PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN BAGI NARAPIDANA

PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN BAGI NARAPIDANA ANAK

Oleh: Ratna Purba 1 dan Nurhadi 2

INTISARI

Tulisan ini akan mengkaji pemenuhan hak pendidikan bagi narapidana anak. Topik ini dianggap penting mengingat, selama dalam masa tahanan, narapidana anak tidak dapat mengakses pendidikan di luar lembaga pemasyarakatan (Lapas). Di sisi lain, hak pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang harus dipenuhi. Tulisan ini disusun berdasarkan hasil studi kualitatif yang dilakukan terhadap narapidana anak di Lapas Kelas IIA Samarinda. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan interview terhadap narapidana anak dan petugas Lapas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi pemenuhan hak pendidikan bagi narapidana anak. Variasi tersebut terlihat antara kategori pendidikan formal dan informal maupun antar jenjang pendidikan (Paket A, B dan C). Studi ini juga menemukan bahwa penerimaan anak terhadap program pendidikan yang diselenggarakan Lapas sangat bervariasi. Narapidana anak juga merasa tidak diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi terkait kegiatan yang sesuai bagi mereka. Hadirnya partisipasi anak dalam berbagai kegiatan Lapas lebih karena adanya paksaan.

Kata kunci: hak anak, pemenuhan hak pendidikan, narapidana anak

A. PENDAHULUAN

Kejahatan yang dilakukan oleh anak, atau dalam kadar yang lebih rendah - kenakalan anak, bukan merupakan hal baru. Di negara-negara Eropa, memasuki pertengahan Abad ke-19 sebagian anak masuk dalam tindak-tindak kejahatan. Hingga saat ini pun tindak kenakalan anak tidak hilang dalam kehidupan masyarakat manapun. Dalam beberapa tahun belakangan ini fakta-fakta menunjukan hal yang cukup mengejutkan: anak yang dianggap sebagai penerus bangsa dan bahkan wajib dilindungi, banyak terlibat dalam tindak kejahatan. Hal tersebut tentulah menjadi masalah sosial baru yang patut mendapatkan perhatian dari banyak pihak, karena menyangkut masa depan anak. Anak yang mengalami masalah sosial, dapat digolongkan masuk dalam situasi anak rawan, yakni sebuah keadaan dimana sang anak karena situasi, kondisi, dan tekanan kultur maupun struktur tidak mendapatkan hak-hak mereka. Bahkan anak yang masuk dalam kondisi anak rawan akan mudah tereksploitasi dan terdiskriminalisasi oleh lingkungannya.

1 Alumnus Program Studi S2 Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL UGM 2 Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumberdaya Manusia, FISIPOL UGM

Irwanto (dalam Suyanto, 2010:4-5), mengacu pada kategori PBB, memberikan beberapa kategori kondisi anak rawan, yakni: (i) anak yang ditelantarkan atau mengalami kekerasan, (ii) anak yang berkonflik dengan senjata, (iii) anak yang dipekerjakan baik formal maupun informal, (iv) anak yang bekerja di pekerjaan yang mengandung resiko tinggi, (v) anak yang terlibat dalam zat-zat psikoaktif, (vi) anak yang terdiskriminatif (cacat, kaum minoritas, miskin, tidak memiliki akte kelahiran/KTP), (vii) anak yang karena status sosial perkawinannya menjadi terdiskriminatif, dan (viii) anak yang berkonflik dengan hukum. Dari beberapa kategori tersebut terlihat bahwa anak akan masuk dalam dua posisi, yaitu anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku. Adanya anak sebagai pelaku tindak kejahatan tentu akan membawa anak berurusan dengan hukum.

Pada pertengahan Abad ke-19 negara-negara Eropa menggunakan lembaga sekolah/asrama sebagai bentuk pengontrolan bagi anak. Sekolah merupakan sebuah lembaga dengan menggunakan sistem pendidikan yang dianggap dapat mendisiplinkan anak. Hal tersebut tidak jauh berbeda pada saat ini. Sekolah merupakan tempat pengajaran/sistem pendidikan, yang juga dapat dikatakan membentuk kepribadian anak menjadi lebih baik. Namun dengan menyebarnya sistem sekolah ternyata tidak mengurangi tingkat kejahatan yang dilakukan oleh anak. Sebagai contoh, kasus yang terjadi pada tahun 2012, seorang anak di Sulawesi Tengah harus berhadapan dengan hukum karena dituduh melakukan pencurian sandal milik anggota Brimob (Natalia, pada Kompas.com, edisi: 6 Januari 2012).

Kejadian lain yang dapat kita jadikan contoh yakni di tahun 2013, seorang anak berusia 11 tahun harus mendapatkan hukuman kurungan penjara karena melakukan pencurian (Leandha, pada Kompas.com, edisi: Jumat, 7 Juni 2013). Kasus-kasus lain yang juga dapat dilakukan oleh anak yakni pelecehan seksual, narkoba bahkan sampai pada pembunuhan. Anak berkonflik dengan hukum tentulah bukan permasalahan biasa, seorang anak yang diharapkan mendapatkan kehidupan yang layak bahkan terhindar dari tekanan justru dihadapkan dengan sistem peradilan.

Sebagai seorang manusia yang berada pada proses perkembangan menuju kedewasaan, tentunya pengalaman (faktor dari luar) akan menjadi pengaruh dalam pembentukan kepribadian seseorang (Ikawati, 2007:10-11). Dari adanya pemikiran tersebut ternyata tidak mempengaruhi keputusan-keputusan peradilan terhadap anak. Ketika anak berkonflik dengan hukum tidak jarang mereka harus terpaksa merasakan Sebagai seorang manusia yang berada pada proses perkembangan menuju kedewasaan, tentunya pengalaman (faktor dari luar) akan menjadi pengaruh dalam pembentukan kepribadian seseorang (Ikawati, 2007:10-11). Dari adanya pemikiran tersebut ternyata tidak mempengaruhi keputusan-keputusan peradilan terhadap anak. Ketika anak berkonflik dengan hukum tidak jarang mereka harus terpaksa merasakan

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) pada bulan September 2015, jumlah anak yang berstatus tahanan maupun narapidana ada sebanyak 2.941 anak. Dari jumlah tersebut sebanyak 615 anak laki-laki dan 18 anak perempuan berstatus tahanan; sedangkan sejumlah 2.273 anak laki-laki dan 35 anak perempuan berstatus narapidana. Selain itu patut diketahui di waktu yang sama, data menunjukan bahwa ada 2.020 anak yang ditempatkan dalam Lapas maupun Rutan umum atau bercampur dengan orang dewasa (data terakhir jumlah per kanwil, diakses melalui : http://smslap.ditjenpas.go.id, pada 15 September 2015). Bercampurnya anak dengan tahanan maupun narapidana dewasa bukan tanpa sebab. Dari 33 provinsi, Indonesia hanya memiliki 17 lembaga pemasyarakatan khusus anak. Maka dapat dipastikan provinsi yang tidak memiliki lembaga pemasyarakat anak akan menggabungkan tahanan maupun narapidana anak dengan mereka yang dewasa.

Sebagai tempat berkumpulnya manusia yang melanggar aturan baik undang- undang maupun peraturan adat/norma yang berlaku, pertanyaan yang muncul adalah: dapatkah penjara menjadi penghukuman yang tepat bagi anak? Sebagai manusia yang menjadi warga Negara Indonesia tentunya, anak juga memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan, baik sebagai anak maupun sebagai masyarakat. Untuk menjamin kesejahteraan anak, negara menciptakan sebuah regulasi yang dapat melindungi hak anak yang berkonflik dengan hukum. Pada Undang-undang No. 11 tentang Peradilan Anak Tahun 2012. Dalam Undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa setiap anak yang berada dalam proses peradilan maupun sedang menjalani masa pidana berhak mendapatkan hak mereka sesuai yang telah ditetapkan Undang-Undang.

Mengenai apa saja yang menjadi hak anakpun telah jelas ditungkan dalam undang- undang perlindungan anak (UU No 23 Tahun 2002 dengan perubahan sesuai UU No. 35 Tahun 2014).

Sekalipun negara telah memberikan regulasi mengenai perlindungan hak anak, pertanyaan berikutny adalah: dapatkah akses pemenuhan tersebut terpenuhi atau diberikan dalam Lapas maupun Rutan? Hal ini terutama jika melihat realitas bahwa lembaga pemasyarakatan anak tidak terdapat di setiap wilayah Indonesia. Sebagai contoh, Kalimantan Timur memiliki 11 Lembaga Pemasyarakatan, sembilan diantaranya mengalami over kapasitas. Sampai pada Bulan September 2015 tercatat sebanyak 9 tahanan dan 73 narapidana yang tersebar dan bercampur dengan narapidana

diakses melalui : http://smslap.ditjenpas.go.id pada 15 September 2015). Permasalahan over kapasitas tentu merupakan permasalahan yang cukup berat bagi lembaga pemasyarakatan, para petugas harus dapat mengawasi dan mendampingi ratusan orang dengan tenaga seadanya. Terlebih lagi munculnya beberapa kasus pelanggaran yang terjadi di dalam Lapas. Seperti yang terjadi di Lapas Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur. Kasus tesebut menjerat salah seorang petugas pemasyarakatan menjadi tersangka atas tindakan sodomi yang dilakukan terhadap 7 orang narapidana. Salah satu narapidana yang menjadi korban merupakan narapidana anak yang berumur 17 tahun (Makur, diakses melalui Kompas.com, edisi 28 Agustus 2014).

Dari permasalahan tersebut memunculkan pertanyaan mendasar, dapatkah hak anak terpenuhi. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang peradilan anak, setiap anak yang menjadi korban, saksi ataupun tersangka berhak mendapatkan hak-haknya. Salah satu hak anak yang wajib dipenuhi yakni hak pendidikan. Pendidikan adalah salah satu hak terpenting yang patut diberikan pada anak. Hal tersebut karena pendidikan merupakan sebuah cara atau upaya yang dilakukan agar manusia memiliki sebuah keterampilan. Keterampilan tersebut berupa keterampilan-keterampilan yang dapat digunakan dalam melangsungkan hidupnya. Salah satu keterampilan yang patut dimiliki seseorang yakni keterampilan dalam dunia kerja. Keterampilan dalam dunia kerja mampu menjadikan seseorang bertahan atau bahkan mampu mencapai tingkat kesejahteraannya (Darmawan, 2013:114).

Selanjutnya, Ahmadi & Uhbiyati (2015) menjelaskan bahwa anak merupakan seseorang yang membutuhkan tuntunan, pelayanan maupun dorongan agar dapat mempertahankan hidupnya. Agar dapat mempertahankan hidupnya maka seseorang khususnya anak memerlukan pendidikan. Pendidikan merupakan sebuah cara untuk mendapatkan kepandaian, keterampilan serta pembentuk perilaku seseorang agar dapat mandiri/dewasa. Salah satu tujuan penting dari pendidikan yakni mendidik dan membimbing anak agar dapat hidup serasi dengan masyarakat lain. Anak harus disiapkan untuk dapat menerima norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain itu dengan adanya pendidikan anak disiapkan agar dapat menjadi agen pembangunan bangsanya.

Dari uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana pemenuhan hak pendidikan bagi narapidana anak? Untuk menjawab permasalahan tersebut maka telah dilakukan qualitative case study di Lapas Kelas IIA Samarinda. Lapas ini dipilih karena telah ditetapkan sebagai Lapas khusus anak oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada tahun 2014 (ditjenpas.web.id. edisi

15 Oktober 2014). Penelitian dilakukan terhadap 22 napi anak yang berumur antara 14 – 18 tahun. Anak-anak tersebut menjadi narapidana anak karena mereka narkoba (12 anak), asusila (5 anak), curanmor (3 anak) dan jambret (2 anak). Untuk mengetahui

informasi tentang pemenuhan hak pendidikan napi anak digunakan metode pengumpulan data berupa observasi, interview dan dokumentasi.

B. HAK ANAK DALAM PENDIDIKAN

Prinsip utama dalam penyelenggaraan hak anak didasari oleh tidak adanya diskriminasi terhadap anak; segala keputusan yang akan diambil harus berdasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of children). Anak berhak mendapatkan perlindungan, berhak untuk hidup dan berhak menyuarakan pandangannya (James dan James, 2012 :180). PBB sebagai salah satu lembaga dunia yang menaruh banyak perhatian pada anak menginisiasi sebuah konvensi mengenai hak anak. Dari konvensi tersebut diputuskan bahwa anak memiliki beberapa hak dasar, yaitu:

1. Hak pelayanan (rights to provision) merupakan hak anak untuk mendapatkan apa saja yang mendorong tumbuh kembang mereka menjadi seorang dewasa yang bermartabat. Pemberian gizi, perumahan, pendidikan mapun pelayanan 1. Hak pelayanan (rights to provision) merupakan hak anak untuk mendapatkan apa saja yang mendorong tumbuh kembang mereka menjadi seorang dewasa yang bermartabat. Pemberian gizi, perumahan, pendidikan mapun pelayanan

2. Hak perlindungan (rights to protection) merupakan hak anak untuk mendapatkan perlindungan, bahkan pencegahan dari penyalahgunaan, pelanggaran hak anak. Negara berhak memberikan perlindungan dari diskriminasi, kekerasan maupun eksploitasi anak.

3. Hak berpartisipasi (rights to participation), anak berhak masuk dan mengangkat suara dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya.

Dari 3 hak dasar tersebut menciptakan 10 hak penting dalam kehidupan anak, yakni hak bermain, pendidikan, kesehatan, hak atas perlindungan, mendapatkan nama, mendapatkan kebangsaan, mendapatkan makanan, mendapatkan rekreasi, mendapatkan kesamaan (kesetaraan) dan peran dalam pembangunan.

Salah satu hak anak yang patut dilindungi yakni hak atas pendidikan. Hak ini menjadi sangat penting karena pendidikan dipandang sebagai sebuah cara mengajarkan/mendidik, mendisiplinkan anak agar menjadi generasi penerus yang berkompeten. Hak tersebut banyak mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, misalnya Ahsinin (tanpa tahun) dari Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA). Ahsinin menyatakan bahwa anak merupakan kolompok rentan bahkan terdiskriminasi dalam kehidupan sosial, maka negara wajib memberikan perlindungan bagi anak terutama dalam melindungi hak mereka. Salah satu bentuk perlindungan penting harus diberikan pada anak yakni yang berkaitan dengan pendidikan anak.

Jika pemenuhan hak pendidikan anak menjadi sangat penting bagi anak, maka bagaimana dengan anak yang berada dalam penjara? Dapatkah mereka mendapatkan hak mereka sebagaimana tujuan dari pendidikan itu sendiri. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang berkenaan dengan pemenuhan hak narapidana anak dan situasi anak berhadapan dengan hukum. I Gede Karnanta (2014) melakukan studi mengenai Pelaksanaan Hak – Hak Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas III Mataram. Penelitian ini menemukan bahwa dalam pelaksanaan hak anak terdapat beberapa kendala yang menghalangi. Kendala yang dihadapi terbagi atas dua hal yaitu kurangnya peraturan yang jelas mengenai pelayanan bagi anak serta tidak adanya tenaga professional yang menangani anak. Penelitian ini telah memaparkan berbagai hak anak yang diupayakan terpenuhi, namun dalam penelitian ini tidak Jika pemenuhan hak pendidikan anak menjadi sangat penting bagi anak, maka bagaimana dengan anak yang berada dalam penjara? Dapatkah mereka mendapatkan hak mereka sebagaimana tujuan dari pendidikan itu sendiri. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang berkenaan dengan pemenuhan hak narapidana anak dan situasi anak berhadapan dengan hukum. I Gede Karnanta (2014) melakukan studi mengenai Pelaksanaan Hak – Hak Narapidana Anak Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas III Mataram. Penelitian ini menemukan bahwa dalam pelaksanaan hak anak terdapat beberapa kendala yang menghalangi. Kendala yang dihadapi terbagi atas dua hal yaitu kurangnya peraturan yang jelas mengenai pelayanan bagi anak serta tidak adanya tenaga professional yang menangani anak. Penelitian ini telah memaparkan berbagai hak anak yang diupayakan terpenuhi, namun dalam penelitian ini tidak

Penelitian lainnya dilakukan oleh Andi Soraya Tenrisoji Amiruddin (2013) mengenai pemenuhan hak narapidana dalam mendapatkan pendidikan dan pelatihan anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kota Pare-pare. Penelitian ini menunjukan bahwa pemenuhan hak narapidana anak masih sangat kurang. Terdapat beberapa penghalang dalam mencapai kepuasan hak anak yaitu berupa kurangnya kapasitas ruangan, kurangnya dana, sarana maapun prasarana, tidak adanya pekerja profesional terutama pegawai (SDM) yang menangani narapidana anak, dan sulitnya memberikan arahan pada narapidana anak. Amiruddin dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa pendidikan anak lewat keterampilan kerja akan mendukung pembangunan nasional. Hal tersebut digambarkan dari adanya kegiatan keterampilan kerja yang dilaksanakan dalam lembaga pemasyarakatan, namun dalam penelitian tersebut hanya melihat dari pandangan para petugas. Peneliti tidak dapat menggambarkan bagaimana pandangan narapidana anak terhadap kegiatan pelatihan kerja tersebut.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Afandi Haris Raharjo (2014) mengenai pemenuhan hak narapidana anak untuk mendapatkan pendidikan di Lapas (Studi kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Makassar). Dalam penelitiannya Raharjo tidak menjelaskan bentuk penilaian/hasil penelitian yang dilakukan oleh para petugas dalam menganalisis kebutuhan narapidana anak. Namun dalam penelitian tersebut Raharjo menunjukan bahwa petugas telah memberikan upaya pemenuhan hak narapidana anak terutama dalam hal pendidikan. Terdapat Program Kejar (Kelompok belajar) Paket A, B, dan C; selain itu adanya narapidana yang mendapatkan akses sekolah di luar Lapas serta adanya kerja sama dengan dinas pendidikan untuk mendatangkan tenaga pendidik. Sementara kendala yang juga ada dilapas ini yakni, kurangnya sarana, terbatasnya tenaga pendidik, kurangnya tenaga pengawalan, kurangnya dana bagi pendidikan anak dalam Lapas.

Tatik Mei Widari (2012) juga meneliti hal yang sama yaitu mengenai pemenuhan hak pendidikan anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Blitar. Penelitian ini menunjukan bahwa pemenuhan hak pendidikan di lembaga pemasyarakatan anak telah banyak terpenuhi; hal tersebut karena lembaga tersebut memiliki kerja sama dengan lembaga lain seperti: aparat penegak hukum, Departemen Sosial, Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen

Tenaga Kerja, Departemen Perindustrian dan Dinas Kesehatan. Namun demikian penelitian ini tidak menggambarkan pemenuhan hak dari sudut pandang petugas pemasyarakatan maupun dari sisi narapidana anak. Sehingga penelitian tersebut tidak menjelaskan bagaimana proses, manfaat serta bentuk partisipasi anak ataupun petugas dalam sebuah kegiatan.

Sri Ismawati (2013) melakukan studi komparasi tentang mekanisme penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum pada masyarakat Dayak Kanayatn. Ismawati memberikan gambaran jika seorang anak melakukan pelanggaran hukum, maka anak tersebut akan mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa. Namun yang menjadi perbedaan yakni anak tidak menanggung sendiri sanksi tersebut. Sanksi adat akan diberikan juga kepada keluarga korban. Namun sanksi bukanlah seperti halnya dengan sistem hukum formal; sanksi adat akan memberikan pendendaan berupa benda-benda yang harus diberikan kepada korban. Jika dalam undang-undang negara memberikan batasan bahwa anak merupakan seseorang yang berusia dibawah 18 tahun termasuk dalam kandungan; namun dalam penelitian Ismawati tidak menjelaskan batasan umur seseorang masih dikategorikan anak dalam Suku Dayak Kanayatn. Maka tidak heran jika sanksi yang diberikan pada anak sama halnya dengan sanksi yang diberikan pada orang dewasa pada umumnya.

Imran Adiguna, Aswanto, Wiwie Heryani (tanpa tahun) melakukan studi tentang penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menunjukan bahwa diversi dilaksanakan agar anak terhindar dari efek negatif sistem peradilan dan sistem penghukuman penjara bagi anak. Kelebihan pada penelitian ini yakni memberikan penjelasan bahwa diversi anak tidak mudah dilakukan karena masyarakat menganggap pelaku kriminal sekalipun anak-anak harus mendapatkan hukuman yang sesuai dengan undang-undang. Dengan demikian pelaksanaan diversi akan ditolak oleh pihak korban tindak pidana.

Dari enam penelitian tersebut, empat penelitian telah menyatakan bahwa pemenuhan hak anak atas pendidikan sangatlah minim. Bahkan minimnya upaya dari para petugas Lapas pun terjadi karena belum tersedianya peraturan mengenai pendidikan di dalam Lapas. Selanjutnya terdapat dua penelitian yang menyatakan bahwa kurangnya perhatian khusus pada anak dalam dunia hukum, memaksa anak tidak dapat menjalani diversi dalam permasalahannya. Sehingga menyebabkan anak tidak dapat menghindar dari hukuman pidana. Dari beberapa penelitian yang sudah Dari enam penelitian tersebut, empat penelitian telah menyatakan bahwa pemenuhan hak anak atas pendidikan sangatlah minim. Bahkan minimnya upaya dari para petugas Lapas pun terjadi karena belum tersedianya peraturan mengenai pendidikan di dalam Lapas. Selanjutnya terdapat dua penelitian yang menyatakan bahwa kurangnya perhatian khusus pada anak dalam dunia hukum, memaksa anak tidak dapat menjalani diversi dalam permasalahannya. Sehingga menyebabkan anak tidak dapat menghindar dari hukuman pidana. Dari beberapa penelitian yang sudah

C. LAPAS DAN PEMBENTUKAN BUDAYA ANAK

Gagasan mendasar masuknya anak ke dalam Lapas adalah untuk menciptakan budaya anak yang sesuai dengan sistem budaya yang dibangun manusia dewasa. Anak yang telah divonis melanggar aturan hokum diharapkan dapat berperilaku sesuai dengan norma dan aturan yang diidealkan dalam masyarakat. Tiga sub-bab berikut akan membahas upaya lapas dalam merubah budaya anak.

C.1. Budaya anak dalam Lapas

Budaya memiliki dua unsur penting yakni bahasa dan partisipasi. Bahasa digunakan agar seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain sekalipun dengan menggunakan kode-kode tertentu. Sedangkan partisipasi diciptakan agar seseorang dapat melihat bahkan mengikuti kegiatan yang diadakan. Kegiatan yang berlangsung secara berkepanjangan dan terus berulang akan menjadi sebuah kebiasaan bahkan membudaya dalam kehidupan setiap orang. Corsaro (2014:34-39) menerangkan bahwa seseorang mulai mengenal budaya saat orang tersebut lahir, dimana anak akan diajak berpatisipasi mengenal budaya yang ada disekitarnya. Partisipasi anak dimulai dari adanya komunikasi antara orang dewasa dan anak, dari komunikasi tersebut akan menciptakan sebuah interaksi.

Pada masa kanak-kanak seseorang akan melewati masa perkembangan keterampilan kognitif, emosi dan pengetahuan. Beberapa perkembangan ini akan selalu dialami oleh setiap anak. Pada masa inilah anak tidak hanya mencontoh apa yang dilihat Pada masa kanak-kanak seseorang akan melewati masa perkembangan keterampilan kognitif, emosi dan pengetahuan. Beberapa perkembangan ini akan selalu dialami oleh setiap anak. Pada masa inilah anak tidak hanya mencontoh apa yang dilihat

Pandangan Corsaro dan Wyness tersebut sangat sulit dilihat dalam mengamati budaya anak di Lapas. Anak sebagai seorang narapidana diharuskan (dipaksa) mengikuti budaya, norma bahkan peraturan yang ada dalam Lapas. Apabila Corsaro menyatakan anak dapat mengambil dengan sendirinya informasi dari lingkungan dan memproduksi pada dunianya, tidak demikian halnya saat anak berada dalam Lapas. Anak mendapatkan paksaan dari adanya aturan-aturan yang berlaku. Paksaan tersebut diciptakan agar setiap narapidana termasuk anak dapat taat dan mendisiplinkan diri pada aturan yang berlaku di Lapas. Pandangan ini dapat mendukung pernyataan Simon dan Sunaryo (2011 :145-146) yang menyatakan bahwa penjara (Lapas) adalah lingkungan masyarakat dalam masyarakat. Masyarakat yang berada dalam penjara diharuskan masuk dalam sebuah sistem sosial baru dan mengikuti aturan bahkan kebiasaan dalam Lapas. Baik dari proses masuk, penempatan ruang, bergaul maupun masuk dalam kegiatan yang ada.

Hasil penelitian di Lapas Kelas II A Samarinda menunjukkan bahwa salah satu kegiatan yang selalu dilakukan oleh para narapidana yakni apel. Apel merupakan sebuah cara yang dilakukan untuk mengecek jumlah narapidana. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah adanya narapidana yang kabur/meloloskan diri dari hukuman. Lapas membagi apel menjadi dua bagian yakni apel khusus petugas dan apel khusus narapidana. Apel khusus petugas merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh para staf pemasyarakatan sebelum memulai dan mengakhiri pekerjaan mereka. Pada kesempatan ini kepala pemasyarakatan secara langsung dapat mengecek kehadiran para stafnya. Sedangkan apel narapidana merupakan sebuah cara pengecekan jumlah narapidana. Apel ini dilakukan sebanyak tiga kali yakni apel pagi, siang dan sore hari.

Setelah apel, kegiatan yang rutin dilakukan oleh narapidana anak adalah senam. Senam dilakukan sebanyak tiga kali dalam seminggu yakni Hari Senin, Rabu dan Jumat Setelah apel, kegiatan yang rutin dilakukan oleh narapidana anak adalah senam. Senam dilakukan sebanyak tiga kali dalam seminggu yakni Hari Senin, Rabu dan Jumat

Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan karena adanya paksaan yang diterima oleh anak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan AZ yang merasa dirinya terpaksa bangun di pagi hari untuk melakukan apel dan kegiatan lain: “Yah, jengkel sama siapa lagi, mau

ga mau… (wawancara pada 7 Januari 2016). Sebelum masuk dalam Lapas narapidana anak tersebut memiliki kebiasaan tidur di pagi hari, sedangkan saat ini anak terpaksa harus tidur di malam hari agar dapat bangun di pagi hari. Selain adanya paksaan untuk mengubah kebiasaanya, anak juga merasa terpaksa mengikuti kegiatan-kegiatan yang diberikan. Salah seorang narapidana anak (IW) menyatakan bahwa dirinya terpaksa mengikuti kegiatan kejar paket. Hal tersebut merupakan paksaan karena adanya sanksi atau hukuman bagi narapidana anak yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Adanya sanksi atau hukuman memaksa narapidana anak untuk aktif mengikuti setiap jadwal

maupun kegiatan yang berlaku. Apa yang dialami oleh narapidana anak tersebut tidak sesuai dengan wacana yang dihasilkan oleh Konvensi Hak Anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memberikan pandangan bahkan suara terhadap setiap kegiatan yang berkenaan dengan kehidupan mereka (James dan James, 2012:125-126).

Setiap kegiatan yang dilakukan atau yang diikuti oleh narapidana anak bukanlah berdasarkan keinginan anak, melainkan berdasarkan program dari lembaga yang berkerja sama dengan pihak lapas. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan salah satu petugas: “Sebenarnya itu kaya AC, otomotif itu dari sana yang menentukan, mereka sendiri yang buat MOU- nya, kita yah nyediakan orang aja” (wawancara pada 21 Desember 2015). Dari pernyataan tersebut maka dapat dipastikan bahwa setiap kegiatan yang dilakukan oleh para narapidana bukanlah berdasarkan kebutuhan narapidana anak. Kegiatan diciptakan berdasarkan keinginan lembaga pembantu atau lembaga yang bekerja sama dengan pihak Lapas. Selain tidak memiliki hak untuk memberikan pendapatnya, anak juga tidak diizikan untuk berpartisipasi langsung dalam menyiapkan barang-barang yang akan mereka gunakan selama pelatihan.

Adanya paksaan yang dialami narapidana anak dalam mengikuti kegiatan- kegiatan Lapas, mendukung pemikiran Foucault mengenai kehidupan narapidana.

Kehidupan manusia dalam penjara sangat jelas diterangkan oleh Foucault dalam Suyono (2002:321-438) bahwa manusia yang berada dalam sistem penghukuman kurungan penjara akan dipaksa mengubah kebiasaannya dengan berbagai macam metode. Manusia akan dipaksa berubah dan mengikuti setiap aturan yang mendisiplinkan tubuh; narapidana akan diubah menjadi manusia yang patuh pada aturan yang berlaku. Manusia akan dipaksa berubah dari adanya bentuk ruangan yang membatasi gerak maupun wacana-wacana yang mengusai setiap tindakan manusia. Wacana yang dimaksud dapat berupa aturan yang mengekang kegiatan narapidana. Hal ini pula yang terjadi pada anak. Kehidupan narapidana anak dalam Lapas dipaksa mengikuti dan mematuhi aturan yang berlaku. Anak dipaksa mengubah kebiasaan mereka dan mengikuti kebudayaan yang ada dalam Lapas.

C.2. Ruangan sebagai pembentuk sikap anak

Seperti yang dijelaskan pada bagian awal, salah satu yang mempengaruhi kesejahteraan anak yakni tersedianya ruang bagi anak. Ruangan dapat mempengaruhi kesejahteraan fisik dan kognitif seorang anak. Ruangan bagi anak terbagi menjadi dua bagian yakni ruang alami anak dan ruang ramah anak. ruang alami anak merupakan ruang dimana anak mengalami masa perkembangan dari lahir, contoh konkrit dari ruang tersebut adalah sebuah keluarga. Sedangkan ruang ramah anak merupakan ruang yang dibuat untuk memenuhi hak anak, misalnya saja sekolah dan taman bermain. Beberapa hak yang dapat dipenuhi saat anak berada dalam ruang ramah anak yakni anak dapat merasa senang, aman, nyaman dan merasa dilindungi bahkan haknya untuk bermain atau rekreasi dapat terpenuhi (James dan James 2012 : 170-172). Ruang yang selalu digunakan oleh anak dalam Lapas terdiri dari beberapa ruangan sebagaimana diuraikan sebagai berikut.

a. Kamar anak

Lapas Klas II A Samarinda memiliki 1 blok khusus anak. Blok anak diisi oleh 18 narapidana anak dan 4 anak lain berada di dalam blok rehab. Saat memasuki blok anak, peneliti melihat banyak sekali sekat-sekat berduri. Pintu masuk tersusun dari jeruji- jeruji besi, pada dinding kamar melewat jejeran kotak yang digunakan sebagai lemari pakaian para narapidana anak. Selain lemari peneliti melihat jam dinding, TV, kipas angin, dispenser dan satu gitar. Selain beberapa barang tersebut peneliti melihat Lapas Klas II A Samarinda memiliki 1 blok khusus anak. Blok anak diisi oleh 18 narapidana anak dan 4 anak lain berada di dalam blok rehab. Saat memasuki blok anak, peneliti melihat banyak sekali sekat-sekat berduri. Pintu masuk tersusun dari jeruji- jeruji besi, pada dinding kamar melewat jejeran kotak yang digunakan sebagai lemari pakaian para narapidana anak. Selain lemari peneliti melihat jam dinding, TV, kipas angin, dispenser dan satu gitar. Selain beberapa barang tersebut peneliti melihat

Fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan apa yang ditulis oleh Holloway dan Valentine (2005:1-13) dalam bukunya yang berjudul “Children’s geographies playing, living, learning”. Holloway dan Valentine menjelaskan bahwa seorang anak dapat dengan sadar menyadari dirinya berada dalam sebuah lingkungan tertentu dengan mengamati tempat dan desain ruangannya. Masuknya anak dalam sebuah tempat dan ruang baru dapat memberikan sebuah budaya baru bagi anak. Menyandang status sebagai seorang narapidana anak dan terperangkap dalam Lapas tentunya menjadi sebuah gejolak tersendiri bagi anak. Hal ini dapat menimbulkan rasa sedih ataupun tidak senang bagi anak. Perasaan sedih menyandang status narapidana dialami oleh IW. Narapidana anak tersebut menceritakan bahwa dirinya ditinggalkan orang tuanya kembali kekampung halaman di Sulawesi, karena mendapatkan cibiran dari para tetangganya. Selain itu narapidana anak tersebut menyatakan, “Makanannya ga enak, tempat tidurnya ga enak…” (wawancara pada 11 Januari 2016). Pernyataan tersebut tentunya telah melanggar salah satu indikator ruang ramah anak sebagaiman dijelaskan pada bagian sebelumnya, yakni harus menciptakan rasa senang pada anak.

b. Ruang-ruang kegiatan anak

Narapidana anak memiliki beberapa kegiatan yang wajib yang patut di ikuti oleh semua anak. pelatihan baris-berbaris dan kejar paket A B dan C merupakan kegiatan yang wajib di ikuti oleh narapidana anak. Selain kegiatan tersebut terdapat beberapa pelatihan yang diadakan oleh lembaga yang terikat kerja sama dengan Lapas. Pihak Lapas memiliki kerja sama yang baik dengan beberapa lembaga seperti LAZ DPU Samarinda, PKBM, Balai Pelatihan Kerja, Dinas sosial maupun dinas lain. Setiap anak berkewajiban mengikuti pelatihan dengan catatan anak telah mendaftar sebelumnya. Pengamatan di dalam Lapas menunjukkan bahwa ruang belajar anak sangat rapi dan nyaman. Kursi telah di susun oleh para tamping (tahanan pendamping) yang bertugas.

Ruang kejar paket ini berada di lantai dua ruang serba guna, setiap kegiatan kejar paket terdapat dua orang tamping yang mengawasi para narapidana. Dari hasil observasi juga terlihat bagaimana anak-anak melakukan kegiatan baris-berbaris; Nampak seorang narapidana anak memimpin barisan dan seorang petugas mengamati kegiatan mereka. Kegiatan anak dilakukan di lapangan terbuka, maka dapat dipastikan kegiatan anak dapat secara langsung diamati oleh setiap petugas yang berjaga saat itu.

Philo dalam Holt (2011:27-48) menerangkan geografis atau ruang gerak anak dengan menggunakan perspektif Michel Foucault tentang Discipline and Punish. Philo menyatakan bahwa saat anak nakal atau bermasalah dengan hukum, maka penghukuman yang tepat ialah menahan anak layaknya seorang narapidana. Penghukuman ini dipandang lebih baik karena, pemenjaraan anak dipandang dapat menciptakan rasa jera dan dapat menciptakan rasa patuh pada anak. Lembaga pemenjaraan dipandang lebih mampu membentuk sikap anak karena mengadopsi mekanisme kontrol panoptikon yang tidak digunakan lembaga lain. Sistem panoptikon yang dibuat oleh Jeremy Bentham menggunakan sistem pengontrolan atau pengawasan pada ruang gerak tubuh.

Sistem pengontrolan atau pengawasan tersebut mendukung apa yang terjadi dalam kehidupan anak dalam Lapas Klas II A Samarinda. Blok dan kamar anak terpisah dengan blok lain, kegiatan kejar paket dan pelatihan baris-berbarispun dilakukan pada tempat yang mudah diawasi oleh petugas. Selain diharapkan dapat membentuk sikap anak, pemisahan ruang bagi anak juga diciptakan agar menghalangi interaksi dengan narapidana dewasa. Jika pada bagian sebelumnya menyatakan bahwa anak dapat menerima dan mempelajari setiap budaya yang dilihatnya bahkan mampu mempraktekan pada dunianya. Hal inilah yang tentunya menjadi dasar pengawasan dan pengontrolan ruang anak. Sebagai sebuah lembaga penghukuman dan wadah penampungan para pelaku pelanggar hukum. Dibatasinya ruang gerak anak tentunya menjadi sebuah bentuk perlindungan bagi anak. Hal ini dilakukan agar anak tidak mendapatkan informasi mengenai pengalaman para orang dewasa pelaku tindak pelanggaran hukum. Bentuk perlindungan bagi anak lewat pemisahan ruang ini dapat mendukung pernyataan James dan James (2012 : 170-172) tentang ruang ramah anak. Ruang ramah anak merupakan ruangan yang didesain agar anak dapat merasa nyaman dan dapat terpenuhi haknya. Selain itu ruang ramah anak diciptakan agar dapat lebih mudah mengontrol dan melindungi anak.

Sari (2005) dalam penelitiannya juga menunjukan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan daya kreativitas anak. Lingkungan yang dibutuhkan tidak hanya lingkungan psikis saja, namun lingkungan fisik juga memiliki peran yang kuat. Dalam lingkungan fisik keadaan ruang ideal seharusnya dapat diterima oleh anak. Ruangan dapat dikatakan ideal bagi anak atau ramah anak apa bila dapat memberikan rasa aman, bebas dan nyaman dalam ruangan. Keadaan ruang yang ideal tersebutlah yang dapat memberikan rangsangan imajinasi dan dapat melatih serta menciptakan suatu kreativitas anak. Adanya pengaruh ruang pada imajinasi anak juga terjadi pada narapidana anak. AZ salah satu narapidana anak penyalahgunaan narkotika sempat menceritakan pengalamannya. AZ mengaku sempat beberapa kali ingin menggunakan narkoba, hal tersebut karena melihat gambar obat-obatan yang ditempel pada dinding kamar anak, “Engga cuman ada foto-foto…” (wawancara pada 7 Januari 2016). AZ harus menahan keinginan tersebut karena susahnya mendapatkan barang dan minimnya uang yang dimilikinya. Hal ini menunjukan pada kita bahwa ruang kamar narapidana anak memberikan dampak negatif karena mendorong anak berimajinasi mengkonsumsi narkoba.

C.3. Lapas sebagai lembaga pendidik anak.

Pendidikan merupakan sebuah proses dimana seseorang mentransferkan ilmu atau pengetahuan bahkan pengalamannya bagi orang lain termasuk anak. Pendidikan dipandang sangat penting bagi perkembangan anak, karena anak belum memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman dalam hidupnya. Pandangan tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Locke dalam James dan Prout (2005) menyatakan bahwa anak adalah manusia yang terlahir tanpa memiliki pengetahuan. Pengalamanlah yang akan memberikan pengetahuan dan keterampilan pada manusia.

Pengalaman dan pengetahuan yang diterima anak tidak selamanya baik. Terdapat beberapa bahkan sekelompok anak yang mendapatkan pengetahuan yang kurang baik. Misalnya saja pengetahuan atas tindak kejahatan dan kurangnya pemahaman atas norma yang berlaku dalam masyarakat. Adanya pengetahuan mengenai tindak kejahatan dan kurangnya pemahaman tentang norma dapat membawa anak dalam tindak kenalakan bahkan kriminal. Pada abad 17 sampai 18 Negara-Negara Eropa menggunakan lembaga pendidikan seperti sekolah dan asramah sebagai lembaga penghukuman bagi anak. Lembaga seperti sekolah dan asramah dibentuk agar dapat Pengalaman dan pengetahuan yang diterima anak tidak selamanya baik. Terdapat beberapa bahkan sekelompok anak yang mendapatkan pengetahuan yang kurang baik. Misalnya saja pengetahuan atas tindak kejahatan dan kurangnya pemahaman atas norma yang berlaku dalam masyarakat. Adanya pengetahuan mengenai tindak kejahatan dan kurangnya pemahaman tentang norma dapat membawa anak dalam tindak kenalakan bahkan kriminal. Pada abad 17 sampai 18 Negara-Negara Eropa menggunakan lembaga pendidikan seperti sekolah dan asramah sebagai lembaga penghukuman bagi anak. Lembaga seperti sekolah dan asramah dibentuk agar dapat

Pada saat ini anak yang melakukan tindak kenalakan tidak lagi dimasukan dalam sebuah lembaga pendidikan. Setiap anak yang melakukan tindak pelanggaran hukum khususnya Indonesia, dapat dijatuhi hukuman kurungan penjara. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam UU Peradilan anak. Bahkan dalam Undang-Undang tersebut secara jelas menerangkan bahwa seorang anak dapat dijatuhi hukuman kurungan penjara apabila telah berumur 12 tahun. Berdasarkan hasil penelitian terdapat anak-anak usia 14 sampai 18 tahun yang menjalani hukuman kurungan penjara di Lapas Klas II A Samarinda.

Masuknya anak dalam lembaga penghukuman seperti Lapas tentunya memaksa anak harus taat pada aturan yang berlaku. Sebagaimana pada abad 19 lembaga pendidikan disediakan sebagai lembaga penghukuman bagi anak. Setiap anak yang melakukan tindak kenakalan akan dipaksa masuk dalam lembaga pendidikan seperti asramah atau sekolah. Lembaga tersebut digunakan untuk mengubah kebiasaan, sikap maupun perilaku anak dari yang tidak baik menjadi lebih baik. Sementara saat ini setiap anak yang melakukan tindak kenalakan atau pelanggaran, akan dihadapkan pada proses peradilan dan berkesempatan besar masuk dalam Lapas. Namun pada penelitian ini ditemukan bahwa lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga penghukuman, memiliki peran layaknya lembaga pendidikan. Lapas sebagai lembaga penghukuman berkuasa mendidik bahkan membentuk sikap anak. Didikan yang dapat diberikan oleh pihak pemasyarakatan terlihat dari program-program pembinaan dan pendisiplinan yang berlaku.

Salah satu pendisiplinan yang dilakukan oleh anak yakni harus terbiasa bangun pagi, menaati tugas-tugas yang diberikan dan lainnya. Sementara salah satu program pembinaan yang diikuti oleh anak yaitu rehabilitasi. Program rehabilitasi ini merupakan program yang pesertanya merupakan para pecandu narkoba. Terdapat 4 orang anak yang masuk dalam program ini, anak-anak tersebut disatukan dengan para narapidana dewasa dalam blok khusus. Keempat anak tersebut menceritakan bahwa selama menjalani program rehabilitasi, mereka mendapatkan kegiatan yang mampu mengubah Salah satu pendisiplinan yang dilakukan oleh anak yakni harus terbiasa bangun pagi, menaati tugas-tugas yang diberikan dan lainnya. Sementara salah satu program pembinaan yang diikuti oleh anak yaitu rehabilitasi. Program rehabilitasi ini merupakan program yang pesertanya merupakan para pecandu narkoba. Terdapat 4 orang anak yang masuk dalam program ini, anak-anak tersebut disatukan dengan para narapidana dewasa dalam blok khusus. Keempat anak tersebut menceritakan bahwa selama menjalani program rehabilitasi, mereka mendapatkan kegiatan yang mampu mengubah

MF salah seorang anak anggota program rehabilitasi menceritakan beberapa kegiatan yang diikutinya, “Yah kita kan di dalam itu ada beberapa departemen buat kitchen, laundry, kebersihan yah macem-macem. Nah kalau saya kan dibagian kitchen

jadi saya bertangung jawab buat nyiapkan makanan famili disitu … Yah kalau ada gesekan antara family kan, dibahas jadikan ga ada namanya kekerasan semua bisa diselesaikan ” (wawancara pada 14 Januari 2016). Kutipan tersebut menggambarkan bahwa anak diajarkan untuk memiliki rasa tanggung jawab, terlihat program tersebut mengajarkan anak memiliki hubungan kekeluargaan pada narapidana lain. Dari adanya program tersebut narapidana anak justru lebih senang berada di blok rehabilitasi dari pada blok anak. Pernyataan tersebut muncul dari adanya ungkapan R, anak peserta program rehabilitasi, ketika ditanya tentang perasaan tinggal di blok rehabilitasi atau

blok anak: “(Tinggal di) rehablah… kalau blok anak itu ribut terus Bu, ga tau itu berolokan terus ” (wawancara pada 18 Januari 2016).

Dari dua kutipan wawancara di atas menunjukan bahwa saat anak berada dalam lembaga penghukuman, lembaga tersebut yang berkuasa membentuk sikap anak. Bahkan selain itu lembaga pemasyarakatanpun dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidik anak. Anak diajarakan untuk berdisiplin, diubah sikap maupun perilakunya, bahkan dilatih kemandiriannya lewat beberapa pelatihan kerja. Pandangan mengenai lembaga penghukuman menjalankan fungsi pendidikan juga dinyatakan oleh Simon dan Sunaryo (2011:29-30) yang menyatakan bahwa lembaga pemasyarakatan dapat menjalankan fungsi lembaga pendidikan dan pembangunan. Lapas dapat menjalankan fungsi tersebut dengan mendidik para warga binaan dalam menciptakan manusia yang berkualitas. Fungsi tersebut tercipta dari adanya program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Program pembinaan kepribadian berkaitan dengan pemulihan hidup, sedangkan program kemandirian berkaitan dengan keterampilan kerja seseorang.

D. PEMENUHAN HAK PENDIDIKAN NAPI ANAK

Hak merupakan sesuatu yang seharusnya diterima oleh setiap orang, baik laki- laki, perempuan, dewasa bahkan anak-anak. Masuknya anak dalam sebuah lembaga penghukuman (penjara) secara tidak langsung akan mengurangi hak-hak yang Hak merupakan sesuatu yang seharusnya diterima oleh setiap orang, baik laki- laki, perempuan, dewasa bahkan anak-anak. Masuknya anak dalam sebuah lembaga penghukuman (penjara) secara tidak langsung akan mengurangi hak-hak yang

Pendidikan dan pengajaran sangat penting bagi anak. Dengan adanya pendidikan anak dapat belajar mempertahankan dan merawat hidupnya tanpa harus selalu bergantung pada orang tuanya (Ahmadi & Uhbiyati, 2015:73-74). Sebagaimana diketahui, pendidikan terbagi atas pendidikan formal, non-formal dan in-formal. Lapas Klas II A Samarinda memiliki 22 narapidana anak yang seharusnya mendapatkan hak pendidikan mereka. Dalam memenuhi hak pendidikan tersebut terdapat beberapa kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan formal dan non-formal. Pendidikan formal yang diterima narapidana anak yakni mengikuti kegiatan program kejar paket A, B, C. Sementara itu pendidikan non-formal yang dapat diberikan yakni, pelatihan baris- berbaris (PBB), pelatihan kerja, serta adanya kegiatan-kegiatan membaca Al-Quran di masjid.

Sekalipun terdapat beberapa kegiatan yang berkenaan dengan pendidikan formal dan non-formal, penting juga untuk melihat bagaimana budaya/rutinitas yang dilakukan oleh anak dalam Lapas. Hal tersebut karena budaya merupakan hal penting dalam membentuk kepribadian anak. Anak dapat secara langsung mengambil informasi, mencontoh bahkan dapat membentuk sebuah budaya baru dalam dunianya. Setelah mendapatkan informasi barulah anak dapat menyebarkan pengetahuan dan pengalamannya pada teman sebayanya (Corsaro, 2014 : 34-35).

D.1. Upaya Lapas memenuhi hak pendidikan narapidana anak

Upaya Lapas dalam pemenuhan hak pendidikan narapidana anak dapat dilihat dari beberapa kegiatan yag diterima anak yakni berupa pendidikan formal maupun Upaya Lapas dalam pemenuhan hak pendidikan narapidana anak dapat dilihat dari beberapa kegiatan yag diterima anak yakni berupa pendidikan formal maupun

a. Kegiatan pelatihan kerja

Terdapat beberapa pelatihan yang diterima anak diantaranya perbaikan AC, otomotif, mebel, menjahit. Dari semua anak pelatihan otomotif dan perbaikan AC adalah pelatihan yang disukai oleh anak. RA salah seorang anak narapidana kasus penyalahgunaan narkotika, menyatakan menyukai kegiatan pelatihan perbaikan AC. Narapidana anak tersebut belajar membongkar, memasang, mencuci AC. Selanjutnya AT, narapidana anak tersebut telah mengikuti kegiatan pelatihan otomotif dan mebel. Pada pelatihan tersebut AT menyakatan, bahwa disetiap kegiatan narapidana anak hanya menjadi peserta kegiatan. Anak tidak memiliki kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan program bahkan dalam menyediakan perlengkapan kegiatan. Namun dari berbagai kegiatan yang tidak pernah mengikuti sertakan pendapat anak tersebut, AT memiliki satu kegiatan yang disuka yakni, “otomotif itu aja bu (Wawancara pada 4 Januari 2016)” hanya kegiatan otomotif yang disukainya.

b. Kegiatan Baris-Berbaris (PBB)

Khusus pada pelatihan baris-berbaris, pihak pemasyarakatan memanfaatkan kemampuan dari petugas Lapas maupun narapidana dewasa yang berbakat melatih baris-berbaris. Salah seorang petugas pendamping narapidana anak menjalankan fungsinya sebagai pendamping juga sebagai pelatih baris-berbaris. Kegiatan ini merupakan kegiatan unggulan narapidana anak pemasyarakatan Samarinda. Hal tersebut dibuktikan dengan tampilnya narapidana anak dalam memeriahkan beberapa acara di luar Lapas, sebagaimana disampaikan oleh IW sewaktu wawancara. IW merupakan salah seorang narapidana anak anggota baris-berbaris yang pernah menunjukan hasil latihannya di Lapas Balikpapan dan Hari Ulang Tahun Kanwil. Saat itu terdapat 10 orang anak yang masuk dalam kegiatan baris berbaris, dengan menggunakan pakaian pramuka yang lengkap narapidana anak menunjukan hasil Khusus pada pelatihan baris-berbaris, pihak pemasyarakatan memanfaatkan kemampuan dari petugas Lapas maupun narapidana dewasa yang berbakat melatih baris-berbaris. Salah seorang petugas pendamping narapidana anak menjalankan fungsinya sebagai pendamping juga sebagai pelatih baris-berbaris. Kegiatan ini merupakan kegiatan unggulan narapidana anak pemasyarakatan Samarinda. Hal tersebut dibuktikan dengan tampilnya narapidana anak dalam memeriahkan beberapa acara di luar Lapas, sebagaimana disampaikan oleh IW sewaktu wawancara. IW merupakan salah seorang narapidana anak anggota baris-berbaris yang pernah menunjukan hasil latihannya di Lapas Balikpapan dan Hari Ulang Tahun Kanwil. Saat itu terdapat 10 orang anak yang masuk dalam kegiatan baris berbaris, dengan menggunakan pakaian pramuka yang lengkap narapidana anak menunjukan hasil

c. Kegiatan kejar paket

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

DISKRIMINATOR KELAYAKAN KREDIT MODAL KERJA BAGI UKM PADA PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK. CABANG LUMAJANG

5 61 16

EFEKTIVITAS PENGAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI MEDIA LAGU BAGI SISWA PROGRAM EARLY LEARNERS DI EF ENGLISH FIRST NUSANTARA JEMBER

10 152 10

LEGALITAS UNDIAN BERHADIAH DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PESERTA UNDIAN SIGERMAS (Studi pada PT. Bank Lampung)

8 70 31

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

PENGAWASAN OLEH BADAN PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PENGELOLAAN LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA BAGI INDUSTRI (Studi di Kawasan Industri Panjang)

7 72 52

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59