dari jumlah anak
laki-laki. Di banyak negara berkembang, termasuk di negara-negara Muslim, wirausaha yang
dikelola perempuan cenderung kekurangan modal, kurang memiliki akses terhadap mesin, pupuk,
informasi tambahan, dan kredit dibandingkan wirausaha yang dikelola laki-laki.4
1 “Moh. Roqib, Bahasa, hal. 7”, JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 262274, p. 2.
2 “Susiloningsih dan Agus M. Najib, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2004), hal. 11.”, DALAM JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 262-274, p. 2.
3 “Julia Cleves Mose, Gender dan Pembangunan, Terj. Hartian Silawati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)”,
DALAM JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 262-274, p. 2.
4 “Sukron Kamil, et al., Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak- Hak
Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC, 2007), hlm. 38”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 106.
2
B.Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex).5 Pada awalnya
kedua kata tersebut (gender dan sex) digunakan secara kurang jelas.6 Sejak terakhir di tengah
maraknya gerakan feminis, kedua kata tersebut dapat diartikan secara berbeda. Perbedaan
konseptual antara gender dan sex pertama-tama diperkenalkan oleh Ann Oakley.7 Oleh karena itu,
penulis akan mengemukakan perbedaan definisi tersebut untuk menghindari pemahaman yang
keliru.
Sex adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis
kelamin tertentu.contohnya, jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memproduksi
sperma dan sebagainya. Sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi telur,
vagina, alat menyusui dan sebagainya. Alat-alat tersebut secara biologis melekat baik pada
perempuan maupun laki-laki. Fungsinya tidak bisa dipertukarkan dan secara permanen tidak
berubah serta merupakan ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan (kodrat).8
Sementara konsep gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Contohnya perempuan dianggap sangat lemah lembut, emosional, keibuan
dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Sifat-sifat
tersebut tidaklah selamanya seperti itu, karena tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Artinya ada
laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya. Sementara ada juga perempuan
yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karena itu, gender dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat dapat berubah.9 Singkatnya, gender membicarakan laki-laki dan perempuan dari
sudut pandang yang non biologis.
Gender yang sejatinya merupakan konstruksi sosial dan kultural perihal peran laki-laki dan
perempuan di tengah kehidupan sosial, justru diselewengkan oleh laki-laki sebagai kodrat Tuhan
yang harus diterima sacara taken for granted. Hal ini nampak pada pola pembagian peran kerja lakilaki dan perempuan. Ruang kerja laki-laki di sektor publik, sementara perempuan pada sektor
domestik.10
5 “Jhon M. Echol dan Hassan Syadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 265”, dalam
jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
6 “Umar, Argumen Kesetaraan Gender, hlm. 34”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan
Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
7 “M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, ‘Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Qur’ân: Tinjauan terhadap
Pemikiran Muhammad Syahrûr dalam Bacaan Kontemporer’, dalam M. Aunul Abied Shah et.al. (ed.) Islam Garda
Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 237”, dalam jurnal Islâm, Feminisme
dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
8 “Mansuor Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 7-8”,
dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
9 “Ibid.,hlm. 8-9”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011,
p. 107.
10 “Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 160”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan
Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 108.
3
Perbedaan gender (gender differences) ini tidak menjadi masalah krusial jika tidak
melahirkan struktur ketidakadilan gender (gender inequalities). Akan tetapi pada kenyataannya,
perbedaan gender justru melahirkanstruktur ketidakadilan dalam berbagai bentuk: dominasi,
marginalisasi dan diskriminasi, yang secara ontologis merupakan modus utama kekerasan terhadap
kaum perempuan.11 Pada kondisi inilah, “kekuasaan laki-laki” mendominasi perempuan, bukan saja
melanggengkan budaya kekerasan, tetapi juga melahirkan rasionalitas.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara lakilaki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender
bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran terhadap persoalan
laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang
dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata,
tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang
adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk
mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial,
terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan
kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua tokoh feminis dari Asia Selatan, tidak
mudah untuk merumuskan definisi feminisme oleh dan atau diterapkan kepada semua feminis
dalam semua waktu dan di semua tempat. Karena feminisme tidak mendasarkanpada satu grand
theory yang tunggal, tetapi lebih mendasarkan pada realitas kultural dan kenyataan sejarah yang
konkrit, dan tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan.12
Menurut Kamla dan Nighat, feminisme tetap harus didefinisikan secara jelas dan luas, agar
tidak lagi terjadi kesalahpahaman, bahkan ketakutan terhadap feminisme. Dengan asumsi ini maka
keduanya mengajukan definisi yang menurutnya memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu: “Suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat
kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah
keadaan tersebut.”13 Jadi, gerakan feminisme adalah suatu faham yang memperjuangkan kebebasan
perempuan dari dominasi laki-laki.
Di samping beberapa aliran feminisme yang telah disebut di atas, terdapat dua kelompok
lain gerakan feminisme, yaitu: pertama, gerakan feminisme yang menganggap bahwa gender adalah
11 “Ibid. Lihat juga Fakih, Analisis Gender, hlm. 12”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan
Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, no. 108.
12 “Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al- Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 40”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p.
109.
13 “Ibid., hlm. 41”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun
2011, p. 109.
4
konstruksi sosial budaya (nurture) dan menyepakati bahwa perbedaan jenis kelamin tidak perlu
mengakibatkan perbedaan peran dan prilaku gender dalam tataran sosial. 14 Oleh karena itu, gerakan
ini menganggap perlu ditegakkan kesetaraan kedudukan, hak, kewajiban serta peran antara lakilaki
dan perempuan. Tidak ada pembagian kerja secara seksual; yang laki-laki bekerja di luar rumah
sementara perempuan bekerja di dalam rumah.15
Kedua, kelompok feminis yang menganggap bahwa perbedaan jenis kelamin adalah alamiah
(nature) dan tetap akan berakibat pada konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial, sehingga
akan selalu ada jenis-jenis pekerjaan berstereotip gender. Perbedaan jenis kelamin menimbulkan
perbedaan pelayanan, perbedaan pemberian hak dan kewajiban terhadap laki-laki dan perempuan,
sehingga tidak mungkin adanya kesetaraan antara keduanya. 16 Karena kedua kelompok ini berdiri di
atas landasan teori dan ideologi yang berbeda, tentunya hal tersebut berpengaruh dalam kiprahnya
pada tatanan sosial. Bahkan di antara keduanya saling kritik dan saling tuding.
C.Hakikat Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.17 Dalam Webster's New World
Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku.18 Dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat.19 Sedangkan Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap lakilaki dan perempuan (cultural expectations for women and men).20 Pendapat ini
sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan
14 “Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan,
1999), hlm. 20”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
15 “Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 5”, dalam jurnal Islâm,
Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
16 “Ibid. Dalam istilah teoritisnya, kelompok pertama disebut teori nurture. Sedangkan kelompok kedua
disebut teori nature. Lihat Komaruddin Hidayat dalam pengantar buku karya Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi
Bias Gender dalam Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. xviii-xix”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 110.
17 “John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia (Cet. I; Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983),
h. 265.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
18 “Victoria Neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World
Cleveland,1984), h.561.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2,
Desember 2013, p. 376.
19 “Helen Tierney (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia Vol. I (NewYork: Green Wood Press), h. 153.”,
dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
20 “Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction (California, London, Toronto: Mayfield Publishing
Company, 1993), h. 4”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember
2013, p. 376.
5
masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang
kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).21
Dalam perkembangannya, menurut Mansour Fakih perbedaan gender akan melahirkan
manifestasi ketidakadilan antara lain:terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum
perempuan, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, pelabelan negatif (stereotype),
kekerasan (violence), menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (doble
burden), pada umumnya yang menjadi korban adalah perempuan dengan adanya tradisidan
keyakinan masyarakat bahwa perempuanlah yang bertugasdan memelihara kerapian rumah, serta
tanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.22
Perspektif gender dalam al-Qur’an tidak hanya sekedar mengatur keserasian relasi gender,
hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga mengatur
keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep
berpasang-pasangan (azwaj) dalam al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga
binatang QS. al-Syura: 11, dan tumbuh-tumbuhan QS. Thaha: 53. Bahkan kalangan sufi
menganggap makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan.23 Langit diumpamakan dengan suami
yang menyimpan air QS. al-Thariq: 11 dan bumi diumpamakan istri yang menerima limpahan air
yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan QS. al- Thariq: 12. Satu-satunya
yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq Yang Maha Esa QS. al-Ikhlas: 14.
D.Pengertian Pendidikan Agama Islam
Dalam literatur kependidikan agama islam, istilah pendidikan mengandung pengertian
ta’lim, tarbiyah, irsyad, tadris, ta’dib, tazkiyah dan tilawah. Sebelum diuraikan mengenai pengertian
pendidikan Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian pendidikan secara umum
agar pembahasannya lebih sistematis. Mengingat pengertian pendidikan Islam itu tidak terlepas dari
pengertian pendidikan pada umumnya. Dengan demikian akan kita ketahui arti dan batasan-batasan
pendidikan Islam yang jelas.
Pendidikan Agama Islam diharapkan mampu menghasilkan manusia yang selalu berupaya
menyempurnakan iman, takwa, dan berakhlak mulia, akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti,
atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam
menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik
dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
21 “Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h. 2.”,
dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
22 “Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 7275.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 378.
23 “Lihat misalnya Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al- Kitab al-Arabi, 1980), h. 297298.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 378.
6
Sehubungan dengan itu, banyak orang yang merancukan pengertian istilah “Pendidikan
agama Islam” dan “Pendidikan Islam”. Kedua istilah ini dianggap sama sehingga ketika berbicara
tentang pendidikan Islam, isinya terbatas pada pendidikan agama Islam atau sebaliknya, ketika
berbicara tentang pendidikan agama Islam, yang dibahas justru pendidikan Islam. Padahal, secara
substansial kedua istilah tersebut berbeda.
Solihin dan M. Rosyid Anwar (2005:21) menjelaskan kata akhlak berasal dari bahasa arab
akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari khuluq. Secara bahasa akhlak mempunyai arti budi
pekerti, dan watak. Akhlak merupakan kehendak dan kebiasaan manusia yang menimbulkan
kekuatan-kekuatan yang sanagt besar untuk melakukan sesuatu.
Dalam konteks ini, penulis sependapat dengan Ahmad Tafsir yang membedakan antara
Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan pendidikan Islam. PAI dibakukan sebagai nama kegiatan
mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan agama Islam, karena
yang diajarkan adalah agama Islam dan bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya adalah
usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. 24
Sedangkan pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang
memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim
yang diidealkan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan alQur’an dan al-Hadits.25
Pendidikan itu pada dasarnya adalah perpindahan budaya dari satu generasi kegenerasi
lainnya, agar manusia tetap berada pada fase yang telah diraihnya. Dalam islam, pendidikan adalah
sumber cahaya kehidupan seseorang. Oleh karena itu, agama islam bahwa pendidikan merupakan
salah satu kegiatan yang wajib bagi laki-laki dan perempuan, dan berlangsung seumur hidup.
Dengan demikian, pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan
Islam, sehingga istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yakni:
1. Pendidikan menurut Islam atau pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang
Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam sumbernya yakni al- Qur’an dan Hadits. Dengan makna lain,
pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari atau disemangati serta dijiwai oleh ajaran dan
nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya (al-Qur’an dan Hadits. Dalam pengertian
yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori- teori pendidikan yang
24 “Periksa Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005). Kata pendidikan
tersebut ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini, PAI sejajar atau sekatagori dengan kata
Pendidikan Matematika atau Pendidikan IPA/IPS dan lainnya (nama mata pelajarannya adalah matematika atau
IPS/IPA), Pendidikan Olah Raga (nama mata pelajarannya adalah olahraga), Pendidikan Biologi (nama mata
pelajarannya adalah biologi).”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 173.
25 “Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 173.
7
mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber tersebut. Pada realitasnya,
pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dengan kedua sumber asasi tersebut memiliki
beberapa perspektif: a) Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya melepaskan diri atau
kurang mempertimbangkan situasi konkret dinamika pergumulan masyarakat Muslim (era klasik
dan era kontemporer) yang mengitarinya, b) Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya
hanya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual ulama klasik, c) Pemikiran, teori
dan praktik penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio historis kultural
masyarakat kontemporer dan melepaskan diri dari khazanah intelektual ulama klasik, dan d)
Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah
intelektual Muslim klasik serta mencermati situasi sosio-historis kultural masyarakat kontemporer.
2. Pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau
ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang. Dalam
pengertian ini dapat berwujud: a) Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu
seseorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan atau menumbuhkembangkan ajaran
Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam
sikap hidup dan dikembangkan dalam dalam keterampilan hidupnya sehari-hari, dan b) Segenap
fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada tertanamnya
atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
3. Pendidikan dalam Islam atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan
berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses tumbuh berkembangnya pendidikan Islam
dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran maupun sistem budaya dan peradaban, sejak zaman
Nabi Muhammad sampai sekarang. Dengan demikian, dalam pengertian ketiga ini, istilah
pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya
dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya. Dalam pengertian ini,
realitas historis sistem pendidikan Islam dapat mengalami kesenjangan dengan ajaran dan nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam sumber asasinya.26
Dengan demikian, dari beberapa definisi tersebut, secara substansial dapat dirumuskan
pengertian sekaligus karakteristik pendidikan Islam yaitu bahwa pendididikan Islam merupakan
sistem pendidikan yang diselenggarakan dan didirikan dengan hasrat dan niat untuk nilai-nilai
ajaran Islam dalam kegiatan pendidikannya.
26 “Dalam konteks kajian untuk pengembangan pendidikan Islam, Azyumardi Azra mengemukakan bahwa
pola kajian kependidikan Islam di Indonesia, selama ini lebih berfokus pada tiga kategori. Pertama, kajian sosio historis
pendidikan Islam, kedua, kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam, ketiga, kajian metodologis pendidikan Islam.
Jika dikaitkan dengan ketiga pengertian pendidikan Islam di atas, maka kajian sosio-historis terkait dengan pengertian
pendidikan Islam yang ketiga. Kajian pemikiran dan teori terkait dengan pengertian pendidikan Islam yang pertama dan
kajian metodologis terkait dengan pengertian pendidikan Islam dalam perspektif kedua di atas. Periksa Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).”, dalam jurnal Pendidikan
Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 175.
8
E.Pendidikan Islam Berperspektif Gender
Salah satu hak dasar individu baik laki-laki maupun perempuan adalah mendapatkan
pendidikan yang setara. Pendidikan menjadi sangat penting karena dengan pendidikanlah manusia
dapat berpengetahuan,bermartabat, dan pada akhirnya mencapai hidup sejahtera di tengahtengah
masyarakat. Konsep pendidikan dalam Islam dikaitkan dengan istilah tarbiyah, ta‘lim, dan ta’dib.
Ketiganya memiliki makna mendalam yang menyangkut manusia, masyarakat, dan lingkungan
dalam hubungannya dengan Tuhan. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai
suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, pemindahan pengetahuan, dan nilainilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya
di akhirat.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua warga negara bisa mengakses
pendidikan yang layak. Masalah bias gender di kalangan masyarakat ternyata menjadi salah satu
penyebab beberapa anak bangsa tidak mendapatkan hak pendidikan. Padahal ajaran Islam
menyebutkan bahwa tidak ada perlakuan diskriminatif bagi setiap individu baik laki-laki maupun
perempuan di muka bumi ini yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, status sosial, ataupun
ras. Semua manusia memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah. Allah membedakan kedudukan
manusia di sisi-Nya berdasarkan kualitas ketakwaannya.27
Pendidikan Islam berperspektif gender hadir untuk memberikan dan menjamin terpenuhinya
hak pendidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Ia merupakan proses transformasi
pengetahuan dan nilai-nilai Islam berlandaskan al-Qur’an dan Hadis Nabi untuk mengantarkan
terbentuknya kepribadian Islami dengan mempertimbangkan perbedaan kebutuhan, pengalaman,
dan pengetahuan laki-laki dan perempuan akibat konstruksi sosial lingkungannya, menuju
pendidikan berkesetaraan gender agar keduanya memperoleh manfaat yang sama dari hasil
pendidikan dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
Tujuan pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup Muslim, yaitu menciptakan pribadipribadi bertakwa yang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Idealisme ini
seringkali disebut sebagai tujuan akhir pendidikan Islam. Pendidikan Islam diharapkan mampu
merealisasikan tujuan hidup manusia sebagaimana digariskan dalam ajaran Islam, yaitu beribadah
kepada Allah.28
Tujuan mulia pendidikan Islam tersebut sama sekali bebas dari bias gender akibat perbedaan
jenis kelamin. Sayangnya, implementasi ajaran Islam yang sebenarnya tidak mendiskriminasi
27 “Tim Penyusun, Membangun Relasi Setara antara Perempuan dan Lakilaki Melalui Pendidikan Islam
(Jakarta: Direktoral Jenderal Pendidikan Kementerian Agama-Australia Indonesia Partnership, 2010), 33–34”, dalam
jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 399.
28 “Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 46.”,
dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 400.
9
pendidikan bagi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari masih patut dipertanyakan.
Adapun tujuan khusus pendidikan Islam responsif gender dirumuskan secara spesifik berupa
harapan-harapan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Hasil pendidikan tersebut selanjutnya
dinilai berdasarkan capaian terhadap indikator yang telah dirumuskan sebelumnya dengan
mempertimbangkan kesetaraan gender pada akses, partisipasi, kontrol atas sumber daya pendidikan
Islam, dan manfaat dari hasil pendidikan Islam.
Konsep pendidikan Islam secara umum bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah, nilai-nilai
sosial kemasyarakatan, dan wawasan pemikiran Islam.29 Dengan demikian pendidikan Islam
berperspektif gender diimplementasikan berdasarkan pada: Pertama, ajaran al-Qur’an dan alSunnah yang meliputi penghargaan Islam terhadap akal, keutamaan dan kewajiban menuntut ilmu,
serta nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender; Kedua, nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang
selaras atau tidak bertentangan dengan ajaran Islam atas dasar manfaat, dan menghindari kendalakendala yang dihadapi oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga kedua jenis kelamin sama-sama
memperoleh hasil belajar yang baik; Ketiga, warisan pemikiran Islam yang berpotensi mendorong
terwujudnya kesetaraan gender sebagai bahan pengembangan pendidikan Islam yang bermuara pada
prinsip dasar Islam sebagai agama yang ramah terhadap perbedaan gender dan perbedaanperbedaan lainnya.
Kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan Islam merupakan konsep besar yang
bersifat universal. Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender tersebut membutuhkan
strategi implementasi khususnya pada lingkup pendidikan Islam. bidang pendidikan Islam adalah
suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang mengintegrasikan
pengalaman dan masalah perempuan dan laki-laki dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pendidikan Islam di tingkat nasional, daerah, dan
setiap satuan pendidikan Islam guna mencapai kesetaraan dan keadilan gender.
E.Simpulan
Di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, perempuan secara
umum mengalami keterasingan. Di banyak Negara tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan
dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis. Bahkan dalam melakukan
perjalanan pun, perempuan harus mendapat persetujuan suami.
Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex). Pada awalnya kedua
kata tersebut (gender dan sex) digunakan secara kurang jelas. Sejak terakhir di tengah maraknya
29 “Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1979), 7.”,
dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 400.
10
gerakan feminis, kedua kata tersebut dapat diartikan secara berbeda. Perbedaan konseptual antara
gender dan sex pertama-tama diperkenalkan oleh Ann Oakley. Oleh karena itu, penulis akan
mengemukakan perbedaan definisi tersebut untuk menghindari pemahaman yang keliru.
Dalam konteks ini, penulis sependapat dengan Ahmad Tafsir yang membedakan antara
Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan pendidikan Islam. PAI dibakukan sebagai nama kegiatan
mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan agama Islam, karena
yang diajarkan adalah agama Islam dan bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya adalah
usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Sedangkan
pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki
komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim yang
diidealkan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur’an
dan al-Hadits.
Sementara konsep gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Contohnya perempuan dianggap sangat lemah lembut, emosional, keibuan
dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Sifat-sifat
tersebut tidaklah selamanya seperti itu, karena tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Artinya ada
laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya. Sementara ada juga perempuan
yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karena itu, gender dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat dapat berubah. Singkatnya, gender membicarakan laki-laki dan perempuan dari
sudut pandang yang non biologis
Pendidikan Islam berperspektif gender hadir untuk memberikan dan menjamin terpenuhinya
hak pendidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Ia merupakan proses transformasi
pengetahuan dan nilai-nilai Islam berlandaskan al-Qur’an dan Hadis Nabi. Tujuan pendidikan Islam
tidak lepas dari tujuan hidup Muslim, yaitu menciptakan pribadi-pribadi bertakwa yang dapat
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Idealisme ini seringkali disebut sebagai tujuan
akhir pendidikan Islam.
Islam, sebagaimana termuat dalam Al-qur’an memperlakukan baik individu perempuan dan
laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah dan individu perempuan dan lakilaki tersebut. Dalam perspektif normativitas Islam, tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya
terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt. Allah
memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan mengandung
prinsip-prinsip kesetaraan seperti lakilaki dan perempuan sama-sama sebagai hamba, laki-laki dan
perempuan sama-sama sebagai khalifah di bumi. Implementasi kesetaraan gender perspektif al11
Qur’an dalam hukum Islam terlihat pada adanya transformasi hukum Islam yang bertalian dengan
isu kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan seperti pada hukum poligami dan kewarisan
dalam Islam. Begitu juga di bidang profesi seperti hakim perempuan serta memicu lahirnya produk
hukum yang berpespektif kesetaraan dan keadilan gender.
Pendidikan karakter menjadi sebuah jawaban yang tepat atas permasalahan-permasalahan
yang telah disebut di atas dan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan diharapkan dapat menjadi
tempat yang mampu mewujudkan misi dari pendidikan karakter tersebut.
REFERENSI
“Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),
46.”, dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 400.
“Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 5”, dalam
jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
“Dalam konteks kajian untuk pengembangan pendidikan Islam, Azyumardi Azra mengemukakan
bahwa pola kajian kependidikan Islam di Indonesia, selama ini lebih berfokus pada tiga
kategori. Pertama, kajian sosio historis pendidikan Islam, kedua, kajian pemikiran dan teori
pendidikan Islam, ketiga, kajian metodologis pendidikan Islam. Jika dikaitkan dengan ketiga
pengertian pendidikan Islam di atas, maka kajian sosio-historis terkait dengan pengertian
pendidikan Islam yang ketiga. Kajian pemikiran dan teori terkait dengan pengertian
pendidikan Islam yang pertama dan kajian metodologis terkait dengan pengertian
pendidikan Islam dalam perspektif kedua di atas. Periksa Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).”, dalam
jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 175.
“Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1979),
6.”, dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 399.
“Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1979),
7.”, dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 400.
“Helen Tierney (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia Vol. I (NewYork: Green Wood Press), h.
153.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2,
Desember 2013, p. 376.
12
“Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction (California, London, Toronto: Mayfield Publishing
Company, 1993), h. 4”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo,
vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
“Ibid. Dalam istilah teoritisnya, kelompok pertama disebut teori nurture. Sedangkan kelompok
kedua disebut teori nature. Lihat Komaruddin Hidayat dalam pengantar buku karya Zaitunah
Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.
xviii-xix”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2
Tahun 2011, p. 110.
“Ibid., hlm. 41”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2
Tahun 2011, p. 109.
“Ibid. Lihat juga Fakih, Analisis Gender, hlm. 12”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, no. 108.
“Ibid.,hlm. 8-9”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2
Tahun 2011, p. 107.
“Jhon M. Echol dan Hassan Syadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm.
265”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun
2011, p. 107.
“John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia (Cet. I; Jakarta: Gramedia, cet.
XII, 1983), h. 265.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol.
13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
“Julia Cleves Mose, Gender dan Pembangunan, Terj. Hartian Silawati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004)”, DALAM JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 262274, p. 2.
“Lihat misalnya Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al- Kitab al-Arabi, 1980),
h. 297-298.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13
Nomor 2, Desember 2013, p. 378.
“Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h.
2.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2,
Desember 2013, p. 376.
13
“M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, ‘Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Qur’ân: Tinjauan
terhadap Pemikiran Muhammad Syahrûr dalam Bacaan Kontemporer’, dalam M. Aunul
Abied Shah et.al. (ed.) Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah
(Bandung: Mizan, 2001), hlm. 237”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
“Mansuor Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
hlm. 7-8”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2
Tahun 2011, p. 107.
“Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 72-75.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13
Nomor 2, Desember 2013, p. 378.
“Moh. Roqib, Bahasa, hal. 7”, JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008
| 262-274, p. 2.
“Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4.
Nomor 2. 2009, p. 173.
“Periksa Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005). Kata
pendidikan tersebut ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini, PAI sejajar
atau sekatagori dengan kata Pendidikan Matematika atau Pendidikan IPA/IPS dan lainnya
(nama mata pelajarannya adalah matematika atau IPS/IPA), Pendidikan Olah Raga (nama
mata pelajarannya adalah olahraga), Pendidikan Biologi (nama mata pelajarannya adalah
biologi).”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 173.
“Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender (Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 20”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender,
vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
“Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 160”, dalam jurnal Islâm,
Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 108.
“Sukron Kamil, et al., Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil,
Hak- Hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC, 2007), hlm. 38”, dalam jurnal
Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 106.
14
“Susiloningsih dan Agus M. Najib, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2004), hal. 11.”, DALAM JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 |
No. 2 | Jul-Des 2008 | 262-274, p. 2.
“Tim Penyusun, Membangun Relasi Setara antara Perempuan dan Lakilaki Melalui Pendidikan
Islam (Jakarta: Direktoral Jenderal Pendidikan Kementerian Agama-Australia Indonesia
Partnership, 2010), 33–34”, dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 399.
“Umar, Argumen Kesetaraan Gender, hlm. 34”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
“Victoria Neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World
Cleveland,1984), h.561.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo,
vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
“Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al- Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 40”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan
Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
15
Laila kanti safitri
Sekolah Tinggi Agama Islam Negri Jurai Siwo Metro
E-mail : [email protected]
Abstrak
Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Di sebagian besar belahan dunia,
termasuk di negara-negara Muslim, perempuan secara umum mengalami keterasingan. Di banyak
Negara tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik,
ekonomi, dan hukum. Tapi Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan dari posisi yang
kurang beruntung pada zaman jahiliyah. Di dalam al-Qur’an, persoalan kesetaraan laki-laki dan
perempuan ditegaskan secara eksplisit. Meskipun demikian, masyarakat muslim secara umum tidak
memandang laki-laki dan perempuan sebagai setara. Selain itu, perempuan dianggap sebagai
makhluk yang kurang akalnya sehingga harus selalu berada dalam bimbingan laki-laki. Kenyataan
ini tentu sangat memprihatinkan, karena Islam pada prinsipnya menjunjung tinggi kesetaraan dan
tidak membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin. Oleh karena itu, doktrin maupun pandangan
yang mengatasnamakan agama yang sarat dengan praktik diskriminatif sudah selayaknya dikaji
ulang, jika ingin Islâm tetap menjadi rahmat bagi seluruh alam
Kata kunci : Islam, gender, pendidikan dan al-Qur’an.
Abstract
Gender comes from English, which means sex. In most parts of the world, including Muslim
countries, women are generally experiencing alienation. In many countries there is no guarantee
equality between women and men in social, political, economic, and legal. But Islam to raise the
dignity of women from disadvantaged position at the time of ignorance. In the Qur'an, the issue of
equality between men and women is explicitly stated. Nevertheless, the Muslim community in
general do not view men and women as equals. In addition, women are considered as being the
fools that should always be in the guidance of men. This fact is certainly very worrying, because
Islam is in principle committed to equality and does not discriminate people on the basis of sex.
Therefore, doctrine and views of religion are loaded with discriminatory practices are
appropriately reviewed, if it wants Islam completely eradicated remain a mercy to all the worlds
Keywords: Islam, gender, education and Koran.
1
A.Pendahuluan
Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia terpilih menjadi dua jenis yaitu perempuan dan
laki-laki. Dan pastinya ada perbedaan biologis ini mempunyai kesesuaian di samping bahwa
perempuan mempunyai rahim, menyusui, sel telur, dan vagina, sedangkan laki-laki mempunyai
sperma dan penis, dan juga perbedaan tersebut bersifat given dan kodrati sehingga melahirkan peran
yang sifatnya kodrati pula1.
Perbedaan jenis kelamin digunakan sebagai dasar pemberian peran sosial yang tidak sekedar
menjadi pembeda dalam pembagian kerja, namun lebih dari itu juga menjadi instrumen pengakuan
dan pengingkaran sosial, ekonomi, politik, serta penilaian peran dan hak-hak dasar laki-laki dan
perempuan, yang berimplikasi pada akses dan partisipasi keduanya termasuk dalam bidang
pendidik.
Sementara itu, gender merujuk pada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan
berdasarkan konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat status, posisi, dan perannya
dalam masyarakat2 serta terjadinya perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial-kultural. Di
samping itu, masyarakat mempunyai berbagai naskah yang diikuti oleh anggotanya seperti mereka
belajar memainkan peran maskulin dan feminin.3
Di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, perempuan secara
umum mengalami keterasingan. Di banyak Negara tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan
dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis. Bahkan dalam melakukan
perjalanan pun, perempuan harus mendapat persetujuan suami.
Di banyak kawasan Afrika, sebagian besar perempuan memperoleh hak atas tanah melalui
suami mereka atas dasar perkawinan, dimana hak-hak itu seringkali hilang saat terjadi perceraian
atau kematian sang suami. Di Asia Selatan yang mayoritas Muslim, rata-rata jumlah jam yang
digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Jumlah anak
perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah di Asia Selatan juga hanya 2/3 dari jumlah anak
laki-laki. Di banyak negara berkembang, termasuk di negara-negara Muslim, wirausaha yang
dikelola perempuan cenderung kekurangan modal, kurang memiliki akses terhadap mesin, pupuk,
informasi tambahan, dan kredit dibandingkan wirausaha yang dikelola laki-laki.4
1 “Moh. Roqib, Bahasa, hal. 7”, JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 262274, p. 2.
2 “Susiloningsih dan Agus M. Najib, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2004), hal. 11.”, DALAM JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 262-274, p. 2.
3 “Julia Cleves Mose, Gender dan Pembangunan, Terj. Hartian Silawati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)”,
DALAM JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 262-274, p. 2.
4 “Sukron Kamil, et al., Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak- Hak
Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC, 2007), hlm. 38”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 106.
2
B.Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex).5 Pada awalnya
kedua kata tersebut (gender dan sex) digunakan secara kurang jelas.6 Sejak terakhir di tengah
maraknya gerakan feminis, kedua kata tersebut dapat diartikan secara berbeda. Perbedaan
konseptual antara gender dan sex pertama-tama diperkenalkan oleh Ann Oakley.7 Oleh karena itu,
penulis akan mengemukakan perbedaan definisi tersebut untuk menghindari pemahaman yang
keliru.
Sex adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis
kelamin tertentu.contohnya, jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memproduksi
sperma dan sebagainya. Sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi telur,
vagina, alat menyusui dan sebagainya. Alat-alat tersebut secara biologis melekat baik pada
perempuan maupun laki-laki. Fungsinya tidak bisa dipertukarkan dan secara permanen tidak
berubah serta merupakan ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan (kodrat).8
Sementara konsep gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Contohnya perempuan dianggap sangat lemah lembut, emosional, keibuan
dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Sifat-sifat
tersebut tidaklah selamanya seperti itu, karena tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Artinya ada
laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya. Sementara ada juga perempuan
yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karena itu, gender dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat dapat berubah.9 Singkatnya, gender membicarakan laki-laki dan perempuan dari
sudut pandang yang non biologis.
Gender yang sejatinya merupakan konstruksi sosial dan kultural perihal peran laki-laki dan
perempuan di tengah kehidupan sosial, justru diselewengkan oleh laki-laki sebagai kodrat Tuhan
yang harus diterima sacara taken for granted. Hal ini nampak pada pola pembagian peran kerja lakilaki dan perempuan. Ruang kerja laki-laki di sektor publik, sementara perempuan pada sektor
domestik.10
5 “Jhon M. Echol dan Hassan Syadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 265”, dalam
jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
6 “Umar, Argumen Kesetaraan Gender, hlm. 34”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan
Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
7 “M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, ‘Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Qur’ân: Tinjauan terhadap
Pemikiran Muhammad Syahrûr dalam Bacaan Kontemporer’, dalam M. Aunul Abied Shah et.al. (ed.) Islam Garda
Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 237”, dalam jurnal Islâm, Feminisme
dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
8 “Mansuor Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 7-8”,
dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
9 “Ibid.,hlm. 8-9”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011,
p. 107.
10 “Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 160”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan
Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 108.
3
Perbedaan gender (gender differences) ini tidak menjadi masalah krusial jika tidak
melahirkan struktur ketidakadilan gender (gender inequalities). Akan tetapi pada kenyataannya,
perbedaan gender justru melahirkanstruktur ketidakadilan dalam berbagai bentuk: dominasi,
marginalisasi dan diskriminasi, yang secara ontologis merupakan modus utama kekerasan terhadap
kaum perempuan.11 Pada kondisi inilah, “kekuasaan laki-laki” mendominasi perempuan, bukan saja
melanggengkan budaya kekerasan, tetapi juga melahirkan rasionalitas.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara lakilaki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender
bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran terhadap persoalan
laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang
dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata,
tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang
adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk
mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial,
terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong perubahan
kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua tokoh feminis dari Asia Selatan, tidak
mudah untuk merumuskan definisi feminisme oleh dan atau diterapkan kepada semua feminis
dalam semua waktu dan di semua tempat. Karena feminisme tidak mendasarkanpada satu grand
theory yang tunggal, tetapi lebih mendasarkan pada realitas kultural dan kenyataan sejarah yang
konkrit, dan tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan.12
Menurut Kamla dan Nighat, feminisme tetap harus didefinisikan secara jelas dan luas, agar
tidak lagi terjadi kesalahpahaman, bahkan ketakutan terhadap feminisme. Dengan asumsi ini maka
keduanya mengajukan definisi yang menurutnya memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu: “Suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat
kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah
keadaan tersebut.”13 Jadi, gerakan feminisme adalah suatu faham yang memperjuangkan kebebasan
perempuan dari dominasi laki-laki.
Di samping beberapa aliran feminisme yang telah disebut di atas, terdapat dua kelompok
lain gerakan feminisme, yaitu: pertama, gerakan feminisme yang menganggap bahwa gender adalah
11 “Ibid. Lihat juga Fakih, Analisis Gender, hlm. 12”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan
Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, no. 108.
12 “Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al- Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 40”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p.
109.
13 “Ibid., hlm. 41”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun
2011, p. 109.
4
konstruksi sosial budaya (nurture) dan menyepakati bahwa perbedaan jenis kelamin tidak perlu
mengakibatkan perbedaan peran dan prilaku gender dalam tataran sosial. 14 Oleh karena itu, gerakan
ini menganggap perlu ditegakkan kesetaraan kedudukan, hak, kewajiban serta peran antara lakilaki
dan perempuan. Tidak ada pembagian kerja secara seksual; yang laki-laki bekerja di luar rumah
sementara perempuan bekerja di dalam rumah.15
Kedua, kelompok feminis yang menganggap bahwa perbedaan jenis kelamin adalah alamiah
(nature) dan tetap akan berakibat pada konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial, sehingga
akan selalu ada jenis-jenis pekerjaan berstereotip gender. Perbedaan jenis kelamin menimbulkan
perbedaan pelayanan, perbedaan pemberian hak dan kewajiban terhadap laki-laki dan perempuan,
sehingga tidak mungkin adanya kesetaraan antara keduanya. 16 Karena kedua kelompok ini berdiri di
atas landasan teori dan ideologi yang berbeda, tentunya hal tersebut berpengaruh dalam kiprahnya
pada tatanan sosial. Bahkan di antara keduanya saling kritik dan saling tuding.
C.Hakikat Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.17 Dalam Webster's New World
Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku.18 Dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat.19 Sedangkan Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap lakilaki dan perempuan (cultural expectations for women and men).20 Pendapat ini
sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan
14 “Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan,
1999), hlm. 20”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
15 “Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 5”, dalam jurnal Islâm,
Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
16 “Ibid. Dalam istilah teoritisnya, kelompok pertama disebut teori nurture. Sedangkan kelompok kedua
disebut teori nature. Lihat Komaruddin Hidayat dalam pengantar buku karya Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi
Bias Gender dalam Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. xviii-xix”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 110.
17 “John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia (Cet. I; Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983),
h. 265.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
18 “Victoria Neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World
Cleveland,1984), h.561.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2,
Desember 2013, p. 376.
19 “Helen Tierney (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia Vol. I (NewYork: Green Wood Press), h. 153.”,
dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
20 “Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction (California, London, Toronto: Mayfield Publishing
Company, 1993), h. 4”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember
2013, p. 376.
5
masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang
kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).21
Dalam perkembangannya, menurut Mansour Fakih perbedaan gender akan melahirkan
manifestasi ketidakadilan antara lain:terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum
perempuan, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, pelabelan negatif (stereotype),
kekerasan (violence), menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (doble
burden), pada umumnya yang menjadi korban adalah perempuan dengan adanya tradisidan
keyakinan masyarakat bahwa perempuanlah yang bertugasdan memelihara kerapian rumah, serta
tanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.22
Perspektif gender dalam al-Qur’an tidak hanya sekedar mengatur keserasian relasi gender,
hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga mengatur
keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep
berpasang-pasangan (azwaj) dalam al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga
binatang QS. al-Syura: 11, dan tumbuh-tumbuhan QS. Thaha: 53. Bahkan kalangan sufi
menganggap makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan.23 Langit diumpamakan dengan suami
yang menyimpan air QS. al-Thariq: 11 dan bumi diumpamakan istri yang menerima limpahan air
yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan QS. al- Thariq: 12. Satu-satunya
yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq Yang Maha Esa QS. al-Ikhlas: 14.
D.Pengertian Pendidikan Agama Islam
Dalam literatur kependidikan agama islam, istilah pendidikan mengandung pengertian
ta’lim, tarbiyah, irsyad, tadris, ta’dib, tazkiyah dan tilawah. Sebelum diuraikan mengenai pengertian
pendidikan Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian pendidikan secara umum
agar pembahasannya lebih sistematis. Mengingat pengertian pendidikan Islam itu tidak terlepas dari
pengertian pendidikan pada umumnya. Dengan demikian akan kita ketahui arti dan batasan-batasan
pendidikan Islam yang jelas.
Pendidikan Agama Islam diharapkan mampu menghasilkan manusia yang selalu berupaya
menyempurnakan iman, takwa, dan berakhlak mulia, akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti,
atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam
menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik
dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
21 “Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h. 2.”,
dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
22 “Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 7275.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 378.
23 “Lihat misalnya Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al- Kitab al-Arabi, 1980), h. 297298.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 378.
6
Sehubungan dengan itu, banyak orang yang merancukan pengertian istilah “Pendidikan
agama Islam” dan “Pendidikan Islam”. Kedua istilah ini dianggap sama sehingga ketika berbicara
tentang pendidikan Islam, isinya terbatas pada pendidikan agama Islam atau sebaliknya, ketika
berbicara tentang pendidikan agama Islam, yang dibahas justru pendidikan Islam. Padahal, secara
substansial kedua istilah tersebut berbeda.
Solihin dan M. Rosyid Anwar (2005:21) menjelaskan kata akhlak berasal dari bahasa arab
akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari khuluq. Secara bahasa akhlak mempunyai arti budi
pekerti, dan watak. Akhlak merupakan kehendak dan kebiasaan manusia yang menimbulkan
kekuatan-kekuatan yang sanagt besar untuk melakukan sesuatu.
Dalam konteks ini, penulis sependapat dengan Ahmad Tafsir yang membedakan antara
Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan pendidikan Islam. PAI dibakukan sebagai nama kegiatan
mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan agama Islam, karena
yang diajarkan adalah agama Islam dan bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya adalah
usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. 24
Sedangkan pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang
memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim
yang diidealkan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan alQur’an dan al-Hadits.25
Pendidikan itu pada dasarnya adalah perpindahan budaya dari satu generasi kegenerasi
lainnya, agar manusia tetap berada pada fase yang telah diraihnya. Dalam islam, pendidikan adalah
sumber cahaya kehidupan seseorang. Oleh karena itu, agama islam bahwa pendidikan merupakan
salah satu kegiatan yang wajib bagi laki-laki dan perempuan, dan berlangsung seumur hidup.
Dengan demikian, pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan
Islam, sehingga istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yakni:
1. Pendidikan menurut Islam atau pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang
Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam sumbernya yakni al- Qur’an dan Hadits. Dengan makna lain,
pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari atau disemangati serta dijiwai oleh ajaran dan
nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya (al-Qur’an dan Hadits. Dalam pengertian
yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori- teori pendidikan yang
24 “Periksa Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005). Kata pendidikan
tersebut ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini, PAI sejajar atau sekatagori dengan kata
Pendidikan Matematika atau Pendidikan IPA/IPS dan lainnya (nama mata pelajarannya adalah matematika atau
IPS/IPA), Pendidikan Olah Raga (nama mata pelajarannya adalah olahraga), Pendidikan Biologi (nama mata
pelajarannya adalah biologi).”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 173.
25 “Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 173.
7
mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber tersebut. Pada realitasnya,
pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dengan kedua sumber asasi tersebut memiliki
beberapa perspektif: a) Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya melepaskan diri atau
kurang mempertimbangkan situasi konkret dinamika pergumulan masyarakat Muslim (era klasik
dan era kontemporer) yang mengitarinya, b) Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya
hanya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual ulama klasik, c) Pemikiran, teori
dan praktik penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio historis kultural
masyarakat kontemporer dan melepaskan diri dari khazanah intelektual ulama klasik, dan d)
Pemikiran, teori dan praktik penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah
intelektual Muslim klasik serta mencermati situasi sosio-historis kultural masyarakat kontemporer.
2. Pendidikan keislaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau
ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang. Dalam
pengertian ini dapat berwujud: a) Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu
seseorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan atau menumbuhkembangkan ajaran
Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam
sikap hidup dan dikembangkan dalam dalam keterampilan hidupnya sehari-hari, dan b) Segenap
fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada tertanamnya
atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
3. Pendidikan dalam Islam atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan
berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses tumbuh berkembangnya pendidikan Islam
dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran maupun sistem budaya dan peradaban, sejak zaman
Nabi Muhammad sampai sekarang. Dengan demikian, dalam pengertian ketiga ini, istilah
pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya
dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya. Dalam pengertian ini,
realitas historis sistem pendidikan Islam dapat mengalami kesenjangan dengan ajaran dan nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam sumber asasinya.26
Dengan demikian, dari beberapa definisi tersebut, secara substansial dapat dirumuskan
pengertian sekaligus karakteristik pendidikan Islam yaitu bahwa pendididikan Islam merupakan
sistem pendidikan yang diselenggarakan dan didirikan dengan hasrat dan niat untuk nilai-nilai
ajaran Islam dalam kegiatan pendidikannya.
26 “Dalam konteks kajian untuk pengembangan pendidikan Islam, Azyumardi Azra mengemukakan bahwa
pola kajian kependidikan Islam di Indonesia, selama ini lebih berfokus pada tiga kategori. Pertama, kajian sosio historis
pendidikan Islam, kedua, kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam, ketiga, kajian metodologis pendidikan Islam.
Jika dikaitkan dengan ketiga pengertian pendidikan Islam di atas, maka kajian sosio-historis terkait dengan pengertian
pendidikan Islam yang ketiga. Kajian pemikiran dan teori terkait dengan pengertian pendidikan Islam yang pertama dan
kajian metodologis terkait dengan pengertian pendidikan Islam dalam perspektif kedua di atas. Periksa Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).”, dalam jurnal Pendidikan
Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 175.
8
E.Pendidikan Islam Berperspektif Gender
Salah satu hak dasar individu baik laki-laki maupun perempuan adalah mendapatkan
pendidikan yang setara. Pendidikan menjadi sangat penting karena dengan pendidikanlah manusia
dapat berpengetahuan,bermartabat, dan pada akhirnya mencapai hidup sejahtera di tengahtengah
masyarakat. Konsep pendidikan dalam Islam dikaitkan dengan istilah tarbiyah, ta‘lim, dan ta’dib.
Ketiganya memiliki makna mendalam yang menyangkut manusia, masyarakat, dan lingkungan
dalam hubungannya dengan Tuhan. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai
suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, pemindahan pengetahuan, dan nilainilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya
di akhirat.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua warga negara bisa mengakses
pendidikan yang layak. Masalah bias gender di kalangan masyarakat ternyata menjadi salah satu
penyebab beberapa anak bangsa tidak mendapatkan hak pendidikan. Padahal ajaran Islam
menyebutkan bahwa tidak ada perlakuan diskriminatif bagi setiap individu baik laki-laki maupun
perempuan di muka bumi ini yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, status sosial, ataupun
ras. Semua manusia memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah. Allah membedakan kedudukan
manusia di sisi-Nya berdasarkan kualitas ketakwaannya.27
Pendidikan Islam berperspektif gender hadir untuk memberikan dan menjamin terpenuhinya
hak pendidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Ia merupakan proses transformasi
pengetahuan dan nilai-nilai Islam berlandaskan al-Qur’an dan Hadis Nabi untuk mengantarkan
terbentuknya kepribadian Islami dengan mempertimbangkan perbedaan kebutuhan, pengalaman,
dan pengetahuan laki-laki dan perempuan akibat konstruksi sosial lingkungannya, menuju
pendidikan berkesetaraan gender agar keduanya memperoleh manfaat yang sama dari hasil
pendidikan dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
Tujuan pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup Muslim, yaitu menciptakan pribadipribadi bertakwa yang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Idealisme ini
seringkali disebut sebagai tujuan akhir pendidikan Islam. Pendidikan Islam diharapkan mampu
merealisasikan tujuan hidup manusia sebagaimana digariskan dalam ajaran Islam, yaitu beribadah
kepada Allah.28
Tujuan mulia pendidikan Islam tersebut sama sekali bebas dari bias gender akibat perbedaan
jenis kelamin. Sayangnya, implementasi ajaran Islam yang sebenarnya tidak mendiskriminasi
27 “Tim Penyusun, Membangun Relasi Setara antara Perempuan dan Lakilaki Melalui Pendidikan Islam
(Jakarta: Direktoral Jenderal Pendidikan Kementerian Agama-Australia Indonesia Partnership, 2010), 33–34”, dalam
jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 399.
28 “Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 46.”,
dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 400.
9
pendidikan bagi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari masih patut dipertanyakan.
Adapun tujuan khusus pendidikan Islam responsif gender dirumuskan secara spesifik berupa
harapan-harapan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan. Hasil pendidikan tersebut selanjutnya
dinilai berdasarkan capaian terhadap indikator yang telah dirumuskan sebelumnya dengan
mempertimbangkan kesetaraan gender pada akses, partisipasi, kontrol atas sumber daya pendidikan
Islam, dan manfaat dari hasil pendidikan Islam.
Konsep pendidikan Islam secara umum bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah, nilai-nilai
sosial kemasyarakatan, dan wawasan pemikiran Islam.29 Dengan demikian pendidikan Islam
berperspektif gender diimplementasikan berdasarkan pada: Pertama, ajaran al-Qur’an dan alSunnah yang meliputi penghargaan Islam terhadap akal, keutamaan dan kewajiban menuntut ilmu,
serta nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender; Kedua, nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang
selaras atau tidak bertentangan dengan ajaran Islam atas dasar manfaat, dan menghindari kendalakendala yang dihadapi oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga kedua jenis kelamin sama-sama
memperoleh hasil belajar yang baik; Ketiga, warisan pemikiran Islam yang berpotensi mendorong
terwujudnya kesetaraan gender sebagai bahan pengembangan pendidikan Islam yang bermuara pada
prinsip dasar Islam sebagai agama yang ramah terhadap perbedaan gender dan perbedaanperbedaan lainnya.
Kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan Islam merupakan konsep besar yang
bersifat universal. Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender tersebut membutuhkan
strategi implementasi khususnya pada lingkup pendidikan Islam. bidang pendidikan Islam adalah
suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan pembangunan yang mengintegrasikan
pengalaman dan masalah perempuan dan laki-laki dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pendidikan Islam di tingkat nasional, daerah, dan
setiap satuan pendidikan Islam guna mencapai kesetaraan dan keadilan gender.
E.Simpulan
Di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, perempuan secara
umum mengalami keterasingan. Di banyak Negara tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan
dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan
dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis. Bahkan dalam melakukan
perjalanan pun, perempuan harus mendapat persetujuan suami.
Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex). Pada awalnya kedua
kata tersebut (gender dan sex) digunakan secara kurang jelas. Sejak terakhir di tengah maraknya
29 “Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1979), 7.”,
dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 400.
10
gerakan feminis, kedua kata tersebut dapat diartikan secara berbeda. Perbedaan konseptual antara
gender dan sex pertama-tama diperkenalkan oleh Ann Oakley. Oleh karena itu, penulis akan
mengemukakan perbedaan definisi tersebut untuk menghindari pemahaman yang keliru.
Dalam konteks ini, penulis sependapat dengan Ahmad Tafsir yang membedakan antara
Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan pendidikan Islam. PAI dibakukan sebagai nama kegiatan
mendidikkan agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan agama Islam, karena
yang diajarkan adalah agama Islam dan bukan pendidikan agama Islam. Nama kegiatannya adalah
usaha-usaha dalam mendidikkan agama Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Sedangkan
pendidikan Islam adalah nama sistem, yaitu sistem pendidikan yang Islami, yang memiliki
komponen-komponen yang secara keseluruhan mendukung terwujudnya sosok Muslim yang
diidealkan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur’an
dan al-Hadits.
Sementara konsep gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Contohnya perempuan dianggap sangat lemah lembut, emosional, keibuan
dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Sifat-sifat
tersebut tidaklah selamanya seperti itu, karena tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Artinya ada
laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya. Sementara ada juga perempuan
yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karena itu, gender dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat dapat berubah. Singkatnya, gender membicarakan laki-laki dan perempuan dari
sudut pandang yang non biologis
Pendidikan Islam berperspektif gender hadir untuk memberikan dan menjamin terpenuhinya
hak pendidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan. Ia merupakan proses transformasi
pengetahuan dan nilai-nilai Islam berlandaskan al-Qur’an dan Hadis Nabi. Tujuan pendidikan Islam
tidak lepas dari tujuan hidup Muslim, yaitu menciptakan pribadi-pribadi bertakwa yang dapat
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Idealisme ini seringkali disebut sebagai tujuan
akhir pendidikan Islam.
Islam, sebagaimana termuat dalam Al-qur’an memperlakukan baik individu perempuan dan
laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah dan individu perempuan dan lakilaki tersebut. Dalam perspektif normativitas Islam, tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya
terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt. Allah
memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan mengandung
prinsip-prinsip kesetaraan seperti lakilaki dan perempuan sama-sama sebagai hamba, laki-laki dan
perempuan sama-sama sebagai khalifah di bumi. Implementasi kesetaraan gender perspektif al11
Qur’an dalam hukum Islam terlihat pada adanya transformasi hukum Islam yang bertalian dengan
isu kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan seperti pada hukum poligami dan kewarisan
dalam Islam. Begitu juga di bidang profesi seperti hakim perempuan serta memicu lahirnya produk
hukum yang berpespektif kesetaraan dan keadilan gender.
Pendidikan karakter menjadi sebuah jawaban yang tepat atas permasalahan-permasalahan
yang telah disebut di atas dan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan diharapkan dapat menjadi
tempat yang mampu mewujudkan misi dari pendidikan karakter tersebut.
REFERENSI
“Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),
46.”, dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 400.
“Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 5”, dalam
jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
“Dalam konteks kajian untuk pengembangan pendidikan Islam, Azyumardi Azra mengemukakan
bahwa pola kajian kependidikan Islam di Indonesia, selama ini lebih berfokus pada tiga
kategori. Pertama, kajian sosio historis pendidikan Islam, kedua, kajian pemikiran dan teori
pendidikan Islam, ketiga, kajian metodologis pendidikan Islam. Jika dikaitkan dengan ketiga
pengertian pendidikan Islam di atas, maka kajian sosio-historis terkait dengan pengertian
pendidikan Islam yang ketiga. Kajian pemikiran dan teori terkait dengan pengertian
pendidikan Islam yang pertama dan kajian metodologis terkait dengan pengertian
pendidikan Islam dalam perspektif kedua di atas. Periksa Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999).”, dalam
jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 175.
“Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1979),
6.”, dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 399.
“Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1979),
7.”, dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 400.
“Helen Tierney (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia Vol. I (NewYork: Green Wood Press), h.
153.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2,
Desember 2013, p. 376.
12
“Hilary M. Lips, Sex & Gender an Introduction (California, London, Toronto: Mayfield Publishing
Company, 1993), h. 4”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo,
vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
“Ibid. Dalam istilah teoritisnya, kelompok pertama disebut teori nurture. Sedangkan kelompok
kedua disebut teori nature. Lihat Komaruddin Hidayat dalam pengantar buku karya Zaitunah
Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.
xviii-xix”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2
Tahun 2011, p. 110.
“Ibid., hlm. 41”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2
Tahun 2011, p. 109.
“Ibid. Lihat juga Fakih, Analisis Gender, hlm. 12”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, no. 108.
“Ibid.,hlm. 8-9”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2
Tahun 2011, p. 107.
“Jhon M. Echol dan Hassan Syadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm.
265”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun
2011, p. 107.
“John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggeris Indonesia (Cet. I; Jakarta: Gramedia, cet.
XII, 1983), h. 265.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol.
13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
“Julia Cleves Mose, Gender dan Pembangunan, Terj. Hartian Silawati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004)”, DALAM JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008 | 262274, p. 2.
“Lihat misalnya Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al- Kitab al-Arabi, 1980),
h. 297-298.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13
Nomor 2, Desember 2013, p. 378.
“Linda L. Lindsey, Gender Roles a Sociological Perspective (New Jersey: Prentice Hall, 1990), h.
2.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13 Nomor 2,
Desember 2013, p. 376.
13
“M. Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, ‘Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Qur’ân: Tinjauan
terhadap Pemikiran Muhammad Syahrûr dalam Bacaan Kontemporer’, dalam M. Aunul
Abied Shah et.al. (ed.) Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah
(Bandung: Mizan, 2001), hlm. 237”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
“Mansuor Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
hlm. 7-8”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2
Tahun 2011, p. 107.
“Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 72-75.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo, vol. 13
Nomor 2, Desember 2013, p. 378.
“Moh. Roqib, Bahasa, hal. 7”, JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 | No. 2 | Jul-Des 2008
| 262-274, p. 2.
“Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4.
Nomor 2. 2009, p. 173.
“Periksa Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005). Kata
pendidikan tersebut ada pada dan mengikuti setiap mata pelajaran. Dalam hal ini, PAI sejajar
atau sekatagori dengan kata Pendidikan Matematika atau Pendidikan IPA/IPS dan lainnya
(nama mata pelajarannya adalah matematika atau IPS/IPA), Pendidikan Olah Raga (nama
mata pelajarannya adalah olahraga), Pendidikan Biologi (nama mata pelajarannya adalah
biologi).”, dalam jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 4. Nomor 2. 2009, p. 173.
“Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender (Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 20”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender,
vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
“Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 160”, dalam jurnal Islâm,
Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 108.
“Sukron Kamil, et al., Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil,
Hak- Hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: CSRC, 2007), hlm. 38”, dalam jurnal
Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 106.
14
“Susiloningsih dan Agus M. Najib, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2004), hal. 11.”, DALAM JURNAL STUDI GENDER DAN ANAK, vol. 3 |
No. 2 | Jul-Des 2008 | 262-274, p. 2.
“Tim Penyusun, Membangun Relasi Setara antara Perempuan dan Lakilaki Melalui Pendidikan
Islam (Jakarta: Direktoral Jenderal Pendidikan Kementerian Agama-Australia Indonesia
Partnership, 2010), 33–34”, dalam jurnal Al-Tahrir, vol. 11, No. 2 November 2011, p. 399.
“Umar, Argumen Kesetaraan Gender, hlm. 34”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep
Kesetaraan Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 107.
“Victoria Neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary (New York: Webster’s New World
Cleveland,1984), h.561.”, dalam Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi-Studi Islam) IAIN Gorontalo,
vol. 13 Nomor 2, Desember 2013, p. 376.
“Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al- Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 40”, dalam jurnal Islâm, Feminisme dan Konsep Kesetaraan
Gender, vol. 19 No. 2 Tahun 2011, p. 109.
15