KATA EMOTIF TIPE SANJUNG DALAM BAHASA JA

KATA EMOTIF TIPE SANJUNG DALAM BAHASA JAWA
Ahmad Mustaqim
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Email : [email protected]
Drs. Sudartomo Macaryus, M. Hum.
Abstract
The purpose of this research is to identify: (1) the forms of emotive of
words sanjung type in the Javanese Language (bJ); (2) the types of emotive of
words sanjung category in the bJ; and (3) the purpose of delivering of emotive
words sanjung type in the bJ. The analytical method used is the extralingual
method. The results of this research are (1) forms of emotive of words sanjung
type in the bJ consist of: (a) monomorfemic; (b) polimorfemic; (c) repetition; and
(d) the form emotive of word sanjung type in the bJ of symptoms due to language.
(2) Category emotive of word sanjung type in the bJ consists of: adjectives and
verbs. The adjective categories are divided to be three sub classifications, namely
mental, sizes, and flavors. Subclassification of verbs there are two, namely
deeds/actions and circumstances. (3) Intention of delivering from the emotive of
word sanjung type in the bJ; flattering because of the physical condition, flattering
because active measures, and flattering for a better state.

Keyword: emotive of word, sanjung type, and the Javanese Language
A. Pendahuluan
Emosi merupakan salah satu wujud ekpresi pada hampir setiap orang.
Setiap individu tentu memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkannya,
baik itu dilihat dari sisi pribadi, lingkungan, maupun kesukuannya. Salah
satunya masyarakat Jawa. Sebagian masyarakat Jawa tidak langsung
mengungkapkan emosinya secara terbuka. Selain itu, karakteristik masyarakat
yang pada umumnya halus menyebabkan bahasa Jawa (bJ) menjadi bahasa
yang unik dan khas meski terdapat perbedaan di dalamnya. Terlebih, apabila
melihat atau menemukan sesuatu yang tidak biasa. Dalam hal ini, sesuatu hal
tersebut bisa membuat penutur menyanjung mitra tuturnya. Dari situ akan
muncul apa yang disebut dengan emotif tipe sanjung dalam bJ.

1

2

Dalam sebuah ungkapan emotif tipe sanjung dalam bJ, baik tertulis
maupun lisan, akan bisa ditemui salah satu bagian dari ungkapan tersebut,
yakni kata. Maka, dari situlah bisa ditemukan apa yang disebut kata emotif

tipe sanjung dalam bJ. Kata emotif tipe sanjung dalam bJ terdiri dari empat
unsur inti, yakni kata, emotif, tipe sanjung, dan bahasa Jawa. Guna
memahami lebih lanjut, dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari masingmasing unsur tersebut.
Kata adalah satuan bebas yang terkecil, atau dengan kata lain, setiap
satu satuan bebas merupakan satuan kata (Ramlan, 1985:30). Winiasih yang
menyimpulkan pendapat Kridalaksana menjelaskan, kata juga merupakan
bentuk satuan lingual atau satuan dari bahasa yang terdiri atas fonem, kata,
morfem, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana (2010:32).
Setelah pengertian kata, berikutnya yaitu pengertian emotif. Mengacu
pada salah satu fungsi bahasa, yaitu fungsi emotif yang berguna untuk
mengungkapkan

perasaan

emosi

(emotif)

seseorang.


Sartre

(2010)

menjelaskan, emosi merupakan hasrat yang timbul sebagai akibat dari
kesadaran reflektif dari apa yang sudah ditangkap oleh pikiran seseorang.
Dari situlah seseorang akan mengungkapkan ekspresi emotifnya, salah
satunya melalui bahasa (baik tulisan maupun tuturan). Kesimpulannya, kata
emotif adalah sebuah kata dari penutur sebagai sebuah ungkapan yang
mengandung unsur emosi (emotif).
Sanjung atau menyanjung dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti
melontarkan

kata-kata

pujian

untuk

membangkitkan


rasa

senang;

mempersenangkan hati; memuji (2008:1265). Tidak semua orang yang marah
(emosi) langsung menunjukkan kemarahannya. Berbagai macam cara biasa
dilakukan untuk mengekspresikannya, baik secara terbuka maupun tertutup.
Salah satunya adalah dengan menyanjung mitra tutur. Kendati dalam keadaan
marah (emotif) namun tidak serta merta langsung „membuka‟ kemarahannya.
Terlebih dalam adat masyarakat Jawa yang pada umumnya bertutur sapa
halus, tidak jarang mereka menutupi kemarahannya.

3

Jadi, kata emotif tipe sanjung dalam bJ adalah satuan bebas terkecil
yang merupakan ungkapan perasaan (emosi) penutur kepada mitra tutur, baik
lisan maupun tertulis, yang dapat membangkitkan rasa senang; mempersenang hati mitra tutur dengan menggunakan media bJ.
Paparan tersebut memberikan perumusan masalah yang dapat dijadikan
pondasi dalam penelitian, di antaranya: Bagaimana bentuk-bentuk kata emotif

tipe sanjung dalam bJ?, Bagaimana kategori-kategori kata emotif tipe sanjung
dalam bJ?, dan Apa sajakah maksud penggunaan kata emotif tipe sanjung
dalam bJ?
Untuk itu, dalam penelitian ini memerlukan beberapa acuan teori.
Adapun acuan teori yang digunakan sebagai landasan untuk menganalisis
yakni: monomorfemik, polimorfemik, kategori kata, repetisi, gejala bahasa,
semantik, makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, serta
pragmatik.
Monomorfemik merupakan satuan gramatikal terkecil yang hanya
terdiri satu morfem dan sudah mengandung arti (Chaer, 2008:7). Satuan
gramatikal yang terdiri dari dua morfem atau lebih disebut polimorfemik
(Chaer, 2008:8). Maksud dari pengertian polimorfemik adalah dasar atau
bentuk dasarnya yang mengalami proses morfologis. Proses morfologis atau
juga proses gramatikal yang bisa terjadi berupa afiksasi, reduplikasi, dan
komposisi. Setiap kata dalam bJ memiliki kategori. Sudaryanto membagi
kategori kata dalam bJ menjadi enam, yaitu (1) verba, (2) adjektiva, (3)
nomina, (4) pronomina, (5) numeralia, dan (6) adverbia (1991:76).
Repetisi merupakan pemakaian bentuk secara berulang-ulang, baik
secara utuh atau bersifat sebagian di dalam sebuah kalimat atau gugus kalimat
pada sebuah paragraf atau wacana (Wijana, 2006:37-38). Di dalam penuturan

atau teks, repetisi berfungsi memberikan penekanan terhadap unsur yang
diulang.
Gejala bahasa merupakan peristiwa yang menyangkut bentukanbentukan kata atau kalimat dengan segala macam proses pembentukannya
(Badudu, 1979:47). Gejala bahasa tersebut, berdasarkan penambahan fonem

4

ada tiga macam. Penambahan fonem di depan kata yang (protesis),
penambahan fonem di tengah kata (epentesis), dan penambahan kata di akhir
kata (paragog).
Para pakar bahasa menyebut semantik sebagai bagian ilmu bahasa yang
mempelajari makna. Chaer (2002:2) menjelaskan, semantik adalah bidang
studi linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa, yaitu salah
satu dari tiga tataran analisis bahasa; fonologi, gramatika, dan semantik.
Agar tidak terlalu terlibat dalam berbagai nama dan istilah, Chaer
(2007b:117) membagi makna menjadi tiga; makna leksikal, makna
gramatikal, dan makna kontekstual atau makna dalam penggunaan. Menurut
Saussure (dalam Chaer, 2007a:118), makna leksikal adalah makna yang
secara inheren ada di dalam kata itu terlepas dari konteks apapun. Chaer
(2007b:118) menyebut makna leksikal lazim dipertentangkan dengan makna

gramatikal, yakni makna yang terjadi sebagai hasil proses gramatikal.
Menurut Wijana dan Rohmadi, makna gramatikal yaitu makna yang muncul
sebagai akibat berfungsinya leksem di dalam kalimat (2008:22-23). Makna
kontekstual yaitu makna yang sesuai dengan konteks linguistik (kedudukan
kata), konteks situasi (tempat dan waktu), konteks bidang kegiatan atau
keilmuan, bidang social, dan budaya, atau konteks lainnya (Chaer,
2007b:120).
Adapun Verhaar berpendapat, pragmatik merupakan cabang ilmu
linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai
alat komunikasi antara penutur dengan pendengar, dan sebagai pengacuan
tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan (2010:14).
Guna melihat perbedaan semantik dengan pragmatik, lebih lanjut, Rohmadi
menjelaskan, semantik mempelajari makna linguistik (linguistic meaning,
linguistic sense) yang bersifat internal, sedangkan pragmatik mempelajari
makna penutur (speaker meaning, speaker sense) yang bersifat eksternal.
Makna (speaker meaning) sering kali tidak sama dengan apa yang dituturkan
karena maksud dari tuturan sering disiratkan oleh tuturan. Namun demikian

5


keduanya memiliki perbedaan, yaitu semantik bebas konteks dan pragmatik
terikat konteks (2004:12).

B. Metodologi Penelitian
Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif dengan pendekatan kajian
deskriptif-naratif. Data dan sumber penelitian berupa peristiwa tutur maupun
teks tertulis berbahasa Jawa. Tempat penelitian tempat-tempat umum di Blora
dan Yogyakarta. Tempat umum tersebut diantaranya: kampus, warung, pasar,
kos-kosan atau kontrakan. Data tertulis bersumber dari buku Lakon
Carangan, Jilid I, karya Alan Feinstein, Bambang Murtiyoso, Kuwato,
Sudarko, Sumanto (1986).
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
metode simak. Data yang disimak yaitu berupa ujaran-ujaran yang terdapat
unsur kata emotif tipe sanjung dalam bJ dari penutur asli bJ. Begitu halnya
dengan data tertulis juga dilakukan penyimakan dari sumber data tertulis yang
menggunakan bJ.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan. Adapun
metode padan yang digunakan metode padan ekstralingual. Metode padan
ekstralingual yaitu untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual,
seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar

bahasa (Mahsun, 2006:114).

C. Pembahasan
1. Bentuk Kata Emotif Tipe Sanjung dalam Bahasa Jawa
a. Monomorfemik
Monomorfemik adalah satuan gramatik terkecil yang hanya
terdiri satu morfem. Adapun bentuk monomorfemik kata emotif tipe
sanjung dalam bJ berupa kategori adjektiva. Perhatikan kalimatkalimat di bawah ini.
(1) Bal-balane gayeng tenan, cah (Lsn, 15 Ags).
„Sepak bolanya meriah benar, nak‟

6

(2) Walah, kok pethel saiki, kowe! (Lsn, 11 Juli).
„Sekarang menjadi giat ya om, anakmu!‟
Bentuk gayeng dan pethel merupakan monomorfemik karena
hanya terdiri dari satu bentuk morfem. Kedua bentuk di atas
merupakan kategori adjektiva. Salah satu ciri adjektiva dapat menjadi
bentuk dasar kata yang berafiks ke-/-en yang menunjuk „keterlaluan‟.
Guna membuktikan bahwa kata emotif tipe sanjung dalam bJ di atas

tersebut termasuk kategori adjektiva bisa ditambahkan dengan konfiks
ke-en yang menunjuk „keterlaluan‟ maka terjadi bentuk kegayengen,
dan kepethelen.
Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial
yang

terjadi.

Bentuk

gayeng

„meriah‟

menunjukkan

kalau

pertandingan sepak bola yang dilihat memang meriah atau ramai.
Bentul pethel „giat‟ menunjukkan bahwa mitra tutur memang giat.

b. Polimorfemik
Polimorfemik adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua
morfem atau lebih. Adapun bentuk polimorfemik kata emotif tipe
sanjung dalam bJ berkategori verba. Perhatikan kalimat berikut
(3) Cerak banyu nondar-nandur lik (Lsn, 14 Ags).
„Dekat (sumber) air berkali-kali tanam Pak Lik‟
(4) Kowe leh Dhe ponan-panen (Lsn, 11 Ags).
„Kamu itu Pak Dhe berkali-kali memanen‟
Bentuk ponan-panen berasal dari bentuk morfem dasar panen,
mengalami proses pengulangan keseluruhan, dan perubahan bentuk
vokal di awal pengulangan. Adapun kaidah proses reduplikasi pada
bentuk tersebut yaitu morfem ulang mendahului morfem dasar. Pada
morfem ulang terjadi perubahan bentuk fonem vokal di bagian awal,
/a/ menjadi /o/ (naik/menjadi vokal dengan nada tinggi) dan
perubahan bentuk vokal pada morfem ulang di bagian akhir, vokal /e/,
/i/, atau /u/ menjadi /a/ (turun/menjadi vokal dengan nada rendah).
Pada morfem dasar tidak terjadi perubahan.

7

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial
yang

terjadi.

Bentuk

nondar-nandur

„berkali-kali

menanam‟

menunjukkan bahwa mitra tutur memang melakukan tindakan
menanam berkali-kali. Bentuk ponan-panen „berkali-kali memanen‟
menunjukkan bahwa mitra tutur memanen hasil bercocok tanamnya
berkali-kali.
c. Repetisi
Repetisi merupakan pemakaian bentuk secara berulang-ulang,
baik secara utuh atau bersifat sebagian di dalam sebuah kalimat atau
gugus kalimat pada sebuah paragraf atau wacana. Bentuk repetisi dari
kata emotif tipe sanjung dalam bJ, yaitu baguse „bagusnya‟ dan apik
„bagus‟. Bentuk baguse dan apik berkategori adjektiva. Perhatikan
kalimat di berikut ini.
(5) Wadhuh, baguse, baguse kaya dewa ndharat, baguse kaya dewa
ndharat (Tlsn, Lakon Carangan Jilid I, 1986: 90).
„Waduh, bagusnya, bagusnya seperti dewa di darat, bagusnya
seperti dewa di darat‟
(6) Wuih, apik, apik, apik kuwi, coy (Lsn, 27 April).
„Wuih, bagus, bagus, bagus itu, coy‟
Bentuk baguse dan apik diulang secara utuh di masing-masing
kalimatnya. Hal ini bertujuan untuk menonjolkan bentuk tersebut agar
menjadi perhatian mitra tutur.
Kategori bentuk baguse dan apik adalah adjektiva. Guna
membuktikannya menggunakan konfiks ke-en sebagai bentuk
pengingkaran maka akan muncul bentuk kebagusen dan kapiken.
Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi sosial
yang terjadi. Bentuk baguse „bagusnya‟ menunjukkan bahwa mitra
tutur memang memiliki rupa yang memang bagus. Bentuk apik
„bagus‟ menunjukkan bahwa mitra tutur memang dalam kondisi yang
baik.

8

d. Gejala Bahasa
Peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau
kalimat dengan segala macam proses pembentukannya disebut dengan
gejala bahasa. Adapun bentuk kata emotif tipe sanjung dalam bJ
akibat gejala bahasa tersebut ada dua macam, yaitu protesis
(penambahan fonem di depan kata) dan epentesis (penambahan fonem
di tengah kata).
1. Protesis
Protesis adalah penambahan fonem di depan kata. Gejala
bahasa protesis pada kata emotif tipe sanjung dalam bJ, yaitu
uapik „sangat bagus‟, dan uenak „sangat enak‟. Kategori bentuk
uapik, dan uenak adalah adjektiva. Perhatikan kalimat berikut.
(7) Uapik jebule tontonane, cah (Lsn, 10 Ags).
„Sangat bagus ternyata hiburannya, nak‟
(8) Uenak tenan kim baksone! (Lsn, 3 Sept)
„Enak betul kim baksonya‟
Bentuk uapik, dan uenak mengalami protesis atau
penambahan fonem di awal kata yaitu fonem /u/. Guna
membuktikan bahwa bentuk uapik dan uenak merupakan kategori
adjektiva bisa ditambahkan konfiks ke-en sebagai bentuk
pengingkaran dan menghilangkan fonem /u/ di awal kata, maka
akan muncul bentuk kapiken dan kenaken.
Transkripsi fonemis pada penambahan fonem /u/ di awal
kata pada kata yang berawalan fonem /a/ dan /o/ maka
mendapatkan tekanan keras, fonem /u/ dilafalkan [U]. Contoh:
uapik [U-a-piʔ] dan uombu [U-om-bu].
Transkripsi fonemis pada penambahan fonem /u/ di awal
kata pada kata yang berawalan fonem /i/ dan /e/ maka tidak
mendapatkan tekanan keras, fonem /u/ yang semula dilafalkan [U]
menjadi [u]. Contoh: uisin (bukan kata emotif tipe sanjung dalam
bJ) [u-i-sIn] dan uenak [u-e-naʔ].

9

Penambahan fonem /u/ di depan kata, yang bermakna
kesangatan, bisa diberikan jika sebuah kata berkategori adjektiva
berawalan dengan fonem vokal /a/, /e/, /i/, atau /o/. Penambahan
fonem /u/ di awal kata tidak mengubah makna secara
keseluruhan. Fungsinya hanya memberikan penekanan pada
makna kata tersebut dengan makna kesangatan.
Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi
sosial yang terjadi. Bentuk uapik „sangat bagus‟ menunjukkan
bahwa hiburan yang penutur lihat memang sangat bagus. Bentuk
uenak „sangat enak‟ menunjukkan bahwa bakso yang dimakan
penutur memang sangat enak.
2. Epentesis
Epentesis adalah penambahan fonem di tengah kata. Gejala
bahasa berupa epentesis pada kata emotif tipe sanjung dalam bJ,
yaitu buanter „sangat cepat‟; bianter „sangat cepat‟; dan cuepet
„sangat cepat‟. Ketiga bentuk tersebut berkategori adjektiva.
Perhatikan kalimat berikut.
(9) Motormu buanter tenan lho, lik (Lsn, 11 Ags).
„Motormu (berjalan) sangat cepat benar, Pak Lik‟
(10) Bianter are mlayumu maeng (Lsn, 10 Ags).
„Sangat cepat ternyata larimu tadi‟
(11) Woh, cuepet tenan De, kowe ngarite (Lsn, 11 Ags).
„Woh, sangat cepat benar Om, kamu potong rumputnya‟
Bentuk buanter dan cuepet berasal dari bentuk dasar banter
dan cepet serta mengalami penambahan fonem /u/ di bagian
tengah kata. Bentuk bianter berasal dari bentuk dasar banter serta
mengalami penambahan fonem /i/ di bagian tengah kata.
Transkripsi fonemis pada penambahan fonem /u/ di bagian
tengah kata pada kata yang berawalan fonem /a/ dan /o/ maka
mendapatkan tekanan keras, fonem /u/ dilafalkan [U]. Contoh:
buanter [bU-wan-tər] dan buolong [bU-wo-loŋ].

10

Transkripsi fonemis pada penambahan fonem /u/ di bagian
tengah kata pada kata yang berawalan fonem /i/ dan /e/ maka
tidak mendapatkan tekanan keras, fonem /u/ yang semula
dilafalkan [U] menjadi [u]. Contoh: cuilik (bukan kata emotif tipe
sanjung

dalam

bJ)

[cu-wi-liʔ]

dan

cuepet

[cu-wə-pət].

Penambahan fonem /u/, yang bermakna kesangatan, di tengah
kata bisa terjadi apabila di tengah kata bagian awal terdapat
fonem /a/, /e/, /i/, atau /o/ serta berkategori adjektiva.
Transkripsi fonemis pada penambahan fonem /i/ di bagian
tengah kata pada kata yang berawalan fonem /a/ maka,
mendapatkan tekanan keras, fonem /i/ dilafalkan [i]. Contoh:
bianter [bi-yan-tər] dan bianget [bi-ya-ŋət].
Penambahan fonem /i/ yang bermakna kesangatan di tengah
kata sangat terbatas, dan hanya bisa terjadi apabila di tengah kata
bagian awal terdapat fonem /a/. Penambahan fonem /i/ di tengah
kata apabila ditambahkan pada bentuk kata yang bagian tengah
awal terdapat selain fonem /a/ akan terbentuk, misalnya: *piesing,
*lioma, dan *liuwes.
Penambahan fonem /u/ dan /i/ di bagian tengah kata tidak
memengaruhi makna secara esensial. Hanya saja, penambahan
fonem

tersebut

memberikan

penekanan

dengan

makna

kesangatan. Untuk membuktikan bahwa bentuk buanter, bianter,
dan cuepet merupakan kategori adjektiva dengan ditambahkan
konfiks ke-en serta menghilangkan fonem tambahan /u/ dan /i/,
maka akan terjadi bentuk kebanteren dan kecepeten.
Gejala bahasa penambahan fonem /u/, baik di awal maupun
di tengah kata ditemukan dalam dialek Blora dan Yogyakarta.
Selain penambahan fonem /u/, di sebagian daerah Yogyakarta
juga bisa ditemukan gejala bahasa penambahan fonem /i/ pada
tengah kata.

11

Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi
sosial yang terjadi. Bentuk buanter „sangat deras‟ menunjukkan
bahwa air yang dilihat penutur memang mengalir sangat deras.
Bentuk bianter „sangat kencang‟ menunjukkan bahwa mitra tutur
bisa berlari dengan sangat kencang. Bentuk cuepet „sangat cepat‟
menunjukkan bahwa mitra tutur memang bisa mengambil rumput
sangat cepat.
2. Kategori Kata Emotif Tipe Sanjung dalam Bahasa Jawa
a. Adjektiva
Dalam bJ, adjektiva memiliki perilaku yang hampir sama
dengan verba. Dalam tataran kalimat tunggal adjektiva juga mengisi
atau menempati fungsi P secara dominan dan dalam tataran frasa dia
menjadi atribut. Ciri lain, adjektiva cenderung dapat menjadi bentuk
dasar kata yang berafiks ke-/-en yang menunjuk „keterlaluan‟. Kata
emotif tipe sanjung dalam bJ berkategori adjektiva dapat dibagi
menjadi tiga subklasifikasi berdasarkan watak semantisnya, yaitu (1)
mental, (2) ukuran, dan (3) rasa. Perhatikan penjelasannya berikut ini.
1) Adjektiva Mental
Subklasifikasi mental dari kategori adjektiva, yaitu bentuk
yang menerangkan batin dan watak manusia yang bukan bersifat
badan atau tenaga. Berikut ini merupakan kata emotif tipe sanjung
dalam bJ kategori adjektiva subklasifikasi mental, yaitu wanen
„pemberani‟; dan kendhel „pemberani‟. Perhatikan kalimat
berikut.
(12) Kowe wanen e saiki (Lsn, 5 Ags).
„Kamu pemberani ya sekarang‟
(13) Wor, dadi kendhel e kowe (Lsn, 7 Ags).
„Wor, jadi pemberani ya, kamu‟
Bentuk wanen dan kendhel berkategori adjektiva karena
dalam kalimat tersebut bersifat predikatif atau berkedudukan
sebagai P. Perhatikan analisis berikut.

12

(13a) Bocah kae wanen e ya
S
P
Pel.
(14a) Jo Klowor kae kendhel jebule, cah
S
P
Pel.
Bentuk-bentuk di atas juga merupakan kategori adjektiva
dengan subklasifikasi mental. Bentuk wanen dan kendhel
bermakna bahwa orang itu pemberani.
Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi
sosial yang terjadi. Bentuk wanen dan kendhel menunjukkan
bahwa mitra tutur berani melawan rasa takut, seperti pada saat
berhadapan dengan lawan yang lebih hebat atau ditakuti, misalnya
hantu.
2) Adjektiva Ukuran
Subklasifikasi ukuran dari kategori adjektiva, yaitu bentuk
yang menerangkan hasil penilaian pada manusia, benda, atau
sesuatu lainnya. Kata emotif tipe sanjung dalam bJ kategori
adjektiva subklasifikasi ukuran, yaitu banter „keras‟ dan wangun
„pantas‟. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
(14) Kok do isa banter tenan e tendangane ki, cah! (Lsn, 12
April).
„Mengapa bisa cepat benar ya tendangannya ini, nak!‟
(15) Lha kok wangun lukisanmu, To! (Lsn, 19 April).
„Lha kok pantas lukisanmu, To!
Bentuk tersebut juga merupakan kategori adjektiva. Guna
membuktikan bahwa kata emotif tipe sanjung dalam bJ tersebut
termasuk kategori adjektiva, selain dari segi perilaku sintaksisnya
yaitu bersifat predikatif, bisa ditambahkan dengan konfiks ke-en
yang menunjuk „keterlaluan‟, maka terjadi bentuk kebanteren,
dan kewangunen.
Bentuk-bentuk tersebut juga merupakan subklasifikasi
ukuran. Untuk menentukan jenis ukurannya dapat didasarkan
dengan ukuran tentu dan tidak tentu. Maksudnya, sesuatu bisa

13

diukur serta diketahui nilainya secara pasti (tentu) dan ada yang
tidak bisa diketahui nilainya secara pasti atau hanya bisa
diperkirakan nilainya (tidak tentu). Adapun bentuk yang termasuk
ukuran tentu, yaitu: banter; sedangkan bentuk yang termasuk
ukuran tidak tentu, yaitu wangun.
Bentuk banter „keras‟ merupakan ukuran tentu. Misalnya,
dalam pertandingan badminton, ukuran kecepatan smash pemain
bisa diketahui dan diukur kecepatannya seberapa kilometer per
jam.
Bentuk wangun hanya bisa dinilai dengan kadar tertentu
atau bersifat relatif. Bentuk wangun „pantas‟, ukuran suatu benda
dinilai bagus, indah, atau pantas dikenakan tidak bisa ditentukan
secara pasti karena setiap orang memiliki selera berbeda.
Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi
sosial yang terjadi. Bentuk banter „keras‟ menunjukkan bahwa
tendangan mitra tutur memang keras. Bentuk wangun „pantas‟
menunjukkan bahwa lukisan milik mitra tutur memang pantas
dipajang.
3) Adjektiva Rasa
Subklasifikasi rasa dari kategori adjektiva yaitu bentuk yang
menerangkan tanggapan indera yang kemudian merangsang saraf
(pikiran); tanggapan hati terhadap sesuatu (indera). Berikut ini
adalah bentuk monomorfemik kata emotif tipe sanjung dalam bJ
kategori adjektiva subklasifikasi rasa, yaitu seneng „senang‟; dan
legi „manis‟. Perhatikan kalimat berikut ini.
(16) Aku seneng Mas karo njenengan sing ora mbayar lewat calo
(Lsn, 10 Mei).
„Aku suka Mas dengan kamu yang tidak membayar melalui
calo‟
(17) Kolak sing kok gawe pancen legi lho, nduk (Lsn, 13 Jul).

14

„Kolak yang kamu buat memang manis lho, nduk (sebutan
untuk anak perempuan)
Bentuk seneng dan legi merupakan kategori adjektiva
karena berkedudukan sebagai P. Perhatikan analisis di bawah ini.
(16a) Aku seneng Mas karo njenengan sing ora mbayar lewat calo
S
P Pel.
Ket.
(17a) Kolak sing kok gawe pancen legi lho, nduk.
S
P
Pel.
Bentuk seneng dan legi merupakan subklasifikasi rasa.
Bentuk seneng „senang‟ merupakan rasa yang berupa suasana
hati/pikiran. Rasa seneng, dalam hal ini, terjadi karena indra
penglihatan penutur melihat tindakan baik yang dilakukan mitra
tutur, membayar pajak kendaraan bermotor tanpa melalui calo.
Tindakan yang dilakukan mitra tutur tersebut membuat penutur
senang. Bentuk legi „manis‟ merupakan rasa yang merupakan
nama gejala. Rasa legi terjadi karena lidah bertemu dengan
minuman (bisa juga jenis makanan) yang memiliki rasa manis.
Bentuk-bentuk di atas bermakna sesuai dengan kondisi
sosial yang terjadi. Bentuk seneng „senang‟ menunjukkan bahwa
penutur memang merasa senang karena mitra tutur membayar
pajak motor tidak melalui calo. Bentuk legi „manis‟ menunjukkan
bahwa kolak yang dibuat mitra tutur memang rasanya manis.
b. Verba
Kata emotif tipe sanjung dalam bJ kategori verba dapat dibagi
menjadi dua subklasifikasi berdasarkan makna keberubahan, yaitu (1)
perbuatan/aksi

dan

(2)

keadaan.

Cermati

pembagian

dan

penjelasannya berikut ini.
1) Verba Perbuatan/Aksi
Berikut ini adalah bentuk polimorfemik kategori verba kata
emotif

tipe

perbuatan/aksi,

sanjung
yaitu

dalam

bJ

mangan-mengen

dengan

subklasifikasi

„berkali-kali

makan

(dengan rentang waktu tertentu)‟ dan masak-mesek berkali-kali

15

masak (dengan rentang waktu tertentu). Perhatikan kalimatkalimat berikut ini.
(18) Sapi kuwi leh mangan-mengen wae (Lsn, 14 Ags).
„Sapi itu berkali-kali makan (dengan rentang waktu tertentu)
saja‟
(19) Kowe leh Dhe, masak-mesek wae (Lsn, 12 Okt).
„Kamu itu lho Tante, berkali-kali masak (dengan rentang
waktu tertentu) saja‟
Bentuk mangan-mengen berasal dari bentuk dasar mangan,
mengalami pengulangan keseluruhan, dan terjadi perubahan
fonem vokal pada bagian bentuk ulang (/a/ menjadi /e/). Bentuk
masak-mesek berasal dari bentuk dasar masak, mengalami
pengulangan keseluruhan dan terjadi perubahan fonem vokal pada
bagian bentuk ulang (/a/ menjadi /e/).
Kaidah reduplikasi pada bentuk mangan-mengen [maŋanmεŋεn] dan masak-mesek [masaʔ-mεsεʔ], yaitu morfem dasar
mendahului morfem ulang. Pada morfem ulang terjadi perubahan
bentuk fonem vokal yaitu, /a/ menjadi /e/ (naik/menjadi vokal
dengan nada tinggi). Hal ini disebabkan fonem vokal /a/
merupakan fonem vokal yang memiliki intonasi paling rendah.
Oleh karena itu, pada bentuk morfem ulang terjadi perubahan
fonem vokal menjadi yang lebih tinggi atau naik satu tingkat
menjadi fonem vokal /e/.
Sebagai pembanding, misalnya bentuk madhang, manak,
nggambar, mbalang, dan nyawang (bentuk dasar dan bukan
bentuk kata emotif tipe sanjung dalam bJ) maka bentuk
reduplikasinya

menjadi

madhang-medheng,

manak-menek,

nggambar-nggember, mbalang-mbeleng, dan nyawang-nyeweng.
Bentuk lain sebagai pembanding pula, misalnya bentuk buka,
bungah, siman, dan susah (bukan kata emotif tipe sanjung dalam
bJ) maka bentuk reduplikasinya menjadi buka-buke, bungah-

16

bungeh, siman-simen, dan susah-suseh. Bentuk reduplikasi
tersebut terjadi dengan proses bentuk dasar mendahului bentuk
ulang dan bentuk ulang terjadi perubahan bentuk fonem vokal
pada bagian kedua, yaitu /a/ menjadi /e/. Dengan begitu, bentukbentuk tersebut memiliki kaidah proses reduplikasi yang sama
dengan bentuk mangan-mengen dan masak-mesek. Bedanya,
perubahan fonem vokal hanya terjadi pada bentuk ulang fonem
vokal bagian kedua.
Bentuk mangan-mengen, dan masak-mesek merupakan
bentuk polimorfemik karena terdiri lebih dari satu morfem. Pola
terbentuknya polimorfemik pada bentuk mangan-mengen, dan
masak-mesek, yaitu terjadi pengulangan bentuk dasar secara
keseluruhan dan perubahan bentuk fonem vokal. Bentuk manganmengen bermakna melakukan perbuatan makan berulangkali.
Bentuk masak-mesek bermakna melakukan tindakan masak
berulang kali.
Bentuk mangan-mengen merupakan tindakan memakan
makanan yang dilakukan seseorang berulang kali dengan rentang
waktu tertentu. Bentuk masak-mesek merupakan tindakan
memasak yang dilakukan seseorang berulang kali dengan rentang
waktu tertentu.
2) Verba Keadaan
Berikut ini adalah bentuk kata emotif tipe sanjung dalam bJ
kategori verba subklasifikasi keadaan, yaitu trima-trimane
„terima-terimanya‟; dan ayem-ayeman „sangat tenang‟. Cermati
kalimat-kalimat berikut ini.
(20) Gumunku, kowe kuwi kok ya trima-trimane. Saben dina cah
angon kae nekat kok dienengake wae, … (Tlsn, “Sega
Rames”, Kumpulan Dongeng Myte: Sri-Sadana, 1991:95).
„Heranku, kamu itu kok terima-terimanya. Setiap hari
penggembala itu nekat kok didiamkan saja,..‟

17

(21) Lik, kari ayem-ayeman wis bar tandur (Lsn, 6 Feb).
„Pak Lik, tinggal bertenang-tenang sudah selesai tanam‟
Bentuk trima-trimane berasal dari morfem dasar trima,
morfem berupa sufiks –ne, dan mengalami proses pengulangan
keseluruhan. Bentuk ayem-ayeman berasal dari morfem dasar
ayem, morfem berupa sufiks –an, dan mengalami proses
pengulangan keseluruhan. Pola terbentuknya polimorfemik pada
bentuk trima-trimane dan ayem-ayeman yaitu terjadi pengulangan
bentuk dasar secara keseluruhan dan penambahan sufiks. Kedua
bentuk di atas berkategori verba karena mempunyai makna
melakukan sebuah tindakan.
Bentuk-bentuk tersebut juga merupakan subklasifikasi
keadaan. Bentuk trima-trimane merupakan keadaan pasrah/tidak
bisa melakukan tindakan lain kecuali menerima apa yang terjadi.
Bentuk ayem-ayeman merupakan keadaan sudah sangat tenang
yang dialami seseorang atau makhluk hidup lain karena tidak
mempunyai beban lagi.
3. Maksud Penyampaian Kata Emotif Tipe Sanjung dalam bJ
a. Menyanjung Karena Kondisi Fisik
Di bawah ini merupakan temuan data yang mengandung kata
emotif tipe sanjung dalam bJ dengan maksud menyanjung karena
kondisi fisik, yaitu ayu „cantik‟; dan gantheng „tampan‟. Bentukbentuk tersebut berkategori adjektiva. Perhatikan kalimat berikut ini.
(22) Eh, kowe kok ayu? (Lsn, 11 Jul).
„Eh, kamu kok cantik?‟
(23) Mas, saiki gantheng kowe! (Lsn, 21 Mar).
„Mas, sekarang tampan kamu!‟
Bentuk ayu „cantik‟ pada kalimat (22) bermaksud mitra tutur
yang cantik. Penutur menyanjung karena anak perempuannya tidak
secantik mitra tutur. Mitra tutur tersebut merupakan anak perempuan
berumur 18 tahun, berkulit kuning langsat, berpakaian rapi, dan masih

18

duduk di bangku SMA. Bentuk gantheng „tampan‟ pada kalimat (23)
bermaksud menyanjung mitra tutur. Penutur menyanjung karena
cowoknya tak setampan lelaki yang dilihat. Lelaki tersebut berumur
24 tahun, berkulit putih, dan sudah bekerja.
b. Menyanjung Karena Tindakan Aktif
Maksud yang selanjutnya dari penyampaian kata emotif tipe
sanjung dalam bJ adalah maksud menyanjung karena tindakan aktif.
Disebut tindakan aktif karena pelaku (mitra tutur) terlibat langsung
dengan giat dalam melakukan suatu tindakan. Adapun bentuknya,
yaitu loma „suka memberi‟; dan sregep „rajin‟. Kategori bentuk loma,
dan sregep berkategori adjektiva. Perhatikan kalimat-kalimat berikut.
(24) Kowe leh Pak, loma jebule (Lsn, 11 April).
„Kamu itu Pak, suka memberi ya ternyata‟
(25) Pancen sregep putuku saiki (Lsn, 9 Ags).
„Memang rajin cucuku sekarang‟
Bentuk loma „suka memberi‟ pada kalimat (24) bermaksud
menyanjung bapak Agus karena tindakannya yang suka memberi.
Bapak Agus tersebut suka memberi kepada orang yang membutuhkan.
Penutur menyanjung karena saat ini jarang bisa menemui orang yang
loma.
Bentuk

sregep

„rajin‟

pada

kalimat

(25)

bermaksud

menyanjung cucu penutur. Penutur menyanjung karena sebelumnya
cucu penutur tidak begitu rajin membantu membersihkan halaman
rumahnya dan membersihkan debu di kursi serta mejanya di ruang
tamu. Setelah bertambah usia, cucu penutur mulai rajin membantunya.
Cucu penutur tersebut duduk di bangku sekolah dasar.
c. Menyanjung Karena Kondisi yang Lebih Baik
Maksud penyampaian kata emotif tipe sanjung dalam bJ
selanjutnya, yaitu menyanjung karena keadaan yang lebih baik.
Adapun bentuknya, yaitu tanja „mantap‟; dan cekli „bagus‟. Bentuk
tanja dan cekli berkategori adjektiva. Cermati kalimat berikut ini.

19

(26) Walah, tanja kowe yo, coy! (Lsn, 21 Feb).
„Walah, mantap kamu ya, coy!‟
(27) Omahmu cekli e mergo dirawat (Lsn, 30 Okt).
“Rumahmu bagus ya karena dirawat‟
Bentuk tanja „mantap‟ pada kalimat (26) bermaksud
menyanjung mitra tutur yang berada dalam keadaan enak atau
nyaman. Penutur menyanjung karena mitra tutur bernasib lebih baik
dari pada penutur. Kondisi mitra tutur pada saat itu makan makanan
enak dan gratis. Bentuk tanja dipakai orang di wilayah Yogyakarta.
Bentuk cekli pada kalimat (27) bermaksud menyanjung tempat tinggal
mitra tutur. Penutur menyanjung karena tempat tinggal yang dimiliki
mitra tutur lebih bagus dan nyaman untuk ditempati.

D. Simpulan
Bentuk-bentuk kata emotif tipe sanjung dalam bJ terdapat empat
macam, yaitu bentuk monomorfemik; bentuk polimorfemik; repetisi; dan
gejala bahasa. Kategori kata emotif tipe sanjung dalam bJ ada dua, adjektiva
dan verba. Kategori adjektiva dapat dibagi menjadi tiga subklasifikasi, yaitu
(a) mental, (b) ukuran, dan (c) rasa. Kata emotif tipe sanjung dalam bJ yang
memiliki kategori verba dapat disubklasifikasikan menjadi dua: (a)
perbuatan/aksi, dan (b) keadaan. Maksud penyampaian kata emotif tipe
sanjung dalam bJ ditemukan tiga macam; menyanjung karena kondisi fisik;
menyanjung karena tindakan aktif; dan maksud menyanjung karena keadaan
yang lebih baik.

E. Daftar Pustaka
Badudu, DR. J.S. 1979. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka
Prima.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. 2007a. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.

20

Chaer, Abdul. 2007b. Kajian Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses).
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekaan Proses).
Jakarta: Rineka Cipta.
Feinstein, Alan, Bambang Murtiyoso, Kuwato, Sudarko, Sumanto. 1986.
Lakon Carangan, Jilid I. Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem Dalam
Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa; Tahapan Strategi, Metode, dan
tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ramlan, M. 1997. Morfologi, Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV.
Karyono
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik, Teori dan Analisis. Yogyakarta:
Lingkar Media.
Sartre, Jean-Paul. 2010. Theory of the Emotion. Surabaya: Selasar Publishing.
Sudaryanto. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sugono, Dendy, Sugiyono, Yeyen Maryani, Meity Taqdir Qodratillah,
Cormentyna Sitanggang, Menuk Hardinawati, Dora Amalia, Teguh
Santoso, Adi Budiwiyanto, Azhari Dasman Darnis, Desi Pusputa, Endang
Supriatin, Dede Supriadi, Delis Saparini, Rini Maryani (Tim Penyusun).
2008. Kamus Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta: Pusat Bahasa.
Wijana, I Dewa Putu. 2006. “Repetisi dalam Karangan Mahasiswa dan
Penanganannya”. Jurnal Humaniora. Vol. 1. Hlm. 37-45. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik, Teori dan
Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.