Konstitus ionalisme Dalam Dinamika Negara

PENGANTAR PENULIS

Buku ini sesungguhnyalah merupakan himpunan aneka pemikiran yang saya hasilkan dalam kurun 2001-2013. Konstitusionalisme yang menjadi tema besar buku ini tak lain merupakan paham pembatasan kekuasaan, sebuah prinsip yang pula melembaga dalam kehidupan bernegara Indonesia. Tak pelak, diskursus mengenai hak asasi manusia maupun tarik ulur kewenangan negara versus hak warganegara merupakan warna yang menonjol dalam setiap tulisan di buku ini.

Sebagian besar materi di dalam buku ini ditulis untuk media massa seperti surat kabar dan majalah. Beberapa yang lain adalah makalah yang disampaikan dalam forum-forum diskusi seperti seminar maupun sarasehan sementara beberapa yang lainnya lagi tak pernah terpublikasi kecuali di blog pribadi. Tersebarnya aneka pemikiran seputar konstitusi dan hak asasi manusia di berbagai media membuat tulisan-tulisan itu tak mudah didapati oleh khalayak. Terhimpunnya berbagai hasil kerja pikir dalam satu kitab seperti yang kini berada di tangan pembaca mengatasi persoalan itu, sesuatu yang sudah tentu amat saya syukuri.

Untuk dimengerti, buku ini sedikit banyak berisi tulisan yang merupakan telaah ataupun kajian atas fenomena hukum yang terjadi dalam setting ruang dan waktu tertentu. Pemahaman terhadap aneka tulisan itu terkadang menuntut pengetahuan maupun ingatan pembaca akan fenomena maupun aneka kasus

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

yang menjadi pokok bahasan, tuntutan yang sebenarnyalah tak perlu benar untuk harus selalu dipenuhi. Kendati demikian aneka thesis maupun argumentasi dari setiap tulisan diharapkan membuat buku ini tak berkekurangan relevansi untuk ditelaah guna memahami hal ikhwal konstitusionalisme, hak asasi manusia dan perikehidupan bernegara hukum dalam konteks kekinian.

Ucapan terimakasih dihaturkan pada segenap rekan di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM) Universitas Lampung dan di Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) yang telah membuat penerbitan buku ini menjadi mungkin. Pada Prof. J.M. Otto dari Universitas Leiden dan segenap rekan yang telah meluangkan waktu untuk memberi komentar saya ucapkan pula veel bedankt. Pula pada segenap rekan di Penerbit Indepth saya haturkan terimakasih. Saya berharap aneka pemikiran dalam kitab sederhana ini menjadi sumbangan bagi keterpelajaran hukum di tanah air terkhusus lapangan hukum kenegaraan dan hak asasi manusia. Tanggapan dan kritik dari segenap pembaca ibarat seteguk air di padang tandus: amatlah ditunggu, amatlah dinanti.

Hartelijke groet Nijmegen, akhir musim semi 2014

Manunggal K. Wardaya

Manunggal K Wardaya

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis

Daftar Isi

vii

1. Membangun Masyarakat Madani dan Demokratis dalam Bingkai Konstitusionalisme

1 2. Selayang pandang Lembaga

Kepresidenan 17 3. Independensi Calon

Perseorangan dalam Pilkada 23 4. Pilkada dan Kontrak Sosial

27 5. Mewujudkan Polri yang

Dimiliki, Dicintai dan Dibanggakan Masyarakat

31 6. Pembatasan Hak Beribadah:

Kasus Syeh Puji 40 7. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi

Manusia 44 8. Pembubaran Ormas Anarkis

50 9. Dimensi HAM dalam Pe-

laksanaan Ibadah Kurban 57 10. Hak Hidup dan Pidana Mati

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

11. Tentang Persamaan di Muka Hukum

66 12. Macan Kertas Instrumen HAM

70 13. Pelarangan Ahmadiyah:

Perspektif HAM 74 14. Kartini dan Demokrasi

78 15. Perlindungan Profesi Wartawan

82 16. Kekerasan Terhadap Jurnalis,

Perlindungan Profesi Wartawan dan Kemerdekaan Pers di Indonesia

86 17. Pers vs Kekuasaan

95 18. Tragedi dalam Bingkai Media

99 19. Iklan Politik dan makna

Kebebasan 103 20. Perlindungan Hukum Terhadap

Wartawan Sebagai Hak Asasi Manusia

107 21. Gerakan Mahasiswa Paska

Reformasi 120 22. Kritik SBY Terhadap Pers

127 23. Pemberangusan Buku di

Indonesia 131 24. Media Lokal dan Politik Uang

dalam Pilkada 135 25. Kriminalisasi Pers

140 26. Tempo dan kemerdekaan Pers

144 27. Urgensi Sertifikasi Wartawan

147 28. Halal Haram Infotainment

152 29. NII dan Paham Kebangsaan

Manunggal K Wardaya

30. Negara Versus Ketentraman Warga

160 31. Jalan Berlubang dan Hak Hidup

Warga 163 32. Hukum: Penegak Moralitas?

166 33. Putusan Kasus Korupsi vs

Keadilan Masyarakat 171 34. Keterjangkitan Korupsi

Penegak Hukum 175 35. Ambang Kiamat Peradilan

179 36. Mewaspadai Pelemahan KPK

182 37. Setelah Denny Minta Maaf

186 38. Takkala Hakim dapat Dibeli

190 39. Logika Sesat Peradilan

Singkong 194 40. Mengurai Kompleksitas

Kekerasan di Daerah Oleh Satuan Polisi Pamong Praja: Sebuah Perspektif Sosio Legal Keadilan dalam Wajah Hukum

198 41. Keadilan dalam Wajah Hukum

212 42. Pelajaran dari Nusakambangan

216 43. Diskriminasi dalam Berkese-

nian : Refleksi Tragedi Bandung 219 44. Budaya Hukum dalam

Fenomena Helm Standar 224 45. Melawan Kejahatan

Berteknologi 227

TENTANG PENULIS

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Manunggal K Wardaya

1. MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRATIS DALAM BINGKAI KONSTITUSIONALISME

K organization and procedural regularity embodied in the fundamental

onstitusionalisme, demikian Dictionary of American Politics, adalah “the doctrine that the power to govern should

be limited by definite ad enforceable principles of political

law, so that basic constitutional rights of individuals ad groups will not be infringed” 1 . Carl J. Friedrich menyebut konstitusionalisme sebagai “...an institutionalised system of effective, regularized restraints upon governmental action” 2 sementara Ni’matul Huda menyebut konstitusionalisme sebagai terbatasinya kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan negara

1 Edward C. Smith & Arnold J. Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes & Noble, Inc., New York, 1966, hal. 93.

2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 25. Selanjutnya Jimly menyatakan bahwa basis pokok konstitusionalisme

adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan denghan negara. Soal persetujuan rakyat ini pula dinyataka oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang mengatakan bahwa konstitusi hanya bisa dikatakan sebagai konstitusi yang sesungguhnya manakala ia berasal dari kesepakatan warga dan berisi jaminan kebebasan asasi dalam kehidupan bernegara. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, “Konstitusi dan Konstitusionalisem”, dalam http://soetandyo. wordpress.com/2010/07/10/konstitusi-dan-konstitusionalisme/, diakses pada 20 Juni 2011.

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

tidak bersifat sewenang-wenang 3 . Dari ketiga definisi tersebut disimpulkan bahwa konstitusionalisme adalah suatu ism, suatu paham pembatasan kekuasaan negara dan terlindunginya hak dan kebebasan warga negara.

Istilah “konstitusionalisme”, demikian Soetandyo Wignjosoebroto, sebenarnya tercipta akhir abad 18 yang menegaskan doktrin Amerika tentang Supremasi Undang- undang Dasar (konstitusi tertulis) di atas undang-undang yang

diundangkan sebagai produk badan legislatif 4 . Mengutip Harold Berman, Soetandyo menyatakan bahwa paham mengenai kekuasan negara ini sebenarnyalah telah bermula dari masa yang sangat lebih dini, telah dijumpai semasa berkembangnya negara-negara teritorial di bawah kekuasaan raja-raja dan dalam kehidupan polis-

polis (negara kota) di Eropa Barat pada abad XI dan XII. 5 Dalam konstitusi-konstitusi negara kota itu diakui kekuasaan pemerintah (misalnya untuk menarik pajak, membuat uang, membentuk balatentara, membuat perjanjian damai dengan atau menyatakan perang terhadap polis lain); namun juga di lain pihak kekuasaan dibatasi oleh hak konstitusional warga kota (misalnya untuk memilih pejabat kota, mempersenjatai diri, membuat kebebasan sipil, dan dilindungi oleh proses peradilan yang jujur dan adil). 6

Dalam banyak literatur hak asasi manusia diyakini bahwa terbatasinya kekuasaan untuk pertama kalinya terjadi di Inggris dengan ditandatanganinya sebuah piagam (charter), sebuah kesepakatan nan agung bernama Magna Charta pada 1215.

3 Lihat Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers, 2008, hal. 37. 4 Soetandyo Wignjosoebroto, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dalam Benny K. Harman & Hendardi (ed), Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Yayasan

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) & Jaringan Informasi Masyarakat (JARIM), Jakarta, 1991, hal. 2.

5 Ibid. 6 Ibid.

Manunggal K Wardaya

Dalam piagam itu, Raja John (terpaksa) berbagi kekuasaan dengan para baron (bangsawan). Walau sama sekali tak bersangkut paut dengan hak rakyat jelata, Magna Charta diangap penting karena dokumen ini adalah titik awal dimana kekuasaan raja tak lagi absolut, cikal bakal pembatasan kekuasaan negara. Seorang raja yang tadinya berdaulat penuh dan bisa memerintah sekehendak hatinya kini harus berbagi dengan pihak lain. Salah satu diantara sekian hal yang disepakati oleh raja dalam Magna Charta adalah bahwa tak boleh seorangpun (terkecuali mereka yang berstatus ‘serf ’, semacam budak) boleh dihukum kecuali atas aturan yang berlaku, suatu prinsip yang diwariskan dan hingga kini masih dianut dan dikenal dengan asas legalitas.

Dalam perjalanannya, terbatasinya kekuasaan melalui perjanjian yang elitis ini menemukan kembali maknanya dalam Revolusi Amerika dan Perancis. Revolusi Amerika meneguhkan kehendak rakyat Amerika untuk merdeka, lepas dari keterikatan dengan Kerajaan Inggris, dengan mendirikan sebuah negara serikat bernama The United States of America. Rakyat dalam 13 koloni Inggris di benua Amerika tersebut menolak otoritas Parlemen Kerajaan Inggris dan kemudian mengusir para pejabat kerajaan. Deklarasi kemerdekaan Amerika menegaskan paham bahwa semua manusia lahir sama dan berhak atas berbagai hak dasar, dan bahwa adanya negara justeru untuk melindungi warga negara dari segala ancaman yang dapat mengurangi dan meniadakan penikmatan hak itu. Oleh karenanya, jika negara tak mampu atau bahkan gagal dalam menjalankan tugas fitrahnya melindungi warganya, ketidakmampuan itu bakal memberi legitimasi digantikannya pemerintahan dan sekaligus legitimasi munculnya pemerintahan

baru 7 . Untuk pertama kalinya pula kemudian Amerika memiliki

7 Paham ini sebenarnya berasal dari pemikiran Locke dalam risalah kedua bukunya Two Treatise of Government yang menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang

sewenang-wenang memberikan kekuasaan pada rakyat untuk mengatur kembai keamanan dan keselamatan mereka. Lihat Pudja Pramana K.A, Ilmu Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta,

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

konstitusi yang kemudian diikuti pula oleh Perancis dimana ide- ide lama mengenai hirarki dan tradisi tergantikan oleh filosofi pencerahan mengenai kewarganegaraan dan hak asasi manusia. Revolusi Perancis (1789-1799) meneguhkan kehendak rakyat Prancis untuk lepas dari penindasan dengan slogan Egalite, Liberte, Fraternite.

Sebagaimana dinyatakan oleh Carl Schmidt, sebuah konstitusi adalah suatu manifestasi kehendak rakyat yang tertinggi. Ia, konstitusi, oleh karenanya merupakan hukum tertinggi suatu bangsa. Di dalam konstitusi dinyatakan batas dan kewenangan penyelenggara negara dan jaminan hak asasi manusia yang meniscayakan terbatasinya kekuasaan. Berkaitan dengan ini, bisa jadi suatu negara memiliki konstitusi, memiliki hukum dasar dalam kehiduupan bernegara, namun difungsikan semata untuk melegitimasi keabsolutan kuasa. Konstitusi yang tidak berparadigma konstitusionalisme seperti demikian oleh karenanya adalah sekedar dokumen yang menjadi hukum dasar dan memiliki cacat bawaan konstitusionalisme. Ia sekedar hukum yang tertinggi namun tetaplah saja melegitimasi kekuasaan mereka yang di atas (elite).

Jika diletakkan dalam konteks Indonesia, lepasnya bangsa ini dari belenggu penjajahan pula disertai dengan kehendak membangun suatu negara bangsa yang demokratis berdasarkan konstitusi. Rancangan undang-undang dasar yang dirumuskan oleh Panitia Hukum Dasar Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan

(BPUPK) 8 dan kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan

2009, hal. 161. 8 Terjemahan dari bahasa Jepang Dokuritu ZyunbiTyosa Kai tidak ada kata “Indonesia”, oleh karenanya makalah ini pula tidak membubuhkan huruf “I” dalam akronim BPUPK. Penambahan huruf “I” sebagai akronim dari “Indonesia” dalam BPUPKI menurut Ananda

B. Kusuma adalah kurang tepat karena Badan ini dibentuk oleh Rikugun (Angkatan Darat Jepang), Tentara XVI, yang wewenangnya hanya meliputi Jawa dan Madura saja. Lihat Ananda B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, edisi revisi, Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, 2009, hal. 1, catatan kaki no. 1. Dirumuskannya hukum dasar

Manunggal K Wardaya

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 menjadi konstitusi tertulis pertama negeri ini lahir dalam masa transisi dari alam penjajahan ke alam merdeka. Berisi aturan dasar negara modern bernama Indonesia, UUD 1945 yang asli amat disadari oleh para penyusunnya sebagai sesuatu yang belumlah sempurna

dan mesti disempurnakan 9 . Sempat tidak diberlakukan dengan berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, UUD 1945 kemudian diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah Konstituante, sebuah badan perumus UUD diklaim oleh Presiden Soekarno menemui kebuntuan, deadlock.

Perjalanan bangsa dan negara Indonesia di bawah UUD 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno dan Soeharto menunjukkan bahwa segala sumber permasalahan bangsa sebenarnyalah berasal dari konstitusi yang memberikan kewenangan begitu besar kepada eksekutif (executive heavy), miskin dalam jaminan hak dan kebebasan asasi manusia, serta tidak menciptakan

kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis 10 . Secara formal, konstitusi (tertulis) memang ada dipunyai oleh bangsa ini, namun konstitusi itu tak memiliki ruh konstitusionalisme alias semangat pembatasan kekuasaan. Karena belum cukup memuat

oleh badan ini sebenarnya di luar dari tujuan pembentukannya, yakni untuk melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 39.

9 Soekarno dalam pidatonya di depan PPKI pada 18 Agustus 1945 mengatakan bahwa UUD 1945 adalah suatu revolutie grondwet, suatu undang-undang dasar darurat,

pernyataan yang pula diamini oleh pendiri bangsa lainnya seperti Dr. Sam Ratulangi dan Mr Iwa Kusuma. Lebih lanjut, kesementaraan UUD 1945 juga tercermin Aturan Tambahan UUD 1945 sebelum perubahan yang pada Pasal II menyatakan bahwa “Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.” Bacalah Ananda B. Kusuma, “Keabsahan UUD 1945 Pasca Amandemen”, Jurnal Konstitusi Vol. 4 No.1, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Maret 2007, hal.146-148.

10 Denny Indrayana menyebut UUD 1945 sebelum perubahan adalah dokumen yang otoriter. Baik Soekarno maupun Soeharto, demikian Denny, memanfaatkan Konstitusi

otoriter demikian untuk memusatkan kekuasaan negara di tangan mereka sendiri. Lihat Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan, Cetakan II, 2007, hal. 164.

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM, dengan muatan pasal yang multitasfir dan membuka peluang penyelenggaraan negara yang otoriter, perubahan UUD 1945 menjadi salah satu tuntutan berbagai

kalangan masyarakat dalam gerakan Reformasi 11 . Melalui empat kali perubahan 12 , Indonesia kini memiliki konstitusi yang amat berbeda dengan konstitusi tertulis yang sebelumnya, yakni UUD 1945 yang diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 13

Jika perubahan UUD 1945 adalah sebuah upaya koreksi terhadap segenap penyimpangan yang terjadi di masa lalu, maka menjadi menarik dipertanyakan adalah bagaimana cita negara demokrasi diwujudkan dalam konstitusi? Jika kesengsaraan rakyat, dan segenap pelanggaran hak sipil dan politik maupun hak ekonomi sosial budaya pula merupakan fitur masa lalu di bawah konstitusi yang tak demokratis, bagaimana visi UUD paska perubahan akan terwujudnya masyarakat madani?

Masyarakat madani kerapkali dikenal sebagai padanan/ translasi kata dari Civil Society 14 . Nurcholish Madjid menyatakan

11 Lihat Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR

RI, 2006, hal. 4. 12 Moh Mahfud MD mengatakan bahwa sebenarnya perubahan yangg dilakukan terhadap UUD 1945 hanyalah satu (1) kali, namun disahkan dalam empat (4) tahap. Perubahan, demikian Mahfud, hanya dilakukan sekali tetapi memakan waktu selama tiga tahun (199-2002), karena menurut Mahfud dalam kurun waktu tiga tahun tersebut MPR tidak pernah berhenti bersidang. Baca lebih lanjut dalam Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hal. Xii-xiii.

13 UUD 1945 setelah Dekrit Presiden dilengkapi dengan Penjelasan, dimana Penjelasan ini tidak ada dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPK pada 18 Agustus 1945. 14 Selain masyarakat madani, ada pula yang mentranslasi civil society sebagai masyarakat sipil. Mereka yang menggunakan istilah ini berargumen bahwa istilah civil society berasal

dari Barat dalam masa modern, sehingga tak bisa diterapkan secara retroaktif ke dalam masyarakat muslim sebagaimana pengguna istilah masyarakat madani merujuk pada abad ke-7 dimana Nabi Muhammad mendirikan pemerintahan di Madina. Akan tetapi tak kurang mereka yang menggunakan istilah masyarakat sipil sebagai translasi civil society juga dikatakan sebagai tidak tepat, karena “sipil” dalam masyarakat sipil diartikan sebagai

Manunggal K Wardaya

bahwa masyarakat madani ini adalah mesyarakat berbudi luhur dan berakhlak mulia, masyarakat yang berperadaban. Aceng Kosasih menyatakan bahwa masyarakat madani adalah model masyarakat kota sebagaimana dibangun oleh Nabi Muhammad setelah hijrah

ke Madinah 15 . Sementara itu Marzuki Alie menyatakan bahwa masyarakat madani tidak saja mandirinya masyarakat manakala berhadapan dengan negara, melainkan pula terwujudnya nilai- nilai seperti keadilan, persamaan, kebebasan, dan kemajemukan

(pluralisme) 16 . Dari dua definisi masyarakat madani sebagaimana dipaparkan di atas, tulisan ini menarik simpulan bahwa masyarakat madani adalah suatu kedaan terciptanya kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan sejahtera tercapai. Adakah visi masyarakat berbudi luhur, berakhlak mulia, yang adil dan menghargai perbedaan, terdapat ruang bagi perbedaan dan tegaknya keadilan dalam Konstitusi kita?

Tidak mau hidup terus menerus terjajah 17 , bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, memanfaatkan situasi vacuum of power sehubungan dengan

lawan dari militer, sesuatu yang sebenarnya bukan maksud dari civil society. Lihat Andi Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid’s Interpretation of Civil Society , Pluralism, Secularization, and Democracy”, Asian Journal of Social Science, Vol. 33 No. 3, hal. 489.

15 Aceng Kosasih, “Konsep Masyarakat Madani”, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/ M_K_D_U/196509171990011-ACENG_KOSASIH/MASYARAKAT_MADANI.pdf diakses pada

1 Juli 2011. 16 Marzuki Alie, “Pembaharuan Pendidikan Islam Demi Terwujudnya Masyarakat Madani”, Orasi Ilmiah Disampaikan dalam Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Universitas Darul Ulum, Jombang , 16 Oktober 2010, hal.6.

17 Keinginan untuk merdeka telah menjadi keinginan kuat para pendiri bangsa sebagaimana dapat dibaca dalam pledoi Ir. Soekarno di depan sidang pengadilan

kolonial tanggal 30 Agustus di Bandung. Soekarno mengatakan bahwa “tidak ada satu rakyat negeri jajahan yang tidak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tidak mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan”. Dikatakan pula oleh Soekarno bahwa “ kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap- tiap negeri, tiap-tiap bangsa baik bangsa Timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih”. Lihat Ir Soekarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial, Departemen Penerangan Republik Indonesia, Daja Upaja, hal.83.

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

menyerahnya Jepang tanpa syarat pada pasukan Sekutu pada

14 Agustus 1945. Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, dan oleh karenanya penjajahan haruslah dihapuskan. Sembari mengakui bahwa kemerdekaan yang diraih merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, dinyatakan bahwa Indonesia yang dicitakan adalah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dikaitkan dengan konsepsi masyarakat sipil sebagaimana dipaparkan di atas, rumusan dalam alinea II Pembukaan UUD 1945 sebenarnyalah suatu visi untuk mewujudkan Indonesia sebagai suatu negara madani. Selanjutnya, alinea IV Pembukaan UUD 1945 memuat tujuan didirikannya negara Indonesia yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Lebih lanjut dalam pembukaan UUD 1945 inilah tercantum dasar negara Indonesia, yang kemudian melalui konvensi ketatanegaraan dikenal sebagai Pancasila.

Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian tak terpisahkan dari konstitusi telah pula menegaskan bahwa negara yang dilahirkan ini adalah untuk mengabdi pada rakyat, mensejahterakan rakyat, bukan sebaliknya: rakyat melayani pemerintah. Pemerintah Negara Indonesia, demikian alinea IV Pembukaan UUD 1945, memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pemerintah dan negara Indonesia ada dan diadakan untuk melindungi rakyat. Dalam negara Indonesia rakyatlah yang berdaulat. Pilihan Republik sebagai bentuk negara menunjukkan bahwa di dalam negara Indonesia yang berdaulat adalah orang banyak, bukannya sedikit orang entah yang mengejawantah dalam monarki maupun oligarki, walau kalau ditilik dari sudut pandang sejarah, negara Indonesia berasal dari himpunan ratusan kerajaan besar kecil. Inilah cita

Manunggal K Wardaya

negara demokrasi yang digagas oleh para pendiri bangsa, dan terus dipertahankan oleh MPR manakala melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sejak 1999 hingga 2002.

Cita masyarakat madani dan demokratis dalam Pembukaan UUD 1945 mengalami konkretisasi lagi dalam muatan pasal- pasal UUD 1945 18 . Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan sebagai di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Pasal ini mengandung makna falsafati bahwa sesungguhnyalah kekuasaan yang tertinggi ada di tangan rakyat, bukan oleh sekelompok orang saja. Rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi pengurus atau penyelenggara

negara 19 . Dalam rumusan ini terlihat bahwa demokrasi yang dianut oleh Indonesia adalah demokrasi konstitusional, suatu format demokrasi yang mendasarkan pada hukum dan tidak melulu pada suara terbanyak yang berujung pada tirani mayoritas. Pelaku kedaulatan kini bukan lagi MPR, namun semua badan negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, dan bahkan lembaga peradilan seperti MA dan MK. 20

Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Muatan pasal ini menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara kekuasaan (machstaat) melainkan negara hukum (rechstaat). Pada mulanya, rumusan pasal ini ada dalam Penjelasan, namun seiring dengan perubahan UUD, maka materi penjelasan ini dimasukkan dalam batang tubuh. Adapun negara hukum yang dimaksud di sini bukan melulu hukum yang mengedepankan kepastian hukum saja, namun juga keadilan. Dikatakan oleh Mahfud MD, negara Hukum Indonesia mengadopsi dua konsepsi negara hukum yang prismatik,

18 Sebelum perubahan dikenal istilah “batang tubuh”. Kini istilah itu tidak ada lagi, melainkan cukup disebut dengan istilah “pasal-pasal”. 19 Lihat Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, 2009, hal. 10-11. 20 Ibid.

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

menggabungkan idealisme negara hokum rechstaat dan rule of law. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 24 UUD 1945 yang

menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Serangkaian jaminan hak asasi manusia, yang dirumuskan dalam Bab XA dari Pasal 28A hingga 28J mengenai Hak Asasi Manusia menegaskan karakteristik Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3). Pengakuan dan jaminan atas hak dankebebasan asasi manusia ini adalah koreksi atas konstitusi pada masa lalu yang sama sekali tak memuat jaminan hak dan kebebasan manusia, yang dipercaya menjadi penyebab kekuasaan nan korup. Adanya hak asasi manusia dalam muatan konstitusi juga meneguhkan prinsip negara hukum bahwa kekuasaan adalah residu dari hak dan kebebasan dasar manusia. Dengan pengakuan hak dan kebebasan manusia dalam muatan konstitusi, maka tidak dibenarkan negara mengurangi, merampas hak dan kebebasan warga tanpa suatu alas hukum yang sah. Mengadopsi norma-norma hukum hak asasi manusia yang berlaku

internasional 21 , dijamin pula berbagai hak yang terbilang sebagai non-derogable rights, ialah hak yang tidak bisa dikurangkan dalam

keadaan apapun juga. Sebagaimana dinyatakan oleh Petra Stockmann 22 , empat perubahan UUD 1945 telah merestrukturisasi UUD 1945 secara signifikan. Perubahan yang paling jelas terlihat adalah adanya

21 Non derogable rights adalah fitur hukum hak asasi manusia yang dituangkan dalam article 4 the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), salah satu

instrumen hukum internasional yang dibilangkan sebagai the International Bills of Human Rights bersama dengan Universal Declaration of Human Rights dan the International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR). Keduanya telah menjadi bagian dari hukum domestik dengan ratifikasi melalui Undang-undang No. 11 dan 12 Tahun 2005. Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai hak yang tak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun ini dimuat dalam Pasal 28I.

22 Petra Stockmann, The New Indonesian Constitutional Court: A Study into Its Beginnings And First Years of Work, Hans Seidel Foundation, Jakarta, 2007, hal.20.

Manunggal K Wardaya

pemilihan umum (pemilu)yang free dan fairsebagaimana diatur dalam Pasal 22E. Kini, kesemua anggota DPR dan DPD bahkan Presiden dipilih oleh rakyat, kontras jika dibandingkan di masa sebelum perubahan dimana ada sebagian kursi DPR yang diduduki tanpa melalui Pemilu oleh militer dengan Fraksi ABRI-nya. Presiden menurut UUD 1945 sebelum perubahan dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), memungkinkan kesenjangan antara aspirasi rakyat di tingkat grassroot dan konstelasi politik di tubuh MPR yang dengan sendirinya membuka peluang politik

transaksional 23 . Melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebenarnyalah diimplementasikan prinsip rakyat mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Dikatakan demikian karena melalui wakil-wakilnya yang dipilih di DPR, rakyat turut membentuk dan mewarnai undang-undang yang akan berlaku mengikat bagi dirinya sendiri, suatu kewenangan

yang dimiliki DPR berdasar Pasal 20 ayat (1) 24 . Anggota-anggota DPR dan anggota-anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu secara otomatis menjadi anggota MPR yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD.

Pemilu guna memiilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22C ayat (1) pula adalah penyempurnaan terhadap Utusan Daerah yang dahulu mengisi keanggotaan MPR tanpa melalui jalur pemilu. Sesuai

23 Lihat Moh Mahfud MD, Op.Cit., hal. 133. 24 Sebelum perubahan , kewenangan membentuk undang-undang dimiliki oleh

Presiden. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR” dan Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan “tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”. Setelah perubahan, rumusan Pasal 5 ayat (1) berbunyi “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Dengan demikian telah terjadi pergeseran kekuasaan substantif dalam kekuasaan membentuk undang-undang. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, Jakarta, hal. 135. Lihat pula Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, 2010, Jakarta, hal. 3-5.

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Pasal 22D ayat (1) DPD memiliki kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan kekuasaan pusat dan daerah. DPD juga ikut membahas RUU terkait Pasal 22D ayat (1) di atas serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan

pajak, pendidikan, dan agama 25 . Tidak hendak diingkari bahwa kewenangan DPD dalam UUD 1945 hasil perubahan yang sekarang berlaku masih banyak menimbulkan ketidakpuasan, terutama

karena kewenangannya yang-meminjam Mahfud MD-sumir 26 . Lebih lanjut dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan Presidensial, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia menurut Pasal 6A ayat (1) dipilih secara langsung dalam satu pasangan oleh

rakyat 27 . Artinya siapapun pemegang kekuasaan pemerintahan di Indonesia pada hakekatnya adalah pilihan dari rakyat itu sendiri. Sekali terpilih dan dilantik, maka kewajiban presiden dan wakil presiden harus dijalankan, sebagaimana telah diucapkan dalam sumpah dan janji presiden dan wakil presiden yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Sistem Presidensial yang dianut oleh Indonesia memang menghendaki agar seorang presiden dan wakil presiden memegang jabatannya dalam masa waktu tertentu (fixed term), membedakannya dengan sistem pemerintahan parlementer. Namun, bukan berarti seorang presiden dan/ atau wakil presiden bisa semena-mena menjabat dan tidak bisa

25 Namun begitu DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut menetapkan sebuah undang-undang sebagaimana dimiliki oleh DPR karena Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 telah

memberikan kewenangan itu pada DPR. 26 Ibid, hal.67. Dinyatakan oleh Mahfud, kewenangan konstitusional DPD tersebut nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang demokratis.

27 Ketentuan ini menunjukkan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah satu kesatuan paket kepemimpinan.

Manunggal K Wardaya

diberhentikan dalam masa jabatannya. Kekuasaan presiden bisa dipertanyakan manakala ia melakukan pelanggaran hukum maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau

wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945 28 . Walau telah terpilih secara demokratis, seorang presiden dan/atau wakil presiden dapat diusulkan untuk diberhentikan dalam masa jabatannya oleh DPR jika melakukan pelanggaran hukum dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil

presiden 29 . Sementara itu, kontrol terhadap kekuasaan presiden dan DPR dalam pembentukan undang-undang diimbangi dengan diberikannya kewenangan uji konstitusionalitas sebuah undang-

undang 30 /peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) 31 terhadap undang-undang dasar (constitutional review)

kepada sebuah badan peradilan bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak seperti dalam rejim UUD 1945 sebelum perubahan, kini sebuah undang-undang maupun perpu dapat diujikan dan bahkan sampai berimplikasi pada dinyatakan tidak mengikat oleh MK jika dinilai bertentangan dengan konstitusi. Kewenangan menguji baik formil maupun materiil sebuah produk perundang-

28 Syarat tersebut adalah bahwa calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Selain itu, tidak pernah menerima kewarganegaraan

lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

29 Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Adapun syarat Presiden dan wakil Presiden sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) kemudian dijabarkan lagi dalam

Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (LNRI tahun 2008 Nomor 76, TLN Nomor 4924).

30 Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. 31 Kewenangan MK untuk menguji Perpu tidak dijumpai secara ekpslisit dalam UUD

1945 maupun dalam UU MK. Namun begitu, melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 MK menyatakan bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah pula menjadi kewenangan MK untuk mengujinya. Selengkapnya mengenai ini bacalah Manunggal K. Wardaya, “Perubahan Konstitusi Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi: Telaah atas Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, Jurnal Konstitusi Vol. 7 No.2, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hal. 19-46.

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

undangan oleh MK ini penting sebagai imbangan atas kewenangan konstitusional DPR dan Presiden dalam bidang legislasi, agar pelanggaran hak konstitusional warga maupun HAM tidak terjadi melalui instrumen hukum perundangan. Melalui lembaga MK ini, sebuah muatan maupun keseluruhan undang-undang maupun perpu yang bertentangan dengan konstitusi dapat saja dibatalkan, yang berarti pula merupakan salah satu wujud perlindungan baik hak konstitusional maupun hak asasi manusia.

Sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga diberikan kewenangan lain oleh UUD 1945 yakni untuk memutus sengketa kewenangaan konstitusional lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 32 , memutus pembubaran partai politik 33 , dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu 34 . Selain empat kewenangan tadi, MK juga memiliki kewajiban konstitusional memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden 35 . MK adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Dalam konteks kewajibannya memutus pendapat DPR, Putusan MK adalah putusan hukum, yang oleh karenanya menghindarkan dari praktik ketatanegaraan masa lalu dimana

32 Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga

Negara. 33 Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik. 34 Diatur Lebih Lanjut Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

35 Pasal 24 C ayat (2). Hukum acara terkait kewenangan ini telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 mengenai Pedoman Beracara Dalam

Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Pelanggaran Oleh Presiden Dan/ Atau Wakil Presiden.

Manunggal K Wardaya

pemberhentian presiden dilakukan dengan kekuatan politik. 36 Cita negara madani dan demokratis nyata ada di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Idee mengenai masyarakat madani dan demokratis yang tertuang dalam Pembukaan bahkan dipertahankan untuk tidak dirubah manakala bangsa ini melakukan reformasi konstitusi. Amandemen konstitusi sejak 1999 bahkan menunjukkan komitmen kuat bangsa yang semakin mengkristal untuk hidup bernegara secara demokratis.

Jika Konstitusi adalah kesepakatan seluruh tumpah darah Indonesia, seharusnyalah konstitusi menjadi acuan, menjadi rujukan dalam setiap permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai suatu keputusan politik tertinggi bangsa Indonesai, konstitusi harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan terutama sekali oleh para penyelenggara negara. Dengan demikian, penyelesaian masalah dengan cara-cara yang inkonstitusional tidak akan terjadi.

Konstitusi, tak terkecuali yang dimiliki oleh bangsa Indonesia pada dasarnya membatasi kekuasaan negara, suatu aturan dasar yang menjamin penikmatan hak dan kebebasan asasi manusia. Hal ini karena hanya dalam negara yang menganut paham kedauatan rakyat berdasarkan konstitusi sajalah akan diharapkan terpenuhinya hak-hak warga negara dan hak asasi manusia. Terpenuhinya hak dan kebebasan dasar manusia ini pada gilirannya akan membawa kepada kesejahteraan dan keadilan, suatu cita dari masyarakt madani.

Sebagai sebuah hukum dasar, konstitusi tentu terbuka untuk adanya perubahan sepanjang memang dikehendaki oleh rakyat. Adalah terpulang pada rakyat, sang pemilik kuasa, untuk

36 Meski demikian patut diingat bahwa MK tidak berwenang memberhentikan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden jika terbukti melanggar hukum dan atau tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemberhentian adalah kewenangan MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UUD 11945.

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

menentukan way of life dalam kehidupan bernegara melalui saluran konstitusionalnya. Namun sekali konstitusi itu berlaku dan menjadi kesepakatan ia harus ditegakkan dan dijadikan rule of the game. Jika tidak, ia, konstitusi itu hanyalah hiasan belaka yang tidak pernah menemukan implementasi konkritnya.

Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Demokrasi dan Masyarakat Madani, diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Terbuka (UT), 7 Juli 2011, Universitas Terbuka Convention Centre, Tangerang Selatan, Jawa Barat.

Manunggal K Wardaya

2. SELAYANG PANDANG LEMBAGA KEPRESIDENAN

A kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Perubahan konstitusi

mandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sejak 1999 hingga 2002 menghasilkan perubahan yang signififikan terhadap hukum dasar penyelenggaraan

sebagai tuntutan gerakan reformasi menyempurnakan aturan dasar kehidupan bernegara agar lebih demokratis, transparan, berkeadilan, dan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan jaman. Disadari oleh segenap elemen pro reformasi bahwa segala penyimpangan kuasa di masa lalu terutama dalam kekuasaan rejim Orde Baru Soeharto dan Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah disebabkan karena UUD yang menjadi pegangan penguasa memang memiliiki berbagai kelemahan mendasar.

Kelemahan mendasar UUD tersebut sebenarnyalah telah disadari oleh para penyusunnya sendiri. UUD 1945 merupakan konstitusi yang temporer, yang bakal disempurnakan jika bangsa ini telah berada dalam suasana kehidupan bernegara yang lebih tenang dan mapan. Pernyataan Soekarno dalam Pidatonya sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidang perdana PPKI tanggal 18 Agustus 1945 serta muatan Pasal II

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan rupanya tidak ditindaklanjuti sebagaimana seharusnya. Konstituante yang telah bersidang sejak 1956 dibubarkan oleh Soekarno sendiri dengan sebuah keputusan Presiden yang diberi nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Seterusnya sejak 5 Juli 1959, suatu titik mula era yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin, UUD 1945 disakralkan, seolah perubahannya adalah sesuatu yang haram. Rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto melanggengkan pensakralan ini.

UUD 1945 yang mengandung banyak kelemahan dalam perjalanannya kemudian disadari adalah sumber dari korupsi, kolusi, dan nepotismem dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa, menyimpang dari tujuan didirikannya pemerintahan negara Indonesia. Oleh karenanya, gerakan reformasi yang berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden segera ditindaklanjuti dengan agenda reformasi yang utama yakni amandemen UUD 1945. Perubahan UUD 1945 diarahkan kepada penyempurnaan, bukan kepada perubahan total, apalagi mengganti UUD 1945 dengan UUD yang sama sekali baru. Pembukaan UUD 1945 yang mengandung tujuan negara dan dasar negara Pancasila sendiri disepakati untuk tidak dirubah.

Begitu banyak pasal yang mengalami perubahan, dan berbagai lembaga negara juga mengalami perubahan kewenangan. Ada lembaga negara baru dan ada pula yang dihilangkan. Lembaga baru tersebut misalnya Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Adapun Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga negara yang dihilangkan dalam konstitusi kita.

Salah satu lembaga negara yang mengalami perubahan pengaturan dalam UUD 1945 adalah lembaga kepresidenan. Tidak saja hal ikhwal kewenangannya, berbagai hal terkait rekrutmen dan pemberhentiannya pula mengalami perubahan. Makalah

Manunggal K Wardaya

ini secara singkat membahas mengenai lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan. Bagaimana kewenangan dan hak konstitusional Presiden sebagaimana diatur oleh UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan konstitusi?

Menganut sistem pemerintahan presidensiil, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar. Pasal ini berkaitan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Artinya, Presiden Republik Indonesia juga melaksanakan kedaulatan rakyat sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Presiden yang dalam melaksanakan kewajibannya didampingi oleh seorang Wakil Presiden ini disebut sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, alias yang melaksanakan (execute) undang-undang. Tak seperti dalam Sistem Parlementer dimana eksekutif (perdana menteri) adalah bagian dari legislatif (parlemen), Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial bukanlah bagian dari legislatif. Presiden terpisah dari parlemen.

Sebelum perubahan UUD 1945, Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Presiden di masa lalu adalah mandataris MPR, dan bertanggung jawab pada MPR. Ini berkesesuaian dengan pandangan bahwa MPR adalah pelaksana kedaulatan rakyat. Kini, menurut Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat setelah sebelumnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Adapun Pasal 6A ayat (3) menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari limapuluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh lima persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Lebih jauh, jika ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) tersebut tak bisa dipenuhi, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dari rumusan Pasal 6A ayat (2) dan (4) diketahui bahwa pemilihan Presiden disediakan untuk dua kali pemilihan. Pemilihan Presiden hanya berlangsung satu ronde jika ketentuan Pasal 6A ayat (3) terpenuhi. Jika tidak maka pemilihan akan terjadi dalam dua ronde.

Adapun mengenai syarat presiden juga mengalami perubahan dengan amandemen UUD. Pasal 6 UUD 1945 sebelum perubahan menentukan Presiden adalah orang Indonesia asli. Persoalan yang timbul adalah menentukan siapa yang dimaksud dengan orang Indonesia asli itu. Hal ini karena syarat ini tidak lagi mudah dipenuhi. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, dan seiring dengan perkembangan jaman dan arus globalisasi, terjadi percampuran ras di kalangan masyarakat Indonesia. Ada golongan Arab, Eropa, Asia, Jepang, dan lain-lainnya yang hidup di Indonesia. Sejarah sendiri menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah keturunan dari bangsa Yunan, yakni mereka yang sebelumnya mendiami China.

Karena ketidakpastian ini, maka dirubahlah syarat Presiden ini tidak kepada ras, namun kepada kewarganegaraan. Disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia haruslah warga negara Indonesia sejak kelahirannya, dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden ini jika dihubungkan dengan pasal mengenai pemberhentian Presiden

Manunggal K Wardaya

menemukan makna pentingnya. Hal ini karena salah satu alasan bagi DPR untuk mengusulkan pemberhentian Presiden kepada MPR adalah dengan menyatakan pendapat bahwa seorang Presiden dan atau Wakil Presiden tak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Sebagai contoh, jika seorang Presiden menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri di dalam masa jabatannya, ia dapat diusulkan oleh DPR kepada MPR untuk diberhentikan. Tentu saja, usul pemberhentian ini harus melalui berbagai tahapan sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.

Kewenangan Presiden yang mengalami perubahan cukup berarti adalah soal kekuasaan membentuk Undang-undang. Sebelum perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang ada pada tangan Presiden, yang didasarkan dahulunya karena anggapan bahwa Presiden memiliki tenaga ahli yang lebih dalam menyusun undang-undang. Kini, kekuasaan membentuk undang-undang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat. Namun begitu, Presiden tetap berhak mengajukan Rancangan Undang-undang. Setiap RUU juga harus mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Dan sebuah RUU jika telah mendapat persetujuan bersama untuk berlakunya harus disahkan oleh Presiden. Walau demikian, sebuah RUU yang telah disetujui namun tidak mendapatkan pengesahan dari Presiden dalam waktu 30 hari, maka RUU itu berlaku menjadi undang-undang.

Hal lain adalah berkaitan dengan masa jabatan Presiden. Kini dtentukan tegas bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipiilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali jabatan. Sebelumnya, rumusan mengenai masa jabatan Presiden ini begitu multitafsir, hanya menyatakan bahwa Presiden Indonesia menjabat selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan ini dipakai oleh Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya sehingga menjabat berkali-kali. Tentu saja, didudukinya jabatan

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

kekuasaan pemerintahan berulangkali berpotensi penyalahgunaan kuasa yang terbukti sepanjang kekuasaan Orde Baru. Oleh karenanya, guna menghindari terulangnya sejarah pahit negara ini, kini UUD 1945 telah dengan tegas menentukan bahwa jabatan presiden yang selama lima tahun itu dapat diduduki kembali hanya untuk satu periode.