SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KI

SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN
PENDIDIKAN KIMIA
Universitas Negeri Semarang
FMIPA – JURUSAN KIMIA
“Penilaian Otentik Aspek Sikap dan Keterampilan
Untuk Penguatan Karakter Siswa”
(Universal / Broader Context)
Socio-Assessment: Paradigma Baru Penilaian Proses
Pendidikan Abad-21 (Edisi Revisi)
Drs. R.Witjaksono, MA; MPhil.
Perekayasa Madya/IVc
Pusat Penilaian Pendidikan
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta

SABTU, 15 OKTOBER 2016

HOTEL GRASIA
JL. S. PARMAN NO. 29
SEMARANG.50231

I. PENDAHULUAN
Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 1 of 10

Tema seminar hari ini: “Penilaian Otentik Aspek Sikap dan Keterampilan Untuk
Penguatan Karakter Siswa” direfleksikan pada konteks yang lebih luas (universal/broader
context) menjadi makalah bertema: “Socio-Assessment: Paradigma Baru Penilaian Proses
Pendidikan Abad-21”. Sedangkan untuk konteks yang lebih kecil (micro-context)
dioperasionalkan melalui bahan presentasi dengan sub-tema 1: “Penilaian Otentik
Keterampilan di Kelas / Laboratorium Kimia: Pengembangan Rubrik” dan sub-tema 2:
“Penilaian Otentik Sikap di Kelas / Laboratorium Kimia: Pengembangan Rubrik”.
Tujuan umumnya adalah untuk menyosialisasikan pergeseran paradigma penilaian
pendidikan dari abad-20 (abad modern) ke abad-21 (abad post-modern) - “Socio-assessment
paradigm” - kepada semua stakeholder pendidikan dalam kaitannya dengan implementasi
Kurikulum-2013. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk memberikan pemahaman
kepada peserta seminar mengenai pengembangan desain penilaian pendidikan yang otentik,
valid dan reliabel. Selain itu, memberikan pemahaman mengenai pengembangan instrumen

penilaian keterampilan dan penilaian sikap (rubrik) dalam kaitannya dengan penguatan
karakter siswa.
Pada sosialisasi melalui makalah ini dibahas beberapa aspek dari paradigma socioconstructivist, diantaranya: pengertian, latar belakang konseptual dan faktual, mekanisme
kerja, perbandingan penilaian pendidikan abad-20 dan abad-21, outcomes, feasibilitas
implementasinya, sosialisasi serta kendala dalam implementasinya. Adapun pembahasan
untuk setiap aspek tersebut dapat dilihat pada paragraf-paragraf di bawah ini.

II. Literatur dan Hasil Penelitian
“The Revised Curriculum aims to empower our young people to develop their potential as individuals and to
make informed and responsible decisions for living and working in the 21stcentury.”
(Northern Ireland Curriculum, KS-1 & 2, 2000)

1. Pengertian socio-assessment
Socio-assessment (sociology of educational assessment) adalah penilaian proses pendidikan
dilihat dari perspektif sosiologi. Perspektif ini meliputi hal-hal berikut: pertama, melihat pola
umum kehidupan sosial peserta didik melalui perilaku individu siswa selama berlangsungnya
maupun setelah menyelesaikan penilaian pendidikan. Kedua, menyadari bahwa bagaimana
individu siswa berpikir dan bertindak sangat dipengaruhi oleh bagaimana pihak sekolah/guru
memperlakukannya, misal dalam hal tutur katanya, perilakunya maupun cara mengajarnya,
cara mengujinya selama atau setelah proses pembelajaran. Selanjutnya, bahwa individu siswa

terintegrasi dalam kehidupan sosial masyarakat di lingkungan sekolah maupun di luar
lingkungan sekolah. Terakhir, adanya individu siswa yang termarjinalisasi setelah menempuh
penilaian pendidikan (misalnya, ujian) yang pada akhirnya menginginkan perubahan status
sosialnya. Dalam hal ini socio-assessment menggunakan pendekatan kemanusiaan
(humanistic approach to education system) (Hargreaves, 2001; ...., 2011).

Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 2 of 10

Socio-assessment mulai diperkenalkan di Indonesia melalui implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 yang selanjutnya direvisi menjadi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dalam konteks otonomi daerah/desentralisasi (Witjaksono,
2007). Selanjutnya penyempurnaannya melahirkan Kurikulum 2013. Ketiga kurikulum
tersebut mempunyai filosofi/ideologi yang sama, yaitu suara-suara siswa dan guru yang
sebelumnya diabaikan/tidak didengar/termarjinalisasi dalam paradigma input-output,
dihidupkan kembali melalui paradigma proses pembelajaran yang terintegrasi dengan
penilaiannya dalam fungsi formatif melalui assessment for learning dan assessment as

learning.
2. Latar belakang konseptual dari socio-assessment
‘The ability to think critically, solve probs, work together, and manage oneself are critical for future success ...
Without student talk we cannot evaluate and improve student thought ... Talk helps students arrive at a greater
understanding than any one mind can come at alone.
(twitter quotes, 2015)
The ability to perceive or think differently is more important than the knowledge gained.
David Bohm

Socio-assessment dioperasionalkan melalui paradigma proses (socio-constructivist
paradigm) dalam penilaian berbasis kelas. Paradigma proses didasarkan pada sistem
pendidikan berbasis kemanusiaan dan berprinsip bahwa manusia itu mempunyai moral, nilai,
norma, emosi, perasaan, dan saling berinteraksi dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya
(Hargreaves, 2001). Disamping itu, paradigma proses mempunyai ideologi bahwa suara-suara
yang selama ini termarjinalisasi dalam dominasi paradigma output (paradigma hasil belajar),
yaitu suara siswa dan guru, dalam hal menentukan metodologi pendidikan - baik menentukan
kurikulumnya (enacted curriculum), pedagoginya maupun menentukan cara penilaiannya dihidupkan kembali melalui suara-suara kritis (‘critical voices’) mereka dan peran mereka
yang proporsional (sharing of power) melalui self-, peer- dan co-assessment (Broadfoot,
1996). Inilah yang merupakan masalah konseptual terpenting dari socio-assessment yang
merupakan parameter signifikan dari pendidikan progresif di abad-21 (progressive

education/liberal education). Dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai instrumen untuk
melakukan transformasi sosial melalui epistemologi socio-constructivist (Witjaksono, 2007).
Perlu juga diketahui bahwa paradigma proses mengakomodir empat pilar pendidikan abad21, abad post-modern’ / ‘the age of discourse war’, yang diusulkan oleh Komite Pendidikan
Internasional ke UNESCO, yaitu: Learning how to learn, how to do, how to be, dan how to
live together respecting others (Dellors, 1996). Disamping itu juga mengakomodir
keterampilan belajar abad-21, 4C, yaitu: critical thinking and problem solving,
communications (oral and written), collaboration, and creativity and innovation yang
didukung dengan penguasaan teknologi -‘Information, Media and ICT literacies’ (P-21,
2011).

3. Latar belakang faktual dari socio assessment
Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 3 of 10

‘children start school from rather different points and therefore require different teaching approaches’ (Osborn
et al., 1997, p.377).


Dengan menghidupkan kembali suara-suara yang termarjinalisasi tersebut yang
dimanifestasikan dalam proses pembelajaran di kelas, yang terintegrasi dengan penilaiannya
(fungsi formatif), siswa menjadi aktif dan partisipatif serta belajar itu menyenangkan bagi
mereka (low stake assessment). Jadi proses pembelajaran berpusat pada siswa sehingga siswa
merupakan subjek dalam proses pendidikan. Hal ini berarti bahwa ‘students’needs,
‘interests’, ‘expectations’ dan ‘culture’ harus diakomodir oleh guru dalam membuat Desain
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kemudian guru sebagai orang yang mempunyai
banyak pengalaman wajib untuk memfasilitasi interaksi sosial dalam proses pembelajaran
(melalui sharing of power) dengan menggunakan berbagai macam strategi pembelajaran aktif
dan berbagai metode penilaian (multiple methods of active teaching-learning and
assessments). Selain itu, guru memberikan “immediate, direct and on-going constructive
feedback” pada saat proses pembelajaran (scaffolding assessment). Jadi proses pembelajaran
dan penilaiannya dalam ‘day-to-day assessment’ terhadap kompetensi siswa secara
komprehensif (pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku) yang benar adalah tidak boleh
terpisah melainkan harus simultan. Inilah yang dikenal dengan nama ‘assessment for
learning’ dan ‘as learning’ melalui fungsi penilaian formatif (Black & Wiliam, 1998).
4. Mekanisme kerja socio assessment
Dalam hal ini ada dua mekanisme: mekanisme makro dan mekanisme mikro. Mekanisme
makro menutut adanya sistem di semua lapisan manajemen birokrasi pendidikan, pusat dan
daerah, yang memberi dukungan penuh terhadap terjadinya mekanisme mikro. Mekanisme

makro terdiri atas komponen-komponen: penyiapan lingkungan pembelajaran siswa yang
memadai dalam hal sarana-prasarananya, menyiapkan guru profesional yang siap
mengimplementasikan paradigma proses (socio constructivist paradigm), dokumen
kurikulum 2013 yang ‘feasible’ dan ‘aplicable’ dan pedagogi pembelajaran aktif yang
terintegrasi dengan penilaiannya serta pengembangan komunitas pembelajaran dan budaya
kerjasama/kolaboratif (Fullan, 1998).
Pada mekanisme mikro, tahapan awal yang harus terpenuhi adalah adanya perubahan
‘mindset’ atau ’belief’ dari guru dan siswa mengenai pergeseran paradigma proses
pembelajaran dari ‘teacher centre’ ke ‘student centre’ melalui ‘socio-constructivist
paradigm’. Bahwa siswa akan mengonstrak pengetahuan (knowledge) berdasarkan
pengalaman belajarnya setelah berinteraksi sosial dengan guru (co-assessment), dengan siswa
lainnya (peer-assessment) atau dengan dirinya sendiri (self-assessment) atau berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya (lingkungan fisik, sosial, ekonomi, politik, budaya maupun
lingkungan sejarah) (Cobb, 1996).
Socio-assessment terjadi pada proses pembelajaran yang diintegrasikan dengan proses
penilaiannya, di dalam penilaian berbasis kelas (classroom-based assessment) pada dua
tahapan, pre-diagnostic assessment dan formative assessment (assessment for learning dan
assessment as learning). Pada tahapan ini proses pembelajarannya menggunakan berbagai
metode pembelajaran aktif, partisipatif, dan kolaboratif (misal, ‘think-pairs-share’, ‘jigsaw’,
‘debate’, ‘role play’, ‘case study’, dll) kontekstual, cross-curricular, on-going serta

menggunakan berbagai metode penilaian (Prideaux, 2007).

Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 4 of 10

Pada kedua tahapan tersebut di atas, penilaiannya tidak bertujuan untuk memberi skor/ grade
(fungsi penilaian formatif) melainkan memberikan ‘immediate, direct and on-going
constructive feedback’ (assessment for teacher learning) dan
‘reflective learning’
(assessment as student learning – self- and peer-assessments ) setelah melalui tahapan zone
of proximal development (scaffolding assessment) untuk mencapai target/tujuan
pembelajaran.
5. Perbandingan socio assessment terhadap conventional assessment
If I had one wish for all our institutions, and the institution called school in particular, it is that we dedicate
ourselves to allowing them to be what they would naturally become, which is human communities, not
machines. Living beings who continually ask the questions: Why am I here? What is going on in my world?
How might I and we best contribute? (Senge, 2000, p 58)


Institusi sekolah, secara alami, merupakan komunitas manusia yang bergerak dalam
dunia pendidikan secara komprehensif - baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap - dan
bukan merupakan komunitas mesin. Mereka secara kontinyu bertanya mengenai
standing/position mereka: Mengapa mereka ada di dunia ini? Apa yang sedang berlangsung
di dunia saya? Bagaimana saya dan kita semua berkontribusi dalam kehidupan kita seharihari dengan cara terbaik?
Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas adalah socio-assessment yang dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Aspek

Conventional / Traditional
assessment

1.

Awal dikenalkan

Abad 20, abad modern/
teknologi/ abad scientific.


2.

Paradigma

Input-output
centre

(Breadth),

Socio assessment
abad

Memasuki abad-21/ abad post modern –
abad ‘dicourse war’ / perang wacana/ perang
ideologi melalui ‘information, technology
and communications’ – ICT.

teacher
Process (Depth), student centre,


3.

Domain dominan

Kognitif - fokus pada output/hasil
belajar

4.

Ontologi-epistemologimetodologi

Objectivist, positivist, reductionist/
stimulus-respon/quantitative-,
measureable objectives

Post-stucturalist,
Multiple-subjectivities/
socio
constructivist-Constructionist
/qualitative-observable & unmeasureable
objectives

5.

Metode

Single method of Paper and Pencil
Tests melalui tes tertulis dengan
berbagai format.

Multiple-methods of Assessment (penilaian
kinerja, project, portofolio proses & produk,
penilaian sikap dll)

6.

Pendekatan

Technical – mechanistic melalui
model
matematika
dari
‘Classical/Modern Test Theories
(economic approach)

Interaksi sosial antara guru-siswa/siswasiswa (humanistic approach) melalui selfpeer- dan co-assessment dan sharing of
power antara guru-siswa.

Kognitif, psikomotor, dan afektif - fokus
pada proses pembelajaran

6. Outcomes dari konsep educational socio assessment
Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 5 of 10

The test of successful education is not the amount of knowledge that a pupil takes away from school,
but his appetite to know and his capacity to learn (Sir Richard Livingston, President of Corpus Christi
College, Oxford, 1941 – cited in Emslie et al., 2004, p.4).

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana meningkatkan kapasitas belajar siswa yang
sekaligus dapat memperbaiki outcomesnya? Dari sudut pandang sosial-politik, peran
pemerintah pusat dan daerah sangat penting dalam hal memformulasikan dan memberi
dukungan penuh terhadap kebijakan mengenai socio-assessment yang terintegrasi dengan
proses pembelajaran siswa. Siswa belajar secara komprehensif (pengetahuan, keterampilan,
dan sikap/perilaku) melalui pembelajaran aktif, partisipatif dan kolaboratif, baik individual
maupun kelompok, menggunakan konteks ‘real-life problems’ (authentic contexts). Hal ini
harus tertuang dalam mendesain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang transparan
serta komunikasi dua arah antara guru dan siswa dalam rangka mengakomodir needs,
interests, expectatitions dan culture siswa (sharing of power). Dengan cara ini kapasitas
belajar siswa dapat ditingkatkan (Loyd, 1994). Proses pembelajaran yang berpusat pada siswa
tersebut terintegrasi dengan penilaiannya dalam ‘day-to-day assessment’ melalui fungsi
penilaian formatif, sehingga perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku
siswa dapat dimonitor secara langsung dan terus-menerus melalui ‘immediate, direct,
constructive feedback, deep reflective-learning pada continuous, on-going assessment.
Sebagai implikasinya, siswa akan belajar dengan menyenangkan, timbul motivasi internal
pada diri siswa, saling menghargai pendapat teman, santun dan hormat kepada sesama, tidak
egois dan tidak otoriter serta sebagai konsekuensinya prestasi akademik siswa diharapkan
akan meningkat. Inilah yang merupakan outcomes dari paradigma proses melalui socio
assessment (Witjaksono, 2007).
Hal tersebut sejalan dengan paradigma proses pembelajaran abad-21, sebagai hasil sintesa
dari empat (4) pilar pendidikan dan 4C - keterampilan pembelajaran abad-21, yang kuranglebih berbunyi sebagai berikut:
Students learn, individually or collaboratively in pairs, small groups or a whole class, in
order both to think critically, creatively, innovatively and to do creatively and innovatively
by respecting others supported by sophisticated technology within a real-life context to solve
any kind of real-life problems within a school community through communications, both oral
and written. The main outcome is students who are dilligent, skillful and polite.
7.

Feasibilitas educational socio-assessment

How to put the idea into practice? How to implement the new curriculum into the school/classroom level? There
are likely a lot of challenges, issues and problems (technical or non-technical). (Fullan, 2001)

Untuk mengantisipasi adanya tantangan, isu maupun masalah teknis/non teknis dalam
mengimplementasikan Kurikulum-2013 sehingga dapat meyakinkan stakeholder pendidikan
akan nilai-nilai yang terkandung di dalam perubahan tersebut, termasuk di dalamnya
perubahan ke paradigma socio-assessment, perlu diperhatikan beberapa kondisi berikut:
Pertama, harus ada perubahan ‘mindset’ / ‘belief’ dan komitmen/political will dari masingmasing individu yang merupakan stakeholder pendidikan - jajaran pemerintah pusat dan
daerah, jajaran sekolah (kepala sekolah, guru, siswa) dan orangtua.
Pada jajaran manajemen birokrasi, indikatornya dapat terlihat dari dukungan kebijakan yang
dikeluarkan, baik melalui undang-undang sistem pendidikan nasional, peraturan menteri,
Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 6 of 10

peraturan pemerintah maupun rencana strategis mengenai kurikulum, pedagogi serta
penilaian proses pendidikan. Sedangkan pada jajaran sekolah dan orang tua, indikatornya
dapat terlihat dari cara berpikir, bertindak, dan bersikap terhadap paradigma ‘socioassessment’.
Kedua, guru sebagai ujung tombak dari perubahan paradigma pembelajaran yang terintegrasi
dengan penilaiannya melalui fungsi penilaian formatif, harus kompeten dan profesional
dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013 secara komprehensif, termasuk di dalamnya
pedagogi pembelajaran aktif yang terintegrasi dengan penilaiannya melalui socio-assessment.
Kemudian, materi Kurikulum 2013 tidak overload (broad caverages of many topics but
shallow) dan mempunyai alokasi waktu yang memadai untuk berlangsungnya proses
pembelajaran aktif yang efektif. Dengan demikian setiap individu siswa (high/low achievers)
pada setiap jenjang pendidikan mempunyai kesempatan belajar yang sama untuk
mendapatkan pengalaman belajar sebanyak-banyaknya dan detail (deep learning) dengan
menggunakan berbagai metode pembelajaran aktif serta berbagai metode penilaian proses.
Selanjutnya, semua fasilitas/sarana-prasarana yang diperlukan untuk terjadinya paradigma
proses di tingkat sekolah/kelas melalui socio-assessment harus tersedia dan memadai serta
mempunyai mutu yang baik.
Pada akhirnya, perlu anggaran yang memadai dalam mengimplementasikan socio-assessment
melalui implementasi Kurikulum 2013 untuk tujuan sosialisasi baik melalui pilot project,
seminar maupun workshop yang lebih mengutamakan pada hasil yang bermutu baik.
Apabila semua kondisi tersebut di atas terpenuhi, socio-assessment diharapkan akan
terlaksana secara feasible dan valuable (Witjaksono, 2007; 2013).

8. Sosialisasi socio-assessment
Sosialisasi konsep socio-assessment dilakukan bersamaan waktunya dengan sosialisasi
Kurikulum-2013 oleh nara sumber yang benar-benar kompeten, yaitu mengetahui ontologi,
epistemologi serta metodologi dari masing-masing aspek Kurikulum-2013, aspek
pedagoginya maupun aspek penilaian prosesnya. Selanjutnya, perlu adanya komunikasi dua
arah dan terus menerus serta kerjasama yang baik dan bermutu antar institusi terkait – Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, semua Direktorat di lingkungan Direktorat
Dikdasmen, Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan maupun Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP) serta Dinas Pendidikan Provinsi/Kota/Kabupaten dan guru-guru mata
pelajaran/bidang studi lintas jenjang pendidikan. Adapun bentuk sosialisasinya dapat berupa
seminar, konferensi atau workshop yang memfokuskan pada kualitas hasilnya.

9. Kendala dalam implementasi educational socio-assessment
Change is hard and change takes time
Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 7 of 10

(twitter quotes, 2015)
Kendala utamanya adalah kurangnya tenaga sumber daya manusia yang kompeten,
profesional dan handal dalam penguasaan ontologi, epistemologi maupun metodologi dari
socio-assessment. Kemudian, dengan merujuk hasil penelitian studi kasus mengenai
implementasi KBK-2004 dan KTSP-2006 (Witjaksono, 2007), walaupun tidak dapat dipakai
untuk men-generalisasi, kemungkinan ada peluang menghadapi kesulitan untuk mengubah
mindset/belief serta komitmen guru dan siswa untuk mengimplementasikan socio-assessment
melalui implementasi Kurikulum 2013. Pada akhirnya, hal yang sama, keterbatasan finansial
dan waktu pada saat ini (scarcity of any kind of resources) untuk mengimplementasikan
socio-assessment dengan benar melalui implementasi Kurikulum 2013 kemungkinan juga
merupakan kendala yang perlu mendapatkan perhatian serius (Witjaksono, 2007; 2013).
III. Penutup
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada saat ini, abad-21/abad milenium/abad
globalisasi/abad post-modern/ abad ‘perang’ ideologi/abad pendidikan progresif, konsep
socio-assessment di Indonesia mulai diperkenalkan melalui implementasi Kurikulum KBK
(2004), KTSP (2006) dan Kurikulum 2013. Konsep ini menggunakan pendekatan
kemanusiaan - mengakomodir needs, interests, expectations dan culture setiap individu siswa
dalam proses pembelajaran yang terintegrasi dengan penilaiannya (fungsi penilaian formatif
melalui assessment for dan as learning). Individu siswa didudukan sebagai subjek dalam
sistem pendidikan nasional. Ditingkatkan potensinya melalui suara-suara kritis mereka dan
melalui sharing of power antara guru dan siswa dalam mendesain RPP serta dalam proses
pembelajaran komprehensif (pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku) yang aktif,
partisipatif dan kolaboratif serta menyenangkan bagi setiap individu siswa. Individu siswa
mengonstrak pengetahuan setelah berinteraksi sosial dengan dirinya, teman sebayanya dan
dengan guru mereka melalui self-, peer-, dan co-assessment serta setelah berinteraksi sosial
dengan lingkungan sekitarnya (socio constructivist paradigm) dengan menggunakan berbagai
metode pembelajaran aktif dan berbagai metode penilaian proses. Individu siswa dimonitor
perkembangan pembelajarannya secara kontinyu selama proses pembelajaran melalui
immediate, direct constructive feedback (assessment for learning) dan reflective learning
(assessment as learning) dalam konteks day-to-day assessment. Sedangkan guru berperan
dan bertanggungjawab sebagai fasilitator selama berlangsungnya pembelajaran melalui
scaffolding atau zone of proximal development. Mereka bertindak sebagai pendidik dan
sekaligus sebagai pengajar dalam kaitannya untuk mencapai target/tujuan pembelajaran. Hal
tersebut di atas dapat berlangsung apabila beberapa kondisi yang tersebut di atas terpenuhi,
sehingga outcomes dari proses pembelajaran berbasis kemanusiaan dapat menjadi kontributor
signifikan bagi terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas, terampil dan santun.

Pustaka
..... (2011). Sociology: Perspective, Theory, and Method (chapter 1) in Instructor’s Manual
Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 8 of 10

for Macionis Society: The Basics, 11/e. Pearson Education, Inc.
Black, P., and Wiliam, D. (1998). Assessment and classroom learning. Assessment in
Education, 5(1), pp.7-74.
Black, P., Harrison, C., Lee., C., Marshall, B., & Wiliam, D. (2002) Working inside the
black box: Assessment for learning in the classroom. London: King’s College,
Department of Education & Professional Studies.
Black, P., Harisson, C., Lee, C., Marshall, B., and Wiliam, D. (2003). Formative and
summative assessment: can they serve learning together? (Draft). Paper
presented at AERA Chicago, 23 April. SIG Classroom Assessment Meeting.

Broadfoot, P. (1996). Assessment and learning: Power or partnership? In H.Goldstein
and T. Lewis (Eds.), Assessment: Problems, developments and statistical issues.
John Wiley & Sons, Ltd.
Cobb, P. (1994). Where is the mind? Constructivist and socio-cultural perspectives on
mathematical development. Educational Researcher, 23(7), pp.13–20.
Delors, J., Al Mufti, I., Amagi, A., et al. (1996). Learning: the treasure within. Report of the
International Commission on Education for the Twenty First Century. Paris:
UNESCO.
Emslie, G., Jonsson, M., Kwawukume, S., Kuhlenkamp, J., Noor, N., and Strapkova, I.
(2004). Assessment: Its impact in the classroom. Bobergsskolan Report.
Fullan, M. (1998). Education reform: Are we on the right track? Canadian Education
Association, 38(3).
Gipps, C. (1999). Socio cultural aspects of assessment. Review of Research in Education
– AERA, 24, pp. 355 – 392.
Hargreaves, D. (2001). A capital theory of school effectiveness and improvement. British
Educational Research Journal, 27(4). Qualifications and Curriculum Authority.
Loyd, B.H. (1994). Book review: Toward a science of educational testing and assessment
by H. Berlak., F.M. Newmann., E. Adam., D.A. Archbald., T. Burgess., J.
Raven., and T.A. Romberg. Journal of Educational Measurement, 31(1), pp.8387.

Northern Ireland Curriculum-KS1&2. (2000). Active Learning and teaching methods for
keystages1&2.
Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 9 of 10

Osborn, M., Broadfoot, P., Planel, C., and Pollard, A. (1997). Social class, educational
opportunity and equal entitlement: dilemmas of schooling in England and
France. Comparative Education, 33(3), pp.375-393.
Prideaux, J.B. (2007). The constructivist approach to mathematics teaching and the active
learning strategies used to enhance student understanding. Fisher Digital
Publications.
Senge, P.M. (2000). Systems Change in Education, Reflections, Vol.1, No. 3, p 58
The Partnership for 21st Century Skills (P21), 2011. Putting it all together: 21st Century
skills, Common Core and Assessment.
The very best twitter quotes from ILA (2015).
Witjaksono, R. (2007). Analysis of Policy on Educational Assessment in relation to the
Implementation of the New 2004 Curriculum/Revised 2006 Curriculum (KTSP):
A Case Study of Four Senior General Secondary Schools in Jakarta, Indonesia
(Unpublished Doctoral Thesis, 2nd Draft). School of Curriculum, Pedagogy, and
Assessment, Institute of Education, University of London.
Witjaksono, R. (2013). Implementasi Awal Kebijakan Kurikulum 2013 di Sekolah Menengah
Atas Negeri 3 Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Buletin
Puspendik.

Copyright@R. Witjaksono-Puspendik

Minggu, 15 Juli 2018

Page 10 of 10