POLITIK KRIMINAL dari sudut pandang SIst

POLITIK KRIMINAL
1.1 Intisari
Dalam penjelasan yang disampaikan oleh pengajar ketika memberikan
tugas, disampaikan bahwa politik kriminal umumnya adalah keputusan pada
saat tertentu dalam sejarah sebuah negara1. Keputusan yang dimaksud tentu saja
berkaitan dengan kriminal (kejahatan; pelanggaran hukum yang dapat dihukum
menurut Undang-Undang). Untuk bisa menjelaskan apa itu politik kriminal,
pengajar memberikan contoh mengenai peradilan bagi para penganut ajaran
komunis yang diterapkan di Indonesia, tetapi sekarang ini peradilan itu sudah
tidak ada seiring dengan berubahnya jaman, yang berdampak pula pada
kebijakan pemerintahan yang tengah berkuasa. Contoh lain yang disampaikan
adalah terkait dengan money laundering (pencucian uang), dimana pada jaman
pemerintahan Presiden Soeharto, masalah ini bukan merupakan hal penting yang
dijadikan salah satu fokus penegakan hukum di negara ini. Ketika itu,
pemerintahan Soeharto yang gencar menggalakkan pembangunan di segala
sektor membutuhkan dana besar guna mensukseskannya, untuk itu pemerintah
membuka kran investasi seluas-luasnya bagi para investor asing yang akan
menanamkan modalnya di negara ini. Terkait dengan upaya itu, guna menjaring
dana segar sebanyak-banyaknya, pemerintah tidak mempermasalahkan asalmuasal dana investasi yang digunakan oleh para pengusaha asing yang ingin
memperluas bisnisnya di Indonesia. Dan benar saja, saat kebijakan ini
diberlakukan, antusias pebisnis asing untuk masuk ke Indonesia mengalami

kemajuan sehingga mampu membantu percepatan laju pertumbuhan ekonomi
negara ini yang ketika itu tengah memfokuskan diri membangun infrastruktur.
Dalam salah satu buku karangan Prof. Mardjono istilah politik kriminal
dan kebijakan kriminal memiliki pemahaman yang sama. Istilah ini diartikan
“the explicit or implicit standing plan than an organization or government uses
as a guide to action”2. Kata aksi yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah
dalam rangka menanggulangi terjadinya kejahatan. Dimana pada umumnya

1 Disampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro ketika memberikan penjelasan tugas Ujian
Akhir Semester mata kuliah Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Hukum Universitas Indonesia
pada tanggal 9 Desember 2014.
2 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Jaminan Konstitusi Tentang Proses Hukum Yang Adil,
Bahan Bacaan Wajib Perkuliahan Manajemen Sekuriti Swakarsa, Jakarta, Program Magister Kajian Ilmu
Kepolisian Universitas Indonesia, 2013, hal 26.

1

berbentuk prinsip sebagai tujuan dan memuat program guna mewujudkan tujuan
yang telah ditetapkan.
Adalah hal yang wajar, ketika tiap pemerintahan memiliki suatu

kebijaksanaan atau policy tersendiri yang menjadi acuan guna merealisasikan
program kerjanya. Tentu dalam hal ini ada kebebasan dari masing-masing era
untuk

menetapkan arah

policy-nya

yang

berdampak

pada keputusan

memidanakan suatu penyimpangan atau kejahatan di masyarakat. Keputusan ini
disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, tidak hanya masyarakat di
dalam negeri tetapi juga masyarakat Internasional. Salah satu contoh paling jelas
adalah yang sudah disampaikan sebelumnya yakni terkait dengan money
laundering. Peraturan tentang kejahatan pencucian uang di Indonesia merupakan
reaksi atas kebijakan dunia Internasional yang memandang jenis kejahatan ini

sudah meresahkan terutama dalam kaitannya dengan terorisme, mafia narkoba,
korupsi dan kejahatan transnasional lainnya. Di saat dunia Internasional
memeranginya, pemerintah di dalam negeri pun ikut serta dengan cara
meratifikasi Undang-Undang mengenai hal tersebut. Hal ini merupakan satu dari
sejumlah kebijakan kriminal yang diambil pemerintah dalam rangka
menanggulangi kriminalitas sebagai salah satu gejala sosial kemasyarakatan.
Kebijakan kriminal oleh Prof. Mardjono dijelaskan sebagai komponen
yang diperlukan selain strategi sosial untuk menajga agar angka kriminalitas
masih berada pada batas toleransi masyarakat3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana
ini dapat diperinci menjadi 4:


Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;



Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; serta




Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
menguangi perbuatannya (menjadi residivis).

Selain ketiga hal yang sudah dirumuskan di atas, Kebijakan kriminal yang
diterapkan oleh pemerintah juga diharapkan mampu untuk mengurangi
keinginan pelanggaran aturan pidana dan memenuhi rasa keadilan yang hidup di
masyarakat5. Tentunya upaya menerapkan kebijakan kriminal dalam sistem
3 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 92
4 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Op Cit hal 27.
5 Mardjono Reksodiputro, Loc Cit.

2

peradilan pidana yang berlaku di Indonesia tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Dibutuhkan keterpaduan dalam pelaksanaan kebijaksanaan
kriminal oleh komponen yang ada pada sistem peradilan pidana. Komponen
yang dimaksud adalah polisi (penyidikan), jaksa (penuntutan), hakim
(pengadilan), lembaga pemasyarakatan (pemasyarakatan). Keterpaduan diantara

empat komponen sistem peradilan pidana ini bisa terwujud jika seluruh
komponennya menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Ini
wajib dilakukan karena proses penegakan hukum yang diketahui dan
diselesaikan melalui sistem peradilan pidana hanyalah merupakan puncak
gunung es. Ini terjadi lantaran masih banyak kejahatan atau tindak pidana yang
tidak terlihat, tidak dilaporkan (atau tidak diketahui seperti misalnya “kejahatan
yang korbannya tidak dapat ditentukan” atau “crimes without victims”) sehingga
tidak dapat diselesaikan6. Agar sistem peradilan pidana bisa efektif, syarat utama
yang wajib dilakukan oleh komponennya adalah keterpaduan kerja yang
diarahkan kebijakan kriminal atau yang dikenal dengan “pendekatan terpadu”
(integrated approach)7. Keterpaduan antar komponen dalam sistem peradilan
pidana, bisa diibaratkan sebuah arloji dimana terdapat seperangkat roda gigi
yang harus cermat dan ulet menjaga kombinasi yang baik antara masing-masing
roda gigi agar dapat menunjukkan waktu secara tepat8. Namun, meski secara
teoritis konsep ini merupakan hal yang ideal namun pada kenyataannya
seringkali masing-masing komponen kerap bekerja sendiri-sendiri dengan
motivasi kerja yang berbeda dan tidak mengindahkan perlu adanya kebijakan
kriminal9. Minoru Shikita (ketua Asia Prevention Foundation) seperti dikutip
Prof. Mardjono menjelaskan tiga kerugian yang dapat timbul apabila SPP
mengabaikan “keterpaduan”, yakni10 :



Sukar untuk salah satu sub sistem dalam SPP mengevaluasi keberhasilan
atau kegagalan instansinya, akibat adanya ketergantungan satu sama lain.



Sangat sukar untuk suatu sub-sistem memecahkan masalahnya sendiri
dan terpisah dari sub-sistem yang lain.

6 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas
Indonesia, 2007, hal 6.
7 Ibid
8 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Loc Cit.
9 Mardjono Reksodiputro, Op Cit hal 93.
10 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Op Cit hal 28

3




Tanggung jawab pelaksanaan proses dalam SPP secara efektif begitu
tercampur diantara semua sub-sistem, sehingga satu sub-sistem saja
biasanya tidak cukup merasa berrtanggungjawab atas efektivitas
keseluruhan SPP.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya mengenai politik

kriminal11, hal ini bukanlah sekedar “hasil perumusan” bersama, tetapi politik
kriminal atau yang juga dikenal sebagai kebijakan kriminal (strafrechtelijke
beleid) merupakan hasil (resultante) dari berbagai kewenangan dalam negara
yang bekerja bersama-sama dalam menanggulangi masalah kriminal. Sehingga
penerapannya dimulai sejak dari pembuat undang-undang yang menyediakan
aturan hukum pidana serta kewenangan maupun pembatasan dalam pelasanakan
aturan hukum. Yang kemudian dilanjutkan oleh Kepolisian dan Kejaksaan
sebagai pelaksana penegakan hukum dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Serta Pengadilan sebagai penguji kebijakan penyidikan dan penentukan dan
menentukan pemidanaan jika telah terbuktu bersalah. Lalu bermuara pada
Lembaga


Pemasyarakatan

sebagai

pelaksana

pidana

yang

dijatuhkan

pengadilan12.
Sebagai hasil berbagai kewenangan dalam negara berbentuk keputusan,
politik kriminal memiliki proses perumusan yang secara sederhana adalah
sebagai berikut13 :


Merumusakan masalah (problem definition);




Merumuskan kebijakannya (policy formulation);



Memilih kebijakan sesuai dalam kondisi tertentu (policy selection,
legislation);



Pelaksanaan (implementation);



Evaluasi (evaluation);



Penyesuaian kebijakan (policy adjustment).


Dari seluruh proses di atas, salah satu tahap yang kerap tidak dilakukan adalah
evaluasi14. Tahapan ini semestinya dilakukan oleh pihak ketiga yang sifatnya
11 Lihat pembahasan pada hal 1 mengenai politik kriminal yang umumnya adalah keputusan pada
saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.
12 Mardjono Reksodiputro, Op Cit hal 93 - 94
13 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Op Cit hal 29
14 Disampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro ketika memberikan penjelasan tugas Ujian
Akhir Semester mata kuliah Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Hukum Universitas Indonesia
pada tanggal 9 Desember 2014.

4

netral untuk bisa mengetahui efektivitas kebijakan yang telah dibuat. Tentunya
hasil analisisnya harus jujur agar tujuan yang telah dirumuskan bisa tercapai
secara maksimal.
Kaitannya dengan perumusan tersebut, terdapat fenomena menarik
yang terjadi di masyarakat Indonesia yakni makin banyaknya peraturan baru
yang memuat sanksi pidana didalamnya. Hal ini dinilai berlebihan oleh Prof
Mardjono Reksodiputro. Menurutnya, produk hukum akhir-akhir ini dibuat

tanpa memperhitungkan kemampuan

yang

ada sehingga

tidak

dapat

digunakan/diterapkan. Contoh yang disampaikan antara lain mengenai jalur bus
transjakarta, dimana peraturan yang ada memuat sanksi pidana, padahal
semestinya cukup dikenalan sanksi administratif. Hal inilah yang olehnya
menjadi penyebab terjadinya devaluasi nilai15. Guna mengantisipasi inflasi
delik dan devaluasi nilai ini, diusulkan oleh Prof. Mardjono untuk dilakukan
Manajemen Hukum.
Ada baiknya, dalam proses perumusan kebijakan kriminal, mereka
yang terlibat didalamnya melihat masalah dengan kacamata lebih luas. Ini
dilakukan guna memaksimalkan pilihan rumusan agar dapat ditemukan
kebijakan terbaik yang selanjutnya dirumuskan menjadi undang-undang.
Misalnya terkait larangan narapidana menerima kunjungan keluarga karena
kerap diselundupkan telepon seluler, makanan, dan barang lain yang dilarang.
Aturan ini oleh Prof. Mardjono dinilai tidak menguntungkan bagi para
narapidana, karena pembuat kebijakan “tidak mau repot”. Akan lebih baik, jika
sebelum aturan dibuat, dicari penyebab mengapa fenomena tersebut bisa terjadi.
Karena ada indikasi terjadinya penyelundupan barang yang dilarang ke dalam
penjara merupakan akibat dari penjagaan yang kurang ketat dari para petugas,
ataupun kurang tegasnya para sipir kepada para narapidana, terlepas dari
kemungkinan “permainan” para sipir untuk mengeruk keuntungan dari penghuni
penjara atau tahanan. Jika memperhatikan penyebab lain yang membuat
pelanggaran terjadi dengan lebih jujur tentunya bisa didapati kebijakan kriminal
yang adil dan bisa mencegah terjadinya pelanggaran. Contoh lain yang
disampaikan terkait hal ini adalah kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan
mengenai menenggelamkan kapal nelayan yang “merampok” hasil laut

15 Ibid

5

Indonesia. Kebijakan ini dinilai berlebihan oleh pengajar karena sejumlah sebab,
yakni :


Kapal yang ditembak merupakan kapal kecil yang terbuat dari kayu;



Pemerintah Tidak akan berani menenggelamkan kapal besar yang justru
merupakan ‘perampok” ikan sesungguhnya karena jika ini dilakukan
akan berdampak panjang terutama mengenai ketegangan politik yang
dimungkinkan terjadi antara Indonesia dengan negara asal kapal tersebut.

Untuk itu, kembali diingatkan agar Penegakan Hukum yang dilakukan
semestinya dilakukan dengan benar. Jika tidak dapat melaksanakannya,
mengapa tidak dipilih kebijakan lain yang bisa menguntungkan banyak pihak,
seperti merampas kapal yang kedapatan mencuri atau bahkan merampok ikan.
Lalu dibuatlah pengadilan cepat guna mengadili para pelanggar batas teritorial
negara kita, dan hasil perampasan itu dilelang untuk kemudian uang yang
didapat diberikan kepada nelayan sebagai tambahan modal usaha. Sementara
para nelayan yang kedapatan melakukan pencurian dikembalikan ke negaranya
dengan biaya pemerintah negara mereka masing-masing.
1.2 Pembahasan
Secara etimologi, politik16 diartikan sebagai pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan(seperti tentang sistem pemerintahan, dasar
pemerintahan); segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb); cara
bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Kata politik17
yang berasal dari bahasa Yunani yakni politikos dalam memiliki arti dari, untuk
atau yang berkaitan dengan warga negara; proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat khususnya dalam negara. Kata ini masih
berhubungan dengan polisi, kebijakan. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan
politiek, sementara dalam bahasa Inggris adalah politics. Dari sudut pandang
yang lain dapat pula diartikan sebagai berikut :


Politik adalah usaha yang ditembuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

16 Politik, http://kbbi.web.id/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014 pukul 10.00 wib
17 Politik, http://id.m.wikipedia.org/wiki/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014 pukul
10.10 wib

6



Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan
dan negara



Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat



Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik

Sementara kriminal18 merupakan hal yang berkaitan dengan kejahatan
(pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut Undang-Undang; pidana.
Secara etimologi, dapat disimpulkan bahwa politik kriminal merupakan
usaha yang ditempuh terkait penyelenggaraan pemerintahan dan negara, dengan
merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik tentang segala hal yang
berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) atau pidana.
Oleh para ahli, politik kriminal atau yang juga dikenal sebagai
kebijakan kriminal (criminal policy) didefinisikan antara lain sebagai berikut :


Mengutip salah satu laman yang mengutarakan definisi dari Prof.
Sudarto

19

, disitu kebijakan kriminal dijelasakan sebagai “suatu usaha

yang rasional dari masyarakat untuk menangulangi kejahatan”. Definisi
ini merupakan hasil telaah tulisan Marc Ancel yakni “the rational
organization of the social reaction to crime by society”. Lebih lanjuut
jika dirinci, maka pengertian ini bisa dijabarkan ke dalam tiga poin
utama, yakni :
1. Dalam arti sempit merupakan keseluruhan asas dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
berupa pidana;
2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi
3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan melalui
perundangan dan badan resmi yang bertjuan menegakkan norma
sentral di masyarakat.

18 Kriminal, http://kbbi.web.id/kriminal, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014 pukul 10.30 wib
19 Kebijakan kriminal (criminal policy), http://hukum-itu.blogspot.com/kebijakan-kriminalcriminalpolicy.html, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014 pukul 10.40 wib

7



G. Peter Hoefnagel seperti dikutip blog milik bardanawawi20
menyampaikan “criminal policy is the rational organization of the social
reaction to cime; criminal policy is the science of responses; criminal
policy is the science of crime prevention; criminal policy is a rational
total of the responses to crime”
Berdasar pendapat Hoefnagels, kebijakan kriminal terdiri atas kebijakan
penal (kebijakan hukum pidana) dan non penal (kebijakan tanpa
melibatkan huku pidana) 21.
Kebijaksanaan (policy/ beleid) dan kebijakan (wisdom/wijsheid) secara

implisit memuat arti dan istilah diskresi (discretion/freies Ermessen) yang
diartikan dengan kebebasan memilih dan atau memutuskan/ menentukan
menurut pendapat sendiri22.
“kebijaksanaan sebenarnya dapat dirumuskan sebagai perilaku dari
sejumlah pemeran baik pejabat secara perorangan, kelompok kekuatan
politik atau kelompok pakar ataupun instansi/lembaga pemerintah yang
terlibat dalam suatu bidang kegiatan tertentu yang diarahkan pada
rumusan masalah/permasalahan sehubungan dengan adanya hambatan
tertentu. Untuk selanjutnya mengacu pada tindakan atau tindakan berpola
yang mengarah pada tujuan seraya mencari peluang untuk mencapai
tujuan dan /atau mewujudkan sasaran yang ingin dicapai”23
Kebijaksanaan atau kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik
merupakan upaya menanggulangi masalah kejahatan yang tidak lepas dari
perubahan wacana dalam proses pembuatan kebijakannya. Selama ini ia hanya
dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP), yang dalam hal ini
adalah negara. Padahal kebijakan kriminal tak hanya mengenai penegakan
hukum tetapi juga upaya pencegahan hukum yang dilakukan secara menyeluruh
hasil kolaborasi terlembaga antara masyarakat sipil, swasta dan pemerintah.
Sayangnya, dalam pelaksanaannya, kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan

20 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, http://bardanawawi.blogspot.com/bunga-rampaikebijakan-hukum-pidana.html, diakses pada sabtu 17 Desember 2014 pkl.11.00 wib.
21 Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia, http://lbhinpartit.org/kebijakan-kriminal-dalam-sistem-negara-hukum-indonesia, diakses pada sabtu 17 Desember
2014 pkl.11.10 wib.
22 Hendra Nurtjahjo, Ed, Kebijaksanaan , Hirarki, Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam
Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia, Depok, Pusat Studi Hukum Tata
Negara FHUI, cetakan petrtama tahun 2004, hal 170.
23 Ibid hal 177

8

publik untuk menanggulangi masalah kejahatan belum melibatkan aktor non
SPP24.
Dari pendapat sejumlah ahli diatas, dapat dirumuskan bahwa kebijakan
kriminal merupakan usaha menanggulangi kejahatan baik penegakan maupun
pencegahan yang dilakukan aparatur penegak hukum tentunya dengan
melibatkan masyarakat. Produk yang dihasilkan tentunya adalah Keputusan
yang ditetapkan oleh pemerintah dan bersifat mengikat terhadap seluruh warga
negara Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof.
Mardjono ketika menjelaskan mengenai politik kriminal25.
Dalam penerapannya, hukum sebagai produk politik memandang
bahwa hukum merupakan formalisasi atau kristalisasi dari kehendak politik
yang saling berinteraksi dan saling bersaingan 26. Namun, keduanya saling
memperngarugi dengan pola Hukum determinan atas politik karena kegiatan
politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan hukum. Politik pun juga
determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil kristalisasi kehendak
politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Politik dan hukum
meruapak sub sistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun
hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu ada maka semua
kegiatan politik juga harus tunduk pada aturan hukum27. Itulah sebabnya
interaksi antara politik dan hukum kaitannya dalam Kebijakan Kriminal begitu
kuat. Sehingga Prof. Mardjono sempat menyampaikan bahwa politik kriminal
merupakan keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.
Tentunya hal ini berkaitan dengan corak pemerintahan yang tengah
berkuasa

karena

politik

adalah

mengenai

kekuasaan

dan

cara

mempertahankannya28. Mahfud MD dalam bukunya menyatakan 29:
“Produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam
pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif
(pembuatan UU) dalam keyataannya memang lebih banyak membuat
keputusan politik dibandingkan denagn menjalankan pekerjaan hukum
24 Ibid
25 Lihat pembahasan pada hal 1 mengenai politik kriminal yang umumnya adalah keputusan pada
saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.
26 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES, 1998, hal 6.
27 Ibid hal 8
28 Lihat pembahasan pada hal 7 mengenai politik
29 Moh. Mahfud MD, Op Cit hal 9

9

yang sesungguhnya lebih-lebih jika pekerjaan hukum dikairkan denagn
masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif sebenarnya lebi
dekat dengan politik daripada hukum itu sendiri.”
Lebih lanjut dijelaskan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi30:


Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan
terhadap materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan (dikenal
dengan politik legislasi31);



Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
“Politik hukum Indonesia sesungguhnya berorientasi pada cita-cita negara
hukum yang didasarkan atas prinsip demokrasi yang berkeadilan ssosial
dalam suatu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu sebagaimana yang
tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945” .32

Meski cita-cita sudah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, namun dinamika
yang ada terlihat jelas bahwa hukumlah yang terpengaruh politik, karena sub
sistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada dengan
hukum33. Kuatnya energi politik ini kerap membuat otonomi hukum di Indonesia
diintervensi oleh politik bukan hanya dalam proses pembuatannya tetapi juga
dalam implementasinya34.
“hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum
adalah kelaliman”35
Dari kalimat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa dalam prakteknya hukum
menjadi cermin kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit
orang yang kemudian berpandangan bahwa hukum sama dengan kekuasaan.
Dengan memperhatikan siapa yang terlibat baik langsung ataupun tidak
langsung dengan kebijaksanaan negara, ada sejumlah konsep yang bisa
dijadikan acuan agar kebijaksanaan negara bermakna dan dirasakan manfaatnya
30 Ibid
31 Dr. Saldi Isra, SH, LLM, Fungsi Legislasi setelah Perubahan UUD 1945, merupakan salah
satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial
Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010, hal 128
32 Abdul Hakim G Nusantara, SH, LLM, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan Lembaga
Bantuan Huku Indonesia, cetakan pertama tahun 1988, hal 20
33 Daniel S. Lev seperti dikutip Moh. Mahfud MD, Op Cit hal 13
34 Ibid
35 Mochtar Kusumaatmaja, dikutip Moh. Mahfud MD, Ibid

10

atau didasari kepentingan untuk mencapai yang dicita-citakan bersama.
Beberapa konsep itu adalah36 :


Kebijaksanaan negara seyogyanya merupakan tindakan yang mengarah
pada tujuan dan bukan sebagai perilaku atau tindaka yang secara acak
dan kebetulan, dengan kata lain tindakan yang benar-benar direncanakan.



Kebijaksanaan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri namun
pada hakekatnya merupakan rangkaian tindakan yang saling terkait dan
berpola yang akan dilaksanakan yang mengarah pada tujuan tertentu.



Kebijaksanaan menyangkut paut dengan apa yang secara nyata dilakukan
oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu .



Kebijaksanaan negara mungkin berbentuk positif, mungkin pula
negataif. Dalam bentuk positif umumnya dibuat berlandaskan hukum
dan kewenangan tertentu dan akan mencakup beberapa tindakan
pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengatasi
masalah tertentu. Sebalinya dalam bentuk negatif meliputi kepytusan
dari pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan
tindakan apapun dalam masalah dimana campur tangan pemerintah
justru diperlukan.

Konsep yang disampaikan diatas, jika dikaitkan dengan contoh politik kriminal
yang diberikan oleh Prof. Mardjono bisa dikatakan relevan 37. Adalah benar jika
kebijaksanaan atau kebijakan yang dilakukan meyogyanya direncanakan dengan
baik, dan karena kebijakan ini juga memiliki dampak negatif, akan lebih bijak
bila dibahas lebih lanjut keterpaduan diantara pihak yang memiliki andil
didalamnya. Karena jika keputusan yang diambil merupakan hal yang reaktif
dan sepihak bukan tidak mungkin justru hasil buruk yang akan didapat, apalagi
jika dampak buruk yang ada terjadi dalam jangka waktu panjang. Tentu ini
bukanlah tujuan yang diharapkan dari pembentukan suatu perundangan yang
dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat.
Produk hukum yang dihasilkan dari kebijaksanaan negara dapat dilihat
dari berbagai sudut teoritis. Karakter produk hukum seperti dikutip Mahfud MD
dari Nonet dan Selznick serta Marryman, bisa dibedakan atas38 :
36 Hendra Nurtjahjo, Ed, Ibid hal 180.
37 Lihat pembahasan pada point 1.1 mengenai contok politik kriminal yang dilakukan Kementrian
Kelautan dan Perikanan serta pelarangan tahanan menerima kunjungan keluarga di halaman 6
38 Moh. Mahfud MD, op Cit hal 20-23

11



Hukum otonom dan hukum menindas

Tujuan hukum
Legitimasi

Tipe menindas
Tipe otonom
ketertiban
kesahan
Pertahanan sosial dan Menegakkan prosedur

Peraturan

raison d’etaat
Kasar dan terperinci Sangat terurai; mengikat pembuat
tetapi

hanya maupun mereka yang diatur

mengikat

pembuat

peraturan

secara

Penalaran

lemah
Ad
Hoc,

sesuai Mengikat diri secara ketat kepada

(reasoning)

keperluan

Diskresi

partikularistik
Merata; oportunistik

Pemaksaan

Luas

dan otoritas hukum; peka terhadap

pendelegasian sangat terbatas
sekali; Dikontrol
oleh
pembatasan

pembatasannya
Moralitas

lemah
Moralitas
moralitas

Kaitan politik

hukum

komunal; Moralitas

kelembagaan,

yaitu

hukum; diikat oleh pemikiran tentang

moralitas pemaksaan integritas dari proses hukum
Hukum ditundukkan Hukum bebas dari politik
kepada

Harapan

formalisme dan legalisme
Dibatasi
oleh
peraturan;

politik

kekuasaan
Tidak
bersyarat;

pemisahan kekuasaan
Bertolak dari peraturan yang sah,

terhadap

ketidakpatuhan

yaitu menguji kesahan Undang-

kepatuhan

dengan begitu saja

Undang dan Peraturan.

dianggap
Partisipasi

menyimpang
Tunduk dan patuh;

Dibatasi oleh prosedur yang ada;

kritik

munculnya kritik hukum.

dianggap

tidak loyal


Hukum responsif dan Hukum Ortodoks
Dalam pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga negara sangat
dominan dalam emnentukan arah perkembangan hukum, strategi
pembangunannya bersifat positivis-instrumentalis yaitu menjadi alat
12

yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara. Hukum
merupakan perwujudan nyata visi sosial pemegang kekuasaan negara.
Sedangkan pembangunan hukum responsif, peranan besar terletak pada
lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau
individu dalam masyarakat. Strategi pembangunan hukum responsif
bersifat responsif terhadap tuntutan berbagai kelompok sosial dan
individu dalam masyarakatnya.
Berdasar uraian mengenai produk hukum diatas, Indonesia sebagai
negara hukum yang menganut sistem civil law, produk hukum yang dihasilkan
merupakan Hukum Otonom dan Hukum Orthodoks.
Ketika kebijakan sudah diputuskan, maka penegakan hukum wajib
dilaksanakan. Penegakan hukum yang dimaksud menurut Satjipto Raharjo
seperti dikutip Topo Santoso adalah proses mewujudkan keinginan hukum
menjadi kenyataan. Keinginan hukum sendiri diartikan sebagai pikiran badan
pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum. Pada
prosesnya penegakan hukum juga menjangkai sampai pada pembuat hukum dan
dilaksanakan oleh para penegak hukm yang merupakan komponen negara 39.
Untuk mewujudkan hukum sebagai ide, Satjipto menyampaikan bahwa
dibutuhka suatu organisasi yang kompleks, dan negara harus campur tangan
dalam perwujudan hukum yang abstrak karena ternyata harus mengadakan
berbagai macam badan untuk keperluan tersebut. Dalam hal ini kita mengenal
Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan dan Badan Peraturan
Perundang-Undangan40. Lebih lanjut disampaikan bahwa ketika membicarakan
hukum dalam konteks organisasi berarti mempermasalahkan orang, tingkah laku
orang, fasilitas, dan kultur organisasi. Seluruh hal tersebut, oleh Topo Santoso
dipetakan ke dalam sejumlah masalah yakni kurangnya profesionalisme, mafia
peradilan dan hilangnya nurani dalam penegakan hukum.
Mafia peradilan oleh Topo Santoso kemudian dijelaskan dalam
beberapa pola pada sub-sistem peradilan pidana. Pada tingkat penyidikan, pola
penyimpangannya berupa permintaan uang operasional untuk mempercepat
39 Topo Santoso,SH,MH,PhD, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem Penegakan Hukum Di
Indonesia, merupakan salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di
Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010, hal 362
40 Ibid hal 363

13

perkara atau menghentikan penyidikan/ penyelidikan, negosiasi pasal yang
digunakan, pemerasan dengan menerapkan pasal berat untuk menakuti, dsb.
Pada tahap penuntutan, pola penyimpangan yang terjadi misalnya negosiasi
perkara (tawar menawar pasal dalam dakwaan), mengulur waktu, menerapkan
pasal atau ketentuan yang lemah agar terdakwa bebas, manipulasi barang bukti,
dsb. Di pengadilan, penyimpangan yang terjadi diantaranya permintaan yang
jasa,

penentuan

majelis

hakim

untuk

perkara”basah”

atau

“kering”,

memperlambat proses untuk meminta uang, negosiasi dalam perubahan jenis
tahanan, dsb41.
Tentunya dengan terjadinya penyimpangan yang dilakukan aparatur
penegak hukum, maka seperti yang disampaikan oleh Prof. Mardjono, perlu
adanya kemerdekaan/kemandirian Lembaga Hukum yang dalam hal ini
dikhususkan pada kehakiman. Lembaga ini berdasar pembagian kekuasaan
yang ada, harus benar-benar dipisahkan dari pengaruh legislatif dan eksekutif.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, hukum dan politik jika berinteraksi,
hukum akan menjadi bagian yang lemah akibat dari energi politik yang
determinasinya lebih kuat. Bukan hal yang mudah, tetapi jika criminal policy
dari pemerintah dilaksanakan secara konsisten dengan tujuan memerdekakan
lembaga kehakiman, maka bukan tidak mungkin hal ini bisa terwujud, dan
penyimpangan aparatur penegak hukum bisa teratasi.
Roscoe Pound adalah orang yang pertama menganjurkan penegakan
hukum harus diawali oleh kerja hakim untuk membuat law yang difungsikan
sebagai tool of social engineering. Law as a tool of social engineering juga
mesti diiringi dengan kearifan yang disebut a bit wit of social engineering42.
1.3 Kesimpulan
Politik kriminal atau yang dikenal dengan Kebijakan Kriminal
merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemrintah dalam upaya untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Warna atau corak kebijakan kriminal
bergantung dari pemerintah yang berkuasa ketika kebijakan itu dibuat. Lebih

41 Ibid hal 368 - 370
42 Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, SH, MPA, Penegakan Hukum Di Era Reformasi, merupakan
salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi
Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010, hal 242

14

ekstrem lagi, Prof Mardjono menyampaikan Politik Kriminal ini belum tentu
nasional akibat multikulturalisme yang ada di Indonesia43.
Upaya penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menegakkan
hukum dan mencegah kejahatan. Dalam hal menegakkan hukum, dibutuhkan
peran sub-sistem Peradilan Pidana, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Pemasyarakatan, dan Badan Peraturan Peundangan. Tentu bukan hal mudah
untuk bisa menegakkan hukum ketika dalam penyelenggaraannya ditemukan
penyimpangan oleh para penegak hukum. Terkait hal ini, perlu difungsikan
dengan benar sejumlah lembaga yang semestinya memiliki peran dalam
mengevaluasi dan mengawasi jalannya penegakan hukum oleh masing-masing
sub-sistem. Lembaga yang dimaksud adalah Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan
lembaga eksternal lainnya.
Sementara itu, kaitannya dengan kebijakan kriminal, interaksi antara
politik dan hukum dalam prosesnya memang kerap kali dimenangkan oleh
politik, sehingga dalam hal ini dibutuhkan effort dari para penguasa untuk
mendahulukan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi atau golongan
seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Memang butuh waktu untuk
bisa merubah pola penyimpangan yang telah terjadi. Tetapi ada baiknya bila ini
dimulai sejak saat ini, bukan tidak mungkin perubahan bisa terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Jaminan Konstitusi Tentang Proses Hukum
Yang Adil, Bahan Bacaan Wajib Perkuliahan Manajemen Sekuriti Swakarsa,
Jakarta, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2013
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan

Pengabdian Hukum (Lembaga

Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007

43 Disampaikan Prof. Mardjono Reksodiputro dalam mata kuliah Sistem Peradilan Pidana
program Magister Ilmu Hukum universitas Indonesia, mengenai Politik Kriminal pada 3 Desember 2014

15

Mardjono Reksodiputro,

Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan

Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga
Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007
Hendra Nurtjahjo, Ed, Kebijaksanaan , Hirarki, Perundang-Undangan dan Kebijakan
dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia,
Depok, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, cetakan pertama tahun 2004
Dr. Saldi Isra, SH, LLM, Fungsi Legislasi setelah Perubahan UUD 1945, merupakan
salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di
Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei
2010
Abdul Hakim G Nusantara, SH, LLM, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan
Lembaga Bantuan Huku Indonesia, cetakan pertama tahun 1988
Topo Santoso,SH,MH,PhD, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem Penegakan
Hukum Di Indonesia, merupakan salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai :
Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik
Indonesia, cetakan kedua Mei 2010
Politik, http://kbbi.web.id/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember
Politik, http://id.m.wikipedia.org/wiki/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014
Kriminal, http://kbbi.web.id/kriminal, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014
Kebijakan kriminal (criminal policy), http://hukum-itu.blogspot.com/kebijakankriminal-criminalpolicy.html, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, http://bardanawawi.blogspot.com/bungarampai-kebijakan-hukum-pidana.html, diakses pada sabtu 17 Desember 2014
pkl.11.00 wib.
Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia,
http://lbh-inpartit.org/kebijakan-kriminal-dalam-sistem-negara-hukumIndonesia, diakses pada sabtu 17 Desember 2014

16

17