PERKEMBANGAN PERGERAKAN POLITIK DI INDON
PERKEMBANGAN PERGERAKAN POLITIK DI
INDONESIA
PENDAHULUAN
Secara konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam
pembangunan politik adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu
menanggapi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat, sebab
suprastruktur dan infrastruktur politik yang ada memang efektif dan
berfungsi secara optimal, yang kesemuanya didukung oleh warga negara
yang dinamis dan berada dalam naungan persamaan hukum dan
perundang-undangan.
Pencapaian hal-hal tersebut biasanya selalu akan menimbulkan
permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri) bangsa, legitimasi
kekuasaan,
partisipasi
anggota
masyarakat,
serta
menyangkut
pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang
menjangkau keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil
mengatasi suatu permasalahan tersebut maka berarti kita “maju” di
dalam melakukan pembangunan politik di dalam mengembangkan sistem
demokrasi.
Sejak awal Indonesia berdiri, kehidupan politik dan hukum diwarnai
begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar bingarnya demokrasi, tetapi
justru secara mencolok dapat dikatakan oleh sentralisasi kekuasaan pada
satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah memberi peluang
yang cukup besar kepada hukum.
PEMBAHASAN
1. TEORI PERUBAHAN POLITIK
Teori-teori baru mengenai perubahan politik dapat dibedakan dari
pendekatan-pendekatan dahulu berdasarkan beberapa ciri. Pertama,
perubahan politik yang terjadi pada setiap taraf pembangunan. Kedua,
kerangka-kerangka tersebut tidak banyak berkaitan dengan proses
modernisasi. Ketiga, variabel yang berhubungan dengan teori sebagian
besar bersifat politik. Keempat, kerangka-kerangka itu cukup flexibel
untuk menampung perubahan-perubahan politik baik dari lingkungan
dalam negeri ataupun lingkungan luar negeri. Kelima, pada umumnya
teori-teori itu lebih kompleks daripada teori-teori modernisasi politik dan
pembangunan politik1.
Huntington dalam bukunya yang berjudul Political Order in Changing
Societies yang terbit pada tahun 1968 menjelaskan bahwa fokus utama
perubahan
politik
adalah
hubungan
antara
partisipasi
politik
dan
pelembagaan politik. Hubungan diantara kedua unsur tersebutlah yang
mempengaruhi stabilitas sistem politik 2. Hal ini disebabkan karena kadar
dari sebuah partisipasi politik yang diberikan oleh suatu masyarakat
berkaitan erat terhadap legitimasi yang diperoleh lembaga-lembaga
politiknya. Apabila partisipasi yang dimaksud dalam bentuk dukungan,
maka hal itu menunjukan bahwa kelembagaan politik tersebut memiliki
tingkat kepercayaan yang baik. Begitu juga sebaliknya, jika partisipasi
politik tersebut dalam bentuk kritikan, maka kelembagaan politik tersebut
tidak mendapat respon yang baik dalam masyarakat.
1
Sammuel P. Huntington. Perubahan ke Arah Perubahan: Modernisasi Pembangunan dan
Politik dalam Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1991. Hal. 109.
2
Sammuel P. Huntington. Political Order in Changing Societies. Yale University Press,
1968. Hal. 35.
Analisa mengenai perubahan politik pertama-tama dapat diarahkan
pada perubahan-perubahan sederhana mengenai kekuasaan dan unsurunsur dari sebuah sistem politik. Hal tersebut dapat meliputi perubahan
mengenai gaya pemerintahan yang dipakai, sistem pemerintahan yang
diterapkan
dan
segala
bentuk
lembaga-lembaga
politik
yang
tersinkronisasi dalam sebuah sistem politik. Namun, fokus dari perubahan
politik bukanlah semata-mata terfokus pada perubahan kekuasaan.
Melainkan yang lebih penting adalah permasaalahan hubungan yang
ditimbulkan antara perubahan perubahan kekuasaaan masing-masing
komponen dan unsur dengan perubahan dalam isinya.
Perubahan politik dapat di klasifikasikan berdasarkan dua tingkatan.
Pertama, Laju ruang lingkup dan arah perubahan sebuah komponen dapat
dibandingkan dengan laju dan ruang lingkup komponen lainnya. Sebuah
bentuk
perbandingan
yang
demikian
dapat
menjelaskan
pola-pola
stabilitas dan kegoncangan dalam sistem poltiik. Sehingga jangkauan
sebuah
komponen
berhubungan
dengan
perubahan
atau
tiadanya
perubahan pada komponen lainnya. Misalnya kultur dan suatu sistem
politik
mungkin
dibandingkan
bisa
dipandang
kelompok,
sebagai
pemimpin
dan
hal
yang
lebih
penting
kebijakan-kebijakan
yang
dihasilkan.
Tingkatan kedua dari analisa perubahan politik adalah perubahan
kekuasaan dari suatu unsur dalam sebuah komponen pada suatu sistem
dapat dibandingkan denngan unsur-unsur lain dari komponen yang sama.
Hal ini dapat meliputi analisa mengenai bangkit redupnya ideologi dan
kepercayaan, lembaga dan kelompok, pemimpin dan kebijaksanaan serta
unsur-unsur
yang
terdapat
dalam
komponen
tersebut
yang
telah
mengalami perubahan. Hal ini berarti menyangkut kajian sebuah unsurunsur tersebut yang bersifat dinamis sehingga harus terus dipantau
perubahan-perubahannya3.
Perubahan politik merupakan salah satu varian dari gejala perubahan
sosial. Perubahan politik senantiasa akan membawa suatu perubahan
3
Hoogerwerf. Politikologi, Jakarta: Erlangga. 1985. Hal. 257
pada sebuah sistem sosial dalam sebuah kelompok masyarakat atau
negara. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kingsley Davis menjelaskan
perubahan sosial merupakan perubahan perubahan yang terjadi dalam
struktur
dan
fungsi
masyarakat.
Karena
perubahan
tersebut
bersinggungan dengan fungsi masyarakat, Davis mengemukakan bahwa
perubahan tersebut dapat menyebabkan perubahan dalam organisasi
ekonomi maupun politik. Pengertian lain mengenai perubahan sosial
dikemukakan oleh Mac Iver yang mendefenisikan perubahan perubahan
sosial sebagai hubungan dalam perubahan sosial [social relations] atau
perubahan terhadap keseimbangan [equilibrium] dalam hubungan sosial.4
Hubungan sosial yang dimaksud merupakan hubungan antar individu
ataupun kelompok dalam kehidupan bernegara. Johnson mengatakan
perubahan sosial ditandai oleh empat hal penting, yaitu5:
a) Hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi sosial yang
mapan terutama lembaga-lembaga ekonomi dan politik;
b) Otoritas yang terdapat dalam institusi-institusi sosial
utama
dipertanyakan;
c) Menurunnya etika tradisional;
d) Penolakan secara luasterhadap teknokrasi dan berbagai segi
organisasi birokrasi.
Jika dikaitkan dengan keberadaan perubahan politik yang terjadi di
Indonesia yang dipengaruhi oleh keberadaan komunisme, maka apa yang
dijelaskan oleh Johnson tersebut mengarah kepada bagaimana institusiinstitusi sosial yang berhaluan komunis tidak lagi mendapat kepercayaan
dari masyarakat dan justru mendapat kecaman keras dari masyarakat itu
sendiri. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi
yang
berideologi
komunis
tersebut
dapat
menyebabkan
terjadinya
perubahan sosial di Indonesia. Menurut Mooris Ginsberg [1984] sebabsebab terjadinya perubahan sosial adalah sebagai berikut:
a) Keinginan
individu
dalam
masyarakat
untuk
secara
sadar
mengadakan perubahan;
4
Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta :
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1974. Hal.23.
5
NgPhilipus & Nurul Aini. Sosiologi dan Politik, Jakarta: Rajawali Pers.2009. Hal. 57.
b) Sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berubah;
c) Perubahan-perubahan struktural dalam bidang sosial, ekonomi, dan
politik;
d) Pengaruh eksternal;
e) Meunculnya pribadi-pribadi dan kelompok yang menonjol dalam
masyarakat;
f) Munculnya peristiwa-peristiwa tertentu, seperti: kekalahan perang
ataupun kekalahan sebuah kekuatan politik terhadap kekuatan politik
yang lainnya;
g) Tercapainya konsensus dalam masyarakat untuk meraih suatu tujuan
bersama.
Perubahan sosial juga ada yang sifatnya dikehendaki [intended
change] atau perubahan yang direncanakan [planed change] dan
perubahan yang tidak dikehendaki [unintended change] atau perubahan
yang
tidak
direncanakan
[unplanned
change].
Perubahan
6
yang
dikehendaki merupakan perubahan yang sebelumnya telah direncanakan
dengan baik dan yang menjadi kemauan dari masyarakat. Perubahan
yang tidak dikehendaki merupakan perubahan yang terjadi secara
spontan dan tidak ada rencana sebelumnya untuk melakukan sebuah
perubahan. Dengan kata lain masyarakat sebelumnya tidak menyadari
bahwa akan terjadi sebuah perubahan dalam kehidupan mereka.
Perubahan politik merupakan salah satu bentuk dari sebuah perubahan
sosial. Biasanya sebuah gejala perubahan sosial akan menjadi sebuah
faktor bagi terjadinya sebuah perubahan politik. Jadi pembahasan
mengenai perubahan sosial sangat dibutukan dalam menganalisa sebuah
prubahan politik.
7
Hal ini diperlukan untuk melihat gejala-gejala sosial
seperti apa yang mempengaruhi sebuah perubahan sosial yang kemudian
menjadi faktor bagi terjadinya sebuah perubahan politik.
2. PERGERAKAN POLITIK KOLONIAL
A. Pemerintah Belanda
6
Ibid, Hal. 60.
Charles F. Andrian. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana.
1992. Hal.34.
7
Menjelang akhir abad ke-19, masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat
kolonial
yang
serba
terbelakang.
Penjajahan
serta
penindasan mengakibatkan kemunduran dalam segala bidang, baik di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan.
Dalam bidang politik, dilihat dari Pemerintahan. Semua jabatanjabatan penting berada di tangan bangsa asing, sedangkan bangsa
Indonesia hanya menduduki jabatan-jabatan rendah, selain itu pihak
penjajah
selalu
menanamkan
benih-benih
perpecahan
dengan
menjalankan politik devide et impera.
Dalam
bidang
ekonomi,
keadaan
bangsa
Indonesia
sangat
menderita karena rendahnya pendapatan yang diperoleh oleh rakyat
Indonesia, dengan bekerja sebagai buruh upah pada perkebunanperkebunan milik swasta. Rakyat dipaksa untuk meningkatkan produksi,
sedangkan dalam lingkungan ekonomi tradisional, masyarakat Indonesia
hanya mengenal perusahaan rumah atau kerajinan tangan sehingga
tidak ada keterampilan yang berkembang.
Dalam bidang budaya, kaum penjajah berhasil memasukkan nilainilai budaya asing, sehingga mengakibatkan merosotnya beberapa
budaya Indonesia dan hampir kehilangan kepribadiannya.
Dalam bidang pendidikan, pihak penjajah tidak memperhatikan
kepentingan Pendidikan bagi bangsa Indonesia, sehingga pada umumnya
rakyat Indonesia tidak pandai membaca dan menulis. Sedangkan
kesempatan pendidikan hanya diberikan kepada anak-anak kaum
bangsawan, pegawai negeri, anak-anak yang berstatus sosial tinggi.
Kesemuanya merupakan akibat langsung dari politik
kolonial
Belanda. Indonesia dijadikan objek eksploitasi untuk diambil keuntungan
sebesar-besarnya bagi penjajah, sistem tanam paksa berkembang
sebagai
suatu
usaha
berskala
tinggi
dengan
mengidentifikasikan
Pemerintah sebagai pengusaha dengan Nederlandsche Handels Schappij
sebagai
agen
tunggal,
dimana
perusahaan negara yang besar.
Pulau
Jawa
merupakan
sebuah
Program dari berbagai golongan politik semuanya dan secara
serentak menitikberatkan tanggung jawab moril dalam melaksanakan
politik kolonial. Kesadaran akan tujuan kolonial ini diperkuat oleh
masalah-masalah yang timbul pada dasa warsa terakhir abad ke-19,
yaitu masalah keuangan
bersama antara Indonesia dan Belanda,
masalah kemiskinan rakyat yang berlawanan dengan kemajuan industri
perkebunan.
Politik
baru
yang
kemudian
diperjuangkan
terutama
bertujuan untuk mengadakan desentralisasi rakyat yang kemudian politik
ini dengan nama politik etis.
B. Pemerintah Jepang
Masa pendudukan Jepang merupakan periode yang penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia ditujukan
untuk mewujudkan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya. erakan
invasi militer Jepang cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Pada
bulan
Januari-Februari
1942,
Jepang
menduduki
Filipina,
Tarakan
(Kalimantan Timur), Balikpapan, Pontianak, dan Samarinda. Pada bulan
Februari 1942 Jepang berhasil menguasai Palembang. Pada tanggal 1
Maret 1942 Jepang berhasil mendarat di Jawa yaitu Teluk Banten, di
Eretan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Timur). Pada tanggal 5 Maret
1942 kota Batavia jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8
Maret 1942 Belanda secara resmi menyerah kepada Jepang.
Politik
eksploitasi
imperialisme
sumber
daya
Jepang
di
Indonesia
berorientasi
alam
dan
manusia.
Jepang
pada
melakukan
eksploitasi sampai tingkat pedesaan. Dengan berbagai cara, Jepang
menguras kekayaan alam dan tenaga rakyat melalui janji-janji maupun
kekerasan.
Pada masa awal pendudukan, Jepang menyebarkan propaganda
yang menarik. Sikap Jepang pada awalnya menunjukkan kelunakan,
misalnya:
mengizinkan bendera Merah Putih dikibarkan di samping bendera
Jepang;
melarang penggunaan bahasa Belanda;
mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia
dalam
kehidupan
sehari-hari; dan
mengizinkan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Kebijakan Jepang yang lunak ternyata tidak berjalan lama. Jenderal
Imamura mengubah semua kebijakannya. Kegiatan politik dilarang dan
semua organisasi politik yang ada dibubarkan. Sebagai gantinya Jepang
membentuk organisasi-organisasi baru. Tentunya untuk kepentingan
Jepang itu sendiri. Organisasi-organisasi yang didirikan Jepang antara lain
Gerakan Tiga A, Putera, dan Jawa Hokokai.
Gerakan Tiga A
Gerakan Tiga A dibentuk pada bulan Maret 1942 dan diketuai oleh
Mr. Syamsuddin. Gerakan Tiga A terdiri dari Nippon Cahaya Asia, Nippon
Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Tujuan gerakan ini adalah
untuk
menghimpun
potensi
bangsa
guna
kemakmuran
bersama.
Ternyata Gerakan Tiga A tidak berumur lama karena dirasa kurang efektif
oleh Jepang sehingga dibubarkan, sebagai gantinya dibentuk Putera
(Pusat Tenaga Rakyat).
Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Pada tanggal 1 Maret 1943 Jepang membentuk Putera. Gerakan ini
dipimpin oleh tokoh empat serangkai yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta,
Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur.
Bagi para pemimpin Indonesia, Putera bertujuan untuk membangun
dan menghidupkan segala apa yang dirobohkan oleh imperialis Belanda.
Sedangkan bagi Jepang, Putera bertujuan untuk memusatkan segala
potensi
masyarakat
Indonesia
dalam
rangka
membantu
usaha
perangnya. Putera lebih bermanfaat bagi bangsa Indonesia daripada bagi
Jepang.
Putera
lebih
mengarahkan
perhatian
rakyat
kepada
kemerdekaan daripada kepada usaha perang pihak Jepang. Oleh karena
itu kemudian Jepang membentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian
Jawa).
Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa)
Pada bulan Maret 1944 pemerintah Jepang membentuk Jawa
Hokokai. Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah
sehingga pucuk kepemimpinan langsung dipegang oleh Gunseikan.
Himpunan
ini
mempunyai
tiga
dasar
yaitu
mengorbankan
diri,
mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bukti.
Jawa Hokokai mempunyai tugas antara lain mengerahkan rakyat untuk
mengumpulkan padi, besi tua, pajak, dan menanam jarak sebagai bahan
baku
pelumas
untuk
Jepang.
Pada
tanggal
5
September
1943
membentuk Cuo Sangi In (Badan Pertimbangan) atas anjuran Perdana
Menteri Hideki Tojo. Ketua Cuo Sangi In dipegang oleh Ir. Soekarno. Tugas
badan ini adalah mengajukan usul kepada pemerintah serta menjawab
pertanyaan pemerintah mengenai tindakan yang perlu dilakukan oleh
pemerintah militer.
3. PERGERAKAN POLITIK PRA KEMERDEKAAN
Politik
etis
yang
dijalankan
oleh
Belanda
telah
memungkinkan
masuknnya ide-ide Barat ke Indonesia yang membawa pembaharuanpembaharuan di segala bidang, terutama di dalam agama Islam.
Disamping itu faktor luar negeri antara lain memasukan gagasan
nasionalisme modernisasi di beberapa negara Asia. Karena pengaruh
gagasan-gagasan modern tersebut, anggota elite nasional menyadari
bahwa perjuangan untuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan
dengan menggunakan organisasi
modern, baik dalam pendidikan,
perjuangan politik, maupun perjuangan sosial budaya yang dilakukan
secara organisasi.
Berdasarkan pandangan yang demikian, beberapa pemimpin dalam
masyrakat
mulai
menggerakan
pemuda-pemuda,
khususnya
kaum
terpelajar untuk mengorganisasikan diri baik di bidang politik, ekonomi,
maupun sosial budaya.
Pada tahun 1906-1907 dr. Wahidin Soedirohoesoedo, mengadakan
suatu kampanye ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Beliau menggugah
pikiran kaum elit untuk mencari jalan untuk usaha meningkatkan derajat
bangsa Indonesia yang nampaknya hanya dapat dilakukan dengan
memperluas
pengajaran.
Bertemunya
dr.
Wahidin
dengan
pemuda
STOVIA, Jakarta pada akhir tahun 1907, ternyata keduanya mempunyai
gagasan yang sama. Pertemuan tersebut mendorong hasrat untuk
melaksanakan cita-cita yang sesungguhnya sudah mulai bersemi dalam
pikiran pelajar STOVIA.
Pada masa awal pergerakan nasional yang ditandai dengan berdirinya
Budi Utomo pada tahun 1908.
8
Menurut sejawaran yang ada di Indonesia
maupun luar negeri, Budi Utomo merupakan mercusuar bagi pergerakan
nasional Indonesia. Walaupun akhir-akhir ini mulai muncul penafsiran
baru. Tafsir baru itu antara lain menyatakan bahwa pergerakan nasional
sudah ada dan dimulai sejak Sarekat Islam, yang faktanya lebih dulu ada
dan bersifat massa bila dibandingkan dengan Budi Utomo yang hanya
bergerak di kalangan bangsawan Jawa. Namun, dengan alasan bahwa
organisasi modern sudah dimiliki oleh Budi Utomo lantas argument
tersebut menjadi kesepakatan sebagai titik pergerakan nasional di
Indonesia, tetapi yang utama nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari
peran yang dimainkan oleh kaum intelektual.9
Perbedaan tafsir boleh saja dalam sejarah, karena sejarah akan
menjadi menarik, dengan demikian dialog antara sejarawan dan sejarah
akan terus menarik untuk dikaji dan diikuti. Demikian halnya dengan
melihat sejarah terutama peran pemuda akan menarik, karena di mana
ada gerakan perubahan, maka dapat dipastikan ada unsur pemuda di
dalamnya.
Tanpa
pretensi
untuk
mengecilkan
peran
dari
kelompokkelompok lain dalam masyarakat yang juga turut serta di dalam
gerakan perubahan. Perhimpuanan Indonesia bergerak dalam menuntut
perubahan walaupun mereka sedang belajar dan berada di Belanda. 10
8
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
2005. hal.249-251.
9
J.D. Legge (terj). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok
Syahrir. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti. 1993. hal.23-67.
10
Akira Nagazumi (peny). Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang (Perubahan SosialEkonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta. Yayasan
Obor Indonesia. 1986. hal.133-157.
Kecintaan mereka terhadap tanah air yang membuat mereka terus
bergerak.
Di kalangan pemuda terdapat gerakan Tri Koro Darmo, Jong Java, Jong
Celebes Bond, Jong Sumatra Bond, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia,
dan Indonesia
Muda. Pada tanggal 30 April 1926 mereka mengadakan
Konggres Pemuda I di Jakarta. Dalam konggres dihasilkan keputusan untuk
mengadakan Konggres Pemuda Indonesia II, dan semua perkumpulan
pemuda agar bersatu dalam satu organisasi pemuda Indonesia. Kemudian
Konggres Pemuda II diadakan tanggal 27-28 Oktober 1928, disepakati tiga
keputasan pokok yaitu11: 1) Dibentuknya suatu badan fusi untuk semua
organisasi pemuda. 2) Menentapkan ikrar pemuda Indonesia bahwa
mereka: a) Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. b)
Mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. c) Menjunjung bahasa yang
satu, bahasa Indonesia.
3) Asas ini wajib dipakai oleh semua
perkumpulan di Indonesia. Hasil ini menjadi pondasi bagi persatuan
Indonesia. Lagu yang berjudul Indonesia Raya karangan Wage Rudolf
Supratman
yang
dikumandangkan
membangkitkan
semangat
para
pesertanya. Dan Sumpah Pemuda tiada lain adalah ungkapan sejarah
manusia Indonesia.12
Berdasar pada sejarah, pemuda merupakan unsur yang menarik dan
esensial dalam suatu gerakan perubahan, maka menarik untuk dikaji.
Karena di dalam jiwa pemuda terdapat kerelaan berkorban demi cita-cita.
Di dalam pemuda terdapat api idealisme yang tidak menuntut balasan,
baik berupa uang atau kedudukan. Di dalam pemuda terdapat semangat
yang
selalu
membara.
Bersama
pemuda
kita
menentang
segala
kekuasaan yang tiran. Bersama pemuda, kapal yang bernama Indonesia
akan ditentukan maju, diam atau tenggelam.
4. PERGERAKAN POLITIK PASCA KEMERDEKAAN
11
R.Z. Leirissa dkk. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda. Jakarta. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. hal. 26.
12
Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta. Bunga Rampai Sumpah Pemuda. Jakarta.
Balai Pustaka. 1979. hal.9
Maklumat Politik 3 November 1945, yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta,
hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia yang bertujuan
mengakomodasi suara rakyat yang majemuk. Akibatnya, munculah partaipartai politik dengan berbagai ideologi. Partai-partai politik tersebut
mempunyai
antaranya
arah
dan
adalah
metode
partai
pergerakan
politik
yang
berhaluan
berbeda-beda.
nasionalis,
yaitu
Di
PNI
penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan
Gabungan Republik Indonesia yang berdiri pada 29 Januari 1946, dipimpin
oleh Sidik Djojosukaro. Kemunculan partai-partai berhaluan sosialiskomunis pada awalnya merupakan bentuk pertumbuhan demokrasi di
Indonesia. Namun, seiring perkembangannya, partai ini menerapkan cara
revolusioner yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.
Dilatarbelakangi oleh berbagai situasi negara yang genting, seperti
keadaan Jakarta di awal 1946, yang sangat rawan oleh teror dan
intimidasi pihak asing , mengharuskan para petinggi bangsa untuk
memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 untuk
sementara waktu.
Pada dasarnya, posisi wewenang KNIP dikukuhkan melalui Maklumat X,
16 Oktober 1945, yang memberikan kuasa legislatif terhadap badan
tersebut. Dengan maklumat itu, KNIP yang dibentuk pada 22 Agustus
1945,
berposisi
seperti
layaknya
Dewan
Perwakilan
Rakyat
untuk
sementara waktu sebelum dilaksanakannya pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya. Tugas
Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah membantu dan menjadi
pengawas kinerja presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
KNIP mempunyai kuasa untuk memberikan usulan kebijakan kepada
presiden dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Sementara itu, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) bertugas
untuk membantu dan mengawasi jalannya kinerja pemerintahan di
tataran lebih rendah daripada presiden, seperti gubernur dan bupati.
Terdapatnya keragaman ideologi yang terbagi ke dalam golongan
nasionalis, agama, dan sosialis-komunis pada era awal kemerdekaan
ternyata
mengandung
implikasi
yang
signifikan
terhadap
struktur
kepemimpinan negara. Perubahan otoritas KNIP dan munculnya berbagai
partai politik di Indonesia menjadi dua katalisator utama terhadap
perubahan struktur kekuasaan pemerintahan. Naiknya Sutan Syahrir
sebagai Perdana Menteri Indonesia juga memiliki andil dalam perubahan
itu.
Lembaga Kepresidenan sendiri telah dibentuk pada 2 September 1945,
pada kesempatan itu, Presiden Soekarno membentuk susunan kabinet
sebagai pelaksana eksekutif dari lembaga kepresidenan Indonesia. Hal itu
merupakan manifestasi dari penguatan lembaga kepresidenan untuk
dapat melaksanakan tugas negara dengan optimal.
Susunan kabinet yang dibentuk pada 2 September 1945, pada
dasarnya, mencerminkan komposisi yang mewakili keragaman ideologi di
Indonesia. Meskipun partai-partai politik baru bermunculan, setelah
dikeluarkannya Maklumat 3 November 1945, kondisi keragaman ideologi
ini telah berperan besar dalam susunan lembaga kepresidenan negara.
5. PERGERAKAN POLITIK ORDE LAMA
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit
Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan
resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No.
69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah
satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin.
Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959
dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab
menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau
“tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui
dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme,
yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai
paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan
masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan
norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik
yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula
kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun
secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul
penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin”
dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai
“excessive”
“Experiment”
tersebut
(berlebihan)
baik
ternyata
dalam
menimbulkan
bentuk
“Ultra
keadaan
Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 19501959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur)
dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde
democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan
multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas,
keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII
yang
berhaluan
theokratisme
Islam
fundamental
(1952-1962)
dan
kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU,
Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke
sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan
terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
a) Gerakan separatis pada tahun 1957;
b) Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi
Islam,
sehingga
terjadi
kemacetan
total
di
bidang
Dewan
Konstituante pada tahun 1959.
Oleh
karena
konflik
antara
Pancasila
dengan
theokratis
Islam
fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila
17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog
Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro
memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata
Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan
oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak
dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang
berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog
dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan
pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar
dengan biaya tinggi.
6. PERGERAKAN POLITIK ORDE BARU
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde
Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk
menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal
Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan
negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian
dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu
diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara
penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung
pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut
adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya
tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai
terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke
pulau Buru.
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas
nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional
terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus
nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
a) Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus
utama;
b) Konsensus
kedua
adalah
konsensus
mengenai
cara-cara
melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir
sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan
partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan
konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi
massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No.
XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang
mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai
politik
dan
keikutsertaan
TNI/Polri
dalam
keanggotaan
MPR/DPR.
Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru
dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang
memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai
besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah
orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis
massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan
kembali
partainya
yang
telah
dibekukan
pemerintah
Orde
Lama,
pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama
tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus
mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga
tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi
peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar)
menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari
berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian
pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan
kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam
front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang
dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti
SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “ rezim
orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai
yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik
selalu
menjadi
sumber
yang
mengganggu
stabilitas,
gagasan
ini
menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau
mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam
golongan nasional, spiritual dan karya.
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah
dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui
Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem
fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde
baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
7. PERGERAKAN POLITIK REFORMASI
Setelah masa orde baru berakhir, munculah masa sesudah orde baru
yaitu
Orde
reformasi.
Yang
ingin
dilalukannya
adalah
melakukan
perubahan-perubahan politik sehingga sistem politik Indonesia menjadi
lebih Demokratis. Praktik-praktik yang tidak demokratis dihilangkan
dengan
melakukan
perubahan-perubahan
terhadap
peraturan
perundangan-undangan.
Undang-Undang Politik baru dan bersifat lebih demokrasi dikeluarkan
pada awal 1999 dan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang
lebih demokratis dikeluarkan pada pertengahan tahun yang sama,
Undang-Undang Politik baru menghasilkan PEMILU 1999 yang dianggap
sebagai pemilu yang demokratis yang mendapat pujian dari dunia
Internasional.
Dalam jabatannya sebagai Presiden, Presiden tidak bias diberhentikan
oleh DPR karena masalah-masalah Politik. Sebagaimana yang dijelaskan
dari Hasil Amandemen UUD 1945 yang menegaskan bahwa Presiden
didalam sistem presidensial yang demokrasi. Ia tidak bias diberhentikan
oleh DPR karena masalah-masalah politik, sebaliknya, presiden tidak
dapat membubarkan DPR dengan alasan permasalahan politik.
PENUTUP
Sejarah telah membuktikan bahwa pemuda telah berbuat, namun
tantangan terus datang, dari dalam dan luar negeri. Pemuda harus belajar
dari sejarah agar memiliki jati diri dan memiliki dasar yang kuat, dan agar
mengetahui dari mana perubahan harus diusahakan. Setelah itu, sebagai
lokomotif perubahan pemuda siap bergerak.
Mengambil momentum peringatan hari Sumpah Pemuda yang ke-82,
sudah saatnya pemuda menunjukkan perannya kembali, bukan sebagai
motor yang menggulingkan rezim diktator. Tetapi sebagai lokomotif dalam
perubahan sosial yang menjadikan Indonesia maju, sejahtera dan
berkeadilan. Pemuda harus bersifat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Arbi Sanit. 1981. Sistim Politik Indonesia. Jakarta: Penerbit CV Rajawali.
Baskara T. Wardaya (ed). 2001. Menuju Demokrasi. Politik Indonesia dalam
Perspektif Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Cribb, Robert (ed). 1991. The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from
Java and Bali. Asutralia: Center of Southeast Asian Studies.
Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jilid 12. 1990.
Jakarta: PT Cipta
Adipustaka.
Soe Hok Gie. 2005. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Hering, Bob. 2002. Soekarno: Founding Father of Indonesia (1901-1945).
Leiden: KITLV.
Kahin, George McTurnan. 1995. (terj). Refleksi Pergumulan Lahirnya
Republik. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: UNS Press dan
Pustaka Sinar Harapan.
------------. 1993. (terj). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan:
Peranan Kelompok Syahrir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Leirissa, R.Z. dkk. 1989. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mangun Wijaya, Y.B. 1998. Menuju Republik Indonesia Serikat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Maxwell, John. 2005. Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan
Tirani. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Nagazumi, Akira (peny). 1986. Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang
(Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek
Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian (peny). 2002. Bung Karno dan
Pancasila. Menuju Revolusi Nasional.Yogyakarta: Galang Press.
Ricklefs, M.C. 2005.Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sartono Kartodirdjo. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: PT
Gramedia.
Sukarno. 1951. Indonesia Menggugat (Pembelaan Bung Karno di Muka
Hakim Kolonial). Jakarta: S.K. Seno.
Sularto, St. 2001. Dialog dengan Sejarah. Soekarno Seratus Tahun.
Jakarta: Kompas.
Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta. 1979. Bunga Rampai Sumpah
Pemuda. Jakarta: Balai Pustaka.
INDONESIA
PENDAHULUAN
Secara konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam
pembangunan politik adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu
menanggapi setiap perubahan yang ada dalam masyarakat, sebab
suprastruktur dan infrastruktur politik yang ada memang efektif dan
berfungsi secara optimal, yang kesemuanya didukung oleh warga negara
yang dinamis dan berada dalam naungan persamaan hukum dan
perundang-undangan.
Pencapaian hal-hal tersebut biasanya selalu akan menimbulkan
permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri) bangsa, legitimasi
kekuasaan,
partisipasi
anggota
masyarakat,
serta
menyangkut
pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang
menjangkau keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil
mengatasi suatu permasalahan tersebut maka berarti kita “maju” di
dalam melakukan pembangunan politik di dalam mengembangkan sistem
demokrasi.
Sejak awal Indonesia berdiri, kehidupan politik dan hukum diwarnai
begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar bingarnya demokrasi, tetapi
justru secara mencolok dapat dikatakan oleh sentralisasi kekuasaan pada
satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah memberi peluang
yang cukup besar kepada hukum.
PEMBAHASAN
1. TEORI PERUBAHAN POLITIK
Teori-teori baru mengenai perubahan politik dapat dibedakan dari
pendekatan-pendekatan dahulu berdasarkan beberapa ciri. Pertama,
perubahan politik yang terjadi pada setiap taraf pembangunan. Kedua,
kerangka-kerangka tersebut tidak banyak berkaitan dengan proses
modernisasi. Ketiga, variabel yang berhubungan dengan teori sebagian
besar bersifat politik. Keempat, kerangka-kerangka itu cukup flexibel
untuk menampung perubahan-perubahan politik baik dari lingkungan
dalam negeri ataupun lingkungan luar negeri. Kelima, pada umumnya
teori-teori itu lebih kompleks daripada teori-teori modernisasi politik dan
pembangunan politik1.
Huntington dalam bukunya yang berjudul Political Order in Changing
Societies yang terbit pada tahun 1968 menjelaskan bahwa fokus utama
perubahan
politik
adalah
hubungan
antara
partisipasi
politik
dan
pelembagaan politik. Hubungan diantara kedua unsur tersebutlah yang
mempengaruhi stabilitas sistem politik 2. Hal ini disebabkan karena kadar
dari sebuah partisipasi politik yang diberikan oleh suatu masyarakat
berkaitan erat terhadap legitimasi yang diperoleh lembaga-lembaga
politiknya. Apabila partisipasi yang dimaksud dalam bentuk dukungan,
maka hal itu menunjukan bahwa kelembagaan politik tersebut memiliki
tingkat kepercayaan yang baik. Begitu juga sebaliknya, jika partisipasi
politik tersebut dalam bentuk kritikan, maka kelembagaan politik tersebut
tidak mendapat respon yang baik dalam masyarakat.
1
Sammuel P. Huntington. Perubahan ke Arah Perubahan: Modernisasi Pembangunan dan
Politik dalam Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1991. Hal. 109.
2
Sammuel P. Huntington. Political Order in Changing Societies. Yale University Press,
1968. Hal. 35.
Analisa mengenai perubahan politik pertama-tama dapat diarahkan
pada perubahan-perubahan sederhana mengenai kekuasaan dan unsurunsur dari sebuah sistem politik. Hal tersebut dapat meliputi perubahan
mengenai gaya pemerintahan yang dipakai, sistem pemerintahan yang
diterapkan
dan
segala
bentuk
lembaga-lembaga
politik
yang
tersinkronisasi dalam sebuah sistem politik. Namun, fokus dari perubahan
politik bukanlah semata-mata terfokus pada perubahan kekuasaan.
Melainkan yang lebih penting adalah permasaalahan hubungan yang
ditimbulkan antara perubahan perubahan kekuasaaan masing-masing
komponen dan unsur dengan perubahan dalam isinya.
Perubahan politik dapat di klasifikasikan berdasarkan dua tingkatan.
Pertama, Laju ruang lingkup dan arah perubahan sebuah komponen dapat
dibandingkan dengan laju dan ruang lingkup komponen lainnya. Sebuah
bentuk
perbandingan
yang
demikian
dapat
menjelaskan
pola-pola
stabilitas dan kegoncangan dalam sistem poltiik. Sehingga jangkauan
sebuah
komponen
berhubungan
dengan
perubahan
atau
tiadanya
perubahan pada komponen lainnya. Misalnya kultur dan suatu sistem
politik
mungkin
dibandingkan
bisa
dipandang
kelompok,
sebagai
pemimpin
dan
hal
yang
lebih
penting
kebijakan-kebijakan
yang
dihasilkan.
Tingkatan kedua dari analisa perubahan politik adalah perubahan
kekuasaan dari suatu unsur dalam sebuah komponen pada suatu sistem
dapat dibandingkan denngan unsur-unsur lain dari komponen yang sama.
Hal ini dapat meliputi analisa mengenai bangkit redupnya ideologi dan
kepercayaan, lembaga dan kelompok, pemimpin dan kebijaksanaan serta
unsur-unsur
yang
terdapat
dalam
komponen
tersebut
yang
telah
mengalami perubahan. Hal ini berarti menyangkut kajian sebuah unsurunsur tersebut yang bersifat dinamis sehingga harus terus dipantau
perubahan-perubahannya3.
Perubahan politik merupakan salah satu varian dari gejala perubahan
sosial. Perubahan politik senantiasa akan membawa suatu perubahan
3
Hoogerwerf. Politikologi, Jakarta: Erlangga. 1985. Hal. 257
pada sebuah sistem sosial dalam sebuah kelompok masyarakat atau
negara. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kingsley Davis menjelaskan
perubahan sosial merupakan perubahan perubahan yang terjadi dalam
struktur
dan
fungsi
masyarakat.
Karena
perubahan
tersebut
bersinggungan dengan fungsi masyarakat, Davis mengemukakan bahwa
perubahan tersebut dapat menyebabkan perubahan dalam organisasi
ekonomi maupun politik. Pengertian lain mengenai perubahan sosial
dikemukakan oleh Mac Iver yang mendefenisikan perubahan perubahan
sosial sebagai hubungan dalam perubahan sosial [social relations] atau
perubahan terhadap keseimbangan [equilibrium] dalam hubungan sosial.4
Hubungan sosial yang dimaksud merupakan hubungan antar individu
ataupun kelompok dalam kehidupan bernegara. Johnson mengatakan
perubahan sosial ditandai oleh empat hal penting, yaitu5:
a) Hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi sosial yang
mapan terutama lembaga-lembaga ekonomi dan politik;
b) Otoritas yang terdapat dalam institusi-institusi sosial
utama
dipertanyakan;
c) Menurunnya etika tradisional;
d) Penolakan secara luasterhadap teknokrasi dan berbagai segi
organisasi birokrasi.
Jika dikaitkan dengan keberadaan perubahan politik yang terjadi di
Indonesia yang dipengaruhi oleh keberadaan komunisme, maka apa yang
dijelaskan oleh Johnson tersebut mengarah kepada bagaimana institusiinstitusi sosial yang berhaluan komunis tidak lagi mendapat kepercayaan
dari masyarakat dan justru mendapat kecaman keras dari masyarakat itu
sendiri. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi
yang
berideologi
komunis
tersebut
dapat
menyebabkan
terjadinya
perubahan sosial di Indonesia. Menurut Mooris Ginsberg [1984] sebabsebab terjadinya perubahan sosial adalah sebagai berikut:
a) Keinginan
individu
dalam
masyarakat
untuk
secara
sadar
mengadakan perubahan;
4
Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta :
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 1974. Hal.23.
5
NgPhilipus & Nurul Aini. Sosiologi dan Politik, Jakarta: Rajawali Pers.2009. Hal. 57.
b) Sikap pribadi yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang berubah;
c) Perubahan-perubahan struktural dalam bidang sosial, ekonomi, dan
politik;
d) Pengaruh eksternal;
e) Meunculnya pribadi-pribadi dan kelompok yang menonjol dalam
masyarakat;
f) Munculnya peristiwa-peristiwa tertentu, seperti: kekalahan perang
ataupun kekalahan sebuah kekuatan politik terhadap kekuatan politik
yang lainnya;
g) Tercapainya konsensus dalam masyarakat untuk meraih suatu tujuan
bersama.
Perubahan sosial juga ada yang sifatnya dikehendaki [intended
change] atau perubahan yang direncanakan [planed change] dan
perubahan yang tidak dikehendaki [unintended change] atau perubahan
yang
tidak
direncanakan
[unplanned
change].
Perubahan
6
yang
dikehendaki merupakan perubahan yang sebelumnya telah direncanakan
dengan baik dan yang menjadi kemauan dari masyarakat. Perubahan
yang tidak dikehendaki merupakan perubahan yang terjadi secara
spontan dan tidak ada rencana sebelumnya untuk melakukan sebuah
perubahan. Dengan kata lain masyarakat sebelumnya tidak menyadari
bahwa akan terjadi sebuah perubahan dalam kehidupan mereka.
Perubahan politik merupakan salah satu bentuk dari sebuah perubahan
sosial. Biasanya sebuah gejala perubahan sosial akan menjadi sebuah
faktor bagi terjadinya sebuah perubahan politik. Jadi pembahasan
mengenai perubahan sosial sangat dibutukan dalam menganalisa sebuah
prubahan politik.
7
Hal ini diperlukan untuk melihat gejala-gejala sosial
seperti apa yang mempengaruhi sebuah perubahan sosial yang kemudian
menjadi faktor bagi terjadinya sebuah perubahan politik.
2. PERGERAKAN POLITIK KOLONIAL
A. Pemerintah Belanda
6
Ibid, Hal. 60.
Charles F. Andrian. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana.
1992. Hal.34.
7
Menjelang akhir abad ke-19, masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat
kolonial
yang
serba
terbelakang.
Penjajahan
serta
penindasan mengakibatkan kemunduran dalam segala bidang, baik di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan.
Dalam bidang politik, dilihat dari Pemerintahan. Semua jabatanjabatan penting berada di tangan bangsa asing, sedangkan bangsa
Indonesia hanya menduduki jabatan-jabatan rendah, selain itu pihak
penjajah
selalu
menanamkan
benih-benih
perpecahan
dengan
menjalankan politik devide et impera.
Dalam
bidang
ekonomi,
keadaan
bangsa
Indonesia
sangat
menderita karena rendahnya pendapatan yang diperoleh oleh rakyat
Indonesia, dengan bekerja sebagai buruh upah pada perkebunanperkebunan milik swasta. Rakyat dipaksa untuk meningkatkan produksi,
sedangkan dalam lingkungan ekonomi tradisional, masyarakat Indonesia
hanya mengenal perusahaan rumah atau kerajinan tangan sehingga
tidak ada keterampilan yang berkembang.
Dalam bidang budaya, kaum penjajah berhasil memasukkan nilainilai budaya asing, sehingga mengakibatkan merosotnya beberapa
budaya Indonesia dan hampir kehilangan kepribadiannya.
Dalam bidang pendidikan, pihak penjajah tidak memperhatikan
kepentingan Pendidikan bagi bangsa Indonesia, sehingga pada umumnya
rakyat Indonesia tidak pandai membaca dan menulis. Sedangkan
kesempatan pendidikan hanya diberikan kepada anak-anak kaum
bangsawan, pegawai negeri, anak-anak yang berstatus sosial tinggi.
Kesemuanya merupakan akibat langsung dari politik
kolonial
Belanda. Indonesia dijadikan objek eksploitasi untuk diambil keuntungan
sebesar-besarnya bagi penjajah, sistem tanam paksa berkembang
sebagai
suatu
usaha
berskala
tinggi
dengan
mengidentifikasikan
Pemerintah sebagai pengusaha dengan Nederlandsche Handels Schappij
sebagai
agen
tunggal,
dimana
perusahaan negara yang besar.
Pulau
Jawa
merupakan
sebuah
Program dari berbagai golongan politik semuanya dan secara
serentak menitikberatkan tanggung jawab moril dalam melaksanakan
politik kolonial. Kesadaran akan tujuan kolonial ini diperkuat oleh
masalah-masalah yang timbul pada dasa warsa terakhir abad ke-19,
yaitu masalah keuangan
bersama antara Indonesia dan Belanda,
masalah kemiskinan rakyat yang berlawanan dengan kemajuan industri
perkebunan.
Politik
baru
yang
kemudian
diperjuangkan
terutama
bertujuan untuk mengadakan desentralisasi rakyat yang kemudian politik
ini dengan nama politik etis.
B. Pemerintah Jepang
Masa pendudukan Jepang merupakan periode yang penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia ditujukan
untuk mewujudkan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya. erakan
invasi militer Jepang cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Pada
bulan
Januari-Februari
1942,
Jepang
menduduki
Filipina,
Tarakan
(Kalimantan Timur), Balikpapan, Pontianak, dan Samarinda. Pada bulan
Februari 1942 Jepang berhasil menguasai Palembang. Pada tanggal 1
Maret 1942 Jepang berhasil mendarat di Jawa yaitu Teluk Banten, di
Eretan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Timur). Pada tanggal 5 Maret
1942 kota Batavia jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8
Maret 1942 Belanda secara resmi menyerah kepada Jepang.
Politik
eksploitasi
imperialisme
sumber
daya
Jepang
di
Indonesia
berorientasi
alam
dan
manusia.
Jepang
pada
melakukan
eksploitasi sampai tingkat pedesaan. Dengan berbagai cara, Jepang
menguras kekayaan alam dan tenaga rakyat melalui janji-janji maupun
kekerasan.
Pada masa awal pendudukan, Jepang menyebarkan propaganda
yang menarik. Sikap Jepang pada awalnya menunjukkan kelunakan,
misalnya:
mengizinkan bendera Merah Putih dikibarkan di samping bendera
Jepang;
melarang penggunaan bahasa Belanda;
mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia
dalam
kehidupan
sehari-hari; dan
mengizinkan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Kebijakan Jepang yang lunak ternyata tidak berjalan lama. Jenderal
Imamura mengubah semua kebijakannya. Kegiatan politik dilarang dan
semua organisasi politik yang ada dibubarkan. Sebagai gantinya Jepang
membentuk organisasi-organisasi baru. Tentunya untuk kepentingan
Jepang itu sendiri. Organisasi-organisasi yang didirikan Jepang antara lain
Gerakan Tiga A, Putera, dan Jawa Hokokai.
Gerakan Tiga A
Gerakan Tiga A dibentuk pada bulan Maret 1942 dan diketuai oleh
Mr. Syamsuddin. Gerakan Tiga A terdiri dari Nippon Cahaya Asia, Nippon
Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Tujuan gerakan ini adalah
untuk
menghimpun
potensi
bangsa
guna
kemakmuran
bersama.
Ternyata Gerakan Tiga A tidak berumur lama karena dirasa kurang efektif
oleh Jepang sehingga dibubarkan, sebagai gantinya dibentuk Putera
(Pusat Tenaga Rakyat).
Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Pada tanggal 1 Maret 1943 Jepang membentuk Putera. Gerakan ini
dipimpin oleh tokoh empat serangkai yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta,
Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur.
Bagi para pemimpin Indonesia, Putera bertujuan untuk membangun
dan menghidupkan segala apa yang dirobohkan oleh imperialis Belanda.
Sedangkan bagi Jepang, Putera bertujuan untuk memusatkan segala
potensi
masyarakat
Indonesia
dalam
rangka
membantu
usaha
perangnya. Putera lebih bermanfaat bagi bangsa Indonesia daripada bagi
Jepang.
Putera
lebih
mengarahkan
perhatian
rakyat
kepada
kemerdekaan daripada kepada usaha perang pihak Jepang. Oleh karena
itu kemudian Jepang membentuk Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian
Jawa).
Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa)
Pada bulan Maret 1944 pemerintah Jepang membentuk Jawa
Hokokai. Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah
sehingga pucuk kepemimpinan langsung dipegang oleh Gunseikan.
Himpunan
ini
mempunyai
tiga
dasar
yaitu
mengorbankan
diri,
mempertebal persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bukti.
Jawa Hokokai mempunyai tugas antara lain mengerahkan rakyat untuk
mengumpulkan padi, besi tua, pajak, dan menanam jarak sebagai bahan
baku
pelumas
untuk
Jepang.
Pada
tanggal
5
September
1943
membentuk Cuo Sangi In (Badan Pertimbangan) atas anjuran Perdana
Menteri Hideki Tojo. Ketua Cuo Sangi In dipegang oleh Ir. Soekarno. Tugas
badan ini adalah mengajukan usul kepada pemerintah serta menjawab
pertanyaan pemerintah mengenai tindakan yang perlu dilakukan oleh
pemerintah militer.
3. PERGERAKAN POLITIK PRA KEMERDEKAAN
Politik
etis
yang
dijalankan
oleh
Belanda
telah
memungkinkan
masuknnya ide-ide Barat ke Indonesia yang membawa pembaharuanpembaharuan di segala bidang, terutama di dalam agama Islam.
Disamping itu faktor luar negeri antara lain memasukan gagasan
nasionalisme modernisasi di beberapa negara Asia. Karena pengaruh
gagasan-gagasan modern tersebut, anggota elite nasional menyadari
bahwa perjuangan untuk memajukan bangsa Indonesia harus dilakukan
dengan menggunakan organisasi
modern, baik dalam pendidikan,
perjuangan politik, maupun perjuangan sosial budaya yang dilakukan
secara organisasi.
Berdasarkan pandangan yang demikian, beberapa pemimpin dalam
masyrakat
mulai
menggerakan
pemuda-pemuda,
khususnya
kaum
terpelajar untuk mengorganisasikan diri baik di bidang politik, ekonomi,
maupun sosial budaya.
Pada tahun 1906-1907 dr. Wahidin Soedirohoesoedo, mengadakan
suatu kampanye ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Beliau menggugah
pikiran kaum elit untuk mencari jalan untuk usaha meningkatkan derajat
bangsa Indonesia yang nampaknya hanya dapat dilakukan dengan
memperluas
pengajaran.
Bertemunya
dr.
Wahidin
dengan
pemuda
STOVIA, Jakarta pada akhir tahun 1907, ternyata keduanya mempunyai
gagasan yang sama. Pertemuan tersebut mendorong hasrat untuk
melaksanakan cita-cita yang sesungguhnya sudah mulai bersemi dalam
pikiran pelajar STOVIA.
Pada masa awal pergerakan nasional yang ditandai dengan berdirinya
Budi Utomo pada tahun 1908.
8
Menurut sejawaran yang ada di Indonesia
maupun luar negeri, Budi Utomo merupakan mercusuar bagi pergerakan
nasional Indonesia. Walaupun akhir-akhir ini mulai muncul penafsiran
baru. Tafsir baru itu antara lain menyatakan bahwa pergerakan nasional
sudah ada dan dimulai sejak Sarekat Islam, yang faktanya lebih dulu ada
dan bersifat massa bila dibandingkan dengan Budi Utomo yang hanya
bergerak di kalangan bangsawan Jawa. Namun, dengan alasan bahwa
organisasi modern sudah dimiliki oleh Budi Utomo lantas argument
tersebut menjadi kesepakatan sebagai titik pergerakan nasional di
Indonesia, tetapi yang utama nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari
peran yang dimainkan oleh kaum intelektual.9
Perbedaan tafsir boleh saja dalam sejarah, karena sejarah akan
menjadi menarik, dengan demikian dialog antara sejarawan dan sejarah
akan terus menarik untuk dikaji dan diikuti. Demikian halnya dengan
melihat sejarah terutama peran pemuda akan menarik, karena di mana
ada gerakan perubahan, maka dapat dipastikan ada unsur pemuda di
dalamnya.
Tanpa
pretensi
untuk
mengecilkan
peran
dari
kelompokkelompok lain dalam masyarakat yang juga turut serta di dalam
gerakan perubahan. Perhimpuanan Indonesia bergerak dalam menuntut
perubahan walaupun mereka sedang belajar dan berada di Belanda. 10
8
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
2005. hal.249-251.
9
J.D. Legge (terj). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok
Syahrir. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti. 1993. hal.23-67.
10
Akira Nagazumi (peny). Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang (Perubahan SosialEkonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta. Yayasan
Obor Indonesia. 1986. hal.133-157.
Kecintaan mereka terhadap tanah air yang membuat mereka terus
bergerak.
Di kalangan pemuda terdapat gerakan Tri Koro Darmo, Jong Java, Jong
Celebes Bond, Jong Sumatra Bond, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia,
dan Indonesia
Muda. Pada tanggal 30 April 1926 mereka mengadakan
Konggres Pemuda I di Jakarta. Dalam konggres dihasilkan keputusan untuk
mengadakan Konggres Pemuda Indonesia II, dan semua perkumpulan
pemuda agar bersatu dalam satu organisasi pemuda Indonesia. Kemudian
Konggres Pemuda II diadakan tanggal 27-28 Oktober 1928, disepakati tiga
keputasan pokok yaitu11: 1) Dibentuknya suatu badan fusi untuk semua
organisasi pemuda. 2) Menentapkan ikrar pemuda Indonesia bahwa
mereka: a) Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. b)
Mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. c) Menjunjung bahasa yang
satu, bahasa Indonesia.
3) Asas ini wajib dipakai oleh semua
perkumpulan di Indonesia. Hasil ini menjadi pondasi bagi persatuan
Indonesia. Lagu yang berjudul Indonesia Raya karangan Wage Rudolf
Supratman
yang
dikumandangkan
membangkitkan
semangat
para
pesertanya. Dan Sumpah Pemuda tiada lain adalah ungkapan sejarah
manusia Indonesia.12
Berdasar pada sejarah, pemuda merupakan unsur yang menarik dan
esensial dalam suatu gerakan perubahan, maka menarik untuk dikaji.
Karena di dalam jiwa pemuda terdapat kerelaan berkorban demi cita-cita.
Di dalam pemuda terdapat api idealisme yang tidak menuntut balasan,
baik berupa uang atau kedudukan. Di dalam pemuda terdapat semangat
yang
selalu
membara.
Bersama
pemuda
kita
menentang
segala
kekuasaan yang tiran. Bersama pemuda, kapal yang bernama Indonesia
akan ditentukan maju, diam atau tenggelam.
4. PERGERAKAN POLITIK PASCA KEMERDEKAAN
11
R.Z. Leirissa dkk. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda. Jakarta. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. hal. 26.
12
Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta. Bunga Rampai Sumpah Pemuda. Jakarta.
Balai Pustaka. 1979. hal.9
Maklumat Politik 3 November 1945, yang dikeluarkan oleh Moh. Hatta,
hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia yang bertujuan
mengakomodasi suara rakyat yang majemuk. Akibatnya, munculah partaipartai politik dengan berbagai ideologi. Partai-partai politik tersebut
mempunyai
antaranya
arah
dan
adalah
metode
partai
pergerakan
politik
yang
berhaluan
berbeda-beda.
nasionalis,
yaitu
Di
PNI
penggabungan dari Partai Rakyat Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia, dan
Gabungan Republik Indonesia yang berdiri pada 29 Januari 1946, dipimpin
oleh Sidik Djojosukaro. Kemunculan partai-partai berhaluan sosialiskomunis pada awalnya merupakan bentuk pertumbuhan demokrasi di
Indonesia. Namun, seiring perkembangannya, partai ini menerapkan cara
revolusioner yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.
Dilatarbelakangi oleh berbagai situasi negara yang genting, seperti
keadaan Jakarta di awal 1946, yang sangat rawan oleh teror dan
intimidasi pihak asing , mengharuskan para petinggi bangsa untuk
memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 untuk
sementara waktu.
Pada dasarnya, posisi wewenang KNIP dikukuhkan melalui Maklumat X,
16 Oktober 1945, yang memberikan kuasa legislatif terhadap badan
tersebut. Dengan maklumat itu, KNIP yang dibentuk pada 22 Agustus
1945,
berposisi
seperti
layaknya
Dewan
Perwakilan
Rakyat
untuk
sementara waktu sebelum dilaksanakannya pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sebenarnya. Tugas
Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah membantu dan menjadi
pengawas kinerja presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan.
KNIP mempunyai kuasa untuk memberikan usulan kebijakan kepada
presiden dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Sementara itu, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) bertugas
untuk membantu dan mengawasi jalannya kinerja pemerintahan di
tataran lebih rendah daripada presiden, seperti gubernur dan bupati.
Terdapatnya keragaman ideologi yang terbagi ke dalam golongan
nasionalis, agama, dan sosialis-komunis pada era awal kemerdekaan
ternyata
mengandung
implikasi
yang
signifikan
terhadap
struktur
kepemimpinan negara. Perubahan otoritas KNIP dan munculnya berbagai
partai politik di Indonesia menjadi dua katalisator utama terhadap
perubahan struktur kekuasaan pemerintahan. Naiknya Sutan Syahrir
sebagai Perdana Menteri Indonesia juga memiliki andil dalam perubahan
itu.
Lembaga Kepresidenan sendiri telah dibentuk pada 2 September 1945,
pada kesempatan itu, Presiden Soekarno membentuk susunan kabinet
sebagai pelaksana eksekutif dari lembaga kepresidenan Indonesia. Hal itu
merupakan manifestasi dari penguatan lembaga kepresidenan untuk
dapat melaksanakan tugas negara dengan optimal.
Susunan kabinet yang dibentuk pada 2 September 1945, pada
dasarnya, mencerminkan komposisi yang mewakili keragaman ideologi di
Indonesia. Meskipun partai-partai politik baru bermunculan, setelah
dikeluarkannya Maklumat 3 November 1945, kondisi keragaman ideologi
ini telah berperan besar dalam susunan lembaga kepresidenan negara.
5. PERGERAKAN POLITIK ORDE LAMA
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit
Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan
resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No.
69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah
satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin.
Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959
dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab
menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau
“tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui
dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme,
yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai
paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
cepat berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan
masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan
norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik
yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula
kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun
secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul
penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin”
dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai
“excessive”
“Experiment”
tersebut
(berlebihan)
baik
ternyata
dalam
menimbulkan
bentuk
“Ultra
keadaan
Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 19501959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur)
dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde
democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan
multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas,
keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII
yang
berhaluan
theokratisme
Islam
fundamental
(1952-1962)
dan
kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU,
Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke
sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan
terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
a) Gerakan separatis pada tahun 1957;
b) Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi
Islam,
sehingga
terjadi
kemacetan
total
di
bidang
Dewan
Konstituante pada tahun 1959.
Oleh
karena
konflik
antara
Pancasila
dengan
theokratis
Islam
fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila
17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog
Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro
memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata
Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan
oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak
dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang
berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog
dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan
pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar
dengan biaya tinggi.
6. PERGERAKAN POLITIK ORDE BARU
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde
Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk
menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal
Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan
negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian
dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu
diartikan sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara
penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung
pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut
adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya
tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai
terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke
pulau Buru.
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas
nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional
terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus
nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
a) Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus
utama;
b) Konsensus
kedua
adalah
konsensus
mengenai
cara-cara
melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir
sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan
partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan
konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi
massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No.
XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang
mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai
politik
dan
keikutsertaan
TNI/Polri
dalam
keanggotaan
MPR/DPR.
Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru
dapat melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang
memiliki basis massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai
besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah
orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis
massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan
kembali
partainya
yang
telah
dibekukan
pemerintah
Orde
Lama,
pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama
tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus
mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga
tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi
peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar)
menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari
berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian
pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan
Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan perlindungan
kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka dalam
front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang
dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti
SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “ rezim
orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai
yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik
selalu
menjadi
sumber
yang
mengganggu
stabilitas,
gagasan
ini
menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau
mengekang aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam
golongan nasional, spiritual dan karya.
Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah
dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui
Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem
fusi ini berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde
baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
7. PERGERAKAN POLITIK REFORMASI
Setelah masa orde baru berakhir, munculah masa sesudah orde baru
yaitu
Orde
reformasi.
Yang
ingin
dilalukannya
adalah
melakukan
perubahan-perubahan politik sehingga sistem politik Indonesia menjadi
lebih Demokratis. Praktik-praktik yang tidak demokratis dihilangkan
dengan
melakukan
perubahan-perubahan
terhadap
peraturan
perundangan-undangan.
Undang-Undang Politik baru dan bersifat lebih demokrasi dikeluarkan
pada awal 1999 dan Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah yang
lebih demokratis dikeluarkan pada pertengahan tahun yang sama,
Undang-Undang Politik baru menghasilkan PEMILU 1999 yang dianggap
sebagai pemilu yang demokratis yang mendapat pujian dari dunia
Internasional.
Dalam jabatannya sebagai Presiden, Presiden tidak bias diberhentikan
oleh DPR karena masalah-masalah Politik. Sebagaimana yang dijelaskan
dari Hasil Amandemen UUD 1945 yang menegaskan bahwa Presiden
didalam sistem presidensial yang demokrasi. Ia tidak bias diberhentikan
oleh DPR karena masalah-masalah politik, sebaliknya, presiden tidak
dapat membubarkan DPR dengan alasan permasalahan politik.
PENUTUP
Sejarah telah membuktikan bahwa pemuda telah berbuat, namun
tantangan terus datang, dari dalam dan luar negeri. Pemuda harus belajar
dari sejarah agar memiliki jati diri dan memiliki dasar yang kuat, dan agar
mengetahui dari mana perubahan harus diusahakan. Setelah itu, sebagai
lokomotif perubahan pemuda siap bergerak.
Mengambil momentum peringatan hari Sumpah Pemuda yang ke-82,
sudah saatnya pemuda menunjukkan perannya kembali, bukan sebagai
motor yang menggulingkan rezim diktator. Tetapi sebagai lokomotif dalam
perubahan sosial yang menjadikan Indonesia maju, sejahtera dan
berkeadilan. Pemuda harus bersifat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Arbi Sanit. 1981. Sistim Politik Indonesia. Jakarta: Penerbit CV Rajawali.
Baskara T. Wardaya (ed). 2001. Menuju Demokrasi. Politik Indonesia dalam
Perspektif Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Cribb, Robert (ed). 1991. The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from
Java and Bali. Asutralia: Center of Southeast Asian Studies.
Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jilid 12. 1990.
Jakarta: PT Cipta
Adipustaka.
Soe Hok Gie. 2005. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Hering, Bob. 2002. Soekarno: Founding Father of Indonesia (1901-1945).
Leiden: KITLV.
Kahin, George McTurnan. 1995. (terj). Refleksi Pergumulan Lahirnya
Republik. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: UNS Press dan
Pustaka Sinar Harapan.
------------. 1993. (terj). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan:
Peranan Kelompok Syahrir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Leirissa, R.Z. dkk. 1989. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mangun Wijaya, Y.B. 1998. Menuju Republik Indonesia Serikat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Maxwell, John. 2005. Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan
Tirani. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Nagazumi, Akira (peny). 1986. Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang
(Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek
Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian (peny). 2002. Bung Karno dan
Pancasila. Menuju Revolusi Nasional.Yogyakarta: Galang Press.
Ricklefs, M.C. 2005.Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sartono Kartodirdjo. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta: PT
Gramedia.
Sukarno. 1951. Indonesia Menggugat (Pembelaan Bung Karno di Muka
Hakim Kolonial). Jakarta: S.K. Seno.
Sularto, St. 2001. Dialog dengan Sejarah. Soekarno Seratus Tahun.
Jakarta: Kompas.
Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta. 1979. Bunga Rampai Sumpah
Pemuda. Jakarta: Balai Pustaka.