PROSES DEMOKRASI YANG BERLIKU DI NEGERI

PROSES DEMOKRASI YANG BERLIKU DI NEGERI GAJAH PUTIH
(STUDI KASUS NEGARA THAILAND)

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Thailand merupakan negara yang dalam sejarahnya tidak pernah dijajah sehingga Thailand

memiliki kekhasan dan kekhususan tersendiri yang tidak sama seperti negara lain di daerah
semenanjung atau di Asia Tenggara pada umunya. Masyarakat Thailand sering di sebut dengan
sebutan orang Thai, atau juga dapat di sebut orang Siam, namun sebutan yang lebih popular bagi
orang Thailand adalah Thai karena lebih pada pertimbangan etnies Thai dalam bahasa Thai
berarti “orang bebas” Asal-usul orang Thai, memiliki ciri-ciri fisik yang tidak jauh berbeda
dengan orang China, D.G.E. Hall sepakat mengisahkan perihal tanah asal orang Siam di Asia
Tengah. Dipercaya bahwa sekitar 7000 tahun yang dahulu mereka mendiami kawasan
pegunungan Altai (Mongolia) dan sekitarnya 2500 tahun kemudian berkembang hijrah ke selatan
yang lebih subur .1
Namun seiring dengan kemajuan peradaban yang di dalangi oleh ilmu pengetahuan, dunia
semakin sempit dan tidak lagi di batasi oleh ruang dan waktu, orang dari wilayah tertentu dapat

melakukan kunjungan ke negara lain serta dapat membangun kerjasama yang saling
menguntungkan dimana ada tukar menukar (ekspor-import) barang atau pertukaran peradaban
maka influence kemajuan dari negara yang lebih maju akan mempengaruhi negara yang lemah
dalam teknologi atau peradaban maka sistem pemerintahan aristokrasi yang menjadi model
pemerintahan di kerajaan Thailand pun mulai mengalami pergeseran.
Kondisi pergeseran ini adalah bagian dari spectrum politik yang sukar untuk diduga,
meskipun begitu, dalam system politik modern, demokratis, dan rasional selalu ada semacam
ketertebakan (predictable) politik dibandingkan dengan system politik tadisional. 2 Hal ini
mendorong Thailand untuk memikirkan design politik yang tepat bagi orang Thai dimana budaya
1
2

(www.pekemas.org).di akses pada tanggal 9 desember 2013 pada pukul 02.20 wib
Ade M, Wiransanjaya “Negara, pasar dan Labirin Demokrasi” bag.2. Munculnya elit produksionis. Hal.103

dan tradisi tidak akan dimusnahkan tetapi juga mereka pun diharapkan untuk menyesuaikan diri
dengan kemajuan peradaban di negara-negara maju yang menerapkan sistem pemerintahan yang
demokratis.
Karena bagi orang Thai ada tiga hal yang suci atau yang sering disebut “eka lak thai” yakni :
Bangsa Thai, Raja, dan Buddha, sehingga perlu pemikiran yang tepat dalam melihat penerapan

demokrasi di Thailand karena suatu sisi demokrasi hadir untuk memberikan ruang bagi peran
rakyat dalam pemerintahan namun di sisi lain bagi Thailand raja memiliki peran yang sangat
penting dalam sistem politik Thailand.3
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana perjalanan panjang proses demokrasi di negeri Gajah Putih sehingga mengakibatkan
sering sekali terjadinya kudeta militer?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perjalanan Demokrasi Thailand
Di era globalisasi sekarang ini, isu mengenai demokrasi menjadi sangat relevan untuk
diperbincangkan. Karena hampir seluruh negara di dunia saat ini menggunakan sistem demokrasi
sebagai sistem pemerintahannya. Selain itu demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan
yang paling baik saat ini. Demokrasi berasal bahasa Yunani kuno, yaitu demos (rakyat) dan
kratos (pemerintahan). Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Menurut Robert A.Dahl,
sistem politik demokratis adalah pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan warganya.4
Sejarah politik Thailand selalu dipenuhi oleh kudeta milter. Dalam kurun waktu 74 tahun telah
terjadi sebanyak 23 kali militer mengambil alih kekuasaan. Ini menandakan betapa rapuhnya
pemerintahan sipil militer Thailand karena selalu dibayang-bayangi oleh militer yang selalu siap
ambil alih kekuasaan di saat-saat genting.5


3

http://id.wikipedia.org/wiki/Thailand diakses pada tanggal 9 desember 2013 pada pukul 02.20 wib
Prof.DR.Bambang Cipto.Ma,Slide Matakuliah Demokrasi Pertemuan Pertama.
5
http://baiq-wardhani-wp.blogspot.com/2008/12/kudeta-militer-thailand-dan.html. diakses pada tanggal 9 desember 2013 pada
pukul 02.20 wib
4

Thailand adalah sebuah negara yang mengadopsi sistem demokrasi sebagaimana tertuang
dalam Bab I ayat 2 Konstitusi 2007 “Thailand adopts a democratic regime of government with
the King as Head of State”. Merujuk pada Lary Diamond (2008), ada sepuluh prinsip demokrasi
yaitu substanstial freedom of speech; freedom of religion with ethnic and cultural participation;
universal suffrage for adults, free, fair, and generally competitive elections; legal equality under
transparent rule of law; an independent and neutral judiciary; due process of law for all
individuals; institutional checks and balances; state acquiescence in vibrant civil society;
civilian control over military and other state institutions 6. Jika kita melihat kronologi politik
Thailand, terutama pasca kudeta tahun 2006, dan membandingkan dengan prinsip demokrasi
yang dikemukakan Lary Diamond, terutama prinsip kontrol sipil atas militer dan institusi
pemerintah, maka kita mendapati situasi yang sebaliknya. Sejak kudeta tahun 2006, militer

kembali masuk ke pentas politik Thailand dan memainkan perannya yang dominan. Sejak saat
itu pula militer keluar dari kotak Parlemen dan PM, serta menjadi kekuatan sendiri. Dengan
struktur seperti ini, Kerajaan dan Privy Council merupakan lembaga tertinggi di Thailand.
Militer setingkat kedudukannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Perdana Menteri dan
Kabinet Thailand, serta Peradilan dan Kehakiman.
Dalam sistem politik demokrasi, suara dan logika rakyat adalah sumber dan dasar dari
setiap kebijaksanaan nasional. Bahkan ada istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan).
Suara dan logika rakyat (hasil pemilu) semestinya digunakan para elite politik thailand untuk
mengelola proses pembuatan keputusan publik dan merekrut pemimpinnya. Pemilu di Thailand,
menunjukkan kemauan rakyat Thailand tentang masa depan politik nasionalnya. Partai Pheu
Thai mendapat 263 kursi dan menang atas Partai Demokrat yang hanya memperoleh 162 kursi.
Dengan demikian, bila semuanya berjalan lancar, calon dari Partai Pheu Thai, Yingluck
Shinawatra,akanmenjadi perdana menteri, menggantikan Abhisit Vejjajiva. Kemenangan Partai
Pheu Thai atas Partai Demokrat menunjukkan bahwa pendukung Thaksin Shinawatra selalu
unggul atas pendukung Partai Demokrat. Ketika masih bernama Thai Rak Thai, partai Thaksin
itu memang tiga kali atas Partai Demokrat, yaitu pada pemilu 2001, 2005, dan 2006.Ketika
bernama People Power Party (PPP),pendukung Thaksin menang atas Partai Demokrat pada
pemilu Desember 2007.7
6


Diamond, Larry, The Spirit of Democracy The Struggle to Build Free Societies Throughout the World (Times Books/Henry
Holt & Company: 2008).
7
Basis Susilo, Dosen Hubungan Internasional dan Dekan FISIP Universitas Airlangga “Pemilu dan Konsolidasi Demokrasi
Thailand”Jurnal.Pdf.

Jika kita melihat perkembangan hingga saat ini, demokrasi di Thailand masih diwarnai
dengan adanya supremasi militer dan kuatnya monarki. Ketiadaan musuh bersama dari luar
selama beberapa dekade, nampaknya mendorong militer Thailand ingin masuk ke dalam kancah
politik domestik. Hal ini ditambah dengan kondisi rapuhnya pemerintahan demokratis di bawah
sipil. Kudeta militer tahun 2006 yang berujung pada intervensi militer dalam dunia politik
menjadi pangkal instabilitas Thailand hingga saat ini. Meskipun bukan menjadi faktor tunggal,
namun intervensi militer ini berdampak pada beberapa hal. Pertama, semakin meruncingnya
friksi sosial-politik antara dua faksi utama dalam politik Thailand, yaitu masyarakat pedesaan
yang proThaksin dan elite Bangkok yang terdiri dari militer, pihak kerajaan (monarki), dan
birokrasi (ketiganya disebut holy trinity oleh Pavin Chachavalpongpun). Militer jelas berada di
belakang elite Bangkok dan menggunakan kekuasaannya untuk berhadapan dengan kelompok
masyarakat pedesaan. Akibatnya, proses politik di Thailand saat ini tak lebih dari perseteruan
antara sekutu Thaksin dan kubu pemerintah yang didukung militer. Kedua, intervensi politik ke
dalam dunia politik tidak hanya mengganggu pendalaman demokrasi di Thailand, tetapi juga

semakin meningkatkan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM dan pelemahan
penegakan hukum, yang bisa dilihat dari kasus pembatasan berekspresi dan kekerasan di wilayah
selatan Thailand.
Demokrasi memang adalah sesuatu yang baru bagi Thailand, baru berumur 30-an tahun
sejak 1973, jika kita membandingkan dengan demokrasi Amerika yang sudah berumur 230-an
tahun. Sehingga, belum fit antara sistem yang baru ini dengan tradisi atau kultur politik, di mana
kudeta militer adalah sesuatu yang telah berurat berakar, demikian pula masih kuatnya pengaruh
monarki. Kesenjangan antara tradisi dan sistem demokrasi inilah yang menyebabkan demokrasi
di Thailand tidak berfungsi dengan baik dan Thailand masih membutuhkan waktu untuk
mengkonsolidasikan demokrasinya.
Pemerintah saat ini seharusnya segera berpikir untuk mempersiapkan pemilu yang
demokratis, jujur, dan adil sebagaimana dituntut kelompok kaus merah. Pemerintah saat ini pun
harus besar hati untuk menerima apa yang menjadi pilihan rakyat dan menahan diri untuk tidak
menggulingkannya

karena

hal

itu


hanya

membawa

politik

Thailand

pada cyclical

pattern sebagaimana diungkap Suchit Bunbongkarn. Ketika pemerintah demokratis sipil mampu
membuktikan dirinya, maka tidak ada lagi tempat bagi militer di kancah politik.

Pada dasarnya, tidak ada demokrasi yang sempurna di dunia ini dan tidak ada rumusan
demokrasi yang paling cocok yang bisa dipakai di setiap negara. Bahkan, Winston Churchill
berujar “that democracy is the least bad of all the systems of government produced out of human
experience” (dalam Hasan Wirajuda, 2004).8 Namun sejalan dengan komitmen Thailand dalam
ratifikasi ASEAN Charter untuk memperkuat demokrasi, mendorong good-governance dan
aturan hukum serta mempromosikan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar, sudah

seharusnya pemerintah Thailand bertanggung jawab dan berupaya untuk memperbaiki kondisi
demokrasinya, meskipun itu harus melalui jalan panjang.
2.2. Demokrasi Ditentukan dari Jalanan
Perjalanan demokrasi Thailand menuju ke titik terendah. Pergantian pemerintahan tidak
diputuskan melalui perdebatan yang seru di Parlemen, khususnya di Majelis Rendah (House of
Representatives), melainkan diputuskan di jalan. Tepatnya, diputuskan melalui aksi unjuk rasa,
atau aksi turun ke jalan, yang seakan-akan tidak berkesudahan. Bahkan, dalam minggu terakhir,
aksi unjuk rasa pun dilakukan dengan menutup Bandar Udara Internasional Suvarnabhumi dan
Bandar Udara Internasional Don Muang di Bangkok, Thailand. 9 Dengan kata lain, orang yang
ingin menjatuhkan seorang PM tinggal mengerahkan massa ke jalan dan menuntut agar PM yang
bersangkutan diganti atau diturunkan. Dan, itulah yang terjadi, setelah menggoyang dan
menjatuhkan Perdana Menteri (PM) Samak Sundaravej (70), kini giliran PM Somchai
Wongsawat (61) yang digoyang. Masih mempunyai hubungan yang erat dengan mantan PM
Thaksin Shinawatra menjadi kata kunci dalam upaya menjatuhkan Somchai dari kedudukannya.
Kondisi yang menyedihkan ini membuat demokrasi Thailand yang berhasil dibangun
kembali menyusul gerakan prodemokrasi berdarah pada tahun 1992, dan dipertahankan selama
hampir 13 tahun, akhirnya berantakan. Setelah militer yang didukung oleh Raja Bhumibol
Adulyadej menggulingkan PM Thaksin Shinawatra yang menang besar dalam pemilihan umum
(pemilu) pada tahun 2006. Banyak yang menuduh kemenangan besar Thaksin dalam pemilu
tersebut disebabkan oleh politik uang. Ia dianggap ”membeli” rakyat di pedesaan dengan

menawarkan berbagai program bantuan pembangunan. Alih-alih menyelesaikannya melalui jalur
Parlemen, oposisi memilih mengajak masyarakat turun ke jalan untuk berunjuk rasa dan
mendesak Thaksin mundur. Merasa dirinya memiliki dukungan mayoritas rakyat, Thaksin agak
8

http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/361-jalan-panjang-demokrasi-thailand-.html diakses pada tanggal
12 desember 2013 pada pukul 02.05 wib
9
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/30/01353737 diakses pada tanggal 12 desember 2013 pada pukul 02.05 wib

lupa diri. Ia bahkan berani ”melawan” Raja Bhumibol Adulyadej yang memintanya mundur
untuk menenangkan keadaan di dalam negeri yang makin memanas.
2.3. Demokrasi Di Balik Kudeta
Kudeta militer bukan barang baru di Thailand. Selama 74 tahun sejak monarki absolut
diganti monarki konstitusional pada 1932, sudah ada 40 pergantian perdana menteri dengan 25
figur perdana menteri serta 25 kudeta dan percobaan kudeta. Jika dihitung 20 tahun terakhir
sejak Prem Tinsulanonda hingga Thaksin, sudah ada 12 kali pergantian perdana menteri dengan
delapan orang PM dan tujuh kudeta serta percobaan kudeta. Kudeta militer pertama di Thailand
dilakukan oleh perwira-perwira Thai lulusan luar negeri pada 1932. Mereka berhasil mengakhiri
sistem politik Thailand dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional.10

Sejak itu percobaan kudeta seakan tak pernah berhenti. Thailand diguncang percobaan
kudeta sebanyak 17 kali sampai kudeta yang terakhir pada 1991. Kudeta militer terakhir terjadi
pada 1991, ketika Jenderal Sunthon Kongsomphong menggulingkan pemerintahan PM Chatchai
Choonhavan. Sejak itu, militer Thailand berusaha menjaga jarak dengan kehidupan politik.
Namun, krisis politik yang terjadi dalam setahun ini akhirnya memaksa militer kembali
memasuki arena politik. Krisis politik yang mencuat di era Thaksin disulut aksi penjualan 49%
saham Shin Corp kepada Temasek Holdings dari Singapura. Perusahaan tersebut dijual (dan
keluarga Thaksin meraih keuntungan US$1,9 miliar) hanya dua hari setelah Pemerintah Thailand
mengubah peraturan rasio kepemilikan saham perusahaan asing dari 25% menjadi 49%.11
Thaksin kemudian menjadi bulan-bulanan karena dituduh memperkaya diri sendiri. Sejak
itu rakyat Thailand telah menyampaikan kecaman keras terhadap Thaksin dan menuduh dia
berkhianat serta melakukan praktik perkoncoan dan korupsi. Gelombang aksi unjuk rasa
menuntut pengunduran diri Thaksin kemudian melanda Thailand. Puncaknya pada 4 April 2006
lalu, Thaksin mengumumkan pengunduran dirinya. Namun, 23 Mei secara tiba-tiba Thaksin
10

Glassman, Jim (2010). The Provinces Elect Governments, Bangkok Overthrows Them: Urbanity, Class, and Post-Democracy

in Thailand.Urban Studies 47, Issue 6.


11

http://politik.kompasiana.com/2010/05/21/manajemen-anti-kudeta-di-thailand-belajar-dari-indonesia-146693.html di

akses pada tanggal 12 desember 2013 pada pukul 02.05 wib

menyatakan kembali menjabat sebagai PM. Sejak kembalinya Thaksin, situasi politik di
Thailand dilanda ketidakpastian. Berbagai persoalan mulai dari investasi yang tertunda hingga
kasus korupsi dan narkoba melanda negeri itu dalam beberapa bulan terakhir. Situasi ini Jelas
kudeta bukanlah jalan untuk memperbaiki kehidupan demokrasi suatu bangsa. Untuk
menghindarinya jelas perlu beberapa syarat seperti rotasi yang rutin di tubuh militer sehingga
mengurangi fanatisme figur, lalu kepentingan institusional untuk mempertahankan akses
ekonomi dan politik juga harus selalu diwaspadai. membuat banyak pengamat berspekulasi
bahwa militer Thailand akan tampil ke pentas politik guna mengambil alih kekuasaan dari
Thaksin. Spekulasi ini berkali-kali dibantah oleh militer, namun spekulasi itu terbukti dan
terjawab setelah militer melakukan kudeta di negeri tersebut.
2.3. Krisis Kepemimpinan Memperlambat Proses Demokrasi
Perselisihan dan persaingan politik tersebut pada hakikatnya tak membawa masyarakat
Thailand pada kondisi riot seperti di Filipina ataupun Myanmar. Karena peran Raja tetap eksis
sebagai simbol zaman keemasan Thailand dan sebagai pengayom masyarakat Thai. Setidaknya
pandangan tersebut menjadikan masyarakat Thai sebagai masyarakat yang “tentram” tanpa ada
pertumpahan darah sebagai akibat persaingan kaum elit tersebut.
Secara garis besar, ada beberapa karakteristik budaya politik Thailand, yaitu:
1.

Otoritarianisme => budaya politik yang ada di Thailand cenderung mengarah pada
otoritarianisme dimana kepemimpinan dipandang sebagai representasi dari dewa sehingga
pelaksanaan perintah nyaris tanpa celah untuk dikritisi. Terlebih ini didukung dengan budaya
patriakal dan paternalistik yang cenderung mengagungkan pemimpin sebagai “father” dalam
keluarga yang punya wewenang dan kekuasaan atas keluarganya.

2.

Patron Klien => kaum elit lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya sendiri dari
pada kepentingan untuk melayani rakyat. Sehingga karakter elit lebih pada “tuan yang
diagungkan” dari pada “servant of people”. Hal ini berdampak pada hubungan antar elit atas
kelompoknya lebih kuat daripada dengan rakyat.

3.

Personalisme => hubungan personal lebih penting dalam politik Thailand. Begitu pula
fungsi seorang tokoh akan sangat menentukan garis kebijakan politik karena orang Thailand
yang pragmatis lebih melihat figur tokoh daripda ideologi ataupun latarbelakang partai.

4.

Hirarkis => orang Thailand lebih mementingkan tingkatan status daripada pencapaian
seseorang. Senioritas, strata sosial, kekayaan, menjadi faktor utama daripada prestasi
seseorang. Hal ini kemudian yang mengarahkan masyarakat Thailand pada masyarakat
yang unequal.

5.

Tradisionalisme => masyarakat Thailand masih memegang kuat kepercayaan mistis dan
tahayul serta kepercayaan pada nenek moyang. Hal ini membuat irasionalitas menjadi hal
yang umum terjadi dalam menghadapi kehidupan (sifat konservatif).

6.

Pasivitas => sifat tradisional dan percaya pada adanya hirarki serta takdir membuat
masyarakat Thailand menjadi pasif dan tidak memiliki interestterhadap proses dan partisipasi
politik.

7.

Cinta Damai => hal ini tak lepas dari pengaruh agama Budha yang dianut orang
Thailand yang mengajarkan ajara-ajaran cinta dan damai. Sehingga mereka lebih memilih
untuk mengalah dalam rangka mencapai kedamaian bersama aripada konfrontasi yang
berdampak pada ketidakdamaian. Sehingga tak heran manakala terjadi kudeta militer tidak
sampai terjadi peristiwa berdarah. Karena selain peran Raja yang berpengaruh terhadap
legitimasi kudeta tersebut, peran agama Budha yang cinta damai juga tak kalah pengaruhnya
terhadap way of life masyarakat Thai.12
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dilihat bahwa demokrasi yang ada di Thailand

akan selalu mengalami dan menghadapi two face of dillema dan binarry opposition, yaitu di satu
sisi nilai demokrasi berusaha diterapkan dan dijalankan dengan sepenuh hati namun disisi lain
ada nilai-nilai tradisional yang berbenturan dengan paham demokrasi. Terlebih hal itu diperparah
dengan persaingan politik antara kaum elit yang ada. Jadi, proses transisi menuju Demokrasi
yang sesungguhnya sesuai dengan nilai-nilai liberalisme sangat panjang dan berliku yang musti
dihadapi oleh Thailand.
Sebenarnya, aksi unjuk rasa besar-besaran seringkali ini melanda Thailand. Bahkan
negara ini dipandang oleh masyarakat internasional sebagai salah satu negara yang paling sering
dilanda kudeta militer. Dalam beberapa tahun belakangan, Thailand begitu sering dirundung
masalah kepemimpinan. Semenjak runtuhnya pemerintahan Thaksin pada 19 September 2006
12

http://dwinitatanisiamurbarani.blogspot.com/2013/08/budaya-politik-di-negara-berkembang.html diakses pada tanggal 13
desember 2013 pada pukul 02.30 wib

lalu, pemerintahan di Thailand seolah tidak pernah mendapat ketenteraman. Thaksin sendiri
merupakan salah satu korban kudeta militer yang dilakukan oleh Junta militer pimpinan Jenderal
Surayud Chulanon. Sebenarnya, tradisi kudeta yang sering melanda Thailand sudah lama berlalu.
Kudeta terakhir yang pernah terjadi sebenarnya sudah berlalu sekitar 15 tahun lalu. Namun
demikian, ternyata upaya untuk melakukan kudeta militer belum sirna dari pemikiran para
pimpinan militer disana.
Pada saat penggulingan pemerintahan Thaksin, dirinya dianggap sangat korup dan hanya
menyengsarakan rakyat. Oleh sebab itu, maka dianggap tidak ada urgensinya untuk
mempertahankan pemerintahan yang demikian, karena akan membawa petaka bagi rakyat negeri
gajah putih itu. Lantas untuk meyakinkan rakyat atas tindakannya itu, Surayud berjanji bahwa
selambat-lambatnya pada akhir 2007 akan menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur dan
adil. Nampaknya Surayud ingin memberikan keyakinan pada masyarakat Thailand bahwa hanya
melalui pemilu yang jujur dan adilahh, maka akan terbentuk sebuah pemerintahan tetap yang
demokratis.13
Memang apa yang dijanjikan oleh Surayud, kemudian dapat diwujudnyatakan.
Pemilupun dilaksanakan untuk memilih pemimpin Negara tersebut. Dalam pemilu tersebut,
partai Samak Sundaravej, Partai Kekuatan Rakyat (PPP) berhasil memenangkan pertarungan
demokrasi kala itu. Sementara Samak sendiri merupakan politisi yang juga merupakan mantan
Gubernur Bangkok dan selama ini dianggap selalu memihak pada militer. Dengan realita
tersebut, maka masyarakat Thailand juga mengklaim bahwa sebenarnya pemerintahan di bawah
kepemimpinan Samak akan tetap pro militer. Apalagi bila mengingat track recordnya yang
merupakan pendukung utama atas tindakan para militer saat terjadinya kudeta pada tahun 1992
lalu.
Sebagai konsekuensinya, maka pemerintahannya pun terus digoyang oleh aksi-aksi unjuk
rasa untuk menggulingkannya. Para pengunjuk rasa yang tergabung dalam beberapa partai
politik di bawah payung Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) terus berupaya untuk
menyingkirkan Samak dari pemerintahan. Bahkan dalam beberapa aksinya, para demonstran
sempat menduduki kantor Perdana Menteri dan sejumlah kantor pemerintah di jantung Bangkok.
Pada saat itu, Samak sempat bertahan karena beliau menganggap bahwa pemerintahannya adalah

13

Janpatar Simamora, SH., MH “Instabilitas Politik Negeri Gajah Putih”Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP

Nommensen Medan; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.

pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Sehingga mereka merasa bahwa di bawah
kepemimpinannya, pemerintahan tetap layak untuk dijalankan.
Namun ternyata tidak semua pemerintahan yang dipilih secara demokratis tetap
memperoleh pengakuan dari rakyat sampai akhir masa periodenya. Pada perjalanan selanjutnya,
Samak tidak bisa bertahan. Ketika pertahanan Samak semakin kuat, seiring dengan hal itu pula,
kekuatan dan semangat para demonstran justru semakin menjadi-jadi. Rakyat yang dulunya
memilihnya secara demokratis, ternyata telah berubah menjadi musuhnya. Berbagai rentetan
peristiwa demokrasi di Thailand selama ini cukup menunjukkan bahwa demokrasi di negeri
gajah putih tersebut saat ini sedang berada dalam babak yang sangat krusial. 14 Dalam situasi yang
demikian, Perdana Menteri Yingluck Shinawatra diharapkan mampu memberikan pencerahan
kepada para pengunjuk rasa agar kemudian tidak melahirkan gejolak yang lebih besar. Sebab
bagaimanapun, aksi unjuk rasa yang sudah menjurus pada tindakan anarkhis seperti yang
melanda Thailand belakangan ini hanya akan menimbulkan dampak negative bagi Thailand
sendiri. Di sinilah dibutuhkan kepiawaian Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dalam
mengelola kekuasaan serta mengendalikan situasi politik yang penuh instabilitas di Thailand.

14

http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/68821/instabilitas-politik-negeri-gajah-putih di akses pada tanggal 13
desember 2014 pada pukul 03.00 Wib

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Demokrasi di Thailand sejatinya hanyalah demokrasi procedural yang di tafsirkan secara
mayoritas mengabaikan kelompok particular dalam sebuah Negara, sehingga demokrasi Thailand
tidak menjawab subtansi demokrasi, sehingga peluang yang perlu dilakukan adalah otonomi
khusus demokrasi bagi kelompok particular yang membebaskan dan setara dengan masyarakat
Bangsa thai, budhis, dan raja yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyrakat thai terdoktrin dalam konstitusi hal ini menyebabkan demokrasi Thailand harus
dilakukan secara otonom tidak berlaku mutlak karena tidak ada pemisahan antara agama dan
Negara sehingga menyulitkan bagi penerapan demokrasi. Demokrasi Thailand hanyalah
seremonial karena tidak membuka ruang bagi kebebasan berpendapat, karena tradisi yang ada
bukan hanya sekedar atribut sosail yang dapat mencair, tetapi keberadaan keyakinan bernegara di
Thailand telah mengeras dan menjadi identitas politik yang mengisi semua ruang baik itu ruang
politik dan ruang sosial masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ade M, Wiransanjaya “Negara, pasar dan Labirin Demokrasi” bag.2. Munculnya elit produksionis.
Hal.103
Diamond, Larry, The Spirit of Democracy The Struggle to Build Free Societies Throughout the
World (Times Books/Henry Holt & Company: 2008).
Glassman, Jim (2010). The Provinces Elect Governments, Bangkok Overthrows Them: Urbanity, Class,
and Post-Democracy in Thailand.Urban Studies 47, Issue 6.
Janpatar Simamora, SH., MH “Instabilitas Politik Negeri Gajah Putih”Dosen Fakultas Hukum
Universitas HKBP Nommensen Medan; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
Bandung.
Prof.DR.Bambang Cipto.Ma,Slide Matakuliah Demokrasi Pertemuan Pertama.
Jurnal:
Basis Susilo, Dosen Hubungan Internasional dan Dekan FISIP Universitas Airlangga “Pemilu dan
Konsolidasi Demokrasi Thailand”Jurnal.Pdf.
Surat Kabar Online:
www.pekemas.org di akses pada tanggal 9 desember 2013 pada pukul 02.20 wib
http://id.wikipedia.org/wiki/Thailand diakses pada tanggal 9 desember 2013 pada pukul 02.20 wib
http://politik.kompasiana.com/2010/05/21/manajemen-anti-kudeta-di-thailand-belajar-dariindonesia-146693.html di akses pada tanggal 12 desember 2013 pada pukul 02.05 wib
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/30/01353737 diakses pada tanggal 12 desember 2013 pada
pukul 02.05 wib
http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-internasional/361-jalan-panjang-demokrasithailand-.html diakses pada tanggal 12 desember 2013 pada pukul 02.05 wib
http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/68821/instabilitas-politik-negeri-gajah-putih
akses pada tanggal 13 desember 2014 pada pukul 03.00 Wib

di

Blog Pribadi:
http://dwinitatanisiamurbarani.blogspot.com/2013/08/budaya-politik-di-negara-berkembang.html
diakses pada tanggal 13 desember 2013 pada pukul 02.30 wib
http://baiq-wardhani-wp.blogspot.com/2008/12/kudeta-militer-thailand-dan.html.
tanggal 9 desember 2013 pada pukul 02.20 wib

diakses

pada